• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ilmu hukum, dikenal pembagian hukum berupa hukum privat dan hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi yang saling berlainan. Jika hukum publik menekankan pada aspek kepentingan umum masyarakat luas, maka hukum privat bersifat sebaliknya yakni bertumpu pada kepentingan parsial orang perorangan dalam masyarakat. Salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.1

Beberapa pendapat mengemukakan bahwa terdapat alasan-alasan dimasukkannya hukum pidana sebagai lingkup hukum publik. Algra menyatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum publik karena pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dengan eksistensi badan negara.

Pernyataan tingkah laku yang dapat dipidana misalnya dinyatakan oleh badan pembuat peraturan perundang-undangan. Demikian juga penuntutan dilakukan oleh badan lembaga kejaksaan.2 Sementara, menurut Van Hamel sebagaimana yang dikutip oleh Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo menyatakan bahwa

1 Moeljatno , 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, hlm.2.

2 Algra, et.al., 1983, Mula Hukum, Bina Cipta, Jakarta, hlm.302.

(2)

hukum pidana itu sebagai hukum publik karena yang menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terletak di tangan pemerintah negara.3

Fungsi publik dari hukum pidana terkait erat dengan diperbolehkannya negara melalui alat-alat kelengkapannya untuk menjatuhkan sanksi terhadap adanya tindak pidana.4 Tindak pidana dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang merusak atau merugikan kepentingan bersama sehingga harus dilakukan pembalasan terhadapnya. Sejalan dengan perkembangan tujuan pemidanaan, bentuk pembalasan tersebut lebih menghormati harkat dan martabat pelaku sebagai manusia dan tidak lagi menampakkan penyiksaan yang tidak manusiawi oleh aparat penegak hukum. Namun, walaupun telah terdapat perkembangan tujuan pemidanaan yang lebih manusiawi, perkara pidana pada dasarnya tetap menuntut adanya pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya yang tidak hanya merugikan seorang individu, melainkan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, hukum pidana sejatinya tidak mengenal mediasi ataupun upaya perdamaian.

Namun demikian, menurut Andi Zainal Abidin, hukum pidana sejatinya tidak sepenuhnya hukum publik karena telah bercampur dengan hukum privat, seperti masuknya delik pencurian, penipuan, dan perzinaan.5 Dengan adanya hal tersebut, maka sangat dimungkinkan melakukan mediasi untuk tindak pidana yang bersegi privat walaupun sebenarnya bertentangan dengan teori pada umumnya. 6

3 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi , Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.14.

4 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta,hlm.2.

5 Andi Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13.

6 Ibid.

(3)

Pada umumnya mediasi dikenal dalam penyelesaian perkara-perkara perdata.7 Upaya ini merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa (atau biasa disebut Alternative Dispute Resolution). Terhadap hal tersebut, selain melalui pengaturan dalam HIR, peraturan perundang-undangan Indonesia juga telah mengaturnya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut, mediasi digolongkan sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa.

Seiring dengan adanya perkembangan dinamika masyarakat, banyak tindak pidana yang kemudian diselesaikan dengan proses mediasi seperti halnya dalam perkara perdata. Mediasi itulah yang disebut sebagai mediasi penal.8 Ditinjau dari istilah terminologisnya, mediasi penal di berbagai negara dikenal pula sebagai mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement, strafbemiddeling, maupun de mediation penale.9 Dengan adanya istilah mediasi penal di beberapa negara, hal ini menunjukkan fakta bahwa diterapkannya mediasi penal telah menjadi kecenderungan internasional.

Dalam beberapa konferensi internasional yang berhubungan dengan acara pidana, misalnya kongres PBB ke-9 tahun 1995 disebutkan perlunya semua negara mempertimbangkan “privatizing some law enforcements and justice functions” dan “Alternative Dispute Resolution” berupa mediasi, konsiliasi,

7 Dalam perkara perdata, menurut Pasal 130 HIR ditentukan bahwa hakim dalam perkara perdata akan mengupayakan adanya mediasi bagi para pihak yang menghadap.

8 Syaiful Bakhri, 2014, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan, Teori, dan Praktek, Pustaka Pelopor, Yogyakarta, hlm.243.

9 Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hlm.1-2.

