Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Culture Shock pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di
Universitas “X” Bandung. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai Culture Shock pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X” Bandung, yaitu prosentase masing-masing derajat Culture Shock serta komponen, aspek, dan indikator Culture Shock yang paling dominan pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X” Bandung.
Sampel penelitian ini adalah mahasiswa semester satu di Universitas “X”, Bandung yang berasal dari luar Jawa Barat dan telah menetap di Bandung dalam jangka waktu maksimal 1 tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan alat ukur berupa kuesioner derajat Culture Shock yang terdiri atas 108 item.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 120 mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat, sebanyak 46,67% mahasiswa mengalami Culture Shock dengan derajat yang rendah, 43,33% mahasiswa mengalami Culture Shock dengan derajat yang sedang, dan 10% mahasiswa mengalami Culture Shock dengan derajat yang tinggi. Komponen Culture Shock yang paling dominan dalam proses Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat adalah komponen afektif. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat yang mengalami Culture Shock dengan derajat yang rendah adalah usaha yang berlebihan untuk memahami segala hal yang terjadi di Bandung. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat yang mengalami Culture Shock dengan derajat yang sedang adalah perasaan rindu terhadap keluarga, teman, dan orang-orang terdekat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, peneliti mengajukan beberapa saran.
Diharapkan badan konseling mahasiswa di Universitas “X” Bandung dapat
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
Lembar Judul
Lembar Pengesahan
Abstrak
Kata Pengantar………...i
Daftar Isi………...iv
Daftar Tabel...viii
Daftar Bagan………...ix
Daftar Lampiran………...x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi Masalah...8
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian...8
Universitas Kristen Maranatha
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis...9
1.4.2 Kegunaan Praktis...9
1.5 Kerangka Pikir...10
Universitas Kristen Maranatha
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebudayaan
2.1.1 Definisi Kebudayaan……….………22
2.1.2 Wujud Kebudayaan……….………..22
2.2 Culture Shock
2.2.1 Definisi Culture Shock...22
2.2.2 Tahap-tahap Culture Shock………23
2.2.3 Komponen Culture Shock………..25
2.3 Akulturasi
2.3.1 Definisi Akulturasi……….26
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi Akulturasi………...26
2.3.3 Kontak Interkultural dan Adaptasi...27
2.4 Sojourner
2.4.1 Pengertian Sojourner……….28
Universitas Kristen Maranatha
2.4.3 Masalah yang Dihadapi Mahasiswa sebagai Sojourner…………28
2.5 Pembelajaran Budaya
2.5.1 Interaksi Sosial………...29
2.5.2 Psikologi Sosial dari Pertemuan Lintas Budaya………31
2.6 Stres, Coping Dan Adjustment
2.6.1 Kerangka Stres dan Coping………32
2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres, Coping dan Adjustment
………33
2.7 Masa Dewasa Awal
2.7.1 Transisi dari Sekolah Menengah Atas Menuju Universitas...39
2.7.2 Perkembangan Kognitif……….40
2.7.3. Perkembangan Sosio-Emosional………42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian…...………...44
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Universitas Kristen Maranatha
3.2.2 Definisi Operasional………...45
3.3 Alat Ukur 3.3.1 Kuesioner………48
3.3.2 Data Penunjang………..……….52
3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.3.3.1 Validitas Alat Ukur...53
3.3.3.2 Reliabilitas Alat Ukur...53
3.4 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 3.4.1 Populasi Sasaran……….54
3.4.2 Karakteristik Populasi……….54
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel………...55
3.5 Teknik Analisis Data...55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Responden...57
4.1.2 Hasil Pengolahan Data 4.1.2.1 Derajat Culture Shock...58
Universitas Kristen Maranatha
4.2 Pembahasan
4.2.1 Derajat Culture Shock...64
4.2.2 Komponen Culture Shock...80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...82
5.2 Saran...83
DAFTAR PUSTAKA...85
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Alat Ukur Derajat Culture Shock
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku Bangsa, Daerah
Asal, dan Lamanya Tinggal di Bandung
Tabel 4.2 Prosentase Derajat Culture Shock
Tabel 4.3 Komponen Culture Shock
Tabel 4.4 Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock dengan Indikator Culture
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Bagan Kerangka Pikir...20
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Kuesioner Penelitian
Lampiran B Kisi-kisi Alat Ukur
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar seperti Bandung,
pertemuan dan interaksi dengan orang dari daerah lain yang berbeda budaya tidak
terhindarkan lagi. Seperti dikemukakan Margarete Schwezer (dalam Mulyana dan
Rahmat, 2003), perbedaan antar daerah tersebut khusus dapat ditemukan dalam
bahasa, struktur ekonomi, struktur sosial, agama, norma-norma, gaya interaksi dan
pemikiran, serta sejarah lokal. Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di
wilayah Indonesia Barat memiliki masyarakat majemuk, karena selain masyarakat
tuan rumah, juga terdapat masyarakat pendatang dari berbagai pelosok nusantara
bahkan dari luar negeri. Para pendatang ini ada yang sudah berdomisili atau
menetap (settlers) terutama mereka yang umumnya mengadu nasib dengan
mencari sumber penghidupan atau bekerja, dan ada pula yang tidak menetap
(sojourners), yang salah satu alasannya adalah untuk melanjutkan pendidikan di
kota Bandung.
