• Tidak ada hasil yang ditemukan

RechtsVinding Online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RechtsVinding Online"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PORNOGRAFI DIKRIMINALISASI: PANCASILA, HAK ASASI MANUSIA DAN

HUKUM PIDANA

Oleh:

Mar’ie Mahfudz Harahap*

Diterima : 28 Januari 2021, disetujui : 4 Februari 2020

Masyarakat Indonesia yang dikenal dengan masyarakat yang masih kuat pengaruh agama dan adat kebiasaan baru-baru ini diterpa skandal video pornografi seorang public figure yang meresahkan masyarakat. Hal tersebut juga mengundang perhatian dunia lewat pemberitaan The Sun, sebuah media ternama asal Inggris yang memberitakan dan mencap kerasnya hukum di Indonesia terkait kasus pornografi yang menyeret salah seorang public figure. Diberitakan bahwa dari kasus pornografi yang diduga tersebar secara tidak sengaja ini pelaku dalam video pornografi tersebut diancam pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun. The Sun juga menyebutkan undang-undang pornografi tersebut ditentang keras oleh pengacara hak asasi manusia dan aktivis hak perempuan, yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut sering mengkriminalisasi orang yang seharusnya dilindungi oleh Negara (thesun.co.uk Medan Senin, 14 Januari 2021).

Pemberitaan tersebut tentunya menimbulkan polemik khususnya bagi

orang-orang yang tidak mengenal substansi hukum dan kultur hukum di Indonesia. Untuk itu seyogianya perlu kiranya telaah dari sisi hukum dan hak asasi manusia (HAM) agar dapat memberikan pencerahan dan pemahaman terkait masalah-masalah pornografi di Indonesia baik dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Pendapat Bahwa Undang-Undang Pornografi Sering Mengkriminalisasi Orang Yang Seharusnya Dilindungi Oleh Negara, Sudah Tepatkah?

Pendapat di atas yang biasanya dilontarkan dengan pola pikir dan cara pandang yang sedikit berbeda dengan Pancasila yang dimiliki Indonesia sebagai cita hukum (rechts idee), juga biasanya diungkapkan oleh pola pikir/cara pandang yang menganut paham Hak Asasi Manusia (HAM) yang absolut, dan terakhir biasanya didasarkan karena tidak mengenal substansi hukum dan kultur hukum di Indonesia. Singkatnya ada tiga hal yang menimbulkan argumentasi demikian dan ada tiga hal pula yang dapat menjadi

(2)

jawaban atas pola pikir dan cara pandang yang demikian, yakni:

1. Pancasila Sebagai Cita Hukum (Recht

Idee) Dalam Pembentukan UU No.

44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pancasila sebagai falsafah negara adalah pedoman dan acuan baik bagi pemerintah maupun masyarakat dalam setiap kegiatan baik yang bersifat individu maupun kolektif. Setiap perilaku warga negara dan pemerintah haruslah menjadikan pancasila sebagai falsafahnya, sehingga pancasila juga disebut sebagai cita hukum (recht idee). Cita hukum (recht idee)

menurut Rudolf Stammler adalah konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Cita hukum berfungsi menjadi pemandu untuk mecapai apa yang dicita-citakan, sehingga menurut Roeslan Saleh cita hukum pada hakikatnya, hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan

masyarakat (Bahder Johan nasution: 2017, 81)

Masyarakat Indonesia merupakan salah satu masyarakat di dunia yang masih mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika dan moral. Konstitusi Indonesia mencerminkan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara menjadikan agama, moral, adab, persatuan, demokrasi dan keadilan sebagai ruh dalam bernegara yang dapat dilihat dari Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai cita hukum (recht idee) menimbulkan konsekuensi mutlak dalam tatanan perundang-undangan bahwa setiap peraturan perundang-undangan di negara ini yang hendak terbentuk maupun yang sudah terbentuk/sudah ada tidak boleh bertentangan dan bertolak belakang dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya membawa dampak positif bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa dan negara, tetapi juga diikuti dampak/pengaruh negatif yang dapat menimbulkan kerusakan di dalam sendi-sendi negara dan

(3)

warganya sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara, dan kerusakan diakibatkan dampak negatif tersebut tidak sesuai dengan Pancasila sebagai cita hukum (recht idee).

