• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Merek (Brand)

Fenomena persaingan yang ada dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem perekonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut market share (pangsa pasar). Salah satu aset untuk mencapai keadaan tersebut adalah brand (merek). Merek merupakan identitas utama produk atau jasa suatu badan usaha sehingga dapat dibedakan dari produk atau jasa, badan usaha lain yang sejenis.

Merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol disain, ataupun kombinasi nya yang mengidentifikasikan suatu produk/jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Identifikasi tersebut juga berfungsi untuk membedakannya dengan produk yang ditawarkan oleh perusahaan pesaing. Lebih jauh, sebenamya merek merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah trademark (merek dagang) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila diatur dengan tepat. Saat ini merek sudah menjadi konsep yang kompleks dengan sejumlah ratifikasi teknis dan psikologis.

Menurut Aaker [1991: 7] merek (brand) adalah : "a distinguishing name and or symbol (Such as logo, trademark, or package design) intended by identify the goods or services from those of competitors"

Jadi merek pada gilirannya memberi tanda mengenai sumber produk tersebut dan dapat melindungi konsumen dan produsen dari para pesaingnya yang berusaha menyediakan produk atau jasa yang kelihatannya identik dan merek juga memberitahukan konsumen sumber produk atau jasa.

2.2. Brand Image (Citra Merek)

‘Brand image’ refers to how the target market perceives the brand (Doyle, 1998: 172)

Menurut Schiffman & Kanue (1997: 30), Brand Image is perception about a brand as reflected by the brand assosiations held in consumer memory

Aaker (1992:109, Brand assotiation is anything linked on memory to a brand

(2)

Dalam mengembangkan suatu merek para manajer tersebut harus memikirkan strategi apa yang dapat dipakai dalam mengembangkan mereknya.

Oleh karena itu diperlukan suatu brand positioning strategy yang berarti suatu rencana yang ditetapkan tentang bagaiamana cara mengelola merek tersebut (Doyle, 1998;171) Dalam mengembangkan brand positioning strategy sendiri diperlukan 4 tahap (Doyle,1998;171) yaitu :

1. Attribute research-qualitative of the type described above, into what attribute buyers use in considering alternative brands.

2. Competitor research-indentyfing how competitive brands are perceived along these attributes.

3. Gap analysis – exploring whether there are any need gaps : attractive positions which would allow the company to offer desirable added superior to or not offered by competitors.

4. Concepts testing – evaluating whether any resulting positioning concepts to offer added values which are understood, believed, and perceived value to target customers.

Citra (image) adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaan atau produknya. Image dipengaruhi oleh banyak faktor yang diluar kontrol perusahaan.

Citra yang efektif melakukan tiga hal, yang pertama : memantapkan karater produk dan usulan nilai, yang kedua : menyampaikan karakter itu dengan cara yang berbeda sehingga tidak dikacaukan dengan karakter pesaing, yang ketiga : memberikan kekuatan emosional yang lebih dari sekedar citra mental. Supaya bisa berfungsi citra itu harus disampaikan melalui setiap sarana komunikasi yang tersedia dan kontak merek (Kotler, 200:338).

Pengertian Brand Image adalah (Keegan, Green, 2000:11)

A single, but often complex, mental image about both the physical product and the company the market it.

Adapun pengertian Brand Image adalah (Kotler, 2000;338)

“Pada mulanya konsumen mengembangkan sekumpulan keyakinan merek tentang dimana posisi setiap merek dalam masing-masing atribut. Kumpulan dari

(3)

keyakinan atas suatu merek tersebut akan membentuk Brand Image (Citra Merek)”

Brand Image (kesan terhadap merek) adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk dan melekat dibenak konsumen. Konsumen yang terbiasa menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap Brand Image (Rangkuti, 2002;244-245).

Didalam dunia bisnis para konsumen banyak terpengaruh dengan status dari suatu merek produk atau terpengaruh dengan kebesaran perusahaan. Merek seperti Lexus dan Mercedes mempunyai kekuatan prestige yang sangat kuat di benak konsumen. Salah satu hal yang penting dalam perbedaan merek tersebut adalah untuk dapat memposisikan produknya dan mendatangkan keuntungan dari perbedaan tersebut. Perbedaan merek dapat memberikan suatu porsi yang tersendiri bagi produk kita dengan para pesaing dan meciptakan tambahan konsumen yang memilih produk kita (Best, 2003;174).

