I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekayaan sumberdaya laut Indonesia memberikan manfaat ekonomi dan sosial terutama untuk 60 juta masyarakat yang tinggal di daerah pesisir melalui perikanan, pariwisata, pertambangan dan transportasi (Burke et al. 2012) dan menjadikan masyarakat pesisir ketergantungan hidup pada sumberdaya laut.
Wilayah pesisir secara tidak langsung akan mendapatkan tekanan dari peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas manusia yang semakin tidak terkontrol. Salah satu ekosistem yang menunjang kehidupan manusia dan keberlangsungan biota yang hidup di sekitarnya ialah mangrove (Pattimahu et al.
2017).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu dari beberapa ekosistem yang menyediakan jasa yang tak ternilai dan tak tergantikan dan memiliki sistem ekologi yang unik, sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme (Romañach et al.
(2018); Karlina et al. (2016)) dan berperan penting dalam pengembangan perikanan berkelanjutan (Heriyanto dan Subiandono 2012) karena merupakan tempat berkembang biak, pemijahan bagi beberapa spesies ikan, kerang, kepiting dan udang (Djohan 2007; Kariada dan Andin 2014).
Pulau Pannikiang merupakan salah satu pulau kecil yang masuk dalam pencadangan kawasan konservasi sebagai kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seluas 605,94 ha yang terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2944 Tahun 2018. Pulau ini memiliki sumberdaya ekosistem mangrove. Luas ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang sekitar 86,31 ha tersebar di hampir sepanjang Pulau Pannikiang.
Peraturan daerah melalui keputusan Gubernur Sulawesi Selatan bertujuan untuk memberikan acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya. Melihat kawasan mangrove di Pulau Pannikiang memiliki keanekaragaman flora dan fauna, terdapat berbagai spesies burung yang dilindungi Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi yang tercantum pada Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan Ekosistem yang menjelaskan tiga aspek yaitu perlindungan, pengawetan sumberdaya plasma nutfah serta pemanfaatan berkelanjutan.
Pulau Pannikiang memiliki hamparan mangrove yang cukup luas dan masih tergolong alami dengan keanekaragaman jenis mangrove yang lengkap (Suwardi et al. 2013; Rusdi (2019) dan tingginya tingkat keanekaragaman biota yang berasosiasi dengan mangrove (Samsi et al. 2018) berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata (Siagian et al. 2015) dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang pesisir (Rini 2018). Selain dari dampak positif, terdapat dampak negatif seperti kerusakan yang telah terjadi di Pulau Pannikiang berupa kegiatan penebangan liar (Asirwan 2017), pembukaan lahan menjadi tambak dan pemukiman (Qamal 2019), dan status kebelanjutan ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang tergolong kurang berkelanjutan (Rusdi 2019) .
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperbaiki ekosistem yang telah mengalami kerusakan dengan adanya pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai ekowisata, mengingat ekowisata di dalamnya terdapat kajian yang lebih menekankan pada unsur kealamian, kekhasan dan keaslian sumber daya alam (Gigovic et al. 2016; Field 1998; Yulianda 2007). Untuk mendukung kegiatan ekowisata perlu menggali potensi sumberdaya alam di Pulau Pannikiang. Potensi Pulau Pannikiang akan bermanfaat langsung untuk kesejahteraan masyarakat lokal serta dapat berkontribusi dalam perlindungan dan keberlanjutan suatu ekosistem.
Pengembangan ekowisata membutuhkan suatu penilaian potensi sumberdaya alam berdasarkan parameter kesesuaian ekowisata dan daya dukung kawasan (Yulianda 2019). Penilaian kesesuaian ekowisata mempertimbangkan lima parameter yaitu ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan obyek biota. Perhitungan daya dukung kawasan digunakan untuk mengetahui jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung untuk mecegah terjadinya kerusakan ekosistem (McCool dan Lime 2001; Nugraha et al. 2013).
Kondisi Pulau Pannikiang saat ini menujukkan bahwa perlu adanya pengelolaan ekosistem mangrove untuk pengembangan ekowisata. Dalam hal ini, belum ada informasi atau data terkait tentang pengelolaan ekosistem mangrove sebagai wisata sesuai prinsip konservasi. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian terkait kesesuaian ekowisata, daya dukung kawasan, ekonomi dan mendesain model pengelolaan dan kelembagaan dalam pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang.
1.2 Perumusan Masalah
Keindahan dan kealamian ekosistem mangrove Pulau Pannikiang mendukung adanya kegiatan ekowisata ditandai dengan adanya pembangunan jalur tracking mangrove pada tahun 2015 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru. Kegiatan ekowisata mangrove yang akan dikembangkan di Pulau Pannikiang sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumber daya dan peruntukannya. Penilaian potensi sumberdaya alam dilakukan berdasarkan parameter kesesuaian ekowisata dan daya dukung kawasan melihat kondisi ekosistem mangrove sangat perlu diperhatikan apabila menyangkut dalam upaya pemanfatannya.
Kondisi ekosistem mangrove Pulau Pannikiang cukup stabil untuk saat ini meskipun pada beberapa area telah mengalami kerusakan akibat kebakaran, penebangan liar, alih fungsi lahan, penerapan daya dukung kawasan tidak diberlakukan, pemberlakuan tarif masuk (karcis) belum paten dan sistem tata kelola yang belum baik. Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penentuan dalam pemanfaatan sumberdaya yang sesuai dan bentuk pengelolaan yang dapat menjamin keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaannya.
Ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang sangat berpotensi sebagai ekowisata, namun belum ada pengelolaan secara maksimal sesuai prinsip konservasi sementara Pulau Pannikiang masuk dalam pencadangan kawasan konservasi sebagai kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa kawasan mangrove Pulau Pannikiang
sesuai untuk kegiatan ekowisata, daya dukung kawasan tidak melewati batas yang ditetapkan, nilai permintaan ekowisata dapat mendukung kesejahteraan masyarakat serta mendesain model pengelolaan dan kelembagaan dalam pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang. Oleh karena itu dalam menentukan strategi pengembangan ekowisata mangrove memerlukan kajian mendalam tentang permasalahan pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang. Terkait permasalahan di kawasan mangrove tersebut, terpilih beberapa pernyataan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Penilaian potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang dibutuhkan dalam menentukan tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan 2) Estimasi manfaat nilai ekonomi yang diperoleh pada permintaan ekowisata
diperlukan dalam menentukan besaran biaya yang dikeluarkan wisatawan 3) Strategi sistem tata kelola kelembagaan dibutuhkan dalam mendukung
pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ekowisata mangrove Pulau Pannikiang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Tujuan yang lebih spesifik untuk pengembangan ekowisata mangrove adalah:
1) Menilai potensi sumberdaya ekosistem mangrove berdasarkan tingkat kesesuaian wisata dan daya dukung kawasan ekosistem mangrove;
2) Menduga nilai permintaan ekowisata mangrove berbasis daya dukung;
3) Menyusun strategi kelembagaan dalam pengembangan ekowisata mangrove
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah terkait pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan
1.5 Kerangka Penelitian
Salah satu pulau-pulau kecil yang berpotensi untuk dijadikan sebagai objek wisata adalah Pulau Pannikiang yang terletak di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pulau ini merupakan salah satu dari beberapa pulau di Kabupaten Barru yang memiliki sumberdaya alam yang masih terjaga sehingga pulau ini menawarkan keindahan alamnya salah satunya ialah ekosistem mangrove.
