• Tidak ada hasil yang ditemukan

COPING STRESS PADA ISTRI YANG DITINGGAL DINAS SUAMI BERTUGAS SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "COPING STRESS PADA ISTRI YANG DITINGGAL DINAS SUAMI BERTUGAS SKRIPSI"

Copied!
418
0
0

Teks penuh

(1)

COPING STRESS PADA ISTRI YANG DITINGGAL DINAS

SUAMI BERTUGAS

SKRIPSI

Disusun oleh:

RETNO DWI NUGRAHENI F.131.15.0219

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SEMARANG

SEMARANG 2019

(2)

ii

COPING STRESS PADA ISTRI YANG DITINGGAL DINAS

SUAMI BERTUGAS

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Semarang sebagai syarat guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi

Disusun oleh:

RETNO DWI NUGRAHENI F.131.15.0219

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SEMARANG

SEMARANG 2019

(3)

iii

ESSAY

COPING STRESS ON THE WIFE LEFT BY THE HUSBAND'S ON DUTY

Submitted to The Psychology Faculty of Semarang University as condition for obtaining a Bachelor of Psychology degree

Created by:

RETNO DWI NUGRAHENI F.131.15.0219

THE PSYCHOLOGY FACULTY SEMARANG UNIVERSITY

SEMARANG

(4)
(5)
(6)

vi

Untuk papah dan mamah yang ada di surga,

Skripsi ini penulis dedikasikan untuk papa mama, walaupun selama pembuatan skripsi ini papa mama tidak ada bersama penulis dan penulis sempat menyerah untuk menyelesaikan sampai akhir, tapi ketika penulis mengingat kembali pesan papa mama, penulis berusaha sekuat tenaga untuk sampai di garis

finish agar penulis bisa membanggakan papa dan mamah di surga, I miss you so much.

Untuk kakak penulis, Terima kasih untuk doa, support dan semangat yang selalu diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, terima kasih telah mengingatkan penulis bahwa penulis tidak pernah sendiri karena masih memiliki kakak yang luar biasa menyayangi penulis dan selalu mendukung apa yang menjadi keinginan penulis.

Juga teman-teman dan sahabat penulis yang menjadi teman suka dan duka, yang selalu saling memberikan semangat untuk sampai

ke garis finish.

Untuk ibu Yaya yang selalu membimbing dengan sabar dan selalu berusaha meluangkan waktu untuk penulis.

(7)

vii

HALAMAN MOTTO

God is good

Rancangan Tuhan selalu baik dan lebih baik daripada rancangan manusia

Jangan berharap pada manusia tetapi selalu berharap kepada Tuhan

Jangan menunggu saat yang tepat untuk berbuat baik karena tidak ada alasan untuk melakukan perbuatan baik

(8)

viii

karena tak lepas dari penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Coping Stress Pada Istri Yang Ditinggal Dinas Suami Bertugas”. Pada kesempatan ini, penulis juga berterima kasih dan mengapresiasi dukungann serta kerjasama dari:

1. Dr. Luciana Rini Sugiarti, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

2. Dr. Mulya Virgonita IW, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing yang dengan sabar menuntun penulis memberikan waktu, saran dan masukan. 3. Rusmalia Dewi, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku dosen wali yang mendukung

sejak semester satu hingga saat ini.

4. Agung Santoso Pribadi, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Gusti Yuli Asih, S.Psi., M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan sehingga penulisan Skripsi menjadi lebih baik.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen, Staff dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Semarang yang telah membekali penulis dengan ilmu dan semangat.

6. Ketiga subjek penelitian dan keenam informan penelitian yang telah bersedia secara kooperatif membantu memberikan data penelitian sehingga penulisan Skripsi dapat berjalan baik.

(9)
(10)

x

suami istri bertujuan ingin membentuk sebuah keluarga yang bahagia yang hidup dalam satu rumah dan dapat berkumpul bersama suami, istri dan anak. Dalam mencapai tujuan perkawinan tidaklah mudah dan banyak mengalami rintangan- rintangan dan berbagai macam permasalahan mulai dari masalah anak, ekonomi, kesehatan sampai pekerjaan maka tidak jarang masalah tersebut akhirnya memisahkan pasangan suami istri berada di dua daerah yang terpisah dalam kurun waktu tertentu sehingga harus menjalani hubungan pernikahan jarak jauh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana gambaran coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas serta faktor apa saja yang mempengaruhi

coping stress. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, fenomenologi.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dan menggunakan enam informan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga subjek memiliki gambaran coping stress yang berbeda-beda tergantung bagaimana situasi yang sedang dihadapi. Ketiga subjek mengkombinasikan emotional focused coping dan

problem focused coping dalam mengatasi stres. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah faktor internal kognitif, karakteristik kepribadaian, faktor

eksternal dukungan sosial dan tekanan dari luar.

(11)

xi

ABSTRACT

An adult man and woman who decides to become a married couple aims to form a happy family that lives in one house and can gather with their husband, wife and children. In achieving the goal of marriage is not easy and many obstacles and various kinds of problems ranging from problems of children, economics, health to work, it is not uncommon that the problem finally separates the couple in two separate areas within a certain period of time so they must undergo a relationship long distance marriage. The purpose of this study is to find out how the picture of coping stress on the wife left by the husband on duty as well as what factors affect coping stress. This research uses qualitative methods, phenomenology. The subjects in this study were three people and used six research informants. The results showed that the three subjects had different coping stress images depending on how the situation was being faced. All three subjects combined emotional focused coping and problem focused coping in dealing with stress. Factors that influence coping stress are internal cognitive factors, personality characteristics, external factors, social support and external pressure.

(12)

xii COVER ... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iv HALAMAN PERNYATAAN ... v HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN ... 18

A. Coping Stress ... 18

1. Pengertian coping stress... 18

(13)

xiii

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi coping stress ... 25

B. Long Distance Marriage Istri yang Ditinggal Suami Bertugas ... 28

C. Coping Stress Pada Istri yang Ditinggal Dinas Suami Bertugas ... 31

D. Kerangka Teori Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Metode Penelitian Kualitatif ... 34

B. Fokus Penelitian ... 36

C. Subjek Penelitian... 36

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

1. Observasi ... 39

2. Wawancara ... 40

E. Rancangan Penelitian ... 44

1. Persiapan Penelitian ... 44

2. Pelaksanaan Penelitian ... 45

F. Metode Analisa Data ... 46

G. Keabsahan Data ... 47

H. Pertanyaan Penelitian ... 49

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 54

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 54

B. Pelaksanaan Penelitian ... 55

1. Fase eksploratori ... 55

2. Fase penelitian utama ... 56

(14)

xiv

F. Analisis per Tema ... 124

G. Pembahasan Umum... 131 BAB V PENUTUP... 145 A. Simpulan ... 145 B. Saran... 147 DAFTAR PUSTAKA ... 149 LAMPIRAN ... 151

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rincian Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 58

Tabel 2 Latar Belakang Subjek ... 67

Tabel 3 Seeking of emotional social support ... 69

Tabel 4 Distancing dan escape avoidance ... 71

Tabel 5 Self control ... 73

Tabel 6 Accepting responsibility ... 75

Tabel 7 Seeking informational support ... 77

Tabel 8 Confrontive coping ... 78

Tabel 9 Planful problem solving ... 80

Tabel 10 Faktor internal kognitif ... 81

Tabel 11 Faktor internal karakteristik kepribadian ... 84

Tabel 12 Faktor eksternal dukungan sosial ... 85

Tabel 13 Faktor eksternal tekanan dari luar ... 86

Tabel 14 Gambaran coping stress ... 87

Tabel 15 Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress ... 94

Tabel 16 Rangkuman hasil wawancara emotion focused coping ... 105

Tabel 17 Rangkuman hasil wawancara problem focused coping ... 107

Tabel 18 Rangkuman hasil wawancara faktor internal ... 108

Tabel 19 Rangkuman hasil wawancara faktor eksternal ... 109

Tabel 20 Uji keabsahan data subjek 1 ... 110

Tabel 21 Uji keabsahan data subjek 2 ... 113

(16)
(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Verbatim subjek 1 pertemuan 1 ... 152

