• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembudayaan Kemampuan Aktualiasi Diri dan Toleransi dalam Pendidikan Seni di SMA melalui Self-peer Assessment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembudayaan Kemampuan Aktualiasi Diri dan Toleransi dalam Pendidikan Seni di SMA melalui Self-peer Assessment"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hasprita Restiamangastuti Boru Mangunsong 1*

Universitas Negeri Surabaya, Surabaya1* resti.mangunsong@gmail.com

Abstrak

Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia pada praktisnya sering dilupakan. Saat ini pendidikan di sekolah banyak berpusat pada penguasaan konten dan melupakan olah pikir, olah rasa dan olah karsa yang merupakan marwah seorang manusia yang utuh. Manusia Indonesia seringkali kurang memiliki sikap mental kemandirian, gotong royong dan pelayanan yang berakibat kurangnya kemampuan untuk mengaktualisasikan diri dan toleransi. Dirilisnya kebijakan “Merdeka Belajar” memberikan kesempatan pendidikan, terutama dalam pendidikan seni untuk berfokus kembali kepada falsafah pendidikan Indonesia yaitu memanusiakan manusia sesuai nilai dan kepribadian bangsa Indonesia dalam Pancasila. Self-peer assessment merupakan metode yang disarankan menulis untuk membudayakan sikap mental kemandirian, gotong royong, toleransi dan apresiatif kepada siswa dalam pembelajaran seni rupa. Metode ini memberi ruang kebebasan lebih untuk siswa mengaktualisasikan dirinya, menyampaikan gagasannya, bekerja sama dalam mengevaluasi diri dan meningkatkan diri, toleransi dalam perbedaan, mengapresiasi karya dan prestasi orang lain serta melatih siswa untuk menjadi pebelajar seumur hidup yang baik.

Katakunci: Pendidikan Seni, Self Assesment, Peer Assessment, Pnedidikan Indonesia

1. Pendahuluan

Menurut (Rohidi, 2016), Pendidikan

merupakan upaya melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan sebagai

pedoman atau strategi adaptif dan kreatif

dalam memanfaatkan sumber daya

lingkungan (alam-fisik dan sosial-budaya) yang senantiasa berubah sesuai kebutuhan. Tujuan akhir dari pendidikan adalah kepemilikan pengetahuan budaya (moral, cita-cita, akal pikiran) yang relevan dan signifikan bagi individu sebagai mahluk individu, sosial dan budaya. Menurut (Latif, 2020), pendidikan adalah akar kemajuan peradaban dan ukuran peradaban. Pendidikan merupakan proses pembudayaan. Pendidikan sebagai wahana pembudayaan harus mampu melahirkan insan berbudaya dan beradab, yang dapat mengembangkan kecerdasan pikiran (olah pikir), kepekaan rasa (olah rasa), kreativitas karsa (olah karsa), dan ketangkasan raga (olah raga). Hal ini sejalan dengan pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan sebagai proses memanusiakan

manusia secara utuh meliputi olah pikir, olah rasa dan olah karsa.

Pendidikan formal di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang sejak jaman pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda. Perjalanan pendidikan di Indonesia mulai pada puncaknya ketika muncul pemikir mengenai

pendidikan yaitu Raden Mas Soewardi

Soerjaningrat yang setelahnya dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Ia mengawinkan konsep pendidikan Barat dengan budaya lokal nusantara. Dilahirkannya Perguruan Taman Siswa pada tahun 1992 oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi titik terang untuk rakyat jelata bisa mengenyam pendidikan. Dalam pandangan Ki Hadjar, ia menekankan

menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan dan

kepribadian bangsa.

Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia mengandung nilai kebudayaan dan kepribadian bangsa. Konsep karakter Pancasila adalah semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih, memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun kenyataan pendidikan di Indonesia yang sudah berjalan bertahun-tahun lebih menitik beratkan pada konten pembelajaran, olah pikir daripada karsa dan rasa.

(2)

Siswa dituntut menghafal, mengetahui banyak hal, namun taraf berpikir yang digunakan adalah tingkat berpikir rendah yaitu mengetahui dan memahami. Sehingga banyak manusia Indonesia yang pandai tapi tidak memiliki karakter / kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai guru seni rupa di SMA, fenomena kurangnya internalisasi nilai-nilai luhur bangsa juga dirasakan, sehingga penulis mengambil topik ini untuk dikaji. Pendidikan di Indonesia saat ini perlu melakukan proyek transformasi mental-kultural. Jika menghadapi realitas saat ini, menurut (Latif, 2020), prioritas transformasi mental-kultural itu ada pada cita penguatan budaya kemandirian, mentalitas-budaya gotong royong dan mentalitas-mentalitas-budaya pelayanan. Kemandirian menjadi sangat penting karena bangsa yang tidak mandiri, maka tidak berdaulat atas dirinya sendiri, tidak mengenali dirinya dan tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dan hanya melakukan apa yang bangsa lain lakukan atau yang ingin bangsa lain lakukan. Hal ini menyuburkan mental pecundang dan totalitarian. Bangsa yang tidak mengenal nilai gotong royong dan melayani, tidak dapat saling menghargai dalam perbedaan, tidak mampu menghargai dan mengapresiasi karya dan prestasi orang lain. Nilai-nilai tersebut adalah hal yang mendesak saat ini terutama banyaknya gesekan di masyarakat karena perbedaan etnis dan agama.