Di era globalisasi seperti saat ini, pendidikan menjadi sangatlah penting,
baik untuk mengembangkan potensi dalam diri maupun untuk mencapai impian
masa depan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
2
diperlukan dirinya dan masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan/).
Pendidikan merupakan unsur penting untuk melahirkan penerus bangsa yang
berkualitas. Pendidikan diperlukan agar individu dapat mengikuti perkembangan
teknologi dan arus globalisasi yang berdampak pada ketatnya persaingan antar
individu. Untuk dapat bersaing, individu harus memiliki kompetensi, baik yang
bersifat teoretis maupun keterampilan dengan menyelesaikan jenjang pendidikan
tertentu.
Banyak daerah yang bisa dijadikan pilihan untuk melanjutkan pendidikan.
Salah satunya adalah kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat,
karena selain terdapat banyak pilihan perguruan tinggi, baik perguruan tinggi
negeri maupun swasta yang menawarkan banyak pilihan program studi, Bandung
juga terkenal dengan kualitas perguruan tinggi yang baik, dan sudah terkenal di
seluruh Indonesia. Selain itu, Bandung juga memiliki iklim yang kondusif dalam
proses pembelajaran. Di samping terdapat berbagai macam tempat pariwisata
yang menarik, Bandung juga dikenal sebagai kota pelajar di Indonesia. Sejak
akhir abad ke-19, Bandung telah dikenal sebagai pusat pendidikan. Bandung juga
dikenal sebagai “Het intellectueele centrum van Nederlansch-Indie” yang artinya
kota pusat intelektual di Nusantara (http://www.thebandung.com/2006/03/).
Pembangunan dan perkembangan dunia pendidikan di Bandung juga lebih pesat
bila dibandingkan daerah lainnya di Indonesia sehingga menciptakan kualitas
pendidikan yang tinggi pula (www.jabarprov.go.id). Semua ini menjadi salah satu
faktor yang menarik minat masyarakat dari luar Jawa Barat untuk menempuh
3
Dari sekian banyak perguruan tinggi swasta yang ada di Bandung,
Universitas “X” merupakan perguruan tinggi yang banyak menjadi pilihan untuk
menimba ilmu. Selain itu Universitas “X” juga memenuhi kriteria-kriteria
perguruan tinggi yang pantas menjadi pilihan bagi mahasiswa yang berasal dari
luar Jawa Barat. Universitas ini berada di wilayah yang mudah diakses dan
merupakan tempat yang sangat strategis dengan berbagai fasilitas dan sarana
angkutan umum yang memadai untuk menjangkau area rekreasi dan pusat
perbelanjaan di kota Bandung. Universitas “X” juga memiliki suasana dan kondisi
yang aman dan nyaman untuk belajar, ditambah dengan banyaknya tempat
pemondokan di sekitar kampus yang semakin mendukung bagi
mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Faktor lain yang menjadikan universitas
ini banyak dipilih adalah ketersediaan fasilitas fisik yang memadai guna
mendukung proses pembelajaran efektif serta fasilitas teknologi yang memadai.
Program studi yang ditawarkan pun beragam.
Hingga saat ini Universitas “X” telah memiliki berbagai fakultas, yaitu
Fakultas Kedokteran (kedokteran umum dan kedokteran gigi), Psikologi, Teknik
(teknik sipil, teknik industri, teknik elektro, teknik komputer), Ekonomi
(manajemen dan akuntansi), Sastra (sastra Cina, sastra Jepang, sastra Inggris,
bahasa Mandarin dan bahasa Inggris), Teknik Informatika (Sistem Informasi dan
Dual Degree), Seni Rupa dan Desain (desain komunikasi visual, desain interior,
seni rupa murni), serta Hukum dan Bisnis. Tidak hanya program studi Strata satu
(S1) tetapi juga program pasca sarjana (S2) dan program profesi tersedia di
4
berasal dari Bandung, tetapi juga dari luar Bandung (www.maranatha.edu).
Berdasarkan data yang didapat dari BAA (Badan Administrasi Akademik)
Universitas “X”, mahasiswa yang diterima pada tahun akademik 2010/2011
berjumlah 2700 orang dan sekitar 1200 orang di antaranya berasal dari luar Jawa
Barat.
Memasuki dunia perguruan tinggi membuat mahasiswa semester satu di
Universitas “X” memiliki kesempatan untuk menggali gaya hidup dan nilai-nilai
yang berbeda dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri. Dalam perkuliahan,
mahasiswa akan menghadapi sistem akademik yang berbeda dibandingkan saat
SMA. Mereka juga dituntut untuk lebih mandiri dalam mencari materi-materi
pelajaran yang digunakan saat kuliah. Selain itu, mereka memiliki kesempatan
untuk berinteraksi dengan orang lain dari berbagai daerah, dan dengan demikian
juga memungkinkan mereka untuk mempelajari berbagai macam budaya.