Kondisi ekosistem mangrove Pulau Pannikiang yang telah rusak saat ini akan menjadi ancaman di masa yang akan datang, salah satu dampaknya ialah penebangan liar akan terus dilakukan dan akan mempengaruhi keberlanjutan ekosistem mangrove, sehingga kondisi seperti ini menjadi pertimbangan untuk dilakukan pengembangan ekowisata mangrove agar kerusakan dapat diminimalkan karena konsep pemanfaatan dalam ekowisata ini tidak boleh melupakan unsur keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi. Terlepas dari
potensi yang menjanjikan ada beberapa aspek permasalahan diantaranya pemanfaatan sumberdaya belum terkelola dengan baik sehingga konsep pengelolaan sampai saat ini belum ada (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Kerangka penelitian didesain untuk menjelaskan kerangka penelitian yang dilakukan di lapangan mulai dari mengkaji potensi sumberdaya yang belum dimanfaatkan dan status pencadangan kawasan konservasi perairan yang belum dikelola dengan baik dan output berupa strategi pengembangan ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang (Gambar 2).
Gambar 2 Kerangka penelitian
III METODE
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2019.
Lokasi penelitian bertempat di Pulau Pannikiang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan (Gambar 3).
Gambar 3 Lokasi penelitian di Pulau Pannikiang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk melakukan pengukuran parameter mangrove, dokumentasi dan wawancara pengunjung dan pemangku kepentingan (Tabel 1).
Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Alat Bahan Kegunaan
Meteran Mengukur transek
GPS Menentukan titik koordinat
Kamera Dokumentasi
Tali raffia Membuat transek
Alat tulis Mencatat data
Google Earth Pro Mengukur ketebalan
Kuesioner Pengumpulan data responden
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data yaitu data primer dan data sekunder (Tabel 2). Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung di lapangan dengan pemantauan terhadap ekosistem mangrove seperti kerapatan mangrove, jenis mangrove, obyek biota, parameter kelembagaan berupa data kondisi kelembagaan yang terkait dalam pengembangan ekowisata di Pulau Pannikiang. Data sekunder berupa data pendukung mengenai profil Pulau Pannikiang dan data lainnya yang dikumpulkan dari data-data hasil penelitian sebelumnya dan data dari instansi terkait.
Tabel 2 Variabel, jenis data, sumber data, metode dan analisis penelitian berdasarkan tujuan penelitian
No Tujuan Variabel Jenis
Data
Sumber
Data Metode Analisis 1 Menilai potensi a. Ketebalan Primer Google Spasial
kesesuaian mangrove Earth Pro
sumber daya (m)
dan daya b. Kerapatan Primer Lokasi Observasi
dukung mangrove dan Penelitian Lapang dan
ekosistem mangrove
(Ind/100 m2)
Sekunder Transek
Kuadrat Indeks
untuk desain c. Jenis Primer Lokasi Observasi Kesesuaian pengembangan mangrove dan Penelitian Lapang dan Wisata
ekowisata Sekunder Studi (IKW)
mangrove Literatur
d. Pasang Sekunder BIG Studi
surut Literatur
e. Obyek Primer Lokasi Observasi biota dan Penelitian Lapang
Sekunder
f. Luas atau Primer Lokasi Observasi Daya
panjang Penelitian Lapang Dukung
area yang Kawasan
akan (DDK)
dikemban gkan wisata
2 Menduga nilai a. Biaya Primer Responden Wawancara Travel Cost
permintaan perjalanan Method
ekowisata (TCM)
mangrove b. Kesediaan Primer Responden Wawancara Willingness
berbasis daya membayar To Pay
dukung (WTP)
3 Mengkaji a. Persepsi Primer Responden Wawancara
sistem pengunjun Interpretati
pengelolaan g ve
dan
kelembagaan dalam pengembangan ekowisata mangrove
b. Persepsi dan kebijakan stakeholde r
Primer Instansi terkait
Wawancara Structural Modelling
(ISM)
3.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa jenis data diantaranya data ekologi, ekonomi, sosial kelembagaan dilakukan dengan metode yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3 Pengumpulan data
No Jenis Data Variabel Pengumpulan Data 1 Ekologi a. Ketebalan
mangrove (m)
- Stasiun pengamatan ditetapkan berdasarkan penelitian sebelumnya dan survey awal.
- Transek petak contoh diletakkan secara acak sesuai dengan kondisi lapangan dengan 4 kali pengukuran dalam satu stasiun pengamatan - Pengukuran ketebalan mangrove
melalui Google Earth Pro 7.3.2.5.776 (64-bit)
- Indetifikasi jenis menggunakan buku panduan identifikasi mangrove (Noor et al. 1999)
- Pengukuran pasang surut menggunakan data dari Tides.big.go.id
- Pengamatan obyek biota dilakukan dengan pengambilan gambar dan studi literatur
- Luas atau panjang area menggunakan GIS
- Untuk melihat tutupan mangrove menggunakan analisis NDVI
b. Kerapatan mangrove (Ind/100 m2) c. Jenis
mangrove d. Pasang surut e. Obyek biota f. Luas atau
panjang area yang akan dikembangka n wisata
2 Ekonomi Pengunjung - Wawancara dengan bantuan kuesioner menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan tertentu atau secara sengaja
- Penentuan jumlah responden mengunakan metode accidental sampling dengan nilai n dapat digunakan n>30 (Muhajirin et al.
2015)
- Jumlah responden pengunjung 40 orang
∑
Tabel 3 Pengumpulan data (lanjutan)
No Jenis Data Variabel Pengumpulan Data 3 Sosial
Kelembaga an
a. DKP Provinsi Sulawesi Selatan b. Dinas
Perikanan Kab.Barru c. Dinas
Lingkungan Hidup Kab.
Barru d. Dinas
Pariwisata Kab. Barru e. Pemerintahan
Desa Madello
Wawancara dengan bantuan kuesioner menggunakan metode snowball sampling, yang mana responden diperoleh berdasarkan dari informasi responden sebelumnya (Neuman 2003).
Pengumpulan data ekologi mangrove dilakukan dengan metode transek kuadrat (Kusmana et al. 2015) yang diletakkan tegak lurus garis pantai (Gambar 4).
Gambar 4 Penempatan petak contoh pada pengambilan sampel mangrove 3.5 Analisis Data
3.5.1 Analisis kesesuaian kawasan wisata
Analisis kesesuaian wisata mangrove dilakukan dengan pendekatan pengukuran kualitas sumber daya mangrove yang menjadi objek ekowisata, sehingga penilaian kesesuaian wisata mangrove dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Yulianda 2019):
IKW = 𝑛 (𝐵𝑖 𝑥 𝑆𝑖)
𝑖=1
Keterangan:
n = Banyaknya parameter kesesuaian Bi = Bobot parameter ke-i
Si = Skor parameter ke-i
3.5.2 Kesesuaian ekowisata mangrove
Ekowisata mangrove merupakan bentuk wisata yang kegiatannya menikmati alam habitat mangrove dan memiliki persyaratan ekologi tertentu yang harus dipenuhi agar layak menjadi objek ekowisata. Analisis kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove ditentukan dengan menggunakan matriks kesesuaian yang mempertimbangkan parameter ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan obyek biota (Yulianda 2019) (Tabel 4).