Penanaman nilai-nilai luhur bangsa tersebut haruslah dibudayakan / dipelajari / melalui proses pendidikan. Hal ini selaras dengan (Rohidi, 2016), mengenai tiga aspek budaya yaitu: (1) kebudayaan dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya sebagai warisan / tradisi sosial, (2) kebudayaan dipelajari, bukan sesuatu yang diturunkan karena genetis, (3) kebudayaan dihayati dan dimiliki Bersama oleh warga masyarakat pemiliknya. Pendidikan berperan penting dalam pelestarian dan pengembangan budaya, nilai luhur bangsa, identitas dan kepribadian bangsa Indonesia.

Pada tahun 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim merilis kebijakan “Merdeka Belajar – Kampus Merdeka”. Berdasarkan pidato Nadiem pada

episode satu di kanal Youtube

“KEMENDIKBUD RI”, kemerdekaan dalam

kebijakan Merdeka Belajar ditekankan pada diberikannya lebih banyak pilihan kepada institusi pendidikan, kepala institusi pendidikan, guru dan siswa. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan adalah: (1) dikembalikannya USBN ke sekolah, (2) dihapusnya Ujian Nasional (UN) dan menjadi Asesmen kompetensi Minimum (AKM) yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu literasi dan numerasi serta survey karakter, (3) kebijakan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) menjadi satu lembar, (4) zonasi untuk pendaftaran sekolah negeri. Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus (MB-KM) Merdeka ini menawarkan learning culture yang memberi lebih banyak pilihan, yang memiliki sisi positif dan juga negatif. Namun penulis menekankan pada kebijakan ini sebagai sebuah kesempatan, menekankan pembahasan tentang “what’s next?” untuk para pendidik melakukan sesuatu, untuk melakukan pembudayaan nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa.

Pendidikan seni menurut (Rohidi, 2016), memberikan keseimbangan manusiawi bagi pendidikan logis-rasional, etika-moral, dengan menekankan pada pendidikan estetik-emosional. Disiplin seni yang “membebaskan” sejalan dengan kebijakan MB-KM. Sifat dari pendidikan seni yang menghargai imajinasi, kreasi, ide gagasan individu, serta pengembangan sikap apresiatif sejalan juga dengan karakter Pancasila yang saat ini menjadi prioritas yaitu mentalitas-budaya kemandirian, gotong royong dan pelayanan. Di SMA, pendidikan seni dilaksanakan dalam mata pelajaran “Seni Budaya yang berarti penanaman budaya-budaya bangsa sangat memungkinkan dilaksanakan dalam pendidikan seni di SMA. Namun pendidikan seni yang selama ini terjadi di Indonesia berfokus pada konten berkarya, kurang menginternalisasikan nilai-nilai luhur bangsa dan karakter kepribadian bangsa. Banyak guru seni yang berfokus mengajak siswa berkarya, pembelajaran berbasis proyek sehingga melupakan marwah dari pendidikan seni itu sendiri. Sikap apresiasi dan kemandirian belajar perlu dilakukan dalam pembelajaran seni di SMA. Pembelajaran apresiasi seni, selain berguna untuk evaluasi diri juga berguna untuk melatih gotong royong dan toleransi pada keberagaman. Kemandirian dalam belajar dapat mendorong siswa mengenali dirinya sendiri, berimajinasi, kreatif, dapat mengaktualisasikan dirinya.

Dalam artikel ini, penulis menawarkan solusi self-peer assessment dalam pembelajaran seni rupa di SMA untuk mengembangkan kemampuan

(3)

mengaktualisasikan diri, kemandirian, gotong royong, toleransi dan apresiasi. Metode self-peer assessment ini terinspirasi dari pembelajaran seni rupa di “New Mexico School for the Arts” (NMSA), Meksiko Baru, Amerika Serikat di kanal Youtube “Edutopia”. Dalam (Soehardjo, 2011), evaluasi dalam pendidikan seni dapat menjadi bagian dari pembelajaran seni dan

pembimbingan seni. Penulis melihat

pembelajaran yang dilakukan

mengembangkan kemandirian, mendorong siswa untuk mengaktualisasikan dirinya dan mengembangkan sikap apresiasi. Metode pembelajaran ini akan diulas dan disesuaikan dengan marwah pendidikan seni di Indonesia.

