• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Tentang Refungsionalisasi Ruang Partisipasi Masyarakat a. Pengertian Refungsionalisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Tentang Refungsionalisasi Ruang Partisipasi Masyarakat a. Pengertian Refungsionalisasi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 10 BAB II

LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Tentang Refungsionalisasi Ruang Partisipasi Masyarakat a. Pengertian Refungsionalisasi

Istilah Refungsionalisasi berasal dari kata fungsi yang dalam istilah bahasa Inggris disebut function. Kata refungsionalisasi mendapat awalan re- dan akhiran -isasi yang mana awalan re- pada kata kerja berarti mengembalikan atau menjadikan seperti semula dan akhiran- isasi pada kata kerja berarti proses, cara atau perbuatan. Definisi fungsi menurut Departemen Pendidikan Nasional (1991: 426), “Jabatan atau pekerjaan sedangkan fungsionalisasi adalah hal yang menjadikan berfungsi, pembentukan secara fungsional”. Pengertian fungsi dalam Endarmoko (2002: 181) berarti “Aktivitas kerja, kegunaan, manfaat peran tugas”.

Adapun pengertian fungsi menurut M. Dahlan Al Barry mengartikan fungsionalisasi sebagai, “Upaya atau usaha pemanfaatan dan penggunaan sesuatu” (Henny Sri Wahyuningsih, 2003: 8).

Jadi dapat disimpulkan bahwa refungsionalisasi dapat diartikan sebagai upaya atau usaha yang dilakukan dalam rangka mengembalikan sesuatu pada fungsinya atau kegunaannya atau manfaatnya seperti semula, atau memfungsikan kembali suatu hal yang sebelumnya belum difungsikan secara baik.

b. Pengertian Ruang

Definisi ruang menurut Departemen Pendidikan Nasional (1991:

1285), ruang adalah “Sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di bawah kolong rumah) rongga yang dibatasi atau dilingkari oleh bidang, rongga yang tidak terbatas dan merupakan tempat segala sesuatu yang ada”.

(2)

commit to user

Menurut Lucian Holscher, “Aspek historis publik dimengerti sebagai tindakan-tindakan kenegaraan kemudian disebut sebagai tindakan partisipasi politis warganegara” (Tri Guntur Narwaya, 2011.

http://risangpribadi.blogspot.com).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ruang publik merupakan tempat terjadinya tindakan partisipasi masyarakat. Ruang publik sering dikaitkan dengan arena pembuatan kebijakan yang transparan, di mana masyarakat dapat hadir menggunakan hak bicara serta hak suara dalam proses tersebut.

Pendapat Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (2005: 108) mengenai ruang publik dapat dimaknai sebagai “Sebuah arena di mana masyarakat, baik secara individu maupun kelompok dapat berpartisipasi dalam proses pengelolaan kebijakan pemerintahan, baik pembuatan kebijakan maupun proses pemerintahan sehari-hari”. Pemaknaan ruang publik ini tidak hanya terbatas pada makna spasial (berkenaan dengan tempat) tetapi dapat berupa forum, pertemuan, maupun media lain yang memberikan peluang bagi publik (masyarakat) untuk mengakses secara terbuka dan adil.

Ruang publik menurut Ainur Rohman, dkk (2012: 25), “Ruang publik digambarkan sebagai peta kepentingan yang berkontestasi baik diantara ruang-ruang yang ada, maupun berbagai kepentingan dan kekuatan dari luar ruang”. Definisi mengenai ruang publik menurut Hardiman mengacu pada :

Suatu ruang yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya secara spasial dari adanya ruang lain yaitu ruang privat.

Ruang publik dalam arti normatif disebut juga ruang publik politis adalah suatu ruang komunikasi para warganegara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan (Budi Hardiman, 2010: 10).

Ruang publik menurut Jurgen Habermas, menyatakan bahwa ruang publik adalah :

Sebuah ruang diskursif di mana kelompok-kelompok orang bisa berkumpul untuk mendiskusikan apa-apa yang mereka ingin diskusikan, dan bila mungkin sampai keputusan-keputusan tertentu.

