commit to user
Coping Stres pada Waria yang Berhenti Menjadi
Pekerja Seks Komersial
Coping Stress in Transvestites who Quit From Prostitution
Anysa Mahfirahtikha, Istar Yuliadi, Nugraha Arif Karyanta
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Waria merupakan individu yang memiliki kondisi biologis pria namun berpenampilan dan ingin hidup sebagai seorang wanita. Dalam masyarakat, waria dianggap sebagai individu yang mengalami penyimpangan, sehingga keberadaannya seringkali ditolak dalam masyarakat. Dalam menjalani kehidupannya, waria mengalami kesulitan-kesulitan, diantaranya dalam pemilihan jenis pekerjaan. Waria pada umumnya berprofesi sebagai pekerja seks komersial karena tidak mendapatkan peluang untuk bekerja di sektor yang lain. Waria yang bekerja sebagai pekerja seks komersial memiliki banyak resiko, diantaranya razia yang dilakukan aparat dan penyakit menular seksual. Faktor resiko yang ada dapat mendorong waria untuk berhenti menjadi pekerja seks komersial dan memilih untuk menjalani pekerjaan yang lain. Kondisi peralihan ke pekerjaan yang baru menuntut banyak penyesuaian diri yang dapat menimbulkan stress. Selain itu keadaan lingkungan sosial memberikan tekanan tertentu yang dapat menjadi sumber stress. Waria melakukan usaha pengatasan stress/ coping dalam menghadapi kondisi stress yang terbagi menjadi coping yang berfokus pada emosi dan coping yang berfokus pada masalah. Terdapat serangkaian proses coping yang dilalui oleh individu. Tingkat keberhasilan dalam mengatasi stres ditentukan oleh tugas-tugas coping yang harus dipenuhi oleh individu waria.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan rancangan studi kasus yang diharapkan mampu menggali fokus penelitian secara mendalam. Subjek dalam penelitian ini yaitu dua orang waria di kota Surakarta dengan kriteria pernah menjalani profesi PSK dan telah berhenti dari profesi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa setiap subjek mengalami kondisi stres saat berhenti menjalani profesi sebagai PSK dengan sumber stres yang berbeda. Subjek 1 mengalami stres sejak mendapatkan vonis positif HIV dan melalui dukungan sosial seorang teman waria memiliki keinginan untuk beralih menjadi pengamen. Subjek 2 mengalami stres sejak mendapat vonis HIV hingga menjalani profesi baru sebagai karyawan salon atas saran seorang teman waria. Kesibukan subjek dengan pekerjaan baru membuat waktunya tersita sehingga tidak dapat berinteraksi sosial dengan komunitas waria serta menimbulkan respon negatif dari teman-temannya. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan berhenti menjadi pekerja seks komersial pada kedua subjek karena kondisi positif HIV yang dialami. Kedua subjek cenderung menggunakancopingyang berfokus pada emosi. Pada akhirnya, kedua subjek mampu mengatasi kondisi stres yang diakibatkan oleh keadaan berhenti menjadi PSK.
commit to user
PENDAHULUAN
Setiap manusia di dunia ini memiliki hak
yang sama untuk hidup damai sesuai dengan
keinginan atau pilihannya. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa keinginan atau pilihan
individu tersebut bisa bersinggungan dengan
nilai-nilai maupun norma yang ada dalam
masyarakat. Pilihan hidup menjadi seorang
waria banyak diambil oleh individu yang
merasa identitas seksualnya wanita namun
terlahir dengan kondisi biologis pria. Keadaan
ini dianggap menyimpang dari nilai dan norma
yang berlaku dalam pandangan secara umum.
Di Indonesia, istilah “waria” atau
“banci” diberikan masyarakat pada individu
dengan kondisi biologis pria namun berorientasi
seks wanita dan berpenampilan seperti wanita
(Junaidi, 2012). Karena keadaan waria yang
berbeda dari individu lain, maka waria dianggap
sebagai kelompok abnormal. Keberadaan waria
seringkali dianggap sebagai patologi sosial atau
sekumpulan individu yang mengalami
penyimpangan perilaku di dalam masyarakat.
Menurut Prasetyowati (dalam Pahlawani
& Yuwono, 2010) pada tahun 1996, jumlah
waria di Solo yang tergabung dalam Himpunan
Waria Solo (HIWASO) sebanyak 67 orang, dan
hingga tahun 2009, jumlah anggota HIWASO
menjadi 130 orang waria. Himpunan Waria Solo
merupakan suatu organisasi pelindung
komunitas waria yang tinggal di wilayah Solo.
Menurut Cintya Maramis, ketua HIWASO,
keberadaan organisasi tersebut telah memiliki
akta notaris sehingga sah secara hukum. Tujuan
utama HIWASO adalah memberikan dukungan,
perlindungan serta payung hukum pada individu
waria yang tinggal dan mencari nafkah di Solo
dan sekitarnya. Jumlah anggota waria yang
terdaftar dalam organisasi HIWASO meningkat
secara signifikan dari tahun ke tahun.