2. Lampiran 2 Verbatim subjek 1 pertemuan 2 ... 182

3. Lampiran 3 Verbatim subjek 1 pertemuan 3 ... 191

4. Lampiran 4 Verbatim subjek 2 pertemuan 1 ... 203

5. Lampiran 5 Verbatim subjek 2 pertemuan 2 ... 239

6. Lampiran 6 Verbatim subjek 2 pertemuan 3 ... 255

7. Lampiran 7 Verbatim subjek 3 pertemuan 1 ... 261

8. Lampiran 8 Verbatim subjek 3 pertemuan 2 ... 280

9. Lampiran 9 Verbatim subjek 3 pertemuan 3 ... 293

10. Lampiran 10 Verbatim informan penelitian 1 subjek 1 ... 298

11. Lampiran 11 Verbatim informan penelitian 2 subjek 1 ... 307

12. Lampiran 12 Verbatim informan penelitian 1 subjek 2 ... 317

13. Lampiran 13 Verbatim informan penelitian 2 subjek 2 ... 332

14. Lampiran 14 Verbatim informan penelitian 1 subjek 3 ... 342

15. Lampiran 15 Verbatim informan penelitian 2 subjek 3 ... 348

16. Lampiran 16 Data observasi subjek 1 ... 358

17. Lampiran Data observasi subjek 2 ... 363

18. Lampiran Data observasi subjek 3 ... 369

19. Lampiran 19 Pertanyaan probing subjek penelitian ... 376

20. Lampiran 20 Pertanyaan informan penelitian ... 383

21. Lampiran 21 Informed consent ... 385

(18)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan salah satu hal terpenting bagi laki-laki dan perempuan, dalam pernikahan setiap pasangan berkomitmen untuk hidup dan tinggal bersama, menghabiskan banyak waktu dengan keluarga. Dalam suatu pernikahan seringkali muncul banyak masalah yang harus dihadapi bersama. Permasalahan yang awalnya terlihat sederhana dapat menjadi rumit dan kompleks, misalnya sepasang suami-istri yang tidak bisa tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama, seperti suami yang harus ditempatkan atau ditugaskan jauh dari istri dan keluarga. Dalam kondisi demikian istri harus mengurus pekerjaan rumah tangga, mengurus anak sendiri, mengantarkan sekolah dan lain-lain. Belum lagi jika istri bekerja akan muncul banyak kendala seperti tuntutan pekerjaan yang menyita waktu, tenaga dan pikiran, jika kendala tersebut tidak dapat ditanggulangi dengan baik maka akan menimbulkan dampak stres pada istri.

Handayani (2016: 518) menyebutkan long distance marriage atau pernikahan jarak jauh adalah suatu situasi pasangan yang terpisah secara fisik, dimana salah satu pasangan harus pergi ketempat lain untuk kepentingan tertentu seperti bekerja dan pasangan yang lain harus tetap tinggal di rumah atau di daerah asalnya. Menjalin hubungan pernikahan jarak jauh bukanlah persoalan yang mudah dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah yang memiliki intensitas waktu bertemu hampir setiap hari. Intensitas kebersamaan yang berkurang akan sulit untuk membangun keintiman dalam keluarga serta dapat

(19)

menimbulkan konflik-konflik tertentu akibat tidak terpenuhinya kebutuhan bersama. Faktor jarak yang jauh serta komunikasi yang terbatas akan menimbulkan masalah jika suami atau istri tidak saling terbuka, tidak memiliki komitmen dan tidak membangun kepercayaan satu sama lain, sehingga dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan.

Mijilputri (2015: 478) mengatakan terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh istri ketika menjalani pernikahan jarak jauh yaitu masalah komunikasi sampai masalah perasaan yang dirasakan oleh istri seperti masalah komunikasi yaitu ketika suami sedang sibuk bekerja dan istri ingin menceritakan masalah yang dihadapi tidak bisa langsung diungkapkan atau hanya sekedar ingin mendengar suara suami karena rasa rindu dan perasaan bersalah, khawatir dengan keadaan suami dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kelelahan mengurus anak tanpa dampingan suami juga menjadi masalah yang dihadapi istri yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh. Pernikahan jarak jauh menyebabkan istri mengalami kesepian karena ditinggal oleh suaminya dalam waktu berbulan- bulan lamanya. Keterpisahan fisik dengan suami menjadi pengalaman yang menyakitkan dan dapat mempengaruhi hampir setiap sisi dalam kehidupan, selain itu dukungan sosial juga mempengaruhi tingkat stres yang dialami istri. Rook (dalam Mijilputri, 2015: 480) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan interpersonal. Seseorang yang didukung oleh lingkungan maka segalanya akan terasa lebih mudah. Dukungan sosial yang diterima dapat

(20)

membuat individu merasa tenang, diperhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan kompeten.

Menurut Feldman (2012: 211) kebanyakan dari masyarakat memerlukan sedikit perkenalan dengan fenomena yang disebut dengan stres. Stres adalah respon seseorang terhadap kejadian yang mengancam atau menantang yang sangat personal dan dapat muncul dalam tiga tipe stressor yaitu stressor akibat bencana,

stressor personal dan stressor gangguan stres pasca trauma. Sependapat dengan

Feldman, Helmi (dalam Safira dan Saputra, 2009: 27) menjelaskan sebelum membahas pengertian stres harus memahami komponen stres terlebih dahulu yaitu

stressor, proses (interaksi) dan respon stres. Stressor adalah situasi atau stimulus

yang mengancam kesejahterahan individu. Proses stres merupakan mekanisme interaktif yang dimulai dari datangnya stressor sampai munculnya respon stres. Respon stres adalah reaksi yang muncul. Ada empat macam reaksi stres yaitu reaksi psikologis, fisiologis, proses berfikir dan tingkah laku. Ke empat macam reaksi ini dalam perwujudannya dapat bersifat positif, tetapi juga dapat berwujud negatif.

Menurut Mashudi (2012: 183, 190-193) stres merupakan fenomena psikofisik yang manusiawi, artinya bersifat inheren pada diri setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Stres dialami oleh setiap orang dengan tidak mengenal jenis kelamin, usia, kedudukan, jabatan, atau status sosial-ekonomi. Stres dapat muncul pada setiap periode kehidupan baik pada masa bayi, pada masa anak, pada masa remaja dan pada masa dewasa, pejabat atau warga masyarakat biasa, pengusaha atau karyawan, pria atau wanita. Gejala stres yang

(21)

timbul dapat dilihat dari gejala fisik maupun psikis. Gejala fisik biasanya ditandai dengan sakit kepala, sakit lambung (maag), hipertensi (darah tinggi), jantung berdebar–debar, insomnia (sulit tidur), mudah lelah, keluar keringat dingin, kurang selera makan dan sering buang air kecil, sedangkan gejala psikis meliputi gelisah atau cemas, kurang dapat berkonsentrasi dalam belajar atau bekerja, sikap apatis (masa bodoh), sikap pesimis, hilang rasa humor, bungkam seribu bahasa, malas belajar atau bekerja, sering melamun, dan sering marah–marah atau bersikap agresif (baik secara verbal maupun nonverbal).

Seseorang yang mampu bertahan dalam suatu tekanan dan berusaha melakukan hal-hal yang efektif untuk mengatasi masalahnya disebut dengan

coping atau biasa disebut dengan manajemen stres. Radlye (dalam Lestari, 2014:

3) menyatakan istilah coping stress dapat diartikan sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan stres. Lazarus dan Folkman (dalam Lestari, 2014: 5) menjelaskan bahwa coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber data yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stresfull (situasi yang penuh tekanan). Perilaku coping ada dua macam yaitu problem focused coping yaitu coping yang berfokus pada masalah dan

emotion focused coping yaitu coping yang berfokus pada emosi.

