• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS ) PADA PETUGAS PELAKSANA DI PUSKESMAS KABUPATEN BANJARNEGARA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS ) PADA PETUGAS PELAKSANA DI PUSKESMAS KABUPATEN BANJARNEGARA."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

i

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS )

PADA PETUGAS PELAKSANA DI PUSKESMAS

KABUPATEN BANJARNEGARA

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh Hotmi Umi Arifah NIM. 6411412166

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

(2)

ii

Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara

xvii + 113 halaman + 30 tabel + 2 gambar + 13 lampiran

Jumlah kematian balita di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 6,6 juta pada tahun 2012. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2014), angka kematian balita 13.90 per kelahiran hidup yang masih jauh dari target SPM bidang kesehatan yaitu 9.8 per kelahiran hidup. WHO mengembangkan cara untuk mencegah sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Cakupan pelaksanaan MTBS di Kabupaten Banjarnegara belum memenuhi target WHO . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan crosssectional.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puksesmas Kabupaten Banjarnegara terdiri dari faktor sikap (p=0.010), masa kerja (p=0.001), pelatihan yang pernah diikuti tentang MTBS (p=0.002), ketersediaan obat (p=0.037), alokasi dana (p=0.041) dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas (p=0.010). Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terdiri dari faktor pengetahuan (p=0.692), motivasi kerja (p=0.383), persepsi beban kerja (p=0.923), ketersediaan peralatan (p=0.493), kepemimpinan Kepala Puskesmas (p=0.521), dan supervisi oleh Dinas Kesehhatan Kabupaten (p=0.782).

Saran yang dapat disampaikan anatara lain, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara perlu meningkatkan pengawasan kelengkapan fasilitas pendukung pelaksanaan MTBS seperti ketersediaan obat, serta perlu diadakan pelatihan bagi petugas yang belum pernah mengikuti dan mendapatkan pelatihan. Puskemas diharapkan meningkatkan kualitas pelayanan MTBS.

Kata Kunci : Implementasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit, Petugas Pelaksana.

(3)

iii

Public Health Science Departement Faculty of Sport Science

Factors Affecting the Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) among Staff in Public Health Center in Banjarnegara Regency.

xvii + 113 pages + 30 tables + 2 pictures + 13 enclosures

The number of under-five deaths in Indonesia is still high at 6.6 million in 2012. Report from Banjarnegara District Health Office (2014) mentions in child mortality 13.90/live birth is still far from SPM target of health sector is 9.8 per live births. In 1992, WHO develop a pretty effective way and can be done to prevent most causes of death of infants and toddlers through the program "Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)". Coverage of IMCI in the District Banjaregara not meet the WHO target of 60%. The purpose of this study was to determine the factors that affect the implementation of IMCI in the executive officer at district health centers Banjaregara. This type of research is explanatory research with cross sectional approach.

The conclusion of this study are the factors that affected the implementation of IMCI on the executive officer in health centers Banjarnegara district consists of the attitude factor (p = 0.010), age (p = 0.001), trainings have been followed IMCI (p = 0.002), the availability of drugs ( p = 0.037), the allocation of funds (p = 0.041) and evaluation by the Head of Puskesmas (p = 0.010). While the factors that have no effect consists of knowledge (p = 0.692), work motivation (p = 0.383), the perception of the workload (p = 0.923), availability of equipment (p = 0493), the leadership of the Head of health centers (p = 0521), and supervised by the District Health Office (p = 0782).

Suggestions can be delivered among other things, Banjarnegara District Health Office needs to improve oversight of the completeness of supporting facilities such as IMCI drug availability, as well as the need to hold training for officers who have not completed and received training. Puskemas IMCI is expected to improve service quality. Keywords : Implementation, Integrated Management of Childhood Illness,

(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

 Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.(QS.94:6)  Percaya bahwa hasil tak pernah mengkhianati usaha.

 Bersyukurlah selalu karena Allah SWT memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.

Persembahan :

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Alloh SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk :

1. Ibu (Susmirah) dan Almarhum Bapak (Saliman) tercinta atas doa, cinta, kasih sayang, nasehat, serta dukungan tulus yang tak pernah putus. 2. Kakak-kakakku dan keluarga besar atas doa dan

dukungan yang tulus.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) pada Petugas Pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara” dapat terselesaikan. Penyelesaian skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Keberhasilan penyelesaian penelitian sampai dengan tersusunya skripsi ini atas bantuan dari berbagai pihak, dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang atas ijin penelitian yang diberikan.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, atas persetujuan penelitian .

3. Pembimbing skripsi Bapak Drs. Bambang Wahyono, M.Kes atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Penguji I, Bapak Dr. Bambang Budi Raharjo,M.Si dan penguji II, Bapak Irwan Budiono, S.KM, M.Kes atas saran, bimbingan, dan arahannya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

(7)

vii

6. Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Staf Tata Usaha Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah membatu dalam segala urusan administrasi dan perijinan penelitia.

7. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian yang diberikan.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian yang diberikan.

9. Kepala Puskesmas tempat penelitian di Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian, bantuan yang diberikan.

10.Ibu (Susmirah) dan Almarhum Bapak (Saliman) tercinta atas seluruh doa, dukungan, kasih sayang dan nasehat yang telah diberikan.

11.Kedua kakakku (Abdul Aziz Effendi dan Nahdiyanto Effendi) dan keluarga besar atas segala doa, dukungan, dan perhatian yang telah diberikan.

12.Teman-temanku yang telah membantu selama penyusunan skripsi hingga penelitian di lapangan.

