• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802007064 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802007064 Full text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SPIRITUALITAS PADA REMAJA PANTI ASUHAN YANG MENGALAMI KESEPIAN

OLEH

MELINDA MERMANI OCKTORA SERRA 802007064

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

SPIRITUALITAS PADA REMAJA PANTI ASUHAN YANG MENGALAMI KESEPIAN

Melinda Mermani Ocktora Serra Aloysius L. S. Soesilo Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai apa yang dialami dan dirasakan sebagai pengalaman spiritualitas yang dimaknai remaja panti asuhan yang mengalami kesepian. Kesepian yang dialami oleh partisipan dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain: perasaan yang muncul, faktor penyebab kesepian, dampak psikologis, dan tahapan kesepian serta strategi koping yang dilakukan. Selain itu, berdasarkan dimensi spiritualitas yang dialami partisipan juga akan meninjau mengenai pengalaman spiritualitasnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi partisipan (Yin, 2006). Partisipan penelitian ini ialah dua remaja perempuan dan satu remaja laki-laki yang berusia 12-18 tahun. Hasil penelitian ini adalah partisipan mengalami kesepian emosional dan spiritualitas intrinsik. Kesepian yang dialami partisipan disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis. Spiritualitas dianggap oleh partisipan sebagai pengalaman mengenai percaya kepada Tuhan yang penting dalam proses perkembangan hidupnya dan juga strategi koping yang paling baik dibanding strategi lainnya untuk meringankan perasaan kesepian. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti dengan lebih mendalami mengenai hubungan antara spiritualitas ekstrinsik yang dianut individu dengan pengalaman kesepian anak panti asuhan.

(9)

ii Abstract

This study aimed to describe about what was experienced and perceived as a spirituality by orphanage adolescents who experienced loneliness. Loneliness experienced by participants can be viewed from several aspects, among others: the feelings that arise, the causes of loneliness, psychological impact, and the stages of loneliness and coping strategies did. In addition, based on the dimensions of spirituality experienced participants will also review about the experience of spirituality. This study is a qualitative case study method. Data collection methods used were interviews and participant observation (Yin, 2006). Participants of this study were two teenage girls and a teenage boy with the age range of 12-18 years old. The results of this study were participants experienced emotional loneliness and intrinsic spirituality. Participants experienced loneliness caused by psychological and sociological factors. Spirituality was considered by the participants as the experience of believing in God is important in the development of life and coping strategies are also better than most other strategies to alleviate feelings of loneliness. Further research is recommended to examine and further explore the relationship between extrinsic spirituality that embrace orphans who experience loneliness.

(10)

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa perubahan dan krisis identitas serta krisis harga diri berdasarkan perkembangan-perkembangan secara umum dialaminya seperti perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional. Pada perkembangan sosioemosional, remaja mulai berusaha membentuk individualitasnya, relasi sosial, melakukan proses sosialisasi, mengidentifikasikan orang lain dengan diri mereka dalam mencari identitas diri dan pola perilaku berdasarkan nilai, harapan dan standar yang ditetapkan orang tua, keluarga, dan masyarakat sekitarnya (Santrock, 1995). Namun masalah yang terjadi, remaja seringkali merasakan kurangnya dukungan sosial keluarga di sekitar mereka. Oleh karena itu, hal tersebut terkadang dapat memengaruhi kondisi perkembangan identitas dirinya termasuk ketika mengalami permasalahan sosial dalam perkembangannya.

Berdasarkan hasil survei dari UNICEF Jepang berada pada urutan kedua yang memiliki jumlah tertinggi remaja usia 15 tahun yang merasa kesepian setelah hasil survei tersebut dilakukan di antara negara-negara industri yang sebagian besar di Eropa. Hampir satu di antara tiga (29,8 %) remaja Jepang menyatakan setuju dengan kalimat yang mengatakan "Saya merasa kesepian", menurut laporan hasil survei yang meliputi 24 dari kumpulan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi Dan Pembangunan (OECD) dengan jumlah total anggotanya 25 negara (Tempo, 2007).

(11)

2

Tjiptasastra (dalam Sudarman, 2011) remaja yang dihadapkan pada pilihan yang sulit di mana individu harus berpisah dari keluarga atau menjadi yatim-piatu yang pada akhirnya mereka dititipkan di panti asuhan. Secara khusus, kehilangan orang tua yang dialami remaja yang tinggal di panti asuhan. Pengalaman dini akan adanya penolakan dan kehilangan (seperti ketika orang tua meninggal) dapat menimbulkan efek merasa kesepian yang berlangsung lama (Santrock, 2003).

Menurut Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 15 A/ HUK/2010, Tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) akan

melakukan pelayanan sosial berbasis keluarga (penjangkauan/outreach, home care services, reunifikasi dan reintegrasi keluarga, dan lain-lain), selain tetap memberikan

pengasuhan pada anak-anak yang kehilangan asuhan dalam keluarga. Namun di sisi lain, pengasuhan di panti asuhan menjadi pilihan yang kurang tepat karena kebanyakan anak asuh merasakan dirinya berada pada situasi keluarga yang tidak wajar karena kurangnya dukungan sosial mengenai peran perawatan dan pengasuhan yang seharusnya didapat dari pihak panti asuhan selain kebutuhan secara fisik saja. Sehingga perawatan anak di yayasan dirasakan sangat tidak baik, karena anak-anak dipandang sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial (Margareth, dalam Hurlock, 1995).