(4)

restitusi, maupun kompensasi dalam sistem peradilan pidana.10 Kemudian, dalam International Penal Reform Conference Tahun 1999 juga disepakati untuk mengembangkan proses informal dalam penyelesaian perkara pidana berupa restorative justice, Alternative Dispute Resolution, informal justice , alternatives to custody, alternative ways of dealing with juveniles, dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper management of prisons, dan the role of civil in penal reform.11 Dari pertemuan-pertemuan tersebut, selanjutnya dibuatlah dokumen-dokumen internasional mengenai keadilan restoratif dan mediasi penal yakni berupa The Recommendation of The Council of Europe 1990 tentang

“Mediation in Penal Mattres”, The EU Framework Decision 2001 tentang “The Stannding of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN Principles 2002 tentang “Basic Principles on The Use Restorative Justices Programmes in Criminal Matters”.12 Adanya berbagai perkembangan penerimaan mediasi penal di dunia internasional, memicu banyak negara untuk menerapkan mediasi penal dalam sistem peradilan pidanananya tidak hanya untuk anak-anak , namun juga untuk orang dewasa seperti Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Malaysia, dan berbagai negara lainnya.

Dalam konteks Negara Indonesia, proses mediasi penal sejatinya sudah diterapkan oleh aparat penegak hukum meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur adanya hal ini. Proses tersebut apabila dilakukan pada tahap penyidikan diterapkan melalui kewenangan diskresi

10 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Laporan Penelitian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hlm.2-3.

11 Ibid.

12 Ibid.

(5)

kepolisian maupun penyelesaian di lembaga adat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Balitbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI tahun 2006 , proses mediasi penal pada tahap penyidikan seringkali diterapkan untuk menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga dikarenakan adanya keinginan pelaku untuk mempertahankan rumah tangganya.13 Selain itu, proses mediasi penal bahkan juga dilakukan untuk perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan tewasnya korban di Jakarta Pusat.14 Di Aceh dan Papua, penyidik juga sering menerapkan mediasi penal melalui penyelesaian di lembaga adat. Di Aceh, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditentukan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat diselesaikan melalui lembaga adat.15 Permasalahan sosial kemasyarakatan yang dimaksud meliputi :16 (1) perselisihan dalam rumah tangga; (2)sengketa antara keluarga yang bersifat faraidh; (3)perselisihan antar warga; (4) khalwat mesum;

(5)perselisihan tentang hak milik; (6) pencurian dalam keluarga; (7)perselisihan harta; (8)pencurian ringan; (9)pencurian ternak peliharaan; (10)persengketaan di laut; (11) persengketaan di pasar; (12)penganiayan ringan; (13)pembakaran hutan;

(14)pencemaran nama baik; (15) perselisihan lain yang melanggar adat-istiadat.

Hal inilah yang kemudian membuat penyidik di Aceh seringkali menyerahkan penyelesaian kasus untuk dimediasi di lembaga adat Aceh terlebih dahulu. Jika gagal menemukan kesepakatan, barulah kasus ditangani dalam sistem peradilan

13 Ibid., hlm.27.

14 Ibid., hlm.60.

15 Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

16 Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh tentang Pembinaan Masyarakat Adat.

(6)

pidana.17 Di Papua, melalui Perda Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Papua ditentukan bahwa pengadilan adat dapat menyelesaikan perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan orang asli Papua jika ada kesepakatan diantara keduanya.18 Mekanisme penyelesaiannya adalah melalui musyawarah mufakat.19 Apabila kemudian perkara tersebut tidak berhasil diselesaikan melalui peradilan adat, barulah dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara.20 Berdasarkan hal ini, maka penyidik ketika mendapati sebuah tindak pidana tidak akan langsung memprosesnya dalam sistem peradilan pidana, namun menunggu terlebih dahulu apakah ada kemungkinan pelaku dan korban untuk menyelesaikannya di lembaga adat. Di tingkat pengadilan, beberapa yurisprudensi pun menunjukkan eksistensi mediasi penal.

Yurisprudensi tersebut yakni diantaranya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 serta pada Putusan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Nomor 24/Pid./S/1992/PN.KLK.21 Kedua putusan tersebut mengakomodasi adanya mediasi yang telah diterapkan pada lembaga adat untuk dapat melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dinyatakan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat, maka seseorang tersebut harus terlebih dahulu disidangkan di peradilan adat melalui mekanisme musyawarah dengan dimediasi oleh pemuka adat. Jika kemudian peradilan adat telah

17 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.cit., hlm.62.

18 Pasal 8 ayat (1) Perda Nomor 10 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua.

19 Pasal 8 ayat (2) Perda Nomor 10 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua.

20 Pasal 8 ayat (3) Perda Nomor 10 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua.

21 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.cit., hlm.59.