13.Teman-temanku peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan IKM 2012 atas penglaman, motivasi, bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

14.Teman-temanku jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat 2012 atas penglaman, motivasi, bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

(8)

viii

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis tetap menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, sehingga masukan dan kritikan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang,01 Juni 2016

(9)
(10)

x

2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 10

2.1.1.1 Pengertian MTBS ... 10

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi MTBS ... 20

(11)

xi

3.3 Hipotesis Penelitian ... 36

3.3.1 Hipotesis Mayor ... 36

3.3.2 Hipotesis Minor ... 36

3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 38

3.5 Jenis dan Rancangan Penelitan ... 43

3.6 Populasi dan Sampel ... 43

3.8 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data ... 45

3.8.1 Instrumen Penelitian ... 45

3.8.2 Teknik Pengambilan Data ... 50

3.9 Prosedur Penelitian... 50

3.9.1 Tahap Pra Penelitian ... 50

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.2 Hasil Penelitian ... 56

4.2.1 Analisis Univariat ... 56

4.2.2 Analisis Bivariat ... 64

BAB V PEMBAHASAN ... 79

(12)

xii

5.1.1 Hubungan Antara Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan

Implementasi MTBS ... 79

5.1.2 Hubungan Antara Sikap Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 80

5.1.3 Hubungan Antara Motivasi Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 81

5.1.4 Hubungan Antara Masa Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 82

5.1.5 Hubungan Antara Persepsi Beban Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 83

5.1.6 Hubungan Antara Ketersediaan Peralatan Penduung dengan Implementasi MTBS ... 83

5.1.7 Hubungan Antara Ketersediaan Obat Pendukung dengan Implementasi MTBS ... 85

5.1.8 Hubungan Antara Pelatihan Yang Pernah Diikuti dengan Implementasi MTBS ... 86

5.1.9 Hubungan Antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dngan Implementasi MTBS ... 87

5.1.10 Hubungan Antara Alokasi Dana dengan Implementasi MTBS ... 88

5.1.11 Hubungan Antara Supervisi Oleh Dinas Kesehatan dengan Implementasi MTBS ... 88

5.1.12 Hubungan Antara Evaluasi Oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS ... 89

5.2 Kelemhan/Keterbatasan Penelitian... 90

5.2.1 Hambatan Penelitian ... 90

5.2.2 Kelemahan Penelitian ... 90

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Simpulan ... 92

6.2 Saran ... 92

(13)

xiii

6.2.2 Bagi Puskesmas ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian... 7

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel... 38

Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien ... 53

Tabel 4.1 Struktur Penduduk Kabupaten Banjarnegara Menurut Golongan Umur Tahun 2011-2014 ... 55

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Menurut Pengetahuan ... 57

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Menurut Sikap ... 57

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Menurut Motivasi Kerja ... 58

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Menurut Masa Kerja ... 59

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Menurut Persepsi Beban Kerja ... 59

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Menurut Ketersediaan Peralatan... 60

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Menurut Ketersediaan Obat ... 60

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Menurut Pelatihan ... 61

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Menurut Kepemimpinan Kepala Puskesmas 62 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Menurut Alokasi Dana ... 62

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Menurut Supervisi Dinas Kesehatan ... 63

Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Menurut Evaluasi Kepala Puskesmas ... 63

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Menurut Implementasi MTBS ... 64

(15)

xv

Tabel 4.16 Hubungan Sikap dengan Implementasi MTBS ... 66

Tabel 4.17 Hubungan Motivasi Kerja dengan Implementasi MTBS ... 67

Tabel 4.18 Hubungan Masa Kerja dengan Implementasi MTBS ... 68

Tabel 4.19 Hubungan Persepsi Beban Kerja dengan Implementasi MTBS .. 69

Tabel 4.20 Hubungan Ketersediaan Peralatan dengan Implementasi MTBS . 70 Tabel 4.21 Hubungan Ketersediaan Obat dengan Implementasi MTBS ... 71

Tabel 4.22 Hubungan Pelatihan dengan Implementasi MTBS ... 72

Tabel 4.23 Hubungan Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS ... 73

Tabel 4.24 Hubungan Alokasi Dana dengan Implementasi MTBS ... 74

Tabel 4.25 Hubungan Supervisi dengan Implementasi MTBS ... 75

Tabel 4.26 Hubungan Evaluasi dengan Implementasi MTBS ... 76

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Tugas Pembimbing... 98

Lampiran 2 Surat Uji Validitas dan Reliabilitas dari Fakultas ... 99

Lampiran 3 Surat Uji Validitas dan Reliabilitas dari Tempat Uji ... 100

Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian dari Fakultas ... 101

Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian dari BAPPEDA Kabupaten Banjarnegara ... 102

Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian dari DINKES Kabupaten Banjarnegara ... 103

Lampiran 7 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 104

Lampiran 8 Permohonan Sebagai Responden Penelitian... 105

Lampiran 9 Instrumen Penelitian ... 106

Lampiran 10 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 117

Lampiran 11 Data Mentah Hasil Penelitian ... 124

Lampiran 12 Hasil Output Analisis Data Penelitian ... 142

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Balita adalah anak usia dibawah lima tahun yang berumur 0 – 4 tahun 11 bulan, masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa balita menjadi penentu perkembangan anak diperiode selanjutnya. Balita akan menjadi penentu masa depan suatu bangsa dan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia baik dari fisik, psikis maupun intelegensi, sehingga kesehatannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan .Lebih dari 12 juta anak di negara berkembang setiap tahunnya meninggal sebelum usia lima tahun.(Depkes RI,2008)

(19)

MTBS merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rincian penanganan penyakit yang banyak terjadi pada balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian balita dan menekan morbiditas penyakit. (Depkes RI, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini dilakukan dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan mencegah kematian akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/ keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatih serta mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting dalam MTBS (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan permenkes RI No.70 tahun 2013, MTBS juga diselenggarakan dengan berbasis masyarakat, yaitu pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita terintegrasi dengan melibatkan masyarakat sesuai standar Managemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).Tujuan penyelenggaraannya yaitu untuk meningkatkan akses pelayanan balita sakit di tingkat masyarakat pada daerah yang sulit akses terhadap pelayanan kesehatan.

(20)

tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian balita Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 11,85/1.000 kelahiran hidup, dengan wilayah tertinggi kedua yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan jumlah 19.5 per 1000 kelahiran hidup. Tahun 2014 angka kematian balita Provinsi Jawa Tengah yaitu 11.54% menurun dari tahun 2013 yaitu 11,80%. (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2015). Sedangkan angka kematian balita di Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 yaitu 13.90 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya tetapi masih cukup jauh dari target SPM (Standar Pelayanan Minimum) bidang kesehatan Kabupaten Banjarnegara yaitu 9.8 per 1000 kelahiran hidup.

