• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian adalah eksperimental laboratorik ex vivo, yang dipilih karena baik sampel maupun perlakuan lebih terkendali, terukur dan pengaruh perlakuan dapat lebih dipercaya. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan randomized post test only control group laboratory experimental design untuk mengetahui efek pemberian curcuminoid terhadap konsentrasi H2O2 serumdan ekspresi MDA fibroblas koklea setiap unit eksperimen dengan pengukuran variabel yang hanya dilakukan setelah pemberian perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan ada kontrol pembanding.

3.2 Tempat dan Teknik Pengambilan Data Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium terstandardisasi dan mempunyai peralatan lengkap serta pengalaman memadai. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, pembuatan sediaan dan teknik pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr.

Soetomo Surabaya, pemeriksaan ELISA dikerjakan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. Soetomo Surabaya.

3.2.2 Teknik Pengambilan Data

Data yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh Tengku Siti Hajar Haryuna dan dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelitian bagi Dosen Perguruan Tinggi Batch I Universitas Sumatera No. 120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015 tanggal 05 Februari 2015 dan Penelitian PUPT tahun 2016.

(2)

3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel bebas

Variabel bebas adalah stres hiperglikemik yang didapatkan melalui injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal serta pemberian curcuminoid dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 dan 10 hari.

3.3.2 Variabel terikat

Respon molekuler pada fibroblas berupa konsentrasi H2O2 danekspresi MDA.

3.3.3 Variabel terkendali

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin tikus, kandang tikus terpisah, berat badan tikus, makanan dan minuman tikus, cara pemberian perlakuan injeksi streptozotocin serta curcuminoid, prosedur penelitian dan cara pemeliharaan hewan coba.

3.4 Sampel

Tikus dipilih menjadi sampel penelitian karena memiliki kemiripan struktur telinga dalam dengan manusia. Tikus telah digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian genetik manusia dan terbukti bermanfaat dalam membantu mengidentifikasi gen yang sesuai pada manusia yang berperan dalam perkembangan sistem auditorius.

Melalui identifikasi genetik dan sekuensnya, tikus dinyatakan homolog (>70%) dengan manusia (Van de Water, 1996).

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, kondisi sehat, umur dewasa (2-3 bulan), dengan berat badan 150-250 gram agar perubahan berat selama penelitian relatif kecil (Hume, et al.,1977).

Sampel penelitian ini menggunakan tikus dengan galur populasi yang sama, homogen dalam jenis kelamin dan umur, tikus tersebut merupakan hasil pembiakan (breeding) di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Perlakuan pada tikus dengan injeksi streptozotocin

(3)

dengan dosis tertentu, kemudian diukur variabel penelitian hanya setelah pemberian perlakuan.

Rancangan penelitian memiliki kriteria; pengambilan sampel dilakukan secara acak, streptozotocin diberikan dalam dosis tertentu sesuai berat badan tikus, ada kontrol pembanding, dan bersifat double blind.

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.

3.4.1 Besar sampel

Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah ulangan yang dianggap telah cukup baik (Federer, 1955), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

k = jumlah kelompok subyek penelitian (k=6) r = jumlah ulangan

Perhitungan:

(6-1) (r-1) ≥ 15; 5r-5 ≥ 15; 5r ≥ 20; r ≥ 4 n = r x k; n = 4 x 6 = 24

ditetapkan besar sampel secara keseluruhan yaitu minimal 24 ekor tikus.

3.4.2 Pengelompokan sampel

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel adalah tikus yang diambil peneliti secara random untuk tiap kelompok perlakuan, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok sebagai berikut:

(k-1) (r-1) ≥ 15)

(4)

K1 : Kelompok kontrol, diberikan injeksi buffer natrium sitrat dan CMC.

K2 : Kelompok perlakuan diberikan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal.

K3 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.

K4 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.

K5 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200 mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.

K6 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.

3.4.3 Teknik pengambilan sampel

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar didapat dari institusi penyedia yang memiliki kualifikasi standar. Sebelum digunakan sebagai subyek penelitian, hewan coba dilakukan evaluasi klinis dan dikondisikan dalam lingkungan yang sesuai (selama 14x24 jam) untuk meyakinkan bahwa

P1 (Perlakuan 1) K2 (Kelompok 2)

Subyek

P0 (tanpa perlakuan = kontrol) K1 (Kelompok 1) K2 (Kelompok 2) R P2 (Perlakuan 2)

P3 (Perlakuan 3) P4 (Perlakuan 4) P5 (Perlakuan 5)

K3 (Kelompok 3) K4 (Kelompok 4) K5 (Kelompok 5) K6 (Kelompok 6)

(5)

hewan tersebut tidak berpenyakit atau tidak berpotensi menularkan penyakit.

Sebelum mendapatkan perlakuan penelitian, dilakukan skrining dengan beberapa kriteria, yaitu:

1. Kriteria inklusi: hewan coba berusia 2-3 bulan, jenis kelamin jantan dan berat badan 150-250 gram.

2. Kriteria eksklusi:

a. Hewan dinyatakan berpenyakit oleh dokter hewan konsultan, baik penyakit menular atau tidak menular atau cedera fisik atau berpotensi menularkan penyakit dalam kurun waktu evaluasi klinis di dalam kondisi lingkungan yang sesuai (selama 14 x 24 jam).

b. Hewan terdeteksi memiliki kelainan bawaan yang dinyatakan oleh dokter hewan konsultan.

c. Hewan berperilaku agresif, dalam pengamatan sering menyerang anggota kelompok lain.

Setelah didapatkan sampel yang homogen melalui skrining dengan kriteria inklusi dan eksklusi di atas, dilakukan pembagian kelompok sampel yang homogen secara alokasi random sehingga setiap anggota sampel mempunyai kesempatan sama untuk menempati kelompoknya.

Penelitian berlangsung dengan prosedur pelakuan hewan secara benar ditinjau dari prinsip 3R (Reduction, Replacement, Refinement) serta prinsip 5F (Freedom from Hunger and Thirst, Freedom from Discomfort, Freedom from Pain, Injury or Disease, Freedom to Express Normal Behaviour, Freedom from Fear and Distress) (FAO, 2011) dan diberlakukan kriteria Putus Uji apabila subyek penelitian mengalami sakit atau kematian sehingga tidak bisa memenuhi prosedur penelitian yang membutuhkan waktu 5 - 10 hari. Selanjutnya tikus diterminasi dan diambil darah prekordial untuk dilakukan pemeriksaan ELISA yang bertujuan untuk menilai aktivitas H2O2 serta dilakukan pengambilan jaringan koklea untuk dibuat sediaan dan pengecatan imunohistokimia untuk menganalisis ekspresi MDA.

(6)

3.5 Definisi Operasional Penelitian

1. Induksi Diabetes: injeksi Streptozotocin dengan dosis 60 mg/kg berat badan tikus (single dose) secara intraperitoneal, kemudian kadar gula darah diukur 2 hari pasca injeksi, sampai terjadi kondisi hiperglikemia (KGD >200 mg/dl).

2. Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah tikus mencapai >200 mg/dl yang diukur menggunakan strip pengukur kadar gula darah merk Gluko DR® Bio Sensor dari allmedicus.

3. Fibroblas: sel yang terdapat pada jaringan dinding lateral koklea.

Sel berinti tunggal dalam bentuk yang panjang.

