TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan Oleh:
S U P A R T A NPM : 0864020050
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR SURABAYA
TESIS
Yang dipersiapkan dan disusun oleh :
S U P A R T A NPM : 0864020050
Telah dipertahankan didepan Dosen Penguji Pada Tanggal : 11 Juni 2010 dan dinyatakan telah
Memenuhi syarat untuk diterima
SUSUNAN DEWAN PENGUJI Pembimbing Utama
Prof. Dr. Djohan Mashudi, SE, MS
Anggota Penguji Lain
Ir. Setyo Parsudi, MP
Pembimbing Pendamping
Dr. Ir. Sudiyarto, MM
Ir. Sri Widayanti, MP
Ir. Endang Yektiningsih, MP
Surabaya, Juni 2010 UPN “Veteran” Jawa Timur
Program Pascasarjana Direktur,
Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian tesis dengan judul “ANALISIS KOMPARASI USAHATANI PADI SAWAH METODE SRI (System of Rice Intensification) DAN KONVENSIONAL DI KECAMATAN GERIH KABUPATEN NGAWI” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen Agribisnis Strata dua (S2) pada Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.
Penyusunan proposal tesis ini tidak akan mungkin berjalan tanpa ada bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Djohan Mashudi, MS selaku dosen pembimbing I yang telah memberi motivasi, saran perbaikan dalam penyusunan tesis.
2. Bapak Dr. Ir. Sudiyarto, MM selaku dosen pembimbing II yang telah memberi petunjuk dalam penyusunan tesis.
membangun untuk mendekati sebuah kesempurnaan. Semoga penulisan proposal penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. Amien.
Ngawi, Juni 2010
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 9
2.2 Landasan Teori ... 13
2.2.1 Tinjauan Umum Komoditas Padi ... 13
2.2.2 Pola Tanam ... 15
2.2.3 Usahatani Padi Metode SRI ... 17
2.2.4 Penelitian Usahatani ... 26
2.2.5 Pengertian Produksi, Biaya Produksi, Penerimaan dan Efisiensi ... 28
2.2.6 Hubungan Antara Produksi, Biaya Produksi dengan Penerimaan ... 32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 45
3.2 Metode Penentuan Populasi dan Sampel ... 45
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4 Pengukuran Variabel ... 47
BAB IV ANALISA DATA 4.1 Metode Analisa Data... 50
4.1.1 Budidaya Padi Metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi. ... 50
4.1.2. Membandingkan Struktur Biaya Dan Pendapatan Usahatani Padi Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi. ... 50
4.1.3 Menghitung Efisiensi Usahatani Padi Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi. ... 52
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Budidaya Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification) Di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi ... 55
5.2 Keadaan Fisik Daerah ... 64
5.2.1 Letak Daerah Administratif ... 64
5.3 Karakteristik Petani ... 70
5.3.1 Umur Petani ... 71
5.3.2 Pendidikan Petani... 72
5.3.3 Luas Pemilikan Lahan ... 73
5.4 Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi ... 74
5.4.1 Biaya Tetap (Fixed Cost) ... 74
5.4.2 Biaya Variabel (Variabel Cost) ... 76
5.4.3 Penerimaan Usaha Tani Padi ... 78
5.4.4 Produksi ... 79
5.4.5 Pendapatan ... 79
5.5 Pengujian Hipotesis ... 80
5.5.1 Total Biaya ... 80
5.5.2 Total Penerimaan ... 81
5.5.3 Laba ... 82
5.6 Analisis Efisiensi Usahatani Padi Sawah Metode SRI dan konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi ... 84
5.6.1 Analisis R/C Ratio ... 84
5.6.2 Analisis B/C Ratio ... 86
Tabel 1. Komposisi Zat Makanan Pada Buah Padi tiap 100 gramnya ... 14
Tabel 2. Perbedaan sistem tanam padi Organik SRI dengan sistem Konvensional ... 22
Tabel 3. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan per Bulan di Kecamatan Gerih ... 66
Tabel 4. Sarana dan Prasarana Pertanian di Kecamata Gerih ... 67
Tabel 5. Jenis Tanaman dan Produksinya di Kecamatan Gerih ... 69
Tabel 6. Lembaga dan Fasilitas Pertanian di Kecamatan Gerih ... 70
Tabel 7. Karakteristik Petani Berdasarkan Usia ... 71
Tabel 8. Karakteristik Petani Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 72
Tabel 9. Karakteristik Petani Berdasarkan Kepemilikan Lahan ... 73
Tabel 10. Rata-Rata Biaya Tetap Petani SRI dan Konvensional per Ha ... 75
Tabel 11. Rata-Rata Biaya Variabel Petani SRI dan Konvensional per Ha ... 76
Tabel 12. Rata-Rata Penerimaan Petani SRI dan Konvensional per Hektar .... 78
Tabel 13. Rata-Rata Pendapatan Petani SRI dan Konvensional per Hektar... 79
Pembimbing II: Dr. Ir. Sudiyarto, MM.
Kebijakan produksi beras menjadi kebijakan inti dalam pembangunan pertanian. Permasalahan di lapangan adalah, semakin turunnya daya dukung lahan dengan adanya penyempitan areal, berkurangnya tingkat kesuburan tanah, sehingga perlu adanya inovasi teknologi budidaya padi seperti metode SRI.
Tujuan dari penelitian adalah (1) Untuk medeskripsikan metode budidaya padi sawah metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, (2) Membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, (3) Menghitung efisiensi usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi.
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara Purposive, dengan pertimbangan telah dilaksanakan program SRI yang diresmikan Gubernur Jawa Timur. Populasi dalam penelitian ini adalah petani padi varietas ciherang di Kecamatan Gerih dengan Metode SRI dan Konvensional. Metode sampling menggunakan Purposive Sampling. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 40 petani yang tersebar di kecamatan Gerih.
Metode analisis data yang digunakan adalah : (1) Analisis deskriftif, untuk mediskripsikan budidaya padi sawah Metode SRI, (2) Analisis Uji t, untuk menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan, (3) Analisa Kelayakan Usahatani digunakan untuk menghitung efisiensi.
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata biaya produksi petani SRI sebesar Rp. 15.697.750,00 lebih besar dari petani konvensional (Rp. 12.926.400,00). Dengan Uji t menunjukkan perbedaan yang nyata antara biaya produksi petani SRI dengan petani konvensional. Rata-rata penerimaan untuk petani SRI sebesar Rp. 22.727.550,00 lebih tinggi dari penerimaan petani konvensional sebesar Rp. 18.062.650,00. Dengan menggunakan Uji t menunjukkan perbedaan yang nyata antara penerimaan petani SRI dengan petani konvensional. Rata-rata pendapatan/laba untuk petani SRI sebesar Rp. 7.029.850,00 lebih besar daripada tingkat laba petani konvensional sebesar Rp. 5.136.250,00. Dengan menggunakan Uji t menunjukkan perbedaan yang nyata antara pendapatan petani SRI dengan petani konvensional.
Nilai R/C Ratio masing-masing adalah 1,46 untuk metode SRI dan 1,40 untuk metode Konvensional, sehingga usahatani ini dikatakan efisien. Namun teknologi SRI mampu memberikan nilai R/C ratio yang lebih besar, yakni dengan selisih sebesar 0.6 satuan, dan mengingat teknologi ini masih baru sehinga berpotensi untuk dikembangkan. Nilai B/C Ratio incremental sebesar 0,68 artinya usahatani padi metode SRI lebih menguntungkan sebesar 0,68 satuan dibandingan dengan metode konvensional, sehingga metode SRI layak untuk dianjurkan penggunaanya oleh petani.
