• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak. Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak. Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak

Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.

Menurut Saputra, (2000) sebagai contoh sederhana pertanian terpadu adalah apabila dalam suatu kawasan ditanam jagung, maka ketika jagung tersebut panen, hasil sisa tanaman merupakan limbah yang harus dibuang oleh petani. Tidak demikian halnya apabila di kawasaan tersebut tersedia ternak ruminansia, limbah tersebut akan menjadi makanan bagi hewan ruminansia tersebut. Hubungan timbal balik akan terjadi ketika ternak mengeluarkan kotoran yang digunakan untuk pupuk bagi tanaman yang ditanam di kawasan tersebut.

(2)

Konsep Sistem Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang dapat dikembangkan untuk lahan pertanian terbatas maupun lahan luas. Pada lahan terbatas atau lahan sempit yang dimiliki oleh petani umumnya konsep ini menjadi sangat tepat dikembangkan dengan pola intensifikasi lahan. Lahan sempit akan memberikan produksi maksimal tanpa ada limbah yang terbuang percuma. Sedangkan untuk lahan lebih luas konsep ini akan menjadi suatu solusi mengembangkan pertanian agribisnis yang lebih menguntungkan. Melaiui sistem yang terintegrasi ini akan bermanfaat untuk efisiensi penggunaan lahan, optimalisasi produksi, pemanfaatan limbah, subsidi silang untuk antisipasi fluktuasi harga pasar dan kesinambungan produksi (PT.RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2001).

Reijntjes (1999) mengatakan, hewan atau ternak bisa beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit, hewan memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagai mas kawin, untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi input luar rendah, integrasi ternak ke dalam sistem pertanian penting, khususnya untuk :

1. Meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk menghasilkan pangan bagi keluarga petani

2. Memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.

(3)

Konsep pertanian terpadu ini perlu digalakkan, mengingat sistem ini disamping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga di harapkan mampu mencapai kecukupan daging nasional. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi, serta produksi susu. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan. Beragamnya pemeliharaan ternak memperluas strategi penurunan risiko budidaya tanaman ganda hingga akan meningkatkan stabilitas ekonomi sistem usaha tani.

Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasikan dengan lahan-lahan pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman pangan. Ternak tidak berkompetisi pada lahan yang sama. Tanaman pangan dengan komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan dipinggir atau pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urin dan fecesnya.

(4)

Tuntutan sistem usaha tani terpadu menjadi rasional seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, faktor produksi lain yang amat terbatas. Sejalan dengan amanat Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005, bangsa ini perlu membangun ketahanan pangan yang mantap. Merespon sasaran dalam RPPK tersebut, Departemen Pertanian dalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 telah membuat arah kebijakan dan program pembangunan pertanian.

Salah satu dari program tersebut adalah program Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) lazimnya disebut juga dengan istilah Crop Livestock System (CLS). Tujuan program SIPT ini adalah pengembangan penggemukan ternak sapi potong berbasis tanaman pangan. Program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging ternak sapi potong dan sekaligus upaya peningkatan produksi pangan melalui kegiatan pemeliharaan sapi pada areal lahan tanaman pangan beririgasi. Dasar pertimbangan dari program ini adalah kegiatan produksi pertanian tanaman pangan dan ternak dengan prinsip zero waste. Keterpaduan padi ternak ini diharapkan dapat menghemat penggunaan pakan ternak, pupuk dan lahan, serta biaya semurah mungkin sehingga produksi ternak dan padi yang dihasilkan lebih meningkatkan pendapatan petani.

Program SIPT merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Haryanto, 2002). Badan Litbang Pertanian telah meneliti dan mengkaji SIPT dengan pendekatan zero waste. Zero waste adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal seperti

(5)

pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi untuk diproses menjadi pupuk organik. Artinya memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002).