4. Konsentrasi H2O2 diukur dengan metode ELISA menggunakan darah prekordial tikus yang telah dilakukan sentrifugasi 3000 rpm (rounds per minute) selama 10 menit. Serum yang diperoleh dari proses sentrifugasi pada tiap kelompok dilabel dengan antibodi spesifik terhadap H2O2. Konsentrasi H2O2 pada tiap sampel ditentukan dengan cara membandingkan optical density (OD) tiap sampel terhadap kurva standar. Pemeriksaan aktivitas H2O2

dilakukan sesuai petunjuk pelaksanaan pada package insert yang terdapat dalam rat hydrogenperoxide ELISA kit (Glory Science Co., Ltd catalog #:34647). Pembacaan nilai OD diukur pada panjang gelombang 450 nm pada plate reader ELISA reader. Hasil penghitungan akhir dinyatakan dalam pg/ml (skala numerik/angka).

5. Ekspresi MDA diidentifikasi dengan pengecatan imunohistokimia dan dilakukan penghitungan secara kuantitatif terhadap total jumlah rata-rata distribusi unit sel fibroblas berinti tunggal dalam bentuk panjang yang mengekspresikan MDA (memperlihatkan warna coklat) pada jaringan dinding lateral koklea tiap kelompok di bawah mikroskop cahaya yang dilengkapi mikrometer okuler dengan perbesaran 40x oleh 2 orang pemeriksa (peneliti dan pemeriksa ahli (dokter spesialis Patologi Anatomi)) untuk

(7)

kemudian dilakukan penghitungan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas.

Hasil ukur skor imunoreaktif: 0-9.

Dalam penelitian ini digunakan Malondialdehyde Antibody NB100-62737 dari Novus Biological (www.novusbio.com).

6. Curcuminoid: zat pigmen kuning yang diekstraksi dari tumbuhan Curcuma domestica Val. atau Curcuma longa L. Pada penelitian ini yang digunakan adalah curcuminoid serbuk dengan kadar (16.62 ± 0.14)% w/w dibandingkan dengan standar, yang diukur dengan metode thin layer chromatography dan densitometri.

Sediaan yang diberikan berupa curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari per ekor tikus karena berdasarkan literatur dan penelitian terdahulu dosis tersebut dapat menurunkan konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA.

3.6 Alat dan Bahan Penelitian

3.6.1 Hewan coba yang dikenai perlakuan

Tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Wistar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan pembagian kelompok sesuai hasil randomisasi.

3.6.2 Bahan perlakuan a. Streptozotocin

Streptozotocin disimpan pada suhu 200C. Konsentrasi

streptozotocin adalah 22,5 mg/l, disimpan dalam tabung reaksi yang ditutup dengan aluminium foil (karena sensitif terhadap cahaya).

b. Curcuminoid

Curcuminoid yang dipakai berasal dari Curcuma longa L. dengan kadar curcuminoid (16.62 ± 0.14)% w/w dibandingkan dengan standar, yang diukur dengan metode thin layer chromatography

(8)

dan densitometri. Sediaan yang diberikan berupa curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari perekor tikus.

c. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 1,47 gram Natrium sitrat dalam 50 ml dH2O.

d. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dibuat dengan mensuspensikan 0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades.

e. Eter inhalan sebagai zat anestesi.

3.6.3 Bahan pemeriksaan laboratorium

Alat yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: kandang tikus, gunting bedah, disposible syringe, mikroskop binokuler, gelas obyek dan cover glass, mikrotom, tabung reaksi, pipet pasteur steril, tabung silikon, pipet mikro, beker gelas, spuit 1 cc, spuit 3 cc, spuit 5 cc dan lemari es, glukoDR.

Untuk Hematoxillin Eosin dan Imunohistokimia meliputi H2O2 3%, xylol, alkohol 100%, PBS, HCL 0.5 M, antibodi primer rat hydrogenperoxide (H2O2) ELISA kit (Glory Science Co., Ltd catalog #: 34647), antibody Malondialdehyde NB 100-62737 (Novusbio) dan biotinylated secondary Ab (anti rabbit), streptavidin berlabel peroksidase, pewarna Meyer- hematoxilen, TrisHCl pH 6.8, entelen, akuades steril, parafin lunak, poli-D- lysin, BSA 3%, tripsin 0.025%, substrat DAB.

3.7 Prosedur Penelitian 3.7.1 Tahap persiapan

Untuk menjamin bahwa semua prosedur yang dilakukan pada penelitian ini laik etik, maka sebelum dilakukan penelitian proposal diajukan terlebih dahulu pada komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan kelaikan etik.

3.7.2 Prosedur induksi diabetes menggunakan streptozotocin.

a. Tikus dipuasakan selama 4 jam untuk mengosongkan lambung dan mengurangi risiko aspirasi.

(9)

b. Hitung dosis induksi streptozotocin dengan kebutuhan 60 mg/kgbb/ekor tikus.

c. Hitung kebutuhan dapar sitrat yang dibutuhkan demgan konsentrasi streptozotocin 22,5 mg/ml dalam dapar sitrat.

d. Siapkan tabung dan bungkus dengan aluminium foil pada bagian luarnya.

e. 15 – 20 menit sebelum induksi, timbang streptozotocin yang dibutuhkan kemudian larutkan ke dalam dapar sitrat dengan volume yang telah ditentukan.

f. Masukan larutan streptozotocin yang diperoleh kedalam tabung berbungkus aluminium foil.

g. 30 detik – 1 menit sebelum induksi pindahkan larutan streptozotocin ke dalam spuit 1 ml.

h. Injeksikan larutan streptozotocin melalui intraperitoneal tikus sesuai dengan kebutuhan dosis per ekor. Induksi dilakukan hanya satu kali.

i. Berikan larutan sukrosa 10% atau dekstrosa 10% sepanjang malam pertama setelah induksi untuk menghindari sudden hypoglycemic post injection.

j. Setiap pagi tikus diperiksa kadar glukosa darah puasa (tikus dipuasakan dengan cara tidak diberi pakan dan kandang dikosongkan dari sekam selama 6 jam). Hiperglikemia yang bermakna akan dijumpai 2 hari setelah induksi.

3.7.3 Prosedur pemberian curcuminoid

Curcuminoid (kadar curcuminoid 80%) dosis 200 mg dan 400 mg disuspensikan dalam carboxymethylcellulose (CMC) 0.5% (CMC dibuat dengan mensuspensikan 0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades).

Setelah disuspensikan, diberikan langsung ke lambung tikus dengan menggunakan nasogastric tube (NGT).

(10)

3.7.4 Perlakuan pada tikus

Setelah tikus putih beradaptasi terhadap lingkungan kandang di laboratorium selama 2 minggu, selanjutnya perlakuan diberikan sesuai dengan kelompok yang direncanakan.

3.7.5 Prosedur pengambilan jaringan koklea tikus

Tikus dikorbankan dengan inhalasi eter, dilakukan nekropsi jaringan tulang temporal kepala tikus. Sampel jaringan diambil, difiksasi dengan larutan buffer formalin 10% dan dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA selama 4 minggu. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium.

3.7.6 Pemeriksaan laboratorium

a. Fiksasi jaringan dengan pembuatan paraffin block jaringan.