Counsellor II.: Dr. Ir. Sudiyarto, MM.
Rice production policy becomes core policy in agricultural development. About problem at the site is, progressively descent of farm advocate energy by marks sense acreage narrowing, its dwindling is level soiled fecundity, so needs to mark sense conducting technology innovation paddy as SRI method.
To the effort of observational is (1) For explain to methodic paddy conducting SRI at Gerih district Ngawi Regency, (2) Compare cultivation cost and income structure paddies SRI Methods and Conventional at Gerih district Ngawi Regency, (3) Account cultivation efficiencies paddies SRI Methods and Conventional at Gerih district Ngawi Regency.
Observational region determination done by Purposive methods, with consideration was performed SRI program that formalized by East Java Governor. Population in observational is paddy ciherang varieties farmer at Gerih district by SRI Methods and Conventional. Sampling method utilizes Purposive Sampling. Total sample that is taken as much 40 farmers spread at Gerih district.
Analysis’s method data that is utilized is: (1) Descriptive Analysis, to clarifies paddy conducting SRI Methods, (2) t tests analysis, to analize cost structure compare and income, (3) Cultivation Feasibility Analysis’s is utilized to account efficiencies.
Base observational result, averagely SRI farmer production cost as big as Rp. 15.697.750,00 greater of conventional farmer (Rp.12.926.400,00). The t test point out a marked difference among SRI farmer production cost with conventional farmer. Average accepting for SRI farmer as big as Rp. 22.727.550,00 higher than accepting conventional farmer as big as Rp. 18.062.650,00. By t test point out a marked difference among accepting SRI farmer with conventional farmer. Average interest for SRI farmer as big as Rp. 7.029.850,00 greater than level interest conventional farmer as big as Rp. 5.136.250,00. By t test point out a marked difference among income SRI farmer with conventional farmer.
R/C Ratio point show 1,46 for SRI method and 1,40 for Conventional method, so all cultivation it is said efficient. But SRI technology can assign value R/C ratio that greater, namely with difference as big as 0.6 unit, and remembers this technology still new so its potentially to be developed. B/C Ratio Incremental point as big as 0,68 its means paddy cultivation methods SRI more advantage as big as 0,68 unit at appeal by methods conventional, so SRI method reasonably to be advised the use of by farmer.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah pertanian, yang mayoritasnya usaha pertaniannya masih berupa usaha kecil berbasis keluarga, dengan produksi musiman, praktek kultivasi dan manajemen yang masih tradisional. Kebanyakan para petani kecil merupakan produsen mandiri, yang menjual hasil pertaniannya dengan daya jual rendah dan harus bertahan menghadapi suplier input dan produk pasar. Pemasaran pertanian ini terlihat kurang berkembang dengan indikator seperti tumpang tindihnya jalur-jalur pemasaran, infrastruktur, informasi harga yang tidak tepat, minimnya produk pasca panen, dan pengemasan produk yang buruk.
Beras merupakan komoditas penting dan strategis bagi Indonesia karena merupakan makanan pokok dan sumber perolehan karbohidrat bagi lebih dari 200 juta jiwa penduduknya. Upaya difersifikasi pangan tampaknya masih belum mampu mengubah preferensi penduduk terhadap beras. Berkaitan dengan hal ini, dalam jangka panjang beras akan tetap menjadi pangan pokok penduduk indonesia, sehingga kebijakan produksi beras akan tetap menjadi kebijakan inti dalam pembangunan pertanian.
Setelah lebih dari dua dekade pemerintah telah mencurahkan perhatian terhadap masalah pangan dengan mengerahkan seluruh sumberdaya, baik sumberdaya alam, kapital, dan kelembagaan, akhirnya tahun 1984 Indonesia di kategorikan sebagai negara berswasembada pangan, utamanya beras. Irawan dkk (2000) mengemukakan bahwa keberhasilan swasembada beras tersebut ditentukan oleh beberapa faktor kunci yaitu (a) meningkatnya produktivitas usahatani melalui perbaikan teknologi usahatani, dan (b) tersedianya anggaran pemerintah yang cukup (berkat boom minyak) untuk membiayai berbagai proyek dan program pengembangan teknologi usahatani serta proses sosialisasi di tingkat petani, (c) pengembangan infrastruktur seperti irigasi, lembaga penyuluhan dan sebagainya.
kelahan-lahan marjinal yang produktivitasnya rendah; (b) Persaingan yang semakin ketat dalam pemanfaatan sumber daya air antara sektor pertanian dengan sektor industri dan rumah tangga, disertai dengan menurunnya kualitas air akibat limbah industri dan rumah tangga, yang pada gilirannya produktivitas pertanian pun menjadi menurun; (c) Kualitas tenagakerja di sektor pertanian secara umum lebih rendah dari pada sektor industri dan jasa, sehingga tenagakerja muda cenderung lebih memilih sektor non pertanian.
Di samping tersebut di atas, kemandegan produksi padi antara lain karena produktivitas padi secara nasional telah mengalami levelling-off yang disebabkan oleh kemandegan teknologi terutama penemuan bibit padi unggul, penurunan investasi sarana dan prasarana, seperti kredit finansial, penyuluhan pertanian, pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya, memasuki Pelita IV hingga Pelita VI, penerapan tekonologi tidak lagi memberikan lonjakan produksi yang nyata seperti dalam Pelita-Pelita sebelumnya, sekalipun luas areal penen masih dapat diperluas masing-masing 2,1 dan 1,3 persen pada periode yang sama.
karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus-menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang/dibakar sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan. Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan :
1. Keseimbangan alam terganggu
2. Musuh alami hama menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh berkembang dengan pesat
3. Adanya residu pestisida pada hasil panen
Dari aspek pengelolaan air usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus dilain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air.
Berbagai paket teknologi untuk meningkatkan produktifitas padi telah diimplementasikan pemerintah, melalui beberapa program nasional diantaranya: program peningkatan ketahanan pangan melalui Departemen Pertanian yang bertugas untuk meningkatkan kebutuhan bahan pangan beras sebanyak 2 juta ton beras, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi impor beras. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, Departemen Pertanian membuat program ketahanan pangan yang diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan budidaya padi sawah dengan metode System Of Rice Intensification (SRI). Permasalahan yang ditemui di lapangan adalah, semakin turunnya daya dukung lahan dengan adanya penyempitan areal akibat alih fungsi lahan, berkurangnya kandungan bahan organik dalam tanah yang mengakibatkan tingkat kesuburan tanah semakin menurun.
Penerapan SRI di Kabupaten Ngawi ini didasari kenyataan bahwa daerah Ngawi merupakan daerah agraris dan merupakan lumbung pangan Jawa Timur. Sebagaian penduduk tinggal di daerah pedesaan dan menggantungkan usahanya pada sektor pertanian. Disamping itu Kab. Ngawi yang mempunyai luas wilayah 1.298,58 Km2, potensi lahan pertaniannya mencapai 673.869 Ha (84,7 %) akan tetapi besarnya potensi ini tidak dimbangi dengan inovasi teknologi yang ternyata masih rendah. Selain itu, kondisi geografis Ngawi yang tidak merata ketersediaan airnya, membuat petani harus kreatif dan inovatif untuk terus mengembangkan metode baru yang bisa memecahkan permasalahan ketersediaan air ini. untuk itu SRI yang terkenal dengan hemat airnya sangat cocok dikembangkan di Ngawi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :
1. Bagaimana Penerapan Budidaya Padi Sawah Metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi?
2. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi?