2. Metode

Metode yang digunakan penulis adalah deskriptif kualitatif dengan berpikir kritis dan kreatif. Penulis menggunakan beberapa teori yang mendukung yaitu teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara, teori pendidikan seni, evaluasi pendidikan seni, teori pendidikan karakter dan kebijakan Merdeka Belajar di tingkat sekolah. Teori-teori tersebut digunakan sebagai alat analisis fenomena pendidikan seni di Indonesia masa kini dan kebijakan Merdeka Belajar. Oleh karena itu penulis menggunakan kajian literatur utama dari buku karangan Yudi Latif yang berjudul “Pendidikan yang Berkebudayaan”, buku karangan Tjetjep Rohendi Rohidi yang berjudul “Pendidikan Seni Isu dan Paradigma”, buku karangan A.J. Soehardjo yang berjudul “Pendidikan Seni: Strategi Penataan dan Pelaksanaan Pembelajaran Seni”, juga dari beberapa artikel internasonal serta video pembelajaran seni internasional di Youtube. Penulis mengkaji dan menganalisis semua literatur tersebut dan mekorelasikan dengan fenomena serta permasalahan pendidikan yang ada. melalui kajian, berpikir kritis dan kreatif, penulis dapat menawarkan solusi.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah proses belajar

menjadi manusia seutuhnya dengan

memelajari dan mengembangkan kehidupan

(mikro-kosmos dan makro-kosmos)

sepanjang hidup (Latif, 2020). Dunia

pendidikan berfungsi sebagai wahana pembudayaan dan pembentukan kepribadian, tempat siswa belajar memanusia dan membudaya. Oleh karena itu fungsi guru adalah menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan siswa agar bertumbuh. Apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan sedniri adalah proses pembudayaan.

Sejak dahulu. Pendidikan di Indonesia diawali dengan pendidikan yang bersifat berasrama / pondok / pawiyatan dan berbasis agama seperti pesantren. Kemudian pendidikan di masa Kolonial Belanda di Hindia-Belanda yang diawali dengan misi penyebaran Agama Kristen terutama di Indonesia bagian timur. Dalam perkembangannya, pendidikan Barat buatan Belanda di Hindia-Belanda menjadi sekolah sekuler yang khusus untuk orang Eropa. Setelah Partai Kristen menang di Belanda, dikeluarkanlah kebijakan transmigrasi, imigradi dan edukasi termasuk di negara jajahan. Sejak itu muncul banyak sekolah di Hindia-Belanda yang bisa diakses untuk kalangan pribumi nusantara terutama kalangan priyayi atau pejabat daerah Jaw. Seklah ini tersedia daari sekolah dasar, menengah, sekolah kejuruan, hingga sekolah guru dan sekolah dokter.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu priyayi Jawa yang beruntung bisa mengenyam sekolah Barat sehingga pemikirannya pun berkembang. Perjalanan Ki Hadjar dewantara paling terlihat ketika ia mendirikan Taman Siswa pada tahun 1920. Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar ini mefasilitasi anak-anak rakyat jelata yang sulit mendapat tempat di sekolah pemerintah colonial, sehingga sekolah ini dijuluki pemerintah colonial sebagai “sekolah liar”. Ki Hadjar memadukan warisan cerlang budaya (local genius) dari sistem pendidikan tradisional dengan sistem pendidikan modern yang dikenalkan colonial

Belanda. Pendidikan barat dianggapnya

memunculkan skap individualisme, egoisme dan materialisme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, sehingga Ki Hadjar menerapkan “asas kekeluargaan” dalam pengajarannya. Dalam menjalankan “asas kekeluargaan” ini peran guru

adalah sebagai pemimpin keluarga yang

menerapkan semboyan “ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), tut wuri handayanai (di belakang memberi dorongan).

Menurut Ki Hadjar dalam (Latif, 2020), sistem pendidikan yang diwariskan Belanda tidak

(4)

mengandung cita-cita kebudayaan; terlalu menyuburkan pikiran tetapi mengerdilkan perasaan; membentuk manusia menjadi mesin belaka; kurang menumbuhkan harmoni antara individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan wahan pembudayaan dan pembentukan kepribadian, tempat siswa belajar memanusia dan membudaya, guru bertugas untuk menuntun mengeluarkan

potensi-potensi bawaan anak agar

bertumbuh. Sehingga dapat dikatakan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan menganut aliran konvergensi yaitu anak dilahrikan sudah memiliki sifat bawaan, yang baik perlu diperjelas, yang buruk perlu diburamkan. pendidikan menurut Ki Hadjar juga merupana pendidikan budi pekerti, pendidikan yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. pendidikan budi

pekerti adalah pendidikan yang

berkebudayaan. oleh karena itu pendidikan haruslah mencakup olah pikir, olah rasa, olah karsa dan olah raga.

