18
Bab II
Teori Monisme-Dualisme dan
Teori Internasionalisme
Bab ini akan menjelaskan secara deskriptif mengenai teori monisme-dualisme beserta kritik terhadap teori tersebut. Teori kedua yang akan dibahas adalah suatu general theory yang penulis namakan dengan istilah teori internasionalisme yang secara spesifik menggunakan teori transnational legal process
teori international constitution.
A.Teori Monisme-Dualisme
Dalam rangka menentukan atau menjustifikasi dasar keterikatan negara terhadap hukum internasional, terdapat 2 teori klasik yang umum digunakan yaitu teori monisme dan teori dualisme. Kedua teori tersebut menjelaskan bagaimana hukum internasional dapat mempengaruhi hukum nasional di suatu negara.
1.Monisme
1.1.What is monism theory ?
Pada dasarnya, teori monisme berangkat dari mahzab hukum alam (natural law). 1 Hans Kelsen mengatakan, “The ultimate source of the validity of all law
derived from a basic rule (‘Grundnorm’) of
19 international law.” 2 Ia berprinsip bahwa
hukum internasional adalah konsekwensi langsung dari basic norm seluruh hukum3,
sehingga mengikat setiap individu di seluruh negara secara kolektif 4 sebagaimana
dikatakan Judge Lauterpacht dalam the Norwegian Case yang mengatakan bahwa
setiap individu adalah “the ultimate unit of all
law”5.
Teori monisme berbicara mengenai hukum internasional dapat masuk secara otomatis ke dalam hukum nasional tanpa memerlukan transposisi lebih lanjut.6 Hal
tersebut dikarenakan teori ini melihat hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang dipandang sebagai dua komponen dari satu kesatuan ‘tubuh’ pengetahuan yang dinamakan hukum. 7
Makna kesatuan tubuh pengetahuan
tersebut melahirkan 2 varian dari teori
2 Peter Malanczuk, Modern Introduction To International Law,
New York: Routledge, 1997, hlm. 63.
3 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 69.
4 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hlm. 7.
5 A.F.M. Maniruzzaman, “State Contracts in Contemporary
International Law: Monist versus Dualist Controversies” EJIL Vol. 12 No. 2, (2001), hlm 312. Diunduh dari http://www.ejil.org/pdfs/12/2/1519.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 13.03 WIB.
6 Margot Horspool dan Matthew Humphreys, European Union Law, New York: Oxford University Press, 2006, hlm. 175. Baca juga
Simon Butt, “The Position of International Law Within The Indonesian Legal System” Emory International Law Review 28 (1),
2014, hlm. 4.
20
monisme ini, yakni supremasi hukum internasional di atas hukum nasional dan supremasi hukum nasional di atas hukum internasional.8
Varian pertama dari teori monisme yakni supremasi hukum internasional di atas hukum nasional berkembang dari fenomena hukum internasional sebagai konsekwensi langsung dari basic norms
dapat dilihat di era paska Perang Dunia I dan Perang Dunia II 9 dimana penetrasi
hukum internasional dalam hukum nasional
timbul mencolok dengan gerakan
internasionalisasi besar-besaran di bidang
hak asasi manusia yang kemudian
melahirkan kewajiban internasional bagi setiap negara seperti dokumen Universal Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948.
Varian kedua teori monisme yang meletakkan primat pada hukum nasional lahir sebagai reaksi dari varian pertama dimana varian ini mendemonstrasikan
8 Stevan Voigt, “The Interplay
Between National and International Law – Its Economic Effects Drawing on Four New
Indicators” hlm. 4. Diunduh dari
http://wp.peio.me/wp-content/uploads/2014/04/Conf4_Voigt-12.04.2010.pdf pada
tanggal 15 Februari 2016 pukul 10.00 WIB.
9 Vladlen S. Vereshchetin, “New Constitution and the Old
Problem of the Relationship between International Law and
21
bahwa hukum internasional merupakan desain hubungan antar bangsa sehingga hukum internasional berasal dari hak internal masing-masing negara. 10 Berbeda
dengan dualisme yang mengutamakan
proses transformasi, variasi kedua teori monisme ini lebih menghendaki adanya
treaty untuk dapat berlaku langsung di wilayah domestik.
