• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011060 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011060 Full text"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN BURNOUT PADA PERAWAT DI RSUD DR. M. HAULUSSY KOTA AMBON

OLEH

FEMMY LEKAHENA 80 2011 060

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN STRES KERJA DENGAN BURNOUT PADA PERAWAT DI

RSUD DR. M. HAULUSSY KOTA AMBON

Femmy Lekahena

Sutarto Wijono

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)
(9)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara stres kerja

dengan burnout. Sebanyak 87 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel incidental sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu Expanded Nurses Stress Scale

yang disusun oleh Grey-Toft & Anderson (1981) sebagai skala stres kerja pada

perawat dan Maslach Burnout Inventory yang disusun oleh Maslach et. al. (1981) sebagai skala burnout. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi

product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,728dengan nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan

antara antara stres kerjadengan burnout. Hal ini bermakna bahwa stres kerjaperawat yang tinggi akan diikuti pula dengan burnout yang tinggi.

(10)

ii Abstract

The aim of this research is to know about the significance of the relationship between

job stress and burnout. A total of 87 people were taken as samples with using

incidental sampling as the technique sampling. The research method that used in data

collection is scale methods, that is Expanded Nurses Stress Scale that composed by

Grey-Toft & Anderson (1981) as the job stress scale for nurses and Maslach Burnout

Inventory that composed by Maslach et. al. (1981) as burnout scale. The data analysis

technique that we used is correlation product moment technique. From the data

analysis, we found that correlation coeficient (r) is 0,728 with significance value at

0,000 (p<0,05), which means there is a significant positive relationship between the

job stress with burnout. It means that high job stress in nurses will be followed by a

high burnout.

(11)

1

PENDAHULUAN

Pada saat ini, rumah sakit dihadapkan pada tingkat persaingan yang ketat,

sehingga rumah sakit perlu mempersiapkan kualitas layanan secara optimal agar dapat

memenangkan persaingan secara kompetitif. Rumah sakit harus berupaya meningkatkan

kualitas jasa layanannya secara berkelanjutan kepada masyarakat pengguna jasa.

Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan untuk

mempertahankan kualitas hidup, maka masyarakat pengguna jasa layanan di rumah

sakit akan semakin kritis dalam memilih rumah sakit yang berkualitas. Oleh karena itu,

peningkatan kualitas layanan rumah sakit perlu dilakukan secara berkelanjutan

(Gunawan & Djati, 2011).

Rumah sakit sebagai organisasi sosial yang bertanggung jawab terhadap

pelayanan kesehatan bagi masyarakat dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang

baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya. Keperawatan

merupakan salah satu profesi yang membantu para dokter dalam melayani pasien.

Selama 24 jam perawat mendampingi para dokter dan berada di sekitar pasien dan

bertanggung jawab terhadap pelayanan perawatan pasien. Sementara itu, Gunarsa

(1995) menjelaskan bahwa perawat sebagai seseorang yang telah dipersiapkan melalui

pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha

rehabilitasi, pencegahan penyakit yang dilaksanakannya sendiri atau di bawah

pengawasan dokter atau suster kepala.

Pada suatu kesempatan, Schaufeli & Jauczur (1994) mengatakan bahwa dalam

menjalankan peran dan fungsinya seorang perawat dituntut memiliki keahlian,

pengetahuan, dan konsentrasi yang tinggi. Selain itu, seorang perawat selalu dihadapkan

(12)

2

dari pasien maupun teman sekerja. Itu semua menimbulkan rasa tertekan pada perawat,

sehingga mudah mengalami burnout.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa perawat di RSUD Dr.

M. Haulussy Kota Ambon pada tanggal 19 Oktober 2014, sebagian perawat mengeluh

bahwa layanannya melebihi waktu dan perawat merasa lelah, letih, lesu, merasa bekerja

terlalu keras, dan merasa tertekan karena melayani pasien mereka seharian penuh.

Tetapi, sebaliknya ada sebagian perawat yang menganggap tugasnya seharusnya

demikian dan tetap melayani pasien dengan senang dan menikmati pekerjaan mereka.