Pendidikan di Indonesia seharusnya

membudayakan dan mengembangkan

karakter bersama dan identitas bangsa Indonesia. kepribadian dan karakter Bangsa Indonesia. konsep karakter Pancasila adalah mengembangkan hubungan welas asih dengan Yang Mahasuci yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan peradaban. Pendidikan di Indonesia selama ini masih kental mewarisi pendidikan Barat yaitu pendidikan yang hanya menyuburkan pikiran, sehingga semakin lama generasi Indonesia semakin kehilangan kepribadian

bangsanya. terdapat tiga prioritas

pembangunan karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila yaitu cita penguatan budaya kemandirian, mentalitas-budaya gotong royong dan mentalitas-mentalitas-budaya pelayanan. mentalitas-budaya kemandirian menjadi prioritas karena manusia Indonesia masih banyak yang tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkepribadian budaya Indonesia. kurangnya kemandirian ini berakibat pada kurangnya kemampuan mengaktulaisasikan diri, hanya

melakukan apa yang bangsa lain lakukan atau apa yang bangsa lain harapkan untuk dilakukan Indonesia. kurangnya mentalitas-budaya gotong royong dan pelayanan menyebabkan kurangnya kemampuan untuk saling menghargai dalam perbedaan, menghargai dan mengapresiasi karya dan prestasi orang lain serta toleransi. dengan berkembangnya kemampuan tersebut maka berkembang pulalah kreativitas dan kemampuan menjadi pebelajar seumur hidup yang baik.

3.2 Merdeka Belajar di Sekolah dan Reorientasinya

Kebijakan “Merdeka Belajar” dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan penjelasannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan,

Nadiem Makarim di kanal Youtube

“KEMENDIKBUD RI” (RI, 2019). Kemerdekaan pada kebijakan “Merdeka Belajar” dimaknai sebagai perluasan pilihan instituri pendidikan, kepala sekolah, guru dan siswa. Diharapkan sekolah dan guru lebih memiliki ruang untuk melakukan

kreativitas dalam pengajarannya sehingga

pengajaran di kelas berarti. Beberapa kebijakan “Merdeka Balajar” antara lain: (1) dikembalikannya USBN ke sekolah; (2) Dihapuskannya Ujian Nasional dan diganti dengan AKM / Asesmen Kompetensi Minimum; (3) RPP dipersingkat menjadi satu lembar yang memuat 3 komponen yaitu tujuan, kegiatan dan asesmen; (4) Zonasi.

USBN dikembalikan ke sekolah dengan penilaian yang lebih holistik, penilaian dapat dilakukan di luar soal bentuk pilihan ganda. Sehingga dikembalikannya USBN ke sekolah, memberi kemerdekaan bagi sekolah untuk menciptakan penilaian yang sifatnya holistik. AKM /Asesmen Kompetensi Minimum tidak digunakan sebagai standar kelulusan namun digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan dan sekolah. AKM ini terdiri dari penilaian literasi, yaitu kemampuan menganalisis dan memahami, penilaian numerasi. Keduanya merupakan kemampuan minimum untuk siswa belajar apapun. AKM ini menilai kemampuan siswa untuk belajar, bukan menilai penguasaan konten mata pelajaran. Selain itu ada survey karakter, yang dilakukan oleh siswa dan juga guru. Sedangkan kepala sekolah mengerjakan survey lingkungan belajar. Survey karakter yang dilakukan meliputi karakter gotong royong, toleransi, well-being, ada atau tidaknya bullying. AKM ini nanti dijadikan pedoman / tolak ukur untuk memberi feedback kepada sekolah untuk kebahagiaan siswa siswi dan sesuai dengan Pancasila. Pelaksanaan

(5)

AKM juga ada di tengah jenjang, untuk SMA dilaksanakan di kelas XI, untuk SMP di kelas VIII dan SD di kelas V. Tujuan dari AKM ini adalah untuk evaluasi dan perbaikan, sehingga ada waktu bagi sekolah untuk memperbaiki sehingga ketika lulus, siswa diharapkan memiliki kemampuan minimum tersebut. hasil dari AKM ini juga ttidak dapat digunakan untuk seleksi di tahap pendidikan selanjutnya. Untuk tahun 2021, pelaksanaan AKM hanya diikuti oleh perwakilan dri setiap sekolah yang dipilih secara random dari pemerintah. Jumlah peserta dari setiap sekolah adalah: (1) 30 siswa dari SDM/MI; (2) 45 siswa dari SMP/MTs; (3) 45 siswa dari SMA/SMK/MA.

Penyederhanaan konten RPP (Recana Pelaksanaan Pembelajaran) bertujuan agar guru tidak direpotkan dengan hal-hal administrative, sehingga esensi RPP adalah untuk bahan refleksi bagi seorang guru.