Stereotip masyarakat yang sering
ditujukan kepada waria adalah identik dengan
prostitusi (Yuliani, 2006). Stereotip negatif ini
menyertai waria dalam kehidupan sehari-hari
sehingga individu mendapatkan perlakuan
diskriminatif di masyarakat. Selain mengalami
dampak seperti pengusiran dari keluarga,
individu waria mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut
Koeswinarno (dalam Pahlawani & Yuwono,
2010) ketika waria meninggalkan lingkungan
keluarga karena tidak diterima secara sosial, ia
akan kehilangan kesempatan memperoleh
pendidikan dan di saat mulai muncul kebutuhan
hidup, maka yang dapat dilakukan adalah
eksploitasi diri dengan menjual seks, karena
waria tidak membutuhkan ketrampilan khusus
dalam menjalankan profesi ini. Dengan profesi
ini, waria mencoba menjalani hidup mandiri
tanpa tergantung orang lain. Keberadaan
komunitas waria yang berprofesi sebagai
pekerja seks komersial (PSK) turut memberikan
motivasi bagi waria muda yang cenderung
berprofesi sama karena terpengaruh oleh
sosialisasi didalamnya.
Waria yang berprofesi sebagai PSK sangat
banyak dijumpai dalam masyarakat. Meskipun
demikian terdapat kesadaran ataupun dorongan
untuk berhenti dari profesi tersebut. Hal ini
dijelaskan oleh hasil penelitian Kemenkes yang
commit to user
melaporkan diri menjual seks di empat dari lima
kota besar di Indonesia menunjukkan adanya
penurunan, tiga diantaranya cukup signifikan
(Kemenkes, 2007, 2011). Menurut Koeswinarno
(2004) seorang waria memiliki persepsi masa
depan yang biasanya ditentukan oleh indikator
usia, dimana semakin bertambahnya usia
menjadikan individu menginginkan lepas dari
profesi PSK.
Seorang waria yang telah berhenti menjadi
PSK akan mengalami perubahan-perubahan
tertentu dalam hidupnya sebagai suatu
konsekuensi. Perubahan-perubahan itu
diantaranya adalah perubahan pola perilaku
hubungan seksual. Perubahan juga terjadi dalam
penghasilan yaitu berkurangnya pendapatan
yang diperoleh dari dunia malam. Selain itu,
terdapat perubahan sosial yang terjadi pada
waria berupa perlakuan-perlakuan yang berasal
dari komunitas waria sesama PSK, keluarga dan
masyarakat luas.
Perubahan-perubahan yang dialami oleh
waria yang berhenti menjadi PSK dapat memicu
terjadinya stres. Stres dapat diartikan sebagai
pengalaman emosional negatif yang disertai
dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif,
dan perilaku yang diarahkan kepada
pengubahan kejadian penuh stres atau
menampung efek dari kejadian tersebut (Baum
dalam Taylor, 2009). Perubahan hidup menjadi
sumber stres bila perubahan tersebut menuntut
seseorang untuk menyesuaikan diri (Nevid,
Rathus, & Greene, 2005). Seorang waria yang
pada awalnya berprofesi sebagai PSK kemudian
berhenti menjalankan pekerjaan tersebut, akan
menghadapi tuntutan-tuntutan dari lingkungan
sebagai warga yang taat pada norma dan aturan
yang berlaku dalam masyarakat. Bagi seorang
waria, berhenti menjadi PSK bisa menjadi
sumber stres karena berbagai tekanan
psikososial, dimana persepsi dan sikap
masyarakat diwarnai oleh stereotip negatif bagi
keberadaan waria itu sendiri. Dengan profesi
selain PSK, seorang waria belum tentu dapat
diterima dan didukung eksistensinya dalam
masyarakat.
Setiap individu bereaksi secara
berbeda-beda terhadap stres, bergantung pada bagaimana
ia memaknai peristiwa yang menimbulkan stres
tersebut (Nevid dkk, 2005). Dalam proses
pemaknaan itu, seseorang akhirnya akan
menentukan suatu cara untuk menghadapi stres,
baik mengurangi, menghindari atau
menghilangkan stres tersebut. Folkman &
Moskowitz (dalam Taylor, 2009)
mendefinisikan coping sebagai pikiran dan
perilaku yang digunakan untuk mengelola
tuntutan internal dan eksternal dari situasi yang
dianggap penuh stres. Coping stres yang
digunakan oleh individu dalam menghadapi
stres dapat bervariasi sesuai dengan kepribadian
dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya stres.