Kesepian yang dialami remaja dalam tahap perkembangan sangat kompleks. Salah satunya masalah yang terjadi pada remaja yang mengalami kesepian di panti asuhan PSAA “Filadelfia” yang terletak di Kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil

(12)

menampilkan sikap pendiam, tidak percaya diri, tidak suka berkumpul dengan teman-teman yang lain, tidak mematuhi aturan yang berlaku, menyembunyikan kehidupan pribadinya, terlihat acuh tak acuh terhadap orang lain, dan ada juga ingin selalu diperhatikan orang lain dengan membuat ulah atau masalah. Beberapa anak merasa diri mereka kurang atau tidak merasa cocok bersosialisasi dengan teman lain yang berada di panti asuhan seperti cenderung menghindari berkumpul bersama orang lain.

Di PSAA tersebut selain diurus oleh pembina panti (yang berprofesi sebagai pendeta) juga ada beberapa orang pengurus yang membantu dalam mengurus kegiatan dan merawat anak-anak asuh di panti yang terdiri dari dua orang yang ikut membantu. Mereka berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup warga panti tersebut (seperti kebutuhan fisik dan pendidikan). Pembina juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjang dalam memberikan arahan dan bimbingan rohani termasuk ketika anak asuhnya terlihat mengalami kesulitan ataupun permasalahan sosial. Setiap hari anak asuh di panti tersebut melakukan kegiatan-kegiatan rutin dalam hal tanggung jawab pekerjaan rumah yang wajib dilakukan semua anak asuh panti; dan kegiatan spiritual yang dilakukan setiap hari Minggu hingga Jumat pada pukul 04.30-05.30 WIB dan pukul 20.00-21.00 WIB dengan mengikuti kegiatan renungan singkat dan menyanyikan pujian.

(13)

4

putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Selain itu, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan kepada anak-anak dalam panti asuhan terutama panti-panti asuhan yang kekurangan tenaga kerja di negara-negara yang tengah berkembang, menderita hospitalisme dan depresi analitis (analytic depression) atau kesepian emosional (Spitz, dalam Bruno, 2000).

Menurut Bruno (2000) kesepian dapat didefinisikan ke dalam tiga penggolongan, yaitu: cognitive loneliness (terjadi bila seseorang hanya memiliki sedikit teman untuk berbagi pikiran atau gagasan yang dianggap penting); behavioral loneliness (terjadi bila individu kurang atau tidak mempunyai teman sewaktu

berjalan-jalan dan melakukan kegiatan-kegiatan luar rumah); dan emotional loneliness (terjadi bila seseorang membutuhkan kasih sayang tapi tidak mendapatkannya). Bruno (2000) juga membedakan menjadi dua jenis berdasarkan lamanya kesepian, antara lain: a.) kesepian sementara (transient loneliness) bersifat reaktif dan situasional, datangnya singkat dan cepat berlalu; dan b.) kesepian kronis (chronic loneliness) di mana kesepian ini terus-menerus atau tak hilang dalam waktu lama. Sedangkan menurut Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Miller, Perlman, & Brehm, 2007) ada empat jenis perasaan yang dirasakan oleh orang yang kesepian, yaitu: desperation (terdiri dari merasa putus asa, tidak berdaya, takut, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan, mudah tersinggung); impatient boredom (antara lain menjadi tidak sabar, bosan, ingin berada di tempat lain, cemas, marah, tidak dapat berkonsentrasi); self-deprecation (di antaranya seperti merasa diri tidak menarik, rendah diri, merasa bodoh, malu, merasa tidak aman); depression (di antaranya merasa sedih, tidak semangat, merasa kosong, terkucil,

(14)

sosialnya atau mengubah kebutuhan dan keinginan sosialnya (Peplau dan Perlman, dalam Santrock, 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas, para partisipan mengalami kesepian emosional karena adanya kehilangan figur orang tua yang mereka sayangi dengan efek yang masih dirasakannya walaupun bersifat reaktif dan situasional (Bruno, 2000).

Kesepian dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal dalam kehidupannya. Seringkali kesepian dikaitkan dengan jenis kelamin, hubungan kedekatan dengan orang lain, kemampuan diri dan kepercayaan diri, latar belakang keluarga, status sosial, ekonomi, budaya, psikologis, perkembangan, serta spiritual. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan pada aspek spiritual diharapkan mampu digunakan sebagai strategi koping pada individu terhadap perasaan kesepian yang dialaminya.

Selain terpenuhinya kebutuhan pada aspek ekonomi, sosial, budaya, psikologis, dan fisiologis pada remaja panti; pemenuhan kebutuhan aspek spiritual pada dirinya juga akan berdampak dalam mengurangi permasalahan sosial yang dialami. Memahami keyakinan, nilai-nilai dan praktek pemuda dalam pendampingan perawatan untuk memperkuat diri dari trauma dan ketidakpastian adalah elemen penting dari praktek kompeten dengan budaya, terkait akan perawatan individu dalam sebuah keluarga asuh, dukungan dalam komunitas, konseling atau kasus manajemen diri individu (Jackson, dkk., 2010).

(15)

6

spiritualitas itu bersifat universal, karena spiritualitas adalah perasaan yang bisa timbul pada tiap orang yang sedang menyadari dirinya sebagai makhluk yang sedang disapa Sang Khalik.