(7)

memberikan putusan dan pengadilan Negeri juga kembali menyidangkannya setelah sidang adat, maka tuntutan jaksa penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima. Hal serupa juga terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Nomor 24/Pid./S/1992/PN.KLK yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena terdakwa telah diadili di lembaga adat Bali atas tindak pidana Lokika Sanggraha (hubungan persetubuhan antara laki-laki dan wanita yang belum menikah disertai dengan janji-janji menikah namun tidak ditepati oleh salah satu pihak). Putusan lembaga adat Bali yang melibatkan pemuka adat sebagai penengah menghasilkan putusan bahwa terhadap tindak pidana tersebut terdakwa harus melakukan pemenuhan kewajiban adat. Khusus di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui pra penelitian yang telah penulis lakukan di 3 (tiga) Kepolisian Resor (selanjutnya disingkat Polres) yakni Bantul, Yogya, dan Sleman, jumlah perkara yang diselesaikan melalui mekanisme mediasi penal juga menunjukkan jumlah yang cukup banyak. Contoh di Polres Bantul, dari 619 tindak pidana yang ditangani oleh Polres Bantul dalam proses penyidikan pada Tahun 2014, 81 diantaranya diselesaikan dengan proses mediasi penal melalui diskresi kepolisian.22 Kasus yang diselesaikan pun bervariasi, mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perzinaan, perlindungan anak, penipuan, pengrusakan, pengeroyokan, maupun pencurian. Konsekuensi dari makin eksisnya penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah meleburnya sekat perbedaan antara hukum perdata dan hukum pidana.23

22 Data Tindak Pidana dan Penyelesaian Tahun 2014 di Polres Bantul.

23 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Op.cit., hlm.45.

(8)

Dalam RUU KUHAP yang disusun oleh tim perumus pada periode 1999- 2009, konsep penyelesaian perkara pidana melalui mediasi juga pernah dimunculkan sebagai salah satu rumusan.24 Dalam rancangan tersebut, diatur bahwa mediasi antara pelaku dan korban merupakan salah satu alasan yang dapat menghentikan penyidikan disamping alasan tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.

Namun, RUU KUHAP tersebut membatasi mediasi hanya untuk tindak pidana yang bersifat ringan, tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, tindak pidana yang diancam hanya dengan pidana denda, umur tersangka sudah 70 (tujuh puluh) tahun, serta kerugian sudah diganti.

Sedangkan pada RUU KUHAP terbaru Tahun 2012, kata “mediasi” antara korban dan pelaku tidak lagi dimunculkan sebagai rumusan. Sebagai penggantinya, tindak pidana yang bersifat ringan; tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; tindak pidana yang diancam hanya dengan pidana denda; umur tersangka sudah 70 (tujuh puluh) tahun; serta kerugian sudah diganti menjadi syarat-syarat yang dapat digunakan untuk menghentikan penuntutan.25

Mediasi penal dalam tataran ius constitutum, khususnya pada tahap penyidikan, telah diatur melalui berbagai regulasi di bawah undang-undang yang berlaku secara parsial dan terbatas.26 Pertama, terdapat dalam Surat Kapolri

24 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.cit., hlm.50.

25 Untuk hal ini, dapat dilihat pada Pasal 42 Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penulis mendapatkan rancangan tersebut dari sumber Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia www.djpp.kemenkumham.go.id/files/ruu/2012/ruu%20kuhap.pdf.

26 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 12.

(9)

Nomor : B/3022/ XII /2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution. Kedua, terdapat dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Namun demikian, kedua peraturan ini pun sejatinya tidak secara khusus membahas mengenai mediasi penal sebab mediasi hanyalah dicantumkan sebagai pilihan yang “dapat” diambil polisi untuk menjalankan tugas pemolisian masyarakat (polmas).

Ditinjau dari sisi urgensi, dipilihnya mediasi penal sebagai cara menyelesaikan perkara pidana terkait dengan tujuan untuk lebih melindungi korban, menghindarkan dari efek negatif sistem peradilan pidana, serta meminimalkan penumpukan perkara di pengadilan.27 Perlindungan korban dalam mediasi penal dapat dicapai karena mediasi pada dasarnya menghasilkan solusi menang-menang (win-win solution), bukan kalah-kalah (lost-lost) ataupun menang-kalah (win-lost). 28 Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencapai solusi terbaik sehingga korban dapat mengajukan ganti rugi dan pelaku dapat membayar kompensasi sesuai kemampuannya.29

Selama ini, pemenuhan kepentingan korban dalam KUHAP hanya diatur melalui mekanisme ganti kerugian dalam proses di sidang pengadilan. Pertama, melalui mekanisme penggabungan gugatan perdata dalam perkara pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 98 KUHAP yang menyatakan bahwa apabila

27 Barda Nawawi Arief, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Balai Penerbit Undip, Semarang, hlm.169-171.

28 Ibid.

29 Ibid.

(10)

suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

Namun demikian, penggabungan gugatan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Kedua, mekanisme pemenuhan kepentingan korban terdapat dalam Pasal 14 c yang menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat.