DASAR TEORI
1. Stres
Stres merupakan keadaan yang terjadi jika
seseorang bertemu dengan peristiwa yang
dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik
dan psikologisnya (Atkinson, Atkinson, Smith,
Bem, & Nolen-Hoeksema, 1993). Stresor
merupakan istilah untuk peristiwa penyebab
commit to user
kemampuan adaptasi untuk menghadapi segala
tekanan dan peristiwa dalam kehidupan, namun
jika tekanan yang dihadapi tidak sesuai ataupun
melebihi batas kemampuan individu, hal ini
akan dianggap sebagai ancaman. Pada saat
inilah stres muncul dalam intensitas kecil
hingga besar, bergantung pada stresor dan
kemampuan individu untuk menghadapinya.
Sarafino (1998) membagi aspek stres
menjadi berikut ini:
a. Aspek biologis
b. Aspek psikososial
1) Sisi kognitif
2) Sisi emosional
3) Sistem sosial
Sarafino (1998) membagi
sumber-sumber stres menjadi berikut ini:
a. Sumber yang berasal dari diri individu
b. Sumber yang berasal dari keluarga
c. Sumber yang berasal dari komunitas dan
masyarakat
2. Coping Stres
Lahey (2009) mendefinisikan coping
sebagai usaha yang dilakukan individu untuk
berdamai dengan sumber stres dan atau
mengontrol reaksi individu terhadap sumber
stres tersebut. Usaha pengatasan stres dapat
diarahkan pada reaksi stres itu sendiri yang
berfokus pada sisi emosional, sehingga tidak
menimbulkan stres yang berkepanjangan.
Selanjutnya, usaha pengatasan stres berfokus
pada masalah atau peristiwa penyebab stres.
Individu akan berusaha untuk merubah atau
menghilangkan peristiwa penyebab stres
sehingga stres yang muncul dapat dieliminasi.
Lazarus & Folkman (1984) membagi
bentuk-bentuk coping menjadi berikut ini:
a. Emotion focused coping (coping
berfokus emosi)
Coping yang berfokus emosi dilakukan
pada proses kognitif yaitu diarahkan
pada pengurangan dan peningkatan
distress emosional. Hal ini dilakukan
melalui berbagai cara diantaranya :
1) penghindaran (avoidance)
2) pengambilan jarak (distancing)
3) perhatian khusus (selective attention)
4) penarikan nilai positif dari peristiwa
negatif (wresting positive value from
negative events)
b. Problem focused coping (coping
berfokus masalah)
Problem focused coping akan
mengarahkan coping pada sisi internal
dan eksternal dari suatu masalah, hal ini
berbeda dengan problem solving yang
hanya berorientasi pada penyelesaian
masalah atau fokus pada sisi eksternal
saja.
Coping stres yang dilakukan oleh seseorang
melalui suatu proses hingga stres yang muncul
dapat teratasi. proses coping dimulai dari
munculnya peristiwa penuh stres. Proses
selanjutnya adalah pemberian respon berupa
coping dilakukan untuk menyelesaikan masalah
sebagai sumber utama stres dan mengatur
emosi. Coping yang dilakukan oleh individu
harus mencakup fungsi tugas coping yaitu
mengurangi kondisi lingkungan yang
mengancam, menyesuaikan diri dengan
commit to user
mempertahankan gambaran diri positif (positive
self image), memperkuat keseimbangan
emosional, dan melanjutkan kepuasan terhadap
hubungannya dengan orang lain. Sedangkan
hasil coping yang diharapkan antara lain
keberfungsian psikologis, memulai kembali
aktivitas seperti biasa, dan kesehatan somatik.
Kemampuan mengatasi stres atau coping
seseorang bergantung pada beberapa faktor,
diantaranya oleh Taylor (2009) dijelaskan
sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Tingkat kemampuan menghadapi stres
dipengaruhi oleh faktor internal berupa
coping yang biasanya digunakan dan
faktor-faktor kepribadian masing-masing
individu.
b. Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang berasal dari
lingkungan atau dari luar individu.
3. Waria yang Berhenti Menjadi PSK
Koeswinarno (2004) menjelaskan tentang
alasan waria berhenti menjadi PSK,
diantaranya:
a. Usia
Waria memiliki pandangan bahwa
menjadi PSK bukanlah profesi yang
dapat dijalani seumur hidup. Pengguna
jasa layanan seksual waria akan lebih
tertarik pada waria yang usianya lebih
muda, sehingga seiring bertambahnya
usia, seorang waria akan tersisih dalam
dunia prostitusi.
b. Memiliki Suami
Pasangan yang dimiliki oleh waria
dibedakan menjadi dua, yaitu pacar dan
suami. Pacar hanya akan bertemu
sesekali dengan waria, sedangkan suami
telah tinggal serumah dan menjadi
kepala keluarga. Oleh karena itu, pacar
pada umumnya akan memperbolehkan
waria untuk berkecimpung dalam dunia
prostitusi, berbeda dengan suami yang
cenderung menginginkan waria untuk
berhenti dari profesi tersebut dan
mengarahkan agar mencari pekerjaan di
sektor informal lain.