Ada tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu: (a) teknologi budidaya ternak, (b) teknologi budidaya padi, dan (c) teknologi pengolahan jerami dan kompos (Haryanto, et.al, 2002). Sedangkan tujuan pokok dari sistem SIPT adalah bagaimana petani mengoptimalkan usahanya untuk menghasilkan kompos yang mampu meningkatkan efisiensi usaha taninya. Agar ketiga komponen tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak, dilakukan dengan pendekatan kelembagaan.

Pendekatan kelembagaan dalam pemgembangan SIPT adalah kerjasama kelompok peternak di mana kepemilikan lahan sawah dan ternak secara individu tetap ada, seperti pengumpulan jerami, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Ringkasnya tujuan dari SIPT ini adalah untuk menghasilkan kompos yang mampu meningkatkan efisiensi usaha tani. Dalam sistem kegiatan ini petani yang ingin memproduksi kompos mendapat kredit dalam jumlah yang memadai dengan proses yang mudah dalam waktu relatif singkat. Sedangkan yang dihasilkan seperti pedet atau sapi bakalan adalah bonus yang dapat diperoleh setiap tahunnya. Strategi pengembangan pola semacam ini seperti pola kandang kelompok telah dikembangkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan NTB. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya meningkatkan keterampilan sumberdaya manusia, agar mereka mampu menangani usahanya secara professional.

(6)

Ciri utama integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tamanannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak (Ismail dan Djajanegara, 2004). Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacangan, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3% dari total rumput yang diberikan (Kariyasa, 2003). Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatkan ketahanan pakan khususnya pada musim kering juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak.

Pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk organik disamping mampu menghemat penggunaan pupuk anorganik, juga sekaligus mampu memperbaiki struktur dan ketersediaan unsur hara tanah. Dampak ini terlihat dengan meningkatnya produktivitas lahan. Hasil kajian Adnyana, et.al (2003) menunjukkan bahwa model CLS yang dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik 25-33% dan meningkatkan produktivitas padi 20-29%. Hasil temuan serupa oleh Bulu, et.al (2004) di Provinsi NTB bahwa model CLS yang diterapkan petani mampu meningkatkan pendapatan sekitar 8,4%. Hasil temuan tersebut diperkuat oleh model CLS yang diterapkan petani di Bali, terbukti juga mampu menghemat pengeluaran biaya pupuk sebesar 25,2% dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 41,4%

(7)

(Sudaratmaja, et.al, 2004). Demikian juga hasil kajian Suwono, et.al (2004) di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa semua petani mengatakan penggunaan pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik, walaupun pada prakteknya petani tidak mengurangi penggunaan pupuk anorganik secara signifikan.

Konsep integrasi ternak dalam usaha tani tanaman, baik itu tanaman perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Bahkan keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus dengan produksi ternaknya. Pengelolaan ternak dalam hal ini dilaksanakan oleh keluarga petani yang dalam waktu bersamaan melaksanakan produksi tanaman. Oleh karena itu, pasokan untuk menunjang pengelolaan ternak sebagian besar diharapkan dapat diperoleh dari sisa hasil pertanian tanaman, meskipun sebagian kecil pasokan harus diperoleh dari luar. Sebagai konsekwensinya adalah keluarga petani tanaman yang akan mengusaha tanikan integrasi ternak dalam tanamannya, harus menguasai teknik pemeliharaan dan pemanfaatan ternak secara baik, disamping pengetahuan praktek usaha tani tanamannya, terutama pengetahuan dalam mengintegrasikan berbagai manfaat ternak pada tanaman dan sebaliknya (Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, 2010).

Sejalan dengan konsep terebut, program integrasi ternak dalam usaha tani tanaman ini diharapkan dapat:

a) Meningkatkan produktifitas usaha tani tanaman perkebunan, tanaman pangan atau hortikultura melalui pemanfaatan ternak.

(8)

b) Meningkatkan pemanfaatan sisa hasil pertanian tanaman perkebunan, tanaman pangan atau hortikultura untuk pakan ternak.

c) Meningkatkan pemanfaatan tenaga ternak dan pupuk kandang dalam usaha tani tanaman.

d) Mengembalikan kesuburan tanah melalui pemanfaatan pupuk kandang.

e) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis keluarga petani dalam pengelolaan secara optimum ternak yang diintegrasikan dalam usaha tani tanaman.

f) Meningkatkan pendapatan keluarga petani pelaksana program integrasi ternak dalam usaha tani tanaman.