3. Bagaimana efisiensi usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk Medeskripsikan Metode Budidaya Padi Sawah Metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi.
2. Membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi. 3. Menghitung efisiensi usahatani padi sawah Metode SRI dan Konvensional
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi semua pihak yang terkait dan tertarik dengan usahatani padi sawah Metode SRI (System of Rice Intensification).
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam penerapan dan pengembangan kebijakan usahatani padi sawah Metode SRI.
3. Sebagai bahan informasi bagi para petani padi yang berminat dalam penerapan usahatani padi sawah Metode SRI.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Anugrah, Iwan Setiaji (2008) di dua lokasi
kajian (Kabupaten Garut dan Ciamis), bahwa pada awal penerapan pola SRI
terjadi penurunan produktivitas, terutama pada tanah-tanah yang memiliki
kesuburan yang rendah. Penurunan produksi pada musim tanam pertama dan
kedua, dalam penerapan SRI mencapai 30-50 persen. Namun melalui pemberian
kompos yang kontinyu, produktivitas lahan secara perlahan meningkat. Pada
musim ke empat, untuk tanah-tanah yang tidak terlalu subur tingkat produktivitas
relatif sama dengan produktivitas usahatani yang menggunakan teknik
konvensional.
Ketetapan petani untuk terus menerapkan SRI, meskipun pada awal
usahatani mengalami penurunan hasil, didorong oleh pemahaman pola usahatani
yang sehat dan berkelanjutan. Dengan meninggalkan pupuk kimia dan pestisida,
diyakini akan mampu memperbaiki kesehatan tanah dan tanaman. Padi yang
dihasilkan melalui pola tanam organik diyakini membawa dampak pada
kehidupan yang lebih sehat.
Peningkatan produktivitas pada umumnya terjadi karena jumlah anakan
padi lebih banyak. Teknologi yang digunakan, pada dasarnya memungkinkan
Dengan anakan yang cukup banyak, menyebabkan anakan produktif yang
terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan hasil gabah yang
lebih tinggi. Hampir semua jenis padi yang ditanam memberikan peningkatan
produksi terutama bagi petani yang telah melakukan pola SRI lebih dari dua kali
tanam. Hasil wawancara dengan sejumlah responden di Garut dan Ciamis
menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan hasil padi sebesar 1 ton/ha (18 %) dan
0,25 ton/ha (5,6 %) masing-masing di kabupaten Garut dan Ciamis.
Berdasarkan pengalaman petani di lokasi kajian, hasil padi yang diperoleh
dengan metode SRI rata-rata berkisar 5-7 ton per hektar. Sementara bila
diusahakan secara konvensional diperoleh hasil gabah rata-rata berkisar antara 4-5
ton per hektar. Budidaya padi pola SRI membentuk anakan yang jauh lebih
banyak daripada pola konvensional. Jumlah anakan pada pola SRI berkisar 30-40
anakan/rumpun sedangkan pola konvensional berkisar 20–25 anakan/rumpun.
Penggunaan pupuk organik yang cukup tinggi pada setiap musim tanam baik di
Kabupaten Garut maupun Ciamis menyebabkan penyediaan hara untuk
pertumbuhan tanaman selalu terjamin. Hal ini tampak pada kondisi pertanaman
petani yang tidak lagi menggunakan pupuk anorganik namun daun tanaman masih
dapat dipertahankan hijau sampai tahap menjelang panen.
Rata-rata pemberian kompos mencapai 4,7 ton/ha (Garut) dan 9,4 ton/ha
(Ciamis) dengan luas lahan garapan yang diusahakan berkisar 0,07 – 0,14 ha.
Sebagian petani telah menerapkan pola SRI selama 3-4 tahun dan secara umum
Namun demikian, indikator peningkatan produksi yang dilaporkan petani masih
perlu dikaji lebih lanjut, terutama pada beberapa pengukuran satuan luas, seperti
satuan luasan baku lahan usahatani yang diusahakan untuk pola SRI, juga satuan
sampel ubinan yang dilakukan dalam pengukuran produktivitas.
Berdasarkan penelitian Santoso, Alfandi dan Dukat (2005) di Desa
Karangsari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, pada judul penelitian Analisis
Usaha Tani Padi Sawah (Oryza sativa L.) Dengan Benih Sertifikasi dan Non
Sertifikasi (Studi Kasus di Desa Karangsari, Kecamatan Weru, Kabupaten
Cirebon), Berdasarkan hasil analisis uji t terhadap biaya usahatani yang
dikeluarkan petani yang menggunakan benih bersertifikat dalam luas garapan per
hektar sebesar Rp5.441.108, meliputi biaya variabel, biaya tetap dan biaya
lain-nya. Untuk pengeluaran biaya usahatani yang menggunakan benih non sertifikat
sebesar Rp5.330. 399 / Ha. Dalam penggunaan biaya usahatani tidak menunjukan
suatu perbedaan yang nyata, walaupun ada beberapa perlakuan yang tidak sama
dari komponen tersebut, akan tetapi diimbangi juga dengan komponen lainnya
seperti :
1. Rata-rata petani yang menggunakan benih bersertifikat sebanyak 20,307 Kg
/Ha dengan harga Rp 3.000 / Kg, sedangkan petani yang menggunakan benih
non sertifikat sebanyak 26,060 Kg / Ha dengan harga Rp 2.000 / Kg.
2. Untuk komponen biaya lainnya berupa biaya variabel, biaya tetap dan suku
bunga Bank tidak berbeda nyata. Sehingga biaya yang dikeluarkan baik yang
Sesuai dengan hasil perhitungan usahatani dalam luas garapan 1 Ha yang
dikelola oleh petani yang menggunakan benih bersertifikat sebesar Rp 1.186.588,
terdiri dari penerimaan dikurangi biaya (Rp6.597.696 - Rp 5.411.108), sedangkan
untuk yang menggunakan benih non sertifikat sebesar Rp 940.545 / Ha (Rp
6.470.944 – Rp 5.530.399). Adanya perbedaan pendapatan, hal ini disebabkan
oleh perlakuan petani dalam menerapkan salah satu teknologi yang berbeda yaitu
menggunakan benih bersertifikat dan non sertifikat. Adapun perbedaan tersebut
antara lain :
1. Petani yang menggunakan benih non sertifikat beranggapan bahwa, benih
sendiri atau dari petani lainnya yang keadaan di lapangannya sangat baik,
bila ditanam kembali akan menghasilkan produksi yang sama.
2. Harga benih bersertifikat harganya lebih mahal dan tidak tersedia di
wilayah setempat.
3. Petani umumnya tidak menghitung–hitung secara rinci tentang berapa
pendapatan atau keuntungan usahataninya.
Perbandingan antara penerimaan dengan pendapatan atau R/C yang
diperoleh petani dalam berusahatani padi antara yang menggunakan benih
bersertifikat dan non sertifikat adalah sebagai berikut : R/C = 1,22 untuk
penggunaan benih bersertifikat dan R/C = 1,17 untuk petani yang menggunakan
benih non sertifikat. Nilai R/C yang menggunakan benih bersertifikat lebih tinggi,
ini disebabkan oleh :
1. Nilai analisis ekonomi usahataninya lebih baik bila dibandingkan dengan
2. Benih bersertifikat lebih memenuhi standar teknologi sehingga
mendapatkan hasil yang lebih tinggi.