Sedangkan menurut Hill dan Butler (dalam King, 2011) bahwa spiritualitas dibedakan berdasarkan faktor yang memengaruhinya, antara lain: spiritualitas intrinsik (ialah kepercayaan yang berfokus ke dalam diri sendiri mengenai percaya kepada Tuhan atau kekuasaan yang lebih tinggi yang memengaruhi arti kehidupan dan memberikan panduan hidup baginya); dan spiritualitas ekstrinsik (ialah spiritualitas yang mengadopsi perilaku ekstrinsik di mana mungkin atau tidak mungkinnya akan berwujud kepercayaan spiritual).

Menurut Singleton, Mason, dan Webber (2004) terdapat sepuluh dimensi spiritualitas, yaitu sebagai berikut:

1) Dimensi pertama: hubungan agama (relationship to religion) melibatkan sebuah komitmen pada iman tertentu tentang praktek, keyakinan dan pengalaman spiritual yang menjadi dasar kehidupan spiritualitas individu.

2) Dimensi kedua: ekspresi spiritualitas (expressions of spirituality) mengungkapkan beberapa unsur dalam spiritualitas seperti 'sensings', intuisi, perasaan, suasana hati, motivasi, atraksi, pertanyaan, dll.

(16)

4) Dimensi keempat: eklektisisme (eclecticism) yang terdiri dari tiga tingkatan kualitas eklektisisme responden dalam mendalami spiritualitasnya dalam menguraikan tentang pengalaman mereka: rendah (salah satu sumber yang utama, seperti agama dunia); cukup (unsur-unsur hingga tiga sumber, tidak ada yang mendominasi); tinggi (beberapa sumber mengalami pembauran).

5) Dimensi kelima: hal yang dianggap penting (salience) berhubungan dengan suatu hal yang sangat menonjol sebagai hal yang menjadi penting bagi responden berdasarkan dalam refleksi, membaca, wacana, tindakan mereka, yang hampir tidak diperhatikan.

6) Dimensi keenam: pengaruh (influence) menjelaskan sejauh mana spiritualitas seseorang dalam membentuk hidup, memengaruhi pandangan dunia, perasaan dan tindakannya.

7) Dimensi ketujuh: antropologi (anthropology) melibatkan berbagai keyakinan dan sikap untuk diri sendiri, orang lain dan masyarakat.

8) Dimensi kedelapan: otoritas (authority) mencakup hal memeriksa kedudukan kekuasaan lain pada spiritualitas seseorang.

9) Dimensi kesembilan: perantara (medium) meneliti media utama komunikasi di mana spiritualitas tertentu yang datang untuk diketahui dan dinyatakan.

10) Dimensi kesepuluh: perkembangan (development) berkaitan sejauh mana cara hidup seseorang secara sadar, sejauh mana kehidupan mereka memiliki peranan penting yang reflektif.

(17)

8

Spiritualitas yang dialami oleh para partisipan termasuk pada kategori spiritualitas intrinsik karena mereka mengaku keyakinan yang terfokus ke dalam diri mengenai percaya kepada Tuhan yang memengaruhi perubahan pola hidup mereka sebagai pemeluk agama Kristen dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik (Hill dan Butler, dalam King, 2011).

Pada sebuah studi lebih dari 700 remaja, Pearce dan rekan-rekan (2003) mengatakan bahwa kehadiran agama pada tingkat yang lebih tinggi, rangking kereligiusan diri dan pengalaman keagamaan yang positif dapat dikaitkan dengan tingkat depresi yang secara signifikan lebih rendah. Spiritualitas adalah aset perkembangan yang memberikan kontribusi resiliensi untuk orang-orang muda yang menghadapi kesulitan yang terkait dengan trauma, kesedihan dan kehilangan, penyakit fisik dan mental, serta cacat (Wright, Frost, dan Wisecarver,1993; Witvliet, 2001; Browne, 2002; Pendleton, Cavalli, Pargament, & Nasr, 2002; DiLorenzo; Nix-Early 2004; Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006; Scott, Munson, McMillen, & Ollie, 2006; Daining; DePanfilis, 2007, dalam Jackson, dkk., 2010). Oleh karena itu, perkembangan kepercayaan individu terutama aspek spiritual yang dimiliki individu dapat mendukung dan memperkuatnya dalam menghadapi keadaan sulit seperti trauma saat berada dalam pengasuhan yang tidak berasal dari keluarga asalnya. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh dalam diri remaja tersebut ketika menghadapi kehidupan dengan lingkungannya.

(18)

asuhan yang mengalami kesepian. Kedua untuk mendeskripsikan dinamika pengalaman kesepian, faktor penyebab, tahapan-tahapan kesepian yang dialami, dan strategi koping yang dilakukan remaja panti asuhan untuk mengurangi perasaan kesepiannya.