2.2. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)

Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri dalam sistem petanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui. Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan. Pertanian moderen juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya

(9)

sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.

Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut: kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya adalah menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).

Pembangunan sektor pertanian tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara lama, harus diubah sejalan dengan makin besarnya tantangan dan perubahan lingkungan strategis, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Perubahan

(10)

lingkungan eksternal, antara lain globalisasi teknologi dan informasi, liberalisasi perdagangan, dan transformasi budaya antarbangsa sudah tidak terhindarkan. Demikian juga perubahan lingkungan internal, yaitu demokratisasi, desentralisasi, otonomi daerah, dan gejala disintegrasi (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian harus berarti pembaharuan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan.

Krisnamurthi (2006) mengatakan bahwa pertanian abad ke 21 bagi negara--negara yang sedang berkembang harus mampu menciptakan sistem pertanian yang memiliki produktivitas tinggi tetapi dengan low cost input. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah akan meningkat investasi dibidang usaha pertanian yang serasi dengan keadaan sosial ekonomi daerah, kesesuaian lahan dan potensi pasar. Untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya dua tujuan harus tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di lain pihak yang memerlukan langkah terobosan di bidang penelitian. Tantangannya adalah menemukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumber daya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal (Tiharso, 1992).

Dalam pengembangan metode penentuan model sistem usaha tani padi–ternak (SIPT), perlu memperhatikan kemampuan sumberdaya lokal yang didukung oleh

(11)

peningkatan dan penyebaran informasi inovasi teknologi. Menurut Pranadji (2000), bahwa sebagian besar usaha tani apapun lemah dalam modal dan penguasaan teknologi, terlihat salah satu sumber ketidak efisienan sistem usaha tani tanaman-ternak petani saat ini adalah kelembagaan usaha tani yang relatif lemah. Di bidang peternakan penyebaran informasi teknologi dari berbagai sumber sangat kurang, sehingga pengetahuan petani mengenai manajemen pemeliharaan ternak sapi relatif rendah (Zaenuri, et.al, 2003).

Penerapan sistem pertanian berkelanjutan dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong berkembangnya ekonomi rakyat. Pada dasarnya para petani sangat siap menerima sistem pertanian berkelanjutan karena input yang digunakan telah tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Bahkan sebelum mengenal intensifikasi pertanian dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, para petani telah menerapkan sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, misalnya dengan menggunakan pupuk kandang. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki, para petani perlu diberdayakan sehingga memiliki pengetahuan yang meningkat tentang pertanian berkelanjutan, serta memahami peluang dan tuntutan pasar yang menghendaki produk berkualitas dan ramah lingkungan. Dengan demikian para petani dapat menghasilkan produk pertanian bernilai ekonomis tinggi sekaligus dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Jauhari, 2002).

Menurut Reijntjes (1999) pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan

(12)

melestarikan sumber daya alam. Selanjutnya dikatakannya, tujuan rumah tangga petani dalam mengelola usaha tani adalah; produktivitas, keamanan, kesinambungan dan identitas. Hal yang sama di katakan oleh Conway (1987) dalam Salikin (2003), perlu penataan kembali berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda yang berwawasan ekosistem walaupun wawasan agro-ekosistem merupakan pengelolaan yang kompleks dan rumit akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat pokok. Empat sifat pokok tersebut adalah kemerataan (eguitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan(stability)dan produktivitas(productivity).

Secara sederhana, kemerataan merupakan penilaian tentang sejauhmana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakat. Keberlanjutan dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun mendapat gangguan. Kestabilan merupakan ukuran tentang sejauhmana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Produktivitas adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik ekonominya.

Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan empat macam model sistem, yaitu sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, sistem pertanian masukan luar rendah, dan sistem pengendalian hama terpadu sedangkan beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha mewujudkan pertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu adalah dengan cara: sistem tanam ganda, komplementari hewan ternak dan tumbuhan, usaha terpadu peternakan dan perkebunan, agroforestry, pemeliharaan dan

(13)

peningkatan sumberdaya genetik dan pengelolaan hama terpadu yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan oleh Departeman Pertanian adalah pola usaha tani terpadu dalam bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT), Agropolitan atau berbagai sistem keterpaduan dengan sub sektor lain. Pelaksanaan program ini merupakan upaya terobosan yang dikembangkan untuk mengatasi kendala kecendrungan menurunnya tingkat produktivitas beberapa produk pertanian antara lain pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura sebagai akibat dari degradasi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pemakaian pupuk bahan kimia yang berlebihan. Departemen Pertanian mencoba memformulasikan dengan memberi paket bantuan ternak kepada kelompok petani dengan harapan agar petani disamping memperoleh kotoran untuk pupuk tanaman juga para petani memperoleh keuntungan dari hasil penambahan berat badan ternak sapi yang dipeliharanya sehingga diharapkan para petani tersebut mendapat penambahan pendapatan (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003).

Dalam rangka memasuki revolusi hijau kedua kita belajar dari kenyataan bahwa tehnologi maju dan mahal akan memproduksi barang yang mahal pula termasuk makanan. Untuk mengatasi kondisi demikian, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling nelengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, maka bukan

(14)

hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah (Tiharso, 1992).

2.3. Pertanian Berkelanjutan sebagai Konsep Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan

Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (UN World on Environment and Development, WCED), di mana dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Adapun defenisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah: pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Conrad, 1999). Pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi serta kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat (society), di mana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan

(15)

umum di mana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce, 1992 dalam Reijntjes, 1999).

Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumberdaya di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan ekonomis dari alokasi sumberdaya (alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan ekstraksi sumberdaya tersebut. Sumberdaya diasumsikan tidak terbatas kerena kemajuan tehnologi dan preferensi individual dipandang sebagai "given" dan merupakan faktor dominan. Dengan demikian, dalam kerangka ekonomi, pembangunan berkelanjutan merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada kosep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimasi (Daly, 1991).

Seringkali efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki objek yang sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi (intertemporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang sama, efisiensi tidak menjamin sustainability. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan berkelanjutan memenuhi pada kriteria efisiensi ekonomi dan sustainablility (Prihatin, 2001).

Sistem pertanian berkelanjutan berkaitan erat dengan pembangunan pedesaan (sustainable agriculture and rural development) karena selama aktivitas produksi dan konsumsi pertanian terbesar berada di daerah pedesaan. Sebagai negara agraris, dapat dikatakan 65% lebih penduduk Indonesia mencari penghidupan dari sektor pertanian

(16)

yang tersebar di pelosok-pelosok pedesaan. Oleh karena itu, segala program pembangunan di pedesaan seharusnya tidak terlepas dari upaya-upaya mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang mampu memenuhi kebutuhan bahan pangan dan menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat untuk meraih taraf sosial ekonomi yang lebih baik (Salikin, 2003).

Menurut Pretty (1994) dalam Salikin (2003), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan (PBPP), yakni sebagai suatu interaksi usaha tani spesifik dengan orientasi pendekatan sistem yang melibatkan interkasi aspek ekologi, sosial dan lingkungan di daerah pedesaan. Program PBPP bermuara pada upaya menegakkan eksistensi dan memenuhi harkat manusia yang bermanfaat bagi sesama maupun bagi diri sendiri.

