• Tidak ada hasil yang ditemukan

BODY IMAGE PADA PEREMPUAN PENGGEMAR BUDAYA POPULER KOREA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BODY IMAGE PADA PEREMPUAN PENGGEMAR BUDAYA POPULER KOREA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Sukma Korinta Jati

149114122

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARAMA YOGYAKARTA

(2)

iv

HALAMAN MOTTO

“Cintai dirimu sendiri karena hanya kamulah yang paling mampu untuk melakukannya...”

(3)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

Diri saya sendiri, orang tua, dan keluarga yang selalu mensupport saya dalam pengerjaan karya ini.

(4)

vii

BODY IMAGE PADA PEREMPUAN PENGGEMAR BUDAYA POPULER KOREA

Sukma Korinta Jati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mngeksplorasi body image perempuan penggemar budaya popular Korea. Ada empat aspek dari body image yang terungkap dalam penelitian ini, diantaranya kepuasan secara keseluruhan, afektif, kognitif, dan perilaku. Perbandingan social dan ketertarikan interpersonal digunakan sebagai mekanisme yang menjembatani antara paparan artis Korea dan body image. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis isi. Partisipan yang dilibatkan adalah empat orang perempuan dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun. Partisipan didapatkan dengan memilih orang-orang yang memiliki kriteria tertentu. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Partisipan yang melakukan perbandingan social lebih mengungkapkan evaluasi negative terhadap tubuhnya, sementara yang tidak justru mengungkapkan evaluasi positif; (2) partisipan yang melakukan perbandingan social mengalami perasaan negative, sementara yang tidak melakukan justru memiliki perasaan yang lebih positif; (3) Partisipan harapan untuk memiliki fitur tubuh tertentu dan terinspirasi untuk mengikuti artis Korea dalam berpenampilan; (4) partisipan melakukan peningkatan dan perbaikan penampilan setelah terpapar budaya popular Korea. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Dampak negative dari paparan kecantikan artis Korea terjadi jika partisipan melakukan perbandingan social; (2) Kecantikan artis Korea membuat partisipan belajar untuk meningkatkan penampilannya.

Kata Kunci: body image, budaya populer Korea, perempuan, ketertarikan interpersonal, perbandingan sosial

(5)

viii

BODY IMAGE ON WOMEN FANS OF KOREAN POPULAR CULTURE

Sukma Korinta Jati

ABSTRACT

This research aimed to explore body image on women fans of Korean popular culture. There are four aspects of body image revealed in this study, that are global satisfaction-dissatisfaction, affective distress regarding appearance, cognitive aspect of body image, and behavioral aspect of body image. Social comparison and interpersonal attraction used as mechanism to bridge Korean artist exposure and body image. This research is qualitative with content analysis method. Participants involved are four young adult women aged 18-25 years old. Participants selected based on particular criterion. Data collection used semi structured interview. Some results were btained from this study: (1) participants that involved in social comparison report more negative evaluation to their body, whereas who not did social comparison didn’t report negative evaluation; (2) participants who involved in social comparison report negative mood, whereas who not report more positive mood; (3) participants wished certain body features and got inside to follow Korean artist in term of appearance; (4) participants improve their appearance after exposed to Korean popular culture. The conclusion of this study is: (1) Social comparison has big role on shapping body image among participants. Participant who didnt do social comparison experienced more positive effect; (2) Exposure to attractive Korean artist brings participants to learns how to treat and improve their appearance.

Key words: body image, Korean popular culture, women, interpersonal attraction, social comparison

(6)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

(7)

xv

1. Definisi Body image ... 14

2. Komponen-komponen Body image ... 14

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Body image ... 15

4. Perkembangan Body image pada Perempuan ... 17

B. Budaya Populer Korea ... 20

1. Definisi Budaya Populer Korea ... 20

2. Budaya Kecantikan Korea ... 22

C. Mekanisme Terbentuknya Body image ... 25

1. Perbandingan Sosial ... 25

2. Ketertarikan Interpersonal ... 27

D. Kerangka Konseptual ... 28

BAB IIIMETODE PENELITIAN... 31

A. Jenis dan Desan Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Partisipan ... 32

D. Peran Peneliti ... 34

E. Metode Pengambilan dan Perekaman Data... 35

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 36

G. Kredibilitas Penelitian ... 38

BAB IVHASIL & PEMBAHASAN ... 40

A. Pelaksanaan Penelitian ... 40

(8)

xvi C. Hasil Penelitian ... 47 D. Pembahasan ... 54 BAB VPENUTUP ... 59 A. Kesimpulan ... 59 B. Keterbatasan Penelitian ... 60 C. Saran ... 60

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 60

2. Bagi Perempuan ... 61

DAFTAR ACUAN ... 62

(9)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(10)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas Partisipan...34 Tabel 2. Kerangka Analisis...38 Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara...41

(11)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam waktu dua dekade terakhir, budaya populer Korea Selatan mampu menarik minat masyarakat di seluruh dunia. Fenomena ini dimulai dari populernya sejumlah drama dan musik Korea di beberapa negara di luar Korea seperti Cina, Jepang, dan Taiwan. Awalnya, kepopuleran tersebut diduga karena ada kedekatan budaya di negara-negara Asia Timur. Namun seiring berjalannya waktu, drama Korea mampu menembus pasar yang lebih luas ke seluruh Asia, Eropa, Amerika Serikat, hingga ke Timur Tengah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Korea Foundation di 112 negara pada tahun 2017, penggemar budaya populer Korea di dunia kini mencapai 73 Juta orang. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2015 yang hanya mencapai 35 juta penggemar. Penggemar terbanyak terdapat di Asia yaitu sekitar 44 juta orang. Kemudian disusul dengan Eropa dengan jumlah penggemar sekitar 18.81 juta orang, Amerika sebanyak 9.94 juta orang, dan Afrika sebanyak 120 ribu orang. Serta tercatat ada sebanyak 1594 kelompok penggemar di 92 negara di dunia (“Korea Foundation...”, 2018). Selain itu, kesuksesan drama dan musik Korea kini juga mampu menimbulkan minat konsumen di bidang lain seperti pariwisata ke Korea, fashion, makanan, dan barang-barang elektronik buatan Korea.

Fenomena meningkatnya minat konsumen secara umum terhadap produk budaya populer yang berasal dari Korea Selatan disebut dengan Korean Wave (Chang & Park dalam Necula, 2017; Irmanto & Tjiptono, 2013; Kim dalam

(13)

Necula, 2017). Fenomena Korean Wave disebut juga dengan Hallyu, sebuah istilah yang diberikan oleh wartawan di Beijing seiring populernya budaya Korea Selatan di negara Cina pada akhir tahun 1990-an (Parc & Moon, 2013). Korean Wave bukan berasal dari budaya asli Korea. Jang & Paik (2012) menjelaskan bahwa Korean Wave merupakan hasil kombinasi antara budaya tradisional Korea dan budaya barat, khususnya Amerika. Korea mencangkokkan budaya tradisionalnya dengan budaya Amerika sehingga munculah sebuah budaya baru yang mendunia. Seperti yang terdapat dalam musik K-Pop dimana grup musik asal Korea ini meniru keindahan video dari grup musik pop barat dan kemudian menambahkan unsur budaya lokal di dalamnya (Unger 2015 dalam Necula, 2017). Populernya drama dan musik Korea merupakan awal mula fenomena Hallyu. Drama Korea tayang pertama kali sekitar akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000-an di Cina, Jepang, dan Taiwan. Drama Korea mengangkat tema percintaan hingga kekeluargaan sehingga mampu diterima oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu, pada pertengahan tahun 90-an, lagu-lagu Korea mulai mengudara di radio dan sempat bertahan di music chart di luar Korea. Idol Group seperti H.O.T., NRG, Baby VOX, dan S.E.S mampu memasuki industri musik Cina, Taiwan, Hongkong, dan Asia Tenggara. Eksistensi drama Korea dan musik K-Pop mampu bertahan hingga satu dekade lebih. Pada tahun 2011, 36 film Korea menerima 300 lebih pengunjung setiap harinya selama Week of Korea di Vesoul International Film Festival yang diadakan di Perancis. Lebih lanjut, di tahun yang sama rumah produksi film di Belgia membeli tiga drama Korea untuk ditayangkan di Eropa (Parc & Moon, 2013). Kesuksesan Hallyu juga bisa dilihat dari

(14)

keberhasilan sejumlah boy dan girlband Korea dalam melakukan tour ke seluruh dunia untuk mengadakan Konser. Konser-konser yang telah diadakan berhasil menarik jutaan penonton untuk hadir. Misalnya saja konser grup EXO, Big Bang, SNSD, dan beberapa boy dan girl group lainnya yang berhasil menarik ratusan ribu hingga jutaan penonton di berbagai negara di dunia. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah penonton video musik K-Pop di Youtube (Ministry of Culture, Sports and Tourism, 2011).