Kuatnya suatu merek dapat mempertinggi evaluasi terhadap produk quality, mempertahankan level of product awareness dan mempertahankan citra merek tersebut. Pembedaan merek dapat menjadi suatu hal yang sangat penting dalam perbedaan dengan pesaing dan dapat memperpanjang keuntungan positioning dan merek utama (Best, 2003;174-175).

Keadaan dari merek tersebut tidak terlepas dari produk. Pemberian merek pada sendirinya merupakan strategi produk. Keduanya sangat berhubungan erat antara produk dengan merek. Oleh karena itu adanya produk itu sama pentingnya dengan adanya produk.

Brand image, on the other hand, is the totality of consumer perceptions about the brand, or how they see it, which may not coincide with the brand identity. Companies have to work hard on the consumer experience to make sure that what customers see and think is what they want them to (Journal of Branding Asia.Com: 1)

Brand image (citra merek) merupakan sebuah rangkaian berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan. Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan, semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut.

(4)

Sedangkan asosiasi merek atau brand association adalah merupakan setiap kesan yang muncul di benak konsumen yang terkait dengan ingatan konsumen mengenai suatu merek. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasi konsumen, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain. Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat.

2.2.1Fungsi Asosiasi merek yang Membentuk Citra Merek

Faktor-faktor yang membentuk brand image dalam keterkaitannya dengan asosiasi merek menurut Russel dan Lane (1995: 3):

1. Favorability of Brand Assosiation

The success of marketing program is reflected in the creation of favorable.

Brand assosiations that is consumer believe that the brand had atribute and benefits that satisfy their needs and wants such that a positive overall brand attitudes is formed.

2. Strength of Brand Assosiation

The strength of assosiation depends on how the information enters consumers memory and how it maintained as part of the brand image.

3. Uniqueness of Brand Assosiation

The essence of brand positioning is the brand has a sustainable competitive advantage or unique selling proposition glues consumers as compeling reason for buying that particular brand. Further atribute or functional experimental or image benefit.

Dalam kenyataannya asosiasi merek yang terangkai dalam satu kesatuan membentuk citra merek memiliki fungsi:

1. Help process/retrieve information (membantu proses penyusunan informasi)

2. Differentiate (membedakan)

(5)

Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain.

3. Reason to buy (alasan pembelian)

Brand association membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen (customer benefits) yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.

4. Create positive attitude feelings (menciptakan sikap atau perasaan positif) Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada

gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan. Asosiasiasosiasi tersebut dapat menciptakan perasaan positif atas dasar pengalaman konsumen sebelumnya serta pengubahan pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang lain daripada yang lain.

5. Basisfor extentions (landasan untuk perluasan)

Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian (sense offit) antara merek dan sebuah produk baru, atau dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.

Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:

1. Product attributes (atribut produk)

Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek.

Misalnya, apa yang tercermin dalam kata mobil Mercedes pasti berbeda dari kata yang tercermin dalam kata mobil Suzuki.

2. Intangibles atributes (atribut tak berwujud)

Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum) seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif

(6)

3. Customer's benefits (manfaat bagi pelanggan)

Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan, maka biasanya terdapat hubungan antar keduanya. Manfaat bagi pelanggan dapat dibagi dua, yaitu rational benefit (manfaat rasional) dan psychological benefit (manfaat psikologis). Manfaat rasional berkaitan erat dengan atribut dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional. Manfaat psikologis sering kali merupakan konsekuensi ekstrem dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut. Misalnya dalam merek produk Intel Inside terkandung manfaat processor komputer yang cepat.

4. Relative price (harga relatif)

Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga

5. Application (penggunaan)

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu

6. User/customer (pengguna/pelanggan)

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau atau pelanggan dari produk tersebut. Misalnya Dimension Kiddies dikaitkan dengan pemakainya yang adalah anak-anak.