Waria yang telah berhenti menjadi PSK
dan memilih untuk menjalani profesi lain akan
mengalami berbagai perubahan dalam berbagai
dimensi kehidupannya. Perubahan tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
a. Perubahan secara biologis
Aktivitas seksual yang dilakukan waria
dapat berkurang hingga berhenti sama
sekali. Padahal dorongan seksual akan
muncul terus-menerus pada setiap
individu.
b. Perubahan secara psikologis
Ruang sosial waria terbagi menjadi tiga,
yaitu lingkungan keluarga, masyarakat,
dan komunitas waria (Nadia, 2005).
Pada saat waria berhenti menjadi PSK,
individu akan memisahkan diri dari
komunitas waria yang memilih
berprofesi sebagai PSK. Sebagai
akibatnya, individu harus terjun ke
dalam masyarakat secara langsung.
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan
commit to user
suatu penelitian yang menyelidiki fenomena
didalam konteks kehidupan nyata dimana
batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak
dengan tegas dan multi sumber bukti
dimanfaatkan (Yin, 1997).
2. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada proses coping
stres pada waria yang telah berhenti menjadi
PSK. Hal ini mencakup bagaimana perubahan
fisik dan psikologis yang dialami subjek akibat
keadaan berhenti menjadi PSK serta bagaimana
faktor-faktor psikososial turut berperan dalam
tingkat stres yang dirasakan.
3. Operasionalisasi
Coping stres pada waria yang berhenti
menjadi PSK dioperasionalkan sebagai sebuah
proses dinamis meliputi serangkaian transaksi
antara individu dan lingkungan untuk
menghadapi stres yang diakibatkan oleh
keadaan berhenti menjadi PSK. Coping stres
dilakukan berdasarkan suatu tahapan yaitu
adanya sumber stres, penilaian dan interpretasi,
strategi dan respon coping, tugas coping, serta
hasil coping. Sumber stres yang dimaksud
adalah stresor yang berasal dari ruang sosial
diantaranya reaksi masyarakat, reaksi komunitas
waria yang memilih berprofesi sebagai waria,
dan reaksi keluarga saat mengetahui bahwa
individu tersebut tidak lagi menjalani profesi
sebagai PSK.
4. Subjek Penelitian
Karakteristik subjek dalam penelitian adalah
waria yang pernah menjadi PSK dan telah
berhenti dari profesi tersebut, dimana keadaan
berhenti menjadi PSK pada subjek tidak terkait
dengan faktor yang melatarbelakanginya
(keputusan sendiri, dorongan dari orang lain,
maupun keadaan biologis subjek), serta bersedia
menjadi subjek penelitian dengan
menandatangani informed consent.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode wawancara,
observasi, dan pengisian blanko riwayat hidup.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis data
kualitatif model Miles dan Huberman. Menurut
Miles dan Huberman (1992) terdapat tiga
macam kegiatan dalam analisis data kualitatif,
yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data merujuk pada proses
pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan,
abstraksi, dan pentransformasian data
lapangan yang telah diperoleh.
b. Penyajian Data
Penyajian data didefinisikan sebagai
suatu kumpulan informasi yang tersusun
untuk dilakukan pendeskripsian kesimpulan.
c. Penarikan Kesimpulan
Peneliti mencatat secara rinci hal-hal
yang ditemui di lapangan selama
pengambilan data berlangsung. Pada saat
pengambilan data berakhir, catatan tersebut
bersama dengan data yang diperoleh di
lapangan, ditelaah kembali untuk
mendapatkan suatu simpulan akhir.
HASIL
1. Hasil Penelitian
commit to user 1) Subjek 1 (DW)
Subjek 1 merupakan anak kedua dari
empat bersaudara. Subjek merupakan
anak kembar identik dengan jenis
kelamin laki-laki. Ayah subjek 1
berprofesi sebagai tentara angkatan laut
dan ibu subjek 1 sebagai guru. Dalam
memberikan pengasuhan, ayah mendidik
dengan cara yang keras sehingga subjek
1 lebih dekat dengan sosok ibu. Subjek 1
mulai terlibat pergaulan dengan waria
saat menginjak kelas dua SMP ketika
diajak teman-temannya untuk keluar
pada malam hari. Subjek 1 melanjutkan
sekolahnya hingga kelas tiga SMA
namun tidak sampai lulus karena
melarikan diri dari rumah bersama
dengan pacarnya. Pada tahun 2000,
subjek 1 pindah ke kota Solo bersama
dengan pasangannya. Subjek pernah
menjalani profesi sebagai karyawan
salon di Surabaya dan saat ini sebagai
pengamen di Solo dan sekitarnya.