Penampilan fisik yang muda dan menarik yang dimiliki artis Korea ditengarai menjadi salah satu ciri khas budaya pop Korea. Sebab selama ini, salah satu alasan mengapa seseorang menyukai produk budaya pop Korea adalah karena ketampanan dan kecantikan artisnya (Irmanto & Tjiptono, 2013; Simbar, 2016). Alasan tersebut sangat masuk akal karena daya tarik fisik memang seolah sengaja ditonjolkan oleh para artis Korea. Kesengajaan tersebut ditunjukkan dengan banyaknya artis Korea yang melakukan operasi plastik demi penampilan yang maksimal. Beberapa artis Korea terbukti telah melakukan operasi plastik, misalnya Kim Hyun Jun, Kwanghee, Jessi, Yung Chae Yeon, Minzy, dan masih banyak yang lainnya (Pattyranie, 2018). Selain itu, fashion yang dikenakan oleh artis Korea memberikan kesan ‘mewah’ sehingga membuat para perempuan ingin memilikinya (Vu & Lee, 2013). Nurbayani & Annuraini (2017) juga menambahkan bahwa kekaguman terhadap kecantikan para artis Korea membuat para penggemar ingin meniru penampilan idolanya.

Kekaguman akan penampilan fisik yang ditonjolkan artis Korea tersebut ternyata tidak hanya sebatas menimbulkan perilaku imitasi pada penggemar. Di

(15)

beberapa negara, kekaguman akan penampilan fisik artis Korea membuat para perempuan terobsesi untuk memiliki tubuh layaknya artis Korea. Dikabarkan bahwa beberapa perempuan di negara Cina, Taiwan, & Vietnam melakukan operasi plastik agar mereka memiliki fitur wajah yang mirip dengan artis Korea (Strait Times, 2002 dalam Vu & Lee, 2013). Semenjak booming-nya Hally, kini kota Seoul di Korea Selatan menjadi destinasi para turis mancanegara untuk melakukan operasi plastik (Nurbayani & Annuraini, 2017). Seorang dokter operasi plastik menuturkan bahwa kebanyakan pasien operasi plastik datang dengan membawa foto artis Korea. Foto tersebut digunakan sebagai referensi untuk menentukan bentuk fitur wajah yang diinginkan. Mereka menggunakan foto artis Korea karena artis Korea dianggap memikat (Harden, 2007). Peristiwa tersebut menunjukan bahwa fenomena Hallyu bukan sekadar membawa produk hiburan dari Korea, namun juga memberikan dampak terhadap persepsi mengenai penampilan fisik yang sempurna, khususnya bagi para perempuan.

Pengaruh tersebut nampaknya juga telah masuk ke Indonesia. Sari (2015) menuturkan bahwa adanya Hallyu telah membuat perempuan Indonesia menjadikan artis Korea sebagai role model mengenai gambaran tentang kecantikan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian Aristowati (2017) yang menyimpulkan bahwa perempuan Asia Tenggara, termasuk perempuan Indonesia, memiliki keinginan untuk memiliki kulit putih seperti artis Korea. Produk kecantikan dari Korea yang banyak terjual di Indonesia memperkuat pernyataan tersebut. Dikabarkan bahwa penjualan produk kosmetik dari Korea di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya minat dari para perempuan

(16)

untuk meniru penampilan artis Korea (Jeong, Lee, & Lee, 2017). Klinik kecantikan dari Korea seperti Etude House dan The Face House yang masuk ke Indonesia sekitar sepuluh tahun lalu juga dilaporkan telah berhasil membuka cabang di puluhan tempat di Indonesia seperti Jakarta, Bali, Bandung, Bekasi, Surabaya, Manado, Kalimantan, dan Palembang (Wulandari, 2016 dalam Mutiara & Syahputra, 2018)). Adanya laporan diatas menunjukan bahwa Hallyu telah memengaruhi pandangan perempuan Indonesia mengenai penampilan fisik. CNN Indonesia menuturkan bahwa Hallyu telah membuat sebuah standar kecantikan baru yang menggeser standar kecantikan Hollywood yang booming sebelumnya (“Pengaruh Korean Wave...”, 2017).

Kecantikan merupakan suatu hal yang relatif dan tidak dapat diukur (Santrock, 2003 dalam Aristowati, 2017). Namun kenyataanya perempuan seringkali menjadikan selebriti di media massa sebagai patokan mengenai kecantikan. Media massa yang sering menampilkan selebriti dengan kriteria kecantikan tertentu membuat perempuan melakukan perbandingan sosial antara tubuh yang dimilikinya dengan tubuh yang dianggap ideal (Sumanty, Sudirman, & Pusasari 2018). Perempuan yang sering melihat sosok kurus ideal di media dapat mengembangkan sikap bahwa kurus adalah standar yang diinginkan sosial, mengalami ketidakpuasan tubuh, melakukan diet, dan melakukan operasi plastik untuk mengikuti standar yang mereka amati (Hesse-Biber et all, 2006 dalam Vonderen& Kinnally, 2012), dengan kata lain media yang menampilkan selebriti dengan kriteria kecantikan tertentu dapat mengubah body image seseorang.

(17)

Schilder (1950, dalam Grogan, 2008) menyatakan bahwa body image merupakan gambaran mengenai tubuh kita yang terbentuk di dalam pikiran kita, atau bisa juga dikatakan bagaimana tubuh kita muncul di benak kita. Sedangkan menurut Thompson, Heinberg, Altabe, & Tantleff-Dunn (1999), body image merupakan pandangan internal tentang bagaimana kita melihat tubuh kita, bagaimana pikiran kita mengenai pendapat orang lain tentang tubuh kita, dan bagaimana perasaan kita terhadap penampilan kita. Sementara itu, Grogan (2008) secara singkat mendefinisikan body image sebagai persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya.

Menzel, Krawczyk, & Thompson (2011) menuturkan bahwa body image dapat dibagi ke dalam empat komponen diantaranya adalah global subjective satisfaction or disturbance, affective distress regarding appearance, cognitive aspect of body image, dan behavioral aspect of body image. Global Subjective satisfaction or disturbance meliputi kepuasan terhadap tubuh secara keseluruhan yang dapat dinilai dari apresiasi atau kritikan verbal terhadap tubuh. Sedangkan affective distress regarding appearance merujuk pada persaan-perasaan tentang tubuh. Cognitive aspect of body image terdiri dari kepercayaan dan harapan mengenai penampilan. Sementara behavioral aspect of body image merujuk pada perilaku-perilaku yang berhubungan dengan penampilan.

Body image positif bisa meningkatkan self-esteem, kesuksesan

interpersonal, kesuksesan bisnis, dan lain-lain (Thompson et al, 1999). Hampir senada dengan itu, Holmqvist & Frisen (2012) yang meneliti remaja dengan body image positif mengatakan bahwa body image positif juga berhubungan dengan

(18)

tingginya self-esteem, kesejahteraan psikologis, serta lebih sedikit rasa malu, pikiran terhadap tubuh, dan gejala gangguan makan. Selain itu, penelitian terhadap 256 perempuan menunjukkan bawhwa body image positif secara positif berkorelasi terhadap perilaku peningkatan kesehatan seperti inisiatif melindungi diri dari paparan cahaya matahari dan kesadaran akan pentingnya tindakan medis, serta berkorelasi negatif dengan perilaku menurunkan berat badan (Andrew, Tiggeman, & Clark, 2014). Wood-Barcalow, Tylka, & Agustus-Horvath (2010) dalam wawancaranya dengan mahasiswa dan para ahli menyimpulkan beberapa karakteristik dari body image positif, yaitu apresiasi terhadap keunikan dan fungsi dari tubuh, mendefinisikan kecantikan secara luas, menyaring informasi yang berkaitan dengan penampilan, dan menonjolkan aset tubuh sambil meminimalkan ketidaksempurnaan yang dirasakan. Perempuan yang lebih puas dengan body image-nya cenderung melakukan lebih banyak aktivitas seksual, mencoba berbagai aktivitas seksual baru, dan menyenangkan pasangan dengan berbagai aktivitas seksual daripada mereka yang kurang puas (Ackard, Kearney-Cooke, & Peterson, 1999).

Body image negatif atau body dissatisfaction bisa menyebabkan penurunan rasa percaya diri, depresi, hingga gangguan makan (Thompson et al, 1999). Body image negatif dapat ditunjukkan dengan perilaku diet, olahraga, dan operasi plastik (Grogan, 2008). Teori objektifikasi juga megatakan bahwa ketidakpuasan perempuan terhadap tubuhnya dapat mengakibatkan rasa malu dan cemas terhadap penampilan serta menurunkan motivasi dan perhatian terhadap organ dalam tubuh (Tiggeman & Lynch, 2001).