(19)

10

METODE PENELITIAN Partisipan

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka peneliti melibatkan dua remaja perempuan dan satu remaja laki-laki. Karakteristik partisipan penelitian ini antara lain: individu yang masih tinggal di panti asuhan minimal satu tahun dan berusia 12 sampai 18 tahun, serta individu tersebut mempunyai pengalaman kesepian maksimal satu tahun. Peneliti memilih partisipan yang mengalami kesepian berdasarkan perilaku, kegiatan yang dilakukan dan mengetahui banyaknya teman yang dimiliki. Proses pengambilan partisipan penelitian diperoleh peneliti secara insidental berdasarkan pemilihan dari observasi awal yang telah dilakukan sekitar delapan belas bulan lamanya (dari bulan Juni 2012 hingga Desember 2013) serta informasi yang diperoleh dari wawancara dengan pembina panti maupun beberapa anak panti asuhan tersebut. Karakteristik partisipan yang dipilih, antara lain: 1) partisipan 1 memiliki latar belakang ayah yang meninggal dan ibu menikah kembali; 2) partisipan 2 memiliki ayah yang meninggalkan keluarga untuk menikah kembali, ibu serta kakak yang bekerja di luar kota; dan 3) partisipan 3 memiliki orang tua yang lengkap namun terpaksa berpisah dari orang tua. Ketiga partisipan dititipkan di panti asuhan karena berada pada kondisi ekonomi keluarga yang berkekurangan.

Lokasi Penelitian

(20)

Analisis

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkip wawancara dengan mendengarkan hasil rekaman dan mengetik ke dalam bentuk verbatim kata perkata serta mendeskripsikan hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data berlangsung. Peneliti selanjutnya melakukan proses pengodean pada transkrip wawancara agar memudahkan dalam proses analisis data. Proses selanjutnya ialah penentuan tema dan juga makna dibalik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti tambahkan pada bagian kiri transkrip. Kemudian proses pengelompokan data ke dalam aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian lalu melakukan penafsiran data dengan membandingkan antara partisipan pertama, kedua dan ketiga.

HASIL Relasi Di Dalam Diri dan Di Luar Diri Individu

Ketiga partisipan penelitian mengaku keluarga mereka berada pada keadaan ekonomi yang berkekurangan dan mengharuskan mereka terpaksa diasuh/dititipkan di panti asuhan oleh pihak keluarga supaya mereka dapat melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA.

(21)

12

….Pengin dipeluk kayak disayang sama orang tua lainnya gitu loh. Kalau dulu kalau pas kecil…pasti juga sudah pernah. Tapi habis itu udah nggak

pernah.”(Partisipan1,2).

Kedekatan yang terjalin dengan teman dekat memengaruhi ketiga partisipan ketika sedang menghadapi masalah. P3 cenderung akan mendekati temannya terlebih dahulu dan memiliki harapan untuk hubungan yang dekat seperti saudara kandung termasuk di saat mereka sedang menghadapi masalah. Hubungan yang dimiliki oleh ketiga partisipan dengan teman dekat mereka itu baik namun mereka juga mengaku kurang memiliki hubungan yang dekat dan tidak sesuai dengan harapan hubungan yang mereka inginkan.

Nggak ada sih.... terus biasanya sama orang itu ya... nggak deket gitu sama dia. Ya biasa rasanya... cuman kadang aku mikir... kok kayak masih ya saya pengin deket lagi sama dia.”(Partisipan 1,2,3).

Kesepian

Pengalaman kesepian yang dialami tiap partisipan berbeda-beda. Perpisahan fisik dengan keluarga dan terlebih harus berbagi kasih sayang di antara warga panti lainnya ketika remaja harus dititipkan di panti. Hal tersebut menimbulkan perasaan kesepian dalam diri partisipan pada waktu-waktu tertentu karena adanya kesenjangan antara harapan kasih sayang yang diinginkan dengan apa yang ia alami.

“....Pengin dipeluk kayak disayang sama orang tua lainnya gitu loh. Kalau dulu kalau pas kecil... pasti juga sudah pernah. Tapi habis itu udah nggak pernah.” (Partisipan 1,2,3).

(22)

yang mendalam terhadap kehadiran sosok ayahnya dan keinginan untuk berkumpul dengan orang tua dirasakan P2 ketika melihat warga panti lain yang dikunjungi oleh keluarganya. Pemikiran mengenai dirinya yang merasa tidak berguna dan iri karena melihat kerenggangan hubungan dan perpisahan orang tuanya tersebut menimbulkan perasaan malu, sedih, takut, dan kecewa, serta sikap ingin mencari perhatian dengan menjadi banyak bicara yang dirasakannya di saat ia melihat kelebihan orang lain. Namun demikian, P2 merasa lebih senang, bersyukur, dan berusaha menerima masalah yang dihadapinya serta ia dapat melanjutkan pendidikannya ketika ia tinggal di panti.

Sikap kurang percaya dan berhati-hati timbul dalam diri ketiga partisipan ketika berhadapan dengan orang yang dianggap asing.

“Terus... lha ya makanya awalnya sih pasti curiga atau gimana nih... gini... gini... gini. Apa... kan sudah pernah terjadi ya gitu... jadi kalau mau terjadi tuh mikir-mikir dulu.” (Partisipan 1,2,3).

Ketika P2 sedang melakukan aktivitas sosial bersama orang yang baru dikenalnya, perasaan tidak bisa akrab dan terlihat sombong tersebut timbul dalam dirinya.

“...Langsung aku... aku nggak bisa akrab gitu loh. Aku cuma masuk kamar terus

langsung keluar gitu thok. Lha kan aku pas itu nggak tau sifatnya dia gitu loh. Lha kalau aku belum tau sifatnya dia... kayak gini...gini...gini. Aku memang kayak sombong gitu. Tapi kalau udah tau ya biasa aja, aku kan gitu. Kan soalnya aku lihat orang dari sifatnya dulu gitu loh.” (Partisipan 2).