(21)

SPM bidang kesehatan Kabupaten Banjarnegara yaitu 100%. ( Kemenkes RI, 2013 )

Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS apabila memenuhi kriteria melaksanakan/melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut (Depkes RI,2008). Berdasarkan survey pendahuluan didapatkan informasi bahwa pelaksanaan program MTBS di Kabupaten Banjarnegara dimulai tahun 2005, tetapi tahun 2007 hingga 2012 tidak seluruh puskesmas aktif menjalankan MTBS. Cakupan pelaksanaan MTBS tahun 2013 juga masih belum mencapai indikator 60% yaitu sebesar 55%. Sedangkan laporan bulanan hasil pelaksanaan MTBS hanya 41,5% puskesmas yang rutin melapor tahun 2013, dan 55% tahun 2014 ( Dinkes Kabupaten Banjarnegara,2015)

(22)

agar dapat mencapai target SPM bidang kesehatan di Kabupaten Banjarnegara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu, “ Faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kegiatan MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara ?”.

1.2TUJUAN PENELITIAN

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi kegiatan MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengetahui pengaruh faktor pengetahuan petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.2 Untuk mengetahui pengaruh faktor sikap petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.3 Untuk mengetahui pengaruh faktor motivasi kerja petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

(23)

terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.5 Untuk mengetahui pengaruh faktor persepsi beban kerja petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara

1.2.2.6 Untuk mengetahui pengaruh faktor ketersediaan peralatan pendukung kegiatan MTBS di Puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.7 Untuk mengetahui pengaruh faktor ketersediaan obat di Puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.8 Untuk mengetahui pengaruh faktor pelatihan yang pernah diikuti oleh petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.9 Untuk mengetahui pengaruh faktor kepemimpinan kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.2.2.10 Untuk mengetahui pengaruh faktor alokasi dana MTBS dari Dinas Kesehatan terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

(24)

1.2.2.12 Untuk mengetahui pengaruh faktor evaluasi yang dilakukan oleh kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

1.3 MANFAAT PENELITIAN

1.3.1 Manfaat bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan guna meningkatkan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat dan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap balita sakit.

1.3.2 Manfaat bagi pembaca

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang faktor yang mempengaruhi perilaku kerja petugas pelaksana terhadap penerapan MTBS.

1.3.3 Manfaat bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

(25)

1.4 KEASLIAN PENELITIAN

Peneliti Tahun dan Tempat Penelitian

(26)

Lama

sectional Variabel Terikat : pengetahua

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada variabel bebas yang diteliti . Variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu adalah , ketersediaan obat, masa kerja, dan persepsi beban kerja.

1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN

1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

(27)

1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – April 2016 .

1.6.3 Ruang Lingkup Materi

(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS )

2.1.1.1 Pengertian MTBS

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah pendekatan yang terintegrasi atau terpadu dalam

tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan atau balita yang dilaksanakan secara menyeluruh. MTBS merupakan suatu pendekatan atau cara menatalaksana balita sakit. Upaya dalam pendekatan MTBS tergolong lengkap untuk dapat mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian balita di Indonesia. Upaya yang dilaksanakan meliputi upaya preventif ( pencegahan penyakit ), perbaikan gizi, upaya promotif ( konseling ), dan upaya kuratif ( pengobatan ) terhadap penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita. ( Depkes RI, 2008 )

(29)

pelaporan hasil pelayanan MTBS di puskesmas. (Depkes RI,2006)

MTBS merupakan sistem untuk mengklasifikasikan penyakit dan pemberian pengobatan atau tindakan dengan panduan bagan alur MTBS. Bagan alur MTBS memandu petugas kesehatan untuk mengenali gejala-gejala penyakit balita, mengklasifikasikan penyakit tersebut, dan memberikan pengobatan atau tindakan yang diperlukan. Intervensi inti dari MTBS adalah keterpaduan tatalaksana kasus dari 5 penyebab utama dari kematian balita, antara lain ISPA, diare, campak, malaria, dan malnutrisi, serta kondisi yang biasa mengikutinya.(Depkes RI,2006)

2.1.1.2 Tujuan MTBS

MTBS bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit yang banyak terjadi pada balita. Penyakit tersebut adalah penyakit yang menjadi penyebab utama kematian balita antara lain, pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia). Langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada balita. Beberapa tujuan pelaksanaan MTBS, antara lain :

1. Menurunkan secara bermakna angka kematian dan kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita.

2. Memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak.

(30)

(32,4 %), sepsis (12,0 %).Kematian neonatal 7– 29 hari disebabkan oleh sepsis (20,5 %), malformasi kongenital (18,1 %) dan pneumonia (15,4 %).Kematian bayi terbanyak karena diare (42 %) dan pneumonia (24 %), penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2 %), pneumonia (15,5 %) dan DBD (6,8 %).MTBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan fasilitas kesehatan dasar, yang pada gilirannya diharapkan mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita. (Depkes RI,2008)

2.1.1.3 Strategi MTBS

MTBS merupakan kombinasi perbaikan tatalaksana balita sakit (kuratif) dengan aspek nutrisi, imunisasi (preventif dan promotif). Penyakit anak dipilih yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan bayi dan anak balita. Strategi pada MTBS memiliki tiga komponen, meliputi :

1. Komponen I : Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit ( selain dokter, petugas kesehatan non dokter juga dapat memeriksa dan menangani pasien dengan catatan sudah dilatih ). Peningkatan keterampilan petugas kesehatan yang dimaksud yaitu antara lain dengan peningkatan standar dan pedoman tatalaksana kasus, peningkatan pelatihan petugas di fasilitas kesehatan primer, peningkatan peran MTBS untuk pemberi pelayanan swasta serta menjaga kompetensi petugas kesehatan yang terlatih.

(31)

MTBS, peningkatan kualitas supervisi, alur rujukan dan pelayanan serta peningkatan sistem informasi kesehatan.

3. Komponen III : Memperbaiki praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan dirumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat), atau yang dikenal dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat ( MTBS-M ).

Strategi utama dari MTBS adalah pengelolaan masalah penyakit anak di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak. Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan preventif dan kuratif dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan dan pelayanan rumah. Implementasi MTBS merupakan gabungan antara tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit serta pemecahan masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya, petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang di layani. ( Depkes RI,2006 )

2.1.1.4 Indikator dan sasaran MTBS

(32)

2.1.1.5 Langkah-langkah pelaksanaan MTBS

Balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan, yaitu dengan cara :

1. menanyakan kepada orang tua/ wali, apa saja keluhan-keluhan/ masalah anak 2. memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'.

3. mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya - jawab dan pemeriksaan.

4. menentukan jenis tindakan/ pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.