(19)

Pertumbuhan media massa di abad ke-20 membuat perempuan yang dulunya berfokus pada karakter batiniah kini berubah menjadi berfokus memenuhi tuntutan sosial dengan cara menampilkan kecantikan ideal (Sentilles & Callahan, dalam Cash 2012). Kecantikan fisik ala Korea yang tersebar melalui media masa terbukti membuat para perempuan terinternalisasi mengenai kriteria kecantikan ideal. Adanya perubahan persepsi mengenai kecantikan tersebut membuat peneliti ingin meneliti bagaimana body image pada perempuan penggemar budaya pop Korea. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengungkap: (1) Kriteria tubuh ideal menurut perempuan penggemar budaya pop Korea, (2) Penilaian mereka terhadap tubuh mereka ketika terpapar artis Korea dengan kriteria kecantikan tertentu, dan (3) perasaan mereka terhadap tubuh mereka ketika mereka melihat adanya perbedaan bentuk dan ukuran antara tubuh mereka dan tubuh artis Korea.

Sejauh yang peneliti temukan, penelitian mengenai Korean Wave lebih banyak meneliti mengenai apa penyebab serta dampak Korean Wave terhadap Korea dan dunia (Hae Joang, 2005; Huang, 2011; Jang & Paik, 2012; Jin & Yoon, 2017; Parc & Moon, 2013). Selain itu, penelitian mengenai Korean Wave juga banyak meneliti mengenai motivasi dan perilaku penggemar Korean Wave di berbagai negara (Irmanto & Tjiptono, 2013; Simbar, 2016; Vu & Lee, 2013). Beberapa penelitian memang telah membahas mengenai Korean Wave dan hubungannya dengan konsep kecantikan pada perempuan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Leem (2017) mengemukakan bahwa masyarakat Korea memiliki kriteria tertentu dalam hal kecantikan. Dalam penelitian tersebut, seorang dokter operasi plastik menyampaikan tentang adanya perbandingan

(20)

numerik tertentu agar seseorang bisa dikatakan menarik. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Mutiara & Syahputra (2018) hanya mengungkap motivasi seseorang membeli produk kecantikan Korea. Selain itu, dua penelitian yang hampir serupa dilakukan dengan cara menganalisis sebuah iklan untuk menemukan apakah Korean Wave berdampak dalam hal konsepsi kecantikan dalam diri perempuan (Aristowati, 2017) dan apakah kecantikan ala Korean Wave menimbulkan sebuah konflik budaya (Sari, 2015). Hasil analisa yang dilakukan pada kedua penelitian tersebut menemukan adanya makna dan konsepsi kecantikan yang baru pada perempuan Indonesia seiring dengan merebaknya budaya Korea. Namun kedua penelitian tersebut tidak meneliti lebih lanjut tentang bagaimana perasaan perempuan, khususnya tentang tubuh mereka ketika mereka terpapar artis Korea yang dinilai cantik.

Sementara itu, penelitian mengenai body image juga telah banyak dilakukan. Beberapa peneltian berusaha mencari hubungan antara paparan media dan body image pada perempuan (Brown & Tiggeman, 2016; Meier & Gray, 2013; Vonderen & Kinally, 2012). Dalam penelitian tersebut sama-sama ditemukan adanya body dissatisfaction pada perempuan ketika mereka terpapar sosok menarik atau selebriti yang ada di media. Namun penelitian-penelitian tersebut menggunakan gambar secara acak, dimana sang partisipan belum tentu mengenal dan memiliki ketertarikan dengan sosok yang ada di media. Padahal adanya ketertarikan terhadap selebriti yang memiliki kriteria fisik tertentu bisa memunculkan gangguan makan (Horizon, 1997 dalam Brown & Tiggeman, 2016).

(21)

Dari segi metode, banyak penelitian mengenai Korean Wave menggunakan metode analisis literatur (Hae-Joang, 2005; Huang, 2011; Jang & Paik, 2012; Jin & Yoon, 2017; Parc & Moon, 2013). Selain itu, beberapa penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan kuesioner (Mutiara & Syahputra, 2018; Vu & Lee, 2013). Ada juga yang menggunakan analsis semiotik (Aristowati, 2017; Sari, 2015). Peneliti hanya menemukan satu penelitian yang menggunakan metode wawancara (Irmanto & Tjiptono, 2013). Sementara penelitian mengenai body image sejauh ini kebanyakan menggunakan metode kuantitatif yang menghasilkan data berupa angka. Penelitian mengenai paparan Korean Wave dan kaitannya dengan body image memang sudah pernah dilakukan. Namun penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif serta melibatkan remaja sebagai subjek penelitiannya.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, peneliti menemukan bebereapa defisiensi. Pertama, kebanyakan penelitian mengenai Korean Wave baru meneliti mengenai motivasi para penggemar dan menganalisis mengapa Korean Wave menjadi peristiwa yang mendunia dan bertahan lama. Selanjutnya, penelitian mengenai body image memang sudah meneliti pengaruh paparan selebriti terhadap body image perempuan. Namun, dalam penelitian-penelitian tersebut gambar selebriti dipilih secara acak, dimana para partisipan belum tentu memiliki ketertarikan khusus dengan gambar yang dipaparkan. Padahal, tubuh ideal menurut perempuan adalah tubuh yang sama persis dimiliki oleh idolanya (Sumanty, Sudirman, & Puspasari, 2018). Kedua, peneliti belum menemukan penelitian mengenai body image yang memakai metode kualitatif. Kebanyakan

(22)

penelitian mengenai body image menggunakan metode kuantitatif dengan hasil berupa angka.

Berdasarkan defisiensi tersebut, peneliti ingin mengungkap bagaimana body image pada perempuan penggemar budaya pop Korea. Dalam banyak penelitian, body image selalu mengungkap keinginan perempuan untuk memiliki tubuh kurus ideal. Dengan adanya budaya populer Korea, yang menonjolkan kriteria kecantikan perempuan yang lebih spesifik, diasumsikan para partisipan memiliki standar kecantikan selain sekadar kurus ideal. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan instrumen pengambilan data berupa wawancara. Dengan metode kualitatif, peneliti berharap mendapatkan dinamika tentang bagaimana body image terbentuk serta bagaimana dampaknya. Oleh sebab itu, wawancara dilakukan agar partisipan bisa lebih leluasa menyampaikan informasi (Creswell, 2012), terutama tentang kaitannya dengan pandangan mereka terhadap kecantikan artis Korea dan perasaan mereka mengenai tubuh mereka ketika terpapar artis Korea.

Partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan penggemar Korean Wave yang masuk dalam kategori dewasa awal. Perempuan dipilih karena permasalahan mengenai body image lebih sering dialami oleh perempuan. Perempuan dewasa awal adalah perempuan dengan umur sekitar 18-25 tahun (Arnett, 2006, 2007 dalam Santrock, 2011). Perempuan usia dewasa awal dipilih karena dalam usia tersebut perempuan cenderung lebih memperhatikan penampilan karena adanya tugas perkembangan yang dihadapi (Sumanty, Sudiman, Puspasari, 2018). Adapun kriteria penggemar yang dipilih adalah penikmat musik K-Pop dan drama

(23)

Korea, serta pengguna produk-produk kecantikan Korea. Peneliti memilih partisipan yang menggunakan produk kecantikan Korea karena menggunakan produk tersebut merupakan suatu bentuk reaksi terhadap tubuh, seperti terdapat dalam definisi body image yang telah dipaparkan sebelumnya.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaaan pokok:

1. Bagaimana body image perempuan penggemar budaya populer Korea di Indonesia?

Pertanyaan turunan:

1. Bagaimana penilaian partisipan mengenai penampilan mereka ketika mereka terpapar artis Korea yang memiliki kriteria kecantikan tertentu?

2. Bagaimana perasaan partisipan saat mereka terpapar artis Korea dengan kriteria kecantikan tertentu?

3. Bagaimana kriteria tubuh ideal partisipan setelah mereka terpapar budaya populer Korea?

4. Apa yang partisipan lakukan terhadap penampilannya setelah mereka terpapar kecantikan artis Korea?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika body image perempuan seiring keterpaparan dan kegemaran mereka terhadap budaya populer Korea yang membawa standar kecantikan tertentu. Dengan metode kualitatif, penelitian ini diharapkan membuat partisipan menjelaskan secara mendalam

(24)

bagaimana mereka menilai kecantikan ideal dan pengaruhnya terhadap diri mereka seiring dengan berkembangnya Hallyu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis: Penelitian ini diharapkan memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang psikologi khususnya mengenai body image dan kaitannya dengan paparan budaya populer Korea.

Manfaat praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana body image perempuan penggemar budaya populer Korea.

(25)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Body image pada Perempuan

1. Definisi Body image

Thompson et al (1999) mendefinisikan body image sebagai pandangan internal mengenai bagaimana penampilan kita, bagaimana pikiran kita ketika kita tampil di hadapan orang lain, dan bagaimana perasaan kita terhadap penampilan kita. Grogan (2008) mendefinisikan body image sebagai persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya. Cash (1990, dalam Thompson et al, 1999) mengatakan bahwa body image merupakan pandangan kita terhadap tubuh kita yang memengaruhi pikiran dan perasaan yang mungkin akan mengubah perilaku kita dalam situasi tertentu.

