• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upah, Makan dan Kerja dalam Hubungan Antara

BAB VI KONFLIK AGRARIA DI PEDESAAN

6.4 Upah, Makan dan Kerja dalam Hubungan Antara

”Alhamdulliah neng upah udah naik limaratus. Kemarinkan cuma

tujuh ribu sekarang udah tujuh ribu lima ratus”(Nek Awg)

Ucapan ini yang pertama kali diucapkan Nek Awg setelah menerima kenaikan upahnya. Meskipun hanya lima ratus rupiah kenaikan ini telah lama diharapkan oleh para buruh yang bekerja di Pak Bas. Uapah pertama kali Nek Awg saat delapan tahun yang lalu adalah sebesar empat ribu rupiah. Kenaikan

upah ini bertahap. Nek Awg merupakan tenaga kerja yang paling lama di lahan milik Pak Bas. Beliau ditawarkan oleh Pak Bas untuk bekerja karena dikenal ulet dan kuat di Kampung Cibatok, serta termasuk orang yang suka kerja keras.

Nek Awg merupakan teman kecil ayahnya Pak Bas, sehingga ketika Pak Bas menawarkan untuk bekerja di lahan miliknya Nek Awg menerima meskipun upah yang ditawarkan tidak besar. Hubungan Nek Awg dan ayahnya Pak Bas yang menjadi alasan utamanya.

Buruh lainnya Pak Bas menanggapi biasa saja kenaikan upah yang diberikan Pak Bas. Buruh menganggap wajar saja kalau upah harus dinaikkan. Beberapa hari peneliti berinteraksi dengan para buruh, hal yang paling dikeluhkan adalah masalah upah yang rendah. Sering para buruh mengeluarkan keinginan untuk menaikkan upah dengan gurauan tapi tanggapan Pak Bas biasa saja.

Lain halnya dengan upah yang diberikan Pak Ang kepada buruhnya. Pak Ang memberikan upah Rp. 20.000,00 per orang setiap harinya. Jauh sekali perbedaan dengan upah yang diberikan oleh Pak Bas.

”Buruh tuh udah miskin neng, kok ditambah miskin seh. Mereka udah baik ma kita kok ga dibayar sepadan. Disini memang standar upah buruh sangat rendah tapi ya ditambahlah sedikit, nah emang banyak orang yang mau bertani disini karena upah buruhnya rendah baik perempuan ato laki”(Pak Ang)

Segi upah kedua pemilik lahan disini sangat kontras, yang satu memberikan upah tinggi dan yang satu lagi memberikan upah rendah. Hasil produksi keduanya pun berbeda, produktivitas tanaman Pak Bas lebih tinggi dibandingkan dengan Pak Ang. Hal ini sangat menarik padahal insentif yang diberikan oleh Pak Ang lebih besar.

Tidak hanya dalam segi upah berbeda, makanan pun berbeda. Buruh Pak Ang sering diberikan makan siang oleh istri Pak Ang meskipun seadanya. Keadaan ini berbeda dengan Pak Bas dimana para buruhnya membawa makanan sendiri dari rumah masing-masing. Para buruh makan setelah disuruh makan oleh Pak Bas kira-kira jam sepuluh pagi. Begitupun pada saat panen, para buruh bisa bekerja hingga sore hari itu juga tidak dapat makan tapi upah sedikit ditambah.

Kedua indikator ini meskipun sederhana sangat berpengaruh untuk lingkungannya. Penilaian para buruh terhadap tingkah laku para majikannya akan tersebar di masyarakat luas secara cepat melalui obrolan-obrolan. Penilaian ini pun berkembang di masyarakat dengan membandingkan bahwa Pak Ang sangat dikenal sebagai orang yang murah hati kepada siapa saja. Pak Bas dikenal sebagai orang yang pelit dan kasar omongannnya.

”Pak Bas itu neng pelit, sama buruhnya juga agak pelit. trus kalo ngomong ma orang ga tau itu muda atau tua darinya pasti kasar ma orang-orang, kalo Pak Ang itu dermawan suka nyumbang-nyumbang kalo ada acara di desa, dia dekat dengan pak lurah”(Pak Amp)

Perlakuan para pemilik lahan ini kepada buruhnya juga berbeda. Pak Ang memberikan kewenangan untuk mengolah lahan pertanian yang ia miliki kepada buruhnya. Dia menunjuk salah satu buruhnya untuk menjadi orang yang paling dipercaya. Keempat tenaga kerjanya memiliki tugas yang berbeda-beda dan pembagian kerja yang jelas. Pak Ang jarang ikut serta membantu para buruhnya, beliau hanya mengontrol sekedarnya pada pagi hari, selebihnya beliau percayakan pada buruhnya. Azas percaya inilah yang beliau terapkan kepada para buruhnya, sehingga tidak ada keraguan untuk mempercayakan seluruh usahanya kepada para tenaga kerjanya. Begitupun untuk pekerjaan lainnnya, misalnya mengurus kerbau

yang di berikan kepada Pak Jam dengan bagi hasil. Kerbau ini kemudian digunakan untuk membajak sawah.