Dalam proses analisis yang dilakukan peneliti terhadap ketiga subjek penelitian menunjukan coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami

(22)

bertugas berbeda-beda. Subjek pertama yaitu ND adalah seorang istri dari suami yang menjadi anggota TNI. Selama dua tahun pernikahannya subjek dikaruniai seorang anak laki-laki yang berumur dua setengah tahun. Setelah melahirkan, subjek langsung ditinggal dinas suami selama satu tahun ke Libanon. Subjek menceritakan, mau tidak mau harus menerima saat suami ditugaskan untuk berangkat ke Libanon karena itu adalah sebuah perintah yang harus ditaati dan dijalani oleh suami subjek (KB:HW/S1/B394-403). Dampak hubungan jarak jauh sangat dirasakan oleh subjek sehingga subjek mengalami stres, karena harus menjalani perubahan kehidupan yang biasanya ada suami, tetapi sekarang harus menjalani hari-hari sendiri dengan mengurus anak yang masih kecil, ketika ada masalah tidak bisa langsung berdiskusi dengan suami, subjek merasa kesepian, rindu dengan suami terutama dalam melakukan kegiatan seksual dengan suami, bagi subjek hiburan yang paling dicari subjek adalah bisa mempunyai quality time dengan suami tetapi tidak dapat dilakukan subjek karena suami berada di Libanon dan subjek merasa cemburu dengan suami karena ketika suami bertugas di Libanon dapat pergi kemana saja, sedangkan subjek tidak mudah keluar dari asrama karena peraturan yang sangat ketat sehingga membuat subjek harus meminta ijin terlebih dahulu untuk keluar, sehingga subjek merasa seperti dikurung didalam asrama, ingin pulang ke rumah orang tua saja harus ijin ketat (KB:HW2/S1/B90-109).

Faktor lain yang membuat subjek semakin stres karena subjek merupakan ibu rumah tangga sekaligus ibu Danki yaitu ibu Komandan Kompi yang bertugas membawahi kurang lebih 100 istri anggota disalah satu kompi yang ada di

(23)

Batalyon dan memiliki segudang aktivitas kegiatan ranting yang mengharuskan subjek lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Dalam menjalankan perannya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, subjek meminta bantuan orang lain untuk mengurus dan membersihkan rumah serta menjaga anaknya selama subjek melakukan aktivitas ranting (KB:HW/S1/B418-428). Subjek menceritakan bahwa padatnya aktivitas sehari-hari yang ada di Batalyon membuat subjek tidak memiliki waktu lebih bersama anak, selain itu karakter ibu Danyon yaitu ibu Komandan Batalyon yang terlalu saklek membuat subjek merasa ketakutan sendiri karena merasa ruang geraknya terbatasi dan terintimidasi (KB:HW/S1/B953-957). Banyaknya kegiatan yang harus dilakukan subjek agar meminimalkan pelanggaran asusila yang dilakukan ibu Persit ketika ditinggal dinas suami (KB:HW2/S1/B199-205) . Subjek menyebutkan bahwa banyak faktor lain yang membuat subjek mengalami stres (KB:HW/S1/B362-364) selain itu subjek menjelaskan bahwa status sosial sangat berpengaruh di lingkungan subjek (KB:HW/S1/B351-353) seperti perbedaan pangkat antar anggota yang sering kali menimbulkan konflik. Subjek mengeluhkan tentang ibu-ibu anggota persit yang dibawahinya yang memiliki berbagai karakter yang siap menimbulkan masalah kapan saja (KB:HW/S1/B1041-1046) contohnya subjek harus meredam ibu-ibu anggota persit yang suaminya tidak berangkat tugas (KB:HW/S1/B1014-1023) agar tidak terpancing dan iri dengan cerita-cerita yang dibanggakan istri anggota yang sedang tugas di Libanon.

Subjek menjelaskan dampak stres yang dialaminya seperti kelelahan fisik, merasa cemas dan khawatir, untuk mengatasi dampak stres tersebut subjek

(24)

mengalihkannya dengan merokok di malam hari yaitu dibelakang rumahnya setelah anaknya terlelap tidur, subjek menuturkan dengan merokok dapat menghilangkan kebosanannya sehingga subjek merasa rileks (KB:HW/S1/B578- 595), selain merokok, subjek melakukan kegiatan Botram. Botram adalah istilah kata Sunda yang merujuk pada tradisi makan bersama. Subjek melakukan Botram bersama ibu-ibu Perwira yang lain yang diisi dengan kegiatan santai masak- memasak bersama dan saling sharing pengalaman selama menjadi istri Perwira (KB:HW/S1/B1168-1195), ketika sedang melakukan kegiatan dan subjek mengalami stres maka subjek mengalihkannya dengan membaca webtoon (KB:HW3/S1/B291-308, KB:HW3/S1/B291-308) . Subjek menjelaskan bahwa ketika mengalami stres subjek akan mencari salah satu ibu Perwira yang saat ini memang sedang dekat dengan subjek karena menurut subjek ibu tersebut memiliki pemikiran yang luwes, dapat memberikan solusi jawaban yang selalu masuk akal, mau menerima subjek apa adanya sehingga sudah mengetahui dan memahami bagaimana karakter subjek (KB:HW/S1/B1199-1243). Dunia baru sebagai seorang istri Perwira membuat subjek belajar banyak hal terutama tidak terburu- buru untuk bertindak dan mengambil keputusan terhadap setiap kebijakan yang datang dari atasan (KB:HW/S1/B860-872), misalnya seperti subjek harus siap menerima keadaan jika seminggu setelah suami pulang dari Libanon harus berangkat tugas kembali dalam waktu yang lama karena sudah harga mati bahwa posisi seorang istri tentara kalah dengan yang namanya sprint yang bisa datang kapan saja untuk suami dan itu sudah menjadi resiko yang harus ditanggung subjek (KB:HW/S1/B1248-1265).

(25)

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan peneliti, dapat diketahui bahwa subjek mengalami stres selama ditinggal dinas suami bertugas di Libanon, penyebabnya karena subjek merasa kesepian, kewalahan mengurus anak, mengurus pekerjaan rumah tangga, tidak bisa melakukan kegiatan seksual dengan suami, merasa terkurung tidak bisa kemana-mana sedangkan suaminya di Libanon dapat pergi kemana saja, kemudian karena padatnya aktivitas yang harus dijalani subjek sepanjang hari mulai dari hari Senin sampai Minggu sehingga subjek memiliki waktu yang terbatas dengan anaknya, subjek juga tidak cocok dengan karakter ibu Komandan yang terlalu saklek, dan subjek merasa ruang lingkupnya terbatasi dan merasa terintimidasi karena ketatnya peraturan yang harus di taati selama berada di Batalyon. Dari apa yang dipaparkan oleh subjek, peneliti menyimpulkan bahwa subjek mengkombinasikan antara coping stress emotion

focused coping dengan problem focused coping dalam mengatasi permasalahan

yang muncul, yaitu dengan merokok, membaca webtoon, mengikuti kegiatan Botram dan sharing dengan Ibu Perwira senior yang dekat dengan subjek.

Subjek kedua yaitu AS adalah seorang istri dari suami yang bekerja sebagai kontraktor di Ambon (KB:HW/S2/B41-43). Subjek adalah ibu rumah tangga yang memiliki usaha membuat kue kering, telah menikah kurang lebih dua puluh lima tahun, dan dikaruniai dua orang anak perempuan (KB:HW/S2/B271- 274-198). Subjek menceritakan sudah mengalami hampir tiga tahun berjalan ditinggal suami bertugas, tetapi setahun sekali suami pulang ke Jawa (KB:HW/S2/B107-109). Subjek menjelaskan bahwa ditinggal suami di Ambon ada plus dan minus nya, subjek menginginkan bisa berkumpul satu keluarga tetapi

(26)

karena suatu kondisi, keadaan yang sulit yang mengharuskan subjek terpaksa menjalani hubungan jarak jauh (KB:HW/S2/B128-133). Jika subjek merasa kesepian subjek melampiaskannya untuk membuat sesuatu makanan, berkumpul dengan tetangga untuk menghibur diri subjek, subjek berusaha untuk bangkit dan membahagiakan kedua anaknya agar kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang subjek (KB:HW/S2/B234-242).