Jaringan tulang didekalsifikasi dengan menggunakan EDTA selama 4 minggu. Jaringan selanjutnya dicuci dengan PBS 3-5 kali untuk membersihkannya dari kontaminan. Kemudian jaringan difiksasi pada larutan formalin 10%. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut) masing-masing selama 60 menit. Dilakukan clearing menggunakan xylol sebanyak 2 kali masing-masing 60 menit. Kemudian dilakukan impregnasi dengan parafin lunak selama 60 menit pada suhu 480C.

Selanjutnya dilakukan blocking preparat dalam parafin keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari.

b. Proses deparafinisasi

Dilakukan pemotongan blok parafin setebal 4 µm dengan rotary microtome. Jaringan yang sudah dipotong dimasukkan dalam air hangat, lalu diletakkan pada kaca.

c. Proses pewarnaan Hematoxilin Eosin

Dimasukkan sediaan ke dalam xylol sebanyak 2 kali masing- masing selama 5 menit, setelah itu dilakukan rehidrasi dengan alkohol berseri (absolut, 96%, 80%, 70%, 50% dan 30%) masing- masing selama 5 menit, kemudian bilas dalam dH2O selama 5

(11)

menit. Warnai sediaan dengan Hematoxilin selama 10 menit, setelah itu direndam dalam tap water selama 10 menit lalu dibilas dengan dH2O. Sediaan selanjutnya diwarnai kembali dengan larutan Eosin selama 3 menit lalu didehidrasi dengan alkohol berseri 30% dan 50% masing-masing selama 5 menit, cuci dengan dH2O selama 5 menit dan dikering-anginkan. Inkubasi kembali dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit kemudian dilakukan mounting dengan entelan dan tutup dengan cover glass.

d. Pemeriksaan konsentrasi H2O2 dengan teknik ELISA

Darah prekordial tikus diambil dan dilakukan sentrifugasi 3.000 rpm (revolutions per minute) selama 10 menit sampai didapatkan serum sampel. Supernatan yang diperoleh dari proses sentrifugasi diperiksa aktivitas H2O2-nya sesuai petunjuk pelaksanaan pada package insert yang terdapat dalam rat hydrogenperoxide (H2O2) ELISA kit (Glory Science Co., Ltd cat#34647). Rat hydrogenperoxide ELISA kit dirancang untuk mengukur H2O2

secara kuantitatif dalam berbagai sampel.

e. Pemeriksaan ekspresi MDA dengan teknik imunohistokimia.

Masukkan sediaan ke dalam xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 5 menit, setelah itu dilakukan rehidrasi dengan alkohol berseri (absolut, 96%, 80%, 70%, 50% dan 30%) masing-masing selama 5 menit, kemudian dibilas dalam dH2O selama 5 menit.

Masukkan kembali ke dalam H2O2 3% selama 20 menit, lalu cuci menggunakan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit.

Blocking protein non-spesifik dilakukan dengan menggunakan 5%

FBS yang mengandung 0.25% Triton X-100. lalu cuci kembali dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali, selama 5 menit. Inkubasi dengan menggunakan antibodi primer antibody Malondialdehyde NB 100-62737 (Novusbio) selama 60 menit lalu cuci dengan PBS

(12)

pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan direaksikan dengan antibodi sekunder (biotinylated secondary antibody) selama 60 menit, lalu cuci kembali dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Inkubasi dengan dengan steptavidin-HRP selama 60 menit, lalu cuci menggunakan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Tetesi dengan DAB dan inkubasi selama 30 menit, lalu cuci menggunakan dH2O selama 5 menit. Masukkan sediaan ke dalam larutan Mayer Hematoxylin sebagai counterstaining dan diinkubasi selama 10 menit, lalu cuci menggunakan tap water. Selanjutnya, sediaan dibilas dengan dH2O dan dikering-anginkan. Kemudian dilakukan proses mounting menggunakan entelan lalu ditutup dengan cover glass.

3.7.7 Penghitungan sel pada pemeriksaan imunohistokimia

Menggunakan mikroskop Olympus XC 10 dengan pembesaran 40x Penghitungan jumlah fibroblas terekspresi dilakukan oleh peneliti dan pemeriksa ahli.

1. Penghitungan dilakukan terhadap semua slide yang ada dengan rincian:

a. Jumlah hewan coba yang termasuk kriteria masukan 40 sampel b. Setiap hewan coba diambil sampel jaringan, difiksasi dengan 10%

formalin, dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA selama 4 minggu.

c. Masing-masing sampel jaringan dibuat sediaan irisan setebal 4 µm, kemudian diwarnai dengan Hematoxilin Eosin (HE).

2. Semua slide yang sudah berkode ditutup nomor kodenya dan diberi nomor baru secara acak sehingga pemeriksa dan peneliti yang ikut memeriksa tidak mengetahui slide yang diperiksa milik sampel yang mana (double blind).

3. Pemeriksa terdiri dari 2 orang, masing-masing yaitu peneliti dan pemeriksa ahli (dokter spesialis patologi anatomi).

(13)

4. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan secara terpisah diantara ke 2 pemeriksa, disesuaikan dengan kemampuan/kesediaan waktu pemeriksa.

5. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan terhadap masing- masing slide pada bidang pandang di dinding lateral koklea yaitu daerah yang ditandai dengan adanya fibroblas dengan pembesaran 40x.

6. Hasil penghitungan sel sesuai dengan slide yang diperiksa ditulis di lembar kerja pada kotak yang sesuai.

7. Analisis statistik dilakukan bila semua hasil sudah dikembalikan ke nomor kode.

(14)

3.8 Alur Penelitian

Pemeriksaan ELISA untuk mengukur konsentrasi H2O2 serum dan pemeriksaan imunohistokimia fibroblas koklea untuk melihat

ekspresi MDA Curcuminoid

200 mg/kgbb/hari selama 5 hari

Terminasi hari ke 5

Curcuminoid 200 mg/kgbb/hari selama 10 hari

Terminasi hari ke 10 Curcuminoid

400 mg/kgbb/hari selama 5 hari

Curcuminoid 400 mg/kgbb/hari selama 10 hari Injeksi STZ 60

mg/kgbb/ekor single dose Injeksi STZ 60

mg/kgbb/ekor single dose

Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor single dose Kelompok 2 /

Perlakuan 1

Kelompok 3 / Perlakuan 2

Kelompok 4 / Perlakuan 3

Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor single dose

Kelompok 5 / Perlakuan 4

Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor single dose

Kelompok 6 / Perlakuan 5 Randomisasi

Kelompok Perlakuan Kelompok 1 / Kontrol (Injeksi

Buffer Na-Sitrat (1x), dilanjutkan pemberian CMC

(setiap hari)

Populasi Hewan

(15)

3.9 Analisis Statistik

Data penelitian yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh nilai rata-rata hitung dan standar deviasi untuk tiap kelompok penelitian sehingga dapat diketahui deskripsi masing-masing variabel dalam penelitian. Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen, menganalisis kesetaraan antara masing-masing kelompok dan mengetahui perbedaan (penurunan atau peningkatan) yang terjadi pada masing-masing kelompok setelah diadakan intervensi. Untuk menganalisis perbedaan atau peningkatan pada masing-masing kelompok penelitian ini digunakan uji t.