Tabel 4 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian kesesuaian untuk ekowisata mangrove
Sumber: (Yulianda 2019) Keterangan:
IKW ≥ 2,5 = Sangat sesuai 2,0 ≤ IKW < 2,5 = Sesuai 1 ≤ IKW < 2,0 = Tidak sesuai IKW < 1 = Sangat tidak sesuai 3.5.3 Analisis spasial
Kalogirou (2001) dan Hossain (2008) menyatakan SIG dapat berfungsi untuk mengolah data spasial dan 2 visualisasi hasil analisis kesesuaian lahan.
Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS 10.4.1 dengan teknik spasial overlay modelling yang menggunakan pembobotan pada sejumlah faktor yang berpengaruh. Skor kesesuaian pada setiap kriteria yang telah ditentukan. akan menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan atau parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan (Bibin et al. 2017).
Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor
Ketebalan mangrove (m)
0,380 >500 3 >200-500 2 50-200 1 <50 0
Kerapatan mangrove (Ind/100 m2)
0,250 >15-20 3 >10- 15;>20
2 5-10 1 <5 0
Jenis mangrove 0,150 >5 3 3-5 2 1-2 1 0 0
Pasang surut (m)
0,120 0-1 3 3-4 2 >2-5 1 >5 0
Obyek biota 0,100 Ikan, udang, kepiting, moluska, reptil, burung
3 Ikan, udang, kepiting, moluska
2 Ikan, moluska
1 Salah satu biota air
0
3.5.4 Analisis index vegetasi
Indeks vegetasi merupakan indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan terhadap vegetasi tumbuhan. Metode yang umun digunakan adalah metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra yang mempunyai nilai range yangpaling bagus terhadap perubahan tutupan vegetasi (Fadlillah et al.
2018). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) pertama kali dirumuskan oleh Rouse et al. (1973) dengan formulasi sebagai berikut:
(NIR - Red) NDVI=
(NIR + Red) Keterangan:
NDVI = Normalized Diffrerence Vegetation Index (Nilai : -1 < NDVI < 1) NIR = Near Infrared (Band 5 Landsat 8 OLI/TIRS)
Red = Red (Band 4 Landsat 8 OLI/TIRS) 3.5.5 Analisis daya dukung kawasan wisata
Daya dukung dihitung agar diketahui jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang tersedia pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Rumus yang digunakan dalam analisis ini mengacu pada Yulianda (2019) sebagai berikut:
Lp Wt
Keterangan:
DDK = KX( Lt)x(
Wp)
DDK = Daya Dukung Kawasan Wisata (orang/hari)
K = Potensi Ekologis pengunjung per satuan unit area (orang) Lp = Luas area (m2) atau panjang area (m) yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu (m2 atau m)
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam1 hari
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
3.5.6 Analisis permintaan ekowisata mangrove
Salah satu pemanfaatan jasa lingkungan pesisir dan laut adalah untuk kegiatan wisata yang menikmati alam in-situ seperti wisata alam, eokwisata, dan special interest). Menurut Yulianto (2018) mengatakan bahwa aktivitas wisata dapat dipandang sebagai aktivitas ekonomi dimana kerusakan dapat menyebabkan penurunan nilai ekonomi terhadap wisata tersebut. Penilaian pemanfaatan sumber daya ekosistem mangrove akan dihitung menggunakan metode Consumer Surplus atau surplus konsumen. Menurut Fauzi (2000), surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan pada tingkat kepuasan konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya telah dibayarkan. Nilai-nilai yang diidentifikasi untuk kegiatan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang adalah:
a) Travel cost method (TCM)
Nilai ekonomi untuk kegiatan wisata diduga menggunakan biaya perjalanan wisata/Travel Cost Method (TCM) berdasarkan nilai surplus konsumen yang meliputi biaya transport pulang pergi dan pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan wisata (konsumsi, parkir, tiket masuk dan lain- lain). TCM merupakan metode yang pertama kali digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar dan mudah untuk diterapkan dalam wisata. Perhitungan nilai ekonomi dari wisata dilakukan dengan beberapa langkah yaitu:
Estimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata dengan formulasi sebagai berikut:
Q=β Cβ1Iβ2Aβ3Eβ4Tβ5 Keterangan:
0 1 2 3 4 5
Q = jumlah kunjungan individu (kali/tahun) C = biaya perjalanan individu (Rp)
I = pendapatan individu (Rp) A = umur individu (th)
E = tingkat pendidikan individu (th) T = lama trip (jam)
Transformasi intersep baru fungsi permintaan
lnQ=((β0+β2lnI+β3lnA+β4lnE)+β1lnC) lnQ=β+β1lnC
Keterangan:
ln = invers dari fungsi eksponensial β0 = intersep
β1,…, β4 = koefisien regresi
Transformasi fungsi permintaan (b) ke fungsi permintaan asal Q= β'Cβ1
Menduga total kesediaan membayar
a
U= ∫ f(Q)d(Q)
0
Keterangan:
U = utilitas terhadap biaya perjalanan a = jumlah kunjungan maksimum f(Q) = fungsi permintaan
Menduga Consumer Surplus (CS)
CS = U-R NET = CS x Q/LK
Keterangan:
CS = Consumer surplus populasi R = Harga yang dibayarkan (Rp) Q = Jumlah kunjungan (kali/tahun)
LK = Luas kawasan wisata mangrove (hektar) NET= Nilai ekonomi total (Rupiah/hektar/tahun) b) Analisis kesediaan membayar (willingness to pay)
Nilai ini termasuk nilai non-penggunaan yang dapat diperoleh berdasarkan kesediaan untuk membayar seseorang/Willingness to pay (WTP) untuk keberadaan ekosistem mangrove (Zulkarnaini dan Mariana 2016). Metode yang digunakan untuk menghitung nilai manfaat keberadaan yaitu Contingent Valuation Method (CVM). Menurut (Adrianto 2006), pendekatan CVM dirumuskan sebagai berikut:
Menghitung rataan WTP
Dugaan rataan WTP dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:
(∑n WTPi)
MWTP= i=1
n Keterangan:
MWTP = rata-rata WTP (Rp)
n = Jumlah responden (orang) WTPi = Nilai WTP individu ke-i (Rp)
i = Responden ke-i yang bersedia membayar (i=1,2,….,n)
Memperkirakan kurva WTP
Kurva WTP menggambarkan hubungan tingkat wtp dengan responden.