7. Celebrity person (orang terkenal khalayak)

Mengaitkan orang terkenal. atau artis dengan sebuah merek dapatmentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut.

8. Life style personality (gaya hidup/kepribadian)

Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami olch asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristikgaya hidup yang hampir sama. Misalnya Wagat' mencerminkan kepribadian yang maskulin, kuat, dan berani.

(7)

9. Product class (kelas produk)

Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. Misalnya, Volvo mencerminkan nilai berupa prestise, performa tinggi, keamanan, dan lain-lain.

10. Competitors (para pesaing)

Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing.

11. Countrylgeographic area (negara/wilayah geografis)

Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan. Contoh, Prancis diasosiasikan dengan mode pakaian dan parfum. Asosiasi tersebut dapat dieksploitasi dengan mengaitkan merek pada sebuah negara. Contoh lain, mobil Mercedes mencerminkan budaya jerman yang berkualitas tinggi, konsistensi tinggi, dan keseriusan tinggi.

Di samping beberapa acuan yang telah disebutkan, beberapa merek juga memiliki asosiasi dengan berbagai hal lain yang belum disebutkan di atas. Dalam kenyataannya, tidak semua merek produk memiliki semua asosiasi di atas. Merek tertentu berasosiasi dengan beberapa hal di atas dan merek lainnya berasosiasi dengan beberapa hal yang lain.

2.2.2. Peranan dan kegunaan merek

Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapannya pada saat kita menjanjikan sesuatu kepada konsumen.

Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi konsumen tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama.

Merek menjadi sangat penting saat ini, karena beberapa faktor seperti:

1. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil.

2. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.

(8)

Contoh yang paling fenomenal adalah Coca Cola yang berhasil menjadi

"Global Brand", diterima di mana saja dan kapan saja di seluruh dunia 3. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen.

Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak brand association (asosiasi merek) yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika brand association yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan brand image (citra merek).

4. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen

Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen. Sebagai contoh, keberhasilan Pall Mall dalam menembus perilaku konsumen mampu menciptakan suatu market nicbe (ceruk pasar) yang spesifik dan menguntungkan.

5. Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan.mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk -lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan, ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut.

6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan.

Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa Coca Cola yang memiliki Stock Market Value (SMV) yang besar, temyata 97% dari SMV tersebut merupakan nilai merek. Begitu pula nilai merek Kellogs berkontribusi 89% dari SMVnya, dan pada IBM berkontribusi 73% dari SMV

Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai peranan yang penting dan merupakan 'aset prestisius' bagi perusahaan. Dalam kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas pelanggan adalah kunci kesuksesan. Terlebih lagi pada kondisi sekarang, nilai suatu merek yang mapan sebanding dengan realitas makin sulitnya menciptakan suatu merek. Pemasaran dewasa ini merupakan pertempuran persepsi konsumen, tidak sekadar pertempuran produk. Beberapa produk dengan kualitas, model, features (karakteristik tambahan dari produk), serta kualitas yang relatif sama, dapat

(9)

memiliki kinerja yang berbeda-beda di pasar karena perbedaan persepsi dari produk tersebut di benak konsumen. Membangun persepsi dapat dilakukan melalui jalur merek. Merek yang prestisius dapat disebut memiliki brand equity (ekuitas merek) yang kuat. Suatu produk dengan brand equity yang kuat dapat membentuk Brand Platform (landasan merek) yang kuat dan mampu mengembangkan keberadaan suatu merek dalam persaingan apa pun dalam jangka waktu yang lama.

2.3. Brand equity (ekuitas merek)

Dengan semakin banyaknya jumlah pemain di pasar, meningkat pula ketajaman persaingan di antara merek-merek yang beroperasi di pasar dan hanya produk yang memiliki brand equity kuat yang akan terap mampu bersaing, merebut, dan menguasai pasar. Sedemikian pentingnya peran brand equity sebagai landasan dalam. menentukan langkah dan strategi pemasaran dari suatu produk sehingga sering kali brand equity memperoleh pengkajian yang mendalam. Semakin kuat brand equity suatu produk, semakin kuat pula daya tariknya di mata konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut yang selanjutnya dapat menggiring konsumen untuk melakukan pembelian serta mengantarkan perusahaan untuk meraup keuntungan dari waktu ke waktu.