(23)

14

Interaksi dengan keluarga secara langsung yang sulit dilakukan oleh ketiga partisipan karena perubahan situasi juga menjadi penyebab sosiologis munculnya perasaan kesepian. Harapan untuk dapat bersama orang tua mereka lebih kuat dalam diri mereka pada saat tertentu. Keterbatasan aturan panti dan biaya yang mereka miliki tersebut juga membuat mereka tidak selalu bisa berkumpul bersama keluarganya. Walaupun ketiga partisipan diberi perhatian oleh pembina panti ataupun ditemani oleh teman dekatnya, mereka masih tetap merasakan kekosongan dalam dirinya akibat mereka tidak dapat bertemu langsung dengan orang tuanya. Hal ini dapat digambarkan dalam pernyataan berikut:

“....Apa itu... pas aku berdoa itu kan karena aku kangen sama orang tuaku.... Ya

aku inginnya seperti dulu tapi kan. Tapi kan nggak mungkin sama.”(Partisipan 1,2,3).

Kenangan kebersamaan dengan keluarganya memicu timbulnya perasaan kerinduan yang mendalam dan kehilangan figur orang-orang yang disayangi di dalam diri ketiga partisipan. Ketiga partisipan mengalami kesepian emosional, namun perasaan kesepian yang muncul merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada waktu-waktu tertentu.

Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang muncul saat partisipan mengalami kesepian ialah sedih, takut, terbebani, kekosongan yang muncul dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan tidak berguna, perasaan rindu yang mendalam, dan timbulnya keinginan untuk bersama orang lain, terutama orang tua.

(24)

mereka kasihi, kemudian tahap timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna, seperti sendiri, diabaikan yang membuat perasaan rindu yang mendalam, dan timbulnya keinginan untuk bersama orang tua. Selain itu sikap kurang percaya, berhati-hati, sikap curiga dan mengenal pribadi orang tersebut dilakukan para partisipan ketika berhadapan dengan orang yang dianggap asing serta mengambil jarak dan memilih masuk kamar dilakukannya ketika merasa kesepian.

Spiritualitas

Spiritualitas ketiga partisipan memberikan kesadaran akan kehadiran kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya sendiri membuat partisipan memahami pentingnya peran Tuhan melalui pengalaman spiritualitas dalam kehidupannya.

“Ya tapi menurutku ya aku orang beragama….Ya pokoknya aku kalau dibanding Islam sama Kristen, mending Kristen. Tapi kalau kita cuma sekedar percaya belum tentu orang itu... misalnya iya dari depannya percaya tapi belum tentu dari belakangnya dia bisa nggak percaya gitu loh. Misalnya aku percaya sama Tuhan Yesus begini... aku percaya sama Tuhan gini... aku percaya sama agama ini gitu. Tapi belum tentu dalam hidupnya dia percaya gitu loh. Kalau cuma ngomong percaya sih, semua orang juga bisa ngomong percaya. Tapi kalau hidup dalam Tuhan itu aku ada perubahan... yang jadi perbedaan di diri kita. Ya Tuhan Yesus luar biasa sih. Ehmmm... apa tuh... apa... dia itu ajaib sih.” (Partisipan 1,2,3).

(25)

16

menganggap Tuhan sebagai bapa yang melindungi dan mengasihi mereka melebihi orang-orang di sekitar mereka.

P2 mengaku setelah berpindah agama dari agama Islam menjadi agama Kristen semenjak masuk ke panti. Ia juga mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang lebih baik. Ketiga partisipan menemukan kenyamanan ketika mengenal Tuhan dan ajaran agama Kristen yang diungkapkan juga sebagai ekspresi spiritualitas yang merupakan dimensi kedua.

Pada ketiga partisipan bahwa aktivitas spiritual sebagai hal dianggap penting yang merupakan dimensi kelima, yang menonjol dan sering mereka lakukan ketika mereka merasa kesepian ataupun saat mereka sedang menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Dimensi kesepuluh mengenai perkembangan dalam kehidupan spiritual ketiga partisipan melalui pengalaman spiritualitas mereka yang semakin merubah pola hidup mereka menjadi lebih baik dan memandang masa depan mereka indah sesuai janji Tuhan.

“Kalau menurutku... kalau Tuhan itu lebih dari segala-segalanya ya. Kalau kita

nggak bisa terbuka sama orang lain... kita bisa terbuka dengan Dia gitu. Kalau kita punya masalah berdoa terus kayak... berdoa sama memuji Tuhan gitu... pada saat sendiri, berdua sama Tuhan tuh kayaknya enak gitu setelah berdoa sama Tuhan....Itu kan pas.... berani sama orang tua... suka bantah. Berani mukul sama adikku sendiri... sama kakakku kalau udah marah. Tapi kan sekarang aku di sini jarang nglakuinnya... aku ya sekarang nggak berani. Kan udah jauh, sekarang udah nggak nglakukan. Dulu pas di sana, aku nakal kok. Dulu nggak mau belajar, sekarang mau belajar....Kalau aku yakin masa depanku tuh cerah... terus apatuh... dan menurut firman Tuhan gitu loh. Ya bisa sukses. Walaupun nantinya bisa sukses, ya aku nggakakan pernah ninggalin Tuhan.”(Partisipan 1,2,3).

(26)

pemeluk agama Kristen dan memberikan harapan masa depan yang indah sesuai dengan janji Tuhan.