Untuk mengetahui hubungan WTP dengan karakteristik responden yang menggambarkan tingkat penghargaan responden terhadap sumber daya yang dimanfaatkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑛
WTP = β0 + ∑ βiXi
𝑖=1
Keterangan:
WTP = kemampuan membayar responden terhadap sumber daya β0 = intersep atau standar terendah
βi = koefisien regresi
Xi = parameter pengukuran ke-i (pendidikan, pendapatan dan usia)
Menjumlahkan data
Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penawaran dikonversi terhadap populasi yang dimaksud. Maka nilai WTP diperoleh dengan rumus:
TWTP = MWTP x N Keterangan:
TWTP = total WTP responden (Rp) MWTP = rataan WTP (Rp)
N = jumlah populasi (orang)
3.5.7 Analisis Interpretive Structural Modeling (ISM)
Analisis stakeholder merupakan analisis yang diperlukan dalam mengumpulkan informasi dari siapa saja yang memiliki kepentingan atau peran terhadap studi penelitian ini. Dalam analisis Interpretive Structural Modeling (ISM) stakeholder sangat berperan penting dalam mengidentifikasi kelembagaan yang berperan dalam pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang.
Interpretive Structural Modeling (ISM) merupakan metodologi yang efektif untuk menangani masalah yang kompleks (Warfield 1978; Atrri et al. 2013).
Elemen yang digunakan untuk menyusun rekomendasi strategi pengembangan dalam pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai ekowisata merupakan dari pemodelan elemen yang diperkenalkan oleh Saxena et al. (1992);
Romadhon A 2013; Djamhur et al. 2014; Rusdi 2019). Selanjutnya Eriyatno (1999) dan Marimin (2005) menjelaskan bahwa dalam metode ISM proses analisis menghasilkan struktur sistem diantaranya rank dan hierarki sub-elemen pada setiap elemen. Tahapan dalam menggunakan metode ISM sebagai berikut:
1) Menguraikan setiap elemen menjadi beberapa sub-elemen untuk mecari hubungan kontekstualnya. Elemen dan sub-elemen ISM yang dipilih terkait dengan pengembangan ekowisata mangrove Pulau Pannikiang harus memiliki keterkaitan antara variabelnya untuk dianalisis secara sistematis (Tabel 5).
Tabel 5 Elemen dan sub-elemen ISM
No Elemen Sub-elemen Keterangan
1 Tujuan pemanfaatan ekosistem mangrove dalam
pengembangan ekowisata mangrove
1. Terlaksananya pelestarian ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang (T1) 2. Terwujudnya
pengembangan dan pengelolaan ekowisata mangrove (T2)
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi di Pulau Pannikiang (T3) 4. Memperluas lapangan
pekerjaan baru (T4) 5. Peningkatan pendapatan
masyarakat di Pulau Pannikiang (T5)
6. Mewujudkan pemanfaatan sumber daya yang
berkelanjutan dengan pendekatan konservasi (T6) 7. Meningkatkan PAD (T7)
Romadhon (2013) mengatakan bahwa untuk
menentukan Sub- elemen dapat dilihat dari point Sub-elemen 1-7
Tabel 5 Elemen dan sub-elemen ISM (lanjutan)
No Elemen Sub-elemen Keterangan
2 Kendala pemanfaatan ekosistem mangrove dalam pengembangan ekowisata mangrove
1. Pengalokasian bantuan dana desa belum baik (K1)
2. Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap potensi Pulau Pannikiang (K2) 3. Lemahnya kemampuan
masyarakat dalam mengelola sumber daya alam (K3) 4. Kurangnya pembinaan
terhadap masyarakat setempat (K4)
5. Lemahnya koordinasi antar stakeholder (K5)
6. Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil masih tumpang tindih (K6) 7. Sarana dan Prasana belum
memadai (K7)
Observasi lapangan (wawancara pada bulan Mei 2019)
3 Aktifitas yang diperlukan dalam pengembangan ekowisata mangrove
1. Sosialisasi potensi yang dapat dimanfaatkan (A1)
2. Membuat kebijakan yang konsisten (A2)
3. Memberikan modal untuk pengembangan ekowisata (A3) 4. Kolaborasi/kerjasama
aktivitas masyarakat dalam pengembangan ekowisata (A4)
5. Memberikan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya di Pulau Pannikiang (A5) 6. Monitoring kegiatan
penyuluhan (A6) 7. Melakukan koordinasi
antar instansi terkait (A7) 8. Memberikan sarana dan
prasarana pelayanan (A8)
Djamhur et al. (2014) mengatakan bahwa untuk menentukan Sub-elemen dapat dilihat sub-elemen 1-8
Tabel 5 Elemen dan sub-elemen ISM (lanjutan)
No Elemen Sub-elemen Keterangan
4 Lembaga yang terkait dalam pengembangan ekowisata mangrove
1. DKP Provinsi Sulawesi Selatan (L1)
2. Dinas Perikanan Kabupaten Barru (L2)
3. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barru (L3) 4. Dinas Pariwisata Kabupaten
Barru (L4)
5. Pemerintah Desa Madello (L5)
Rusdi (2019) mengatakan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan Pulau Pannikiang dapat dilihat di sub-
elemen 1-5
2) Eriyatno dan Sofyar (2006) menjelaskan tata cara dalam menyusun mariks Structural Self Interaction (SSIM) menggunakan simbol V, A,X dan O Simbol tersebut adalah :
V adalah eij =1 dan eji = 0 A adalah eij = 0 dan eji = 1 X adalah eij=1 dan eji = 1 O adalah eij =0 dan eji = 0 Dimana :
Simbol 1, artinya ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j Simbol 0, artinya tidak ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j 3) Matriks Reachability (RM)
Langkah ini digunakan untuk mengubah simbol V,A,X, dan O dengan angka 1 atau 0.
4) Matriks SSIM dikoreksi berdasarkan aturan transivity 5) Menyusun matriks Driver-Power-Dependence
Sub-elemen pada setiap elemen akan diolah dengan bantuan Software dan struktur hirarki sub-elemen kunci dan plot Driver Power-Dependence yang terdiri dari empat sektor, yaitu autonomous, dependent, linkage, dan independent (Saxena et al. 1992). Matriks akan menghasilkan rekomendasi strategi dalam pemanfaatan ekosistem mangrove untuk ekowisata mangrove (Gambar 5).
Gambar 5 Contoh matriks Driver Power-Dependence
L3
Elemen sistem pengembangan ekowisata mangrove pada level I adalah DKP Provinsi Sulawesi Selatan dan DKP Kabupaten Barru, level II adalah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barru, level III adalah Dinas Pariwisata dan Bappeda, level IV adalah Kepala Dusun Pannikiang dan tokoh masyarakat (Gambar 6).
R5
L5
L2
Gambar 6 Diagram hipotesis model struktur hirarki elemen
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau Pannikiang merupakan salah satu dari beberapa pulau-pulau kecil di Kabupaten Barru yang masuk dalam referensi hutan mangrove terbaik di Sulawesi Selatan dengan segala keunikan yang ada di pulau tersebut. Secara geografis Pulau Pannikiang terletak antara 04o19’45.21”–04o22’19.93” LS dan 119o34’32.45”–119o36’46.22” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Madello, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki batas-batas sebagai berikut:
Utara : Selat Makassar (Pulau Dutungan, Pulau Bakki dan Pulau Batukalasi) Timur : Pelabuhan Garongkong (daratan Kabupaten Barru)
Selatan : Selat Makassar (Pulau Puteangin) Barat : Selat Makassar
Keberadaan Pulau Pannikiang di Kabupaten Barru sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat. Untuk menjaga sumber daya alam tetap lestari dan berkelanjutan, maka pemerintah Kabupaten Barru perlu menetapkan status Pulau Pannikiang sebagai kawasan strategis yang dilindungi Kabupaten. Kawasan strategis yang dimaksud disini ialah Pulau Pannikiang dijadikan sebagai kawasan konservasi untuk pelestarian sumber daya. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru merupakan salah satu instansi yang mengelola Pulau Pannikiang dalam hal pengembangan ekowisata mangrove. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan jalur tracking dan menara pandang di tahun 2015 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Barru. Namun, dengan adanya UU No. 23 tahun 2014 yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 secara khusus undang-
R1
L4
L1
undang ini juga mengatur pengelolaan wilayah laut 0-12 mil laut menjadi urusan pemerintah provinsi, dimana sebelumnya wilayah laut 0-12 mil laut pengelolaannya dibagi menjadi urusan Kabupaten/Kota (0-4 mil laut atau sepertiga wilayah Provinsi) dan 4 – 12 mil laut dikelola oleh pemerintah Provinsi.