Normalitas data dinilai dengan uji Shapiro-Wilk. Apabila data penelitian yang diperoleh tidak terdistribusi normal, akan dilakukan pengujian dengan uji Mann-Whitney. Analisis multivariat dengan uji ANOVA dan uji Post-Hoc Bonferroni dilakukan untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki perbedaan yang bermakna dari perubahan konsentrasi H2O2 serta ekspresi MDA setelah mengalami hiperglikemia (variabel dependen) dan curcuminoid (variabel independen). Perlakuan diuji pada taraf nyata 5%. Data penelitian juga diolah dengan uji korelasi Pearson bila terdistribusi normal atau uji korelasi Spearman bila tidak terdistribusi normal, untuk melihat korelasi antara konsentrasi H2O2 serum dengan ekspresi MDA fibroblas koklea, dengan taraf nyata 1%.

(16)

HASIL PENELITIAN

4.1 Profil Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Mellitus

Hasil penelitian yang didapatkan berdasarkan pemeriksaan enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA) untuk memeriksa konsentrasi H2O2

dan imunohistokimia untuk melihat ekspresi MDA pada setiap kelompok, yaitu kelompok kontrol (kelompok 1) dan kelompok model DM (kelompok 2,3,4,5 dan 6). Gambaran konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA keenam kelompok penelitian ditampilkan pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 dibawah ini:

Tabel 4.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea.

Kelompok (n=6)

Konsentrasi H2O2 Ekspresi MDA Nilai Rerata Standar

Deviasi

Nilai Rerata Standar Deviasi

1 2.7250 0.20616 2.00 1.000

2 4.1250 0.52520 7.80 1.643

3 3.5675 0.32999 5.40 2.510

4 3.1500 0.38730 4.00 1.871

5 3.6000 0.43205 1.60 0.548

6 2.6750 0.28723 1.40 0.548

(17)

Gambar 4.1 Nilai Rerata Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tiap Kelompok Perlakuan

Keterangan:

A. Konsentrasi H2O2

Terjadi peningkatan konsentrasi H2O2 pada kelompok 2 dibanding kelompok lainnya. Penurunan konsentrasi H2O2 terjadi pada kelompok yang mendapatkan curcuminoid, terutama dosis besar yaitu kelompok 4 dan 6, dibandingkan kelompok 2.

B. Ekspresi MDA

Terjadi peningkatan ekspresi MDA pada kelompok 2 dibanding kelompok lainnya. Penurunan ekspresi MDA terjadi pada kelompok yang mendapatkan curcuminoid, terutama dengan durasi pemberian yang lebih lama yaitu kelompok 5 dan 6, dibandingkan kelompok 2.

Gambar 4.1 tersebut diatas secara umum menunjukkan terjadinya peningkatan konsentrasi H2O2 serum dan ekspresi MDA fibroblas koklea tikus model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid. Pemberian curcuminoid menurunkan konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA tikus model DM. Pada kelompok 4 dan 6 didapatkan perbedaan konsentrasi H O

(18)

lebih tinggi (400 mg/kgbb/hari/ekor) lebih baik dibanding dosis yang lebih rendah (200 mg/kgbb/hari/ekor) dalam menurunkan konsentrasi H2O2

pada serum tikus yang diinduksi DM. Pada kelompok 5 dan 6 didapatkan ekspresi MDA yang lebih rendah, yang menunjukkan bahwa pemberian curcuminoid dengan durasi yang lebih lama (10 hari) lebih baik dibandingkan dengan durasi pemberian yang lebih singkat (5 hari).

(19)

pada Serum Tikus Model Diabetes Melitus

Data hasil penelitian yang didapatkan berdasarkan pemeriksaan ELISA selanjutnya diolah dan dianalisis secara statistik.

Tabel 4.2 Hasil Uji ANOVA terhadap Konsentrasi H2O2 pada Setiap Kelompok

Kelompok Perbedaan rerata ± Standar error Nilai p

Kelompok 1 Kelompok 2 1.4000 ± 0.265 .001*

Kelompok 3 .8425 ± 0.265 .079

Kelompok 4 .4250 ± 0.265 1.000

Kelompok 5 .8750 ± 0.265 .060

Kelompok 6 .0500 ± 0.265 1.000

Kelompok 2 Kelompok 3 .5575 ± 0.265 .753

Kelompok 4 .9750 ± 0.265 .026*

Kelompok 5 .5250 ± 0.265 .954

Kelompok 6 1.4500 ± 0.265 .001*

Kelompok 3 Kelompok 4 .4175 ± 0.265 1.000

Kelompok 5 .0325 ± 0.265 1.000

Kelompok 6 .8925 ± 0.265 .052

Kelompok 4 Kelompok 5 .4500 ± 0.265 1.000

Kelompok 6 .4750 ± 0.265 1.000

Kelompok 5 Kelompok 6 .9520 ± 0.265 .040*

*Bermakna secara statistik (p<0.05)

(20)

konsentrasi H2O2 serum yang bermakna (p<0.05) secara statistik pada kelompok 2 bila dibandingkan dengan kelompok 1, yang berarti bahwa pada kelompok model DM tanpa pemberian curcuminoid terjadi peningkatan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel 4.2 tersebut juga dapat dilihat bahwa penurunan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna (p<0.05) secara statistik terjadi pada kelompok 4 dan kelompok 6 bila dibandingkan dengan kelompok 2.

Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok model DM yang mendapatkan curcuminoid dengan dosis 400 mg/kgbb/hari baik yang diberikan selama 5 hari maupun selama 10 hari, terjadi penurunan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna dibandingkan dengan kelompok model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid. Selain itu kita juga dapat melihat bahwa penurunan konsentrasi H2O2 serum yang terjadi pada kelompok 3 dan kelompok 5 dibandingkan dengan kelompok 2 tidak bermakna (p>0.05) secara statistik, yang menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi H2O2

serum yang terjadi pada kelompok yang mendapatkan curcuminoid dosis 200 mg/kgbb/hari baik diberikan selama 5 hari maupun 10 hari tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid.

(21)

4.3 Gambar Fibroblas Dinding Lateral Koklea dengan Pengecatan Hematoxillin Eosin dan Imunohistokimia

Pengecatan HE (Gambar 4.2) dilakukan untuk melihat potongan dinding lateral koklea yang tepat secara histopatologis dan kemudian digunakan sebagai pembanding untuk selanjutnya dilakukan pengecatan imunohistokimia (Gambar 4.3)

Gambar 4.2 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus norvegicus (tanda panah) dengan Pengecatan HE (perbesaran 4)

Gambar 4.3 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus norvegicus (tanda panah) dengan Pewarnaan Imunohistokimia (perbesaran 4)

(22)

Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Melitus

Gambar 4.4 Ekspresi MDA pada tiap kelompok perlakuan (perbesaran 100) : (A) Kelompok 1; (B) Kelompok 2; (C) Kelompok 3; (D) Kelompok 4; (E) Kelompok 5; (F) Kelompok 6. Tanda panah menunjukkan ekspresi MDA pada fibroblas koklea yang ditandai dengan warna coklat.