Kebijakan zonasi dikeluarkan untuk

mendorong pemerataan pendidikan ke semu amurid di Indonesia, untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik dan mengaokomodir perbedaan. Oleh karena itu terdapat ketentuan untuk penerimaan siswa di sekolah negeri yaitu jalur prestasi 30%, zonasi 50%, afirmasi 15% (dari siswa yang memegang kartu Indonesia Pintar), 5% dari perpindahan. Hal ini agar mendorong pemerataan pendidikan namun juga tetap mengakomodir siswa-siswa berpretasi untuk sekolah di sekolah yang dia inginkan meskipun jarak rumahnya jauh. Namun Nadiem mengatakan, zonasi bukan berarti pemerataan, karena pemerataan juga terkait dengan kuantitas dan kualitas guru, sehingga nantinya pemerintah akan terus melakukan evaluasi kuantitas guru. Pelaksanaan kebijakan “Merdeka Belajar” ini masih bersifat opsional / pilihan bagi sekolah-sekolah yang sudah merasa mampu.

Kebijakan “Merdeka Belajar” ini seperti kebijakan pemerintah pada umumnya, menuai pro dan kontra. Penulis melihat kebijakan ini di sekolah memiliki sisi positif dalam memperluas pilihan, namun di sisi lain karakter kebangsaan belum diperkuat dan juga memiliki beberapa kekurangan lainnya. Dikembalikannya USBN pada otonomi sekolah, dengan penilaian yang tidak harus berupa pilihan ganda, memberi peluang bagi

kreativitas guru dan siswa. Guru dapat memberikan USBN tidak hanya terbatas pada soal, namun kepada proyek yang menggunakan pemikiran dan kemampuan pemecahan masalah yang lebih nyata. Siswa juga tidak perlu dibebankan dengan menghafal banyak konten mata pelajaraan kemudian menjawabnya dalam waktu sekitar 90-120 menit dengan suasana yang tegang. Sehingga USBN bisa menjadi bagian dari pembelajaran siswa yang utuh, bukan hanya penguasaan konten. Digantinya Ujian Nasional dengan AKM, yang memiliki konsep menilai kemampuan minimum siswa untuk dapat sukses dan survey karakter sejalan dengan pendidikan yang tidak berorientasi pada olah pikir semata, dan mendekatkan pendidikan di sekolah dengan kehidupan nyata.

Beberapa kebijkan “Merdeka Belajar” di sekolah terlihat berusaha mengembalikan marwah pendidikan pada proses memanusiakan manusia secara utuh sehingga dapat pula dikatakan mendukung pendidikan yang humanistik. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran “konvergen” Ki Hadjar mengenai pendidikan, bahwa semua anak memiliki sifat bawaan dan masing-masing individu memiliki keunikan. Diberinya otonomi lebih banyak kepada sekolah, mendukung keberagaman dan perkembangan budaya lokal sekolah maupun daerah sehingga dapat menumbuhkan kemampuan apresiasi dan empati antarbudaya. Hal ini sejalan dengan pendapat (Rohidi, 2016), bahwa otonomi daerah (dan perguruan tinggi serta sekolah) merupakan jawaban yang relevan dan signifikan untuk menghadapi masalah pembangunan yang dipolakan dari atas, penyeragaman, dan pemusatan kekuasaan.

Namun kebijakan “Merdeka Belajar” masih memeliki beberapa poin kekurangan seperti kurang matangnya kebijakan hingga ke tataran teknis, kesiapan SDM yang berakibat kepada tidak meratanya kualitas pendidikan, juga kurang

diperhatikannya karakter kebangsaan dan

kebudayaan. Masih belum jelas bagi praktisi pendidikan terutama kurangnya kemampuan pendidik dan sekolah untuk memenuhi harapan kebijakan “Merdeka Belajar”. Penerapan kebijakan “Merdeka Belajar” yang opsional akan mendorong kesenjangan kualitas pada sekolah. Sekolah yang siap melaksanakan akan mampu meramu kebijakan “Merdeka Belajar” untuk dapat diadaptasikan dan diterapkan di sekolahnya. Namun bagi sekolah yang belum siap akan memilih pada kebijakan lama sehingga memiliki atmosfer belajar yang berbeda hingga kualitas yang berbeda. Selain itu,

(6)

berdasarkan edaran lembar tanya jawab dari Kemendikbud RI (Kebudayaan, 2020), AKM yang menjadi penilaian nasional, hanya

menyangkut literasi membaca dan

matematika yang dianggap sebagai

kemampuan minimum yang diperlukan siswa untuk belajar apa saja. Sedangkan literasi

kebangsaan dan kebudayaan belum

dimasukan pada AKM, sehingga dapat

dikatakan literasi kebangsaan dan

kebudayaan belum dianggap sebagai hal minimal yang dimiliki siswa Indonesia untuk belajar bidang lainnya. Hal ini dapat mendorong siswa-siswi Indonesia tetap tidak mengenal karakter, kepribadian bangsanya sehingga survey karakter akan kurang maksimal. Dalam konteks tema yang diangkat penulis, kebijakan “Merdeka