Dalam menjalani hubungan jarak jauh dengan suami hal pertama yang dirasakan subjek adalah kesepian, memerlukan suami sebagai pendamping subjek untuk mengurus anak-anaknya terutama saat anak-anak sakit subjek sering kali memerlukan seorang figure suami sehingga tidak harus memikul beban sendiri. Dalam kegiatan sehari-hari subjek harus melakukan pekerjaan yang harusnya bisa dikerjakan suami seperti membersihkan saluran selokan tersumbat, mengganti genting yang bocor, mengganti lampu yang mati, antar jemput anak dan lain sebagainya. Tidak adanya kehadiran suami membuat subjek mengalami stres karena harus mengerjakan sendiri (KB:HW/S2/B60-76). Faktor lain yang membuat subjek merasa stres karena harus menggali lubang tutup lubang meminjam uang ke rentenir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah kedua anak subjek karena uang yang dikirim oleh suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga sehingga subjek memiliki cukup banyak hutang (KB:HW/S2/B1227-1237). Bagi subjek dengan berhutang dapat mencukupi kebutuhan keluarga (KB:HW2/S2/B220-227), subjek merasa malu, tertekan merasa tersisihkan dengan orang-orang karena memiliki banyak hutang dan belum bisa melunasi (KB:HW2/S2/B243-250) sehingga subjek pernah

(27)

mencoba bunuh diri karena tidak bisa membayar hutang (KB:HW2/S2/B329- 341), biasanya ketika subjek sampai di puncak stres subjek akan menangis, meratapi hidup dan menghibur diri dengan perigi jalan-jalan, bercerita dengan anak-anak dan saudara (KB:HW3/S2/B96-104).

Subjek menjelaskan selain apa yang dirasakan saat tinggal berjauhan dengan suami, subjek menceritakan bahwa ada ketidakcocokan subjek dengan suami sehingga sering bertengkar jika bertemu (KB:HW/S2/B49-50), subjek juga menyebutkan bahwa mempunyai peristiwa masa lalu yang membuat subjek sangat sakit hati sekali dengan suami dan masih teringat sampai sekarang, adanya KDRT yang dilakukan suami kepada subjek dan anak-anak (KB:HW/S2/B287- 300) tetapi subjek bersyukur tidak sampai menjadi wanita yang frustasi, tetapi subjek selalu merasa takut jika suaminya pulang dan berkumpul bersama keluarga akan terulang kejadian-kejadian seperti dimasa lalu (KB:HW/S2/B548-562). Subjek menceritakan pernah sempat hampir bunuh diri akibat kekerasan yang dilakukan suami, yang mengakibatkan trauma pada anak pertama karena sering melihat kekerasan yang dilakukan bapaknya terhadap mamahnya sejak kecil, kekerasan tersebut bukan hanya dialami subjek tetapi juga dialami langsung oleh kedua anak subjek (KB:HW/S2/B586-592, B639-644). Akibat perlakuan suami subjek terhadap subjek dan kedua anaknya membuat hubungan antara suami dengan keluarga menjadi tidak harmonis yang membuat subjek jarang berkomunikasi dengan suami begitupula antara anak-anak dengan bapaknya,

hanya ketika perlu uang saja baru berkomunikasi lewat telepon

(28)

Berdasarkan hasil analisa yang peneliti lakukan dapat diketahui bahwa subjek merasa kesepian, memerlukan pendampingan dari suami untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak-anaknya ketika di tinggal suami dinas ke Ambon, karena ada ketidakcocokan antara subjek dengan suami membuat subjek merasa menanggung beban keluarga sendiri dan selalu menyelesaikan masalah sendiri. Uang yang dikirim suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga subjek berhutang dengan tetangga dan rentenir sehingga membuat subjek terlilit dengan hutang yang mengakibatkan subjek harus tutup lubang dan buka lubang untuk melunasi hutang-hutang subjek. Bagi subjek dengan berhutang dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dari apa yang di paparkan oleh subjek, peneliti menyimpulkan bahwa subjek lebih menggunakan coping stress problem focused coping yaitu dengan cara mengatasi sendiri masalah yang menimpa subjek, untuk memenuhi kebutuhan keluarga subjek menjual makanan dan berhutang kepada tetangga dan rentenir. Peneliti juga memperoleh temuan dari subjek, yaitu subjek dan kedua anaknya pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara fisik dan psikis oleh suami yang menyebabkan hubungan subjek menjadi tidak harmonis dan komunikasi menjadi tidak lancar tetapi subjek harus menerima dan bertahan demi kedua anak-anaknya. Subjek ketiga yaitu PA adalah seorang istri dari suami pelaut yang pekerjaannya berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya atau dari negara satu ke negara lainnya selama sembilan bulan, subjek telah menikah selama satu setengah tahun dan sudah dikaruniai anak laki-laki yang berusia empat bulan. Subjek adalah salah satu karyawati yang bekerja sebagai finance di perusahaan eksport–

(29)

import di Semarang (KB:HW/S3/B9). Subjek menceritakan apa yang dirasakan saat harus menjalani hubungan jarak jauh dengan suami yaitu galau, sedih pasti tapi itu sudah jadi konsekuensi yang mau tidak mau harus diterima, selain itu baru menjalani dua bulan menikah sudah langsung ditinggal suami berlayar dan selama kehamilan sampai melahirkan suami tidak ada bersama dengan subjek (KB: HW/S3/B62-70, B96-113). Menurut subjek apa yang dialaminya sekarang adalah sebuah konsekuensi yang harus ditanggung ketika sudah memutuskan untuk menikah dengan seorang pelaut sehingga subjek mampu menerima keadaan tersebut (KB:HW/S3/B119-121). Jarak yang jauh dan sering tidak ada sinyal sering membuat subjek curiga dengan suami, berfikir suami sedang apa disana, tetapi jika bisa berkomunikasi lewat telepon yang dicari bukan lagi subjek tetapi anaknya dahulu (KB:HW/S3/B140-150).

Di sisi lain subjek menjelaskan bahwa sebenarnya subjek agak kesulitan dalam mengurus anak sendiri tanpa bantuan dari suami, untungnya subjek mendapat bantuan dari ibunya karena saat ini subjek masih tinggal bersama orang tua subjek karena subjek takut jika harus tinggal sendiri (KB:HW/S3/B161-171, B280-284). Subjek adalah tipe orang yang tidak terlalu ambil pusing jika ada masalah yang datang menghampirinya dan tidak begitu mendengarkan apa kata orang lain, bagi subjek yang terpenting adalah saling percaya dan komunikasi selama ditinggal suami berlayar, tapi terkadang subjek juga marah jika suami tidak bisa dihubungi (KB:HW/S3/B341-352).

Subjek menceritakan pula bahwa suami subjek adalah tipe suami yang tidak terlalu protektif, subjek selalu menjelaskan tentang kepercayaan agar subjek

(30)

bisa pergi kesana-kemari walaupun sebenarnya suami lebih senang jika subjek hanya pergi dengan orang tua subjek (KB:HW/S3/B380-4-7. Alasan subjek memilih bekerja daripada mengurus anak di rumah karena subjek ingin memiliki penghasilan atau uang sendiri yang dapat digunakan untuk menyenangkan orang tua dengan bekerja subjek tidak harus mengandalkan jatah uang dari suami untuk membeli keperluan atau mengajak orang tuanya jalan-jalan, walaupun suami juga bisa menyenangkan orang tua subjek tetapi akan lebih bangga ketika subjek bisa menyenangkan orang tuanya dengan penghasilan sendiri tanpa perlu meminta uang suami (KB:HW/S3/B437-473). Subjek lebih berfikir jangka panjang untuk masa tuanya dan demi keluarga, bukan bermaksud ingin menyaingi suami tetapi subjek ingin mendampingi suami dari segi keuangan (KB:HW/S3/B507-534), dalam bekerja subjek mendapat tuntutan pekerjaan dan tekanan dari pimpinan ketika pekerjaan subjek tidak selesai sesuai deadline (KB:HW2/S3/B162-165).