Dapat disimpulkan bahwa body image merupakan penilaian kita terhadap tubuh kita yang dapat memengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku kita.

2. Komponen-komponen Body image

Menzel, Krawczyk, & Thompson (2011) membagi body image ke dalam empat komponen, yaitu:

a. Global Subjective Satisfaction or Disturbance

Kepuasan dapat didefinisikan sebagai apresiasi atau pendapat yang positif mengenai komponen tubuh seperti berat, bentuk, atau hal lain yang berkaitan

(26)

mengenai tubuh. Tentu saja, ketidakpuasan dapat dilihat dari pendapat yang tidak menguntungkan dan meremehkan terhadap tubuh.

b. Affective Distress Regarding Appearance

Merupakan komponen perasaan terhadap tubuh yang meliputi kecemasan, merasa tertekan, dan emosi lain yang terkait dengan tubuh. Perasaan-perasaan itu bisa muncul secara kontekstual, tergantung dari kondisi dan situasi yang dihadapi yang membuat seseorang sadar diri akan penampilannya. Misalnya ketika di depan cermin, di hadapan teman sebaya, atau di pantai.

c. Cognitive Aspect of Body image

Aspek kognitif dapat berupa kepercayaan, pemikiran, atribusi, dan interpretasi mengenai penampilan. Aspek kognitif juga bisa berupa harapan yang tidak realistis terhadap fitur penampilan tertentu. Misalnya keinginan untuk berpenampilan seperti fashion model.

d. Behavioral Aspect of Body image

Merupakan manifestasi perilaku dari body image seperti menghindari cermin dan situasi umum yang menimbulkan kesadaran akan penampilan. Meningkatnya perilaku menimbang berat badan, berkaca, dan mencubit kulit juga bisa menjadi pertanda dari evaluasi yang berlebihan mengenai penampilan.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Body image

Menurut Grogan (2008), body image dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya yang dibawa melalui:

(27)

a. Keluarga

Permasalahan terkait body image bisa disebabkan oleh perilaku orang tua yangmendorong anaknya untuk mengontrol berat dan bentuk tubuhnya (Kluck, 2010). Menurut Kluck, perilaku ini dianggap sebagai bentuk kepedulian orang tua terhadap anak. Thompson et al (1999) mengatakan bahwa perilaku orangtua yang menghabiskan waktu, tenaga, dan uang demi penampilan anaknya secara tidak langsung sedang mempersiapkan anaknya menghadapi masyarakat yang mana sangat menghargai kecantikan.

b. Teman Sebaya

Ejekan dan kritikan teman sebaya mengenai penampilan juga dapat memengaruhi persepsi tentang tubuh. Levine & Smolak (1992, dalam Shroff & Thompson, 2006) mengungkapkan bahwa 41.5 % siswi sekolah membicarakan mengenai berat, bentuk, dan diet dengan teman mereka. Semakin tinggi level relasinya maka semakin besar tingkat gangguan makan yang dialami. Selain itu, Cash (dalam Grogan, 2008) menuturkan bahwa orang yang kelebihan berat badan diperlakukan secara berbeda semenjak kanak-kanak. Anak-anak lebihtidak suka bermain dengan teman mereka yang kelebihan berat badan dan menyematkan penilaian negatif kepada mereka yang memiliki kelebihan berat badan.

c. Media Massa

Media massa menjadi faktor yang paling kuat memengaruhi body image seseorang. Melalui media seseorang bisa dengan mudah mengidentifikasi bagian-bagian tubuh selebriti (Elliot, 2010). Media massa mengubah bagaimana budaya

(28)

menampilkan kecantikan ideal (Sentilles & Callahan, 2012). Hal ini menimbulkan proses perbandingan sosial, dimana seseorang membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan ideal tersebut untuk mengukur tingkat daya tarik mereka.

4. Perkembangan Body image pada Perempuan

Permasalahan terkait body image dapat dialami oleh laki-laki dan perempuan. Di media, perempuan selalu ditampilkan dengan kriteria tubuh kurus ideal. Sementara laki-laki digambarkan ramping, muda, dan memiliki tubuh yang berotot (Tiggeman, 2002). Meskipun demikian, tekanan untuk memiliki ukuran dan bentuk tubuh tertentu lebih sering dirasakan oleh perempuan daripada laki-laki. Grogan (2008) mengatakan bahwa perempuan memiliki tekanan untuk menjadi kurus dan menarik sepanjang hidupnya. Dorongan untuk menjadi kurus ideal muncul semenjak perempuan berumur 6 dan 7 tahun. Memasuki masa remaja, perempuan akan lebih fokus pada penampilan dan hal-hal yang terkait dengan perubahan tubuh dan berat badan. Hal tersebut terus berlanjut hingga masa dewasa (Thompson et al, 1999).

Semenjak bangkitnya media di abad ke-20, perempuan yang dahulu berfokus pada karakter batin (dalam hal kepatutan dan kerapian yang diajarkan agama), kini lebih berfokus kepada kecantikan fisik (Sentilles & Callahan, 2012). Media telah mampu mengaburkan batas antara fiksi dan kenyataan (Freedman, 1986 dalam Thompson et al, 1999). Sebuah studi menemukan bahwa perempuan digambarkan sangat kurus di media, sementara laki-laki digambarkan dengan

(29)

berat badan yang standar (Grogan, 2008). Akibatnya, banyak perempuan yang terpapar televisi dan media lainnya menganggap bahwa menjadi kurus merupakan standar sosial yang harus dipenuhi, bahkan kurus dianggap sama dengan cantik.

Kemajuan teknologi membuat kehidupan selebriti kini menjadi tontonan publik dan membuat bagian tubuh selebriti menjadi lebih teridentifikasi (Elliot, 2010). Sehingga hal itu mempermudah para perempuan untuk mengamati tubuh selebriti. Padahal, apa yang ada di televisi tidak selalu menampilkan realita, termasuk dalam hal kecantikan ideal. Teknologi airbrushing, soft-focus camera, editing, dan filter yang ada di media jaman sekarang dapat mengaburkan sifat asli dari sebuah gambar di media (Thompson et al, 1999).

Efek yang paling ditakuti dari media adalah selebriti yang mempromosikan bentuk tubuh yang tidak realistis dan susah diraih bagi anak muda (Maltby, Giles, Barber, & McCutcheon, 2005). Dalam study yang dilakukan terhadap perempuan di Australia ditemukan bahwa investasi terhadap penampilan berkorelasi secara positif dengan perilaku membaca majalah tentang penampilan (Selevec & Tiggeman, 2010 dalam deVries, Peter, Nikken, & deGraff, 2014). Perempuan dilaporkan mengalami penurunan self-esteem namun disaat yang bersamaan mengalam peningkatan self-consciousness, kecemasan, dan ketidakpuasan terhadap tubuh setelah terpapar foto model yang memberi contoh standar kecantikan (Thornton & Maurice, 1997 dalam Evans & McConell, 2003).

Perhatian terhadap body image memuncak ketika masa remaja, dimana bentuk tubuh mengalami perubahan dan kemungkinan menjauh dari kriteria tubuh kurus ideal (Burgess, 2006 dalam Grogan, 2008). deVries, Peter, Nikken, &

(30)

deGraff (2014) melaporkan bahwa dorongan untuk melakukan operasi plastik pada remaja ditunjukkan melalui investasi pada penampilan. Ketika memasuki usia dewasa, perhatian terhadap body image mulai menurun. Penelitian yang melibatkan perempuan berumur 20-84 tahun mengungkap bahwa bertambahnya usia berpengaruh pada turunnya perilaku diet, body monitoring, dan appearance anxiety. Menariknya, ketidakpuasan terhadap tubuh pada perempuan tidak hilang dan justru cenderung menetap seumur hidup (Tiggeman & Lynch, 2001). Artinya, meskipun perempuan memiliki ketidakpuasan yang menetap, dampak psikologis dari body dissatisfaction cenderung menurun ketika perempuan semakin menua (Striegel-Moore & Franko, 2002).

Namun, apakah ketika fase remaja berakhir perhatian terhadap body image serta merta menurun? Fardouly, Pinkus, & Vartanian (2017) yang meneliti 146 mahasiswi tahun pertama menemukan bahwa sosial media menimbulkan ketidakpuasan perempuan terhadap penampilan yang mendorong munculnya pikiran dan perilaku untuk diet dan olahraga. Dalam penelitiannya yang melibatkan 138 perempuan berusia 18-30 tahun, Brown & Tiggeman (2016) menyimpulkan bahwa paparan gambar selebriti dan objek sebaya menimbulkan suasana hati negatif. Dapat disimpulkan bahwa perhatian terhadap body image tidak hilang seketika ketika seseorang memasuki usia dewasa.