Belajar” ini belum sepenuhnya

membudayakan kemampuan aktualisasi diri dan toleransi. Penulis beranggapan bahwa untuk belajar, seseorang perlu mengenal dirinya, kepribadian bangsanya agar tidak mudah terjerembap dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang mengglobal. Namun keadaan ini bukan berarti pendidik tidak dapat mengembangkan literasi lainnya selain

membaca dan numerasi. Kebijakan

“Merdeka Belajar” ini perlu diresponi oleh sekolah dan pendidik untuk membuat pilihan menanamkan karakter, kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Berdasarkan (Latif, 2020), prioritas pembangunan karakter Pancasila saaat ini adalah budaya kemandirian, mentalitas-budaya gotong royong dan pelayanan. Ketiganya dapat mendorong kemampuan aktualisasi diri dan toleransi yang sangat dibutuhkan Indonesia.

3.3 Pendidikan Seni

Menurut (Rohidi, 2016), pendidikan

seni berfungsi sebagai penyeimbang

pendidikan yang berfokus pada olah pikir. Pendidikan seni juga mendukung pendidikan yang humanistik. Manusia tidak hanya berisi pikiran, namun juga rasa, estetika, etika dan karsa (mencipta), sehingga pendidikan seni juga berfungsi sebagai pemuliaan nilai kemanusiaan.

Pemuliaan nilai kemanusiaan dalam pendidikan seni karena sifat dari seni sendiri yang dibangun oleh kecerdasan intuisi dan pengalaman inderawi sehingga dikenal

memiliki kebagusan subyektif. Menurut

(Soehardjo, 2011), kegiatan seni melibatkan kegiatan penciptaan dan kegiatan apresiasi seni untuk penikmat. Dalam setiap proses berkesenian melibatkan kegiatan penginderaan, pembayangan / pengimajinasian, pengenalan media dan pengolahan media. Oleh karena sifat seni tadi, terdapat tiga hal yang tidak dapat hilang dari pendidikan seni yaitu: (1) seni merupakan pengetahuan perasaan indah; (2) seni sebagai bagian dari pendidikan khususnya di jenjang dasar dan menengah umum, keberadaannya tidak dimaksudkan bagi peserta didik untuk profesi seni, namun sebagai sarana pendidikan; (3) seni debagai kegiatan yang dilakukan pendidik, pebelajar maupun seniman selalu mengalami

perubahan sesuai lingkungannya. Untuk

memaksimalkan ketiga hal tersebut guru-guru seni perlu bekerjasama dengan seniman, sehingga seniman juga turut memiliki peran dalam pendidikan seni. Dari ketiga hal dalam pendidikan seni yang tidak dapat berubah tersebut, dimensi perasaan, intuisi yang sifatnya personal menjadi dominan sehingga pendidikan seni kaya kan olah rasa. Seni sebagai kegiatan juga mengajarkan olah karsa siswa.

Pelaksanaan pendidikan seni sangat

berkorelasi dengan kebudayaan terutama dalam SMA, mata pelajarannya berbunti “Seni Budaya”. Pendidikan seharusnya senantiasa berkebudayaan, tetap berpijak pada budaya lokal dan kepribadian bangsa, dalam hal ini peran pendidikan seni di Indonesia menjadi sangat penting. Pengalihan budaya haruslah melalui proses pembudayaan atau proses pendidikan. Pendidikan seni yang berkebudayaan perlu memiliki pendekatan: (1)

menggunakan pendekatan kebudayaan; (2)

apresiasi sosial-budaya terhadap kenyataan yang beragam; (3) mengembangkan keseluruhan potensi siswa dengan lebih mengarah pada berkembangnya kebebasan berekspresi, kreativitas, kritis; (4) perlu dilakukan sedini mungkin. Masalah intleransi, disintegrasi masyarakat karena perbedaan identitas perlu disikapi oleh pendidikan terutama pendidikan seni dengan berperan sebgai pendidikan yang apresiatif terhadap keragaman kebudayaan yang dimiliki bangsa.

3.4 Self-Peer Assessment dalam Pendidikan Seni Rupa untuk Peningkatan Kemampuan Aktualisasi Diri dan Toleransi

Setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki disiplinnya masing-masing. Namun disiplin seni adalah disiplin yang “membebaskan”, sehingga hal ini sejalan juga dengan kebijakan “Merdeka

(7)