Bagi mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat,
perbedaan tidak hanya seputar masalah akademik. Mahasiswa-mahasiswa ini juga
dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak hal atau kebiasaan-kebiasaan baru
yang mungkin tidak familiar dan tidak ditemukan di daerah asalnya. Saat menjalin
komunikasi dengan teman-teman yang baru, mahasiswa semester satu yang
berasal dari luar Jawa Barat tidak bisa menggunakan bahasa daerah asalnya lagi,
melainkan menggunakan bahasa Indonesia agar komunikasinya dapat berjalan.
Saat mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat pergi ke
5
dihindarkan, sehingga mereka juga harus menyesuaikan diri dengan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat kota Bandung.
Selain itu, mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat juga
tidak lagi tinggal dengan orangtuanya dan bergaul dengan teman-teman lamanya
seperti saat masih berada di daerah asal, melainkan harus tinggal di lingkungan
tempat tinggal yang baru, bersama dengan orang-orang yang baru, baik
masyarakat setempat ataupun mahasiswa dari daerah lain. Mereka harus mandiri
dalam melakukan segala sesuatu, tidak lagi bisa mengandalkan keluarga atau
teman-teman dekat saat mengerjakan tugas-tugas kuliahnya ataupun mengurus
keperluan lain.
Bandung yang padat, lalu lintasnya yang macet, serta jalur transportasi
yang tidak familiar juga menjadi salah satu keadaan yang menuntut penyesuaian
dari mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat. Jika di daerah
asal mereka bisa mengandalkan keluarga dan teman-teman untuk mengantarkan
dan menemani mereka bepergian, maka di Bandung mereka harus mencari tahu
sendiri rute perjalanan ke tempat-tempat perbelanjaan atau fasilitas umum lainnya
dan juga harus siap bepergian seorang diri jika tidak ada yang mengantarkan.
Beberapa hal di atas hanyalah sedikit contoh dari banyaknya perbedaan
yang mungkin akan dihadapi oleh mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat. Perbedaan tersebut dapat menciptakan perasaan dan situasi yang
menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi tekanan yang pada akhirnya akan
memunculkan perasaan kurang nyaman. Ketidaknyamanan ini disebut sebagai
6
oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru
yang berbeda dengan lingkungannya selama ini (Oberg, 1960). Pada umumnya,
culture shock dialami oleh pendatang pada kurun waktu 6 bulan sampai 1 tahun
pertama kedatangannya, dan dapat memunculkan reaksi fisik maupun psikis
(Ward, Bochner dan Furnham, 2001). Culture shock bisa disebabkan oleh
berbagai hal, antara lain makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku,
bahasa, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang
dianut, standar kehidupan yang umum, topik-topik percakapan, dan jumlah orang
yang dikenal di lingkungan yang baru.
Berdasarkan survey awal yang disertai wawancara dengan 15 orang
mahasiswa semester satu di Universitas “X” yang berasal dari luar Jawa Barat,
sebanyak 30% mahasiswa mengatakan bahwa saat perkuliahan dimulai dan mulai
menjalani kehidupan di kampus, mulai merasa kurang nyaman berada di
lingkungan yang seolah menuntut mereka untuk dapat menghadapi segala sesuatu
tanpa bergantung pada orang lain, sementara di daerah asalnya, mereka terbiasa
mendapatkan dukungan dan pertolongan dari teman-teman dekat dan keluarga
dalam mengerjakan tugas, mencari materi-materi pelajaran, atau bahkan hanya
sekedar mengantarkan atau menemani mereka ke tempat tujuan. Selain itu,
lingkungan tempat tinggal yang tidak familiar membuat mereka merasa kesepian
dan tidak bersemangat, karena di daerah asalnya mereka terbiasa bercengkrama
dengan para tetangga atau warga sekitar saat ada waktu senggang.
Sebanyak 30% mahasiswa mengaku memiliki ketakutan untuk berinteraksi
7
warga sekitar cenderung menggunakan bahasa Sunda atau memasukkan
istilah-istilah dalam bahasa Sunda saat berkomunikasi dengan orang lain. 10%
mahasiswa juga merasa kurang betah dengan situasi perkotaan yang sangat padat,
termasuk kendaraan yang memadati arus lalu lintas sehingga membuatnya kurang
nyaman bepergian ke tempat-tempat yang letaknya jauh dari kampus.