Melalui pidana bersyarat ini, ada kemungkinan hakim akan menentukan syarat khusus berupa pemberian ganti kerugian atau pemenuhan sanksi adat. Mekanisme pidana bersyarat dalam pasal 14 c ini tidak menjamin hakim akan menetapkan pemberian ganti kerugian sebagai syarat khususnya. Sehingga dengan demikian, perlindungan bagi korban tindak pidana memang sangat dibutuhkan, salah satunya melalui proses mediasi penal.

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, isu yang muncul adalah bahwa penyelesaian kasus pidana sering dilakukan melalui mediasi penal karena lebih memperhatikan kepentingan korban tindak pidana dan memberikan solusi yang bersifat win-win solution. Namun demikian, terlepas dari kelebihan yang dimiliki mekanisme mediasi penal, mekanisme ini ternyata belum diatur secara eksplisit dalam KUHAP. Hal ini memungkinkan aparat penegak hukum menerapkan mekanisme mediasi penal secara berbeda-beda dengan alasannya masing-masing. Oleh karena itu, maka penelitian hukum ini dilakukan dengan judul: “Penerapan Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan.” Penulis memilih memfokuskan penelitian khusus pada tahap penyidikan karena pada

(11)

tahap ini, tindakan yang diambil oleh polisi merupakan tindakan awal yang akan menentukan keberlangsungan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana mekanisme mediasi penal pada tahap penyidikan?

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan penyidik menerapkan mediasi penal?

Terkait beragamnya pejabat penyidik, maka penulis dalam penelitian ini membatasi penelitian hanya pada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan tidak termasuk penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui mekanisme mediasi penal pada tahap penyidikan.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangkan yang dipakai penyidik dalam menerapkan mediasi penal pada tahap penyidikan.

2. Tujuan Subyektif

Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

(12)

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis, ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai mediasi penal, beberapa diantaranya adalah:

1. Penelitian Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berjudul Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.30 Penelitian tersebut mengulas mengenai mediasi penal dengan lebih difokuskan pada tataran konseptual, misalnya merumuskan eksistensi mediasi penal dalam ius constituendum dan lebih luas dalam keseluruhan sistem peradilan pidana Indonesia.

Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian tersebut adalah : (1) Bagaimana pengkajian terhadap norma, asas, dan teori penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui dimensi mediasi penal; (2) Bagaimana eksistensi mediasi penal dalam ius constitutum dan ius constituendum. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih fokus pada penerapan mediasi penal di lapangan (tataran praktek) dan terbatas pada tahap penyidikan semata dengan mendasarkan pada dua rumusan masalah yakni : (1) Bagaimana mekanisme mediasi penal pada tahap penyidikan; (2) Apa yang menjadi dasar pertimbangan penyidik menerapkan mediasi penal. Kesimpulan dari penelitian Puslitbang Hukum

30 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Laporan Penelitian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.

(13)

dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia dikatakan ada dan tiada. Ada karena dalam prakteknya sering diterapkan mulai dari penyidikan sampai pemeriksan sidang pengadilan, namun tiada karena terbatasnya pengaturan mengenai hal tersebut dalam peraturaturan perundang-undangan.

2. Tesis karya I Made Agus Mahendra yang berjudul Mediasi Penal:

Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali.31 Penelitian tersebut mengulas mengenai mediasi penal dalam tataran praktek dengan mengkaitkan langsung mediasi penal pada proses penyelesaian tindak pidana adat Bali. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian tersebut adalah : (1) Bagaimana eksistensi hukum pidana adat dalam peraturan perundang-undangan; (2) Bagaimana peran lembaga adat dalam menyelesaikan tindak pidana dengan mediasi penal; (3) Bagaimana mekanisme penerapan mediasi penal dalam menyelesaikan tindak pidana secara adat di Bali. Hal ini berbeda dengan yang penulis teliti karena fokus penelitian penulis adalah penerapan mediasi penal khusus pada tahap penyidikan dengan tidak mengkaitkannya langsung dengan tindak pidana adat manapun. Kesimpulan dari Tesis karya I Made Agus Mahendra adalah bahwa dalam penyelesaian tindak pidana adat Bali telah menerapkan nilai-nilai restorative justice melalui mediasi penal di lembaga adat seperti Kelihan Adat dan Bendesa Adat.