Masih adanya perhatian terhadap body image setelah masa remaja diasumsikan disebabkan oleh beberapa hal. Ketika memasuki usia dewasa, seseorang harus melewati masa peralihan yang disebut emerging adulthood atau dewasa awal (18-25 tahun). Arnett (2007, dalam Santrock 2011) mengemukakan

(31)

bahwa dalam fase ini seseorang masih mengalami ketidakstabilan dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya masih banyak eksperimen dan eksplorasi yang dilakukan untuk menentukan identitas mereka. Selain itu, masa dewasa awal adalah masa dimana hubungan romantis dan karir mulai dibangun, dimana penampilan menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Dalam hal menjalin hubungan romantis, perempuan lebih dituntut untuk berpenampilan menarik oleh lawan jenis (Santrock, 2011). Dalam dunia kerja, Jackson (1992) mengatakan bahwa perempuan yang memiliki daya tarik tinggi dalam hal penampilan akan memiliki peluang kerja yang lebih tinggi. Berdasarkan argumentasi di atas, peneliti akan melibatkan perempuan dewasa awal sebagai partisipan.

B. Budaya Populer Korea

1. Definisi Budaya Populer Korea

Peristiwa tersebarnya budaya popular Korea ke seluruh dunia disebut juga dengan istilah Korean Wave atau Hallyu (Irmanto & Tjiptono, 2013). Budaya populer tersebut meliputi drama televisi, film, musik populer (K-Pop), dance (B-Boys), video game, makanan, fashion, pariwisata, dan bahasa Korea (Jang & Paik, 2012). Menurut Ministry of Culture, Sports and Tourism (2011), budaya pop Korea tidak hanya menyebar di Asia Timur namun juga telah menyebar hingga ke Timur Tengah, Afrika, Eropa, hingga Amerika.

Korean Wave terjadi karena adanya arus globalisasi pada akhir tahun 1980-an yang memaksa Korea Selatan membuka pasarnya di berbagai sektor, termasuk di dunia perfilman dan pertelevisian. Produk hiburan lokal yang kalah

(32)

saing dengan film-film asing membuat pemerintah Korea mengubah motion picture law pada tahun 1995. Perubahan undang-undang tersebut kemudian menarik minat perusahaan terkenal seperti Samsung, Hyundai, dan Daewoo karena melonggarkan aturan industri konten media dan memberikan keuntungan berupa insentif bagi pelaku produksi. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut mengalami pasang surut dan hambatan, perkembangan budaya populer Korea terus berlanjut dengan dukungan para pengusaha di Korea (Huat & Iwabuchi, 2008).

Produksi budaya pop Korea ternyata disambut baik bukan hanya oleh warga Korea namun juga oleh masyarakat internasional. Pada tahun 1997, drama Korea ditayangkan di negara Cina yang mampu mendominasi tayangan televisi di Cina dan ditayangkan pada jam-jam utama disana. Selain itu, drama Korea juga mampu menembus pasar di luar Asia Timur seperti Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Arab Saudi (Ministry of Culture, Sports and Tourism, 2011). Beberapa judul drama Korea yang sempat populer pada tahun 1990-an akhir hingga 2000-an pertengahan ialah Endless Love, Winter Sonata, Full House, Princess Hour, Boys Before Flower, dsb (Irmanto & Tjiptono, 2013).

Selanjutnya, sekitar tahun 2010 musik K-Pop mulai populer. Musik K-Pop muncul dengan format girl dan boyband, dimana lagu-lagunya dibawakan secara berkelompok, menggunakan koreografi serta memakai fashion yang unik. Meledaknya K-Pop di pasaran antaralain ditunjukan dengan ditontonnya video milik Girl Generation yang berjudul “Gee” di Youtube sebanyak 42 juta kali oleh penonton di seluruh dunia. Selain itu, siaran langsung YouTube tentang

(33)

peluncuran album baru dari "GD & TOP" ditonton secara bersamaan oleh 390.000 orang di seluruh dunia. The-Billboard.Com memperkenalkan Hyuna sebagai salah satu bintang utama gerakan K-pop global. Video musik "Bubble Pop" milik Hyuna, yang diunggah di YouTube, ditonton sebanyak 160 juta kali pada September 2011 oleh pemirsa di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Australia.

2. Budaya Kecantikan Korea

Korean Wave tidak hanya membawa produk-produk hiburan, namun juga menyebarkan budaya kecantikan ala Korea ke seluruh dunia. Generasi muda dilaporkan mengadopsi dan meniru gaya hidup artis Korea secara agresif mulai dari mode, makanan, pola konsumsi, hingga operasi plastik (Choe, 2001 dalam Hae-Joang, 2005). Bahkan, paparan drama Korea membuat perempuan di China, Vietnam, dan Taiwan melakukan operasi plastik untuk membuat wajah mereka mirip artis Korea (Vu & Lee, 2013). Penampilan yang menarik dari para artis Korea inilah yang membuat produk budaya pop Korea menjadi mudah disukai (Simbar, 2016).

Kesadaran perempuan Korea akan pentingnya kecantikan disebabkan akan adanya budaya Neo-Konfusian yang telah dianut bangsa Korea sejak lama. Secara garis besar budaya Neo-Confucian mengajarkan bahwa tubuh perempuan sangat berharga. Selain itu, tubuh perempuan bersifat “subjectless” karena tubuh jasmani mereka bukanlah milik mereka, melainkan milik keluarga dan dikhususkan sebagai alat reproduksi yang menghasilkan tenaga kerja bagi negara Korea.

(34)

Sehingga perempuan harus mematuhi segala perintah yang berkaitan dengan merawat tubuh, diantaranya dengan berpakaian tertutup agar tubuhnya tidak dapat terlihat dan tersentuh oleh orang asing (Kim, 2003).

Namun, semenjak perang Korea pada tahun 1950-an, perempuan Korea mulai mengadopsi nilai-nilai daya tarik dari negara Barat (Jung & Lee, 2006). Kemudian pada tahun 1987 perempuan Korea semakin mengalami kemajuan dengan adanya penyetaraan hak di mata hukum dan kegiatan pemerintah yang mendukung penyetaraan gender (Jones, 2006 dalam Morris, 2014). Ditambah lagi pada akhir tahun 80-an, industri hiburan Korea mulai terbuka untuk asing serta undang-undang industri hiburan yang selama ini mengekang industri hiburan Korea mulai diubah (Huat & Iwabuchi, 2008). Akibat peristiwa-peristiwa tersebut budaya asing menjadi mudah untuk masuk ke Korea.

Model-model asing berwajah Kaukasia mulai mendominasi iklan-iklan di media Korea. Karena model lokal tidak mau kalah saing, maka mereka berusaha untuk mengubah penampilan menjadi Eur-Asian (Kim, 2003). Hal tersebut terjadi karena model yang berwajah Kaukasia dan terlihat kebarat-baratan mendapatkan nilai daya tarik yang tinggi di Korea Selatan (Bissel & Chung, 2009). Tradisi Neo-Konfusian tidak sepenuhnya menghilang, namun aplikasinya mengalami perubahan. Dahulu perempuan mematuhi aturan yang berkaitan dengan tubuh dengan cara menutup tubuh mereka. Seiring modernisasi yang dialami Korea, subjectless body berubah menjadi capitalist body. Perempuan tidaklagi dipandang sebagai penghasil tenaga kerja, namun sebagai konsumen yang berkontribusi

(35)

dalam pembangunan nasional. Untuk itu kini trend fashion merupakan aturan yang harus dipatuhi seluruh perempuan di negara tersebut (Kim, 2003).

Tubuh perempuan Korea kini tidak lagi tertutup, namun lebih terbuka dan terekspos di hadapan publik (Kim, 2003). Selain itu, Korea Selatan memiliki kriteria penampilan yang dianggap menarik diantaranya memiliki hidung yang “tinggi”, kelopak mata ganda, mata besar, lingkar kepala kecil, kulit berwarna porselen, dan sebagainya. Kriteria-kriteria ini semakin nyata dengan populernya beberapa jenis operasi plastik di Korea yaitu operasi kelopak mata (blepharoplasties), operasi hidung (rhinoplasties), serta operasi rahang (Leem, 2007 dalam Hollyday & Elfving-Hwang, 2012). Kriteria-kriteria tersebut adalah kriteria yang hampir sama persis dimiliki oleh kriteria kecantikan di Amerika (Cunningham, Roberts, Barbee, Druen, and Wu 1995). Dengan adanya kriteria kecantikan yang meniru orang kulit putih, artikel dan majalah menganggap tubuh asli Korea adalah kecacatan (Kim, 2003).

Meskipun terpengaruh oleh negara Barat, kecantikan di Korea tidak seperti di negara Barat. Masyarakat di negara Barat melakukan operasi plastik karena pilihan individu. Sementara, masyarakat Korea melakukan operasi plastik lebih karena ingin menyamakan bagian tubuh mereka dengan orang lain di sekitarnya (Inoue, 1996 dalam Kim, 2003). Hal tersebut juga merupakan pengaruh budaya Neo-Konfusian yang mengajarkan bahwa tubuh manusia dialiri oleh Ki yang mempersatukan manusia dengan alam semesta, artinya manusia harus menyatu dengan manusia lainnya (Kim, 2003). Akibatnya bangsa Korea menjadi bangsa kolektivis dimana perilaku manusia lebih dipengaruhi oleh norma sosial.