2.2. Landasan Teori
2.2.1 Tinjauan Umum Komoditas Padi
Padi (Oriza sativa), tersebar di daerah tropik dan subtropik seperti di Asia,
Afrika, Amerika, dan Australia. Menurut ahli tanaman padi berasal dari dua benua
yaitu Asia dan Afrika. Padi termasuk golongan tanaman semusim atau tanaman
muda yaitu tanaman yang biasanya berumur pendek, kurang dari satu tahun dan
hanya berproduksi satu kali, setelah berproduksi akan mati atau dimatikan.
Akar padi berbentuk serabut, berwarna coklat bila akar telah dewasa atau
sudah tua sedangkan apabila masih muda akarnya berwarnah putih. Batang padi
beruas-ruas, panjang batang tergantung pada jenis padi itu sendiri. Padi jenis
unggul biasanya berbatang pendek, lebih pendek dari jenis padi lokal, sedang jenis
padi yang tumbuh di daerah rawa dapat lebih panjang lagi yaitu antara 2-6 meter.
Rangkaian ruas-ruas pada batang padi punya panjang yang berbeda, pada ruas
batang bawah pendek, semakin keatas mempunyai ruas batang yang semakin
panjang. Ruas batang padi berongga dan bulat diantara ruas batang padi terdapat
buku pada tiap-tiap buku duduk sehelai daun. Daun padi berwarna hijau waktu
masih muda dan akan menguning bila sudah tua atau pada waktu memasuki usia
panen. Buah padi berbentuk pipih berwarna kuning dan mengggerombol pada
Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 230C keatas, sedang
di Indonesia pengaruh suhu tidak terasa karena suhu di Indonesia hampir konstan
sepanjang tahun. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm pe bulan atau lebih
dengan distribusi selama 4 bulan. Sedang curah hujan yang dikehendaki pertahun
sekitar 1500-2000 mm. Tinggi tempat antara 0-650 meter dpl dengan suhu antara
26,50C-22,50C, termasuk 96% dari luas lahan di pulau Jawa cocok untuk tanaman
padi. Tinggi tempat antara 650-1500 m di atas permukaan laut dengan suhu antara
22,50C-18,50C, masih cocok untuk tanaman padi. Tanaman padi dapat tumbuh
dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18-22 cm, terutama
tanah muda dengan pH antara 4-7. Berikut ini kandungan zat makanan pada buah
padi.
Tabel 1. Komposisi Zat Makanan Pada Buah Padi tiap 100 gramnya.
Kandungan Pecah Kulit Digiling
Lemak 2,45 0,37
Serat Kasar 0,88 0,16
Abu 1,22 0,36
Protein 8,67 8,15
Karbohidrat 86,67 86,34
Sumber : AAK, 1990
Beras mengandung berbagai zat makanan yang diperlukan oleh tubuh
antara lain: karbohidrat, protein, serat kasar, dan abu. Nilai gizi yang diperlukan
oleh setiap orang dewasa adalah 1.821 kalori. Apabia kebutuhan tersebut
disetarakan dengan beras, maka setiap hari diperlukan beras sebanyak 0.88 Kg
2.2.2 Pola Tanam
Kebanyakan manajemen usahatani keluarga bertujuan menghasilkan
berbagai tanaman yang cukup serta diusahakan dengan aman guna menyediakan
cukup pangan, bervariasi dan enak dimakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Pengalaman, pengetahuan dan teknologi digunakan untuk mendaya
gunakan alam yang ujuan utamanya untuk mencukupi keperluan hidup dan juga
kesejahteraan. Jalan pertama yang harus ditempuh petani untuk mencapai tujuan
tersebut adalah mempertinggi kuantitas dan kualitas dari hasil buminya secara
rasional, efisien dan ekonomis. Salah satu cara yang patut diperhatikan dan
dikembangkan adalah pola tanam atau penataan pertanaman (Cropping System).
Adapun yang dimaksud dengan pola tanam adalah tidak lain daripada cara
pengaturan dan pemilihan jenis tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah
tertentu selama jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun atau lebih)
(Kaslan A. Tohir, 1983).
Pola tanam adalah urutan pengaturan ruang untuk tanaman atau tanaman
dan bero pada kawasan tertentu selama setahun, macam-macam pola tanam
(Cropping System) yaitu :
Ä Multiple Cropping (pertanaman aneka) yaitu mengusahakan lebih dari satu
tanaman pada lahan yang sama selama satu tahun.
Ä Sequential Cropping (pertanaman urutan) yaitu suatu tanaman ditanam setelah
panenan tanaman yang pertama.
Ä Ratton Cropping ( pertanaman tukulan) yaitu menumbuhkan kembali tanaman
Ä Double Cropping (pertanaman ganda) yaitu mengusahakan dua macam
tanaman pada tahun yang sama secara berurutan, persemaian yang kedua
setelah panen tanaman yang pertama.
Ä Strip Cropping (pertanaman bidangan) yaitu mengusahakan dua tanaman atau
lebih pada bidang lahan yang berbeda dalam satu hamparan yang cukup luas.
Ä Inter Cropping (pertanaman tumpang baris) yaitu bentuk khusus dari tanaman
sela yaitu dua tanaman atau lebih ditanam secara serentak pada lahan yang
sama baik secara bersamaan, selang seling, berpasangan dalam bentuk baris.
Ä Mixed Cropping (pertanaman tumpang sari) yaitu mengusahakan dua tanaman
atau lebih ditanam secara serentak pada bidang lahan yang sama pada waktu
yang sama namun tidak diatur dalam bentuk baris.
Ä Relay Cropping (pertanaman bersambung) yaitu tanaman yang diusahakan
telah dewasa yang diantaranya ditanami dengan anakan atau bibit tanaman
yang sejenis atau yang sama.
Seorang petani tidak dapat begitu saja memilih tata pertanamannya tanpa
mempertimbangkannya. Tanaman yang beda, beda pula musim tumbuhnya,
membutuhkan zat-zat hara yang berlainan dari tanah, memerlukan perhatian yang
berbeda pula. Lagi pula kombinasi dari berbagai bidang usaha penuh dengan apa
yang oleh para ahli ekonomi disebut hasil – hasil gabungan (Joint Product) dan
2.2.3 Usahatani Padi Metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas
padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara,
terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di
beberapa tempat mencapai lebih dari 100%. Metode ini pertama kali ditemukan
secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de
Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup
bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya
dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI.
Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification
disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for
International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri
Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff
(Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di
Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha,
petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha,
beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20
ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan
metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka
untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.
Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana
mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua
unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan
kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
a) Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (HSS)
ketika bibit masih berdaun 2 helai
2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35
atau lebih jarang
2. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan
harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal
3. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu
dikeringkan sampai pecah (Irigasi berselang/terputus)
4. Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan
interval 10 hari
5. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk
b) Keunggulan Metode SRI
1. Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai
panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5
mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak ( Irigasi terputus)
2. Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya
pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam
kurang dll.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan
lebih awal
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan
dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan
Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.
c) Teknik Budidaya Padi Organik metode SRI 1. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan
air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila
dimasukkan telur, maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk
dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.
Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam
kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada
ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari
benih padi sudah siap ditanam.