Dalam hal ini status pencadangan Pulau Pannikiang dialihkan ke Pemerintah Provinsi untuk direvisi. Hasil revisi dari peraturan Bupati Barru Nomor 194/DKP/II/2014 tentang pencadangan Pulau Pannikiang sebagai kawasan konservasi wilayah dan pulau-pulau kecil Kabupaten Barru melahirkan keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2944/XI/Tahun 2018 tentang pencadangan Kawasan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Pulau Pannikiang Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas sekitar 605,94 hektar dan memiliki luas daratan sekitar 94,50 hektar.
Kabupaten Barru memiliki elevasi (ketinggian dari permukaan laut), dataran yang berkisar dari 0-1500 meter. Kelerengan Pulau Pannikiang berada pada lereng 0-20 dengan kategori datar (BPS Barru 2019). Kondisi air tanah di Pulau Pannikiang tergolong kategori asin dan tidak dapat digunakan untuk mandi, cuci dan diminum sehingga kebutuhan air sehari-hari bagi penduduk di pulau tersebut diperoleh dari daratan Desa Takkalasi dan sekitarnya. Struktur sedimen dasar di daerah pantai umumnya berpasir halus hingga kasar kehitam-hitaman dan berlumpur. Hal ini membuat sebagian besar wilayah Pulau Pannikiang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove seperti pada bagian Utara, Barat, dan Barat Daya yang lahannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan pola pasang surut campuran dengan tipe ganda. Secara ekologi pulau tersebut berfungsi sebagai ekosistem asuhan bagi ekosistem perairan laut yang ada disekitarnya.
Struktur substrat pada habitat hutan mangrove Pulau Pannikiang menunjukkan bahwa sampai pada kedalaman tertentu substrat pada ekosistem tersebut adalah lumpur sampai lumpur berpasir. Warna lumpur hitam sampai hitam kecoklatan. Substrat lumpur tersebut berasal dari sedimen yang terbawa oleh air sungai dan diperangkap oleh perakaran mangrove serta bahan organik dari hutan mangrove yang telah mengalami dekomposisi. Substrat ini sangat cocok bagi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan hutan mangrove.
4.1.1 Demografi
1) Jumlah Penduduk
Masyarakat yang bermukim di Pulau Pannikiang berasal dari dua etnis yaitu etnis Bugis dan etnis Mandar. Jumlah penduduk Pulau Pannikiang pada tahun 2019 yaitu 81 jiwa terdiri dari 28 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di bagian utara dan selatan pulau (Tabel 6). Saat dilakukan penelitian, Kepala Dusun menyatakan jumlah penduduk Pulau Pannikiang pada tahun 2019 yaitu 73 jiwa terdiri dari 24 Kepala Keluarga (KK).
Tabel 6 Jumlah penduduk Pulau Pannikiang berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Laki-laki 42 52
Perempuan 39 48
Total 81 100
Sumber: Desa Madello (2019)
2) Agama
Penduduk di Pulau Pannikiang semuanya beragama Islam. Hal ini ditandai dengan adanya masjid sebagai sarana peribadatan di Pulau tersebut.
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Pannikiang sebagian besar hanya menempuh pendidikan pada tingkat sekolah dasar (SD), hal ini disebabkan karena sarana pendidikan yang tidak tersedia di Pulau tersebut.
4) Pekerjaan
Masyarakat yang bermukim di Pulau Pannikiang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, pembuat pemberat dari batu-batu kecil untuk kegiatan memancing. Nelayan di Pulau Pannikiang sebagian besar adalah nelayan tradisional dan sebagian kecil nelayan modern.
4.1.2 Aksesibilitas
Aksesibiltas merupakan faktor pendukung yang memudahkan untuk menjangkau lokasi objek wisata dengan transportasi. Pulau Pannikiang memiliki aksesbilitas yang cukup baik dan dapat diakses dari dua tempat yaitu Desa Takkalasi, Kecamatan Balusu dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit atau di Pelabuhan Garongkong, Kecamatan Barru dengan waktu tempuh lebih cepat dengan sarana transportasi laut.
4.1.3 Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana di Pulau Pannikiang kurang memadai. Dilihat dari tidak tersedianya sarana berupa Puskesmas pembantu ataupun posyandu, sarana pendidikan dan hanya berupa sarana peribadatan yang tersedia yaitu sebuah masjid. Sarana wisata juga telah tersedia seperti jalur tracking, gazebo sebagai tempat istirahat, toilet, menara pandang. Sarana wisata tersebut untuk saat ini dalam kondisi kurang baik atau tidak berfungsi. Air dan listrik belum tersedia di Pulau ini. Air bersih yang digunakan didapatkan di Desa Takkalasi dengan menggunakan perahu. Alat penerangan yang digunakan berupa genset pribadi.
4.2 Potensi dan Kondisi Vegetasi Ekosistem Mangrove
4.2.1 Kondisi ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang pada umumnya di dominasi oleh jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba (Tabel 7). Di dalam kawasan ekosistem mangrove terdapat lahan bukan mangrove seperti lahan yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan tambak.
Tabel 7 Ekosistem mangrove Pulau Pannikiang secara keseluruhan
Secara umum Suwardi et al.
2013
Samsi et al.