Tindakan yang dilakukan antara lain yaitu mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah, mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah, menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, seperti aturan penanganan diare di rumah, memberikan konseling bagi ibu misalnya anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat, serta menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan. (Depkes RI,2006)

2.1.1.6 Praktik MTBS di Puskesmas

(33)

kegiatan MTBS di Puskesmas meliputi :

1. Diseminasi informasi mengenai MTBS kepada seluruh petugas puskesmas 2. Persiapan penilaian dan penyiapan logistik, obat-obat dan alat yang

diperlukan dalam pemberian pelayanan 3. Persiapan / pengadaan formulir

4. Persiapan dan penilaian serta pengamatan terhadap alur pelayanan, sejak penderita datang, mendapatkan pelayanan hingga konseling serta

5. Melaksanakan pengaturan dan penyesuaian dalam pemberian pelayanan. 6. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan dan penerapan

pencatatan dan pelaporan untuk pelayanan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Pondok Bersalin Desa/ PKD.

7. Penerapan MTBS di puskesmas dilaksanakan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan rawat jalan di tiap puskesmas.

Di beberapa puskesmas diadakan pemisahan khusus untuk poli MTBS atau poli anak. Khusus penerapan pada bayi muda, penatalaksanaan bayi muda lebih di titik beratkan pada saat petugas kesehatan (pada umumnya bidan di desa) melakukan kunjungan neonatal yaitu 2 kali selama periode neonatal. Kunjungan pertama dilaksanakan pada 7 hari pertama dan kunjungan kedua pada hari 8 - 28 hari. ( Depkes RI,2006 )

(34)

memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan balita yang sakit dan juga petugas kesehatan yang ada. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya maka, petugas harus mengetahui tentang MTBS tersebut. Hal ini berkaitan dengan perilaku dari petugas tersebut (Depkes RI, 2006).

2.1.2 Konsep Puskesmas

2.1.2.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas merupakan salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki peranan penting dalam sistem kesehatan nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan. Berdasarkan Permenkes No.75 tahun 2014 yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan yaitu suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Sedangkan puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

(35)

merata penyebarannya. Puskesmas juga merupaakan satu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembagan kesehatan masyarakat dan membina peran serta masyarakat, disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh setiap puskesmas berbeda-beda sesuai dengan tenaga dan fasilitas yang dimiliki. ( M.Fais,2009)

2.1.2.2 Fungsi Puskesmas

Berdasarkan Permenkes RI No.75 tahun 2014, puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu :

1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya

UKM atau Upaya Kesehatan Masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.

2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.

Upaya Kesehatan Perseorangan atau UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan.

(36)

1. Sebagai pusat pembagunan kesehatan di wilayah kerjaya.

2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.

3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjaya.

2.1.2.3 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas

Berdasarkan Permenkes RI No.75 tahun 2014, prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi :

1. Prinsip paradigma sehat, yaitu puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. 2. Prinsip pertanggungjawaban wilayah, yaitu puskesmas menggerakkan

danbertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayahkerjanya. 3. Prinsip kemandirian masyarakat, yaitu Puskesmas mendorong kemandirian

hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

4. Prinsip Pemerataan, yaitu puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.

(37)

6. Prinsip keterpaduan dan kesinambungan, yaitu Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program danlintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen Puskesmas.

2.1.2.4 Manajemen Puskesmas

Manajemen adalah suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan yang dimulai dari penentuan tujuan sampai pengawasan, dimana masing-masing bidang digunakan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian yang diikuti berurutan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. (Fathoni, 2012). Sedangkan manajemen puskesmas merupakan rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan keluaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis tersebut dilaksanakan puskesmas dan membentuk fungsi-fungsi manajemen. Terdapat tiga fungsi manajemen puskesmas yang dikenal, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh fungsi tersebut harus dilaksanakan secara terkait dan berkesinambungan di puskesmas. (Sulaeman, 2011)

(38)

manajemen yang dikemukakan oleh Terry, yaitu meliputi Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (penggerakan pelaksanaan), Controlling

( pengawasan/pembimbingan ), dan Evaluating (penilaian). (Sulaeman, 2011)

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi MTBS

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan MTBS di puskesmas sangat didukung oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor sumber daya manusia dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya menyangkut kegiatan MTBS. Pelaksanaan MTBS ini terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik. Keberhasilan implementasi MTBS dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Notoatmodjo(2010) faktor yang mempengaruhi perilaku kerja seseorang yaitu faktor internal ( pengetahuan, persepsi beban kerja, sikap, dan motivasi ) , dan faktor eksternal yang terdiri dari fasilitas (ketersediaan peralatan, ketersediaan obat, dan alokasi dana ), serta faktor lain meliputi masa kerja, pelatihan yang pernah diiukti, kepemimpinan kepala puskessmas , supervisi dari Dinas Kesehatan dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas.

2.1.3.1 Pengetahuan

(39)

merupakan doman yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman langsung dan pengalaman orang lain.

Pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan awal pemicu dari tingkah laku termasuk tingkah laku dalam bekerja. Pengetahuan yang baik tentang pekerjaan akan membuat seseorang menguasai bidangnya. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas/tingkatan, secara garis besar dapat dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

3. Aplikasi (application)

(40)

di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dari suatu bentuk keseluruhan yang baru.Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden, kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2012).

2.1.3.2 Sikap

(41)

belum merupakan suatu tindakan atu aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : menerima atau receiving terhadap stimulus, merespons atau responding, menghargai atau valuing, dan bertanggung jawab atau responsible. (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Allport (1954) sikap terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu kepercayaan,ide,dan konsep terhadap suatu obyek, kehidupan emosional terhadap objek serta kecenderungan untuk bertindak. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau petanyaann responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilaukan dengan pertanyaan - pertanyaan hipotesis, lalu ditanyakan pendapat responden. (Notoatmodjo, 2012).