(3)

commit to user

Istilah Habermas ruang publik ini meliputi : konsep ruang, tempat- tempat sosial di mana makna dan ide dipertukarkan, juga berarti sebuah tubuh kolektif yang tersusun dari publik itu sendiri (Budi Hardiman, 2010: 25).

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang yang dimaksudkan oleh penulis tidak cukup dimaknai sebuah tempat yang terdapat publik atau masyarakat saja tetapi ruang publik merupakan tujuan untuk membentuk masyarakat komunikatif sebagai wujud partisipasi masyarakat. Maka, ruang bisa diartikan sebagai suatu arena kumpulan sosial bagi masyarakat dengan ciri terbuka dan bisa diakses banyak orang yang memungkinkan masyarakat untuk bebas menyatakan pendapat. Hal ini dikarenakan ruang publik memungkinkan masyarakat untuk menggunakan kekuatan argumennya dan menjadi sarana mewujudkan partisipasi masyarakat.

c. Tinjauan Tentang Partisipasi Masyarakat 1) Tinjauan Tentang Partisipasi

a) Pengertian Partisipasi

Partisipasi menurut definisi Departemen Pendidikan Nasional (1991: 1100) yaitu “Hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan keikutsertaan peran serta”. Partisipasi menurut Endarmoko (2002: 453) adalah “Keikutsertaan kesertaan keterlibatan, kontribusi, peran serta kerja sama kooperasi”. Partisipasi berasal dari bahasa Inggris “to the part”

atau apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang berarti ambil bagian. Sedangkan partisipasi dalam pengertian umum diartikan dengan peran serta keikutsertaan seseorang atau sekumpulan orang dalam suatu kegiatan bersama. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengertian partisipasi akan disajikan beberapa pendapat tentang pengertian partisipasi yaitu, sebagai berikut :

Partisipasi juga berarti sebagai "Kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri” (Taliziduhu Ndraha, 1990: 102).

(4)

commit to user

Pendapat ini seperti dengan definisi yang dikemukakan oleh K.

Davis yang memberikan pengertian partisipasi, "As mental and emotional involvement of person in a groupsituation which encourages him to contribute to group goals and shareresponsibility in them" (Khairuddin, 1992: 12).

Artinya keterlibatan seperti mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong seseorang untuk berkontribusi terhadap tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab di dalamnya.

Chu dan Simpson dalam Journal of Public Health menjelaskan definisi partisipasi masyarakat sebagai berikut, “Community participation is recognised as a key success factor in improving collaborative approaches to sustainability planning” (Z.Murray, 2009: 1).

Artinya dari pernyataan tersebut partisipasi masyarakat ialah kunci keberhasilan yang mampu mendukung perencanaan berkesinambungan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, terdapat 3 ciri utama dalam partisipasi, yaitu:

(1) Partisipasi merupakan suatu bentuk keterlibatan seseorang secara mental dan emosional. Jadi partisipasi tidak diartikan hanya berupa aktivitas fisik saja, tetapi partisipasi yang dilakukan berkenaan dengan kesadaran dari diri pribadi atau dengan kesukarelaan individu di dalam suatu kelompok. Partisipasi merupakan wujud keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang di dalam kegiatan untuk mencapai tujuan dari kegiatan tersebut.

(2) Partisipasi menghendaki adanya kontribusi dari para partisipan terhadap kepentingan dan tujuan masyarakat umum. Kontribusi dari partisipan tidak sekedar berupa materi saja, tetapi yang diperlukan adalah ide-ide inisiatif dan kreatif dari seluruh anggota kelompok sehingga dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan dalam kelompok.

(3) Partisipasi erat kaitannya dengan tanggung jawab terhadap kelompok. Keterlibatan seseorang dalam suatu kelompok dengan

(5)

commit to user

sendirinya akan terdorong untuk bertanggung jawab secara sosial yang tercipta dari adanya komunikasi yang baik diantara para anggota, rasa kebersamaan akan jelas terlihat. Kemajuan kelompok merupakan tanggung jawab dari orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut.