2) Subjek 2 (ED)
Subjek 2 merupakan anak ketiga dari
enam bersaudara. Ayah dan ibu bekerja
sebagai buruh, dan ibunya telah
meninggal sejak subjek masih kecil.
Karena itu, sejak kecil subjek diangkat
sebagai anak oleh tetangganya. Ibu tiri
subjek memiliki usaha pembuatan tahu,
dan subjek 2 sehari-hari membantu
sebelum berangkat sekolah. Pendidikan
subjek hingga SMP, namun tidak lulus
karena tidak memiliki biaya untuk
bersekolah. Subjek 2 sejak kecil hingga
dewasa tinggal di kota Solo dan tidak
pernah merantau ke kota lain. Subjek 2
memiliki riwayat pekerjaan di pabrik roti
dan karyawan salon. Saat ini kegiatan
subjek 2 sehari-hari yaitu bekerja di
salon dan membantu usaha pembuatan
tahu di rumah.
b. Latar Belakang Menjadi PSK
Subjek 1 dan 2 sama-sama
mendapatkan pengaruh dari komunitas
waria yang berprofesi menjadi PSK,
hingga akhirnya kedua subjek
mengidentifikasikan diri sebagai waria.
Subjek 1 memasuki dunia malam saat
masih bersekolah di bangku SMP.
Sedangkan subjek 2 mulai tertarik
dengan dunia malam saat berusia 19
tahun dan telah putus sekolah. Proses
coming out yang dijalani oleh keduanya
mendapat dukungan dari komunitas
waria. Subjek 1 merahasiakan identitas
diri waria dari keluarga, sedangkan
subjek 2 cenderung acuh saat keluarga
mengetahui identitas dirinya sebagai
waria.
c. Proses Berhenti Menjadi PSK
Kedua subjek mendapat vonis positif
HIV saat menjalani profesi sebagai PSK.
Subjek 1 memiliki keinginan untuk
berhenti dari profesi PSK karena
memiliki pilihan untuk menjalani profesi
lain sebagai pengamen. Berbeda dengan
subjek 2 yang tetap menjalani profesinya
sebagai PSK karena tidak memiliki
pilihan pekerjaan lain. Kedua subjek
commit to user
seorang sahabat sesama waria yang
mendorong agar meninggalkan profesi
PSK. Subjek 1 mendapat dukungan
sosial dari sahabatnya hingga akhirnya
yakin untuk meninggalkan profesi PSK,
sedangkan subjek 2 dibantu sahabatnya
agar mendapat pekerjaan sebagai
karyawan salon.
d. Sumber Stres
Subjek 1 mengalami stres dari
perubahan biologis dan psikologis yang
dialami. Pada saat subjek 1 berhenti
menjadi PSK, subjek tidak memiliki
pasangan sehingga dorongan seksual
tetap dirasakan, namun tidak tersalurkan.
Subjek mengalami perubahan psikologis
yaitu konflik yang berasal dari diri
sendiri dan konflik dengan lingkungan.
Berbeda dengan subjek 2 yang hanya
mengalami perubahan psikologis yaitu
konflik dengan teman-teman komunitas
waria yang berprofesi sebagai PSK.
Subjek 2 tidak mengalami perubahan
biologis karena saat berhenti menjadi
PSK memiliki pasangan sehingga tidak
mengalami perubahan frekuensi
hubungan seks.
e. Identifikasi Proses Coping Stres
1) Penilaian dan Interpretasi
Kedua subjek merasakan stres sejak
mendapat vonis positif HIV. Subjek 1
merasa tertekan karena takut akan
kematian karena vonis tersebut,
sedangkan subjek 2 memilih untuk
mengacuhkan saran dari dokter untuk
mengkonsumsi obat ARV
(antiretroviral) untuk menjaga kekebalan
tubuh penderita HIV. Subjek 2 berusaha
melakukan penolakan atas kondisinya
tersebut dengan menutup diri saat
memperoleh saran kesehatan dari dokter
ataupun sahabatnya.
2) Strategi dan Respon Coping
Subjek 1 menggunakan Emotional
focused coping dan Problem focused
coping dalam mengatasi stres yang
dialami. Subjek 1 pada awalnya
menutup diri dari lingkungan dan
mengurangi aktivitas yang membuatnya
bertemu dengan banyak orang di
lingkungan rumahnya. Setelah mendapat
dukungan sosial dari sahabatnya, subjek
1 melakukan langkah-langkah untuk
memperbaiki perilaku seksualnya
dengan berhenti menjadi PSK. Berbeda
dengan subjek 2 yang cenderung
menggunakan Emotional focused coping
saat mengalami stres, bahkan setelah
mendapat dukungan untuk mencari
pekerjaan lain dari seorang sahabatnya.