Sebagian perawat juga ada yang merasa tidak dapat menyelesaikan masalah mereka

sendiri dengan tenang dan mereka kadang merasa sulit menciptakan suasana dengan

santai dengan pasien mereka, karena mereka menganggap apabila mereka bersikap

santai, maka pasien tidak akan menuruti perintah mereka, misalnya untuk minum obat

yang mereka berikan. Meskipun demikian, sebaliknya ada sebagian perawat yang dapat

menyelesaikan masalah mereka dengan tenang dan dapat menciptakan suasana yang

santai dengan pasien mereka. Selain itu, berdasarkan hasil observasi peneliti, beberapa

perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon berperilaku kasar dan sinis kepada

pasien, meskipun ada sebagian perawat yang tetap memperlakukan pasien mereka

dengan baik.

Perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon dapat diduga memiliki masalah

dengan burnout. Menurut Maslach, et. al. (1981), ada tiga aspek burnout, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi. Perawat

RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon dapat diduga mengalami kelelahan emosional

yang ditunjukkan dengan adanya keluhan tentang sistem layanannya melebihi waktu

(13)

3

kejenuhan secara psikis dan fisik. Perawat juga dapat diduga mengalami

depersonalisasi, yang terlihat dengan sikap perawat yang sinis dan kasar kepada klien.

Selain itu, perawat dapat diduga mengalami penurunan pencapaian pribadi yang

ditunjukkan dengan adanya perasaan tidak bahagia tentang diri mereka sendiri dan

perasaan tidak puas dengan prestasi mereka pada pekerjaan.

Hasil penelitian Ribeiro, et. al. (2014) menyatakan bahwa gejala burnout

terdeteksi dalam berbagai profesi dengan prevalensi sangat tinggi seperti, dalam

pelayanan dan perawatan pekerja, terutama dalam bidang kesehatan. Hal tersebut

diperkuat dengan pendapat Kleiber & Ensman (dalam Prestiana & Purbandini, 2012),

bibliografi terbaru yang memuat 2.496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43% burnout dialami perawat, 32% dialami guru (pendidik), 9% dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2%

dialami pekerja lainnya. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa perawat

memiliki presentase burnout yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan profesi yang lainnya, yakni hampir setengah dari jumlah keseluruhan pekerja. Apabila semakin

banyak perawat yang mengalami burnout maka semakin rendah kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini tentu berdampak buruk bagi masyarakat karena akan memperoleh

kualitas pelayanan yang kurang maksimal. Hal tersebut dapat diperkuat dengan

pendapat Pines & Aronson (1989) yang menekankan bahwa semua jenis pekerjaan yang

memerlukan kontak langsung dengan orang-orang melibatkan beberapa derajat stres.

Kategori tertentu pelayanan manusia, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan

sosial-psikologis, sangat rentan terhadap burnout.

(14)

4

ditimbulkan, melainkan lingkungan sekitarnya pun akan ikut terkena dampaknya,

seperti keluarga dan tempat ia bekerja (Andarika, 2004). Maslach (1981)

mengungkapkan burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi. Dampak pada individu terlihat adanya gangguan fisik seperti sulit tidur, rentan terhadap

penyakit, munculnya gangguan psikosomatik, maupun gangguan psikologis yang

meliputi penilaian yang buruk terhadap diri sendiri yang dapat mengarah pada

terjadinya depresi. Dampak burnout yang dialami individu terhadap orang lain dirasakan oleh penerima pelayanan dan keluarga. Selanjutnya, dampak burnout bagi organisasi adalah meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan

atau job turnover, sehingga kemudian berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja dalam organisasi (Cherniss, 1980). Namun, pada beberapa orang, burnout dapat membawa dampak yang positif. Greenhaus et. al (2000) menjelaskan bahwa kondisi

burnout yang semakin meningkat berdampak pada semangat dan produktivitas kerja karyawan. Artinya, untuk beberapa orang, burnout dapat meningkatkan semangat dan produktivitas mereka.

Menurut Lee & Ashforth (1996) ada dua faktor yang menyebabkan burnout, yaitu dukungan sosial dan tekanan pekerjaan, seperti ambiguitas, konflik peran, stres

kerja, dan beban kerja. Lebih lanjut, Lee & Ashforth (1996) menjelaskan bahwa stres

kerja dapat terjadi apabila tekanan yang dialami seseorang pekerja bersifat menetap

dalam jangka waktu yang lama, maka akan menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi

stressor. Menurut Leatz & Stolar (1993) apabila keadaan stres terjadi dalam jangka

(15)

5

kelelahan emosional, dan kelelahan mental, maka akan mengakibatkan perawat

mengalami gejala burnout.