Secara konsepsional, pendekatan kebijakan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Munangshe dan Cruz (1995) dalam Salikin (2003). pendekatan ekonomi berkelanjutan berbasis pada konsep maksimalisasi aliran pendapatan antar generasi, dengan cara merawat dan menjaga cadangan sumberdaya alam atau modal yang mampu menghasilkan suatu keuntungan. Upaya optimalisasi dan efisiensi penggunaan sumber daya yang langka menjadi keharusan dalam menghadapi berbagai isu ketidakpastian, bencana alam dan sebagainya. Konsep sosial berkelanjutan berorentasi pada manusia dan hubungan pelestarian stabilitas sosial dan sistem budaya, termasuk upaya mereduksi berbagai konflik sosial yang merusak. Dalam perspektif sosial, perhatian utama ditujukan pada pemerataan (equity) atau

(17)

keadilan, pelestarian keanekaragaman budaya dan kekayaan budaya lintas wilayah, serta pemanfaatan praktek-praktek pengetahuan lokal yang berorentasi jangka panjang dan berkelanjutan. Tinjauan aspek lingkungan berkelanjutan terfokus pada upaya menjaga stabilitas sistem biologis dan lingkungan fisik, dengan bagian utama menjaga kelangsungan hidup masing-masing subsistem menuju stabilitas yang dinamis dan menyeluruh pada ekosistem.

Selanjutnya menurut Salikin (2003) ketiga aspek ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut memiliki peranan dan perhatian yang sama pentingnya. Aspek ekonomi dan sosial memiliki keterkaitan sehingga pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan secara merata pada semua lapisan sosial, sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial ekonomi antargenerasi, intergenerasi atau antarlapisan strata sosial. Keterkaitan aspek ekonomi dan lingkungan dimaksudkan agar aktivitas ekonomi baik produksi, distribusi dan konsumsi tidak membawa dampak ekternalitas negatif pada lingkungan dan sedapat mungkin menginternalisasi aspek lingkungan ke dalam tindakan dan keputusan ekonomi. Akhirnya, keterkaitan sosial dan lingkungan bertujuan memperbaiki kualitas hidup antar generasi secara merata dan partisipasi masyarakat menyeluruh pada lingkungan sosial masing-masing.

Herdaker (1997) dalam Salikin (2003) mengatakan, adapun tujuan kebijakan pembangunan berkelanjutan dan pembangunan pedesaan bermuara pada empat sasaran, yaitu pertumbuhan (growth), pemerataan (eguity), efisiensi (efficiency) dan berkelanjutan (sustainability). Pertumbuhan produksi pertanian sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, sejalan dengan laju pertambahan jumlah

(18)

penduduk atau perubahan pendapatan serta kelangsungan mata pencaharian para petani di pedesaan. Pertumbuhan produksi tanaman, ternak dan ikan paling tidak harus dapat mengimbangi laju pertumbuhan jumlah penduduk. Pemerataan sangat diperlukan agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Efisiensi bertujuan untuk menghemat sumber daya dan berlaku adil untuk kepentingan bersama. Berkelanjutan bertujuan agar ketahanan pangan bersifat dinamis, pemanfaatan sumber daya dilakukan secara bertanggung jawab, manajemen lingkungan yang baik, serta sistem produksi responsif terhadap kejutan dan tantangan. Masing-masing tujuan tersebut saling bergantung, tidak berdiri sendiri-sendiri. Pertumbuhan yang tinggi harus disertai dengan pemerataan, efisiensi pemanfaatan sumber daya secara ketat, serta proses berkelanjutan yang mapan.

2.4. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk

(19)

kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah

ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau

programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional

(20)

(tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan

terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep

wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan

(21)

administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1. Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi

(22)

sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

Dalam penelitian ini, yang menjadi indikator pengembangan wilayah dihubungkan dengan pembangunan pertanian adalah pertumbuhan produksi padi sawah untuk mendukung ketahanan pangan, rasio daya serap tenaga kerja pada pertanian SIPT.

2.5. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah

Menuru M.T. Zen dalam Alkadri, dkk (2001), pada dasarnya pembangunan atau pengembangan dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan kualitas hidup orang lain. Pengembangan wilayah sebenarnya berbicara tentang memberdayakan masyarakat terutama dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan setempat dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai yaitu teknologi.