Negara monisme seperti Perancis, Belanda, dan Itali meletakkan pengaturan
ke-monisme-an negaranya di dalam
konstitusi masing-masing negara dimana
keutamaan diberikan pada hukum
internasional.11 Hal tersebut juga nampak
dalam the European Union yang
menghendaki adanya peralihan legislative power dari negara-negara Eropa ke institusi tersebut.12 Teori monisme ini terlihat ketika
negara-negara Eropa secara sadar ingin tunduk kepada hukum internasional yang diatur dalam the European Union untuk
10Emilian Ciongaru, “The Monistic and The Dualistic Theory
in
European Law”, hlm. 4. Diunduh dari
http://www.ugb.ro/Juridica/Issue1EN/10_Teoria_monista_si_dual ista_in_dreptul_europeanCiongaruEN.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 11.27 WIB.
11 Wisnu Aryo Dewanto, “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia” Jurnal Opinio Juris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Volume 04, 2012, hlm. 21.
22
kemudian menerapkannya dalam yuridsiksi masing-masing negara tersebut.
1.2.Kritik Terhadap Teori Monisme
Meski perangkat validasi teori monisme didasarkan pada basic norm 13 , namun
hukum internasional tidak lantas menjadi
per se menciptakan atau memvalidasi hukum nasional 14 . Melihat kepada sisi
sejarah, hukum nasional jauh lebih dulu muncul sebelum hukum internasional dibentuk.15 Premis monisme adalah premis
yang a-historis, dimana secara hierarkis hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional sehingga hukum internasional seharusnya lebih dahulu (padahal tidak demikian). 16 Mengingat hukum nasional
lebih dulu terbentuk, maka tidak seharusnya hukum internasional dipandang sebagai hukum yang superior atas hukum nasional.
Kritik berikutnya terkait dengan asas
pacta sunt servanda yaitu suatu kontrak hanya dapat mengikat para pihak yang
menyepakatinya. 17 Teori monisme
13 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional: Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 99.
14 Edwin Borchard, “Relation Between International Law and Municipal Law” Faculty Scholarly Series Paper 3498 (Yale Law School, 1940), hlm. 140.
15Ibid., hlm 142.
16 Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 28.
17 Yusuf Caliskan, “The Development of International
23
meletakkan norma dasar (basic norms) atau dalil fundamental untuk keberlakuannya bagi setiap individu. Terdapat 2 masalah terkait hal ini, yakni pertama, norma dasar bersifat abstrak atau tidak memiliki bentuk konkret sehingga akan sulit bagi setiap individu untuk mematuhinya. Kedua, teori monisme dianggap tidak sejalan dengan asas
pacta sunt servanda karena sifatnya yang universal akan mematahkan keberlakuan asas ini.
Kritik lain terhadap teori monisme
mempertanyakan
kemungkinan-kemungkinan terdapatnya pertentangan antara hukum internasional dan hukum nasional, atau konflik antara moral norms
dan legal norms.18 Masalah muncul ketika
masing-masing dari hukum internasional dan hukum nasional memiliki substansi yang saling bertolakbelakang dalam penyelesaian suatu sengketa sehingga menimbulkan situasi tumpang tindih dalam penerapan kedua jenis hukum tersebut. Dalam situasi demikian, norma hukum internasional dan hukum nasional yang berkonflik tidak akan bisa berkoherensi
Their Application to a Possible Multilateral Agreement on
Investment”, Florida: Dissertation.com, 2008, hlm. 24.
24
dalam satu sistem seperti yang teori monisme inginkan.19
Tidak hanya pertentangan antara aras hukum internasional dan hukum nasional, namun pertentangan yang timbul dari sesame aras hukum internasional itu sendiri. Sebagai contoh, kasus Ahmed Ali Yusuf and Al Barakaat International Foundation v. Council and Commission dan kasus Yassin Abdullah Kadi v. Council and Commission.20
Kasus tersebut membawa pertanyaan inti
apakah European Council memiliki
kekuasaan sah atau kompetensi untuk membuat sebuah regulasi yang mengijinkan
pembekuan keuangan seseorang atau
organisasi yang diduga telah membiayai aktivitasi organisasi teroris seperti Al Qaeda.21 Pertentangan norma dalam kasus
ini terjadi di level hukum internasional, yakni antara hukum hak asasi manusia yang berlaku universal dan hukum internasional melalui lembaga European Council bagi negara-negara Eropa.
2.Dualisme
2.1.What is dualism theory?
Teori dualisme sering diidentikkan dengan mahzab positivisme karena
19 Torben Spaak, “Kelsen on Monism and Dualism”, hlm. 7.
Diunduh dari http://ssrn.com/abstract=2231530 pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 12.54 WIB.
25
sama mengutamakan hukum nasional
dengan bentuk peraturan
perundang-undangan.22 Hal ini menyebabkan seorang
pengacara internasional juga dianggap sebagai seorang dualist sekaligus positivist.