Stres kerja pada perawat penting diteliti karena berdasarkan hasil survei yang

dilakukan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2006, bahwa sebanyak

50,9 % perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing,

lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan

yang tidak memadai (Russeng, dkk., 2007). Selain itu, menurut Wright (2014), perawat

lebih mungkin untuk mengalami sakit karena stres dibandingkan profesional kesehatan

lainnya, dengan 2.730 kasus cuti sakit karena stres yang berhubungan dengan pekerjaan

pada tahun 2011 dan 2012 per 100.000 perawat. Lebih lanjut, Wright (2014)

menjelaskan bahwa rata-rata mereka mengambil 24 hari libur kerja. Dalam sebuah

survei terhadap 10.000 perawat oleh Royal College of Nursing (RCN), 62% dari perawat melaporkan bahwa mereka telah dianggap meninggalkan profesi karena stres.

Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan stres kerja

dengan burnout. Penelitian Prestiana & Purbandini (2012) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan positif dan signifikan antara variabel stres kerja dengan variabel burnout. Ini berarti semakin tinggi tingkat stres kerja seseorang maka semakin tinggi pula

burnoutnya. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Xie, et al (2011) yang menyatakan bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang

berhubungan dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau bekerja di rumah sakit terkemuka. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wu, et. al (2011), bahwa stres kerja merupakan faktor resiko penting untuk

(16)

6

Sebaliknya, ada hasil penelitian yang mengungkap bahwa hubungan stres kerja

dan burnout tidak signifikan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Himle,

Jayarathne, & Chess (1988), yang memperlihatkan bahwa pekerja yang memperoleh

skor tinggi pada skala kejenuhan kerja mempunyai keinginan yang kuat untuk berhenti

bekerja. Selain itu, kejenuhan kerja juga terkait dengan kelambanan dalam

menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian dan kelalaian dalam bertugas. Lebih

lanjut, mereka menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan

burnout, karena stres kerja lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jenis kelamin, usia, harga diri, karakteristik individu, dan masa kerja.

Dengan demikian peranan perawat semakin jauh terlibat dalam proses

penyembuhan pasien dan kepuasan pelayanan terhadap pasiennya. Andriani (2004)

mengungkapkan tugas utama perawat dalam membantu kesembuhan pasien,

memulihkan kondisi kesehatan bahkan menyelamatkan pasien dari kematian

menjadikan profesi perawat sangat rentan mengalami stres kerja. Selain itu, apabila

perawat tidak mampu menghadapi tuntutan-tuntutan di lingkungan kerjanya, maka akan

muncul kelelahan fisik dan emosional yang pada akhirnya akan muncul burnout pada perawat (Sulistyowati, 2007).

Stres dan burnout memiliki presentase yang besar pada perawat. Sebanyak 50,9% perawat mengalami stres (PPNI, 2006) dan 43% mengalami burnout (Kleiber & Ensman (dalam Prestiana & Purbandini, 2012), sehingga perawat menjadi profesi yang

rentan mengalami stres dan burnout. Setiap harinya, perawat bertemu banyak orang. Hal ini yang mengakibatkan perawat dapat mengalami stres kerja. Stres kerja merupakan

(17)

7

Berangkat dari fenomena yang ada di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon,

perbedaan pandangan dan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan

stres kerja dengan burnout pada perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stres dengan burnout pada perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon.

TINJAUAN PUSTAKA Burnout

Maslach, et. al. (1981) mendefinisikan burnout sebagai gejala kelelahan emosional dan sinisme yang sering terjadi antara individu-individu yang melakukan

beberapa jenis pekerjaan. Maslach, et. al. (1981) juga mengemukakan tiga aspek

burnout, yaitu:

1. Kelelahan emosional

Perasaan kehabisan atau terlampau banyak kehilangan energi emosi akibat terlalu

banyaknya pekerjaan.

2. Depersonalisasi

Depersonalisasi merupakan sikap kurang menghargai atau kurang memiliki

pandangan yang positif terhadap orang lain yang ditandai dengan menjauhnya

individu dari lingkungan sosial, apatis, tidak peduli terhadap lingkungan atau

orang-orang di sekitarnya. Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti

memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan

tidak manusiawi dalam hubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan dan

tuntutan klien. Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya

(18)

8

3. Penurunan Pencapaian Pribadi

Hal ini merupakan kecenderungan untuk mengevaluasi diri negatif, terutama yang

berkaitan dengan pekerjaan seseorang dengan klien. Pekerja merasa tidak bahagia

tentang diri mereka sendiri dan tidak puas dengan prestasi mereka pada pekerjaan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya burnout

Menurut Lee dan Ashforth (1996), ada beberapa faktor yang menyebabkan

burnout, yaitu tekanan pekerjaan dan dukungan.