Subjek menjelaskan jika subjek merasa kesepian atau sedang bertengkar dengan suami maka subjek memilih untuk jalan-jalan ke Mall atau tidur, karena dengan tidur tidak perlu memikirkan masalah dan ketika bangun subjek

menganggap sudah tidak terjadi apa-apa (KB:HW/S3/B711-717,

KB:HW3/S3/B63-65), pada saat bekerja ketika mengalami stres maka subjek akan pergi keruangan teman untuk bercerita sehingga dapat menenangkan hati subjek (KB:HW2/S3/B170-189). Jika subjek mengalami kelelahan fisik maka akan pergi ke salon, ke temat pijat atau melihat anak nya sudah membantu menghilangkan kelelahan subjek (KB:HW2/S3/B380-385). Ketika subjek dalam kondisi stres yang memuncak maka subjek akan berdoa dan mengingat kembali tujuan

(31)

berkeluarga itu apa (KB:HW3/S3/B80-83). Subjek adalah tipe orang yang tidak terlalu mempermasalahkan hal sepele, tetapi jika suami melakukan hal-hal diluar batas maka subjek akan mengambil sikap lebih keras daripada suami (KB:HW/S3/B416-422), subjek dapat mengontrol diri dengan tidak membawa masalah kantor ke rumah dan ketika subjek berada di rumah maka subjek akan fokus dengan anak dan keluarga (KB:HW2/S3/B128-137) dan dalam bekerja subjek memilih bersikap cuek dengan tidak memperdulikan urusan orang lain dan tetap profesional dalam bekerja (KB:HW2/S2/B234-253). Subjek menjelaskan bahwa menikah bukanlah halangan untuk melakukan kegiatan yang subjek inginkan, tetapi sekarang prioritas subjek lebih kepada anak (KB:HW/S3/B739- 744).

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan peneliti dapat diketahui bahwa subjek merasakan galau, sedih dan kesepian ketika suami berlayar, subjek juga menyebutkan bahwa kewalahan dalam mengurus anak sehingga subjek meminta bantuan orang tua untuk mengurus anak subjek dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Subjek merasa stres ketika komunikasi subjek dan suami terganggu karena tidak ada sinyal sehingga sering membuat subjek curiga dengan suami, tetapi jika komunikasi telepon lancar, subjek bukan prioritas utama lagi yang di cari tetapi anak lah yang menjadi prioritas pertama, subjek menyadari bahwa hubungan jarak jauh adalah konsekuensi yang harus dijalani ketika bersedia menjadi seorang istri pelaut, subjek mengatasi permasalahan dengan suami dengan sama-sama meredam ego masing-masing, ditinggal tidur, jalan-jalan ke Mall atau berdoa dan mengingat kembali tujuan awal menikah. Selain masalah

(32)

komunikasi subjek juga mengalami stres ketika menghadapi tuntutan pekerjaan dan tekanan dari atasan ketika pekerjaan subjek tidak selesai tepat wakttu sehingga subjek mengatasinya dengan bercerita dengan teman sekantor atau bersikap cuek tidak memperdulikan urusan orang lain tetapi tetap profesional dalam bekerja. Dari apa yang dipaparkan subjek, peneliti menyimpulkan bahwa subjek lebih menggunakan coping stress emotion focused coping untuk mengatasi permasalahannya dengan tidur, jalan-jalan ke Mall, bersikap cuek dan menyadari bahwa sudah menjadi konsekuensi menjadi istri pelaut .

Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan bahwa ketiga subjek mengalami stres ketika ditinggal dinas suami bertugas. Perbedaan ketiga subjek dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Sbjk Penyebab stres Dampak LDR Coping Stress

1 Jauh dari suami,

komunikasi terbatas, tidak bisa quality time bersama suami, terkurung, tekanan lingkungan sekitar

Kesepian, lelah fisik, kegiatan berhubungan intim dengan suami tidak bisa

disalurkan,kesepian, cemburu

Merokok, mengikuti kegiatan Botram, curhat dengan Ibu Perwira senior

2 Gaji yang dikirim

suami tidak cukup, haruis menanggung beban sendiri dalam mengurus anak dan keluarga, adanya KDRT

Kesepian, tidak bisa utuh berkumpul satu keluarga, hubungan jadi tidak harmonis

Membuat makanan, berkumpul dengan tetangga agar tidak kesepian

3 Jauh dari suami,

komunikasi terbatas karena susah sinyal, kewalahan mengurus anak

Galau, sedih, sering curiga karena suami susah dihubungi, bukan jadi prioritas utama suami

Menerima dan menyadari itu sebuah konsekuensi, ditinggal tidur, pergi ke Mall

(33)

B. Rumusan Masalah

Menurut penjelasan ketiga subjek, penulis menemukan ada kesenjangan antara ketiga subjek. Subjek pertama dengan usia pernikahan baru dua tahun mengalami tingkat stres yang lebih tinggi daripada subjek kedua dengan usia pernikahan selama dua puluh lima tahun dan dengan subjek ketiga yang usia pernikahannya baru satu setengah tahun. Subjek pertama dan subjek ketiga ingin suaminya segera pulang agar dapat berkumpul bersama anak dan keluarga tetapi berbading terbalik dengan subjek kedua yang lebih senang jika ditinggal suaminya dinas di luar Jawa. Dalam mengatasi stres yang melanda ketiga subjek, subjek pertama mengkombinasikan kedua jenis coping stress, subjek kedua lebih menggunakan problem focused coping sedangkan subjek ketiga lebih menggunakan emotion focused coping.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tergelitik untuk bertanya:

1. Bagaimana gambaran coping stress istri yang ditinggal dinas suami bertugas? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress pada istri yang

(34)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengetahui gambaran coping stress istri yang ditinggal dinas suami bertugas dan faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan ilmiah secara teoretis bagi perkembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Klinis, Psikologi Pernikahan dan Keluarga, dan Psikologi Konseling.

2. Manfaat praktis

Memberikan pengetahuan kepada masyarakat baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, agar dapat mengetahui bagaimana mengatasi stres dengan memilih coping stress yang tepat. Selain itu sebagai sumbangan pemikiran dan referensi bagi mahasiswa Universitas Semarang, khususnya Fakultas Psikologi yang tertarik dengan coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas.

(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Coping Stress 1. Pengertian coping stress

Wrzesniewski & Chylinska (dalam Feldman, 2012: 220) menyebutkan usaha untuk mengkontrol, mengurangi, atau belajar untuk menoleransi ancaman yang menimbulkan stres disebut sebagai coping. Setiap manusia akan menggunakan respons coping tertentu untuk mengatasi stres. Pendapat yang sama juga dikemukakan Weiten dan Lloyd (dalam Mahudi, 2012: 221) bahwa coping merupakan upaya – upaya untuk mengatasi, mengurangi, atau menoleransi ancaman yang beban perasaan yang tercipta karena stres. Lazaruz (dalam Safira dan Saputra, 2009: 96-97) menyatakan bahwa coping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun yang tidak nyata, dan coping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (distress demands). Tuntutan-tuntutan ini bisa bersifat internal dan eksternal.

Coping menghasilkan dua tujuan, pertama individu mencoba untuk

mengubah hubungan antara dirinya dengan lingkungannya agar menghasilkan dampak yang lebih baik. Kedua, individu biasanya berusaha untuk meredakan, atau menghilangkan beban emosional yang dirasakannya. Matheny, dkk (dalam Safira dan Saputra, 2009: 97) mendefinisikan coping

(36)

sebagai segala usaha, sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stressor, atau untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres. Safira dan Saputra, (2009: 98-99) lebih spesifik menyebutkan bahwa

coping dan stres merupakan hasil transaksi antara perilaku dengan

lingkungan. Pada dasarnya proses coping tidak hanya memiliki satu penyebab, melainkan memiliki proses yang dinamis antara perilaku dengan lingkungan, sehingga dalam melakukan coping terhadap tekanan yang sangat mengancam, individu akan melakukan coping sesuai dengan pengalaman, keadaan, dan waktu saat individu melakukan coping. Ada tiga komponen umum dalam proses stres dan coping, yaitu penilaian, emosi dan coping. Menurut Rizky,dkk (2014: 1) coping stress merupakan upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah yang datang kepada dirinya, karena setiap individu dalam kehidupan bisa mengatasi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitarnya. Ada berbagai cara untuk menyelesaikan dan menghadapi masalah tetapi tidak jarang akan menemukan orang yang takut menghadapi suatu masalah dan tidak mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

Menurut pendapat dari tokoh-tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa

coping stress adalah usaha untuk mengatasi masalah, memanajemen tingkah

laku, mengkontrol, mengurangi, mencegah, menghilangkan atau melemahkan

stressor berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar yang

(37)

2. Aspek–aspek coping stress

Menurut Lazaruz dan Folkman (dalam Safira dan Saputra, 2009: 104- 105) coping stress memiliki dua fungsi umum, yaitu:

a. Emotion focused coping

Suatu usaha untuk mengkontrol respons emosional terhadap situasi yang sangat menekan, cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull.