Berbeda dengan teori monisme yang
meletakkan primatnya pada hukum
internasional, teori dualisme justru mengutamakan hukum nasional berdasarkan kedaulatan negara masing-masing sehingga hukum internasional tidak dapat memaksa suatu negara untuk patuh terhadap hukum internasional. 23 Menurut teori ini, hukum
internasional dan hukum nasional masing-masing merupakan dua sistem yang berbeda secara intrinsik.24
Teori dualisme tidak menginginkan adanya pencampuran wilayah antara hukum internasional dan hukum nasional. 25
Menurut teori ini, akan sangat sulit dibayangkan apabila dua sistem hukum
22Giorgio Gaja, “Positivism and Dualism in Dionisio Anzilotti” European Journal International Law, 1992, hlm. 123.
23 Anthony D’Amato, “The Coerciveness of International Law” Faculty Working Papers Paper 91, Northwestern Universitiy School Of Law, 2010, hlm. 3. Diunduh dari http://scholarlycommons.law.northwestern.edu/cgi/viewcontent.c gi?article=1090&context=facultyworkingpapers pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 15.51 WIB.
24 Sugeng Istanto, Op.Cit., hlm. 8.
25 Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction, Colorado: Westview Press, 1991, hlm. 23. Lihat juga 8 karakter murni teori dualisme, Damos Damoli Agusman, 2014,
26
tersebut dilaksanakan secara bersamaan oleh individu. 26 Asumsi logisnya, kedaulatan
negara menjadi basis kuat untuk
menempatkan individu secara khusus di bawah hukum nasional sehingga apabila hukum internasional dan hukum nasional melebur, maka akan timbul pergulatan antara kedaulatan negara dengan tatanan hukum internasional27.
Pemisahan tegas antara hukum
internasional dan hukum nasional yang dikehendaki teori dualisme kemudian diikuti dengan penggunaan teori transformasi. Dalam negara yang menganut teori dualisme,
pengadilan tidak dapat menerapkan
perjanjian internasional secara langsung kecuali perjanjian internasional tersebut telah ditransformasi ke dalam legislasi nasional.28
Dengan kata lain, suatu hukum internasional hanya bisa berlaku dalam suatu negara apabila terdapat prosedur konstitusional (proses transformasi) yang menariknya ke dalam sistem hukum nasional.
26 Borchad Edwin, Op.Cit., hlm. 140.
27 Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Limited, 2000, hlm. 101.
28 Bahakal Yimer dkk., “Application of International Investment Agreement by Domestic Courts”, (2011). Diunduh dari
27
Hal ini berimplikasi bahwa semua hukum internasional kemudian bersifat non self-executing. The Whitney doctrine
menjelaskan teori non self-executing treaty
yang berkembang di abad ke-19 ini, sebagai suatu batasan konstitusional dalam
kekuasaan pembuat treaty untuk
menciptakan hukum domestik melalui
treaty.29 Artinya suatu perjanjian yang non-self-executing memerlukan suatu aturan pelaksana nasional terlebih dahulu sebelum perjanjian tersebut dilaksanakan.
Dalam terma praktisnya, hukum internasional dipandang tidak bisa digunakan untuk memvalidasi hukum domestik atau
vice versa, kewajiban-kewajiban seharusnya muncul di bawah satu sistem yang tidak bisa secara otomatis dipindahkan ke sistem lainnya. 30 Penganut teori dualisme ini di
antaranya adalah Irlandia dan Inggris. 2.2.Kritik Terhadap Teori Dualisme
Salah satu kritik terhadap teori dualisme disampaikan oleh Kelsen yang mengatakan apabila hukum internasional dan hukum nasional adalah dua hal yang sangat berbeda tanpa hubungan apapun,
maka penggunaan kata “hukum” pada 2
29 David Sloss, “Non-Self-Executing Treaties: Exposing A Constitutional Fallacy” U.C. Davis Law Review Vol. 36 No. 1, 2002, hlm. 5.
28
bidang tersebut adalah salah. 31 Teori
dualisme dipandang telah melawan
kebutuhan atas kesatuan ilmu pengetahuan, termasuk di antaranya adalah ilmu pengetahuan hukum.