Strategi Koping untuk Meringankan Kesepian

Kesadaran partisipan terhadap perasaan kesepian yang dialami, memberikan kesadaran mereka untuk melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan kesepian. Saat merasa kesepian, mereka berusaha untuk melakukan sesuatu sehingga perasaan kesepian yang dialami bisa menjadi lebih ringan. Beberapa strategi koping yang diterapkan berbeda oleh ketiga partisipan untuk meringankan perasaan kesepian yang mereka alami.

Sikap mendekati, meminta maaf, dan menyelesaikan dengan menanyakan masalahnya terhadap teman yang bermasalah dengannya serta bersikap sabar biasa dilakukan P2 sebagai strategi koping terhadap perasaan kesepian yang dialaminya. Selain itu, ia berusaha selalu merasa senang dan mengucap syukur baik di kala ia sedang menghadapi masalah maupun sedang tidak menghadapi masalah. Peningkatan aktivitas sosial lain yang dilakukan oleh P2 seperti menjauh atau meninggalkan kamarnya untuk mengobrol dengan teman dekatnya di panti, menyanyi, dan membaca buku, yang biasa dilakukan untuk menghilangkan perasaan kesepiannya.

(27)

18

(28)

PEMBAHASAN

Keterpisahan partisipan dengan orang tua mereka membuat mereka merasakan keadaan diri mereka sebagai anak yatim-piatu secara sosial ataupun yatim-piatu yang sebenarnya. Akibatnya partisipan kurang mendapat dukungan seperti perhatian atau kasih sayang seperti layaknya ketika bersama dengan orang tuanya. Hasilnya menjawab penelitian Cooper dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 1995) dan hal tersebut menyebabkan terganggunya proses perkembangan identitas remaja.

Kondisi orang tua partisipan yang berkekurangan memberikan dampak negatif bagi partisipan yang menjadi salah satu penyebab mereka mengalami kesepian. Tidak hanya sekedar kurangnya uang yang membatasi mobilitas partisipan seperti yang diungkapkan oleh Lake (1989) pada penelitian yang dilakukan pada orang dewasa. Namun pada penelitian ini memberikan bukti yang memfokuskan dampak pada diri remaja panti asuhan yang mengalami kesepian bahwa kondisi orang tua yang mengharuskan mereka terpaksa harus hidup terpisah dengan orang tua dan menyebabkan partisipan mengalami kerinduan yang mendalam akan kehadiran sosok orang tuanya serta mengalami kesenjangan antara harapan kasih sayang ataupun perhatian yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi.

(29)

20

Santrock (2003) karena bersifat reaktif dan situasional. Penelitian ini mengindikasikan semua partisipan dikategorikan mengalami kesepian emosional karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim di saat remaja tinggal di panti asuhan yang kekurangan tenaga kerja sehingga memperkuat penelitian sebelumnya oleh Spitz (dalam Bruno, 2000).

Hasil penelitian selarasdengan penelitian Sudarman (2010) mengenai faktor penyebab psikologis. Di antaranya ialah adanya keterbatasan bertemu langsung dengan orang tua, pengalaman traumatis (disebabkan oleh kematian ayah yang tiba-tiba, ibu yang menikah kembali, dan ayah yang meninggalkan keluarga untuk menikah kembali), kurangnya dukungan dari lingkungan (diakibatkan oleh penolakan karena anggapan negatif dan pengabaian akan keberadaan berada di lingkungan), dan kepribadian yang tidak sesuai (munculnya sikap patuh dan mencari perhatian dengan membuat masalah ataupun menjadi banyak bicara menjadikan pribadi yang tidak menyenangkan). Selain itu, sulit berinteraksi dengan lingkungan (munculnya sikap tidak akrab dan mengambil jarak dengan orang yang dianggap asing menjadikan terciptanya hubungan yang kurang dekat dengan lingkungan) dan sulit berinteraksi dengan keluarga (akibat perpisahan fisik) sebagai faktor penyebab sosiologis dalam penelitian Sudarman dan hal tersebut dialami oleh semua partisipan.

(30)

Kesepian yang dialami oleh semua partisipan memiliki tahapan-tahapan kesepian yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Lake (1989) antara lain sebagai berikut: tahap keterpisahan jarak antara partisipan dan orang tua menyebabkan hilangnya kesempatan dalam perilaku timbal balik yang dirasakan, kemudian tahap timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna, seperti sendiri, diabaikan yang menyebabkan perasaan rindu yang mendalam, dan timbulnya keinginan untuk bersama orang tua. Tahap munculnya sikap kurang percaya, berhati-hati, sikap curiga dan mengenal pribadi orang tersebut dilakukan para partisipan ketika berhadapan dengan orang yang dianggap asing serta sikap mengambil jarak dan memilih masuk kamar dilakukannya ketika merasa kesepian.

Permasalahan sosial yang dialami para partisipan di saat tinggal di panti menimbulkan problem psikologis tersendiri di dalam diri partisipan ketika berhadapan dengan lingkungan terutama orang yang dianggap asing atau yang memiliki masalah dengan mereka. Beberapa partisipan menunjukkan sikap apatis, berpandangan negatif, malu, curiga, hati-hati, ragu-ragu, menarik diri, tidak bisa berbuat apa-apa, bingung, pasif, dan ketakutan. Selain itu, beberapa partisipan juga menampilkan sikap sombong dan banyak bicara ketika berhadapan dengan orang yang baru dikenal tersebut. Sikap sombong dan banyak bicara ini memberikan ciri baru yang melengkapi penelitian dilakukan oleh Hartini (dalam Rahma, 2011) karena mereka tidak menjelaskan sikap ini dan hanya membicarakan sisi negatifnya secara umum. Padahal banyak bicara dalam penelitian ini juga memberikan dampak positif karena membangun keterbukaan untuk berkomunikasi.