Sebanyak 20% mahasiswa merasa kurang cocok dengan masakan-masakan
yang menjadi khas Jawa Barat, sehingga merindukan masakan daerah asal yang
dirasakan sesuai selera dan cocok di lidah. Ketidaksesuaian dalam hal kebiasaan
sehari-hari turut menjadi persoalan dalam proses penyesuaian dengan lingkungan
kampus. Mahasiswa yang belum terbiasa dengan kebiasaan minum teh tawar
setelah menyantap makanan mengaku cukup repot karena harus membeli air
mineral terlebih dahulu sebelum makan di beberapa warung makan sekitar
kampus. Ini menjadi suatu masalah tersendiri dan turut mempersulit proses
penyesuaian dalam interaksi dengan lingkungan yang baru.
Sebanyak 60% mahasiswa menyatakan bahwa masalah yang dirasa paling
berpengaruh terhadap diri mereka selama menempuh pendidikan di Bandung yaitu
masalah kerinduan terhadap keluarga dan teman-teman dekat yang berada di
daerah asal mereka. Masalah ini seringkali membuat mereka merasa kesepian,
bahkan mengganggu konsentrasi mereka saat mengikuti kuliah ataupun
mengerjakan tugas. Hanya saja, masing-masing mahasiswa memiliki cara yang
berbeda dalam mengatasi masalah tersebut. Ada yang mencoba mengalihkannya
8
yang justru lebih memilih menyendiri di kamarnya atau menghubungi keluarga
dan teman-temannya.
Berdasarkan fenomena-fenomena ini, dapat dilihat bahwa perbedaan yang
dihadapi oleh mahasiswa semester satu dari luar Jawa Barat saat berpindah ke
Bandung dapat memunculkan ketidaknyamanan yang berpengaruh terhadap
kehidupan sosialnya, sehingga peneliti melihat adanya masalah yang muncul saat
mahasiswa semester satu dari luar Jawa Barat harus memasuki lingkungan
masyarakat Bandung. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti lebih
lanjut tentang derajat culture shock yang dialami mahasiswa semester satu yang
berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X” Bandung.
I.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana culture shock pada
mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X”
Bandung.
I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
I.3.1 Maksud Penelitian
Untuk memberikan gambaran mengenai culture shock pada mahasiswa
9
I.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai culture shock
pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas
“X” Bandung, yaitu prosentase masing-masing derajat culture shock serta
komponen, aspek, dan indikator culture shock yang paling dominan pada
mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X”
Bandung.
I.4 Kegunaan Penelitian
I.4.1 Kegunaan Teoretis
1) Untuk memperluas wawasan Psikologi Lintas-Budaya di Indonesia
dengan menyediakan informasi mengenai culture shock dan
faktor-faktor lain yang mungkin berkaitan dengan culture shock pada
mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di
Universitas “X” Bandung
2) Memberikan informasi bagi peneliti lain yang memerlukan bahan acuan
untuk penelitian lebih lanjut mengenai culture shock pada mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X”
Bandung.
I.4.2 Kegunaan Praktis
1) Memberi masukan kepada Universitas “X” Bandung mengenai culture
10
membuat program orientasi yang bermanfaat bagi mahasiswa untuk
lebih mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat
Bandung.
2) Memberikan informasi kepada mahasiswa semester satu yang berasal
dari luar Jawa Barat di Universitas “X” Bandung mengenai derajat
culture shock yang dialami dengan harapan mereka dapat
mempersiapkan diri saat menghadapi lingkungan yang baru serta
menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.
I.5 Kerangka Pikir
Masa transisi dari sekolah menengah atas menuju universitas merupakan
proses yang harus dijalani oleh seorang mahasiswa yang akan menempuh
perkuliahan. Masa transisi ini melibatkan suatu perubahan, yaitu gerakan menuju
suatu struktur sekolah yang lebih besar dan tidak bersifat pribadi, interaksi dengan
kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan kadang lebih beragam latar
belakang etniknya, dan peningkatan perhatian pada prestasi dan penilaiannya
(Belle dan Paul, 1989; Upcraft dan Gardner, 1989, dalam Santrock, 2002).
Transisi ini dapat melibatkan hal-hal yang positif. Mahasiswa mungkin lebih
merasa dewasa, lebih banyak pelajaran yang dapat dipilih, lebih banyak waktu
untuk dihabiskan bersama teman sebaya, lebih banyak kesempatan untuk
mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai, menikmati kemandirian yang
lebih luas dari pengawasan orang tua, dan tertantang secara intelektual oleh tugas
11
Mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat sebagai
individu yang baru memasuki dunia perkuliahan tentunya juga akan mengalami
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masa transisi. Dengan menempuh
pendidikan di Universitas “X” Bandung, berarti mahasiswa tersebut tidak hanya
akan menghadapi perubahan akibat masa transisi secara akademik, tetapi juga
perpindahan dari daerah asal ke lingkungan masyarakat yang baru, yaitu
lingkungan masyarakat Bandung. Menurut Bochner (dalam Ward, Bochner &
Furnham, 2001), ketika seseorang dari suatu daerah atau komunitas mengunjungi
daerah lain dengan berbagai tujuan, seperti bekerja, bermain, atau belajar, maka
akan terjadi kontak antar kebudayaan yang berbeda. Dengan demikian, adanya
perpindahan mahasiswa semester satu dari daerah asal untuk menempuh
pendidikan di Universitas “X” selanjutnya akan menciptakan kontak antara dua
budaya atau lebih di kota Bandung. Mahasiswa semester satu yang berasal dari
luar Jawa Barat ini disebut sojourner, yaitu individu yang tinggal sementara
waktu dengan tujuan untuk menempuh pendidikan di perguruan Tinggi di
Bandung dalam periode waktu tertentu (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Selama
berada di Bandung, mahasiswa ini akan saling berinteraksi dengan mahasiswa lain
yang berasal dari Bandung dan daerah lainnya serta saling menyesuaikan diri satu
sama lain.