Kritik selanjutnya adalah dualist
meletakkan primat pada hukum nasional lalu menghadapi masalah ketika suatu negara secara anarkis menolak untuk patuh terhadap kewajiban internasional. Kelemahan teori dualisme ini dapat ditemukan dari sisi internasional secara praktikal dalam isu tentang tanggung gugat internasional. 32
Apabila terhadap suatu perjanjian
internasional, suatu negara telah bertindak sesuai dengan hukum nasional namun nyatanya telah menimbulkan tanggung gugat di kemudian hari karena tindakannya, maka negara tersebut tidak dapat mengelak dari tanggung gugat internasional tersebut. Hal ini diperkuat dengan Article 27 The 1969 Vienna Convention on The Law of Treaties yang
menyatakan, “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is
without prejudice to article 46”.
Teori dualisme menuntut adanya transformasi hukum internasional ke hukum nasional dengan prosedur konstitusional
29
tertentu di suatu negara. Proses transformasi ini akan mendapati kesulitan ketika diperhadapkan dengan self-executing treaty, sedangkan di negara dualist tidak dapat menerima hukum internasional yang bersifat
self-executing treaty. Sebagai contoh, negara India merupakan negara dualist yang tidak dapat secara langsung melaksanakan hukum internasional dalam negaranya sehingga self-executing treaty tetap harus diubah terlebih dahulu menjadi suatu legislasi yang dikeluarkan oleh Parlemen.33
Selain self-executing treaty, teori dualisme akan mengalami kesulitan juga
ketika diperhadapkan dengan hukum
kebiasaan internasional. Di negara Amerika
Serikat yang menganut monisme,
international customary law ini telah menjadi bagian dari hukum negara tersebut melalui kasus Erie R.R. Co. v. Thomkins.34 Hukum
kebiasaan internasional tidak menimbulkan masalah bagi negara monisme sebab
monisme menekankan primatnya pada
hukum internasional, namun ini akan
berbeda pada negara dualist yang
33Sunil Kumar Agarwal, “Implementation of International Law in India: Role of Judiciary”, hlm. 5. Diunduh dari
http://oppenheimer.mcgill.ca/IMG/pdf/SK_Agarwal.pdf pada tanggal 25 Oktober 2015 pukul 14.26 WIB.
34 Curtis A. Bradley dan Jack L. Goldsmith, “Customary
International Law As Federal Common Law: A Critique of The
30
menekankan primatnya pada hukum
nasional sehingga hukum kebiasaan
internasional yang menjadi bagian dari hukum internasional tidak akan mendapat tempat di sistem hukum nasional negara
dualist.
B.Teori Internasionalisme
1.Transnational Legal Process
Louis Henkin mengatakan, “almost all nations observe almost all principles of international law and almost all of their obligations almost all of
the time”. 35 Pernyataan Henkin tersebut
memberikan gambaran bahwa nyatanya
kebanyakan negara-negara mematuhi hukum internasional dan menjalankan kewajibannya hampir setiap saat. Bahkan negara terisolasi, seperti Korea Utara pun 36 , pasti tetap
membutuhkan interaksi dengan negara lain dalam proses transnasional ekonomi maupun politik. Namun pernyataan Henkin di atas bukan
merupakan jawaban yang tuntas untuk
35 Louis Henkin, “The Constitution and United States
Sovereignty: A Century of Chinese Exclusion and Its Progeny” 100 Harv. L. Rev. 853, 1987, hlm. 875.
36 Pada tahun 1993 Korea Utara menghadapi krisis
kekurangan energy dan bahan pangan sehingga melakukan kerjasama nuklir dengan Amerika Serikat dengan Jepang. Harold
31
menjelaskan alasan-alasan kepatuhan negara terhadap hukum internasional.37
Umumnya, terdapat 2 alasan dominan yang dipakai para sarjana belakangan ini untuk menjelaskan mengapa negara-negara mematuhi hukum internasional – yaitu interest dan identity.38 Pertama, negara akan taat kepada hukum internasional ketika hukum internasional mampu memenuhi kepentingan nasional jangka pendek maupun panjang yang diwujudkan dalam bentuk strategi kerjasama. Kedua, suatu negara taat terhadap hukum internasional karena ia beridentitas negara liberal yang dapat menyerap hukum internasional dalam negaranya. Artinya, semakin tinggi intensitas negara menggunakan hukum internasional, maka semakin lekat ia dengan label negara liberal yang memiliki kapasitas lebih reliable dalam melakukan hubungan internasional dengan negara lain.
Kedua alasan di atas mendapat kritik dari Harold Koh yang menjelaskan alasan kepatuhan negara terhadap hukum internasional sebenarnya tidak sesederhana jawaban “interest”, “identity”,
“identity-formation”, ataupun “international
society”. 39 Hal yang juga harus dilihat dalam
menjawab pertanyaan kepatuhan negara terhadap
37 Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Op.Cit.,
hlm. 183.