2018 Rusdi 2019 Avicennia lanata Avicennia lanata Rhizophora
apiculata
Rhizophora apiculata
A. Alba A. Alba R. stylosa R. mucronata
Tabel 7 Ekosistem mangrove Pulau Pannikiang secara keseluruhan (lanjutan)
Secara umum Suwardi et al. 2013 Samsi et
al. 2018 Rusdi 2019
A. marina A. marina Sonneratia
alba
B. gymnorrhiza Lumnitzera racemosa Lumnitzera racemosa Aegiceras
floridum
B. sexangula Excoecaria agallocha Excoecaria agallocha Ceriops
tagal
Ceriops tagal Pemphis acidulla Pemphis acidulla Avicennia
sp
Xylocarpus granatum Xylocarpus granatum Xylocarpus granatum Excoecaria
agallocha
X. moluccensis X. moluccensis X. moluccensis Lumnitzera
racemosa
Sonneratia alba Aegiceras floridum Aegiceras floridum Aegiceras
corniculatum
A. corniculatum A. corniculatum Lumnitzera
racemosa
Bruguiera cylindrical Bruguiera cylindrical Avicennia marina B. gymnorrhiza B. gymnorrhiza
B. sexangula B. sexangula Ceriops decandra Ceriops decandra
C. tagal C. tagal
Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata R. mucronata R. mucronata
R. stylosa R. stylosa Scyphiphora
hydrophyllaceae
Scyphiphora hydrophyllaceae Sonneratia alba Sonneratia alba Acanthus ilicifolius * Acanthus ilicifolius * Sesuvium
portulacastrum *
Sesuvium
portulacastrum * Sesuvium
portulacastrum *
Sesuvium
portulacastrum * Terminalia catappa* Terminalia catappa*
Ipomoea pecaprae* Ipomoea pescaprae*
Derris trifoliate* Derris trifoliate*
Pongamia pinnata* Pongamia pinnata*
Scaevola taccada* Scaevola taccada*
Cassyta filiformis* Cassyta filiformis*
Hibiscus tilaceus* Hibiscus tilaceus*
Thespesia populnea* Thespesia populnea*
Pandanus tectorius* Pandanus tectorius*
Keterangan: *) Mangrove ikutan
a b c
Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang umumnya relatif baik berdasarkan kerapatan, meskipun ada keragaman kerapatan mulai dari kategori jarang hingga padat dengan menggunakan analisis NDVI (Tabel 8). Hal ini sejalan dengan penelitian Rusdi (2019) yang menyimpulkan bahwa kondisi ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang dikategorikan sedang hingga sangat padat meskipun ada perbedaan area.
Tabel 8 Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang
No Kondisi Mangrove Luas (Ha)
1 Jarang 2,04
2 Sedang 18,88
3 Padat 72,86
Total 93,78
Sumber: Data Primer 2019
Jenis mangrove yang ditemukan pada pengamatan diperoleh 5 famili yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Combretaceae, Sonneratiaceae, Myrsinaceae dan 11 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops tagal, C. decandra, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, Lumnitzera racemosa, Avicennia marina, dan A. alba (Gambar 7).
Gambar 7 Jenis mangrove yang ditemukan di kawasan mangrove Pulau Pannikiang (a) Rhizophora apiculata, (b) Rhizophora mucronata, (c) Sonneratia alba, (d) Ceriops tagal, (e) Ceriops decandra, (f)
k j
i h
g
f e
d
Bruguiera sexangula, (g) Bruguiera gymnorrhiza, (h) Avicennia marina, (i) Avicennia alba, (j) Lumnitzera racemosa, (k) Aegiceras floridum.
Secara keseluruhan ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang tumbuh lebat dengan struktur sedimen dasar di daerah pantai umumnya berpasir halus hingga kasar kehitam-hitaman dan berlumpur sehingga membuat sebagian besar wilayah Pulau Pannikiang ditumbuhi oleh mangrove. Sebaran ekosistem mangrove yang ditemukan di Pulau Pannikiang tersebar pada setiap area pengamatan dengan jumlah jenis yang berbeda (Gambar 8). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan area pengamatan, adaptasi mangrove terhadap lingkungan atau habitat, kondisi substrat dan lain sebagainya
Ekosistem mangrove di Pulau Pannikiang tumbuh mulai dari tepian laut hingga daratan. Jenis mangrove yang tumbuh di bagian dekat laut yaitu jenis Sonneratia alba, Brugueira sexangula dan Rhizophora apiculata, sedangkan Lumnitzera racemosa yang mengisi zona bagian belakang (dekat daratan).
Perbedaan distribusi jenis pada ekosistem mangrove tergantung pada faktor lingkungan seperti pasang surut, gelombang dan arus, iklim, tipe substrat, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (Kusmana 2003). Lebih lanjut, jenis Sonneratia alba tumbuh pada substrat lumpur berpasir, tidak toleran terhadap salinitas rendah menyebabkan jenis ini ditemukan pada bagian dekat dengan laut dan jenis Lumnitzera racemosa tumbuh pada zona perairan payau yang bera
da dekat daratan (Noor et al. 2006). Banyaknya jenis yang tergolong dalam famili Rhizophoraceae yang ditemukan di lokasi penelitian disebabkan karena kondisi substrat perairan yang berupa lumpur lunak yang agak dalam, sehingga menyebabkan jenis mangrove Rhizophora sp lebih banyak ditemukan dan berkembang dengan baik di setiap stasiun pengamatan.
Gambar 8 Sebaran jenis mangrove yang ditemukan pada area pengamatan
4.2.2 Ketebalan mangrove
Ketebalan mangrove sangat penting dipertimbangkan dalam kegiatan wisata dilihat dari fungsinya sebagai pemecah gelombang (Sawitri et al. 2013). Fungsi lain dari ketebalan mangrove yaitu akan menambah nilai estetika dan daya tarik bagi pengunjung dalam hal pembuatan jalur tracking. Perhitungan ketebalan mangrove dengan cara menganalisis citra satelit Google Earth. Hasil analisis menunjukan ketebalan mangrove di setiap stasiun berkisar 155-473 m dengan rata-rata 266,5 m (Tabel 9). Menurut Sadik et al. (2017) di kawasan mangrove Gonda Desa Laliko, Kabupaten Polewali mandar memperoleh nilai ketebalan mangrove 145-212 m dengan rata-rata 188 m. Menurut Rini et al. (2018) di kawasan mangrove Lantebung Kota Makassar menunjukkan ketebalan mangrove 119-163 m dengan rata-rata 144,5 m.
Hal ini menujukkan bahwa ketebalan mangrove di Pulau Pannikiang relatif lebih tebal dari kedua daerah yang ada di Sulawesi. Tingginya tingkat ketebalan salah satunya dipengaruhi oleh usia mangrove yang ada di Pulau Pannikiang sudah tua dan kondisi mangrove di kawasan tersebut masih alami. Adanya perbedaan ketebalan mangrove akan memberikan dampak terhadap aspek biologis di kawasan mangrove.
Tabel 9 Ketebalan mangrove dan nilai kesesuaian wisata pada setiap stasiun penelitian
Stasiun Koordinat Ketebalan mangrove (m) Kriteria*
1 S : 4˚ 20' 23.4384"
E : 119˚ 36' 14.742" 215 Skor 2
2 S : 4˚ 20' 30.3504"
E : 119˚ 36' 2.7072" 255 Skor 2
3 S : 4°20'30.93"
E : 119°35'59.43" 299 Skor 2
4 S : 4˚ 20' 36.7872"
E : 119˚ 35' 58.9596" 473 Skor 2
5 S : 4°20'58.32"
E : 119°35'59.18" 319 Skor 2
6 S : 4˚ 21' 2.556"
E : 119˚ 36' 4.4352" 287 Skor 2
7 S : 4°21'17.24"
E : 119°35'55.02" 155 Skor 1
8 S : 4˚ 21' 21.7332"
E : 119˚ 35' 55.554" 218 Skor 2
9 S : 4°21'37.18"
E : 119°35'39.16"E 222 Skor 2
10 S : 4˚ 21' 41.4972"
E : 119˚ 35' 37.1292" 222 Skor 2
*Kriteria nilai wisata menurut Yulianda (2019) Sumber: Data Primer (2019)
4.2.3 Kerapatan Mangrove
Kerapatan mangrove salah satu parameter ekologi ekosistem mangrove yang menunjukkan kesuburan vegetasi serta menggambarkan banyaknya individu dalam suatu kesatuan luas areal pengamatan. Hal ini sejalan dengan Akbar et al.