Belajar”. Dalam perspektif manajemen dijelaskan bahwa keberhasilan seseorang lazimnya disebabkan oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Sikap berkaitan erat dengan karakter dan terefleksikan dalam penampilan kepribadian seseorang secara menyeluruh. Dalam konteks kepribadian Indonesia, hal ini dapat dilihat dalam kebudayaan Indonesia yang terkristalisasi dalam 5 sila Pancasila. Pendidikan perlu melakukan orientasi nilai-nilai budaya yang dapat menunjukan karakter kepribadian maupun karakter bangsa. Pendidikan seni di SMA yang memiliki tajuk mata pelajaran Seni Budaya memiliki peran langsung dalam pembudayaan nilai budaya dan karakter bangsa Indonesia. Dalam (Latif, 2020), prioritas pembangunan karakter Pancasila adalah mentalitas-budaya kemandirian, gotong royong dan pelayanan. Kemandirian

melahirkan kemampuan untuk

mengaktualisasikan dirinya sedangkan gotong royong dan pelayanan melahirkan kemampuan toleransi dalam perbedaan. Banyak cara untuk membudayakan

karakter-karakter tersebut, namun penulis

menekankan melalui cara peer-self

assessment. Kegiatan ini mencakup kegiatan penciptaan juga apresiasi.

Jefferson dalam (Soehardjo, 2011) menyatukan kegiatan evaluasi dalam pembelajaran seni, antara evaluasi bagian dari pembimbingan seni dan evaluasi sebagai komponen dari sistem pembelajaran. Evaluasi tentu tidak terlepas dari proses penilaian yang bertujuan untuk mengethaui tingkat keberhasilan proses pembelajaran dan feedback. Beberapa pakar tidak setuju dengan hasil belajar seni yang menggunakan penilaian penjenjangan kuantitas seperti nilai berupa angka dan huruf karena tidak sesuai dengan hasil belajar seni yang berupa kualitas. Beberapa sekolah di Amerika, salah satunya “New Mexico School for the Arts” / NMSA menggunakan Teknik penilaian bukan berupa simbol angka atau huruf tapi berupa deskripsi yang menggambarkan jenjang kualitas seperti : “proses kerja” berkesenian baik, namun “hasil akhir” berkesenian kurang. Self-peer assessment dalam artikel ini mengacu pada penilaian jenjang kualitas, tidak berfungsi untuk

grading dan masuk dalam proses

pembelajaran serta pembimbingan dalam kelas. Metode yang diuraikan penulis diadaptasi dari video pembelajaran NMSA, sekolah seni di Meksiko Baru, Amerika Serikat, pada pelajaran seni rupa kelas X (Edutopia, 2016). Beberapa tahapan dari self-peer assessment adalah: (1) menunjukan contoh karya yang baik pada siswa juga menjelaskan mengapa karya itu adalah karya yang baik; (2) siswa berdasarkan penjelasan dan contoh dari guru mulai berkarya dengan bimbingan guru. Pada dua tahap ini cocok dengan teori belajar humanistik Albert Bandura (Hergenhahn & Olson, 2008), bahwa belajar humanistik dilakukan dengan memerhatikan “model”, menyimpan informasi pengamatannya kemudian tahap pembentukan perilaku sesuai informasi yang didapatkan; (3)

siswa mengkomunikasikan / menampilkan

karyanya; (4) berlatih memberikan assessment kepada teman sekelasnya. Proses ini disebut peer-assessment, tujuannya adalah agar siswa dapat menemukan pola-pola yang berhasil dalam berkarya seni dan pola mana yang kurang berhasil, juga mempertajam kemampuan intuisi dan perasaan siswa; (5) mengaplikasikan kemampuan analisis dari peer-assessment untuk melakukan self-assessment atau melakukan refleksi terhadap hasil pekerjaannya sendiri; (6) proses self-peer assessment ini dapat dijadikan guru untuk melakukan penilaian / grading secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini juga bisa dikembangkan

dengan memberikan siswa waktu untuk

memperbaiki pekerjaannya setelah melakukan self-assesment, sehingga nampak “perubahan perilaku” yang menunjukan keberhasilan belajar. Dalam proses ini siswa memiliki ruang “aktualisasi diri” melalui berkarya dan berpendapat, juga siswa mempunyai ruang untuk melakukan refleksi terhadap karyanya sendiri. Siswa belajar untuk membuat keputusan apa yang akan dia buat dan

katakana saat memberikan feedback pada

temannya. Saat melakukan refleksi diri juga melihat karya temannya beserta feedback-nya siswa secara aktif membangun intuisinya dan kemampuannya untuk belajar secara mandiri. Kemandirian belajar dengan difasilitasi guru melalui self-peer

assessment ini menumbuhkan kemampuan

mengenali diri sendiri, aktualisasi diri dan kemandirian belajar.