2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda
dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu
dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi
tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu
sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk
struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah
mengontrol dan mengendalikan air.
3. Perlakuan pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan
kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah
dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah
menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat
diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah
membaik maka pupuk organik bias berkurang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap
4. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air
yang terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah.
Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan.
Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat
dilakukan sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi
digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1cm, kemudian pada umur
10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman
tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan
penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman
digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan setelah
padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen.
Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan
bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi
gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau
d) Pertanian Padi Organik Metode SRI dan Konvesional
Sistem tanam padi SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan
dengan sistem tanam Konvensional, dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Perbedaan sistem tanam padi Organik SRI dengan sistem Konvensional
No. Komponen Sistem konvensional Sistem organic SRI
1 kebutuhan benih 30-40 kg/ha 5-7 Kg/ha
budidaya metode SRI adalah sebagai berikut
1. Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air
untuk cara konvensional.
2. Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan
keseimbangan ekologi tanah.
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di
lahannya sendiri.
5. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang
6. Membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan
meningkatkan pendapatan keluarga petani.
7. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak
mengandung residu kimia.
6. Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang, (Mutakin, 2008).
Menurut Anugrah, Iwan Setiajie (2008), SRI (System Of Rice
Intensification) adalah cara budidaya padi yang pada awalnya diteliti dan
dikembangkan sejak 20 tahun lalu di pulau Madagaskar. Untuk mengatasi kondisi
lahan pertanian yang terus menurun kesuburannya, kelangkaan dan harga pupuk
kimia yang melambung serta minimnya suplai air, maka dikembangkan lah
metode SRI untuk meningkatkan hasil produksi padi. Melalui presentasinya Prof.
Norman Uphoff dari universitas Cornell, USA, pada tahun 1997 di Bogor, SRI diperkenalkan di Indonesia. Dan sejak tahun 2003 penerapan di lapangan oleh
para petani kita di Sukabumi, Garut, Sumedang, Tasikmalaya dan daerah lainnya
memberikan lonjakan hasil panen yang luar biasa.
Cara budidaya SRI sebenarnya tidak asing lagi para petani kita, karena sebagian besar prosesnya sudah bisa dipahami dan biasa dilakukan petani.Metode
SRI ini dinamakan bersawah organik dan menghasilkan padi atau beras organik karena mulai dari pengolahan lahan, pemupukan hingga penanggulangan serangan
hama sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Metode SRI seluruhnya
menggunakan bahan organik di sekitar kita (petani) yang ramah lingkungan, dan
Dari hasil penelitian dan percobaan oleh para ahli selama bertahun-tahun di
berbagai negara menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan metode SRI
sangat tinggi jika sepenuhnya tidak memakai bahan-bahan sintetis (kimia atau
organik) baik untuk pupuk maupun untuk pembasmi hama dan penyakit padi.
Dalam SRI, nilai ekologis merupakan hal yang sangat penting karena
terdapat anggapan bahwa SRI tidak harus atau bahkan tidak menggunakan
masukan input pertanian anorganik, tetapi mengarah pada budidaya organik
dengan penerapan komponen teknologi yang ada dalam model pertanian SRI,
seperti :
1. Pengolahan tanah yang sehat serta pengelolaan bahan organik
2. Pengelolaan potensi tanaman secara optimal
3. Pengelolaan air yang baik dan teratur
Secara umum, dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme
hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat
dimanipulasi. Semua potensi tanaman padi dikembangkan dengan cara
memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI
menerapkan konsep sinergi, dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi
secara positif dan saling menunjang sehingga hasilnya secara keseluruhan lebih
banyak daripada jumlah masing-masing bagian. Dalam pelaksanaannya, sangat
ditekankan bahwa SRI hanya akan berhasil jika semua komponen teknologi
dilaksanakan secara, terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI,
1. Bibit dipindah lapangan (transplantasi) lebih awal (bibit muda).
Secara umum SRI menganjurkan untuk menanam bibit muda saat
berumur 8-15 hari. Tranplantasi pada saat bibit muda dapat
mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman
dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan
vegetatif, sehingga batang yang muncul lebih banyak jumlahnya
dalam satu rumpun maupun bulir padi yang dihasilkan oleh malai.
Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan
pertumbuhan akar maksimum.
2. Bibit ditanam satu-satu daripada secara berumpun. Hal ini
dimaksudkan agar tanaman memiliki cukup ruang untuk menyebar
dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat
untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau hara dalam tanah
sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik.
3. Jarak tanam lebar. SRI menganjurkan jarak tanam lebar dengan
jarak minimal 25 cm x 25 cm agar akar tanaman tidak berkompetisi
dan mempunyai cukup ruang untuk berkembang sehingga anakan
maksimum dapat dicapai.
4. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air (irigasi
berselang). SRI menganjurkan teknik irigasi berselang agar tercipta
kondisi perakaran yang teroksidasi, untuk meningkatkan kesuburan
tanah dan mendapatkan akar tanaman yang panjang dan lebat.
pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan, sawah
digenangi air 1-3 cm (seperti praktek konvensional). Petak sawah
diairi secara tuntas mulai 25 hari sebelum panen.
5. Pendangiran. SRI menganjurkan 2-3 kali pendangiran dengan
menggunakan gasrok atau lalandak, selain untuk membersihkan
gulma, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah.
6. Bahan Organik (kompos) : SRI menganjurkan pemakaian bahan
organic (kompos) untuk memperbaiki struktur tanah agar padi
dapat tumbuh baik dan hara tersupply kepada tanaman secara baik
2.2.4 Penelitian Usahatani
Usahatani adalah suatu unit ekonomi (suatu perusahaan bisnis) yang
diorganisasikan untuk memproduksi tanam-tanaman dan hewan. Kegiatan ini
memerlukan sumberdaya berupa tanah dan modal disamping manajemen dan
tenaga kerja. Dalam skala yang lebih besar usahatani merupakan bagian dari
Agribisnis, sedangkan pengertian dari agribisnis sendiri adalah: kesatuan sistem
yang menggabungkan semua aktifitas bisnis di bidang pertanian yang saling
terkait satu sama lain, mulai dari : (1) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana
produksi, (2) subsistem pengusahaan usaha tani, (3) subsistem pengolahan dan
penyimpanan (agroindustri), (4) subsistem pemasaran, dan (5) subsistem jasa
penunjang (lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan pelayanan informasi
agribisnis. Jadi usahatani tidaklah sama dengan agribisnis, usahatani merupakan
bagian atau subsistem dari Agribisnis.
Ilmu usahatani bukanlah ilmu pengetahauan yang tidak dilandasi oleh
keadaaan yang sebenarnya terjadi pada usahatani dan petaninya. Keharusan pada
setiap studi usahatani adalah memperoleh informasi yang sesungguhnya mengenai
keadaan usahatani. Agar hasil studi usahatani bernilai tinggi, maka data yang
digunakan harus mempunyai tingkat penelitian yang setinggi mungkin, relevan
dengan persoalannya dan ekonomis. Ketelitian data berkaitan erat dengan derajat
kesesuaian antara data dengan keadaan nyata yang ingin digambarkan oleh data
itu. Kesalahan dalam pengamatan, pencatatan atau pelaporan merupakan faktor
yang menyebabkan tidak telitinya data usahatani. Relevan atau tidak didefinisikan
dalam hubungannya dengan rencana penggunaan data. Data dikatakan tidak atau
kurang relevan bila ia dikumpulkan terlalu lama dari saat berlakunya atau apabila
ia berlaku dalam sistem produksi yang berbeda dengan yang dilaksanakan petani.