Karena itu, pengetahuan tentang elemen-clemen brand equity dan pengukurannya sangat diperlukan untuk menyusun langkah strategis dalam meningkatkan eksistensi merek yang akhimya dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula.

(10)

Menurut David. A. Aaker (Managing Brand Equity, 1991), brand equity dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu:

1. Brand awareness (kesadaran merek) menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.

2. Brand association (asosiasi merek) mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain.

3. Perceived quality (persepsi kualitas) mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan.

4. Brand loyalty (loyalitas merek)-mencerminkan tingkat keterikatannya dengan suatu merek produk.

5. Other proprietary brand assets (Aset-aset merek lainnya).

Empat elemen brand equity di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut.

2.4. Loyalitas Pelanggan

Memasuki milenium baru, orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional kearah pendekatan kontemporer (Bhote, 1996) dalam Tjiptono (2000). Pendekatan konvensional menekankan kepuasan pelanggan, sedangkan kepuasan kontemporer berfokus pada loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections, dan life long customer. Tidak ada yang salah pada pendekatan konvensional, namun apa yang dilakukan belumlah memadai.

Pendekatan konvensional itu dikatakan sebagai “necessary but not suffient” untuk bersaing di masa yang akan datang.

Menurut Schnaars dalam Tjiptono (2000), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan : failures, forced loyalty, defectors dan successes, yang ditunjukkan gambar 2.2.

(11)

Loyalitas Pelanggan

Rendah Tinggi

Kepuasan Rendah

Pelanggan Tinggi

Gambar 2.1. Hubungan antara Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan

Sumber : Schnaars (1998), Marketing strategy: customers and Competetions, 2nd ed. New York : The Free Press.

Tjptono (2000) menyatakan “oleh sebab itu, kepuasan pelanggan harus disertai dengan loyalitas pelanggan. Tidak cukup sampai kepuasan saja karena kepuasan pelanggan hanya merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat loyalitas pelanggan. Pelanggan yang benar-benar loyal, bukan saja sangat potensial menjadi word-of-mouth advertisers, namun juga kemungkinan besar loyal besar pada portofolio produk dan jasa perusahaan untuk jangka waktu yang lama”.

Dapat dicermati lebih lanjut bahwa kepuasan pelanggan belum cukup untuk mengukur kualitas dari produk dan jasa, konsekuensinya perusahaan tidak dapat berhenti sampai pada kepuasan pelanggan dan terlepas dari loyalitas pelanggan baik terhadap merek, produk, jasa dan penyeedia. Istilah loyalitas merupakan konsep yang nampak mudah dibicarakan namun sulit bila dianalisa maknanya.

Selanjutnya Dharmmestha (1999) juga mengutip pendapat Jacoby dan Kyner, yang mendefinisikan loyalitas sebagai respon keperilakuan (respon

A. Failures Tidak puas dan tidak

konyol

B. Forced Loyalty Tidak puas, namun “terikat”

pada program promosi loyalitas perusahaan C. Defectors

Puas tapi tidak loyal

D. Successes Puas, loyal, paling mungkin memberikan word-of-mouth

positif

(12)

pembelian) yang bersifat bias atau non random, terungkap secara terus-menerus oleh unit pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternatif dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis.

Namun perlu ditekankan bahwa hal tersebut berbeda dengan perilaku beli ulang, loyalitas pelanggan menyertakan aspek perasaan didalamnya (Dharmmesta, 1999).

Istilah loyalitas pelanggan sebetulnya berasal dari loyalitas merek yang mencerminkan loyalitas pelanggan pada merek produk atau jasa tertentu. Hal tersebut perlu ditegaskan mengingat dalam teori maupun penelitian, istilah loyalitas pelanggan dan loyalitas merek menujukkan hal yang sama (Dharmmesta, 1999). Begitu juga dalam penelitian ini, loyalitas merek dan loyalitaas pelanggan, menunjukkan hal yang sama.