Keterangan:

Ekspresi MDA dilihat melalui pemeriksaan imunohistokimia (Gambar 4.2). Kelompok kontrol [Gambar 4.2 (A)] menunjukkan densitas dan ekspresi MDA yang lebih sedikit dibandingkan kelompok DM [Gambar 4.2 (B)]. Pada fibroblas koklea tikus model DM tanpa pemberian curcuminoid (kelompok 2) [Gambar 4.2 (B)] diatas menunjukkan densitas yang lebih tinggi (warna coklat lebih pekat) dan ekspresi MDA (warna coklat yang lebih banyak pada fibroblas koklea dibanding kelompok lainnya [Gambar 4.2 (A), (C), (D), (E), (F)]. Pada fibroblas koklea tikus model DM yang mendapatkan curcuminoid dosis 200 mg/kgbb/hari dan 400 mg/kgbb/hari/ekor 10 hari [Gambar 4.2 (E), (F)] menunjukkan densitas yang lebih rendah dan ekspresi MDA yang lebih sedikit dibandingkan

(23)

dan 400 mg/kgbb/hari selama 5 hari [Gambar 4.2 (C), (D)]. Hasil ini menunjukkan perbedaan jumlah sel yang mengekspresikan MDA pada fibroblas koklea antara semua kelompok.

Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji ANOVA.

Tabel 4.3 Hasil Uji ANOVA terhadap Ekspresi MDA pada Setiap Kelompok Kelompok Perbedaan rerata ± Standar error Nilai p

Kelompok 1 Kelompok 2 5.800 ± .970 .000*

Kelompok 3 3.400 ± .970 .027*

Kelompok 4 2.000 ± .970 .752

Kelompok 5 2.000 ± .970 1.000

Kelompok 6 .600 ± .970 1.000

Kelompok 2 Kelompok 3 2.400 ± .970 .311

Kelompok 4 3.800 ± .970 .010*

Kelompok 5 6.200 ± .970 .000*

Kelompok 6 6.400 ± .970 .000*

Kelompok 3 Kelompok 4 1.400 ± .970 1.000

Kelompok 5 3.800 ± .970 .010*

Kelompok 6 4.000 ± .970 .006*

Kelompok 4 Kelompok 5 2.400 ± .970 .311

Kelompok 6 2.600 ± .970 .196

Kelompok 5 Kelompok 6 .200 ± .970 1.000

*Bermakna secara statistik (p<0.05)

Dari tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada

(24)

pada kelompok model DM tanpa pemberian curcuminoid terjadi peningkatan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada kelompok 4, kelompok 5 dan kelompok 6 bila dibandingkan dengan kelompok 2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok model DM yang mendapatkan curcuminoid dengan dosis 200 mg.kgbb/hari selama 10 hari dan dosis 400 mg/kgbb/hari baik yang diberikan selama 5 hari maupun selama 10 hari, terjadi penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna dibandingkan dengan kelompok model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid.

4.5 Korelasi Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Melitus

Untuk melihat bagaimana kaitan antara penurunan konsentrasi H2O2

serum dengan penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea dilakukan uji korelasi terhadap keduanya. Hasil uji tersebut terlihat pada tabel 4.4 dibawah ini:

Tabel 4.4 Hasil Uji Korelasi terhadap Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea

H2O2 Serum MDA Koklea H2O2 Serum Koefisien korelasi (r) 1 .598

Nilai p .002

MDA Koklea Koefisien korelasi (r) .598 1

Nilai p .002

** Korelasi sangat kuat (r=0.800 – 1.000)

Dari tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa terdapat korelasi searah yang cukup kuat (r=0.598) antara konsentrasi H2O2 serum dengan ekspresi

(25)

bermakna secara statistik (p<0.01). Hal ini berarti bahwa peningkatan konsentrasi H2O2 serum akan diikuti dengan peningkatan ekspresi MDA fibroblas koklea, sebaliknya penurunan konsentrasi H2O2 serum akan diikuti dengan penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea.

(26)

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan salah satu dari sekian banyak peranan curcuminoid, yaitu sebagai antioksidan. Stress oksidatif dipercaya memegang peranan penting dalam patogenesis terjadinya kerusakan koklea akibat diabetes mellitus, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pendengaran pada penderita diabetes.

Penelitian menunjukkan bahwa berbagai mekanisme yang menyertai hiperglikemia dapat menyebabkan kerusakan oksidatif (peningkatan stress oksidatif) dalam darah dan jaringan pada penderita diabetes, dibandingkan dengan individu normal. Peningkatan stress oksidatif dalam darah dan jaringan diperkirakan memegang peranan penting terhadap onset dan perkembangan komplikasi pada diabetes (Kashiwagi, 2001).

Pada penelitian ini induksi diabetes mellitus dilakukan menggunakan injeksi streptozotocin intraperitoneal 60 mg/kgbb dosis tunggal. Tikus diperiksa kadar gula darah setiap hari dan pada hari kedua pasca induksi tikus yang tidak memenuhi kriteria dikeluarkan dari penelitian. Digunakan streptozotocin dan dengan dosis tunggal 60 mg/kgbb karena berdasarkan penelitian, metode tersebut merupakan metode yang digunakan secara luas, menyebabkan terjadinya diabetes pada hari 1-2 setelah induksi, dan jarang menyebabkan ketosis sehingga hewan coba dapat bertahan lebih lama tanpa pemberian insulin (Ghosh et al., 2015; Palma et al., 2014;

Islas-Andrade et al., 2000).

Penggunaan dosis curcuminoid sebanyak 200 mg/kgbb/hari didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai penggunaan curcumin sebagai antioksidan oleh Khan & Mahboob (2014) mendapatkan bahwa curcumin dengan dosis 200 mg/kgbb tikus mampu memperbaiki status enzim antioksidan endogen dan sekaligus menurunkan kadar MDA tikus yang diinduksi dislipidemia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA) melalui berbagai penelitian terhadap hewan coba telah menyatakan bahwa penggunaan curcumin sampai dengan 12 g/hari aman dan tidak menimbulkan efek samping, meskipun efikasi penggunaan dosis

(27)

maka pada penelitian ini digunakan dosis 200 mg/kgbb dan dosis 2x lipatnya yaitu 400 mg/kgbb untuk melihat dosis optimal curcumin sebagai antioksidan.

Jalur metabolik terdiri dari sistem enzim yang terlibat dalam scavenging oksigen aktif yang terbentuk dalam sel. Enzim tersebut adalah 1) SOD yaitu enzim yang mengubah O2 endogen menjadi hidrogen peroksida termasuk Cu, Zn-SOD, Mn-SOD dan SOD ekstraseluler 2) catalase dan gluthatione redox cycle yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air.

Hidrogen peroksida sendiri tidak memiliki elektron yang tidak berpasangan, tetapi diubah menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif (OH) sehingga mekanisme detoksifikasi H2O2 berperan penting dalam perlindungan sel dan jaringan dari stress oksidatif (Kashiwagi, 2001).

Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi ROS (oksigen reaktif spesies) atau radikal bebas dan pertahanan antioksidan, yang dapat menyebabkan cedera jaringan. Hal ini dapat dinilai dengan pengukuran produk reaksi dari kerusakan oksidatif, seperti peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan oksidasi protein. Tingkat MDA (malondialdehid) serum menunjukkan indeks peroksidasi lipid. Pada diabetes, stres oksidatif disebabkan oleh peningkatan pembentukan radikal bebas plasma dan penurunan pertahanan antioksidan.

Hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat meningkatkan produksi radikal bebas dan menginduksi stres oksidatif yang mungkin juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko untuk penyakit arteri koroner pada diabetes (Bikkad & Somwanshi, 2014).