Selama mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat tinggal
di Bandung, maka mahasiswa ini akan saling berinteraksi dengan mahasiswa lain,
baik yang berasal dari Bandung maupun dari berbagai daerah. Ketika interaksi
12
terinternalisasi dalam diri para mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat dengan budaya baru yang berada di lingkungan Bandung. Pertemuan
antar budaya tersebut menghasilkan suatu proses transisi, dimana akan
memungkinkan terjadi perubahan bahasa, identitas budaya, dan perilaku atau
aktivitas budaya jika kontak langsung antara budaya daerah asal dengan budaya
masyarakat Bandung terjadi secara berkesinambungan (Birman dan Tricket dalam
www.questia.com).
Proses transisi yang dialami oleh mahasiswa semester satu yang berasal
dari luar Jawa Barat ke budaya masyarakat Bandung dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu karakteristik
individu dan karakteristik situasi. Karakteristik individu meliputi identitas
kultural, serta latihan dan pengalaman. Identitas kultural yang dimiliki mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses transisi ke budaya yang baru. Identitas kultural merupakan
penegasan, kebanggaan dan evaluasi positif dari suatu kelompok yang
berhubungan dengan perilaku etnokultural, nilai-nilai dan tradisi (Phinney, 1992,
dalam Ward, Bochner, dan Furnham, 2001). Identitas kultural mengacu pada
belongingness (seberapa besar mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat merasa menjadi bagian dari masyarakat daerah asalnya), sentralitas
(seberapa penting masyarakat daerah asal untuk identitas pribadi mahasiswa
tersebut), evaluasi (penilaian positif maupun negatif mahasiswa terhadap budaya
daerah asalnya), dan tradisi (praktek pelaksanaan tradisi dan penerimaan norma
13
yang berasal dari luar Jawa Barat berpindah ke lingkungan masyarakat Bandung
dengan membawa nilai-nilai, norma-norma, dan budaya tersendiri yang telah
sejak lama mereka miliki, dan mungkin belum pernah datang ke Bandung
sebelumnya. Dengan identitas kultural yang kuat, mahasiswa semester satu yang
berasal dari luar Jawa Barat akan lebih sulit menerima dan berinteraksi dengan
hal-hal yang berbeda dengan daerah asalnya saat di Bandung (Triandis dkk., 1986;
Wong-Rieger dan Quintana, 1987). (Ward, Bochner, dan Furnham, 2001).
Faktor yang turut berpengaruh dalam transisi budaya adalah latihan dan
pengalaman. Semakin terlatih mahasiswa dalam menghadapi budaya masyarakat
Bandung, maka toleransi mereka terhadap budaya tersebut akan semakin besar
sehingga mereka juga terbiasa menghadapi situasi yang berbeda dengan daerah
asalnya. Semakin banyak pengalaman positif yang dialami oleh mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat dalam menghadapi budaya
masyarakat Bandung maka akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya
penerimaan budaya tersebut. Pengalaman dan latihan ini akan membuat para
mahasiswa semakin fleksibel dalam menghadapi budaya di lingkungan
masyarakat Bandung.
Karakteristik situasi yang mempengaruhi proses transisi meliputi lamanya
kontak budaya, kualitas kontak inter-group dan intra-group, dan dukungan
sosial. Saat berada di Bandung dan menjalin interaksi dengan masyarakat
Bandung, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa semester satu yang berasal dari
luar Jawa Barat melakukan kontak dengan budaya yang ada di Bandung. Lamanya
14
transisi. Semakin lama jangka waktu kontak budaya yang terjadi, maka semakin
besar pengenalan mahasiswa terhadap budaya masyarakat Bandung. Ini akan
memfasilitasi kemampuan mereka dalam mempelajari budaya masyarakat
Bandung sehingga mereka pun dapat menyesuaikan diri dengan hal tersebut.
Kualitas kontak, baik inter-group maupun intragroup juga mempengaruhi
proses transisi mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat.