Istilah partisipasi sering diartikan dalam kaitannya dengan pembangunan. Pendapat Y.Slamet (1994: 1), ”Umumnya definisi partisipasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu definisi yang bersifat umum dan khusus”. Definisi partisipasi yang bersifat umum tidak mengacu pada kajian atau suatu ilmu tertentu, disini partisipasi digunakan secara luas.

Sedangkan dalam definisi yang khusus, misalnya dalam bidang politik, ekonomi, atau sosial, sehingga melahirkan istilah-istilah partisipasi politik, partisipasi ekonomi, partisipasi sosial.

Berdasarkan berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa, partisipasi masyarakat merupakan suatu bentuk keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu yang ingin dicapai bersama. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan menjadikan masyarakat lebih berdaya. Partisipasi masyarakat bisa dilakukan secara langsung dan bersifat reaktif sehingga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan suatu kegiatan yang terjadi melalui serangkaian proses dan tahapan yang satu sama lain saling berkaitan dan mempengaruhi. Setiap tahapan merupakan bagian yang penting dan mempunyai dampak langsung terhadap berjalannya suatu kegiatan serta menentukan keberhasilannya.

b) Tahapan-tahapan Partisipasi

Berikut ini tahapan-tahapan partisipasi, menurut Hoofsteede membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan :

(1) Partisipasi Inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.

(6)

commit to user

(2) Partisipasi Legitimasi (Legitimation Participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

(3) Partisipasi Eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan (Khairuddin, 1992: 125).

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat dijabarkan bahwa:

(1) Tahap pertama adalah tahap perencanaan (Inisiation Participation) Tahap ini wujud partisipasi dari masyarakat dapat berupa kehadiran dalam diskusi atau rapat dan sumbangan pikiran/gagasan.

Selama ini pembangunan yang ada, masyarakat hanya berperan sebagai tenaga kerja dan belum sebagai penentu arah pembangunan, akibatnya pembangunan yang dilakukan pun belum mencerminkan kepentingan masyarakat. Pada hakekatnya pelibatan masyarakat adalah bagian dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat.

Keikutsertaan masyarakat ini akan membawa pengaruh yang positif dan meminimalisir kemungkinan terjadinya dampak negatif.

Banyaknya hasil pembangunan yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dikarenakan hasilnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan minimnya partisipasi masyarakat dari tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan.

(2) Tahap kedua yaitu pelaksanaan (Legitimation Participation)

Tahap ini merupakan kelanjutan dari rencana yang sudah disepakati sebelumnya. Masyarakat akan saling bekerja sama melaksanakan kegiatan yang diselenggarakan. Keterlibatan dari segenap anggota masyarakat sangat dibutuhkan. Dengan ikut melaksanakan suatu proyek kegiatan atau pembangunan, masyarakat akan ikut pula bertanggung jawab terhadap hasil akhir dari pembangunan tersebut.

(3) Tahap pemantauan dan evaluasi (Execution Participation)

Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan apa yang direncanakan ataukah terjadi

(7)

commit to user

penyimpangan atau tidak, dan sampai sejauhmana hasilnya mampu memenuhi kebutuhan serta harapan masyarakat.

Partisipasi masyarakat memiliki banyak macam atau bentuk, jenis partisipasi yang dilakukan tergantung dari kegiatan yang dilakukan dan apa yang dibutuhkan demi terselenggaranya kegiatan untuk mencapai tujuan yang maksimal. Bentuk partisipasi ini berkaitan dengan sejauh mana masyarakat telah memberikan sumbangan dalam hubungannya dengan kegiatan yang sedang dijalankan.

c). Syarat Tumbuh dan Berkembangnya Partisipasi Masyarakat

Berdasarkan pendapat dari Slamet yang menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan tiga unsur pokok, yaitu :

(1) Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi

(2) Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi

(3) Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi (Totok Mardikanto, 2010: 104).

Mengenai hal ini adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan dan dengan adanya kemauan akan sangat menentukan kemampuannya.