Pornografi adalah satu dari banyaknya pengaruh negatif yang diakibatkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga banyak pengaruh buruk yang dapat timbul dalam masyarakat dilatar belakangi oleh hal-hal yang berbau pornogafi. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk membuat regulasi demi menjaga tetap utuhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila terutama yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai agama, etika dan moral yang sudah membudaya di dalam diri masyarakat Indonesia.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah Undang-Undang (UU) yang dibuat

untuk menyelamatkan kerusakan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh dampak buruk pornografi, serta pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.

Adanya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi secara regulasi bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan

pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

(4)

e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Berdasarkan dari tujuan dibentuknya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Dapat dilihat cita hukum (recht idee)

yang dimiliki oleh Pancasila berintikan:

a. Ketuhanan yang Maha Esa b. Penghomatan atas martabat

manusia

c. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara

d. Persamaan dan kelayakan e. Keadilan sosial

f. Moral dan budi pekerti yang luhur

g. Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik

Lebih lanjut Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada tiap-tiap peraturan

perundang-undangan (Bahder Johan Nasution: 2017, 85).

2. Hak Asasi Manusia (HAM) Yang

Dianut Indonesia

Mempertimbangkan Nilai Sosial Budaya

Setiap negara mempunyai hak untuk membuat interpretasi terhadap Hak Asasi Manusia yang bersifat universal itu sesuai dengan kedaulatan serta nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya. Hal ini diakui pula secara internasional dengan apa yang disebut konsep Relativisme Kultural. Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa Hak Asasi Manusia adalah bersifat universal dan mempunyai struktur sosial. Hal senada dikemukakan oleh Muladi bahwa sekalipun hak asasi manusia berlaku universal, indivisible, interdependent, and interrelated, namun di dalam pelaksanaannya harus tetap memperhatikan kondisi sosial budaya setiap negara. Ismail Saleh (mantan Menteri Kehakiman RI) menyatakan bahwa hak asasi manusia berlaku universal, tidak terbatas pada tempat dan waktu. Namun demikian penerapannya harus tetap disesuaikan dengan

(5)

kultur dari masing-masing negara. Selanjutnya Ismail Saleh menganggap mustahil bahwa seluruh bangsa di dunia memiliki satu pandangan yang sama untuk berbagai macam persoalan. Latar belakang budaya, konsep dasar yang dianut dan dipegang teguh tentu berbeda yang pada akhirnya berbeda pula dalam hal interpretasi dan rincian dalam pelaksanaan hak asasi manusia yang bersifat universal itu. Demikian juga pendapat Muladi bahwa hak asasi manusia yang bersifat universal dalam pelaksanaannya dapat dilakukan restriksi dan limitasi karena sesuai dan dimungkinkan oleh instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, dimana hal ini sekaligus memberikan gambaran tentang adanya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hak, tugas, dan kewajiban (right, duties, and responsibilities)(Arief Hidayat: 2006, 13-14).

Sifat universal dari hak asasi manusia dapat dilakukan restriksi dan limitasi bukanlah tanpa dasar, Pasal 29 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948 (Article 29 The Declaration of Human Rights 1948)

menyatakan dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan pembatasan terkait hak asasi manusia yakni dalam Pasal 28 J Ayat (2) yang berbunyi dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Untuk itu pembatasan hak asasi manusia yang bersifat universal

(6)

yang dilakukan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan sebagai upaya untuk penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, jangan sampai karena sifatnya yang universal, indivisible, interdependent, and interrelated, sehingga sewaktu-waktu dapat melanggar hak dan kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Disisi lain adanya relativisme kultural dimana penerapannya harus tetap disesuaikan dengan kultur dari masing-masing negara, dimana Indonesia memiliki kultur agama yang sangat kuat dan kental.

3. Kriminalisasi Pornografi Dalam Hukum Pidana

Ada beberapa pertimbangan pembentukan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi salah satunya bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Atas dasar hal tersebut maka undang-undang ini dibentuk untuk memberantas kegiatan-kegiatan pornografi yang

menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat.

UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak hanya menjerat penyedia jasa layanan pornografi (Pasal 5), namun juga menjerat setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi (Pasal 4 Ayat (1)), orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi, orang yang memperdengarkan,

mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi (Pasal 6), orang yang mendanai atau memfasilitasi (Pasal 7), orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Pasal 8), orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Pasal 9), orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang

(7)

bermuatan pornografi lainnya (Pasal 10), orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek pornografi (Pasal 11), dan orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi (Pasal 12).