2.1.3.3 Motivasi kerja

(42)

motivasi kerja akan mempengaruhi peningkatan produktivitas dan sebaliknya. (Fahmi,2014 )

Dorongan - dorongan yang ada pada diri seseorang mengarahkan tercapainya tujuan. Dorongan yang paling kuat menghasilkan adanya perilaku, baik berupa aktivitas terarah ke tujuan atau aktivitas tujuan. Suatu motivasi cenderung mengurangi kekutannya manakala tercapainya suatu kepuasan, terhalangnya pencapaian kepuasan, perbedaan kognisi, frustasi, atau karena kekuatan motivasinya bertambah. Motivasi seseorang tergatung pada kekuatan dari motivasi itu sendiri. Dorongan yang menyebabkan mengapa sesorang itu berusaha mencapai tujuannya baik sadar atau tidak sadar. Dorongan ini pula yag menyebabkan seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut. (Thoha, 2012)

(43)

2.1.3.4 Masa kerja

Masa kerja atau yang sering disebut senioritas menunjukan hubungan positif dengan produktifitas pekerjaan. Masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja menjadi dasar pikiran yang baik terhadap produktifitas karyawan. Perilaku di masa lalu adalah dasar perikiraan paling baik dari perilaku di masa depan, hal ini terkait dengan lama atau konsisten seseorang terhadap pekerjaannya. Semakin lama masa kerja petugas maka semakin terampil petugas tersebut dalam melaksanakan tugasnya karena memiliki banyak pengalaman. Masa kerja yang pendek dan lama memiliki pengaruh terhadap pengalaman seorang karyawan. Semakin lama masa kerja seorang karyawan, maka pengalaman yang dimiliki juga semakin matang. Dengan pengalaman yang matang, karyawan dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan karyawan dengan pengalaman yang kurang. (Fahmi,2014 )

2.1.3.5 Persepsi beban kerja

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses kognitif dimana seorang individu memilih, mengorganisasikan dan memberikan arti kepada stimulus lingkungan. Ada beberapa subproses dalam persepsi, pertama yaitu stimulus atau situasi yang hadir, selanjutnya yaitu registrasi, interpretasi, dan umpan balik. Subproses tersebut dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang yaitu psikologi, keluarga, dan kebudayaan. ( Thoha, 2012 )

(44)

melalui mana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya memberikan sesuatu makna tertentu pada lingkungannya. Interpretasi seseorang tersebut akan berpengaruh pada perilakunya dan pada gilirannya menentukan faktor-faktor apa yang dipandangnya sebagai faktor motivasional yang kuat. Seseorang dengan persepsi beban kerja yang baik akan cenderung mempunyai motivasi kerja yang baik. (Faridah, 2009)

2.1.3.6 Ketersediaan peralatan

Sarana pendukung pelaksanaan MBTS dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayati di Kabupaten Semarang terbukti mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita ( Hidayati,2011 ). Peralatan penunjang pemeriksaan balita sakit yang digunakan dalam penerapan MTBS antara lain : timer ISPA atau arloji dengan jarum detik, tensimeter dan manset anak, gelas, sendok, dan teko tempat air matang dan bersih untuk membuat oralit, infuse set dengan wing needles, semprit dan jarum suntik, timbangan bayi, termometer, kasa/ kapas, pipa lambung, alat penumbuk obat, alat pengisap lendir, RDT (Rapid Diagnostic Test) untuk malaria. Peralatan lain yang menunjang pelaksanaan MTBS yaitu :

1. Formulir tatalaksana MTBS yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS

Penyiapan formulir tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Kartu Nasihat Ibu (KNI) perlu dilakukan untuk memperlancar pelayanan. Formulir tatalaksana MTBS digunakan oleh petugas dalam memberikan pelayanan terhadap balita yang sakit.

2. Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang digunakan dalam kegiatan MTBS

(45)

mudah dalam mengingat konseling atau nasehat mengenai cara perawatan anak dan pemberian obat di rumah sesuai dengan yang disampaikan oleh bidan/ petugas kesehatan di puskesmas. (Depkes RI, 2006)

2.1.3.7 Ketersediaan obat

Adapun obat-obatan yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada dan telah termasuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Obat-obat yang diperlukan adalah kotrimoksazol tablet dewasa atau tablet atau sirup, sirup amoksilin atau tablet amoksilin, kaplet ampisilin, kapsul tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet klorokuin, tablet primakuin, tablet sulfaduksin pirimetamin (fansidar), tablet kina, diazepam suppositoria, suntikan kloramfenikol, suntikan gentamisin, suntikan penisilin prokain, suntikan ampisilin, suntikan kinin, suntikan fenobarbital, diazepam infeksi (5 mg dan 10 mg), tablet nistatin, tablet parasetamol atau sirup, tetrasiklin atau kloramfenikol salep mata, gentian violet 1% (sebelum digunakan, harus diencerkan menjadi 0,25% atau 0,5% sesuai kebutuhan), sirup besi (sulfat ferosus) atau tablet besi, vitamin A 200.000 IU dan 100.000 IU, tablet pirantel pamoat, aqua bides untuk pelarut, oralit 200cc, cairan infuse: ringer laktat, dextrose 5% NaCl, alkohol 70%, glycerin, povidone iodine. (Depkes RI,2006)

2.1.3.8 Pelatihan

(46)

kemampuan dan sasaran atas karyawan yang bersangkutan. Pelatihan dalam pengembangan sumber daya manusia adalah suatu siklus yang harus terjadi secara terus-menerus untuk mengantisipasi perubahan diluar organisasi tersebut ( Notoatmodjo,2010).

Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua cara. Yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki keterampilan yang diperlukan untuk karyawan itu agar berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Peningkatan kemampuan memperbaiki potensi karyawan itu untuk berkinerja pada tingkat yang lebih tinggi. Apakah potensi tersebut bisa terealisasi sebagian besar merupakan soal motivasi. Manfaat kedua adalah bahwa pelatihan itu meningkatkan keefektifan diri seorang karyawan. Petugas yang baru saja ditunjuk untuk melakukan suatu jenis kegiatan, jarang secara tepat sesuai kebutuhan, mereka harus dilatih agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan efektif. Karyawan dengan keefektifan diri yang tinggi mengandung harapan yang kuat mengenai kemampuan mereka untuk sukses berkinerja dalam situasi baru. Tujuan dari dilaksanakannya pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) secara umum adalah mengajarkan proses manajemen kasus kepada perwat, bidan, dokter dan tenaga kesehatan lain yang menangani balita sakit dan bayi muda di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Pelatihan pada petugas MTBS juga akan mempengaruhi pada ketepatan pemberian dosis obat pada balita sakit. Petugas yang mengikuti pelatihan in-service dengan alat bantu kerja dan kunjungan tindak

(47)

melaksanakan MTBS ( Joseph,et al, 2006).