Gambar 1. Syarat Tumbuh dan Berkembangnya Partisipasi Masyarakat Adapun penjabarannya syarat tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat sebagai berikut :

Kesempatan berpartisipasi

Kemauan

berpartisipasi Partisipasi masyarakat dalam

pembangunan Kemampuan

berpartisipasi

(8)

commit to user

(1) Kesempatan untuk berpartisipasi, beberapa kesempatan yang dimaksudkan di sini adalah kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan, baik dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan dan pemanfaatan pembangunan sejak di tingkat pusat sampai jajaran birokrasi paling bawah. Kesempatan untuk memperoleh informasi pembangunan, kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumber daya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan, kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat termasuk peralatan/ perlengkapan penunjangnya, kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang baru dilaksanakan. Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat.

(2) Kemampuan untuk berpartisipasi, kemampuan yang dimaksudkan disini adalah kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidup), kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, kemampuan untuk memecahkan maslah yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.

(3) Kemauan untuk berpartisipasi, kemauan untuk berpartisipasi, ditentukan oleh sikap mental yang dimiliki masyarakat untuk membangun atau memperbaiki kehidupannya. Menyangkut sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembangunan, sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya, sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas, sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah dan

(9)

commit to user

tercapainya tujuan pembangunan, sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya.

Berdasarkan pada konsep di atas, maka tumbuh berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diupayakan melalui : a) Pemberian kesempatan yang dilandasi oleh pemahaman bahwa

masyarakat memiliki kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan sebagai bentuk partisipasi masyarakat termasuk dengan mengadukan pelayanan yang kurang memuaskan kepada Pmerintah sebagai bahan evaluasi peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat.

b) Penyuluhan yang intensif tidak saja berupa penyampaian informasi tentang adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, melainkan juga disertai dengan dorongan agar masyarakat dapat berpartisipasi dan memiliki kemampuan untuk berpartisipasi.

2) Pengertian Masyarakat

Definisi masyarakat menurut Departemen Pendidikan Nasional (1991: 945), yaitu “Sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama”.

Masyarakat menurut Endarmoko (2002: 407) berarti “Bangsa, populasi publik, rakyat umum kekerabatan komune komunitas pegayuban asosiasi kelompok”.

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society, asal katanya socius yang berisi kawan. Adapun kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu syaraka yang artinya ikut serta atau berpartisipasi.

Adanya saling interaksi ini tentu karena ada bentuk-bentuk aturan hidup yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan satu kesatuan.

Definisi mengenai masyarakat menurut C.S.T Kansil (2002: 4) yaitu “Persekutuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama”.

(10)

commit to user

Masyarakat terbentuk dari dua orang atau lebih yang tinggal secara bersama di suatu daerah, sehingga terjadi interaksi sosial didalamnya dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Menurut Koentjaraningrat (2002: 146) masyarakat merupakan Kesatuan hidup manusia yang saling bergaul saling berinteraksi dan memiliki suatu ikatan khusus berupa pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan bersifat kontinyu dan memiliki adat istiadat yang tertentu, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki rasa identitas bersama.

Definisi ini menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L Gillin dan J.P Gillin yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah

“...the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes, and feelings of unity are operative” (Koentjaraningrat, 2002: 147).

The largest digambarkan seperti sebuah bangsa atau negara yang besar, Grouping yang dimaksudkan di sini yaitu mengacu pada kesatuan hidup, unsur common customs, traditions adalah unsur adat istiadat, dan unsur kontinuitas, selanjutnya yang dimaksud dengan common attitudes and feelings of unity are operative yaitu mengacu pada identitas bersama.

Raph Linton menyatakan “Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan mengganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas”

(Soerjono Soekanto, 2002: 24).

Max Iver dan Page menjelaskan definisi masyarakat yaitu :

Suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia, keseluruhan yang selalu berubah ini dinamakan masyarakat.

Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial, dan masyarakat selalu berubah (Soerjono Soekanto, 2002: 24).

Menurut Herbert Spencer “Masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain” (Poloma, 2007: 25).