38 Ibid, hlm. 199.
32
hukum internasional yakni mengenai pentingnya interaksi dalam transnational legal process, interpretasi norma internasional, dan internalisasi domestik dari norma tersebut.40 Terkait dengan itu
Justice Breyer mengatakan:
“[The] transnational law that is being created is not simply a product of treaty-writers, legislatures, or courts. We in America know full well that in a democracy, law, perhaps most law, is not decreed from on high but bubbles up from the interested publics, affected groups, specialists, legislatures, and other, all interacting through meetings, journal articles, the popular press, legislative hearing, and in many other ways. That is the democratic process in action. Legislation typically comes long after this process has been under way. Judicial decisions, particularly from our Court, work best when they come last, after experience has made the
consequences of legislation apparent.”41
Pendapat di atas mengandung pengertian bahwa hukum transnational tidak dipandang secara sederhana sebagai suatu produk yang dilahirkan para pihak dalam perjanjian, legislatur, ataupun pengadilan. Lebih dari itu, hukum transnational
lahir dari proses kompleks seperti yang disebutkan Justice Breyer di atas, dan proses ini yang
kemudian dikonsepsikan dengan “transnational legal process” oleh Harold Koh yang mengembangkannya dari normative theories42.
40Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Loc. Cit. 41Harold Koh, “International Law as Part Of Our Law” American Journal of International Law Vol. 98 No. 1, 2004, hlm. 55.
42 Normative theories berargumen bahwa norma qua norma
33 Transnational legal process menggambarkan teori dan praktik tentang bagaimana aktor publik dan privat–negara, organisasi internasional, perusahaan multinasional, NGO, perorangan berinteraksi dalam ruang publik dan privat, domestik dan internasional, untuk membuat, menginterpretasi, melaksanakan, dan akhirnya menginternalisasi aturan hukum internasional.43
Dari kacamata transnational legal process nampak 3 hal yang mencolok yakni dari sisi aktor, ruang lingkup dan tahap proses. Transnational legal process nampak menyetarakan para aktor dalam skopa internasional, dengan kata lain, ia tidak melihat negara sebagai aktor yang kedudukannya tertinggi seperti pandangan klasik tradisional. Selain itu, transnational legal process
menunjukkan adanya kemungkinan aktivitas
“naik-turunnya” interaksi dalam ruang domestik dan internasional maupun ruang publik dan privat. Juga, transnational legal process
menjelaskan adanya 3 tahapan proses yang perlu ditempuh dalam teori ini.
Pada dasarnya, transnational legal process
memiliki 4 karakteristik, yakni:44
1. Non-tradisional
Transnational legal process tidak menganut pembedaan dikotomi tradisional antara
keadilan. Markus Burgsstaller, Theories of Compliance with International Law, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2005, hlm 96-102.
34
domestik dan internasional, publik dan privat yang dominan diajarkan dalam studi hukum internasional.
2. Non-statis
Para aktor dalam proses ini tidak hanya negara namun juga aktor non-negara.
3. Dinamis
Transnational legal process mengubah dari sektor publik ke privat, tingkat domestik ke internasional, dan bergerak terus sebaliknya. 4. Normatif
Dari interaksi proses ini, aturan baru yang diinterpretasi, diinternalisasi, dan dilaksanakan itu diciptakan.
Koh menjelaskan lebih lanjut bahwa proses hukum transnasional ini bekerja dalam 3 tahap proses yang pada akhirnya menghasilkan kepatuhan negara terhadap hukum internasional yakni interaksi, interpretasi, dan internalisasi norma. 45 Transnational legal process ini
menjelaskan bagaimana norma hukum
internasional diinterpretasi melalui interaksi dari aktor-aktor transnasional yang kemudian diinternalisasi dan diimplementasi dalam sistem hukum internasional. Seperti contoh dalam kasus
Thompson v. Oklahoma, pendapat Justice John Paul Stevens membatalkan hukuman mati untuk terpidana berumur 15 tahun dengan melihat pada larangan eksekusi minor di Soviet Union dan
35
negara-negara Eropa Barat. 46 Melalui contoh
tersebut dapat dilihat bahwa hakim mengeluarkan suatu produk hukum dengan merujuk pula sumber hukum di negara lain. Rujukan tersebut merupakan bentuk interaksi yang dimaksud Koh, yang kemudian interaksi itu berlanjut dengan proses interpretasi yang disesuaikan dengan situasi nasionalnya, lalu diikuti dengan internalisasi atau keberlakuan norma tersebut.