Upaya pelatihan harus dapat memberikan pengalaman belajar yang baik bagi petugas. Pelatihan dapat meyakinan bahwa, :

a. Dalam mempelajari sesuatu yang mereka yakini, pasti mengandung manfaat. b. Proses belajar dapat memberikan keterampilan, dan apabila keterampilan

tersebut semakin sering dipraktikkan, akan semakin tinggi tingkat keterampilannya.

c. Keterampilan yang dipraktikkan dengan baik akan mendapat imbalan yang setimpal sebagai umpan balik.

d. Imbalan yang diperoleh dapat berasal dari berbagai sumber.

Tujuan dari pelatihan ini yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas.( Notoatmodjo,2010 )

2.1.3.9 Kepemimpinan

(48)

direncanakan. ( Fahmi, 2014 ). Seorang manajer yang ingin kepemimpinannya lebih efektif, ia harus mampu :

a. Memotivasi dirinya sendiri untuk bekerja dan banyak membaca

b. Memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap permasalahan organisasi. Ia harus selalu merasa ditantang untuk mengatasi hambatan kerja yang dapat menjadi penghalang tercapainya tujuan organisasi yang ia pimpin.

c. Menggerakkan (memotivasi) stafnya agar mereka mampu melaksanakan tugas pokok organisasi sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya dan tanggung jawab yang melekat pada setiap tugas.

Dalam suatu organisasi fungsi dan peran pemimpin dalam mendorong pembentukan organisasi yang diharapkan menjadi dominan. Pada era globalisasi kepemimpinan yang dibutuhkan adalah yang memiliki nilai kompetensi tinggi, dan kompetensi itu bisa diperoleh jika pemimpin tersebut telah memiliki pengalaman dan pengetahuan maksimal. Seorang pemimpin memiliki pengaruh besar dalam mendorong peningkatan kinerja karyawan. Peningkatan kualitas kerja bawahan memiliki pengaruh pada penciptaan kualitas kerja sesuai dengan pengharapan. Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan bawahanya untuk memiliki kompetensi dalam bekerja. Dalam menerapkan prosedur MTBS komitmen pemimpin atau kepemimpinan kepala puskesmas dapat berupa perhatian yang diberikan terhadap pelaksanaan implementasi MTBS. Perhatian tersebut dapat diwujudkan melalui pengarahan dan evaluasi MTBS.(Fahmi, 2014)

2.1.3.10 Alokasi dana

(49)

Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Departemen Kesehatan RI berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana MTBS. Sudah dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat berlangsung terus menerus sehingga diharapkan puskesmas dapat sedikit demi sedikit memenuhi kebutuhan sarana penunjang MTBS. Sarana yang sudah tersedia antara lain tenaga paramedis, dan medis terlatih, alat bantu hitung napas, kartu nasehat ibu, pencatatan formulir serta obat-obatan. (Depkes RI,2008)

2.1.3.11 Supervisi

Supervisi dapat merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training. Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana,karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan untuk meningkatkan kinerja petugas. Supervisor harus memantau pengawasan, memahami pengaruh yang berkembang dan menggunakan sumber daya serta wewenang mereka untuk mempromosikan pengawasan dan menghapus hambatan untuk pengawasan ( Alexander,et al, 2010 ).

2.1.3.12 Evaluasi

(50)

mengenai berbagai aspek pengembangan dan pelaksanaan suatu program dan kegiatan-kegiatan yang membentuk program itu, relevansinya, rumusannya, efisiensinya dan efektivitasnya, biayanya dan penerimaannya oleh semua pihak yang terlibat. Evaluasi ditujukan untuk megetahui sejauh mana kegiatan pogram berjalan dengan baik dan apakah tujuan program telah tercapai serta faktor apa saja yang perlu mendapat perhatian khusus dan perbaikan untuk pengembangan program selanjutnya. ( Notoatmodjo,2010 )

Pada umumnya evaluasi dilaksanakan terhadap program-program pembangunan kesehatan khususnya evaluasi/ penilaian terhadap pembangunan kesehatan di tingkat kabupaten/ dati II, rumah sakit pemerintah dengan instrumen stratifikasi rumah sakit atau akreditasi rumah sakit swasta serta penilaian terhadap puskesmas dengan instrumen sratifikasi puskesmas.Menurut Mubarak (2009), evaluasi merupakan kegiatan menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Adapun tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :

1. Membantu perencanaan di masa yang akan datang.

2. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaik- baiknya. 3. Menentukan kelemahan dan kekuatan daripada program , baik dari segiteknis maupun administratif yang selanjutnya diadakan perbaikan-perbaikan.

4. Membantu menentukan strategi, artinya mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan selama ini masih bisa dilanjutkan, atau perlu diganti.

(51)

6. Motivator, jika program berhasil , maka akan memberikan kepuasan dan rasa bangga kepada para staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih giat lagi.

(52)

2.2KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Depkes RI (2008), Notoatmodjo ( 2010 )

Faktor Eksternal, Fasilitas yaitu :

 Ketersediaan perlatan

 Ketersediaan obat  Aloksi dana

Faktor Eksternal :  Kepemimpinan  Supervisi  Pelatihan yang

pernah dikuti  Masa kerja  Evaluasi

Faktor Internal :  Pengetahuan  Persepsi beban

kerja  Sikap

 Motivasi Kerja

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) di Puskesmas

(53)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 KERANGKA KONSEP

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2VARIBEL PENELITIAN

3.2.1 Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat ( Sugiyono,2009). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu, pengetahuan, pelatihan yang pernah diikuti, masa kerja, persepsi beban kerja, sikap, motivasi kerja, kepemimpinan, ketersediaan peralatan, ketersediaan obat, alokasi dana, supervisi dan evaluasi.

3.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi Variabel Bebas :

 Pengetahuan

(54)

akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono,2009). Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada petugas pelaksana.

3.3 HIPOTESIS PENELITIAN 3.3.1 Hipotesis Mayor

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2 Hipotesis Minor

3.3.2.1 Faktor pengetahuan petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.2 Faktor sikap petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.3 Faktor motivasi petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.4 Faktor masa kerja petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.5 Faktor persepsi beban kerja petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

(55)

pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.7 Faktor ketersediaan obat memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.8 Faktor pelatihan yang diikuti petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.9 Faktor kepemimpinan kepala Puskesmas memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.10 Faktor alokasi dana untuk MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.3.2.11 Faktor supervisi oleh Dinas Kesehatan memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

(56)

3.4 DEFINISI OPERASIONAL DAN SKALA PENGUKURAN VARIABEL Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

N

(57)

2 Sikap Reaksi atau

(58)

4 Masa Kerja Lama

(59)

6 Ketersediaa

(60)

8 Pelatihan Pelatihan

(61)

11 Supervisi Ada tidaknya

12 Evaluasi Ada tidaknya penilaian hasil

3.5 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian penjelasan ( explanatory research) karena bersifat menjelaskan pengaruh antara variabel-varabel penelitian

(62)

sectional atau potong lintang.