(11)

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat merupakan suatu kumpulan yang terbentuk dari interaksi bersama sehingga menimbulkan persamaan kebiasaan yang terbentuk karena proses yang panjang secara bersama yang kemudian menjadi sebuah adat istiadat yang nantinya menjadi ciri dari persekutuan kumpulan tersebut.

d. Pengertian Refungsionalisasi Ruang Partisipasi Masyarakat

Refungsionalisasi ruang partisipasi masyarakat ini dapat diartikan sebagai pengembalian fungsi ruang-ruang partisipasi yang menjadi wadah atau sarana keterlibatan masyarakat untuk turut serta dalam perbaikan pelayanan publik. Ruang partisipasi masyarakat dijadikan sebagai wadah yang digunakan untuk menampung aspirasi baik berupa pendapat, pengaduan, kritikan ataupun saran yang berasal dari masyarakat dan dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh penyedia layanan. Masyarakat bertindak sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Indonesia dengan tujuan sebagai alat kontrol pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi perbaikan terhadap sistem pelayanan publik bagi masyarakat.

Berdasarkan pelaksanaaan pengaduan keliling oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional/PATTIRO Surakarta, berusaha melakukan refungsionalisasi ruang partisipasi masyarakat melalui inovasi menyelenggaraan pengaduan yang berkeliling (mobile complaint) dengan mendatangi masyarakat di titik-titik sentral Kota Surakarta. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan ruang partisipasi publik kepada masyarakat Kota Surakarta, sehingga dapat lebih memudahkan masyarakat untuk memperoleh perbaikan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surakarta dan sebagai sarana pendukung perluasan partisipasi publik masyarakat yaitu dengan menampung pengaduan-pengaduan atau keluhan-keluhan masyarakat di berbagai bidang pelayanan, baik pelayanan di bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang kelistrikan, bidang kependudukan, dan lainnya.

(12)

commit to user

2. Tinjauan Umum Tentang Pengaduan Keliling a. Pengertian Pengaduan Keliling

Pengertian pengaduan menurut Departemen Pendidikan Nasional (1991: 14) berarti “Penyambungan proses perbuatan atau cara mengadu”.

Menurut Endarmoko (2002: 7) yang dimaksud dengan pengaduan berarti,

“Kelah atau laporan”.

Pengaduan adalah “Permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang, untuk menindak menurut hukum dan perundang-undangan seseorang yang telah melakukan tindakan yang merugikannya” (Anonim.2012.www.tanyahukum.com).

Menurut Modul Penanganan Pengaduan Masyarakat, pengaduan merupakan “Proses penyampaian informasi yang berisi keluhan atau ketidakpuasan“ (Bayu Anugrah Putra, 2013: 12).

Definisi pengaduan masyarakat menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara adalah, ”Bentuk penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat kepada Aparatur Pemerintah terkait, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan atau pengaduan yang bersifat membangun” (Anonim.2011.www.kkbn.go/id).

Berdasarkan Pedoman Teknis Pengelolaan Pengaduan Masalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan, pengaduan masyarakat adalah :

Bentuk penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat, baik secara lisan maupun tertulis kepada Koordinator Kota (Korkot) dan Pemerintah Daerah (Kabupaten atau Kota) berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan atau pengaduan yang bersifat membangun.

Pengertian pengaduan menurut Martiman Prodjohamidjojo (1982:

13) adalah “Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan”.

(13)

commit to user

Queensland Ombudsman dalam Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 1 Nomor 1 menyebutkan :

Complaints management is a vital component of every decision making framework and is especially relevant to agencies that have service oriented roles in the public sector With increasing expectations from the community, agencies need to respond to complaints in an effective and timely way (Dera Sri Mega Bekti, 2013: 3).

Artinya manajemen pengaduan merupakan komponen penting dari setiap kerangka kerja pengambilan keputusan dan sangat relevan bagi lembaga yang memiliki layanan yang berorientasi peran di sektor publik dengan meningkatkan harapan dari masyarakat, lembaga perlu menanggapi keluhan dengan cara yang efektif dan tepat waktu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas jadi dapat disimpulkan pengertian pengaduan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh masyarakat yang berupa kritik atau saran kepada Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kepada masyarakat yang bertujuan untuk memperbaiki pelayanan yang diberikan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan.