3) Tugas Coping
Subjek 1 cenderung mudah larut
dalam emosi saat mengalami stres. Hal
ini ditunjukkan dalam interaksi yang
berbeda dengan lingkungan sosial, yaitu
mudah marah dan mengungkapkannya
dengan cara bicara yang keras. Di sisi
lain subjek 1 tetap dapat berpikiran
positif dan menyelesaikan masalah yang
menjadi sumber stres. Subjek 2
cenderung menyembunyikan
commit to user
berusaha bersikap sewajarnya. Jika stres
yang dirasakan berat, subjek 2 akan
“menghilang” selama beberapa hari
untuk meredakan stres. Subjek 2 merasa
belum mampu menyelesaikan masalah
yang menjadi sumber stres yang
dialaminya.
4) Hasil Coping
Subjek 1 dapat langsung kembali pada
rutinitas saat masalah yang menjadi sumber
stres berhasil diselesaikan. Namun ketika
permasalahan tersebut melibatkan orang lain,
subjek 1 membutuhkan waktu satu hingga
dua bulan untuk kembali berinteraksi sosial.
Sedangkan subjek 2 membutuhkan waktu
satu hingga dua hari untuk kembali pada
rutinitas dan interaksi sosial saat kondisi stres
telah berhasil dilalui.
PEMBAHASAN
Riwayat profesi kedua subjek sebagai
PSK memiliki perbedaan. Subjek 1 (DW)
menutupi keadaannya sebagai waria dan
memilih untuk berprofesi sebagai PSK saat
melarikan diri dari rumah dengan pasangannya.
Sedangkan subjek 2 (ED) cenderung terbuka
pada keluarga dengan identitasnya sebagai
waria dan memilih pekerjaan PSK agar dapat
berkumpul dengan teman-teman sesama waria.
Nadia (2005) menjelaskan bahwa pola
perlakuan yang diberikan pada individu waria
akan menentukan perkembangan waria dalam
keluarga. Subjek 1 cenderung menutupi
keadaannya sebagai waria pada keluarganya
karena takut tidak diterima. Sedangkan subjek 2
sejak awal terbuka pada keluarganya dan tidak
mendapatkan penolakan, sehingga subjek 2
merasa nyaman berada di tengah-tengah
keluarga.
Sarafino (1998) menjelaskan bahwa
salah satu sumber stres adalah konflik yang
berasal dari diri sendiri. Hal ini terjadi pada
subjek 1 yang merasa tertekan saat menerima
vonis positif HIV. Meski subjek 1 telah
berprofesi sebagai pengamen, ia menerima
tawaran untuk memberikan jasa seksual jika
diminta. Hal ini karena terjadi konflik dalam
diri subjek 1 antara kebutuhan seksual yang
tetap ada dengan ketiadaan pasangan. Subjek 2
cenderung lebih toleran pada kondisi stres
dengan latar belakang yang ia miliki, sehingga
ia memilih untuk bersikap tidak peduli saat
mendapat vonis HIV dan berusaha menolak
keadaan tersebut dengan bersikap seperti biasa
dalam menjalani kehidupannya. Sikap subjek 2
terhadap pekerjaan barunya cenderung lebih
positif. Namun demikian pada diri subjek 2
terjadi konflik karena perasaan kurang mampu
untuk menjalani profesi yang baru. Jadwal kerja
yang menyita banyak waktu dan tenaga juga
membuat subjek 2 kurang dapat bersosialisasi
dengan teman sesama waria. Nadia (2005)
menjelaskan bahwa salah satu ruang sosial
waria adalah cebongan yaitu lokasi prostitusi
untuk waria. Di cebongan waria diterima
sepenuhnya tanpa adanya penolakan. Saat kedua
subjek menemukan profesi yang baru,
kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman
sesama waria menjadi berkurang. Hal ini
menjadi tekanan bagi subjek 2 karena dianggap
commit to user
Subjek 1 menilai kondisinya yang telah
positif HIV membuatnya tertekan. Subjek 1
mengalami konflik dalam dirinya sendiri,
sependapat dengan Sarafino (1998) yang
menjelaskan tentang sumber stres.
Kondisi-kondisi yang menyertai setelah vonis positif
diberikan, membuat stres yang dirasakan oleh
subjek menjadi bertambah. Sedangkan subjek 2
telah merasakan stres sejak menerima vonis
HIV namun berusaha untuk menutupinya dari
orang lain. Selain itu, subjek 2 juga merasakan
stres karena tekanan yang berasal dari
komunitas waria. Subjek 2 yang berhenti
menjadi PSK karena dorongan dari orang lain
tetap memiliki keinginan untuk berkumpul
bersama dengan teman-teman sesama waria,
namun pekerjaannya yang menyita banyak
waktu membuatnya kelelahan sehingga ia tidak
bisa bersosialisasi dalam komunitas waria di
malam hari.