Tekanan pekerjaan

1) Ambiguitas, yaitu keadaan di mana karyawan tidak tahu apa yang harus dilakukan,

menjadi bingung, dan menjadi tidak yakin karena kurangnya pemahaman atas

hak-hak dan kewajiban yang dimiliki karyawan yang melakukan pekerjaan.

2) Konflik peran, yaitu suatu perangkat harapan atau lebih berlawanan dengan lainnya

sehingga dapat menjadi penekanan yang penting bagi sebagian orang.

3) Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan bersifat menetap dalam jangka

waktu yang lama, maka akan menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi pemicu stres.

4) Beban kerja, apabila seorang karyawan menanggung banyak pekerjaan dalam waktu

relatif singkat, maka dapat membuat karyawan tertekan dan akan menyebabkan

burnout.

Dukungan

1) Dukungan sosial, yaitu tersedianya sumber yang dapat dipanggil ketika dibutuhkan

untuk memberi dukungan, sehingga orang tersebut cenderung lebih percaya diri dan

(19)

9

2) Dukungan keluarga, keluarga mempunyai andil besar untuk meringankan beban yang

dialami meskipun hanya dalam bentuk dukungan emosional, yaitu perilaku memberi

perhatian dan mendengarkan dengan simpatik.

3) Dukungan teman sekerja, teman sekerja yang suportif memungkinkan karyawan

menanggulangi tekanan pekerjaan.

4) Kekompakan suatu kelompok, beberapa ahli mengatakan bahwa hubungan yang baik

antara beberapa anggota kelompok kerja merupakan faktor penting dalam

kesejahteraan dan kesehatan organisasi.

Stres Kerja

Menurut Gray-Toft & Anderson (1981), stres kerja merupakan isyarat internal

dalam lingkungan fisik, sosial, atau psikologis yang mengancam keseimbangan dari

individu. Dalam teorinya, Gray-Toft & Anderson (1981) juga mengungkapkan delapan

aspek stres kerja pada perawat, yakni:

a. Beban kerja

Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pasien merupakan keprihatinan besar

karena hal ini berhubungan dengan perasaan perawat tentang anggapan mereka

tentang peran mereka sebagai perawat. Namun, perawat sering tidak mampu

melakukannya karena kekurangan staf, yang mengurangi waktu perawatan yang

tersedia untuk masing-masing pasien. Selain karena kekurangan staf, beberapa hal

yang menyebabkan perawat tidak mampu mengerjakan tugas mereka adalah

kurangnya peralatan, kelebihan beban kerja dan peran, kesempatan pelatihan yang

tidak memadai dalam penggunaan teknologi medis baru dan aspek struktur

organisasi. Hal ini meningkatkan stres perawat, sering mengakibatkan kegagalan

(20)

10

ketidakmampuan mereka untuk memenuhi apa yang mereka anggap sebagai

kebutuhan pasien.

b. Kematian dan sekarat

Kebanyakan perawat merawat pasien akan mengalami kematian sebagai bagian dari

pekerjaan mereka. Pengalaman ini sering menyebabkan kecemasan. Memberikan

perawatan kepada pasien yang sekarat telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber

internal yang lebih umum dan penting dari stres di antara staf keperawatan.

c. Dukungan staff yang sedikit

Perawat khususnya sering merasa marah karena supervisor dan rekan kerja telah

berbuat banyak untuk meningkatkan harga diri mereka. Perasaan marah dan frustrasi

sering menunjuk ke arah administrator keperawatan, ahli bedah, dan perawat lainnya,

seperti perawat yang dilihat oleh administrator mereka yang absen dari hari ke hari

dalam pekerjaan, akan memberikan dukungan dan pengakuan yang minim.

d. Persiapan emosional yang tidak cukup

Dalam yang tertentu mengajukan pertanyaan oleh pasien yang perawat tidak

memiliki jawaban yang memuaskan dinilai sebagai stres yang paling sering terjadi.