Terdapat bukti klinis dan eksperimental yang meyakinkan bahwa produksi ROS meningkat pada kedua tipe diabetes dan bahwa onset diabetes berkaitan erat dengan stress oksidatif. Radikal bebas yang terbentuk pada diabetes bersifat disproporsional melalui autooksidasi glukosa, polyol pathway dan glikasi protein non enzimatik. Kadar radikal bebas yang abnormal dan secara bersamaan juga terjadi penurunan sistem pertahanan antioksidan dapat menyebabkan terjadi kerusakan

(28)

perkembangan komplikasi diabetes. Radikal bebas berperan penting sebagai penyebab dan dalam perkembangan komplikasi diabetes mellitus.

Saat ini stress oksidatif dianggap sebagai mekanisme yang mendasari terjadinya diabetes dan komplikasi diabetes. Peningkatan stress oksidatif dan perubahan kapasitas antioksidan pada diabetes mellitus telah diteliti baik pada penelitian klinis maupun eksperimental, diperkirakan merupakan etiologi komplikasi diabetes kronik. Implikasi stress oksidatif pada patogenesis diabetes, tidak hanya pembentukan radikal bebas, tetapi juga akibat glikosilasi protein non enzimatik, autooksidasi glukosa, gangguan metabolisme gluthation, gangguan pada enzim antioksidan, pembentukan lipid peroksidasi dan penurunan kadar asam askorbat. Selain GSH, ada mekanisme pertahanan lain terhadap radikal bebas seperti enzim superoxide dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GPx) dan catalase (CAT) yang berperan dalam menghilangkan superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Kadar enzim antioksidan mempengaruhi kerentanan berbagai jaringan terhadap stres oksidatif dan berhubungan dengan perkembangan komplikasi diabetes. Hal ini juga berbahaya bagi sel sel pulau beta, yang merupakan salah satu jaringan yang memiliki kadar antioksidan intrinsik terendah (Shradha & Sisodia 2010).

Mikrosirkulasi pada koklea memegang peranan penting dalam fisiologi koklea. Keadaan hiperglikemia dan hiperlipidemia dikaitkan dengan peningkatan kekentalan darah dan gangguan sistem sirkulasi. Penelitian menunjukkan bahwa penyakit penyakit telinga dalam sering dikaitkan dengan kerusakan mikrosirkulasi, khususnya yang melibatkan stria vaskularis (Xipeng, et al, 2013).

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan pembuluh darah dan saraf di koklea kemungkinan merupakan penyebab gangguan pendengaran pada DM, termasuk penebalan dinding kapiler (terutamadi stria vaskularis) dan hilangnya sel-sel rambut luar. Pembuluh darah koklea tidak memiliki sirkulasi kolateral. Mikrosirkulasi koklea menyediakan energi dan substrat, mengangkut limbah metabolik, dan membantu menjaga homeostasis

(29)

internal yang didukung oleh mikrosirkulasi. Meskipun telah jelas diketahui bahwa gangguan suplai darah koklea dapat menyebabkan disfungsi koklea, mekanisme yang jelas mengenai gangguan pendengaran pada diabetes seperti regulasi transduksi sinyal seluler dan saraf, regulasi mikrosirkulasi otonom dan humoral masih menjadi bahan perdebatan dan belum dipelajari secara menyeluruh (Xipeng, et al, 2013).

Stres oksidatif memainkan peranan penting dalam cedera selular akibat hiperglikemia. Kadar glukosa yang tinggi dapat merangsang produksi radikal bebas (Tiwari et al., 2013). Stres oksidatif meningkat pada diabetes mellitus akibat terjadinya peningkatan produksi radikal bebas oksigen dan kurangnya mekanisme pertahanan antioksidan. Radikal bebas terbentuk secara tidak proporsional pada diabetes akibat oksidasi glukosa, glikasi protein non-enzimatik, dan diikuti degradasi oksidatif protein terglikasi (McGrowder, Anderson-Jackson & Crawford, 2013).

Spesies oksigen reaktif terdiri dari radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2• -), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH •), singlet oksigen, nitrat oksida, dan peroksinitrit. Sebagian besar radikal bebas diproduksi pada konsentrasi rendah selama kondisi fisiologis normal dalam tubuh dan kemudian dinetralisir oleh antioksidan enzimatik endogen dan juga antioksidan non-enzimatik yang meliputi superoxide dismutase, gluthathione peroxidase, catalase, dan molekul kecil seperti vitamin C dan E (McGrowder, Anderson-Jackson & Crawford, 2013).

5.1 Pengaruh Curcuminoid terhadap Konsentrasi H2O2 Serum Tikus Model Diabetes Mellitus

Pada penelitian ini didapatkan bahwa induksi diabetes tanpa pemberian curcuminoid (kelompok 2) mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi H2O2. H2O2 merupakan produk dari reduksi inkomplit dari O2. Meskipun H2O2 merupakan oksidan sedang, dan merupakan ROS yang paling kurang reaktif, seluruh sel aerob dilengkapi

(30)

dengan cepat menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif melalui reaksi Fenton(Rhee et al., 2010). CAT dan GPx memegang peranan penting di dalam mekanisme pertahanan antioksidan seluler dengan cara membatasi akumulasi H2O2. CAT dengan segera melakukan proses dekomposisi H2O2 menjadi oksigen (O2) dan molekul air (H2O), sementara GPx akan mengkonversi H2O2 menjadi 2 molekul air (H2O) dengan menggunakan glutathione sebagai substrat, sehingga mengurangi partisipasi H2O2 dalam reaksi Fenton dan Haber-Weiss yang mampu membentuk senyawa radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif (Kehrer, 2000; Li, et al., 2000; Lobo, et al., 2010; Kabel, 2014). Akibat terjadinya stres oksidatif yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia, produksi radikal anion superoksida (O2•-) dan H2O2 akan berlebihan karena proses konversi langsung radikal anion superoksida (O2•-) menjadi H2O2 oleh enzim SOD, sehingga terjadi akumulasi H2O2 intraseluler. Oleh sebab itu, enzim CAT dan GPx tidak mampu mengkonversi akumulasi H2O2 secara efektif dan komplit.

Pada hiperglikemia O2-

intraseluler meningkat dari beberapa sumber termasuk keluarga enzim NADPH oxidase, xantin oksidase, cycloxigenase, uncoupled constitutive nitric oxide synthase (eNOS), transpor elektron mitokondria, glukosa oksidase, dan lipooxygenase.

Intraseluler O2-

adalah spesies yang relatif singkat, yang dapat mengalami proses dismutasi oleh enzim superoxide dismutase (SOD) menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Paparan glukosa yang tinggi meningkatkan H2O2, yang merupakan hasil dari dismutasi O2-

di mitokondria dan peningkatan aktivitas NAD(P)H oxidase-4 (NOX4) di sitosol. Pada kondisi stres oksidatif, kadar H2O2 intraseluler diatur melalui keterlibatan langsung catalase, dan secara tidak langsung melalui keterlibatan langsung dari uncoupling protein, dan ekspresi NRF-2 (Patel et al., 2013).

Hasil yang didapat ini sama dengan hasil yang didapatkan oleh Msolly et al., (2011) yang meneliti tentang peranan H2O2 sebagai indikator stres oksidatif pada pasien diabetes, yang mendapatkan terjadi peningkatan 4 kali lipat pada penderita diabetes dibandingkan dengan kontrol subyek

(31)

oxidase dalam stress oksidatif akibat hiperglikemia pada otot rangka tikus yang di induksi diabetes juga mendapatkan terjadinya peningkatan H2O2

tikus yang diinduksi diabetes mellitus, baik H2O2 yang diproduksi oleh mitokondria, maupun yang diperantarai oleh xanthin oxidase.