(31)

22

partisipan. Secara umum beberapa dimensi spiritualitas menurut Singleton, Mason, dan Webber (2004) dialami oleh partisipan di antaranya: dimensi pertama: hubungan agama memperlihatkan pemahaman komitmen iman ketiga partisipan yang dipelihara melalui praktek, keyakinan dan pengalaman spiritual sebagai pemeluk agama Kristen ketika tinggal di panti. Kepercayaan ketiga partisipan kepada Tuhan yang tidak hanya dalam praktek dan keyakinan spiritual namun juga pengalaman yang mereka alami dan menganggap Tuhan sebagai bapa yang melindungi dan mengasihi mereka melebihi orang-orang di sekitar mereka. Partisipan mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang lebih baik. Semua partisipan juga menemukan kenyamanan ketika mendekatkan diri Tuhan dan ajaran agama Kristen yang diungkapkan juga sebagai ekspresi spiritualitas yang merupakan dimensi kedua.

Ketiga partisipan melakukan aktivitas spiritual sebagai hal dianggap penting yang merupakan dimensi kelima, yang menonjol dan sering mereka lakukan ketika mereka merasa kesepian ataupun saat mereka sedang menghadapi masalah yang mereka anggap tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Dimensi kesepuluh yang dialami semua partisipan mengenai perkembangan dalam kehidupan spiritual melalui pengalaman spiritualitas mereka semakin merubah pola hidup mereka menjadi lebih baik dan memandang masa depan mereka indah sesuai janji Tuhan dalam hidup mereka. Spiritualitas yang dimaknai partisipan memberikan gambaran Allah yang “personal”

sebagai seorang pribadi yang mengenal diri remaja secara lebih baik daripada pengenalan diri dari individu itu sendiri; hal ini akan memengaruhi individu dalam upaya menyusun identitas diri yang agak koheren (Fowler, dalam Cremers,1995).

(32)

menghadapi beban masalah yang berat dan sulit untuk mereka selesaikan sendiri. Senada dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jackson dan rekan-rekannya (2010) mengenai pentingnya pemahaman aspek spiritual partisipan dalam mendukung perawatan untuk memperkuat diri dari trauma dan ketidakpastian kondisi kehidupan di saat remaja tinggal di panti asuhan. Hal tersebut memberikan semangat, dorongan dan kekuatan serta harapan pada diri ketiga partisipan untuk melanjutkan hidupnya terutama pendidikannya dengan serius dalam memenuhi harapan mereka untuk membahagiakan orang tua mereka. Spiritualitas dari ketiga partisipan termasuk kategori spiritualitas intrinsik karena mereka menerapkan spiritualitas pada keyakinan yang terfokus dalam diri mereka yang memengaruhi perubahan pola hidup mereka sebagai pemeluk agama Kristen. Partisipan pertama dan kedua yang mengalami perubahan pola hidup setelah mereka melakukan kegiatan spiritual, terutama bagi partisipan kedua yang berpindah menjadi agama Kristen Protestan ketika ia masuk ke panti asuhan.

(33)

24

(34)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari masing-masing partisipan menunjukkan relasi di dalam ataupun di luar diri partisipan berdasarkan latar belakang dan hubungan kedekatan yang dimiliki dapat memengaruhi pengalaman kesepian dan pengalaman spiritualitas partisipan. Perasaan kesepian yang dirasakan para partisipan cenderung mengarah pada kesepian emosional yang disebabkan oleh ketiadaan figur kasih sayang yang intim. Faktor utama yang menyebabkan perasaan kesepian adalah faktor psikologis dan sosiologis. Faktor penyebab kesepian, antara lain: keterbatasan hubungan, pengalaman traumatis, kurangnya dukungan dari lingkungan, kepribadian yang tidak sesuai, dan sulit berinteraksi dengan lingkungan serta sulit berinteraksi dengan keluarga. Keterpisahan jarak antara para partisipan dan orang tua menyebabkan timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna, seperti sendiri, rindu yang mendalam, dan keinginan untuk bersama orang tua. Selain itu juga, memunculkan sikap kurang percaya, berhati-hati, sikap curiga dan mengenal pribadi orang yang dianggap asing serta sikap mengambil jarak dari orang lain ketika merasa kesepian. Sehingga menyebabkan renggangnya hubungan yang dirasakan antara partisipan dengan orang lain.

(35)

26

digunakan sebagai strategi paling baik untuk meringankan perasaan kesepian yang dialami. Selain itu, partisipan meningkatkan aktivitas, memaafkan teman yang bermasalah, dan menerima kenyataan yang terjadi dan inilah strategi koping yang digunakan.

Saran

1. Bagi pihak panti asuhan agar dapat lebih mengupayakan aktivitas sosial bersama dengan lingkungan masyarakat dan bimbingan moral-spiritual yang dinamis terutama ketika remaja panti asuhan menghadapi kesepian dalam menjalankan tugas perkembangannya.

2. Bagi partisipan disarankan agar lebih mengupayakan aktivitas sosial bersama dengan lingkungan masyarakat ataupun aktivitas spiritual yang dinamis terutama ketika menghadapi kesepian dalam menjalankan tugas perkembangannya.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., Byrne, D., Branscombe, N. R. (2006). Social psychology (11thEd). United

States: Pearson Education.