(36)

Perempuan di negara kolektivis lebih mungkin membandingkan diri mereka dengan penampilan orang lain untuk memastikan bahwa mereka tidak terlalu jauh dari norma yang diterima masyarakat (menyatu dengan yang lain). Selain itu mereka lebih sensitif terhadap opini orang lain mengenai penampilan (Jung & Lee, 2006).

Bagi perempuan Korea, memiliki penampilan yang menarik secara fisik adalah sepenting memiliki kecantikan dalam diri (Jung & Lee, 2006). Kendall (dalam Jackson, Keel, & Lee, 2006) mengatakan bahwa perempuan Korea yang sesuai dengan norma kecantikan akan lebih sukses dalam pernikahan dan pekerjaan. Kaw (1994, dalam Kim, 2003) mengatakan bahwa operasi plastik penting untuk kesuksesan ekonomi. Itu sebabnya operasi plastik di Korea menjadi hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat biasa hingga kalangan selebriti demi kesuksesan karir mereka. Beberapa contoh artis yang melakukan operasi plastik misalnya Kim Hyun Jun, Kwanghee, Jessi, Yung Chae Yeon, dan Minzy. Hasilnya, kecantikan ala Korea ini justru memberikan pengaruh bagi persepsi mengenai kecantikan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

C. Mekanisme Terbentuknya Body image

1. Perbandingan Sosial

Kecantikan yang bersifat relatif membuat perempuan melakukan perbandingan sosial dengan standar kecantikan masyarakat untuk mengukur tingkat daya tarik mereka (Evans & McConnell, 2003). Perbandingan sosial terjadi karena tidak adanya ukuran objektif mengenai suatu atribut atau dimensi sehingga orang lain yang dirasa lebih memberikan informasi tentang dimensi atau

(37)

atribut yang sedang dievaluasi (Festinger, 1954). Membandingkan diri dengan orang lain dirasa lebih efisien karena lebih mudah daripada mencari sebuah standar objektif yang konkret (Baron & Branscombe, 2013). Artinya, membandingkan diri kita dengan orang lain menyederhanakan proses kognitif yang terjadi daripada kita sibuk mencari standar yang layak.

Ketika kita membandingkan diri dengan orang yang lebih buruk dari kita maka kita sedang melakukan downward comparison. Namun, ketika kita melakukan perbandingan dengan orang yang lebih baik dari kita maka kita sedang melakukan upward comparison. Seseorang akan melakukan downward comparison ketika ia sedang ingin menjaga dirinya tetap positif dan menghindari kecemasan. Namun, orang akan melakukan upward comparison ketika ia ingin melakukan peningkatan dan perbaikan diri (Corcoran, Crucius, & Mussweiler, 2011).

Pinkasavage, Arigo, & Schumacher (2015) mengatakan bahwa perbandingan sosial dalam hal penampilan dilakukan dengan orang yang lebih baik secara fisik (misalnya lebih kurus atau lebih menarik). Penelitian yang dilakukan oleh Fardouly, Pinkus, & Vartanian (2017) menemukan bahwa dalam hal berpenampilan perempuan seringkali melakukan upward comparison lewat media massa. Starhan, Wilson, Cressman, & Boute (2006, dalam Brown & Tiggeman, 2016) mengungkapkan bahwa dalam hal berpenampilan perempuan membandingkan penampilannya dengan fashion model dan selebriti. Dapat disimpulkan bahwa selebriti atau figur media seringkali menjadi ukuran penampilan ideal.

(38)

Namun ternyata melakukan upward comparison dapat berisiko membuat seseorang menjadi rapuh (Corcoran, Crucius, & Mussweiler, 2011). Perbandingan sosial dengan orang yang lebih superior di suatu bidang dapat menimbulkan tekanan emosi dan penurunan self-esteem (Major, Testa, & Bylsma, 1999 dalam Thompson et al, 1999). Dalam sebuah eksperimen, partisipan yang diberikan instruksi untuk melakukan perbandingan dengan figur media mengalami peningkatan appearance dissatisfaction, sementara yang melakukan perbandingan ke bawah dan dengan objek yang setara cenderung mengalami penurunan appearance dissatisfaction (Cattarin,Thompson, Thomas, & Williams, 2000).

2. Ketertarikan Interpersonal

Menurut teori belajar sosial, jika seseorang menggemari atau menyukai seorang agen sosial, maka ada kemungkinan orang tersebut akan meniru agen sosial yang disukainya (Bandura, dalam Harrison, 1997). Figur media yang menarik biasanya digambarkan memiliki sikap dan perilaku yang lebih pantas daripada figur yang kurang menarik. Sehingga masyarakat memiliki penilaian bahwa orang yang memiliki penampilan fisik yang menarik dianggap lebih ramah, hangat, dapat dipercaya, dan baik hati (Lemay, Clark, & Greenberg, 2010). Kesan positif ini kemudian membuat para penggemar terdorong untuk meniru idola mereka.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa usia dewasa awal merupakan usia yang penuh eksplorasi dan eksperimen untuk menentukan identitas. Boon & Lomore (2001) melaporkan bahwa seorang idola lebih berpengaruh dalam membentuk identitas dan perasaan layak. Selain itu, anak-anak

(39)

muda dilaporkan memakai produk yang dipakai oleh selebriti untuk mendapatkan identitas diri yang ideal dalam meningkatkan diri (Swann, Serrousi, & Giesler, 1982 dalam Chan & Prendergast, 2008). Anak-anak muda juga dilaporkan ingin memperbaiki penampilan fisik, kemampuan, nilai, dan sikap mereka untuk mengikuti idola mereka (Caughey, 1994). Dengan demikian kegemaran terhadap artis Korea juga diasumsikan memiliki pengaruh dalam membentuk body image.

D. Kerangka Konseptual

Gambar 1

Kerangka Konseptual

Perempuan di usia dewasa awal memiliki tugas perkembangan diantaranya adalah menjalin hubungan romantis dan memasuki dunia kerja. Oleh sebab itu

(40)

mereka memiliki kebutuhan untuk berpenampilan menarik. Dalam hal hubungan romantis, penampilan yang menarik berguna untuk memikat lawan jenis (Santrock, 2011). Sedangkan dalam dunia kerja, penampilan yang menarik akan membuat karir menjadi lebih baik (Jackson, 1992).

Kehadiran Korean Wave dinilai telah memberikan pengaruh dalam hal kecantikan ideal pada perempuan. Hal ini terbukti dari maraknya operasi plastik yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di dunia (Harden, 2007) serta terjualnya produk kosmetik Korea di pasaran dunia (Mutiara & Syahputra, 2018). Kota Seoul di Korea Selatan kini menjadi destinasi para turis mancanegara untuk melakukan operasi plastik (Nurbayani & Ainnuraini, 2016). Hal ini menimbulkan asumsi bahwa Korean Wave yang telah masuk ke Indonesia juga telah memengaruhi persepsi perempuan Indonesia mengenai kecantikan ideal. Perilaku perempuan yang selalu membandingkan tubuh mereka dengan selebriti (Starhan et al 2006, dalam Brown & Tiggeman, 2016) serta peran media dalam tersebarnya Korean Wave membuat peneliti meyakini bahwa fenomena Korean Wave telah berpengaruh terhadap body image para penggemar perempuannya.

Pengaruh kecantikan Korea terhadap body image perempuan ini bisa dilihat dari proses perbandingan sosial serta ketertarikan interpersonal. Karena kecantikan bersifat relatif, maka perempuan seringkali melakukan perbandingan sosial dengan figur media atau selebriti yang mereka jadikan sebagai standar kecantikan ideal. Biasanya seseorang akan menjadikan idola mereka sebagai contoh kecantikan ideal. Idola atau seseorang yang kita sukai dapat memengaruhi nilai-nilai dan gaya hidup yang kita miliki. Sari (2015) telah menyebutkan bahwa

(41)

keterpaparan perempuan Indonesia terhadap produk budaya populer Korea membuat mereka menjadikan artis Korea sebagai role model dalam hal kecantikan. Hampir serupa dengan itu, penelitian Nurbayani & Ainnuraini (2016) menunjukan bahwa para responden ingin memiliki fitur penampilan layaknya artis Korea.