Merasa tidak cukup siap untuk membantu dengan kebutuhan emosional pasien juga

dinilai sering mengalami stres. Selain itu, perasaan tidak cukup siap untuk membantu

dengan kebutuhan emosional keluarga pasien juga dapat membuat perawat

mengalami stres.

e. Ketidakpastian tentang pengobatan

Perawat takut membuat kesalahan dalam merawat pasien, yang bertanggung jawab

dengan pengalaman memadai, dan ketakutan bahwa dokter tidak akan hadir dalam

(21)

11

frustrasi mereka, karena mereka merasa mereka tidak dapat memberikan pasien

informasi yang benar

f. Konflik dengan dokter

Secara khusus, kritik oleh dokter adalah peristiwa stres yang paling sering terjadi.

Hal ini diikuti dengan membuat keputusan tentang pasien ketika dokter tidak tersedia

di posisi kedua dan konflik dengan dokter di posisi ketiga. Hal lain adalah

ketidaksepakatan dengan pengobatan pasien dan harus mengatur pekerjaan dokter.

g. Menghadapi pasien dan keluarga pasien

Secara khusus, ketika keluarga pasien membuat tuntutan tidak masuk akal, ketika

perawat disalahkan untuk apa pun yang tidak beres, dan ketika mereka tidak tahu

apakah pasien keluarga akan melaporkan mereka untuk perawatan yang tidak

memadai menempatkan perawat dalam situasi sangat sulit, dapat menyebabkan

banyak perawat mengalami stres ketika berhadapan dengan pasien dan keluarga

pasien yang kasar. Sangat mungkin bahwa dampak pengalaman tersebut akan

menyebabkan tekanan psikologis, keraguan diri dan sejumlah besar kehilangan rasa

hormat.

h. Diskriminasi

Diskriminasi tertentu dialami karena ras atau etnis yang paling sering terjadi sebagai

peristiwa stres di tempat kerja. Selain itu, kadang perawat mengalami diskriminasi

karena berdasarkan jenis kelamin dan pelecehan secara seksual.

Hubungan Stress dengan Burnout

Menurut Gray-Toft & Anderson (1981), stres kerja merupakan isyarat internal

dalam lingkungan fisik, sosial, atau psikologis yang mengancam keseimbangan dari

(22)

12

kesehatan, desk rage, dan burnout (Greenberg & Baron, 2008). Maslach, dkk (1981) mendefinisikan burnout sebagai gejala kelelahan emosional dan sinisme yang sering terjadi antara individu-individu yang melakukan beberapa jenis pekerjaan.

Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan stres kerja

dengan burnout. Penelitian Prestiana & Purbandini (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara variabel stres kerja dengan variabel burnout. Ini berarti semakin tinggi tingkat stres kerja seseorang maka semakin tinggi pula

burnoutnya. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Xie, et al (2011) yang menyatakan bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang

berhubungan dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau bekerja di rumah sakit terkemuka. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wu, et. al (2011), bahwa stres kerja merupakan faktor resiko penting untuk

burnout. Sebaliknya, ada hasil penelitian yang mengungkap bahwa hubungan stres kerja dan burnout tidak signifikan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Himle, Jayaranthne, & Chess (1988), yang memperlihatkan bahwa pekerja yang memperoleh

skor tinggi pada skala kejenuhan kerja mempunyai keinginan yang kuat untuk berhenti

bekerja. Selain itu, kejenuhan kerja juga terkait dengan kelambanan dalam

menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian dan kelalaian dalam bertugas. Lebih

lanjut, mereka menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan

burnout, karena stres kerja lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jenis kelamin, usia, harga diri, karakteristik individu, dan masa kerja.

(23)

13

Hipotesis

Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan

antara stres kerja dengan burnout pada perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon.

METODE PENELITIAN Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Stres Kerja sedangkan Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah adalah Burnout.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan perawat RSUD dr. M.

Haulussy Kota Ambon yang berjumlah 369 perawat.

Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah insidental sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan

sebagai sampel. Ruangan yang menjadi subjek penelitian yaitu ruang UGD dengan 10

subjek, ruang neurologi dengan 10 subjek, ruang bedah wanita dengan 10 subjek, bedah

laki-laki dengan 10 subjek, ruang kebidanan dengan 10 subjek, ruang anak dengan 8

subjek, ruang paru-paru dengan 5 subjek, ruang internal laki-laki dengan 8 subjek,

ruang internal wanita dengan 8 subjek, dan ruang cendrawasih dengan 8 subjek.

Pembagian ruang dengan subjek ini telah ditentukan oleh pihak administrasi RSUD Dr.