Misalnya, data percobaan mungkin mempunyai nilai ketelitian tinggi tetapi
kurang relevan dengan persoalan usahatani apabila percobaan itu dilakaukan
dalam kondisi yang berlainan dengan usahatani. Hasil analisis dengan cara
demikian menyebabkan kekeliruan dalam menjelaskan persoalan yang
sebenarnya.
Penelitian ialah suatu tindakan yang dilakukan dengan sistematis dan teliti
dengan tujuan meningkatkan penelitian kita sehingga dapat menjelaskan mengapa
sesuatu itu seperti yang kita lihat sekarang, dan bagaimana keadaan itu dapat
Penelitian terapan ialah, penelitian yang dilakukan terutama dengan tujuan
memecahkan suatu masalah. Umumnya penelitian usahatani adalah penelitian
terapan dan mempunyai salah satu atau kedua tujuan umum dibawah ini:
1. Menyediakan informasi yang dapat membantu petani dalam mengelola
usahataninya sehingga mereka lebih mampu mencapai tujuannya.
2. Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai petani dan
pengelolaannya sehingga membantu di dalam perumusan kebijaksanaan dan
perencanaan pembangunan yang lebih baik (Soekartawi, 1986).
2.2.5 Pengertian Produksi, Biaya Produksi, Penerimaan dan Efisiensi
Kebutuhan yang kita perlu kan u ntuk hidup hanya seb agian kecil
saja yang d apat kita ambil d ari alam, agar siap untuk dapat memenuhi
kebutu han manusia. Kebanyakan sumber-sumber yang tersedia di alam
memerlukan suatu proses yang meliputi pengolahan, p engangkutan d an
pemasaraan sebagainya yang bertu juan akhir untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan menambah nilai gu na dari b arang yang dihasilkan.
Menurut Soekartawi (1990), produksi adalah setiap usaha manusia
baik secara langsu ng maupun tidak langsung untu k menghasilkan barang
Hasil akhir dari suatu proses produksi tersebut berupa produk atau output, dimana
produk yang dihasilkan bidang pertanian atau bidang lainnya dapat bervariasi
yang disebabkan antara lain karena perbedaan kualitas. Masalah pokok dari
produksi itu terletak pada soal mengatur produksi sedemikian rupa sehingga
pemakain alat-alat atau sarana produksi dapat berjalan dengan imbangan yang
seksama.
Biaya produksi adalah hasil guna dari alat-alat produksi yang dipakai atau
dikorbankan untuk memperoleh guna dalam bentuk lain, atau biaya produksi
adalah jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen untuk menghasilkan
suatu barang.
Biaya produksi dapat dibagi dalam biaya tetap dan biaya tidak tetap
(variabel). Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada
besar kecilnya produksi, misalnya sewa tanah yang berupa uang. Biaya-biaya
lainnya pada umumnya masuk biaya tidak tetap (variabel) misalnya
pengeluaran-poengeluaran untuk bibit, biaya persiapan dan pengolahan tanah (Soekartawi,
1990).
Cara menghitung penggunaan tenaga kerja dalam suatu usahatani
memakai ukuran hari orang kerja (HOK). Satu HOK sama dengan satu orang yang
bekerja selam 7 (tujuh) jam. Cara perhitungan hanya memperkirakan berapa jam
Semua jenis tenaga kerja yang ada dalam anggota keluarga tani yaitu pria, wanita,
anak dikonversikan atau disetarakan dengan tenaga pria dewasa.
Dalam pengelolaan usahataninya, petani dihadapkan pada masalah
keterbatasan biaya. Oleh karena itu, petani dituntut dapat menghitung biaya yang
dikeluarkan selama proses produksi. Dengan demikian diharapkan petani dapat
mengetahui apakah usahataninya mendapat keuntungan atau mengalami kerugian.
Ciri dari suatu usahatani adalah cara petani mengadakan perhitungan-perhitungan
mengenai biaya dalam usahataninya, yang secara keseluruhan biaya produksi
meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap, yang termasuk biaya tetap adalah biaya
yang dikeluarkan untuk biaya sewa. Sedangkan yang termasuk dalam biaya tidak
tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya sarana produksi dan biaya tenaga
kerja.
Soekartawi (1995) mengemukakan bahwa penerimaan adalah sejumlah
uang yang diterima atas penyerahan sejumlah barang kepada pihak lain, atau
penerimaan dalam bidang pertanian adalah produksi yang dinyatakan dalam
bentuk uang sebelum dikurangi dengan biaya-biaya pengeluaran selama kegiatan
usaha. Ditambahkan pula bahwa penerimaan adalah perkalian antara produksi
yang diperoleh petani dari sumber usahatani dalam selang waktu tertentu yang
meliputi sejumlah uang yang diterima dari hasil kerja dengan harga jual dari
Menurut Gilarso (1989), besarnya penerimaan (revenue) tergantung dari sejumlah
barang yang dapat dihasilkan (Q) dan harga (P) yang diperolehnya. Penerimaan
dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan produksi, memperluas dan
menambah produktivitas sumber alam maupun tenaga kerja yang diperlukan.
Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur dengan melalui berbagai cara
atau indikator. Salah satu cara untuk menilai keberhasilan proses produksi
usahatani adalah melalui penilaian efisiensi usahatani. Usaha untuk memperoleh
keuntungan seperti yang diharapkan, petani dalam mengelola usahanya
dihadapkan pada berbagai pilihan dalam memilih jenis usahatani dan
menggunakan faktor-faktor produksi yang diperlukan serta
mengkombinasikannya yang pada umumnya petani akan memperoleh keuntungan
dalam mengelola usahataninya. Namun penggunaan faktor-faktor produksi belum
efisien. Untuk mengetahui efesiensinya dapat dilihat jumlah nilai penerimaan
produksi dan jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung
yang disebut ratio cost ratio).
Efisiensi merupakan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya yang tujuan utamanya adalah untuk
memperoleh suatu cara, metode, teknik yang sebaik-baiknya dilakukan, supaya
sumber yang terbatas misalnya modal, tenaga kerja, tanah dan sebagainya dapat
2.2.6 Hubungan Antara Produksi, Biaya Produksi dengan Penerimaan Menurut Gilarso (1989), produsen dikatakan berhasil secara
ekonomis apabila usahanya menghasilkan keuntungan. Untuk mencapai
hasil seperti yang diharapkan, produsen harus bertindak secara ekonomis
artinya mempertimbangkan antara hasil dan pengorbanan atau penerimaan
dengan biaya.
Petani perlu juga membandingkan antara hasil yang diharapkan
antara yang akan diterima pada waktu panen dengan biaya yang
dikeluarkan. Apabila petani ingin memperbesar produksi usahataninya
maka petani harus mengadakan pengeluaran tambahan agar diperoleh
tingkat produksi yang diinginkan dengan memperhatikan bia ya produksi
yang akan dikeluarkan tanpa menyebabkan biaya pokok per satuan produk
naik atau lebih tinggi dari harga pasar.