Strategi dan respon coping yang
dilakukan oleh kedua subjek cenderung
berbeda. Subjek 1 menggunakan bentuk coping
yang berfokus pada emosi saat awal mendapat
vonis positif HIV. Ketika mendapatkan
dukungan sosial dari seorang teman, subjek 1
kemudian beralih menggunakan coping yang
berfokus pada masalah. Subjek 1 menyadari
bahwa dirinya memiliki virus tersebut karena
hubungan seks bebas yang sering dilakukan
karena profesinya sebagai PSK. Subjek 1
mengambil keputusan untuk berhenti menjadi
PSK, sehingga tidak menularkan virusnya pada
orang lain. Namun kemudian muncul keinginan
untuk melakukan aktivitas seksual, karena
subjek 1 tidak memiliki pasangan untuk
memenuhi kebutuhannya. Pertentangan antara
keadaan subjek 1 sebagai ODHA dan keinginan
seksual yang tetap harus dipenuhi membuat
subjek kembali mengalami stres. Subjek 1
menggunakan bentuk coping yang berfokus
pada masalah untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya. Subjek 1
cenderung menerima tawaran untuk
memberikan jasa seksual saat sedang
mengamen. Meskipun demikian, subjek
membatasi diri dengan calon pelanggan yang
menggunakan kondom, jika pelanggan tidak
mau menggunakan kondom, subjek memilih
untuk tidak menyanggupi tawaran tersebut.
Strategi dan respon coping yang
dilakukan oleh subjek 2 lebih terfokus pada
emosi. Subjek 2 dengan kepribadiannya yang
tidak mudah peduli dengan pendapat orang lain
dan latar belakang keluarga yang memiliki
banyak permasalahan membuatnya mudah
untuk bertoleransi dengan kondisi stres. Hal ini
sependapat dengan yang dijelaskan oleh Lahey
(2009) bahwa pengalaman stres yang dimiliki
individu akan menurunkan reaksinya terhadap
stres. Karena subjek 2 menggunakan emotion
focused coping, permasalahan yang
membutuhkan penyelesaian dengan tindakan
menjadi tidak tuntas. Subjek 2 memilih untuk
menghindar dari permasalahan tersebut
(avoidance), dan dilakukan secara terus
menerus hingga permasalahan tersebut dianggap
usai. Jika subjek 2 memiliki masalah dengan
keluarga, ia akan memilih untuk pergi dari
rumah selama beberapa hari.
Taylor (2009) menjelaskan bahwa tugas
commit to user
mengurangi ancaman dari kondisi lingkungan,
mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan
kenyataan, mempertahankan gambaran diri
positif, memperkuat keseimbangan emosional,
dan melanjutkan kepuasan terhadap
hubungannya dengan orang lain. Usaha coping
stres yang dilakukan oleh kedua subjek dapat
memenuhi tugas coping tersebut, meskipun
tidak mencakup secara keseluruhan. Subjek 1
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi stres
dan mempertahankan gambaran diri positif
dalam menyelesaikan permasalahan yang
menjadi sumber stres. Namun demikian, dalam
melakukan usaha coping, subjek 1 cenderung
belum dapat memperkuat keseimbangan secara
emosional dan melanjutkan kepuasannya pada
hubungan dengan orang lain. Hal ini
ditunjukkan melalui reaksi emosional subjek 1
saat berusaha untuk menyelesaikan masalah
dengan orang lain. Subjek 2 melalui usaha
coping stres yang dilakukan dapat memenuhi
tugas coping yaitu mampu mentoleransi
kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
Namun subjek 2 cenderung kurang dapat
mempertahankan gambaran dirinya secara
positif dan merasa tidak mampu untuk
mengatasi masalah yang menjadi sumber stres
yang dialaminya.
Hasil coping yang dijelaskan oleh Taylor
(2009) diantaranya keberfungsian psikologis,
kembali pada rutinitas, dan kesehatan somatik.
Pada subjek 1 setelah melewati kondisi stres, ia
mampu untuk kembali pada rutinitas dalam
waktu yang agak lama dibandingkan dengan
subjek 2. Subjek 1 mampu kembali pada
kegiatannya sehari-hari dan berinteraksi dengan
lingkungan sosial di lingkungannya dalam
waktu satu hingga dua bulan. Kemampuan
subjek 1 untuk kembali pada interaksi sosial
ditentukan oleh tugas coping yang belum dapat
terpenuhi, yaitu memperkuat kestabilan
emosional dan melanjutkan kepuasan terhadap
hubungannya dengan orang lain. Berbeda
dengan subjek 2 yang cenderung mudah untuk
kembali berinteraksi dengan orang lain saat
kondisi stres telah berlalu. Namun demikian,
subjek 2 tidak dapat menyelesaikan masalah
yang menjadi sumber stres yang dialami karena
coping yang dilakukan hanya berfokus pada
kondisi emosinya saja.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Masing-masing subjek memiliki tingkat
stres yang berbeda dalam menyikapi perubahan
profesi yang dijalankan, dimana subjek 1
merasakan stres yang lebih berat dibandingkan
subjek 2. Coping yang dilakukan oleh kedua
subjek memiliki persamaan di awal kondisi stres
muncul, yaitu menggunakan emotion focused
coping. Pada subjek 1 setelah mendapat
dukungan dari orang lain akan cenderung
menggunakan problem focused coping, berbeda
dengan subjek 2 yang tetap menggunakan
emotion focused coping hingga kondisi stres
berlalu. Pada dasarnya kedua subjek telah
mampu untuk menghadapi tekanan yang
dialami. Subjek 1 mengalami kekhawatiran
yang besar, merasa terpuruk dan berusaha
menutup diri dari lingkungan, sehingga rutinitas
yang dilakukan menjadi terhambat. Sedangkan
commit to user
dari kondisi tersebut dengan cara berusaha
menjalani rutinitas sehari-sehari seperti biasa.