Namun, penampilan selebriti kadang-kadang bukanlah hal yang realistis untuk kita ikuti dan dapat berpengaruh terhadap body image. Dalam penelitian ini akan diungkap beberapa komponen mengnai body image yaitu tingkat kepuasan terhadap tubuh secara keseluruhan, afeksi, kognisi, dan perilaku terhadap tubuh. Komponen kepuasan secara keseluruhan berbicara mengenai kepuasan terhadap bentuk, berat, dan bagian tubuh tertentu. Komponen afeksi berbicara mengenai perasaan-perasaan yang muncul terkait dengan tubuh. Kemudian, komponen kognitif berbicara tentang harapan-harapan mengenai tubuh. Sedangkan komponen perilaku membahas mengani tindakan-tindakan yang dilakukan berkaitan dengan tubuh (Menzel, Krawczyk, & Thompson, 2011).

(42)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif peneliti secara nyata berbicara langsung dengan orang-orang serta menyaksikan mereka bertingkah laku dan bertindak di tengah konteks mereka. Penelitian kualitatif berusaha menyerap makna tentang isu atau masalah yang diteliti sebagaimana diyakini atau dihayati oleh para partisipan. Selain itu, rencana dalam penelitian kualitatif tidak diikuti secara kaku. Berbagai fase atau tahap penelitian sangat mungkin berubah saat peneliti terjun ke lapangan. Penelitian ini juga bersifat subjektif sehingga beragam interpretasi bisa muncul (Creswell, 2009 dalam Supratiknya, 2015).

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Isi Kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif. AIK merupakan metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005 dalam Supratiknya, 2015). Sedangkan pendekatan deduktif dipilih karena peneliti ingin menguji kembali teori atau gagasan tentang suatu fenomen dalam konteks yang baru dan menggunakan subjek yang baru pula. Seperti yang kita ketahui bahwa topik mengenai body image telah banyak diteliti. Namun penelitian ini ingin mengungkap body image dalam konteks fenomena Korean Wave. Melalui AIK teks atau kata-kata yang diutarakan responden

(43)

nantinya akan disaring ke dalam sejumlah kecil kategori yang mewakili aneka isi tertentu (Supratiknya, 2015).

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah body image atau body image pada perempuan penggemar budaya populer Korea. Penelitian ini akan mengungkap bagaimana para perempuan penggemar budaya Korea mencitrakan tubuh mereka ketika mereka terpapar salah satu unsur fenomena Korean Wave yaitu standar kecantikan Korea. Body image tersebut akan diungkap melalui aspek-aspek yang dikemukakan Menzel, Krawczyk, & Thompson (2011) yaitu kepuasan keseluruhan terhadap tubuh, afektif, kognitif, dan perilaku.

Kepuasan secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai pendapat yang positif mengenai komponen tubuh seperti berat, bentuk, dan hal lain yang berkaitan dengan tubuh. Sebaliknya, ketidakpuasan dapat dilihat dari pendapat negatif mengenai tubuh. Sedangkan aspek afektif merupakan komponen perasaan terhadap tubuh yang meliputi kecemasan, merasa tertekan, dan emosi lain yang terkait dengan tubuh. Sementara aspek kognitif dapat didefinisikan sebagai pikiran, kepercayaan, dan harapan terhadap tubuh. Selanjutnya, aspek perilaku didefinisikan sebagai manifestasi perilaku dari body image misalnya menghindari kaca, situasi umum, mencubit kulit, dan lain-lain.

C. Partisipan

Dalam penelitian kualitatif, sampel penelitian ditentukan secara purposeful atau memilih partisipan yang dipandang dapat memberikan informasi terkait dengan topik penelitian. Partisipan dipilih berdasarkan kriteria tertentu atau

(44)

criterion-based. Penelitian ini akan meneliti tentang body image pada perempuan penggemar budaya pop Korea. Sehingga partisipan yang dipilih adalah Perempuan yang memasuki masa dewasa awal yaitu dalam rentang usia 18-25 tahun, memiliki kegemaran akan budaya pop Korea, dan pernah atau sedang menggunakan perwatan, make up, dan fashion ala Korea. Perempuan dalam rentang usia dewasa awal dipilih karena memiliki tugas perkembangan yang berhubungan dengan penampilan fisik.

Peneliti tidak membatasi jumlah partisipan yang akan terlibat karena data akan dikumpulkan sampai titik redundasi, yaitu hingga kondisi dimana tidak akan diperoleh informasi baru lagi dengan menambah data. Artinya, bagaimana sampel diperoleh serta kualitas, panjang dan kedalaman data wawancara, dan tersedianya evidensi yang beragam jauh lebih penting daripada seberapa besarnya sampel (Supratiknya, 2018). Peneliti harus fleksibel dan sampel bisa berubah selama penelitian (Creswell, 2007). Namun sebagai langkah awal peneliti menentukan tiga responden agar menjaga kredibilitas data yang akan dihasilkan. Identitas mengenai partisipan dapat dilihat dalam Tabel 1.

(45)

Tabel 1. Identitas partisipan Inisial Umur P1 23 Tahun P2 21 Tahun P3 22 Tahun P4 23 Tahun D. Peran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Sebagai instrumen kunci, peneliti sendirilah yang benar-benar mengumpulkan data (Supratiknya, 2015). Dalam penelitian ini, peneliti akan turun langsung untuk mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan. Setelah menemukan partisipan dengan kriteria yang sesuai, peneliti akan menjelaskan penelitian yang akan dilakukan dan meminta persetujuan untuk melakukan pengambilan data. Setelah itu, barulah peneliti bisa melakukan pengambilan data dengan cara mewawancarai partisipan.

Wawancara dilakukan secara perorangan dengan pertanyaan semi terstruktur. Partisipan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang peneliti kenal namun tidak memiliki kedekatan khusus atau emosional dengan peneliti. Tempat berlangsungnya wawancara ditentukan oleh kesepakatan peneliti dan partisipan demi kenyamanan saat pelaksanaan wawancara.

Potensi yang paling buruk dari penelitian ini adalah keragu-raguan partisipan dalam menjawab pertayaan yang diajukan oleh peneliti. Keragu-raguan

(46)

ini kemungkinan muncul karena partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan sedangkan peneliti adalah laki-laki. Topik dalam penelitian ini membahas mengenai penilaian perempuan mengenai tubuhnya sehingga kemungkinan pertanyaan-pertanyaannya bisa menjadi sensitif bagi para partisipan. Untuk mencegah hal ini terjadi peneliti akan mengantisipasinya dengan meminta saran dan melakukan uji coba kepada teman-teman perempuan peneliti agar dapat meminimalisir pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan partisipan.

E. Metode Pengambilan dan Perekaman Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Wawancara merupakan tehnik mendapatkan data dengan cara mengadakan percakapan secara langsung antara pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang diwawancarai (interviewee) yang menjawab pertanyaan itu (Djamal, 2015: 75). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini merupakan wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur memungkinkan partisipan untuk menjawab pertanyaan secara luas dan terbuka. Protokol wawancara dipersiapkan untuk memancing percakapan dan sebagai pedoman agar wawancara tidak keluar dari topik penelitian (Willig, 2008). Selain itu, proses wawancara juga didokumentasikan menggunakan perekam audio. Hal ini bertujuan untuk mempermudah peneliti ketika membuat verbatim.

Beberapa hal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan wawancara adalah mebuat protokol wawancara. Protokol wawancara didasarkan pada pertanyaan penelitian serta landasan teori yang digunakan oleh peneliti sehingga

(47)

jawaban-jawaban dari partisipan diharapkan sesuai dengan aspek-aspek yang ingin digali. Berikut adalah protokol wawancara yang dipersiapkan oleh peneliti:

Pertanyaan pembuka:

1. Sejak kapan menjadi penggemar budaya Korea? 2. Sejauh apa anda menggemari budaya Korea?

3. Mengapa anda menyukai budaya (produk hiburan) Korea?

4. Apakah anda mengetahui tentang budaya kecantikan Korea? Bagaimana menurut anda tentang hal tersebut?

Wawancara komponen body image:

1. Apakah anda pernah berpikir untuk mengikuti budaya kecantikan tersebut? (aspek kognitif)

2. Apa yang anda lakukan terhadap penampilan anda ketika menghadapi paparan budaya kecantikan Korea? (aspek perilaku)

3. Apa yang anda rasakan mengenai penampilan anda ketika anda melihat artis Korea yang menarik? (aspek afektif)

4. Bagaimana penilaian anda mengenai penampilan anda seiring dengan paparan kecantikan artis Korea yang anda lihat? (aspek kepuasan secara keseluruhan).

F. Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun data secara sistematis sehingga mudah dipahami dan hasil temuannya dapat disampaikan kepada orang lain (Sugiyono, 2010 dalam Djamal 2015). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Analisis Isi Kualitatif (AIK). AIK

(48)

bertujuan untuk mengupas komunikasi secara mendalam dengan mengklasifikasikan sebuah teks yang berjumlah besar ke dalam sejumlah kecil kategori yang mengungkapkan makna yang serupa. Hasil wawancara yang berupa rekaman elektronik nantinya akan ditranskripsikan terlebih dahulu menjadi teks atau tulisan. Data-data yang berupa teks tersebut nantinya diklasifikasikan ke dalam sejumlah kecil kategori yang mewakili aneka isi tertentu (Supratiknya, 2015).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif mencoba menguji ulang penelitian-penelitian yang telah ada dalam konteks atau fenomena yang baru (Supratiknya, 2015). Langkah-langkah yang dilakukan untuk analisi data diantaranya adalah sebagai berikut: (1) menyusun sebuah matriks kategorisasi, kemudian; (2) melakukan pengodean atau coding. Ketika akan melakukan coding peneliti membaca terlebih dahulu keseluruhan trankrip wawancara. Setelah itu peneliti langsung membubuhkan kode pada kalimat atau kata-kata yang dipandang merepresentasikan fenomena yang diteliti.