Setiap usahatani harus didasarkan pada perhitungan untung dan
rugi, yaitu perhitungan biaya produiksi agar usahataninya itu dapat
berkembang. Peneriman petani dipengaruhi oleh hasil produksi, petani
akan menambah produksinya bila setiap penambahan produksi itu akan
menaikkan jumlah penerimannya. Jadi tingkat produksi optimum tidak
2.2.7 Prinsip Ekonomi Dalam Proses Produksi Usahatani
Untuk melakukan analisa efisiensi usahatani, maka langkah pertama yang
harus ditempuh adalah menentukan bentuk fungsi produksi pada usahatani
tersebut. Bahwa di dalam proses produksi beberapa input (masukan) yang
digunakan pada akhimya akan diubah ke dalam output (produksi) dan suatu alat
untuk mengetahui keberhasilan produksi dalam suatu usaha adalah fungsi
produksi. Fungsi produksi adalah suatu hubungan teknis antara faktor input dan
output dalam suatu proses produksi (Koutsoyianis,1985). Hal tersebut
menggambarkan hukum proporsi, yaitu transpormasi faktor input dalam produk
(output) pada periode waktu tertentu.
Sementara Teken (1979) menyebutkan bahwa fungsi produksi adalah
hubungan fisik atau hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang dipakai
dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu, tanpa memperhatikan
harga-harga faktor produksi yang dipakai maupun harga produksi yang dihasilkan.
Dan selanjutnya Soekartawi (1990) menambahkan bahwa fungsi produksi
merupakan hubungan yang bersifat fisik maupun yang bersifat teknis antara faktor
produksi dengan produksi, didalamnya menyangkut juga pengertian teknologi.
Memahami prinsip-prinsip ekonomi dalam proses produksi adalah penting,
sebab proses produksi yang tidak diikuti oleh arti ekonomis menjadi tidak banyak
berarti. Setiap produsen dalam usahatani akan selalu berusaha untuk
mengalokasikan faktor produksi yang dikuasai seefisien mungkin untuk
memperoleh produksi yang maksimal. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan
Di lain pihak apabila petani dihadapkan pada masalah keterbatasan biaya maka
merekajuga tetap berusaha untuk meningkatkan keuntungan dengan kendala biaya
yang dimiliki kuantitasnya terbatas. Pendekatan ini dikenal dengan istilah
meminimumkan biaya atau cost minimazation. Kedua prinsip mi adalah sama
yakni untuk memaksimumkan keuntungan dengan cara mengalokasikan
penggunaan sumberdaya yang seefisien mungkin.
Dalam proses produksi dikenal konsep efisiensi ekonomis yaitu konsep
yang mengukur penggunaan input, jumlah biaya (korbanan) dan keuntungan yang
diperoleh atau konsep yang mengukur antara imbangan biaya dan penerimaan
usahatani yang diterimanya.
Untuk mengukur imbangan biaya penerimaan dinyatakan dengan
menggunakan rumus RC ratio (Return and Cost Ratio). Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Apabila hasil analisa memberikan R/C rasio> 1, maka usahatani atau
usaha yang dilakukan tersebut dinyatakan dengan efisien dan
menguntungkan.
2. Apabila hasil analisa memberikan R/C rasio = 1, maka usahatani atau
usaha yang dilakukan tersebut dinyatakan dengan efisien dan
menguntungkan dan juga tidak mengalami kerugian.
3. Apabila hasil analisa memberikan RIC rasio < 1, maka usahatani atau
usaha yang dilakukan tersebut dinyatakan dengan tidak efisien dan tidak
Selanjutnya seperti apa yang dikemukakan Banoewidjaja (1979) bahwa
peranan penyuluhan mengenai teknologi baru adalah sangat penting, karena
produksi pertanian akan meningkat apabila teknik bercocok tanam yang harus
dilakukan oleh petani berkembang dengan baik yaitu dengan menggunakan
teknologi baru yang dimaksud, meliputi penggunaan bibit unggul, pupuk, dan
abat-obatan pemberantasan hama dan penyakit. Hal tersebut juga bisa ditunjukkan
pada produksi:
Y (produksi kg)
F (X2)
F (X1)
X (Faktor Produksi)
Gambar 1 : Kurva Produksi Sebelum dan Sesudah Penerapan Teknologi Baru
Kurva produksi pada gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mula-mula sebelum penggunaan teknologi baru produksi digambarkan
seperti garis f(X1)
2. Setelah adanya penerapan I penggunaan teknologi baru produksi yang
dihasilkan mengalami perubahan / peningkatan yaitu seperti yang
ditunjukkan oleh garis f(X2).
B
2.2.8 Analisis Ekonomi Usahatani
Ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana seseorang mengalokasikan sumber daya secara efektif dan efisien
untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan
efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki atau kuasai dengan sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien bila pemanfaatan
sumber daya tersebut menghasilkan keluaran yang melebihi masukan (input)
(Soekartawi, 1990).
Efisiensi usahatani dapat diukur dengan cara menghitung efisiensi teknis,
efisiensi harga dan efisiensi ekonomi. Ketiga macam efisiensi ini penting untuk
diketahui dan diraih oleh petani bila petani menginginkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Umumnya para petani memang tidak mempunyai catatan
tentang usahatani yang sedang dilakukannya, sehingga sulit bagi petani untuk
melakukan analisis usahataninya. Petani hanya mengingat-ingat anggaran arus
uang tunai (cash flow) yang mereka lakukan, walaupun sebenarnya ingatan tidak
terlalu jelek, karena mereka masih ingat bila ditanya tentang berapa output yang
diperoleh dan berapa input mereka gunakan. Tentu saja teknik pengumpulan datanya harus baik dan benar. Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk
kepentingan petani saja tetapi juga untuk para penyuluh pertanian, mahasiswa dan
Menurut Soekartawi (1990), dalam melakukan analisis usahatani, seseorang
dapat melakukannya menurut kepentingan untuk apa analisis yang dilakukannya.
Dalam banyak pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani
memang dimaksudkan untuk tujuan mengetahui atau meneliti tentang :
a. Keunggulan komperatif (comparative advantage).
b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing return)
c. Substitusi (substitution effect)
d. Pengeluaran biaya usahatani (farm expenditure)
e. Biaya yang diuangkan (opportunity cost)
f. Macam tanaman yang diusahakan.
g. Baku timbang tujuan (goal trade-off)
Maksud dari tujuh macam analisis usahatani pada dasarnya sama, yaitu
mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani dilihat dari berbagai aspek.
Telaah seperti ini sangat penting karena tiap macam usahatani pada skala usaha
dan pada teknologi tertentu berbeda satu dengan yang lain, karena terdapat
perbedaan dalam karakteristik yang dipunyai pada usahatani yang bersangkutan.
Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar, teknologi tinggi, manajemen modern dan bersifat komersial. Sebaliknya usahatani skala kecil umumnya bermodal sedikit, teknologi tradisional, bentuk usahataninya sederhana yang sifat usahanya subsisten. Untuk itulah dalam melakukan analisis
usahatani hendaknya memperhatikan berbagai karakteristik usahatani yang ada
Menurut Soekartawi (1996), perhitungan yang dipakai dalam analisis
ekonomis dalam usahatani untuk menentukan usahatani tersebut mengalami
keuntungan atau tidak adalah anggaran arus uang tunai atau biasa disebut dengan
cash flow analysis. Dibawah ini diuraikan penjelasan beserta rumus-rumus yang
biasa digunakan. Dalam pekerjaan evaluasi suatu usahatani, perhitungan ini
penting sekali karena menyangkut biaya sewa, penerimaan dan pendapatan yang
berlaku pada usaha yang dijalankan. Anggaran arus uang tunai adalah besarnya
pengeluaran yang diperoleh dari selisih pengeluaran (revenue) dan biaya (cost).