Bruno, F. J. (2000). Conquer loneliness (menaklukan kesepian): pahami kesepian anda, buanglah untuk selamanya. Penerjemah: A. R. H. Sitanggang. Diterjemahkan ulang: C. L. Noviatno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Burns, D. D. (1988). Mengapa kesepian: program baru yang telah diuji secara klinis untuk mengatasi kesepian. Jakarta: Erlangga.

Dawson, C. (2002). Practical research methods. Oxford: Cromwell Press.

Erol, Nese., Simsek, Zeynep., & Mu¨nir, Kerim. (2010). Mental health of adolescents reared in institutional care in Turkey: challenges and hope in the twenty-first century. European Child Adolescence Psychiatry, 19, 113–124.

Fowler, J. W. (1995). Teori perkembangan kepercayaan. (Alih bahasa: A. Cremers) Yogyakarta: Kanisius.

Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, agama, dan spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. Hojat, M., & Crandal, R. (1989). Loneliness: theory, research, and application.

California: Sage Publication.

Hulme, W. E. (1988). Loneliness (kesepian): sumber ilham yang kreatif. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Hurlock, E. B. (1995). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Ismail, A. (2011). Selamat menabur: 33 renungan tentang didik-mendidik (Cetakan Ke-15). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Jackson, L. J., White, C. R., O’Brien, K., DiLorenzo, P., Cathcart, E., Wolf, M., Bruskas, D., Pecora, P. J., Nix-Early, V., and Cabrera, J. (2010). Exploring spirituality among youth in foster care: findings from the casey field office mental health study. Child and Family Social Work, 15, 107–117.

Kelcourse, F. B. (2004). Human development and faith: life-side stages of body, mind and soul. United States: Chalice Press.

King, D. E. (2011). Iman, spiritualitas, dan pengobatan: panduan bagi tenaga pelayanan kesehatan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Kompas.(2008). Mereka yang kurang beruntung di hari raya. Diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/09/30/1727492/mereka.yang.kurang.beru

ntung.di.hari.raya pada bulan September 2012.

(37)

28

McCall, R. B., Groark, C. J., Fish, Larry., Harkins, D., Serrano, G., dan Gordon, K. (2010). A socioemotional intervention in a Latin American orphanage. Infant mental health Journal, 31, 521–542.

Menteri Sosial Republik Indonesia. (2010). Keputusan menteri sosial nomor15a/huk/2010 tentang panduan umum program kesejahteraan sosial anak (pksa). Diunduh pada bulan Oktober, 2012 dari https://www.pksa-kemensos.com

Menteri Sosial Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Diunduh dari

https://www.pksa-kemensos.compada bulan Oktober 2012.

Miller, R. S., Perlman, D., & Brehm, S.S. (2007). Intimate relationships. United States: McGraw- Hill Higher Education.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Myers, D. G. (1999). Social psychology (6thEd). United States: McGraw- Hill Higher

Education.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current theory, research, and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley Interscience Publication.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Pusat Bahasa (Indonesia). (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rahma, A.N. (2011). Hubungan efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan. PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Copyrigth © 2011 Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K), 8 (2), Hal. 231-246.

Rahmawati, H. (2007). Kesepian pada remaja yatim piatu di panti asuhan. Skripsi (tidak dipublikasikan).Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Santrock, J. W. (1995). Life-span development: perkembangan masa hidup jilid II.

Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2003). Adolencence: perkembangan remaja (Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga.

Sears, S. E., Freedman, L. E., & Peplau, L. E. (1988). Psikologi sosial jilid II (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

(38)

Smith, J. A. (2013). Dasar-dasar psikologi kualitatif: pedoman praktis metode penelitian (CetakanKedua). (Penerjemah: M. Khozim). Bandung: Nusa Media.

Sudarman, A.R. (2010). Kesepian pada remaja yang tinggal di panti asuhan (studi kasus). Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. Diakses dari:http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/view/930/884pa da bulan April 2012.

Taylor, S. E., Peplau, L. E., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial (Edisi Kedua Belas). (Cetakan Pertama). Jakarta: Kencana.

Tempo. (2007). Remaja Jepang peringkat teratas daftar remaja kesepian. Diunduh dari

http://www.antaranews.com/view/?i=1171934446&c=INT&s pada bulan

September 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Berjalan sangat aman dan merupakan aktifitas yang sesuai untuk kebanyakan orang, termasuk yang sangat tidak bugar, cukup baik untuk meningkatkan kebugaran aerobik, juga

[r]

Berdasarkan skor koefisien korelasi yang dihasilkan dari perhitungan SPSS maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial serikat buruh dalam aksi

Begitu juga dengan santriwati, kehidupan yang terpisah dari lingkungan keluarga dan berada di lingkungan yang baru bersama kiai, ustadz dan santriwati yang lain menuntut

Adapun subyek yang dipilih memiliki karakteristik sebagai berikut; anak yang tergolong yatim, piatu, yatim piatu, dhuafa, dan terlantar yang tinggal di panti asuhan yang ada di

[r]

lokal daerah 35.000.000 DPPKKI Blora APBD 25-Apr-13 20-Des-13. 17 Fasilitasi perkembangan

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui 1) kecerdasan visual spasial anak sebelum menggunakan permainan balok di RA Al Barkah 2) Untuk mengetahui