Hal yang perlu ditekankan dalam
memandang teori ini adalah teori ini tidak berada
dalam suatu sisi yang berfokus pada “horizontal
jawboning” yang mengatur hubungan antar
negara-negara pada level yang sama, namun
secara luas lebih berfokus pada “vertical
domestication” dimana norma hukum internasional
ditarik ke dalam sistem hukum domestik. 47
Internalisasi norma hukum internasional ke dalam sistem hukum domestik ini memberi porsi peran signifikan yang dimainkan oleh pengadilan untuk membuat warga negara beserta pemerintah patuh terhadap hukum internasional, termasuk di dalamnya international customary law.48
Transnational legal process ini kemudian melahirkan kategori transnationalist judges yang
46Ibid, hlm. 46.
47 Harold Koh, “1998 Frankel Lecture: Bringing International Law Home” Yale Law School Faculty Scholarship Series Paper 2102, 1998, hlm. 626.
48 Eric A. Posner, “Transnational Legal Process and the
Supreme Court’s 2003-2004 Term: Some Skeptical Observations”
36
memiliki karakteristik berbeda dengan nationalist judges dimana:49
a. Hakim transnationalist melihat pada ketergantungan negara (sifat interdependensi), dimana hakim nationalist melihat pada kemandirian negara (sifat otonom);
b. Hakim transnationalist berpikir bagaimana hukum nasional dapat sesuai dengan
framework hukum transnasional, dimana hakim
nationalist melihat pada pembedaan domestik dan internasional secara rijid;
c. Hakim transnationalist berpikir bahwa pengadilan dapat mendomestikkan hukum internasional, dimana hakim nationalist berpikir bahwa kekuasaan sah hanya berasal dari kelompok politikal;
d. Hakim transnationalist melihat pada perkembangan sistem hukum global, dimana hakim nationalist fokus lebih sempit pada perkembangan sistem legal nasional;
e. Hakim transnationalist yakin bahwa kekuasaan eksekutif dapat dibatasi oleh pengadilan, dimana hakim nationalist yakin bahwa tindakan diskresi eksekutif merupakan suatu tindakan yang diagung-agungkan.
Bila dilihat dari karakteristik di atas, maka hakim transnationalist lebih membuka pintu
masuk hukum domestik untuk menerima “asupan”
37
norma-norma hukum internasional sesuai dengan kebutuhannya dalam tataran domestik atau nasional. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional memiliki korelasi yang relevan dalam suatu aspek yang tertentu. Maka secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
transnational legal process merupakan suatu teori yang menjelaskan alasan kepatuhan negara terhadap hukum internasional yang berawal dari suatu fase interaksi, yang secara luas juga mencakup di antaranya alasan kepentingan atau kebutuhan suatu negara atau entitas lainnya, yang kemudian menuju fase interpretasi terhadap norma dalam hukum internasional, dan berakhir pada fase internalisasi norma tersebut ke dalam sistem hukum nasional.
2.International Constitution
Konstitusionalis internasional menggunakan konstitusionalisme sebagai kerangka otonomi bagi hukum internasional dan pemerintahan atas negara-negara.50 Hal tersebut lahir atas tuntutan
globalisasi dan fragmentasi hukum internasional seiring. 51 Artinya, perkembangan globalisasi
menghasilkan perjanjian kerjasama dari interaksi transnasional sehingga membutuhkan norma
50Thomas Kleinlein, “Alfred Verdross as a Founding Father of International Constitutionalism?” Goettingen Journal of International Law 4, 2012, hlm. 414.
38
hukum internasional yang lebih padat. Selain itu, konstitusionalisasi internasional dipandang sebagai respon terhadap fragmentasi hukum internasional dimana konstitusionalisasi menjadi solusi memberikan institusi legislatif dan ajudikatif yang sentralistik untuk mengisi potensi kekosongan dalam institusi tersebut.
Konsep international constitution dapat dilihat dari pemikiran Sarah H. Cleveland. Bangunan konsep ini tidak membahas mengenai apakah hukum internasional dapat berlaku secara langsung atau tidak pada area domestik namun pada penekanan hukum internasional sebagai alat interpretasi.52 Seperti contoh, kasus Republic v. Gorman and Others dimana Supreme Court
menggunakan United Nations Convention on Narcotic Drugs and Psychotropic Substance sebagai alat interpretasi HAM internasional guna menyeimbangkan kepentingan individu dan publik di tengah masyarakatnya.53 Penggunaan hukum
internasional tersebut dilatarbelakangi hukum dan kebijakan nasional belum mampu memberikan interpretasi yang cukup memadai dalam isu perlindungan terhadap klaim kepentingan dan hak
52 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10.