(2015); Yulius et al. (2018) yang mengatakan bahwa kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya individu suatu jenis per satuan yang ada tumbuh pada perairan yang subur. Kerapatan mangrove pada lokasi penelitian memiliki nilai kerapatan yang berbeda-beda untuk masing- masing stasiun pengamatan (Tabel 10).
Tabel 10 Kerapatan mangrove tingkat pohon di Pulau Pannikiang
Jenis Mangrove Tingkat Pohon (ind/400m2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rhizophora apiculata 49 84 31 55 10 12 14 39 31 15
Rhizophora mucronata 0 0 33 0 20 7 43 23 20 14
Sonneratia alba 12 2 6 2 5 9 5 4 10 1
Ceriops tagal 0 0 5 5 0 0 0 0 0 0
Ceriops decandra 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0
Bruguiera sexangula 1 1 5 7 8 9 15 17 14 13
Bruguiera gymnorrhiza 12 10 15 11 13 5 31 4 0 6
Avicennia marina 0 0 0 0 0 0 0 0 3 9
Avicennia alba 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0
Aegiceras floridum. 0 0 0 0 4 5 4 3 3 8
Lumnitzera racemosa 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 74 97 100 80 75 47 112 90 81 66
Total per stasiun (400 m2) 18 24 25 20 19 12 26 23 21 17 Sumber: Data primer (2019)
Nilai kerapatan mangrove di Pulau Pannikiang memiliki nilai kerapatan yang bervariasi dari nilai yang paling tinggi yaitu 26 Ind/m2 dan paling rendah 17 ind/m2dengan rata-rata tingkat kerapatan berkisar antara 17 ind/m2 – 26 ind/m2. Rendahnya tingkat kerapatan mangrove dikarenakan jumlah individu jenis yang diperoleh di setiap area pengamatan juga sedikit. Jika dilihat dari kerapatan jenis di masing-masing area pengamatan yang memiliki kerapatan jenis individu tertinggi yaitu Rhizophora apiculata. Salah satu faktor yang menentukan tingginya dominasi jenis mangrove Rhizophora apiculata karena merupakan tumbuhan pioner yang dapat tumbuh dengan baik pada substrat yang berlumpur (Suparjdo 2008). Tipe substrat yang berupa lumpur lunak di kawasan Pulau Pannikiang sesuai dengan tipe substrat untuk spesies Rhizophora sp. (Buwono 2015).
Kerapatan mangrove pada beberapa area pengamatan memiliki kerapatan yang tinggi dibandingkan dengan beberapa area lainnya dikarenakan pola adaptasi setiap individu mangrove berbeda-beda dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menurut Arief (2003) mengatakan bahwa kerapatan mangrove dipengaruhi oleh ketidaknormalan pertumbuhan akibat terganggunya beberapa penunjang pada kawasan tersebut. siteh dan Pujiono (2014) menambahkan bahwa rendahnya kerapatan menandakan ekosistem mengalami tekanan dan penurunan kualitas.
Kerapatan yang rendah dipengaruhi oleh letak ekosistem mangrove yang dekat dengan pemukiman sehingga aktivitas manusia dapat menjadi pemicu kerusakan mangrove. Hal ini sejalan dengan penelitian Rakotomavo dan Fromard (2010)
yang mengatakan bahwa kondisi mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu diantaranya ialah kegiatan manusia. Kemudian pernyataan tersebut didukung oleh Bortolini et al. (2009) bahwa tekanan dari aktivitas manusia memiliki dampak yang besar terhadap ekosistem mangrove.
Kerapatan mangrove di Pulau Pannikiang memiliki jumlah pohon yang berbeda-beda di setiap area pengamatan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor tekanan aktivitas masyarakat dan pola adaptasi dari mangrove. Perbedaan tingkat kerapatan pohon disebabkan letak area 3 dan 7 merupakan kawasan wisata mangrove yang terdapat fasilitas tracking, menara pandang, dan gazebo. Pada area 1 berada dekat dengan pemukiman penduduk, dijadikan sebagai tempat pekuburan masyarakat dan tidak ada objek wisata yang dapat menarik wisatawan, sedangkan pada area 10 berada dekat dengan pemukiman penduduk dan dekat jembatan dermaga penyandaran perahu bagian selatan pulau yang memiliki tingkat kerapatan rendah. Hal ini juga diakibatkan karena adanya tekanan dari aktivitas manusia dan tempat berkumpulnya sampah-sampah. Menurut Hambran et al.
(2014) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan tumbuhan yang sangat peka terhadap lingkungan sehingga apabila terjadi tekanan akan berdampak terhadap jumlah mangrove yang tumbuh pada kawasan tersebut.
Selain karena kondisi habitat, kerapatan pohon, lebar mangrove dan kompleksitas perakaran ekosistem mangrove akan mencegah terjadinya kerusakan atau gangguan yang akan terjadi seperti yang dikemukakan oleh Kathriresan (2003) bahwa kerapatan jenis, kompleksitas dan fleksibilitas dari sistem perakaran ekosistem mangrove akan menentukan beberapa proses dari energi gelombang.
Kekuatan perakaran mangrove sangat efektif terhadap terjangan gelombang, terutama akar dari jenis Rhizophora sp, hal ini disebabkan struktur akar dari Rhizophora sp toleran terhadap genangan air (Mazda et al. 1997).
4.2.4 Pasang Surut
Pasang surut merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove. Berdasarkan data pasang surut yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Tipe pasang surut tahun 2019 di Pulau Pannikiang menujukkan pasang surut tipe campuran condong harian ganda (Mixes semi diurnal tide) yang menggambarkan bahwa dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dengan perolehan nilai yang didapatkan selama bulan Januari-Oktober 2019 rata-rata yang dihasilkan ialah 1,41 meter. Tipe ini didapatkan dari hasil analisis perhitung pasang surut bulanan yang diperoleh dari rata-rata pasang surut harian. Menurut (Bengen dan Dutton 2004) daerah pertumbuhan mangrove meliputi daerah yang ada di tengah-tengah mid tide level (MTL) sampai dengan highest high water spring tide (HHWST). Bagi mangrove, rentang pasang surut mempengaruhi sistem perakaran dan persebaran propagul mangrove.
4.2.5 Potensi Biota
Keanekaragaman hayati (Biodiversitas) adalah salah satu istilah yang digunakan untuk menyatakan keanekaragaman sumber daya hayati yang terdiri dari jenis-jenis flora dan fauna (Kartono 2000). Objek biota merupakan salah satu daya tarik dalam kegiatan wisata, dilihat dari keunikan, keragaman dan biota yang jarang dijumpai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bengen (2000)
a b c d
a b
bahwa daya tarik dari ekosistem mangrove yaitu keragaman kehidupan disekitar ekosistem mangrove. Pulau Pannikiang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi berupa ribuan kelelawar, berbagai jenis burung yang masuk dalam kategori dilindungi, ikan dan kepiting (Gambar 9).