Konsentrasi yang berlebihan dari hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap protein, DNA, RNA, dan lipid. Lipid dilaporkan sebagai salah satu utama target ROS. Hidrogen peroksida memiliki efek toksik pada sel baik secara langsung maupun melalui degradasi menjadi radikal hidroksil yang bersifat sangat toksik.

Selain itu hidrogen peroksida juga dapat bereaksi dengan logam transisi seperti besi atau tembaga untuk membentuk aldehida yang stabil, seperti malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kerusakan sel (Tiwari et al., 2013).

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara deskriptif pemberian curcuminoid baik dosis 200 mg/kgbb/hari maupun 400mg/kgbb/hari mampu menurunkan konsentrasi H2O2 serum tikus model diabetes mellitus. Selain itu secara statistik didapatkan bahwa dosis curcuminoid 400mg/kgbb/hari baik diberikan selama 5 maupun 10 hari mampu menurunkan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna. Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa dosis 200 mg/kgbb/hari belum memberikan perbedaan yang bermakna dalam menurunkan konsentrasi H2O2 serum tikus model DM. Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa pemberian curcuminoid 100 mg/hari dapat menurunkan konsentrasi H2O2 pada koklea tikus yang diinduksi bising (Haryuna et al, 2016).

Curcuminoid mampu menginduksi peningkatan aktivitas seluruh enzim antioksidan endogen seperti SOD, CAT dan GPx dengan cara meningkatkan ekspresi gen enzim tersebut sehingga produksinya menjadi bertambah dan secara langsung dapat bereaksi dengan radikal bebas lalu mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Peningkatan ekspresi gen dan aktivitas CAT mampu mengubah radikal peroksida H2O2 menjadi molekul air dan oksigen serta peningkatan ekspresi gen dan aktivitas GPx

(32)

mengubahnya menjadi molekul air dan selanjutnya menurunkan konsentrasi H2O2 sehingga tidak memberikan dampak kerusakan akibat akumulasi H2O2 intrasel yang berlebihan.

Curcumin mampu memberikan efek protektif terhadap destruksi sel epitel ginjal LLC-PK1 hewan coba tikus yang diinduksi oleh radikal peroksida H2O2. Kadar dan aktivitas H2O2 dapat berkurang secara bermakna pada kelompok tikus yang diberikan curcumin selama 15 hari (Cohly, et al., 1998).

Pada penelitian yang dilakukan pada model sel epitel kanker payudara manusia yang diberikan radiasi dosis rendah LET (linear energy transfer) partikel α (150 keV/µm) dan dikultur dengan 17β-estradiol (estrogen), pemberian curcumin dapat mengurangi produksi H2O2 yang terbentuk dan meningkatkan ekspresi SOD dan CAT terhadap sel epitel tersebut serta menurunkan proses peroksidasi lipid yang terjadi (Calaf, et al., 2011).

Pemberian curcumin mampu memberikan efek sitoprotektif terhadap sel NG108-15 pada tikus yang mengalami kerusakan oksidatif dengan cara menginhibisi aktivitas H2O2 hingga berkurang serta menurunkan konsentrasinya pada sel (Mahakunakorn, et al., 2003).

Curcumin mampu menurunkan aktivitas H2O2 pada sel CHO yang mengalami aberasi kromosom hewan coba hamster akibat stres oksidatif yang disebabkan oleh H2O2, Fe2+ dan Fe3+ karena sifat klastogenik yang dimiliki zat tersebut pada konsentrasi tertentu (Antunes, et al., 2005).

(33)

Tikus Model Diabetes Mellitus

Salah satu konsekuensi dari stres oksidatif (ketidak seimbangan antara prooksidan dan antioksidan, dimana lebih banyak jumlah prooksidan) adalah cedera sel-sel, jaringan dan organ yang disebabkan oleh kerusakan oksidatif. Peroksidasi lipid secara umum dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana oksidan seperti sebagai radikal bebas atau spesies non radikal menyerang lipid yang mengandung karbon-karbon ikatan ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Produk utama utama peroksidasi lipid adalah hidroperoksida lipid (LOOH). Di antara banyak aldehida yang berbeda yang dapat dibentuk sebagai produk sekunder selama peroksidasi lipid antara lain yaitu malondialdehid (MDA), propanal, heksanal, dan 4-hidroksinonenal (4-HNE). MDA dianggap merupakan produk peroksidasi lipid yang paling mutagenik, sedangkan 4-HNE adalah yang paling beracun (Ayala, Munoz &

Arguelles, 2014). MDA dibentuk sebagai hasil peroksidasi lipid yang dapat digunakan untuk mengukur lipid peroksida setelah bereaksi dengan asam tiobarbiturat (Ullah, Khan & Khan, 2016).

Pada penelitian ini terbukti bahwa pada fibroblas koklea kelompok tikus yang diinduksi diabetes (kelompok 2) menunjukkan peningkatan ekspresi MDA yang bermakna (p<0.05) secara statistik dibanding pada fibroblas koklea tikus pada kelompok kontrol (kelompok 1). Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid sebagai akibat dari meningkatnya pembentukan radikal bebas. Peningkatan ekspresi MDA pada kelompok 2 disebabkan oleh peningkatan kadar radikal hidroksil (OH•) melalui proses reduksi spontan senyawa H2O2 oleh ion logam transisi bebas pada reaksi Fenton dan Haber-Weiss akibat stres oksidatif oleh pajanan bising berlebih sehingga terjadi peningkatan proses peroksidasi lipid secara langsung terhadap struktur PUFA yang terkandung pada dinding membran sel dan mitokondria (Noori, 2012). Konfigurasi struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) yang dipisahkan oleh gugus metilen (-CH2-)

(34)

mudah dipisahkan, sehingga radikal bebas dapat berikatan dengan struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) pada PUFA yang kemudian bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil yang akan memisahkan atom hidrogen lebih lanjut pada struktur PUFA di sebelahnya, memicu reaksi berantai yang menghasilkan produk radikal asam lemak yang tidak stabil. Radikal asam lemak tersebut kemudian akan bereaksi dengan ion-ion logam transisi bebas seperti Fe2+ dan Cu2+

sehingga menyebabkan terputusnya rantai asam lemah pada PUFA menjadi senyawa aldehid sitotoksik berupa MDA dan 4-HAE yang memiliki reaktivitas yang tinggi terutama terhadap protein dan DNA serta gas hidrokarbon seperti etana. Rusaknya struktur PUFA pada membran plasma juga akan mengganggu permeabilitas membran sehingga radikal bebas akan mudah masuk ke dalam sel serta bereaksi dengan organel yang terdapat dalam sel (Repetto, et al., 2012; Abd Ellah, et al., 2013;

Pizzimenti, et al., 2013; Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).

Penelitian oleh Hussein et al (2015) mendapatkan terjadinya peningkatan kadar MDA serum penderita diabetes dibandingkan dengan kontrol. Hussein & Zinadah (2010) mendapatkan peningkatan kadar MDA baik pada ginjal maupun hepar tikus yang diinduksi diabetes dibandingkan dengan kontrol.

Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa pemberian curcuminoid pada tikus yang diinduksi diabetes dapat menurunkan ekspresi MDA pada koklea tikus secara signifikan dibandingkan dengan tikus model diabetes yang tidak mendapatkan curcuminoid. Pemberian dosis 200 mg/kgbb/hari selama 5 hari belum memberikan perbedaan yang bermakna dalam menurunkan ekspresi MDA (p>0.05). Perbedaan yang bermakna (p<0.05) didapat apabila dosis 200 mg/kgbb/hari tersebut diberikan selama 10 hari.