53 Emmanuel K. Quansah, “An examination of the use of
39
seorang warga negara 54 sehingga hukum
internasional dipandang sebagai guidance atau pedoman alat interpretasi yang lebih memadai55.
Pada konstruksi berpikir mengenai penggunaan hukum internasional sebagai alat interpretasi inilah, konsep international constitution bekerja.
Konsep international constitution
menunjukkan bahwa penggunaan hukum
internasional dalam hukum nasional bukanlah praktik yang baru dan praktik tersebut memiliki dasar legitimasi yang jelas. Secara historis, peran hukum internasional sudah dianggap penting dalam setiap perkembangan jaman. Dimulai pada era hukum internasional kuno dan primitif, Gaius
menyebutkan istilah “law ‘common to all men’”
dimana hukum yang dimaksud adalah hukum internasional yang dipandang sebagai salah satu bagian dari hukum alam yang notabene adalah hukum tertinggi yang bersifat universal.56 Di era
hukum internasional tradisional, Perjanjian Westphalia melahirkan prinsip-prinsip territorial dan otonomi negara namun hukum internasional masih dipandang sebagai kesepakatan antara
54Dunia P. Zongwe, “Equality Has No Mother But Sisters: The
Preference for Comparative Law Over International Law in The Equality Jurisprudence in Namibia”, International Law and Domestic Human Rights Litigation in Africa, Cape Town: Pretoria University Press, 2010, hlm.1 67.
55 Eyal Benvenisti, “Judicial Misgivings Regarding The
Application of International Law: An Analysis of Attitudes of
National Courts” 4 EJIL 159-183, 1993, hlm. 3.
56 Harold Hongju Koh, "Why Do Nations Obey International
40
pemegang kedaulatan atau negara yang menuntut ketaatan dari masing-masing pihak terhadap hukum internasional itu. 57 Berlanjut pada era
dualistik, terdapat pandangan yang mengakui bahwa hukum internasional digunakan jika negara memiliki kepentingan (self interest). 58 Di era
institusi menunjukkan kuatnya aliran positivistik yang lahir dari lembaga-lembaga internasional seperti the United Nations, the World Bank, the Internasional Monetary Fund yang mengatur perjanjian internasional dengan tujuan salah satunya untuk mengatasi masalah-masalah global.59 Era interdependence dan transnationalism
menandai bahwa interaksi lintas batas negara mulai dikembangkan oleh pihak non-negara (seperti individu, perusahaan multinasional, dan
non-governmental organizations (NGO)).60 Di era ini,
para pihak menyadari bahwa penggunaan hukum internasional pada akhirnya melahirkan functional benefits bagi setiap pihak seperti yang disebutkan pada The Algerian Constitution pada Article 28 bahwa suatu kerjasama internasional dan hubungannya dengan negara lain didasarkan pada
mutual interest.61 Dari serangkaian sejarah di atas,
57 Ibid, hlm. 10.
58Sefiani, “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum
Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18, 2011, hlm. 414.
59 Harold Koh, Op.Cit., hlm. 17. 60 Ibid, hlm. 27.
41
maka nampak sebenarnya praktik penggunaan hukum internasional sudah dilakukan sejak lama. Ini sekaligus menyanggah pandangan yang
mengatakan bahwa penggunaan hukum
internasional adalah praktik yang baru. Selain itu, konsep international constitution menjelaskan penggunaan hukum internasional memiliki dasar legitimasi yang jelas.
Pertama, konstitusi beberapa negara secara
langsung memasukkan konsep hukum
internasional. 62 Mengambil contoh Konstitusi
Afrika Selatan 63 maupun Konstitusi Amerika
Serikat 64 yang memberi ketentuan eksplisit
mengenai keberlakuan hukum internasional di wilayah domestiknya. Bunyi Konstitusi tersebut memberi shortcut bagi pengadilan untuk langsung menggunakan hukum internasional dengan teknik
incorporation dalam praktik yudisial di wilayah domestik. Biasanya, shortcut tersebut diciptakan karena pemerintah merasa lebih sadar akan kebutuhan untuk membangun hubungan yang konstruktif antara hukum nasional dan hukum internasional.65
Kedua, bagi negara yang tidak memiliki ketentuan eksplisit pada konstitusinya untuk
international law and diplomacy in a manner consistent with the interest of Ghana.”