(49)

Tabel 2.

Kerangka Analisis

Komponen Body image Pemahaman

Kepuasan secara keseluruhan Ungkapan puas atau tidak puas terhadap tubuh melalui perkataan.

Afektif Perasaan yang muncul terkait dengan tubuh ketika terpapar objek atau situasi yang meningkatkan kesadaran akan penampilan. Kognitif Suatu harapan dan kepercayaan yang berkaitan

dengan penampilan.

Perilaku Tindakan-tindakan yang berpusat pada penampilan seperti usaha mengubah

penampilan dengan make up, olahraga, dan operasi plastik.

G. Kredibilitas Penelitian

Beberapa cara yang akan digunakan untuk menegakan kredibilitas dalam penelitian ini diantaranya adalah kecukupan refrensi, pengecekan sejawat, dan

thick description. Menurut Djamal (2015) kecukupan refrensi merupakan

kecukupan bukti pendukung atas terkumpulnya data. Dalam penelitan ini peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara. Sehingga rekaman wawancara menjadi bukti pendukung untuk membangun kredibilitas data yang akan disajikan.

(50)

Cara kedua untuk menegakan kredibilitas dalam penelitian ini ialah menggunakan thick description. Dengan thick description peneliti akan memaparkan setting penelitian, umur, dan seberapa jauh subjek menggemari budaya Korea. Cara selanjutnya yang akan dilakukan untuk membangun kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan memaparkan kemungkinan bias-bias yang ada dalam penelitian ini. Bias tersebut diantaranya dipengaruhi oleh perbedaan gender. Bias yang dipengaruhi perbedaan gender misalnya ketika peneliti tidak memahami seberapa penting fitur penampilan tertentu yang diharapkan oleh partisipan. Hal tersebut bisa membuat peneliti melewatkan informasi penting yang sebenarnya dapat digali lebih lanjut. Peneliti mencoba mengatasi hal tersebut dengan membandingkan hasil wawancara satu partisipan dengan partisipan lainnya.

(51)

40

BAB IV

HASIL & PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sekitar bulan Mei dan Juni 2019 di Yogyakarta. Pengambilan data dengan metode wawancara dilakukan secara tatap muka per individu. Peneliti melibatkan empat orang partisipan guna memperoleh informasi yang terkait dengan penelitian. Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti memberikan inisial kepada para partisipan berupa P1, P2, P3, dan P4.

Pendekatan kepada partisipan dilakukan secara langsung baik melalui tatap muka maupun via chatting. Peneliti menentukan partisipan berdasarkan pengamatan sehari-hari peneliti terhadap perilaku partisipan baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya dimana perilaku tersebut menunjukkan kegemaran partisipan terhadap budaya populer Korea. Awalnya peneliti menanyakan tentang kegemaran mereka terhadap budaya populer Korea dan sejauh apa mereka mengikuti cara artis Korea berpenampilan dan merawat tubuh. Setelah dirasa sesuai, peneliti kemudian mengajak calon partisipan tersebut untuk terlibat dalam penelitian ini. Sembari mengajak, peneliti juga menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini. Setelah partisipan menyatakan bersedia teribat maka peneliti akan membuat janji dengan partisipan untuk menentukan waktu pelaksanaan wawancara sekaligus penandatanganan informed consent. Pelaksanaan wawancara dengan partisipan diuraikan dalam tabel 3 berikut:

(52)

Tabel 3.

Pelaksanaan wawancara

Partisipan Tanggal

Wawancara

Durasi Tempat

P1 21 Mei 2019 47 Menit Kos partisipan P2 31 Mei 2019 25 menit Rumah makan P3 10 Juni 2019 25 menit Rumah makan P4 30 Juni 2019 22 menit Perpustakaan

B. Latar Belakang Partisipan 1. Partisipan 1 (P1)

P1 merupakan seorang mahasiswi di sebuah universitas di Yogyakarta. Saat ini P1 berumur 23 tahun. P1 mengenal budaya Korea melalui drama Korea yang ditontonnya sewaktu masih duduk di bangku SMP. Kemudian saat duduk di bangku SMA P1 mulai menyukai musik Korea karena terpengaruh teman sebangkunya yang lebih dahulu menyukai musik Korea.

P1 memiliki tinggi 165 cm dan berat 65 kg dengan BMI sebesar 23,9 yang termasuk dalam kategori gemuk. P1 memiliki warna kulit coklar. Selain itu, P1 juga memiliki rambut berwarna hitam yang ikal dan agak mengembang. Bentuk kepala yang dimiliki oleh P1 adalah oval. Dalam kesehariannya P1 seringkali berpenampilan casual layaknya anak muda pada umumnya. Ia tidak terlalu mencolok dalam berpenampilan dengan memakai baju dan make up seperlunya. Selain itu, P1 selama ini mengenakan kacamata minus.

(53)

Dalam beberapa tahun ini P1 mengalami masalah hormonal yang membuat wajahnya ditumbuhi bintik-bintik seperti jerawat yang agak merata di bagian wajah sehingga terkadang ia harus memakai obat kulit yang disarankan oleh dokter. Hal itu membuat P1 mencoba untuk mengikuti perawatan wajah ala artis Korea. Namun sayangnya hal tersebut tidak berpengaruh bagi kondisi wajahnya.

P1 mengatakan bahwa ia memiliki jari tangan yang bantat atau cacat. Jari tangan ini seringkali ia bandingkan dengan jari tangan milik artis Korea yang menurutnya panjang dan lentik. Namun demikian jari tangannya masih dapat berfungsi dengan baik dan normal.

Kegemaran P1 terhadap budaya populer Korea ditunjukkan dengan mengoleksi merchandise berupa foto-foto dan membeli barang atau sesuatu yang mana idolanya menjadi ambassador dari barang tersebut. Selain itu ketika diwawancara P1 mengaku sedang menunggu album fisik idolanya yang sudah dipesan dikirim ke kosnya. P1 juga menabung agar bisa suatu saat bisa melihat konser musik Korea.

P1 mengetahui tentang adanya budaya kecantikan Korea, khususnya mengenai operasi plastik. Menurut P1 operasi plastik yang dilakukan artis Korea berguna untuk membentuk kepercayaan diri. Namun P1 juga menjelaskan bahwa saat ini operasi plastik sudah mulai berkurang. Menurutnya saat ini para artis Korea lebih memilih pola hidup yang lebih alami seperti melakukan diet. Diet ala artis Korea inipun juga diikuti oleh P1. P1 melakukan diet dengan cara mengurangi makanan yang mengandung gula, lemak, dan protein. Dampaknya

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konseptual...........................................................................28
Tabel 1. Identitas Partisipan...................................................................................34  Tabel 2
Tabel 1.  Identitas partisipan  Inisial  Umur  P1  23 Tahun  P2  21 Tahun  P3  22 Tahun  P4  23 Tahun  D

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang dihadapi RA selain keterbatasan bantuan sarana yang belum merata atau pun tenaga pendidik, juga masalah status akreditasi. Data tersebut memberi

Semua mahasiswa yang menduduki ranking 10 besar di jurusannya, juga harus dapat berbahasa Perancis.. Simpulan yang tepat tentang semua mahasiswa jurusan Sastra Indonesia adalah

Hence, some areas in Indonesia use buffalo milk for preparing traditional dairy products, such as minyak samin (ghee) in Aceh, Northern Sumatera; dali or bagot ni

Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses penggarapan karya untuk menyampaikan gagasan tentang salah satu tokoh wayang yaitu Watugunung, yang ketika muda bernama Jaka Wudhug

Alat perekam atau pereproduksi video, Semua tipe dan ukuran digabung dengan video tuner maupun tidak. Aparatus penerima untuk Televisi, digabung Semua tipe dan ukuran

Tanaman selada umur 25 dan 35 hst memiliki respon pertumbuhan yang nyata lebih baik dibanding kontrol yang ditandai dengan peningkatan berat kering akar pada perlakuan penyiraman

Hasil pengukuran parameter SNEDDS pada perbandingan basis SNEDDS ibuprofen, asam oleat : tween 20 : PEG 400 pada formula 1 hingga formula 3 dipengaruhi oleh minyak

yang memiliki undang-undang hak atas informasi, tetapi hal ini sangat menantang bagi negara seperti Indonesia yang baru saja memberlakukan undang-undang hak atas informasi. Di