Sedangkan pemberian curcuminoid dengan dosis yang lebih besar yaitu 400 mg/kgbb/hari akan memberikan perbedaan yang bermakna dalam menurunkan ekspresi MDA, baik diberikan selama 5 maupun 10 hari.

(35)

curcumin yang merupakan donor atom H. Selain itu gugus fenolik sangat penting untuk aktivitas scavenging radikal bebas (Menon & Sudheer, 2007). Curcumin menetralisir radikal bebas melalui sifat mengikat logam.

Curcumin memiliki potensi untuk melewati sawar darah-otak pada mamalia dan menghasilkanefek pelindung (Jaiswal et al., 2016).

Curcuminoid mampu mencegah reduksi spontan H2O2 dengan berkompetisi terhadap ion-ion logam transisi bebas sehingga reaksi Fenton dan Haber-Weiss yang dapat menghasilkan radikal hidroksil (OH•) dapat dicegah, akibatnya proses peroksidasi lipid terhadap struktur PUFA dapat dihambat.

Hasil ini sama dengan yang didapatkan oleh Hussein & Zinadah (2010) yang mendapatkan penurunan kadar MDA baik pada ginjal maupun hepar tikus diabetes yang mendapatkan terapi curcumin. Seo et al (2008) mendapatkan bahwa curcumin dapat menurunkan kadar MDA baik pada hepar maupun pada sel eritrosit tikus diabetes, selain juga dapat menormalkan kadar enzim –enzim antioksidan seperti SOD, catalase dan gluthathione peroxidase.

Pada kelompok 3 dan 4, serta 5 dan 6, secara statistik terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0.05) antara dosis curcuminoid 200 mg/kgbb/hari dan 400 mg/kgbb/hari di dalam penurunan ekspresi MDA pada fibroblas koklea tikus model diabetes mellitus. Namun secara statistik deskriptif curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/hari menunjukkan penurunan ekspresi MDA yang lebih banyak pada fibroblas koklea tikus model DM dibandingkan dengan dosis 200 mg/kgbb/hari. Hal ini dapat terjadi akibat variasi dosis pemberian curcuminoid antar kelompok tidak jauh berbeda (200 mg/kgbb/hari dan 400 mg/kgbb/hari), serta variasi durasi pemberian curcuminoid juga cukup kecil (5 hari dengan 10 hari) sehingga belum memberikan perbedaan dalam hal ekspresi MDA. Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah sifat curcumin yang dapat berperan sebagai antioksidan pada dosis kecil, namun bersifat sebagai prooksidan pada dosis besar (Malik & Mukherjee, 2014). Hal tersebut telah

(36)

mengurangi produksi ROS, namun pada dosis besar justru meningkatkan produksi ROS pada penelitian terhadap sel leukemia manusia (Chen et al., 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa curcumin dosis rendah (<10microM) dapat mencegah deplesi enzim antioksidan GSH namun pada dosis yang lebih tinggi malah menyebabkan penurunan GSH secara bertahap pada sel darah merah yang mengalami kerusakan oksidatif (Banerjee et al., 2008). Selain hal-hal tersebut diatas, faktor lain yang juga dapat berpengaruh adalah faktor farmakodinamik yang dapat mempengaruhi efikasi obat, yaitu ceiling effect yaitu aktivitas intrinsik maksimal obat, dimana penambahan dosis yang lebih besar tidak memberikan penambahan efikasi obat.

5.3 Korelasi Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Mellitus

Uji korelasi konsentrasi H2O2 serum dengan ekspresi MDA fibroblas koklea pada setiap kelompok menunjukkan adanya korelasi searah yang cukup kuat (r=0.598) yang bermakna secara statistik (p<0.01).

Peningkatan konsentrasi H2O2 serum akan diikuti dengan peningkatan ekspresi MDA pda fibroblas koklea, dan sebaliknya penurunan H2O2

serum akan diikuti dengan penurunan ekspresi MDA pda fibroblas koklea.

Hal ini akibat pada keadaan stress oksidatif terjadi peningkatan konsentrasi H2O2 serum secara sistemik. Selain itu waktu paruh H2O2

dalam sirkulasi sangat pendek dan akan mengakibatkan difusi kedalam berbagai sel (Nazratun et al., 2009). H2O2 juga diproduksi dalam berbagai sel seperti limfosit. Difusi H2O2 kedalam jaringan koklea sebagai end organ dapat menginisiasi terjadinya rantai peroksidasi lipid yang salah satu produknya adalah MDA. Dengan demikian peningkatan konsentrasi H2O2

akan diikuti dengan peningkatan ekspresi MDA.

(37)

Keterbatasan dari penelitian ini adalah bahwa dalam pengambilan sampel dinding lateral koklea yang diperiksa secara imunohistokimia, peneliti sulit mendapatkan potongan yang sama dari setiap sampel.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari dapat menurunkan konsentrasi H2O2 serum pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus yang bermakna secara statistik (p<0.05).

2. Curcuminoid dapat menurunkan ekspresi MDA fibroblas koklea pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus yang bermakna secara statistik (p<0.05).

3. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari dalam menurunkan ekspresi MDA pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna 4. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 10

hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam menurunkan konsentrasi H2O2 serum pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0.05).

5. Curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 10 hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam menurunkan ekspresi MDA fibroblas koklea pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p>0.05).

(39)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian dengan penambahan kelompok yang mendapatkan terapi curcuminoid sebelum dilakukan induksi diabetes melitus untuk melihat apakah curcuminoid memiliki sifat preventif terhadap terjadinya stres oksidatif pada fibroblas koklea.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan pemilihan sediaan curcuminoid yang memiliki bioavailabilitas yang baik, seperti nanocurcumin atau kapsul liposom.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemeriksaan OAE (Otoaccoustic Emission) ataupun BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) terhadap sampel sebelum dan sesudah pemberian perlakuan untuk melihat apakah perubahan seluler yang terjadi dapat mempengaruhi fungsi organ secara klinis dalam hal fungsi pendengaran.

Referensi

Dokumen terkait

11. - Tulislah tanggal, bulan dan tahun penerimaan Formulir Penilaian Prestasi Kerja oleh atasan Pejabat Penilai kemudian dibubuhkan tanda tangan, nama dan NIP

Ciri-ciri tersebut yang pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berarti pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya.Kedua

RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019. PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA Provinsi

Media internet yang tidak memiliki batasan geografis dalam melakukan transaksi menimbulkan beberapa kendala dalam melakukan penyelesaian sengketa apabila terjadi

Setelah menyimak teks, siswa mengenal bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk membuat pigura dengan hiasan dari kulit telur.. Siswa dapat membuat pigura

bahwa jumlah leukosit meningkat pada awal fase akut stroke yang. merupakan prediktor independent yang signifikan pada

Juga memerintahkan agar menjaga farjinya (kemaluannya) dari perzinaan dan menutup auratnya hingga tidak terlihat oleh siapa pun, sehingga hatinya menjadi lebih bersih

Selanjutnya, penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur berkaitan dengan jenis wanita yang akan dinikahi dalam surat al-Nisa' (4): ayat 3 menjelaskan, bahwa