Dengan demikian pengembangan wilayah menurut M.T. Zen adalah upaya untuk mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tamping lingkungan itu sendiri (Gambar 2.1). Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat, yaitu memberdayakan suatu masyarakat yang berada dalam suatu daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam

(23)

yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Lingkungan Lingkungan

Hidup Hidup

Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan Wilayah, SDA, SDM dan Teknologi

Dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga komponen yang perlu diperhatikan, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi atau sering disebut dengan tiga pilar pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah merupakan interaksi antara tiga pilar pengembangan wilayah.

Salah satu pilar yang cukup penting adalah sumberdaya manusia, karena dengan kemampuan yang cukup, akan mampu menggerakkan seluruh sumberdaya

Teknologi Sumberdaya Alam Pengembangan Wilayah Lingkungan Hidup Sumberdaya Manusia

(24)

wilayah yang ada. Di samping itu, sumber daya manusia memegang peran sentral dalam proses pembangunan. Pertama sebagai objek pembangunan, di mana sumber daya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, sebagai subjek pembangunan, di mana sumberdaya manusia berperan sebagai pelaku pembangunan. Dengan demikian pembangunan suatu wilayah sesungguhnya adalah pembangunan manusia (human development) yaitu pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people center development), di mana manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan (Nachrowi dan Suhandojo dalam Alkadri, dkk, 2001).

2.6. Penelitian Sebelumnya

Kariyasa (2005) melakukan penelitian: Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani, di tiga Provinsi (Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha tani padi yang dikelola tanpa dipadukan dengan ternak sapi mampu berproduksi sekitar 4,4-5,7 ton/ha, sedangkan usaha tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak sapi potong mampu berproduksi antara 4,7-6,2 ton/ha. Artinya usaha tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak atau menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9-8,8% lebih tinggi dibandingkan usaha tani pada yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan pupuk kandang. Dari segi biaya, usaha tani yang dikelola secara terpadu dengan ternak sapi hanya membutuhkan biaya pupuk sekitar Rp. 500 ribu – Rp. 600 ribu/ha, sedangkan yang dikelola secara parsial membutuhkan biaya pupuk berkisar Rp. 621

(25)

ribu – Rp. 733 ribu/ha. Dengan kata lain penggunaan pupuk kandang pada usaha tani yang dikelola secara terpadu mampu menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14 – 19,48% atau sekitar 8,8% terhadap total biaya. Usaha ternak yang dikelola secara terpadu dengan usaha tani padi yaitu dengan memanfaatkan jeraminya sebagai pakan hanya membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp. 410 ribu – Rp. 889 ribu per ekor, sedangkan usaha ternak sapi yang dikelola secara parsial (tidak menggunakan jerami) membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp. 735 ribu – Rp. 1.377 ribu per ekor. Dengan kata lain usaha ternak yang memanfaatkan limbah pertanian mampu menbghemat biaya tenaga kerja berkisar 35,44 – 44,22%, atau berkisar 5,26 – 6,38% terhadap total biaya usaha ternak.

Bangun (2005) melakukan penelitian dengan judul: Analisis Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Karo (Studi Kasus di Kecamatan Simpang Empat). Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani adalah luas lahan, pupuk kandang, pupuk anorganik, pestisida, ternak serta tenaga kerja. Pendapatan petani yang paling tinggi adalah pertanian terpadu jeruk dengan sapi potong dan diikuti pertanian terpadu kentang dengan sapi potong, sedangkan pendapatan paling rendah adalah pertanian terpadu jagung dengan sapi potong. Secara keseluruh petani yang melaksanakan pertanian terpadu tanaman dan ternak menyatakan sistem pertanian terpadu tanaman dan ternak memenuhi indikator produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuibilitas sebagai model pertanian berkelanjutan, dengan tingkat hubungan yang berbeda untuk setiap jenis komoditi pertanian dengan ternak.