Pak Bas berbeda dengan Pak Ang, beliau turun langsung ke sawah. Setiap pagi beliau sudah berada di sawah, sehingga para buruh jarang yang terlambat kerja karena segan dengan Pak Bas. Mereka yang terlambat biasanya akan kena sindiran halus oleh Pak Bas.

”Nenek mah ga enak kalo datang telat neng, jam tujuh mulainya tapi tuh mending jam setengah tujuh udah di sawah dari pada disindir ma Pak Bas. Nenek kan udah tua ga enak kalo diomongin ma orang-orang. Anak-anak yang lain emang suka pada telat, mereka kan masih pada punya anak, kalo nenek udah ga da pa-pa lagi. Anak-anak kalo telat sering diomongin gitu ma Pak Bas.”(Nek Awg)

Pak Bas biasanya berada di sawah hingga jam10 setelah itu beliau akan pergi ke pasar TU Kemang untuk berdagang. Selama di sawah beliau selalu mengontrol apa yang dilakukan oleh para buruhnya. Termasuk tanaman apa yang akan ditanam, obat yang digunakan, dosis pupuk yan diberikan itu semua sesuai apa yang diperintahkan oleh Pak Bas. Seluruh keputusan yang berkaitan dengan produksi tanaman ada di tangan Pak Bas. Buruh tidak memiliki kewenangan apapun untuk mengambil keputusan.

Pak Bas sangat selektif menerima buruh, buruh yang bekerja di Pak Bas rata-rata sudah bekerja lama. Beliau tidak sembarangan menerima dan mengganti orang meskipun para buruh yang bekerja sering melakukan kesalahan. Alasan beliau tidak sering mengganti buruh yang tidak bekerja dengan baik adalah apabila ada buruh yana baru akan sulit untuk bisa langsung bekerja karena harus dilatih dan diberikan pengarahan sebelumnya.

Pak Bas tidak segan-segan marah kepada buruh yang bekerja tidak baik. Beliau sangat teliti sekali, misalnya ada buruh yang mengoret23

tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan, beliau tidak segang-segan untuk langsung turun ke sawah mencontohkan bagaimana cara mengoret yang baik agar terlihat rapih.

Sawah Pak Bas tidak pernah sepi dari kerjaan sehingga setiap hari para buruh bisa mendapatkan upah. Sementar sawah Pak Ang yang pada saat ini ditanami terong, buruhnya tidak setiap hari bekarja. Itulah salah satu kelebihan Pak Bas, beliau bisa mengatur pekerjaan sawahnya tidak pernah sepi pekerja. Setiap panen langsung ada kerja lagi, karena tanaman yang ditanam di sawah Pak Bas tidak ditanam serentak melainkan bergilir. Misalnya lima petak sawah yang ditanami buncis usianya satu bulan, si petakan yang lain bisa jadi tanaman timun yang baru ditanam.Tanaman yang ditanam pun tidak membutuhkan waktu yang lama paling lama masa tanam satu jenis tanaman hanya tiga bulan.

Alasan beliau tidak mau ditanam serentak karena akan sulit untuk merawatnya dan membutuhkan pekerja yang banyak, sedangkan beliau tidak berniat untuk menambah tenaga kerja lagi. Selain itu, jika tanaman ditanam serentak apabila terserang hama akan bahaya dan yang paling penting panen bisa setiap saat.

Hubungan kerja dengan buruh yang dibangun antar Pak Ang dan Pak Bas sangat berbeda. Pandangan keduanya pun berbeda sehingga hasil dan produktifitas juga berpengaruh. Sebenarnya produktifitas tanaman yang dihasilkan sawah Pak Ang bisa lebih besar daripada sekarang karena kelebihan perawatan. Buruh Pak Ang selalu memberikan obat-obatan untuk merangsang peningkatan

buah sehingga tanahnya menjadi rentan. Jika terlalu sering menggunakan obat, hasilnya tidak terlalu bagus. Pak Ang jarang mengontrol apa yang dilakukan para buruhnya sehingga hasilnya juga biasa saja padahal biaya yang dikeluarkan oleh Pak Ang sangat besar. Hal ini juga karena Pak Ang bertani bukan untuk mencari keuntungan tetapi untuk membantu tetangganya. Anak buah Pak Bas :

”Neng tau ga, tanaman Pak Ang itu kan udah jelek tapi tetap aja masih dikasih obat untuk merangsang buah, obatnya sangat kuat neng, duitnya juga besar. Pak Ang mana tau itu, buruhnya semua yang tau, hasilnya juga udah ga bagus. Dia mah coba semua obat yang baru yang mahal padahal mutunya ga bagus”(Pak Nn)

Kejadian-kejadian kecil itu tidak semata-mata menunjukkan sebuah kondisi ketidakberdayaan buruh tani dalam hubungannya dengan pemilik tanah, namun juga memperlihatkan kenyataan lain mengenai ketidaksamaan persepsi diantara para aktor yang terlibat. Hubungan kerja antara pemilik tanah dan buruh tani yang bersifat majikan buruh dimana buruh tani tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pemilik tanah, memang menjadi sebuah keumuman yang merupakan dari ketidakserataan kepemilikan tanah. Demikian pula upah dan makan yang menjadi konsekuensi dari hubungan itu.

Dokumen terkait