Pada analisis ini terdapat tiga variabel yang diukur antara lain; biaya, penerimaan,
dan pendapatan usahatani. Penjelasan dari ketiga variabel tersebut diuraikan
beserta rumus-rumus yang berlaku sebagai berikut :
a. Biaya usahatani
Menurut Soekartawi (2001), biaya usahatani dibedakan menjadi dua
kategori biaya yaitu biaya tetap (fixed cost), biaya tidak tetap (variable cost),
biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi serta membawanya menjadi
produk disebut biaya produksi, termasuk didalamnya barang yang dibeli dan jasa
yang dibayar didalam maupun diluar usahatani. Didalam jangka pendek, satu kali
produksi dapat membedakan biaya tetap dan biaya tidak tetap. Adanya klasifikasi
biaya ini sangat penting dalam membandingkan pendapatan untuk mengetahui
kebenaran jumlah biaya yang digunakan. Ada dua kategori atau pengelompokan
FC
penyusutan alat maupun biaya pemeliharannya. Bila tidak ada biaya imbangan
dalam penggunaannya atau tidak ada penawaran untuk hal tersebut baik didalam
usahatani maupun diluar usahatani. Untuk menghitung biaya tetap dalam
usahatani digunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
TFC : Total biaya tetap (total fixed cost)
FC : Biaya tetap (fixed cost)
n : Macam input
Dimana :
Keterangan :
FC : Biaya tetap (fixed cost)
PXi : Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Xi : Jumlah input ke i
Maka :
Keterangan :
TFC : Total biaya tetap (fixed cost)
2. Biaya tidak tetap (variable cost)
Merupakan biaya yang besar kecilnya sangat bergantung kepada skala
produksi. Apabila petani menginginkan produksi yang tinggi maka biaya untuk
sarana produksi juga harus ditambah sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah
tergantung besar kecilnya produksi yang diinginkan. Tergolong biaya ini antara
lain : sewa lahan, pengolahan tanah, benih, biaya tanam, pupuk, dangir, obat,
tenaga kerja, pengairan, serta biaya panen. Untuk mengetahui besarnya biaya
varibel dapat menggunakan rumus :
Keterangan :
TVC : Total biaya tidak tetap (total variable cost)
VC : Biaya tidak tetap (variable cost)
n : Macam input
Dimana :
Keterangan :
VC : Biaya tidak tetap (variable cost)
PXi : Harga input ke i
Xi : Jumlah input ke i
Maka :
Keterangan :
TVC : Total biaya tidak tetap (total variable cost)
Untuk mengetahui total biaya usahatani dapat dihitung dengan
menggunakan rumus dibawah ini, karena total biaya (TC) adalah jumlah dari total
biaya tetap (fixed cost) dan total biaya tidak tetap (variable cost), maka rumusnya
adalah :
TC = TFC + TVC
Keterangan :
TC : Biaya produksi total (total cost)
TFC : Biaya tetap total (total fixed cost)
TVC : Biaya variabel total (total variable cost)
b. Penerimaan usahatani
Penerimaan usahatani adalah keseluruhan nilai produksi yang diperoleh
petani, dengan klarifikasi musim, luas lahan, tahun, maupun banyaknya tanaman.
Untuk mengetahui penerimaan usahatani menggunakan rumus :
TR = Q. P
Keterangan :
TR : Penerimaan usahatani (total revenue)
Q : Jumlah produksi (quantity)
P : Harga jual (price)
Apabila macam tanaman yang diusahakan lebih dari satu, maka rumus (1)
berubah menjadi :
Keterangan :
TR : Penerimaan usahatani (total revenue)
Qi : Jumlah produksi (quantity)
Pi : Harga jual (price)
N : Jumlah atau macam tanaman yang diusahakan
Menurut Soekartawi (2001), dalam menghitung penerimaan usahatani
dapat dipisahkan menjadi 2 yaitu analisis parsial usahatani dan analisis
keseluruhan (whole farm analysis) usahatani. Analisis parsial adalah analisis
yang digunakan untuk menghitung penerimaan usahatani yang mengusahakan
satu macam tanaman, sedangkan analisis keseluruhan (whole farm analysis)
adalah analisis yang digunakan untuk menghitung penerimaan usahatani yang
mengusahakan lebih dari satu macam tanaman (dalam proses penghitungan
analisis keseluruhan jumlah tanaman yang diusahakan dihitung satu per satu
kemudian hasil akhirnya dijumlahkan). Kedua analisis ini digunakan untuk
membedakan usahatani yang mengusahakan satu komoditi dan usahatani yang
mengusahakan tanaman lebih dari satu komoditi usaha.
c. Pendapatan usahatani
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya
produksi selama satu tahun dalam satuan rupiah. Bentuk penerimaan tunai dapat
menggambarkan tingkat kemajuan usahatani dalam spesialisasi dan pembagian
kerja. Besarnya pendapatan tunai dari total penerimaan dapat digunakan untuk
perbandingan keberhasilan petani satu terhadap petani yang lain. Adapun manfaat
dari analisis pendapatan ialah untuk mengukur kegiatan usahatani pada saat ini
Menurut Soekartawi (2001), untuk mengetahui besarnya pendapatan
usahatani menggunakan rumus :
Pd = TR – TC
Keterangan :
Pd : Pendapatan usahatani (Rp)
TR : Penerimaan usahatani (total revenue)
TC : Biaya produksi (total cost)
2.3 Kerangka Pikir dan Hipotesis
Pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah suatu proses perubahan
sosial dan pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik. Keberhasilan
pembangunan pertanian ditentukan oleh kemampuan petani itu sendiri dalam
berbagai usahatani dan diharapkan mampu mengelola usahanya dengan lebih
baik, namun pada kenyataannya masih belum sesuai yang diharapkan.
System of rice intensification (SRI) merupakan salah satu pendekatan
dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada 3 pola manajemen pokok
yaitu: (1) Manajemen pengelolaan tanah, (2) Manajemen pengelolaan tanaman,
dan (3) Manajemen pengelolaan air melalui pemberdayaan petani maupun
kelompok tani yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan. Penerapan gagasan
System of rice intensification (SRI) yang dilakukan oleh petani maupun kelompok
tani sebenarnya berdasarkan pada 7 komponen penting sebagai berikut: (1)
Transplantasi bibit muda 7-15 hari, (2) Waktu transplating adalah 30 menit, (3)
Bibit ditanam satu batang, (4) Jarak tanam lebar, (5) Melakukan irigasi berselang
Dengan demikian diharapkan hasil peenerapan metode System of rice
intensification (SRI) akan mampu meningkatkan produktifitas padi yang akhirnya
berdaampak pada meningkatnya pendapatan petani/kelompok tani.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka disusunlah hipotesis
sebagai berikut:
1. Diduga terdapat perbedaan Biaya (Total Cost) usahatani padi metode SRI
dengan Metode Konvensional.
2. Diduga terdapat perbedaan Penerimaan (Total Revenue) usahatani padi
metode SRI dengan Metode Konvensional.
3. Diduga terdapat perbedaan Laba usahatani padi metode SRI dengan
Metode Konvensional.
4. Diduga bahwa usahatani padi Metode SRI lebih efisien dibandingkan
metode konvensional. Metode
SRI
Petani
Metode Konvensional