3.6 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.6.1 Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu (Sugiyono,2009). Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh petugas pelaksana MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.6.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu dalam hal ini sampel berkaitan dengan kegiatan MTBS (Sugiyono,2009). Sampel dalam penelitian ini yaitu petugas MTBS di puskesmas yang aktif menjalankan program MTBS di Kabupaten Banjarnegara. Sampel dihitung dengan menggunakan rumus untuk sampel tunggal dengan hipotesis proporsi suatu populasi (Sudigdo, 2006 )

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

{ √( ) √( ) ( )}

Keterangan :

(63)

Z1-α/2 : 1,96 (jika α : 5%)

Z1-β : 1,64 (jika β : 5%)

p1 : Proporsi paparan pada kelompok terpapar (a/a+b)

p2 : Proporsi paparan pada kelompok tidak terpapar (c/c+d)

Berdasarkan rumus diatas, maka besar sampel minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :

{ √( ) √( ) ( )}

{ √ √ }

Besar sampel minimal yang digunakan dalam penelitian yaitu sejumlah 47.

3.7 SUMBER DATA

(64)

dan data sekunder.

3.7.1

Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan sendiri oleh peneliti dari responden selama penelitian. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung dengan menggunakan lembar kuesioner . Pengisian kuesioner dilakukan dengan metode wawancara terhadap responden. Kuesioner berisi pertanyaan yang sudah terdapat alternatif jawabannya.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari orang lain yang dalam penelitian ini berasal dari instansi-instansi kesehatan yaitu dari Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara.

3.8 INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA 3.8.1 Instrumen Penelitian

. Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data berdasarkan pertanyaan dan pernyataan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan menjadi kendala implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara.

(65)

memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Untuk itu kuesioner tersebut harus di uji coba ” trial” lapangan.

1) Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut benar -benar mengukur apa yang diukur. Kuesioner diujikan pada petugas pemegang program MTBS di 8 Puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Magelang,yaitu Puskesmas Secang I, Pusskesmas Secang II, Puskesmas Mertoyudan I, Puskesmas Kota Mungkid, Puskesmas Mungkid, Puskesmas Muntilan II, Puskesmas Bandongan, dan Puskesmas Kaliangkrik dimana di wilayah kerja tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan wilayah Kabupaten Banjarnegara yaitu memiliki angka kematian balita yang hampir sama sebesar 13.88% tahun 2014. Uji validitas yang digunakan yaitu korelasi pearson product moment sehingga akan diperoleh koefisien korelasi atau r hitung pada setiap soal per variabel. Instrumen atau soal dinyatakan valid, jika koefisien korelasi atau r hitung lebih besar dari r tabel. (Sugiyono,2009)

Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan program SPSS versi 16.00, dimana hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan dengan nilai r tabel product moment pearson, dimana untuk uji validitas dengan N = 24 dan taraf signifikansi 5% diketahui bahwa nilai r tabel = 0,404. Jika r hitung > r tabel = 0,404, maka butir atau variabel pertanyaan tersebut dinyatakan valid.

(66)

petugas, 1 butir soal untuk variabel masa kerja petugas, 5 butir soal untuk variabel persepsi beban kerja petugas, 5 butir soal untuk variabel ketersediaan peralatan dan obat, 2 butir soal untuk variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, 7 butir soal untuk variabel kepemimpinan kepala puskesmas, 1 butir soal untuk variabel alokasi dana, 2 butir soal untuk variabel supervisi oleh Dias Kesehatan , 2 butir soal untuk variabel evaluasi oleh Kepala Puskesmas, 3 butir soal untuk variabel implementasi MTBS.

(67)

0,610, soal no.4 = 0,507, soal no.5 = 0,610, soal no.6 = 0,545, soal no.7 = 0,610, soal no.8 = 0,565, soal no.9 = 0,685, dan soal no.10 = 0,612, soal no.11 = 0,727, soal no.12 = 0,431. Pada variabel masa kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,612. Pada variabel persepsi beban kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk buti soal no.1 = 0,628, soal no.2 = 0,579, soal no.3 = 0,600, soal no.4 = 0,500, dan soal no.5 = 0,646. Pada variabel ketersediaan peralatan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,541, soal no.2 = 0,683, dan soal no.3 = 0,541.

(68)

pertanyaan dinyatakan valid, karena koefisien korelasi (r xy ) atau r hitung lebih besar dari r tabel = 0,404.

2) Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan . Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Seperti halnya dengan uji validitas, untuk mengetahui apakah instrumen penelitian ini reliabel atau tidak maka digunakan program komputer. Adapun tolak ukur untuk mempresentasikan derajat reliabilitas adalah dengan menggunakan metode Alpha Cronbach. Apabila pengujian reliabilitas dengan metode Alpha, maka nilai r hitung diwakili oleh Alpha. Jika Alpha hitung lebih besar daripada r tabel dan Alpha hitung bernilai positif, maka instrumen penelitian tersebut dinyatakan reliabel.

(69)

lebih besar dari r tabel ( 0,404 ) sehingga kuesioner dinyatakan reliabel.

3.8.2 Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1. Wawancara

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan menggunakan lembar kuesioner yang berisi pertanyaan atau pernyataan yang berhubungan dengan variabel penelitian yang harus dijawab responden.

2. Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencari data pendukung dari kegiatan penelitian yang berupa visual, yaitu : foto kegiatan penelitian.

3.9 PROSEDUR PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 3.9.1 Tahap Pra Penelitian

1. Memilih masalah yang akan diteliti berbasiskan data

2. Mengurus perijinan dan melaksanakan studi pendahulun ke lapangan 3. Menyusun rancangan penelitian

4. Melakukan uji coba kuesioner 3.9.2 Tahap Penelitian

1. Memahami latar penelitian dan persiapan diri

(70)

3.9.3 Tahap Analisis data

Melakukan analisis data dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan penyusunan laporan.