Semakin tinggi kualitas kontak inter-group, yaitu kontak dengan individu maupun
hal-hal lain yang berkaitan dengan budaya masyarakat Bandung, maka mahasiswa
akan semakin kaya akan pengetahuan dan pengalaman mengenai budaya
masyarakat Bandung. Selain kualitas kontak inter-group, kualitas kontak antara
mahasiswa semester satu dengan budaya daerah asal mereka atau yang disebut
kontak intragroup juga ikut mempengaruhi. Semakin tinggi kualitas kontak
intra-group, maka mahasiswa akan semakin sulit melepaskan diri dari budaya daerah
asal untuk kemudian berbaur dengan lingkungan masyarakat Bandung. Kualitas
kontak inter-group dan intra-group akan mempengaruhi mahasiswa semester satu
yang berasal dari luar Jawa Barat dalam menentukan sejauh mana mereka dapat
menerima dan berbaur dengan budaya masyarakat Bandung serta menentukan
strategi apa yang akan mereka terapkan untuk menyesuikan diri dengan budaya
masyarakat Bandung.
Dukungan sosial tidak kalah penting perannya dalam proses transisi ke
budaya masyarakat Bandung. Dukungan sosial dipandang sebagai faktor yang
signifikan dalam mencapai adjustment psikologis (Adelman 1988; Fontaine 1986)
15
lintas budaya. Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk
keluarga dan teman. Relasi co-national turut berperan sebagai dukungan sosial
dalam membantu mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat
untuk menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat Bandung. Relasi co-national
dapat diartikan sebagai hubungan dengan orang lain yang memiliki pengalaman
yang serupa yang mungkin dapat memberikan pengetahuan dan berbagi informasi
kepada mahasiswa mengenai cara menghadapi lingkungan masyarakat Bandung.
Rekan co-national juga dapat memberikan manfaat secara emosional, dengan
mendorong mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat untuk
melepaskan rasa frustrasi yang dialami dalam kehidupan di lingkungan
lingkungan masyarakat Bandung yang baru mereka masuki (Ward, Bochner dan
Furnham,2001).
Proses transisi menuju budaya masyarakat Bandung yang dialami
mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat terasa sulit dan
seringkali memunculkan stress (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Keadaan ini
disebut sebagai culture shock, yaitu keadaan negatif yang berhubungan dengan
aksi yang diderita oleh mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat
yang harus pindah ke lingkungan kota Bandung yang dapat dikatakan berbeda
dengan lingkungan daerah asalnya selama ini (Oberg, 1960).
Berbagai perubahan dalam kehidupan dapat menyebabkan terjadinya
culture shock pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat, di
antaranya perubahan dalam hal makanan, tipe pakaian, tipe perilaku, bahasa,
16
jumlah teman se-daerah, topik-topik percakapan, alat transportasi yang digunakan,
dan jumlah orang yang dikenal di lingkungan masyarakat (J.P. Spradley and M.
Philips (1972) dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001). Selain itu culture shock
juga dapat disebabkan oleh perpisahan dengan orang-orang yang dianggap penting
dalam hidup, seperti contohnya perpisahan dengan keluarga dan teman.
Oberg (dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001) membagi 4 tahap reaksi
emosional yang berkaitan dengan culture shock. Tahap pertama adalah tahap
honeymoon, yang ditandai oleh munculnya reaksi seperti euphoria, ketertarikan,
kekaguman, dan entusiasme terhadap lingkungan yang baru. Saat awal kedatangan
di Bandung, mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat
merasakan bahwa hal-hal baru yang mereka temui di Bandung dirasakan sebagai
sesuatu hal yang menyenangkan dan memuaskan keingintahuan mereka sehingga
membuat mahasiswa antusias menghadapinya. Tahap kedua adalah tahap crisis,
yang ditandai oleh perasaan inadekuat, frustrasi, kecemasan dan perasaan marah.
Berbagai perbedaan antara daerah asal dengan di Bandung mulai membuat
mahasiswa merasa kebingungan dan kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Tahap ketiga dari culture shock adalah tahap recovery. Pada tahap ini,
mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat mulai melakukan
resolusi terhadap krisis yang mereka hadapi serta melakukan pembelajaran
kultural. Tahap keempat yaitu tahap adjustment. Pada tahap ini, mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat merefleksikan kesenangan
terhadap lingkungan masyarakat Bandung dan mampu berfungsi secara kompeten
17
masyarakat Bandung secara seimbang dan menerima perbedaan budaya sebagai
sesuatu yang bernilai. Dengan demikian, mereka mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan masyarakat Bandung.
Saat mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat
mengalami culture shock, maka proses tersebut melibatkan komponen afektif,
perilaku, dan kognitif yang ada dalam dirinya (Ward, Bochner, Furnham, 2001),
yaitu bagaimana mereka merasakan, bertingkah laku, berpikir dan membuat
persepsi saat masuk ke lingkungan budaya yang baru dan berbeda, yang dalam hal
ini adalah lingkungan masyarakat Bandung. Komponen afektif menggambarkan
keadaan emosi yang muncul saat mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat menghadapi lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya, yaitu
Bandung. Komponen ini meliputi perasaan bingung, cemas, curiga, dan keinginan
yang besar untuk berada di tempat lain yang lebih nyaman (Ward, Bochner,
Furnham, 2001). Komponen perilaku berhubungan dengan proses pembelajaran
budaya yang meliputi bagaimana mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku, relasi sosial,
termasuk komunikasi verbal dan non-verbal yang ditampilkannya saat berinteraksi
dengan lingkungan masyarakat Bandung (Ward, Bochner, Furnham, 2001).