Aspek-aspek Emosional focused coping, meliputi:

1) Seeking social emotional support, yaitu mencoba untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.

2) Distancing, yaitu mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif.

3) Escape avoidance, yaitu mengkhayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan.

4) Self control, yaitu mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah.

5) Accepting responsibility, yaitu menerima untuk menjalankan maslaah yang dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya.

b. Problem focused coping

Usaha untuk mengurangi stressor, dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi,

(38)

keadaan, atau pokok permasalahan, cenderung dilakukan apabila individu tersebut yakin dapat mengubah situasi.

Aspek-aspek Problem focused coping, meliputi:

1) Seeking informational support, yaitu mencoba unttuk memperoleh informasi, saran dan bantuan dari orang lain, seperti dokter, psikolog, atau guru.

2) Confrontive coping, yaitu melakukan penyelesaian masalah secara konkret.

3) Planful problem solving, yaitu menganalisa setiap situasi yang menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi.

Menurut Weiten dan Lloyd (dalam Mahudi, 2012: 228) ada dua macam

coping stress yaitu:

a. Coping negatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Giving up (withdraw), yaitu melarikan diri dari kenyataan atau situasi stres yang bentuknya seperti sikap apatis, kehilangan semangat, atau perasaan tak berdaya, dan meminum-minuman keras, atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

2) Aggressive (agresif), yaitu berbagai perilaku yang ditujukan untuk menyakiti orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal.

3) Indulging your self (memanjakan diri sendiri), dengan berperilaku konsumerisme yang berlebihan, seperti makan yang enak, merokok,

(39)

menenggak minuman keras, dan menghabiskan uang untuk berbelanja.

4) Blaming your self (mencela diri sendiri), yaitu mencela atau menilai negatif terhadap diri sendiri sebagai respons terhadap frustasi atau kegagalan dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan.

5) Defence mechanism (mekanisme pertahanan diri), yang bentuknya

seperti menolak kenyataan dengan cara melindungi diri dari suatu kenyataan yang tidak menyenangkan, berfantasi, rasionalisasi, dan

overcompensation.

b. Coping positif konstruktif diartikan sebagai upaya-upaya untuk menghadapi situasi stres secara sehat dan memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menghadapi masalah secara langsung, mengevaluasi alternatif secara nasional dalam upaya memecahkan maslaah tersebut.

2) Menilai atau mempersepsi situasi stres didasarkan kepada pertimbangan yang rasional.

3) Mengendalikan diri (self control) dalam mengatasi masalah yang dihadapi.

Coping positif konstruktif dapat dilakukan melalui beberapa

pendekatan atau metode sebagai berikut:

a) Rational emotive therapy, merupakan pendekatan terapi yang momfokuskan pada upaya untuk mengubah pola piker individu yang

(40)

irasional sehingga dapat mengurangi gangguan emosi atau perilaku yang maladaptif.

b) Meditasi, merupkan latihan mental untuk memfokuskan kesadaran atau perhatian dengan cara non analisis.

c) Relaksasi, dapat mengatasi kekalutan emosional dan mereduksi masalah fisiologis.

d) Mengamalkan Ajaran Agama, seorang yang taat beribadah dan memahami makna substansi dari ibadah tersebut, maka akan memiliki sifat-sifat pribadi yang positif, sehingga mampu mengelola hidup dan kehidupannya secara sehat, bermanfaat, atau bermakna.

Folkman dan Moskowitz (dalam Feldman, 2012: 220) mengelompokan

coping stress menjadi dua kategori, yaitu :

a. Coping berfokus emosi

Seseorang berusaha untuk mengatur emosi mereka ketika menghadapi stres dengan berusaha mengubah perasaan mereka atau cara mereka mempersepsikan masalah.

b. Coping berfokus masalah

Seseorang berusaha untuk memodifikasi masalah yang menimbulkan stres atau sumber stres dan mendorong perubahan perilaku atau perkembangan suatu rencana tindakan untuk mengatasi stres tersebut.

(41)

Carver, dkk (dalam Sadikin dan Subekti, 2013: 20-21) menjelaskan dimensi coping stress ada dua yaitu:

a. Emotion focused coping yang meliputi :

1) Seeking of emotional social support, dimana individu akan berupaya untuk mendapatkan dukungan moral, simpati, dan pemahaman dari orang-orang disekitarnya.

2) Positive reinterpretation, merupakan sebuah proses mengambil hikmah atau nilai positif dari apa yang telah terjadi dan bertujuan untuk mengelola tekanan emosi daripada berupaya untuk menghadapi

stressor itu sendiri.

3) Acceptance, dimana individu akan menerima situasi atau keadaan dari apa yang terjadi.

4) Denial, individu akan menolak untuk percaya bahwa stressor itu nyata dan bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak ada.

5) Turning to religion, individu akan beralih ke agama ketika berada dalam situasi yang penuh dengan tekanan. Agama dapat berfungsi dukungan emosional, menjadi sarana untuk reinterpretasi positif maupun sebagai upaya untuk menghadapi stressor itu sendiri.

b. Problem focused coping yang meliputi :

1) Active coping, merupakan sebuah proses mengambil langkah aktif untuk menghapus atau menghindari stressor atau untuk memperbaiki dampak dari stressor itu sendiri.

(42)

2) Planning, merupakan proses berfikir tentang bagaimana cara untuk menghadapi stressor. Individu akan merencanakan strategi mengenai langkah apa yang harus diambil dan memikirkan cara terbaik untuk menghadapi masalah.

3) Suppression of competing activities, individu akan menekankan

aktivitasnya pada penyelesaian masalah dan mengesampingkan urusan lain agar dapat berkonsentrasi dalam menghadapi stressor.

4) Restraint coping, individu akan menunggu saat yang tepat untuk bertindak dan tidak bertindak terlalu terburu-buru.

5) Seeking of instrumental social support, individu akan berupaya untuk mencari saran, bantuan, dan informasi dari orang-orang disekitarnya. Berdasarkan uraian diatas, aspek-aspek coping stress dibagi menjadi dua, yaitu emotion focused coping yang disebut juga coping yang berfokus pada emosi atau coping negatif dan yang kedua adalah problem focused

coping yang disebut juga coping yang berfokus pada masalah atau coping

positif yang digunakan untuk mengungkap gambaran coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress

Weiten dan Lloyd (dalam Mahudi, 2012: 222) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi coping meliputi dua kategori, yaitu:

(43)

a. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diartikan sebagai pemberian bantuan atau pertolongan terhadap seseorang yang mengalami stres dari orang lain yang memiliki hubungan dekat (saudara atau teman).

House (dalam Mahudi, 2012: 222) mengemukakan bahwa dukungan sosial memiliki empat fungsi, yaitu: emotional support (kasih sayang, perhatian, kepedulian), appraisal support (bantuan orang lain),

informational support (nasehat dan diskusi), instrumental support

(bantuan material). b. Kepribadian

Tipe atau karakteristik kepribadian seseorang mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap coping atau usaha untuk mengatasi stres yang dihadapi. Karakteristik kepribadian tersebut yaitu : hardiness (ketabahan atau daya tahan), optimism (optimis), dan humoris.

Menurut Safira dan Saputra, (2009: 103) keputusan pemilihan strategi

coping dan respons yang dipakai individu untuk menghadapi situasi yang

penuh tekanan tergantung dari dua faktor, yaitu:

a. Faktor internal meliputi gaya coping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadian dari seseorang tersebut.

b. Faktor eksternal meliputi ingatan pengalaman dari berbagai situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi yang penting dalam kehidupan

(44)

Menurut Taylor (dalam Sadikin dan Subekti, 2013: 21) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi coping stress dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Faktor internal yang terdiri dari personality, negativity, hardiness, optimis, dan psychological control.

b. Faktor eksternal termasuk waktu, uang, pendidikan, pekerjaan yang layak, anak, teman, keluarga, standar hidup, kehadiran peristiwa kehidupan yang positif dan tidak adanya stressor kehidupan lainnya.