Selanjutnya Dharmmesta (1999) juga mengutip pendapat Boulding yang mengemukakan bahwa “Pada dasarnya ada dua perspektif utama menyangkut loyalitas merek : loyalitas merek ditinjau dari pendekatan attitudinal sebagai komitmen psikologis, dan dari pendekatan behavioral yang tercermin dalam perilaku beli aktual.” Hal itu tercermin melalui 2 perspektif:

1). Perspektif Behavioral

Berdasarkan perspektif ini, loyalitas merek diartikan sebagai pembelian ulang suatu merek secara konsisten oleh pelanggan. Setiap kali seorang konsumen membeli ulang suatu produk, bila ia membeli merek produk yang sama, maka dikatakan sebagi pelanggan yang setia pada merek tersebut dalam kategori produk yang bersangkutan. Dalam praktek jarang dijumpai pelanggan yang setia 100%

hanya pada satu merek. Oleh sebab itu, ada tiga macam ukuran loyalitras merek behavioral yang banyak digunakan:

a. Proporsi Pembelian

Loyalitas diukur dengan presentase tertentu yaitu jumlah pembelian produk dari merek yang paling sering dibeli dibagi dengan total pembelian.

b. Urutan/rentetan pembelian

(13)

Ukuran loyalitas yang lain adalah konsistensi berkaitan dengan urutan pembelian dan frekuensi dengan urutan pembelian dan frekuensi konsumen beralih atau berganti, dalam hal ini ada lima macam pola:

1. Undivided Loyalty : AAAAAAAA 2. Occasional Switch : AABAAACAADA 3. Switch Loyalty : AAAABBBB

4. Divided Loyalty : AAABBAABBB

5. Brand Indifference : (Non Loyalty) : ABCDBACD c. Probabilitas Pembelian

Dalam ukuran ini, proporsi dan urutan pembelian dikombinasikan untuk menghitung probabilitas pembelian berdasarkan sejarah pembelian pelanggan dalam jangka panjang, setiap kali pelanggan membeli merek tertentu, pembelian tersebut menaikkan probabilitas statistik pembelian ulang merek bersangkutan pada kesempatan berikutnya.

2). Perspektif Attitudinal

Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan behavioral, maka perlu dibedakan antara loyalitas pelanggan dan perilaku beli ulang, Dhammesta (1999) menyatakan bahwa perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk/jasa secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek kesukaan didalamnya. Sebaliknya loyalitas pelanggan mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek. Ini berarti, aspek attitudinal tercakup didalamnya . dalam cakupan yang lebih luas, loyalitas dapat di definisikan sebgai komitmen terhadap suatu merek, toko, pemasok, atau perusahaan jasa berdasarkan sikap positif yang tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten (Tjiptono, 2000)

Sejalan dengan pendapat Dick dan Basu (1994), “ Brand loyalty is repeat t buying because of commitment to a certain brand, whereas inertia is repeat buying without commitment to the brand”. Definisi ini mencakup dua komponen penting, yaitu loyalitas sebagai perilaku dan loyalitas sebagai sikap. Kombinasi kedua komponen itu menghasilkan empat situasi kemungkinan loyalitas : no loyalty, spurious loyalty , latent loyalty, dan loyalty.

(14)

Bila sikap dan perilaku ulang pelanggan sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk (no loyalty). Bila sikap yang relative lemah disertai pola pembelian yang kuat, maka akan terjadi spurious loyalty. Situasi latent loyalty, tercermin bila sikap yang kuat disertai pola pembelian ulang yang lemah. Situasi loyalty merupakan situasi yang ideal yang paling diharapkan para pemasar, konsumen bersikap positif terhadap produk atau jasa (penyedia jasa) dan disertai pola pembelian yang ulang yang konsisten.

Dharmmesta (1999) menyatakan bahwa loyalitas berkembang mengikuti empat tahap yaitu kognitif, efektif, konatif, dan tindakan yaitu:

a. Tahap pertama : Loyalitas Kognitif

Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap ini menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjukkan pada satu produk /jasa atau produk/jasa lainnya, jadi hanya didasarkan pada kognisi saja.

b. Tahap Kedua : Loyalitas Efektif

Loyalitas tahap ini didasarkan pada aspek efektif konsumen.