Komponen kognitif yaitu bagaimana mahasiswa semester satu yang berasal dari
luar Jawa Barat menginterpretasikan orang lain, institusi, maupun
peristiwa-peristiwa baik spiritual maupun eksistensial di lingkungan masyarakat Bandung
18
Setiap komponen dalam proses culture shock yang dialami mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat memiliki aspeknya
masing-masing. Komponen afektif terdiri atas tiga aspek. Aspek pertama yaitu ketegangan
yang dirasakan mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat karena
adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, contohnya merasa cemas jika
dirinya akan sakit dan tidak ada yang merawat, tidak aman (cemas) akan
keselamatan dirinya, merasa seolah-olah dirinya sakit, sedih, ingin marah, dan
kurang sabar. Aspek kedua yaitu perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga
dan teman yang dirasakan mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa
Barat, contohnya rindu terhadap keluarga, teman, dan orang-orang terdekat,
merasa ingin pulang ke rumah,merasa berada dalam kesendirian, dan merasa
bahwa dirinya tidak diperhatikan oleh orang lain. Aspek ketiga dari komponen
afektif yaitu perasaan tidak berdaya yang dialami oleh mahasiswa semester satu
yang berasal dari luar Jawa Barat karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan kota Bandung, contohnya merasa tidak mampu untuk melakukan
aktivitas secara efektif, kehilangan semangat dan energi, tidak mampu
meneyelesaikan masalah walaupun masalah tersebut kecil, takut untuk
berinteraksi dengan masyarakat Bandung dan merasa bahwa dirinya dimanfaatkan
oleh orang lain.
Komponen perilaku terdiri atas dua aspek. Aspek pertama, mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat melakukan penolakan terhadap
orang-orang di lingkungan Bandung, contohnya tidak memiliki keinginan untuk
19
melakukan kegiatan sendiri. Aspek kedua, mahasiswa semester satu yang berasal
dari luar Jawa Barat tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan terhadap
peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri ketika berada di
Bandung, contohnya berusaha untuk tidak mengkritik masyarakat Bandung dan
nilai-nilai yang diyakininya, berusaha secara berlebihan untuk berbincang-bincang
dengan orang yang dianggap memiliki pola pikir yang sama, berusaha secara
berlebihan untuk melakukan identifikasi dengan masyarakat setempat, dan
berusaha secara berlebihan untuk memahami segala hal yang terjadi di Bandung.
Aspek dari komponen kognitif yaitu mahasiswa semester satu yang berasal
dari luar Jawa Barat tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan,
nilai/norma, sopan santun di daerah asal dengan di Bandung, contohnya
mengembangkan stereotip negatif tentang budaya di Bandung, kurang memahami
nilai-nilai yang diyakini masyarakat Bandung, menganggap nilai-nilai yang
diyakini masyarakat di daerah asalnya lebih baik dibandingkan di Bandung,
menganggap bahwa mempelajari bahasa yang digunakan di Bandung bukanlah hal
yang penting, menganggap bahwa dirinya harus menyukai masakan yang ada di
Bandung, dan menganggap dirinya sangat loyal dengan budaya daerah asalnya.
Oberg memang tidak mengungkapkan secara teoretis mengenai gambaran
derajat culture shock. Namun, derajat culture shock dapat tergambar melalui
penghayatan mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat terhadap
ketidaknyamanan yang ia alami saat menghadapi lingkungan Bandung yang
secara kultural berbeda dari daerah asalnya. Mahasiswa yang mengalami culture
20
muncul pada aspek-aspek culture shock baik dalam komponen afektif, perilaku
maupun kognitif. Sedangkan mahasiswa yang mengalami culture shock dengan
derajat yang sedang akan merasakan cukup banyak dampak yang muncul pada
aspek-aspek culture shock pada setiap komponen. Sementara mahasiswa yang
mengalami culture shock dengan derajat yang rendah akan merasakan dampak
pada aspek-aspek dalam setiap komponen culture shock yang tentunya akan lebih
sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa dengan derajat culture shock yang
tinggi dan juga yang sedang.
Bagan Kerangka Pikir
Mahasiswa semester satu dari luar Jawa Barat di Universitas „X‟ Bandung Crossing Culture ke budaya baru Precipitating stress Culture shock
Karakteristik situasi : - Lamanya kontak budaya
- Kualitas kontak inter dan intra-group - Dukungan sosial Karakteristik individu : - Identitas kultural - Latihan dan pengalaman
21
I.6 Asumsi
Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :
1. Ketika mahasiswa semester satu dari luar Jawa Barat menempuh
pendidikan di Universitas “X” Bandung, maka akan mengalami kontak
dengan budaya yang ada di Bandung secara langsung.