Menurut Rahmandani, dkk (dalam Rizky, dkk, 2014: 2) menyebutkan ada dua faktor yang mempengaruhi coping stress yaitu:

a. Faktor internal yaitu isi kognitif, karakteristik kepribadian, dan sikap hati yang terbuka

b. Faktor eksternal yaitu dukungan sosial, penguatan positif dan tekanan dari luar.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi coping stress yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kognitif dan karakteristik kepribadian, sedangkan faktor eksternal meliputi dukungan sosial dan tekanan dari luar. Dalam penelitian ini dua faktor tersebut akan digunakan untuk mengeksplorasi faktor penyebab coping stress.

(45)

B. Long Distance Marriage Istri yang Ditinggal Dinas Suami Bertugas

Jones, dkk (dalam Margiyani dan Ekayati, 2013: 192) pernikahan jarak jauh (long distance marriage) disebut sebagai commuter marriage adalah pernikahan antara pasangan suami istri yang tinggal terpisah. Torsina (dalam Margiyani dan Ekayati, 2013: 192) menyatakan bahwa pernikahan jarak jauh adalah suatu kondisi pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak bisa tinggal serumah, sedangkan Maines (dalam Margiyani dan Ekayati, 2013: 192) menjelaskan bahwa pernikahan jarak jauh adalah pernikahan terpisah antara suami dengan istri yang didasari atas komitmen sebelum pernikahan karena tuntutan karier atau pekerjaan. Margiani dan Ekayati (2013: 192) menjelaskan bagi istri yang menjalani pernikahan jarak jauh, hidup jauh dari suami merupakan suatu tantangan yang cukup berat. Kelelahan fisik akibat rutinitas urusan rumah tangga sehari – hari juga dapat berakibat pada kelelahan psikologis sehingga akan mempengaruhi perilaku sehari – harinya. Dengan kata lain stressor akibat kelelahan dapat menimbulkan stres yang memunculkan agresivitas pada istri.

Menurut Ramadhini dan Hendriani (2015: 16) sebuah pernikahan dimana pasangan suami istri tidak dapat tinggal bersama dan terpisah secara fisik karena berbagai faktor seperti meningkatnya kebutuhan hidup keluarga, tingginya persaingan dalam meniti karir dikenal dengan sebutan long distance marriage. Kurangnya rasa percaya antara suami dan istri membuat adanya persoalan trust pada pasangan yang menjalaninya. Tescher (dalam Ramadhini dan Hendriani, 2015: 16-17) mengemukakan persoalan trust dapat mengakibatkan hal yang

(46)

buruk seperti pertengkaran, konflik, bahkan berujung perceraian, sebaliknya jika kepercayaan antara suami dan istri tinggi maka akan menentukan keberhasilan pernikahan jarak jauh, tentunya juga didukung oleh beberapa aspek lain seperti dukungan pasangan, komitmen yang kuat serta komunikasi yang terbukan antara pasangan. Pendapat yang sama juga dituturkan Rachmawati dan Mastuti (2013: 74) bahwa pasangan yang menjalani long distance marriage tentu saja menghadapi masalah yang berbeda dengan pasangan suami istri yang tinggal bersama, seperti masalah komunikasi, kurangnya dukungan ketika membuat suatu keputusan yang besar, kelelahan terhadap peran, pekerjaan yang mengganggu waktu untuk bersama, durasi perpisahan, kurangnya kebersamaan dan kurangnya kekuatan ego sehingga akan mempengaruhi kepuasan perkawinan.

Rini (2009: 3) menyebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi sukses atau tidaknya penyesuaian individu terhadap permasalahan yang muncul dalam perkawinan terutama pada pasangan yang tinggal berjauhan, salah satunya berhubungan dengan masalah keterbukaan diri. Pada pasangan yang tinggal terpisah, kurangnya kehadiran secara fisik membuat frekuensi untuk bertemu secara langsung lebih sedikit dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah, hal ini menyebabkan komunikasi verbal juga jarang dilakukan, sehingga keterbukaan diri menjadi salah satu komponen yang penting dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan perkawinan. Litiloly dan Swastiningsih (2014: 2) mengatakan bahwa istri yang ditinggal suami dalam waktu cukup lama tidaklah mudah dijalani terutama bagi yang sudah mempunyai anak, karena resiko yang dapat saja terjadi yaitu hubungan dengan keluarga menjadi tidak harmonis,

(47)

pertengkaran, kecurigaan, dan ketakutan yang kadang menjadi salah satu faktor dalam keributan rumah tangga. Menurut Waskito (dalam Litiloly dan Swastiningsih, 2014: 54) suami istri terkadang harus tinggal terpisah karena tugas dalam jangka waktu yang lama, mengakibatkan masing – masing pihak akan merasakan kesepian. Hal inilah yang membuat salah satu atau kedua belah pihak dapat tertarik dengan lawan jenis yang bukan suami atau istrinya maka hubungan antara keduanya mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan psikologis, perubahan keperilakuan, dan perubahan status. Dilihat dari permasalahan tersebut istri tidak mampu mengelola stresnya sehingga mempengaruhi pola pikir yang negatif dan dikhawatirkan dapat menimbulkan tindakan yang negatif yaitu pertengkaran, mengeluarkan perkataan yang kurang senang, kejahatan atau ketidakadilan dalam keluarga.

Berdasarkan uraian diatas long distance marriage istri yang ditinggal dinas suami bertugas adalah suatu kondisi pernikahan terpisah antara suami dengan istri yang didasari atas komitmen sebelum pernikahan karena tuntutan karier atau pekerjaan, pernikahan jarak jauh menggambarkan dimana pasangan suami istri tidak dapat tinggal bersama dan terpisah secara fisik karena berbagai faktor, istri akan mengalami kesepian dan mengalami berbagai masalah seperti masalah komunikasi, kurangnya kepercayaan dan dukungan ketika membuat suatu keputusan yang besar serta kelelahan mengurus anak, sehingga diperlukan

(48)

C. Coping Stress pada Istri yang Ditinggal Dinas Suami Bertugas

Komitmen antara pasangan sebagai suami istri yang dipersatukan dalam suatu ikatan pernikahan pada umumnya akan menginginkan untuk tinggal bersama dalam satu rumah, namun dengan berbagai faktor dan kondisi mengharuskan suami ditempatkan jauh dari istri dan keluarga. Hubungan jarak jauh tersebut dikenal dengan long distance marriage atau pernikahan jarak jauh yang menggambarkan dimana pasangan suami istri tidak dapat tinggal bersama dan terpisah secara fisik.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Margiani dan Ekayati (2013: 194) yang mengangkat judul “Stres, Dukungan dan Agresivitas pada Istri yang Menjalani Pernikahan Jarak jauh” menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara stres dan dukungan keluarga dengan agresivitas pada istri yang menjalani pernikahan jarak jauh, banyak hal uang memicu timbulnya agresivitas seperti stres, frustasi, deindividuasi serta suhu udara. Ketidaknyamanan yang dirasakan istri yang menjalani pernikahan jarak jauh dalam melaksanakan beban tugas yang berat sebagaimana seorang single parent yang menyebabkan stres pada istri. Kelelahan fisik yang dialaminya akan dapat berakibat pada kelelahan psikisnya yang cenderung berdampak pada perilaku agresivitas, dengan kata lain stressor yang dialami oleh istri yang menjalani pernikahan jarak jauh dapat memicu perilaku agresif.

Hasil penelitian lain tentang coping stress juga diteliti oleh Litiloly dan Swastiningsih (2014: 7) tentang “Manajemen Stres pada Istri yang Mengalami

(49)

marriage juga melakukan manajemen stres, ditunjukan dengan beberapa dampak

hubungan jarak jauh yang membuat istri mengalami stres dengan gejala seperti perasaan cemas, khawatir, gatal – gatal pada kulit, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan secara drastis, dan gangguan tidur, selain itu muncul masalah ekonomi, serta masalah yang terkait dengan anak yaitu merasa terbebani dalam mengurus anak dan adanya perasaan bersalah karena tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang istri untuk melayani suami.