Perbuatan pidana/tindak pidana (strafbaarfeit) di atas adalah hasil dari proses kriminalisasi (proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dihukum) yang dilakukan oleh perumus undang-undang yang dianggap sebagai suatu kebutuhan untuk negara dalam memberantas pornografi. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari kriteria yang ditetapkan dalam menentukan syarat untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan (feit) menjadi suatu perbuatan pidana/tindak pidana (strafbaarfeit), menurut Soedarto (1981:44), terdapat empat syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi, yaitu:

a. Tujuan hukum pidana

b. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki

c. Perbandingan antara sarana dan hasil

d. Kemampuan badan penegak hukum

Dari empat syarat kriminalisasi yang disebut di atas, syarat pertama mewakili ranah teoritis dan filosofis, yang melihat suatu kriminalisasi dari aspek tujuan dan fungsi hukum pidana. Dari aspek tujuan hukum pidana dalam masalah pornografi, yakni menciptakan ketertiban masyarakat (social defence) di dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dari fungsi hukum pidana, kriminalisasi yang dilakukan terhadap perbuatan pornografi guna melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz)

dengan sanksi yang bersifat tajam yang dimillikinya sehingga menimbulkan pengaruh pencegahan (preventif) terhadap pelanggaran-pelanggaran pornografi, hal tersebut juga sejalan dengan fungsi khusus hukum pidana yang dikemukakan oleh Soedarto. Ini menunjukkan bahwa perbuatan pornografi

(8)

bertentangan dengan tujuan dan fungsi hukum pidana yang melindungi masyarakat dan mensejahterakan masyarakat agar terbebas dari pengaruh buruk pornografi yang merusak tatanan nilai dan moral masyarakat Indonesia yang beragama dan beradab.

Syarat kedua berbicara mengenai penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya menurut Soedarto ialah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara materiil dan spirituil, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. Kerugian ini berarti ada korbannya. Namun, dapat pula korban itu tidak tampak, kerugiannya tidak segera dirasakan, misalnya pencemaran lingkungan, illegal logging, penggunaan narkotika, hubungan sex di luar perkawinan, dan terkhusus pornografi. Oleh sebab itu pemerintah melalui pembentuk undang-undang telah menimbang dalam menetapkan perbuatan apa saja yang tidak

dikehendaki di bidang pornografi yang patut untuk dipidana.

Syarat ketiga lebih mengedepankan aspek manfaat, yakni membandingkan antara sarana (biaya) dan hasil. Dalam menggunakan sarana hukum pidana tentu harus mempertimbangkan biaya (cost) yang dihabiskan dalam proses penegakan hukumnya, di sisi lain juga harus mempertimbangkan dan melihat secara cermat hasil yang diharapkan akan diperoleh dari proses hukum pidana.

Syarat keempat melihat kesanggupan badan/aparat penegak hukum. Suatu undang-undang yang sudah berlaku perlu adanya upaya yang dilakukan untuk menegakkan dan membuat aturan tersebut berjalan dan berfungi sebagaimana mestinya. Demi tegaknya suatu peraturan khususnya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, perlu dilihat kesanggupan aparat penegak hukumnya. Baik itu sarana prasarana yang digunakan penegak hukum, kemampuan sumber daya manusia (SDM), dan kuantitas atau jumlah aparat penegak hukum yang ada.

(9)

*Penulis adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Referensi

Dokumen terkait

To answer both research questions, the writer used library research as the method of this study. Psychological approach was applied in this study because it focuses on the

Persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah daerah Nunukan sebagai wilayah perbatasan adalah terkait dengan pendaftaran penduduk bagi WNI yang biasanya merupakan eks TKI

Dalam AECT, kode Etik dibedakan menjadi 3 kategori yaitu: Komite individu , seperti perlindungan hak untuk mendapatkan materi dan hasil untuk dilindungi keselamatan dan kesehatan

yang menarik untuk disoroti berkaitan dengan pemanfaatan keterampilan Abad 21 sebagai sarana implementasi sikap spiritual dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

10) pelaksanaan koordinasi pengawasan dan penyidikan dokumen pendaftaran penduduk dengan sub unit kerja lain di lingkungan Dinas. 2.3.4 Bidang Pencatatan Sipil dipimpin

Menu pemakaian bahan baku yang dimiliki divisi logistik digunakan untuk melihat pemakaian bahan baku yang telah dilakukan oleh pihak produksi beserta jumlah pemakaian

Ada terdapat beberapa masalah tentang asupan energi yang terjadi pada atlet remaja, seperti anak mengkonsumsi makanan yang mengandung energi dalam jumlah yang tidak dapat

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN MASALAH RESIKO JATUH DI UPTD GRIYA WERDHA SURABAYA.. Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Keperawatan ( Amd. Kep ) Pada Program Studi