62 Sarah H. Cleveland, Op.Cit.,hlm. 7. 63 Article 39 (1) South Africa Constitution.
64 Article 6 The Constitution of the United Nations of America. 65 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford:
42
memberi otorisasi penggunaan hukum
internasional di wilayah domestik, bukan berarti negara tersebut kehilangan kemampuannya untuk menggunakan hukum internasionalnya. Sepanjang pengadilan memahami terdapat keinginan implisit dari konstitusi untuk mengupayakan penggunaan hukum internasional, maka penggunaan hukum
internasional dipandang sebagai suatu “paket” hak
dari kedaulatan negara untuk terikat pada hukum internasional yang applicable di negara tersebut.66
Semisal dalam suatu hal, ketentuan konstitusional mengenai teritori sangat sulit untuk dijabarkan secara tekstual sehingga hukum internasional memiliki peran dalam membatasi ketentuan konstitusional mengenai teritori tersebut.
Ketiga, penggunaan hukum internasional ditujukan untuk memperkuat ketentuan mengenai hak-hak individual. 67 Dalam hal ini, hukum
internasional membantu menyediakan prinsip-prinsip dasar kepada pengadilan dalam pencarian nilai fundamental pada teks konstitusional. 68
Kekuatan mengikat dari hukum internasional lahir dari kepentingan negara yang membutuhkan bukti seperti pendapat, aturan, maupun nilai-nilai umum dari masyarakat internasional sesuai
66 Sarah H. Cleveland, Op.Cit, hlm. 33. 67 Ibid, hlm. 63.
68 Hal ini juga merupakan suatu trend international constitution
dalam peningkatan moralitas secara universal. Oliver Diggelmann
dan Tilmann Altwicker, “Is There Something Like a Constitution of
International Law?: A Critical Analysis of the Debate on World
43
dengan proporsinya. Sangat mungkin apabila kasus-kasus HAM berangkat dari tradisi hukum alam yang dianut konstitusinya sehingga berlaku pula konsep hukum yang universal.69
Ketiga alasan di atas menjadi dasar legitimasi penggunaan hukum internasional dalam wilayah nasional. Jadi dapat dilihat bahwa dasar legitimasi tersebut sebenarnya tidak menempatkan hukum internasional superior terhadap konstitusi suatu negara, melainkan menyejajarkan posisi hukum internasional dengan konstitusi dengan konteks hukum internasional mampu melengkapi jalannya konstitusi dalam praktik penyelenggaraan suatu negara.
Hal tersebut sekaligus menepis anggapan
bahwa penggunaan hukum internasional
menentang demokrasi nasional. Pertentangan yang mungkin muncul berasal dari pendapat bahwa hukum internasional akan mengontrol atas pemerintah yang sudah dipilih oleh rakyat.70 Meski
disadari bahwa hukum internasional merupakan
produk “impor” yang berasal dari sisi eksternal
suatu negara, namun hal tersebut tidak secara langsung ditangkap oleh negara untuk diserap
secara “gelondongan”. Hukum nasional memiliki
kewenangan untuk menentukan prinsip-prinsip hukum internasional mana yang applicable
69 Lihat kasus Downes v. Bidwell dimana kasus tersebut
menempatkan sumber hukum alam sebagai hak yang fundamental.
44
terhadap sistem hukum nasionalnya. Jadi hukum internasional tidak bisa menentukan sendiri hubungannya dengan sistem konstitusional suatu negara tanpa melibatkan variabel internal dari negara itu sendiri.
Dalam rangka memandu penggunaan
hukum internasional supaya tidak menjadi tindakan abusive terhadap hukum nasional, konsep international constitution memberikan
prinsip-prinsip umum yang sebaiknya
dipertimbangkan pengadilan ketika merujuk pada hukum interansional.71 Pertama, pengadilan perlu
melihat pada penerimaan sistem konstitusional suatu negara dalam mempertimbangkan aturan internasional. Kedua, seberapa baik suatu norma internasional terjabarkan dan diterima secara universal. Ketiga, kriteria pembatasan-pembatasan di dalam hukum internasional itu sendiri. Dengan ketiga hal di atas, maka pengadilan diharapkan dapat menyaring aturan-aturan internasional mana yang dapat diterapkan dalam wilayah nasional.
Secara garis besar, konsep international constitution ini menegaskan bahwa suatu negara dapat menggunakan hukum internasional dalam situasi baik konstitusi memberi otoritas secara eksplisit maupun implisit dalam teksnya. Meski demikian, primacy tidak kemudian diletakkan pada hukum internasional karena negara memiliki sisi
45