Melalui proses self-peer assessment ini siswa belajar untuk mengapresiasi gagasan dan karya orang lain beserta perbedaan dan keberagamannya. Siswa diajak untuk memberikan feedback yang santun dan sesuai dengan kosakata yang ada dalam

(8)

keilmuan seni. Siswa juga bergotong royong, bekerjasama untuk pengembangan dirinya dengan saling memberikan feedback dan darinya semua siswa mendapatkan wawasan baru dan menemukan pola yang baik dalam

berkarya seni. Kemampuan untuk

beraktualisasi diri yang di dalamnya terdapat sikap mandiri, dan kemampuan mengenali diri sendiri akan membawa siswa memberi ruang kemerdekaan bagi siswa untuk menumbuhkan apa yang sudah ada dalam dirinya (pendidikan “konvergen”), juga melalui hal ini nilai budaya bangsa dapat terinternalisasi. Pendidikan berbudaya yang mandiri dan memberikan ruang akan membudayakan nilai-nilai luhur bangsa menjadi bagian dari kepribadian siswa. Gotong royong, pelayanan dan toleransi akan melengkapi efek dari kemandirian tadi, yaitu

keberagaman antarindividu. Semua

kemampuan dan karakter tadi diperlukan siswa untuk belajar apapun dalam hidup. Hal ini sejalan dengan semangat kebijakan “Merdeka Belajar” di sekolah yang ingin melengkapi siswa dengan skill hidup untuk menjadi seorang pebelajar seumur hidup yang baik. Walaupun literasi seni dan kebudayan belum masuk dalam AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), literasi kebangsaan, budaya dan seni dapat diterapkan dengan baik dalam pendidikan seni di sekolah dalam konteks kebijakan “Merdeka Belajar”.

4. Kesimpulan

Pendidikan merupakan proses

pembudayaan, memanusiakan manusia

secara utuh yang meliputi olah pikir, rasa, karsa dan raga sesuai dengan falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Proses pembudayaan / pendidikan ini haruslah sesuai dengan nilai luhur / nilai lokal / budaya dan kepribadian bangsa Indonesia yang terkristalisasi pada Pancasila. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman, terdapat beberapa kemampuan dan karakter Pancasila yang perlu dikerjakan pendidik, terutama pendidik seni, yaitu kemandirian, gotong royong dan pelayanan. Ketiganya dapat memupuk kemampuan aktualisasi diri dan toleransi yang saat ini sangat dibutuhkan Indonesia. Kebijakan “Merdeka Belajar” pada sisi positifnya memberi pilihan lebih banyak

kepada siswa, gurudan sekolah untuk berkreasi, namun di sisi lain kurang menekankan pada

pendidikan kebangsaan dan kebudayaan.

Pendidikan seni yang mendominasi olah rasa (etika,

estetika) memiliki peran penting dalam

pembudayaan karakter dan kemampuan tersebut, salah satunya melalui self-peer assessment. Kegiatan ini mendorong siswa untuk berani mengaktualisasikan pikirannya dalam bentuk karya maupun pendapat serta meningkatkan kemampuan apresiasi siswa. Melalui self-peer assessment ini juga siswa belajar mandiri (tidak bergantung pada guru) dan gotong royong bersama temannya dalam membangun pemahaman mengenai materi seni yang diajarkan. Kemandirian, gotong royong, toleransi, aktualisasi diri, mengenali diri sendiri sangat penting untuk seseorang menjadi pebelajar seumur hidup yang baik yang dapat belajar apapun. Hal ini selaras dengan semangat kebijakan “Merdeka Belajar”.

5. Pustaka

Edutopia. (2016). Mastering Self-Assessment: Deepening Independent Learning Through the Arts.

https://www.youtube.com/watch?v=Va66oMk WP_o&t=128s

Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (2008). Theories of Learning (7th ed.). KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.

Kebudayaan, K. P. dan. (2020). Asesmen Nasional: Lembar Tanya Jawab.

Latif, Y. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan. PT Gramedia Pustaka Utama.

RI, K. (2019). Merdeka Belajar Episode 1. Youtube.

https://www.youtube.com/watch?v=vh-rdXvt0Dw

Rohidi, T. R. (2016). Pendidikan Seni Isu dan Paradigma. Cipta Prima Nusantara.

Soehardjo, A. J. (2011). Pendidikan Seni: Strategi Penataan dan Pelaksanaan Pembelajaran Seni. Banyumedia Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari dan jam kerja Surat perintah tertulis kepada PPID dan PPID Pembantu untuk memenuhi permintaan pemohon informasi yang mengajukan keberatan pelayanan informasi

Beranjak dari dialektika konsepsi di atas serta melihat dinamika politik Indonesia, maka pada tahun 2014 tidak bisa terelakkan dari kebutuhan akan adanya individu yang memiliki nilai

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan model pembelajaran dalam upaya meningkatkan self-esteem siswa dalam pendidikan jasmani, olahraga dan

Sum up and fill in the correct answers in the spaces

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 di SDA Sei sirah, Besitang Hilir, Besitang Hulu dan Besitang Tengah, dengan menggunakan metode purposive sampling

Mobile Learning Sebagai Model Pembelajaran Alternatif Bagi Pemulihan Pendidikan Di Daerah Bencana Alam Gempa.

Sumber informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya. erosi di

berjudul “ Inovasi Pelayanan Perizinan Dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Kota Makassar ” mengatakan bahwa