2. Perbedaan kebiasaan dengan daerah asal yang dihadapi mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat di Universitas “X” saat
berada di Bandung dapat menyebabkan culture shock bagi mahasiswa
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data
mengenai derajat culture shock pada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat di Universitas “X” Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Dari 120 mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat, sebanyak
46,67% mahasiswa mengalami culture shock dengan derajat yang rendah,
43,33% mahasiswa mengalami culture shock dengan derajat yang sedang, dan
10% mahasiswa mengalami culture shock dengan derajat yang tinggi.
2. Komponen culture shock yang paling dominan dalam proses culture shock
yang dialami oleh mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat
adalah komponen afektif.
3. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa semester satu yang berasal dari
luar Jawa Barat yang mengalami culture shock dengan derajat yang rendah
adalah usaha yang berlebihan untuk memahami segala hal yang terjadi di
Bandung. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa semester satu yang
berasal dari luar Jawa Barat yang mengalami culture shock dengan derajat
yang sedang adalah perasaan rindu terhadap keluarga, teman, dan orang-orang
83
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka terdapat beberapa saran yang
diberikan oleh peneliti, yaitu :
a. Saran Teoretis
Bagi peneliti lain yang bermaksud untuk melanjutkan penelitian ini,
disarankan untuk:
1) Melakukan penelitian yang lebih fokus pada dampak culture shock yang
dialami oleh mahasiswa baru sehingga didapatkan gambaran variabel yang
lebih signifikan demi mendapatkan penanggulangan yang lebih optimal yang
dapat membantu mahasiswa baru menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2) Melakukan penelitian mengenai culture shock pada mahasiswa yang berasal
dari suatu daerah tertentu atau suku tertentu sehingga lebih spesifik, karena
penelitian ini meneliti mahasiswa dari berbagai daerah secara umum.
3) Melakukan penelitian mengenai perbedaan derajat culture shock antara
mahasiswa pria dan wanita serta faktor yang mempengaruhinya, sehingga
dapat dilihat secara signifikan apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap
variabel ini.
4) Menentukan intervensi yang diperlukan untuk mengurangi derajat culture
shock yang dialami oleh mahasiswa sehingga membantu mereka dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
84
1) Pusat konseling mahasiswa di Universitas “X” Bandung dapat menggunakan
hasil penelitian ini sebagai informasi untuk dapat menentukan program
konseling yang tepat bagi mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Jawa Barat yang mengalami culture shock guna membantu mengurangi
derajat culture shock yang mereka alami.
2) Mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Jawa Barat dapat
menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi untuk lebih mengenali
gejala-gejala culture shock yang dialami sehingga dapat membantu mereka
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
3) Universitas “X” diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa semester satu
yang berasal dari luar Jawa Barat untuk mengurangi ketidaknyamanan yang
mereka alami akibat perpindahan ke Bandung serta perpisahan dengan
orang-orang terdekat, seperti melaksanakan pembangunan asrama daerah atau
membentuk perkumpulan mahasiswa daerah sehingga memungkinkan
mahasiswa semester satu dari luar Jawa Barat untuk tetap merasakan
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. 2001. The Psychology of Culture Shock, 2nd Ed. Canada : Routledge & Kegan Paul.
Furnham, A., & Bochner, S,1986. Culture Shock : Psychological Reactions To
Unfamiliar Environments. New York : Methuen Inc
Santrock, J.W. 2003. Adolescence, 9th Ed. Dallas : McGraw-Hill.
Hurlock, Elizabeth. 1973, Adolescent Development, 4th Ed. Tokyo : McGraw-Hill.
Huntington, S.P. 2003. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.
Koentjaraningrat. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Alreck, P.L., & Settle, R.B. 1985. The Survey Research Handbook. USA : Richard D.Irwin Inc.
Siegel, S. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2007. Panduan Penulisan
86
DAFTAR RUJUKAN
Hidajat, V., & Sodjakusumah, T.I. 2000. Hubungan Antara Culture Shock dengan
Prestasi Akademis. Jurnal Psikologi. Volume 5, No.1.
Indrianie, Efnie. 2004. Studi Deskriptif Mengenai Dampak Culture Shock pada
Mahasiswa Semester Dua Yang Berasal Dari Luar Provinsi Jawa Barat di Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Skripsi.
Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
www.cultureshock.htm, diunduh pada tanggal 5 September 2009 www.maranatha.edu, diunduh pada tanggal 20 Januari 2010
http://himaharaugm.blogspot.com/2008/12akulturasi-dan-komunikasi.html,
diunduh pada tanggal 2 Januari 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan/, diunduh pada tanggal 23 Maret2009 http://www.thebandung.com/2006/03/, diunduh pada tanggal 23 Maret 2009 http://me-saurus.blog.friendster.com/2006/06/, diunduh pada tanggal 23 Maret
2009
www.questia.com, 2001, diunduh pada tanggal 23 Maret 2009