Munculnya loyalitas efektif ini didorong oleh kepuasan, namun demikian masih belum menjamin adanya loyalitas karena menurut penelitian kepuasan konsumen berkolerasi tinggi dengan pembelian ulang di waktu mendatang.

c. Tahap Ketiga : Loyalitas konatif

Konatif menunjukkan niat atau komitment untuk melakukan suatu arah tujuan tertentu. Niat merupkan fungsi dari niat sebelumnya (masa pra konsumsi) dan sikap pada masa pasca konsumsi. Jadi loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang mencakup komitmen yang dalam untuk melakukan pembelian. Keinginan untuk menjadi loyal hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana

d. Tahap Keempat : Loyalitas Tindakan

Aspek konatif atau niat melakukan, telah mengalami perkembangan yaitu diskonvensi menjadi perilaku. Niat yang diikuti oleh motivasi merupakan kondisi yang mengarah kepada kesiapan bertindak dan keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut.

(15)

Loyalitas sifat jangka panjang dan kumulatif, makin lama pelanggan loyal, makin banyak laba yang dapat diperoleh suatu usaha lewat pelanggan tersebut (Grffin, 1996).

Menurut Grifin (1996) karakteristik pelanggan yang loyal antara lain : 1. Melakukan pembelian secara teratur

2. Membeli diluar lini produk atau jasa

3. Menolak produk atau jasa dari perusahaan lain 4. Kebal terhadap daya tarik pesaing

5. Menarik pelanggan baru untuk perusahaan

6. Kekurangan atau kelemahan akan diberitahukan kepada perusahaan

Menurut Griffin (1996), mereka yang diketagorikan loyal adalah pelanggan yang sangat puas sangat puas dengan produk sehingga mempunyai antusiasme untuk memperkenalkannya kepada siapa pun yang mereka kenal.

Pelanggan yang loyal juga akan menunjukkan kekebalan terhadap pengaruh promosi atau iklan dari perusahaan pesaing. Selanjutnya, mereka akan melakukan pembelian ulang atas produk atau jasa lainnya yang diproduksi perusahaan, sehingga pada akhirnya mereka adalah konsumen yang loyal pada perusahaan tertentu untuk selamanya. Kekurangan atau kelemahan perusahaan akan diberitahukan pada pihak perusahaan, bahkan ia akan memberitahukan kebaikan- kebaikan perusahaan kepada pihak lain tapi tidak akan memberitahukan kekurangan perusahaan.

Ada 2 faktor bagi peningkatan loyalitas yaitu : kecintaan pada produk atau jasa lain yang lebih tinggi dibanding alternatif lain, dan pembelian ulang. Derajat kecintaan dan pola pembelian ulang ini bisa tinggi atau rendah, dan jika kedua faktor tersebut diklasifikasikan secara silang, maka akan muncul empat tipe loyalitas sebagai berikut :

1. Premium Loyalty

Premium loyalty terjadi jika tingkat kecintaan terhadap produk atau jasa maupun tingkat pembelian ulangnya tinggi. Pelanggan dengan loyalitas tiggi, tidak akan beralih ke pemasok lain. Mereka akan

(16)

menunjukkan kekebalan terhadap promosi yang dilakukan perusahaan lain. Pelanggan ini merupakan pendukung perusahaan yang akan memberitahukan produk atau jasa perusahaan kepada orang lain.

2. Latent Loyalty

Latent Loyalty terjadi jika mempunyai sikap kecintaan terhadap produk atau jasa relatif tinggi, tetapi pembelian ulang rendah. Pengaruh situasional lebih menentukan pembelian daripada pengaruh sikap.

3. Inertial Loyalty

Intertial Loyalty terjadi jika pelanggan mempunayai tingkat kecintaan terhadap porduk atau jasa rendah, namun tingkat pembelian ulang tinggi.

Pelangan membeli karena kebiasan, faktor situasional merupakan alasan utama untuk membeli. Pelanggan merasakan derajat kepuasan atau setidaknya tidak kecewa. Pelanggan tersebut akan beralih ke produk atau jasa pesaing apabila dirasakan lebih bermanfaat. Perusahaan dapat merubah inertial loyalty ke premium loyalty dengan meningkatkan positif produk atau layanan terhadap alternatif yang ada.