31 I Made Agus Mahendra Iswari, 2013, Mediasi Penal : Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis, Program Magister Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

(14)

3. Penelitian Agus Raharjo dalam Jurnal Mimbar Hukum UGM yang berjudul Mediasi Sebagai Basis Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.32 Penelitian tersebut merupakan penelitian mengenai mediasi penal dengan mengambil lokasi penelitian di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penelitian tersebut memperbandingkan praktek di Indonesia dengan praktek di Amerika Serikat. Rumusan masalah yang dikemukakan adalah : (1) Perkara-perkara pidana apakah yang diselesaikan dengan mediasi penal

; (2) model penyelesaian yang bagaimana yang akan memenuhi rasa keadilan bagi korban. Kesimpulan penelitian milik Agus Rahardjo adalah terdapat penyelesaian melalui mediasi penal untuk perkara-perkara pidana ringan. Selain itu, Agus Rahardjo juga mengemukakan bahwa mediasi penal merupakan mekanisme paling tepat untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat setelah mengambil contoh komparasi dengan Amerika Serikat. Sedangkan penelitian penulis merupakan penelian yuridis empiris mengenai mediasi penal dengan mengambil lokasi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga ditinjau dari lokasi, kedua penelitian ini sudah berbeda. Selain itu, rumsuan masalah yang dikemukakan penulis juga terdapat perbedaan karena penulis fokus kepada mekanisme mediasi penal dan dasar pertimbangan penyidik dalam menerapkannya tanpa merujuk pada praktek komparasi di negara lain.

32 Agus Raharjo, 2008, “Mediasi Sebagai Basis Dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol.20, Nomor 2, Februari 2008.

(15)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Adapun manfaatnya yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai mediasi penal yang sudah sering diterapkan dalam praktek namun minim pengkajian secara teori.

b. Memberikan bahan masukan bagi penyidik sebagai aparat penegak hukum dalam menerapkan mediasi penal.

c. Memberikan bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan ketentuan-ketentuan mengenai mediasi penal.

d. Memberikan bahan masukan bagi penulis yang meneliti penelitian yang sejenis berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Dapat dijadikan masukan dan bahan kajian bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi yang dibahas dalam penelitian dan penulisan hukum ini, yaitu:

a. Dapat dijadikan pedoman penelitian dan kajian-kajian berikutnya.

b. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri maupun pihak-pihak lain yang berhubungan (baik langsung maupun tidak langsung) dengan hal-hal yang dibahas dalam penulisan hukum ini.

Referensi

Dokumen terkait

Reply Yudho Setyo January 6, 2014 at 3:07 PM Halo Fasdheva, You’re welcome.. Semoga bermanfaat. Monggo gan, langsung aja  Reply 19. 

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

Berdasar hasil penelitian tentang Penerapan Metode Proyek Untuk Meningkatkan Ketrampilan Sosial Anak Dalam Bekerjasama Pada Anak Kelompok B2 Di TK Kreatif Zaid

Berdasarkan penelitian Irsyad (2005) yang menguji hubungan antara bagi hasil terhadap simpanan mudharabah dan dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bagi hasil di

Menurut Rahmawaty (2004), pada permukaan tanah di lahan hutan, terdapat cukup banyak serasah yang berasal dari vegetasi sekitarnya, mesofauna tanah akan melakukan kegiatan

Tidak jarang juga pembelian konsumen di pengaruhi oleh harga promosi, dalam penelitian ini juga membahas tentang pengaruh orang yang berpemahaman agama

OPTIMASI NAÏVE BAYES CLASSIFIER DENGAN MENGGUNAKAN PARTICLE SWARM OPTIMIZATION PADA DATA IRIS.. Husin Muhamad 1 , Cahyo Adi Prasojo 2 , Nur Afifah Sugianto 3 , Listiya Surtiningsih 4

Setelah dilaksanakan sosialisasi pemanfaatan media online sebagai media pemasaran produk bagi para anggota APIK, maka tingkat keberhasilan penyelenggaraan kegiatan