(26)

Kapa (2006) melakukan penelitian dengan judul: Produktivitas Usaha tani Dalam Sistem Pertanian Terpadu: Studi Kasus di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas usaha tani baik padi, jagung, palawija dan ternak masih berada dibawah potensi produksi. Persoalan pokok yang dihadapi saat ini rendahnya produtivitas tanaman dan ternak di daerah Amarasi yang disebabkan oleh adanya beberapa kendala baik itu teknis, biologi, manajemen maupun sosial ekonomi. Namun demikian ada potensi yang dapat dikembang untuk meningkatkan produktivitas usaha tani di Amarasi. Oleh karena itu perlu dipikirkan beberapa hal, yaitu di bidang tanaman pangan adalah adanya peningkatan hasil usaha tani melalui penyediaan benih yang berproduksi

tinggi, umur pendek, tahan kekeringan dan hama/penyakit. Di bidang peternakan

perhatian diarahkan pada kerjasama dalam pengkajian feeding strategy untuk mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim kemarau, pendirian breeding stock untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan mutu genetik sapi bali termasuk di dalamnya penggunaan indigenous genetic stocks serta aspek kesehatan ternak.

2.7. Kerangka Berpikir

Dalam rangka meningkatkan percepatan pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan memanfaatkan latar belakang tradisi dan pengalaman usaha tani di pedesaan, maka diperlukan suatu sistem pertanian yang mengkolaborasikan usaha secara terpadu tanaman dan ternak. Integrasi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, baik sebagai penghambat dan juga pendorong dalam percepatan

(27)

pengembangan Sistem Integrasi Padi Ternak di Kabupaten Serdang Bedagai.

Pendapatan petani sangat dipengaruhi oleh luas lahan, produksi dan biaya produksi, di samping itu juga dipengaruhi oleh karakteristik petani, pengetahuan dan skill sebagai petani. Keseimbangan program inilah yang akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga akan meningkatkan produksi pertanian yang terjaga secara efektif dan efisien dalam membangun perekonomian di pedesaan. Hubungan ini diperlihatkan dalam skema pada Gambar 1.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pola Usaha Tani

Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) Faktor Pendorong dan Penghambat Pembangunan Berkelanjutan Pendapatan Petani Pembangunan Ekonomi Lokal Pengembangan Wilayah

(28)

2.8. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani. 2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berdampak terhadap pengembangan wilayah

di Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Terdapat faktor penghambat dan pendorong dalam melaksanakan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Kabupaten Serdang Bedagai.

Gambar

Gambar 2.1.  Hubungan antara Pengembangan Wilayah, SDA, SDM dan  Teknologi
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pola Usaha Tani

Referensi

Dokumen terkait

Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis dengan judul “Analisis Komparasi Usaha Tani Pola Integrasi dan Non Integrasi Antara Tanaman Jeruk dan Ternak Sapi di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menejemen usaha pembibitan ternak sapi potong dalam sistem integrasi tanaman–ternak di kawasan pantai selatan Kabupaten

Penelitian survei pemanfaatan limbah tebu dan ternak dalam sistem integrasi tebu-ternak dan pemanfaatan limbah daun tebu untuk pakan ternak dapat dipergunakan sebagai model

Kendala pokok yang dihadapi dalam sistem integrasi tanaman dan ternak adalah sumberdaya lahan, jumlah ternak sapi dan modal. Hasil solusi optimal dengan model analisis LP pada

Kajian ini menekankan pada perilaku ekonomi rumahtangga petani yang tergabung dalam program Sistem Integrasi Tanaman- Ternak dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keputusan

Keuntungan-keuntungan dari sistem integrasi tanaman - ternak antara lain : (1) Dari tanaman perkebunan dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat

Judul Tesis : Analisis Komparasi Usaha Tani Pola Integrasi Dan Non Integrasi Antara Tanaman Jeruk Dan Ternak Sapi Di Kabupaten Karo.. Nama Mahasiswa :

Empat jenis ternak yang umumnya dimiliki oleh keluarga petani pekarangan yaitu ternak ayam buras, kambing, sapi dan babi. Ternak yang dintegrasikan dalam usaha tani