Subjek 1 berhenti menjadi PSK atas
keputusannya sendiri, sedangkan subjek 2
berhenti menjalani profesi PSK atas saran dan
dukungan dari seorang teman. Meskipun
demikian, tekanan atau stres yang dirasakan
oleh kedua subjek berasal dari poin peristiwa
yang sama. Stres yang dirasakan subjek 1
berawal sejak ia mendapat vonis positif HIV
hingga penyesuaian fisik, psikologis, dan sosial
dari profesinya yang baru sebagai pengamen.
Sedangkan stres yang dirasakan subjek 2 yaitu
sejak ia melakukan penghindaran atas kondisi
terinfeksi HIV, dan terus berlanjut hingga
mendapat reaksi negatif dari komunitas waria
atas kesibukannya yang baru sebagai karyawan
salon.
2. Saran
a. Bagi Subjek
Masing-masing subjek diharapkan dapat
memandang kemampuan yang dimiliki
dalam menghadapi stres secara lebih positif,
sehingga dapat menjalankan tugas coping
yang ada.
b. Bagi Komunitas Waria
Diharapkan lebih memahami dan menerima
anggota komunitas yang beralih profesi dari
PSK ke profesi yang lain. Penerimaan yang
diberikan oleh komunitas waria dapat
memberikan dukungan sosial pada individu
waria.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat mampu membuka
pandangan baru tentang profesi yang
dilakukan oleh waria. Bahwasanya profesi
selain PSK juga dapat dijalankan oleh waria.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan ada penelitian lanjutan
mengenai perbedaan coping yang dilakukan
saat waria masih menjalani profesi PSK dan
setelah berhenti menjadi PSK.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L., Richard C. A., Edward E. S.,
Daryl J. B., & Susan N. H. (1993).
Pengantar Psikologi (11th edition).
Batam Centre: Interaksara.
Junaidi, I. (2012). Anomali Jiwa: Cara mudah
mengetahui penyimpangan jiwa dan
perilaku tidak normal lainnya.
Yogyakarta: Andi Offset.
Kemenkes. (2007). Surveilans Terpadu-Biologis
Perilaku pada Kelompok Berisiko
Tinggi di Indonesia: Rangkuman
Surveilans Waria. Laporan Penelitian.
Diambil dari www.kemenkes.go.id
Kemenkes. (2011). Surveilans Terpadu-Biologis
Perilaku pada Kelompok Berisiko
Tinggi di Indonesia: Rangkuman
Surveilans Waria. Laporan Penelitian.
Diambil dari www.kemenkes.go.id
Koeswinarno. (2004). Hidup Sebagai Waria.
Yogyakarta: LKiS.
Lahey, B. B. (2009). Psychology: An
Introduction (10th edition). New York:
McGraw Hill.
Lazarus, R. S. dan Susan F. (1984). Stress,
Appraisal, and Coping. New York:
commit to user
Miles, M.B. dan Michael A.H. (1992). Analisis
Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Nadia, Z. (2005). Waria: Laknat atau Kodrat?
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Nevid, J. S., Spencer A. R., & Beverly G.
(2005). Psikologi Abnormal (5thedition).
Jakarta: Erlangga. Nevid, J. S., Spencer
A. R., & Beverly G. (2005). Psikologi
Abnormal (5th edition). Jakarta:
Erlangga.
Pahlawani, N. & Susatyo Y. (2010). Dinamika
Psikologis Harga Diri pada Waria.
Jurnal: Indigenous Vol. 12 (2).
Sarafino, E. P. (1998). Health Psychology,
Biopsychososial Interactions (3rd
edition). New York: John Wiley & Sons,
Inc.
Taylor, S. E. (2009). Health Psychology (7th
edition). New York: McGraw Hill.
Yash. (2003). Transeksual: Sebuah Studi Kasus
Perkembangan Transeksual Perempuan
ke Laki-laki. Semarang: Penerbit Aini.
Yin, R. K. (1997). Studi Kasus: Desain dan
Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.