4. No Loyalty

No Loyalty terjadi jika tingkat kecintaan terhadap produk atau jasa dan pembelian ulang rendah. Pelanggan semacam ini biasanya tidak pernah memperhatikan perusahaan penyedia produk atau jasa. Bagi mereka yang penting adalah mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkan dengan segera. Pembeli ini tidak pernah menjadi pelanggan yang loyal, mereka hanya menambah sedikit kekuatan finansial. Perusahaan sebaiknya menghindari membidik pelanggan dengan tipe seperti ini.

Griffin juga mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain :

1. Mengurangi biaya pemasaran karena biaya untuk menarik konsumen baru lebih mahal.

2. Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak).

3. Mengurangi biaya turn over konsumen.

4. Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar.

(17)

5. Word of mouth yang lebih positif dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti pelanggan yang puas.

2.5. Hubungan antara Brand Image dengan Loyalitas

Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitas konsumen pada merek tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali kemungkinan asosiasi dan variasi dari brand association yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek (citar merek), yang dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna.

(18)

2.6. Kerangka Berpikir

Gambar 2.2. kerangka berpikir

Brand Image is perception about a brand as reflected by the brand assosiations held in consumer memory

Manfaat bagi Pelanggan (Custumer’s Benefits)

Ketahanan Kenyamanan Kecepatan Keamanan

Loyalitas Konsumen

Loyalitas sebagai respon keperilakuan (respon pembelian) yang bersifat bias atau non random, terungkap secara terus-menerus oleh unit pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternatif dari

sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis Manfaat Psikologis Manfaat Rasional

Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh brand image (keamanan, kenyamanan, kecepatan, kekuatan) terhadap loyalitas pelanggan mobil Honda

khususnya di Surabaya

(19)

2.7. Penjelasan kerangka pemikiran

Brand Image dibentuk dari berbagai macam brand asosiasi yang melekat pada merek mobil Honda. Asosiasi merek terkait salah satunya dengan manfaat yang dirasakan oleh pelanggan. Manfaat ini bisa dalam bentuk manfaat rasional dan manfaat psikologis. Manfaat rasional dan psikologis yang dapat diidentifikasi dari mobil Honda meliputi ketahanan, kenyamanan, kecepatan dan keamanan.

Besarnya manfaat baik yang rasional dan psikologis akan mempengaruhi besarnya loyalitas konsumen terhadap mobil Honda.

2.8. Hipotesis

Diduga ada pengaruh faktor-faktor brand image yang melekat pada merek mobil Honda (kekuatan, kenyamanan, kecepatan, keamanan) terhadap loyalitas konsumen

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan antara Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan
Gambar 2.2. kerangka berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dilakukan pengiriman request dengan menggunakan FQL (Facebook Query Language) ke Facebook APIs untuk mendapatkan data frekuensi tag yang pernah dilakukan antar mutual

Ekspresi tersebut akan menjadi suatu produk hukum dan melekat menjadi suatu Hak Kekayaan Intelektual, Intellectual Property Rights (IPR) jika diproses melalui prosedur dan

Nilai kekuatan tekan dan kekerasan semakin meningkat seiring dengan penambahan jumlah nanopartikel ZnO yang ditambahkan pada sampel. Sampel A m erupakan sampel s emen gigi s eng

Biaya ini merupakan biaya yang terjadi untuk mencegah kerusakan produk yang di hasilkan. B iaya i ni m eliputi yang be rhubungan de ngan pe rancangan, pelaksanaan, dan

Di habitat karst ditemukan sebanyak 17 spesies dengan total kelimpahan 12.41 individu/ha, di area perkebunan kelapa sawit 12 spesies dengan total kelimpahan 4,29 individu/ha,

Misalnya: cukai tembakau atas rokok putih putih (luar negeri) dihindari dengan memuaskan diri dengan rokok klobot/ tingwe (surogat). Maka dari itu jika terdapat kejanggalan

Hasil analisis beda 2 mean sampel independen menggunakan penelusuran Post Hoc Test Turkey di atas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel ekspresi Caspase 8 antara kelompok

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk melatihkan keterampilan interpretasi dan inferensi siswa