Identifikasi jenis biota di Pulau Pannikiang telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Munawar (2004); Sabar (2016); Samsi et al. (2018); Fatah et al. (2013). Keanekaragaman jenis burung di Pulau Pannikiang sebanyak 36 jenis burung (Munawar 2004), tidak hanya dihuni oleh jenis-jenis burung tetapi terdapat jenis kelelawar, ikan, kepiting, mollusca yang berasoisasi dengan ekosistem mangrove yang ada di Pulau Pannikiang (Sabar 2016; Samsi et al.
(2018).
Gambar 9 Jenis biota yang berasoisasi dengan ekosistem mangrove Pulau Pannikiang (a) Bubulcus ibis, (b) Phalacrocorax melanoleucos, (c) Egretta alba, (d) Acerodon celebensis
Fungsi lain dari ekosistem mangrove ialah sebagai tempat pemijahan (spawning grounds), tempat pengasuhan (nursery grounds) dan tempat mencari makan (feeding grounds) berbagai jenis ikan, kepiting, mollusca dan biota lainnya. Biota yang berasosiasi yang ditemukan di kawasan mangrove Pulau Pannikiang (Gambar 10).
Gambar 10 Jenis biota yang beroasosiasi dengan ekosistem mangrove (a) Metaplax sp., (b) Periophthalmus sp., (c) Telecopium telescopium, (d) Chicoreus capucinu, (e) Cerithidea cingulata.
e d
c
Beberapa jenis burung di Pulau Pannikiang menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitatnya. Noor et al. (2006) mengatakan bahwa bangau (Ciconnidae), pecuk (Phalacrocoracidae) dan kuntul (Egretta spp.) menjadikan mangrove sebagai habitat untuk mencari makanan dan berkembangbiak. Pulau Pannikiang memiliki keragaman spesies burung yang dilindungi menurut PP No.7 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi Permen LHK No. 92 Tahun 2018 (Table 4.11).
Tabel 11 Keragaman spesies burung di Pulau Pannikiang
No. Nama lokal Nama latin IUCN Red
List
Permen LHK No.
92 Tahun 2018
1. Kowak malam abu Nycticorax nycticorax - -
2. Cangak merah Ardea purpurea - -
3. Belibis kembang Dendrocygna arcuata - -
4. Itik Penelope Anas penelope - -
5. Kowak malam merah
Nycticorax
caledonicus - Dilindungi
6. Kowak jepang Gorsachius goisagi T P Dilindungi
7. Itik mata putih Aythya australis - -
8. Kicuit kerbau Motacilla flava - -
9. Angsa kerdil kapas Nettapus pulchellus - -
10. Kowak melayu
Gorsachius
melanolophus - Dilindungi
11. Kuntul karang Egretta sacra - -
12. Kokokan laut Butorides striatus - -
13. Gajahan kecil Numenius minutus - Dilindungi
14. Gajahan pengala Numenius phaeopus - Dilindungi
15. Cekakak sungai Halcyon chloris - -
16. Kekep babi
Artamus
leucorhynchus - -
17. Pecuk padi hitam
Phalacrocorax
sulcirotris - -
18. Kuntul kecil Egretta garzetta - -
19. Kuntul kerbau Bubulcus ibis - -
20. Pecuk padi belang
Phalacrocorax
melanoleucos - -
21. Kapasan sulawesi Lalage leucopygialis - -
22. Burung madu sriganti Nectarinia jugularis - -
23. Burung madu kelapa Anthreptes malacensis - -
24. Kacamata laut Zosterops chloris - -
25. Layang-layang batu Hirundo tahitica - -
26. Kuntul putih besar Egretta alba - -
27. Kuntul perak Egretta intermedia - -
28. Blekok sawah Ardeola speciosa - -
29. Pecuk ular Anhinga melanogaster H T P Dilindungi
30. Itik benjut Anas gibbirifrons - -
31. Sandang lawe Ciconia episcopus - Dilindungi
32. Cangak Ardea sumatrana - Dilindungi
Tabel 11 Keragaman spesies burung di Pulau Pannikiang (lanjutan)
No. Nama lokal Nama latin IUCN Red List
Permen LHK No. 92 Tahun
2018
33. Cekakak suci Halcyon sancta - -
34. Cabai panggul kuning Dicaeum aureolimbatum - -
35. Bondol kepala pucat Lonchura pallida - -
36. Burung madu hitam Nectarinia aspasia - -
Sumber: Munawar (2004)
Potensi dan keragaman burung air menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan karena sering terlihat di kawasan mangrove, tidak hanya burung air disisi lain Pulau ini memiliki ribuan hingga jutaan kelelawar yang berasoisasi dengan mangrove. Keberadaan beberapa biota akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung dalam menikmati kegiatan wisata (Sitepu et al. 2015). Species Terebralia palustris dengan kelimpahan yang tinggi dan Saccostrea echinata, Anadara granosa dengan kelimpahan yang lebih rendah (Sabar 2016). Kelas gastropoda dapat hidup pada ekosistem mangrove karena memiliki valva yang berfungsi untuk mencegah kehilangan air pada saat air surut sedangkan kelas crustacea kurang mampu beradaptasi dengan lingkunganyang ekstrim sehingga pada saat pengamatan dilakukan jumlah spesies dari crustacea jarang dijumpai.
4.3 Kesesuaian Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata Penentuan kawasan untuk dijadikan suatu objek wisata harus didasari dari penilaian kawasan yang memiliki pertimbangan parameter tertentu agar kawasan tersebut layak menjadi objek wisata yang berkelanjutan. Paramater yang dimaksud mengacu pada Yulianda (2019) terdiri dari ketebalan mangrove (m), kerapatan mangrove (ind/m2), pasang surut (m), objek biota. Kelima parameter tersebut dalam kategori sangat sesuai dan sesuai.
Kesesuaian ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang, menjelaskan beberapa titik area pengamatan masuk dalam kategori sangat sesuai dan sesuai untuk dijadikan kawasan ekowisata mangrove (Gambar 11). IKW di lokasi penelitian dengan kategori sangat sesuai 6,73 ha dan untuk kategori sesuai 28,65 ha sehingga total IKW yang diperoleh 35,38 ha. Hasil ini dapat dijadikan rekomendasi dalam mendesain pengembangan ekowisata mangrove di Pulau Pannikiang (Gambar 12), melihat hampir keseluruhan Pulau Pannikiang masuk dalam kategori sesuai dengan pertimbangan kriteria scoring yang didapatkan dalam matriks kesesuaian.
Kategori sangat sesuai berada pada titik dekat sebelah selatan pulau, dimana area tersebut sudah tersedia fasilitas wisata berupa tracking mangrove dan satu unit gazebo. Pulau Pannikiang memiliki kondisi ekosistem mangrove yang masih alami dan terdapat biota unik yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Hal ini sejalan dengan pendapat Wardhani (2014) yang menekankan bahwa suatu kawasan memiliki kondisi ekosistem mangrove yang unik dengan potensi sumber daya alam berupa bentang alam, flora dan fauna dapat dijadikan sebagai daya tarik ekowisata.
Gambar 11 Kesesuaian ekowisata mangrove
Gambar 12 Rekomendasi pengembangan ekowisata mangrove Pulau Pannikiang