Nuraini dan Masykur (2015: 85) menegaskan dengan hasil penelitiannya tentang “Gambaran Dinamika Psikologis Pada Istri Pelaut” bahwa esensi terdalam pada pernikahan jarak jauh yang dijalani oleh istri pelaut yaitu dasar hubungan komunikasi yang kuat, memiliki kepercayaan yang berlipat ganda dan memilki kegiatan sehari-hari yang sesuai dengan minat dan hobi seperti arisan para istri pelaut, membuat kue untuk usaha rumahan, pergi ke mall dengan anak-anak untuk mengisi waktu luang. Melakukan aktifitas dengan berkumpul bersama teman atau tetangga dapat mengurangi intensitas perasaan kesepian yang terjadi pada kehidupan istri pelaut.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istri yang menjalani pernikahan jarak jauh memiliki beban dan tanggung jawab yang besar dalam mengurus rumah tangga, jarak yang jauh dan komunikasi yang terbatas memunculkan berbagai masalah yang menjadi faktor pembentuk stres, sehingga diperlukan coping stress untuk mengatasi permasalahan tersebut.

(50)

Istri yang ditinggal dinas suami Long distance marriage Stres Coping stress

Gambaran coping stress pada istri yang ditinggal

dinas suami bertugas

Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress pada istri yang ditinggal dinas

suami bertugas

Istri memiliki beban dan tanggung jawab yang besar dalam mengurus rumah tangga

Jarak yang jauh dan komunikasi yang terbatas dengan suami

Faktor internal yang meliputi kognitif dan karakteristik kepribadian istri

Faktor eksternal yang meliputi dukungan sosial dan tekanan dari luar

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif

Dalam literatur metodologi penelitian, istilah kualitatif tidak hanya lazim dimaknai sebagai jenis data, tetapi juga berhubungan dengan analisis data dan interpretasi atas objek kajian yang bermula dari pengamatan (Prastowo, 2011: 21). Sebagaimana diungkapkan Bogdan dan Taylor (dalam Prastowo, 2011: 22) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara menyeluruh (holistik). Menurut keduanya penelitian kualitatif adalah reaksi dari tradisi yang terkait dengan positivisme dan postpositivisme yang berupaya melakukan kajian budaya dan sifatnya interpretatif sifatnya. Sementara menurut Kirk dan Miller (dalam Prastowo, 2011: 22-23) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.

Denzin dan Lincoln (dalam Herdiansyah, 2010: 7-8) memperkuat pemahaman tentang penelitian kualitatif dengan menyatakan bahwa penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi yang bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersirat mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu

(52)

kelompok partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut etno-metodologi atau penelitian lapangan yang menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam latar atau latar sosial. Sedangkan Creswell (dalam Herdiansyah, 2010: 8) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari penulis. Senada dengan pendapat Creswell, Banister et al (dalam Herdiansyah, 2010: 8) mengartikan inti dari penelitian kualitatif yaitu sebagai suatu metode untuk menangkap dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. Hal tersebut ditegaskan oleh Moleong (dalam Herdiansyah, 2010: 9) menyatakan bahwa penelitian kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya yang secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Berdasarkan dari uraian beberapa tokoh tersebut, metode penelitian kualitatif adalah proses penelitian ilmiah untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dari suatu fenomena, mengeksplorasi dalam konteks sosial, memberikan penjelasan

(53)

dari suatu fenomena yang diteliti, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari penulis.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana gambaran coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas?

Penulis ingin mengeksplorasi gambaran coping stress istri yang ditinggal dinas suami bertugas. Gambaran coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas akan penulis ungkap melalui metode observasi dan metode wawancara mendalam kepada subjek, penulis juga akan melakukan wawancara kepada sejumlah informan untuk memperkuat data.

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas?

Penulis ingin mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas. Penulis akan memperoleh data melalui wawancara mendalam kepada subjek dan informan. Penulis juga akan menggunakan berkas perkara subjek serta dokumen pendukung lainnya.

C. Subjek Penelitian

Menurut Moelong (dalam Prastowo, 2011: 195-196) secara lebih spesifik menyebutkan subjek penelitian adalah informan. Informan adalah orang dalam pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang

(54)

situasi dan kondisi latar (lokasi atau tempat) penelitian yang kewajibannya adalah secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal. Kegunaan informan bagi penelitian adalah sebagai berikut:

a. Membantu agar secepatnya dan tetap seteliti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat, terutama bagi penulis yang belum mengalami latihan etnografi.

b. Agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terkumpul sebagai sampling internal, karena informan dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar pikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya dapat dilakukan.

Moelong menyebutkan bahwa ada lima persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang agar layak dijadikan informan, karena mengingat informan sangat penting kedudukannya bagi penelitian terutama penelitian lapangan yang tentunya tidak sembarang orang bisa menjadi informan, dan persyaratannya sebagai berikut:

a. Orang tersebut harus jujur dan bisa dipercaya b. Memiliki kepatuhan pada peraturan

c. Suka berbicara, bukan orang yang sukar berbicara apalagi pendiam

d. Bukan termasuk anggota salah satu kelompok yang bertikai dalam latar penelitian

e. Memiliki pandangan tertentu tentang peristiwa yang terjadi.

Tujuan dari penelitian ini dalah menggambarkan coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas dan mengetahui faktor-faktor yang

(55)

mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan subjek yang mempunyai karakteristik yang dapat mengungkapkan hal tersebut sehingga data dapat diperoleh. Karakteristik subjek sebagai berikut:

1. Pernikahan jarak jauh (long distance relationship)

2. Istri yang sedang ditinggal dinas suami bertugas di luar pulau bahkan di luar negeri

3. Jangka waktu selama ditinggal suami bertugas selama satu tahun 4. Usia pernikahan lebih dari satu tahun dan telah memiliki anak

Dalam pemilihan subjek penelitian penulis memilih subjek berdasarkan karakteristik dan ciri-ciri yang khas dan sama yang ada pada subjek, kemudian penulis membangun kepercayaan (trust), saling menghormati dan menghargai (respect), kejujuran (honest), dan ketulusan yang terbentuk secara alamiah karena hubungan positif yang dengan sengaja dibangun oleh penulis, yang bukan karena rekayasa (walaupun ikatan emosional dapat terbentuk melalui rekayasa), ataupun karena kepentingan yang bersifat material (Herdiansyah, 2015:66).

Teknik pemilihan subjek menggunakan pertimbangan snowball sampling yaitu menentukan subjek penelitian dengan berkembang mengikuti informasi atau data yang diperlikan (Bungin, 2015: 144) sehingga dapat diperoleh gambaran

coping stress pada istri yang ditinggal dinas suami bertugas.

D. Metode Pengumpulan Data

Menurut Herdiansyah (2010: 116) dalam penelitian kualitatif ada beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan. Beberapa metode tersebut,

Gambar

Tabel 5  Self control
Tabel 8  Confrontive coping

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan usahatani PHT kapas di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik pengendalian yang direkomendasikan, para petani kooperator (petani PHT)

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada populasi F3 karakter umur panen, tinggi tanaman, bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, panjang tangkai buah, diameter

Pajak dan Retribusi Daerah menurut Saragih dalam Koswara Kertapraja, 2010 : 61, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata kadar protein nikumi domba yang terendah pada perlakuan konsentrasi natrium tripolifosfat 0% (38.65%.. bk) dan tertinggi pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak ada perbedaan hasil belajar kognitif mahasiswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran berbasis web dengan media blog

Transmitter ini dimaksudkan agar kita dapat bisa merancang dan mengembangkan perangkat transmitter untuk wireless CCTV yang lebih sederhana dan tentunya hemat dalam hal kualitas

Melihat latar belakang politik yang begitu rumit, yang turut mengiringi perjalanan Lekra sebagai sebuah lembaga, dimulai dari kedekatannya dengan PKI, para pendirinya yang

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan beberapa tahap, yakni: (1) analisis buku penuntun praktek kimia SMA kelas XI terbitan Erlangga sesuai standar BNSP; (2)