(24)

14

Alat Ukur Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala Stres Kerja dan skala Burnout. Skala stres kerja menggunakan Expanded Nurses Stress Scale (ENSS) dengan tingkat koefisien reabilitas sebesar 0,89. ENSS disusun oleh Grey-Toft & Anderson (1981)

terdiri atas melalui delapan aspek, yakni beban kerja, kematian dan sekarat, dukungan

staff yang sedikit, persiapan emosional yang tidak cukup, ketidakpastian tentang

pengobatan, konflik dengan dokter, menghadapi pasien dan keluarga pasien, serta

diskriminasi diskriminasi. Sedangkan, skala burnout menggunakan skala Maslach Burnout Inventory (MBI) dengan tingkat koefisien reabilitas sebesar 0,83. MBI disusun oleh Maslach, et. al., (1981) yang terdiri dari 3 aspek, yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, penurunan pencapaian pribadi.

Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala

pengukuran psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala stres kerja dan skala

burnout. Item dalam skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable

dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak

Sesuai (STS). Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan

kepada subjek.

Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel

penelitian adalah korelasi Product Moment dari Pearson. Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan bantuan program khusus komputer statistik yaitu SPSS

(25)

15

HASIL PENELITIAN

Hasil Uji Seleksi Item dan Reliabilitas 1. Stres Kerja

Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala stres kerja

yang terdiri dari 57 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 4 item dengan

koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,318-0,720. Untuk menguji

reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada skala stres kerja sebesar 0,960. Hal ini berarti skala kompetensi sosial reliabel.

2. Burnout

Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala burnout

yang terdiri dari 22 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 1 item dengan

koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,306-0,615. Untuk menguji

reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada skala burnout sebesar 0,869. Hal ini berarti skala burnout reliabel.

Uji Deskriptif Statistika 1. Variabel Stres Kerja

Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Stres Kerja Interval Kategori Mean N Persentase

(26)

16

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 18 subjek memiliki skor stres

kerja yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 20,69%, 51 subjek

yang memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori tinggi dengan persentase

58,62%, 16 subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori sedang

dengan persentase 18,39%, 1 subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada

kategori rendah dengan persentase 1,15%, dan 1 subjek memiliki skor stres kerja

yang sangat rendah dengan persentase 1,15%. Berdasarkan rata-rata sebesar 163,01,

dapat dikatakan bahwa rata-rata stres kerja subjek berada pada kategori tinggi. Skor

yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 73 sampai dengan skor

maksimum sebesar 207 dengan standard deviasi 22,574.

2. Variabel Burnout

TabelKategorisasi Pengukuran Skala Burnout Interval Kategori Mean N Persentase

(27)

17

berada pada kategori sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata

sebesar 64,30, dapat dikatakan bahwa rata-rata burnout berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 38 sampai dengan

skor maksimum sebesar 84 dengan standard deviasi 8,239.

Uji Asumsi

Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas, yaitu:

Uji Normalitas

Pada skala stres kerja diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,1012 dengan probabilitas

(p) atau signifikansi sebesar 0,258 (p>0,05). Sedangkan, pada skor burnout memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,1043 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,227.

Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal.

Uji Linearitas

Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,2957 dengan sig.= 0,001

(p<0,05) yang menunjukkan stres kerja dengan burnout adalah tidak linear.

Uji Korelasi

Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel Hasil Uji Korelasi antara Stres Kerja Dengan Burnout Correlations

Stres Kerja Burnout

Stres Kerja Pearson Correlation 1 .728**

Sig. (1-tailed) .000

N 87 87

Burnout Pearson Correlation .728** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 87 87

(28)

18

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara

stres kerja dengan burnout sebesar 0,728 dengan sig. = 0,000 (p < 0.05) yang berarti ada hubungan yang positif signifikan antara stres kerja dengan burnout.

Pembahasan

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara stres kerja burnout pada perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon, didapatkan hasil bahwa terdapat

hubungan yang signifikan dan positif antara stres kerja dengan burnout pada perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,

keduanya memiliki r sebesar 0,728 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang

berarti kedua variabel yaitu stres kerja dengan burnout memiliki hubungan yang positif. Dengan kata lain, semakin tinggi stres, maka semakin tinggi burnout atau sebaliknya.