3.10 TEKNIK ANALISIS DATA 3.10.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengn langkah sebagai berikut : 1. Editing

Jawaban yang telah diberi kode dilakukan pengecekan ulang terhadap jawaban responden, apabila ada kesalahan maka jawaban tersebut harus dicek ulang pada responden.

2. Koding

Jawaban responden yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner, selanjutnya diberi kode untuk memudahkan pengolahan data.

3. Entry Data

Kegiatan memasukan data dengan menggunakan program computer. 4. Tabulasi

Kegiatan mengelompokkan data sesuai dengan variabel yang akan diteliti guna memudahkan analisis data. Tabulasi data yang dilakukan meliputi variabel faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

(71)

3.10.2.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian dalam bentuk tabel untuk memberikan gambaran umum hasil penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi implementasi MTBS pada petugas pelaksana di puskesmas Kabupaten Banjarnegara.

3.10.2.2 Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya akan digeneralisasikan dalam populasi. Analisis melalui variabel-variabel yang diteliti dengan melihat pengaruh antara satu variabel bebas dan terikat. Analisis menggunakan uji statistic chi-square, bila tidak memenuhi syarat uji chi-square maka menggunakan uji fisher. Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan probabilitas. Adapun kriteria hubungan berdasarkan nilai p value (probabilitas) yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai kemaknaan, sebagai berikut :

1. Jika p < 0,05 = Ho ditolak, artinya kedua variabel “ada pengaruh/hubungan”.

2. Jika p ≥ 0,05 = Ho diterima, artinya kedua variabel “tidak ada pengaruh/ hubungan”.

Sedangkan untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, maka dipakai koefisien korelasi yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien

(72)

0,00-0,199 Sangat Lemah

0,20-0,399 Lemah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat

0,80-1,000 Sangat Kuat

(73)

54 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Banjarnegara secara astronomi terletak diantara 7º.12’-7º.31’ Lintang Selatan dan 109º.29’-109º.45’.50” Bujur Timur. Dibatasi oleh 4 kabupaten di sebelah utara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, sebelah timur Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan Kabupaten Kebumen, dan sebelah barat Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banjarnegara terletak pada jarak 120 km ke arah barat dari Ibu Kota Propinsi.

Dengan luas wilayah kurang lebih 1,069.71 Km2 atau 106.970,997 Ha atau

sekitar 3,29% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Secara administratif Kabupaten Banjarnegara terbagi dalam 20 kecamatan, 266 desa, dan 12 kelurahan. Daerah yang terluas adalah Kecamatan Punggelan dengan luas 108,84 Km2 atau sekitar 10,1% dari luas total wilayah kerja Banjarnegara. Sedangkan Kecamatan Purworejo Klampok merupakan wilayah paling kecil yaitu hanya seluas 21.87 Km2 atau sekitar 1,6%. Berdasarkan bentuk tata alam dan

penyebaran geografis digolongkan menjadi daerah relief bergelombang dan curam pada bagian utara, relief datar pada bagian tengah, dan relief curam pada bagian selatan.

(74)

penduduk menurut jenis kelamin dan umur di Kabupaten Banjarnegara tahun 2014, dengan jumlah penduduk total sebesar 1.006.852 jiwa, terdiri dari 505.876 laki-laki dan 500.956 perempuan. Struktur penduduk Kabupaten Banjarnegara menurut golongan umur tahun 2011-2014 dapat dilihat dalam tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Struktur Penduduk Kabupaten Banjarnegara Menurut Golongan Umur Tahun 2011-2014

Golongan Umur

(Th Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

<1 16.151 16.358 16.314 16.182

1 – 4 58.823 39.143 66.449 64.248

5 – 14 181.901 178.573 183. 052 169.306

15 – 44 455.391 429.522 414.832 428.580

45 – 64 211.380 220.735 226.195 241.258

65 ke atas 62.709 71.578 87.395 87.258

Total 987.355 980.298 994.237 1.006.832

(75)

941,23/km2. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yaitu kepadatan penduduk 929,42/km2.

Dinas Kabupaten Banjarnegara memiliki wilayah kerja puskesmas dengan jumlah 35 puskesmas. Sedangkan untuk lokasi penelitian berjumlah 16 puskesmas. Puskesmas yang menjadi lokasi penelitian terdiri dari Puskesmas Susukan I, Puskesmas Klampok I, Puskesmas Mandiraja I, Puskesmas Purwanegara I, Puskesmas Purwanegara II, Puskesmas Bawang I, Puskesmas Banjarnegara I, Puskesmas Banjaregara II, Puskesmas Punggelan I, Puskesmas Rakit I, Puskesmas Rakit II, Puskemas Wanadadi I, Puskesmas Wanadadi II, Puskesmas Bajarmangu I, Puskesmas Madukara I, dan Puskesmas Madukara II.

Responden dalam penelitian ini adalah petugas pelaksana program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Petugas pelaksana MTBS dalam satu puskesmas diambil tiga orang petugas dan satu puskesmas dengan dua orang petugas, sehingga berjumlah 47 orang petugas pelaksana program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Analisis Univariat

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Tabel 4.1 Struktur Penduduk Kabupaten Banjarnegara Menurut Golongan Umur Tahun 2011-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan kegiatan dalam bidang keuangan dan personalia dilakukan oleh Pembantu Dekan II bersama dengan SubBag Keuangan dan Kepegawaian. Bidang tersebut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa construct yang dibuat dari TPB, berupa Konsekuensi, Norma Subyektif, Faktor Situasional dan Kontrol Perilaku bisa efektif untuk

SPJ LALU JUMLAH ANGGARAN URAIAN LS GU /

Pertama : Menunjuk/Mengangkat yang namanya tersebut pada kolom 6 Lampiran Surat Keputusan ini sebagai Dosen Pengasuh Mata Kuliah dan Praktikum Fakultas

Diversifikasi kurikulum di madrasah dan sekolah dengan konsep integrasi keilmuan sains dan agama tersebut perlu dilakukan dengan mengacu pada UU Sisdiknas Pasal 36,

a hallgatóknak könnyíteni kell. Az itt nyert idő minden bizonnyal bősége- sen kamatozik az elmélet és gyakorlat számára egyaránt, ha a hallgató a mélyebb

Provedenim su se istraživanjem također nastojale ispitati vlastite procjene učenika o svojim sposobnostima u aktivnosti kojom se bave, te utvrditi postoji li povezanost