Variabel stres kerja memberi peran utama terhadap variabel burnout. Ada beberapa kemungkinan, pertama, sebagian besar perawat merasakan bahwa tugas-tugas

dan tanggung jawab dalam melayani pasien membuat mereka merasakan adanya

berbagai beban kerja yang tinggi yang dialami mereka, sehingga dapat membuat mereka

mengalami burnout yang tinggi pula. Kedua, sebagian besar perawat menganggap bahwa pekerjaan sebagai perawat menghadapi stres kerja yang dianggapnya sebagai

suatu tekanan kerja yang mengancam diri mereka, sehingga mereka mengalami burnout. Pernyataan-pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Lee & Asforth (1996)

yang menyatakan bahwa stres kerja dapat terjadi apabila tekanan kerja yang dialami

oleh seorang pekerja bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka akan

(29)

19

menanggung banyak pekerjaan dalam waktu relatif singkat, maka dapat membuat

karyawan tertekan dan akan menyebabkan terjadinya burnout.

Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi stres kerja

yang ada pada diri perawat, maka tinggi pula burnout yang dialami, sehingga dapat menurunkan kualitas pelayanan perawat. Hal tersebut dikarenakan para perawat RSUD

Dr. M. Haulussy Kota Ambon memiliki tingkat stres kerja yang tinggi, sehingga

menyebabkan terjadinya burnout dalam diri mereka.

Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara stres kerja

dengan burnout memiliki hubungan yang positif signifikan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa stres kerja sebesar 58,62% yang

berada pada kategori tinggi, dengan skor tertinggi adalah 207 dan skor terendah adalah

73. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota

Ambon memiliki tingkat stres kerja yang tinggi. Pada burnout, data sebesar 67,82% yang berada pada kategori tinggi, dengan skor tertinggi adalah 84 dan skor terendah

adalah 38. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perawat RSUD Dr. M.

Haulussy Kota Ambon memiliki tingkat burnout yang tinggi.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Xie, et al (2011) yang menyatakan

bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang berhubungan

dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau bekerja di rumah sakit terkemuka. Hasil penelitian Lorenz, et. al. (2014) juga menyatakan bahwa perawat rentan untuk terkena burnout karena stres yang dialami di lingkungan rumah sakit.

Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya burnout, stres kerja merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi

(30)

20

diberikan stres kerja terhadap burnout, stres kerja memberikan kontribusi sebesar 53% dan sebanyak 47% dipengaruhi oleh faktor lain di luar stres kerja yang dapat

berpengaruh terhadap burnout,seperti dukungan sosial, ambiguitas, konflik peran, dan beban kerja.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja

memberikan kontribusi terhadap burnout, sehingga nampak jelas bahwa stres kerja mempunyai hubungan positif dengan burnout.

PENUTUP KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat

disimpulkan bahwa stres kerja memberikan kontribusi terhadap burnout, sehingga nampak jelas bahwa stres kerja mempunyai hubungan positif dengan burnout.

SARAN

Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan

serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis

ajukan:

1. Bagi pihak manajemen rumah sakit.

Disarankan agar lebih memperhatikan perawat dengan membuat program relaksasi

dan menyediakan fasilitas relaksasi bagi para perawat untuk melakukan akitivitas

relaksasi minimal sekali dalam seminggu, agar perawat dapat perawat dapat

(31)

21

2. Bagi subjek penelitian.

Para perawat menggunakan kewajiban untuk mengikuti latihan relaksasi sekali dalam

seminggu untuk mengurangi adanya stres kerja dan burnout.

3. Bagi Peneliti selanjutnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di luarstres kerja yang

memengaruhi burnout sebesar 47%. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat

(32)

22

DAFTAR PUSTAKA

Andarika, R. (2004). Burnout Pada Perawat Puteri RS St. Elizabeth Semarang Ditinjau Dari Dukungan Sosial. Jurnal Psyche 1 (1), 1-8.

Andriani, R. (2004). Pengaruh Persepsi Mengenai Kondisi Lingkungan Kerja dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Burnout pada Perawat IRD RSUD dr.Soetomo Surabaya. Jurnal Insan, 6 (1), 49-67.

Anoraga. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta : Rineka Cipta

Baron, R. A. & Greenberg, J. (2008). Behavior in organizations: Understanding and managing the human side of work (8th ed.). Upper Saddle River: Pearson Education.

Chernis. C. (1980). Staff Burnout Job in the Human Services. London: Sage Publication. Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damit, Abd Rahim. (2007). Identifying Sources of Stress and Level of Job Satisfaction

amongst Registered Nurses within the First Three Years of Work as a Registered Nurse in Brunei Darussalam. Queensland: Queensland University of Technology School of Nursing.

Gray-Toft, P. & Anderson, J. (1981). Stress among hospital nursing staff: Its causes and effects, Social Science and Medicine 15(1), 639-647.

Greenhaus, J. H., Callanan, G. A. & Godshalk, V. M. (2000). Career Management. Third Edition. The Dryden Press. Harcourt College Publishers.

Gunarsa, D. (1995). Psikologi Perawatan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Gunawan, K. & Djati, S. (2011). Kualitas Layanan dan Loyalitas Pasien (Studi pada Rumah Sakit Umum Swasta di Kota Singaraja–Bali). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 13 (1), 32-39.

Himle, D. P., Jayarathne, S. K., & Chess, W. A. (1988). Dealing with Work Stress and Strain: Is the Perception of Support more Important than its Use?. The Journal of Applied Behavioral Science, 24(2), 191-202.

Leatz, Christine A. & Stolar, Mark W. (1993). When Works Gets to be Too Much.

World Executive Digest 14(11), 40-55.

Lee R.T. & Ashforth B.E. (1996). A Meta-Analytic Examination of the Correlates of the Three Dimensions of Job Burnout. Journal of Applied Psychology, 81, 123-133. Lorenz, Vera R., Benatti, Maria C., Sabino, Marcos O. (2010). Burnout and Stress

(33)

23

Mangkunegara, A. (1998). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Masclah & Jackson. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal Of Occupational Behaviour, 2, 99-113.

Prestiana, Novita D. I., & Purbandini, Dewanti. (2011). Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy) dan Stres Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) pada Perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Jurnal Soul, 5(2), 1-14.

Ribeiro, V. F., Celso Filho, Vitor, E., Marcello, F., & Luis de Abreu. (2014). Prevalence of burnout syndrome in clinical nurses at a hospital of excellence. International Archive of Medicine, 7(22), 1-16.

Rosyid, H. F. (1996). Burnout: Penghambat Produktivitas yang Perlu Dicermati. Buletin Psikologi, (1)19-24.

Russeng, S. S. (2007). Stres Kerja pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 3

(2), 20-24.

Pines, A. & Aronson, E. (1989). Career Burnout: Causes and Cures. New York: The Free Press.

Schaufeli, W.B., and Janczur, B. (1994). Burnout Among Nurses: A Polish Dutch Comparison. Journal of Cross Cultural Psychology, 25 (7): 95-113.

Sulistyowati, P. (2007). Hubungan Antara Burnout dengan Self Efficacy pada Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman, 2 (3), 162-167.

Wright, K. (2014). Alleviating stress in the workplace: advice for nurses. Art & Science Occupational Health, 28 (20), 37-42.

Wu, Si-Ying, Huang-Yuan Li, Xiao-Rong Wang, Shu-Juan Yang, & Hong Qiu. (2011). A Comparison of the Effect of Work Stress on Burnout and Quality of Life Between Female Nurses and Female Doctors. Archives of Environmental & Occupational Health, 66 (4), 193-200.

Gambar

Tabel  Kategorisasi Pengukuran Skala Stres Kerja
tabel berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan community based tourism digunakan sebagai strategi pemberdayaan masyarakat lokal akan berhasil jika semua infrastruktur tersedia dengan baik dengan

Data hasil penelitian atau eksperimen diuji secara statistik untuk mengetahui variabel proses mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap jenis pahat, kecepatan

pendekatan drill lebih besar daripada pembelajaran servis bawah menggunakan pendekatan bermain terhadap hasil belajar servis bawah pada siswa putra kelas X SMA Negeri 1 Bojong

Tugas tambahan yang diamanatkan kepada penulis antara lain Sekretaris Program Ekstensi Jurusan Perikanan (1995-1998), Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (1998-1999), dan

Teknik pencerita “akuan” tak sertaan digunakan bila pencerita tidak terlibat langsung dalam cerita walaupun ia berada didalamnya. Contohnya, tokoh Nick Carraway yang

Tujuan penelitian ini adalah 1) merumuskan model pengukuran kinerja berbasis BSC dilingkungan Direktorat Pemberitaan LPP-TVRI, 2) menurunkan komponen-komponen

Diperlukan komunikasi yang baik dalam melakukan cross selling agar nasabah atau calon nasabah tertarik untuk memakai produk dan jasa Bank DKI1. Namun, dalam

Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga tertinggi adalah pengetahuan cukup (60,0%), sikap baik (95,3%) dan perilaku baik (62,4%)