Pengertian dari keliling menurut Departemen Pendidikan Nasional (1991: 693) keliling berarti “Garis yang membatasi suatu bidang, lingkungan di sekitar rumah, lapangan dan sebagainya berkeliling bergerak mengintari, mengelilingi membawa berkeliling”.

Keliling menurut Endarmoko (2002: 303) berarti, “Beredar berpusat berputar melegar, berbegar, berbentar, mengitar”.

Jadi pengaduan keliling (mobile complaint) adalah bagian dari layanan pengaduan bagi masyarakat umum dengan cara mendatangi masyarakat dalam menyampaikan keluhannya kepada Pemerintah.

Pengaduan Keliling (mobile complaint) merupakan suatu program yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah Informasi Regional/PATTIRO Surakarta yang melayani masyarakat dalam menjembatani dialog antara masyarakat sebagai pengguna layanan publik dan Pemerintah (pusat dan daerah) serta sebagai media untuk publik

(14)

commit to user

untuk memecah budaya diam masyarakat sehingga dapat mendorong sikap partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan.

b. Pihak yang Melakukan Pengaduan

Menurut Martiman Prodjohamidjojo (1984: 16),

“Pemberitahuan yang bersifat pengaduan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi oleh pihak yang bersangkutan”.

Pengertian pengadu atau pelapor menurut Modul Penanganan Pengaduan Masyarakat adalah “Perseorangan atau kelompok yang menyampaikan keluhan atau ketidakpuasannya” (Bayu Anugrah Putra, 2013: 12).

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 42 menyatakan bahwa, “Pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 40 (1) yang berbunyi “Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara, Ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota”. Terdapat lembaga negara yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa pelayanan publik yaitu Lembaga Ombudsman Republik Indonesia yang berwenang untuk melakukan ajudikasi dan mediasi.

Berdasarkan penjelasan dalam Undang-Undang tersebut pada prinsipnya semua pihak berhak dan berkewajiban untuk melakukan pengaduan atau pelaporan yang berkaitan dengan adanya suatu pelanggaran hukum. Untuk pengaduan sendiri, secara hukum, pihak yang melakukan pengaduan harus memiliki kepentingan hukum.

Kepentingan ini dapat menyangkut kepentingan pribadi maupun kepentingan sebuah kelompok, organisasi, atau kepentingan masyarakat

(15)

commit to user

secara umum yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan atau cita-cita yang akan dicapai dari pengaduan tersebut.

c. Pengaduan Masyarakat

Pengaduan masyarakat menurut Bayu Anugrah Putra (2013:

12) adalah “Bentuk dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan kepada yang diberikan kewenangan untuk menerima dan menindaklanjuti aduan masyarakat”.

Pengaduan masyarakat menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa :

1) Untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat atas pelayanan yang diberikan aparatur Pemerintahan, perlu disediakan akses kepada masyarakat untuk memberikan informasi, saran/pendapat/tanggapan, complaint/pengaduan dalam bentuk kotak pengaduan, kotak pos atau satuan tugas penerima pengaduan yang berfungsi menerima dan menyelesaikan pengaduan masyarakat.

2) Setiap orang yang menyampaikan pengaduan baik secara tertulis maupun secara langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan diberi surat/formulir tanda bukti pengaduan

3) Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan pejabat/petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah/ pengaduan tersebut dan jangka waktu penyelesaiannya 4) Masukan masyarakat, baik merupakan informasi, saran, pendapat,

tanggapan dan atau pengaduan hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-langkah upaya perbaikan pelayanan oleh unit pelayanan instansi Pemerintah yang bersangkutan.

5) Apabila dalam pengaduan terdapat masyarakat yang dirugikan, perlu dipertimbangkan pemberian kompensasi

6) Pengaduan tertulis baik melalui surat maupun media elektronik oleh masyarakat harus disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab

(16)

commit to user

dengan menyebutkan nama, alamat, dan identitas yang sah (bukan surat kaleng)

7) Apabila dalam pengaduan ternyata terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh petugas pelayanan maka perlu diberikan saksi kepada petugas yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk penyampaian pengaduan atau informasi dari masyarakat menurut Bayu Anugrah Putra (2013: 13), dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu “Pengaduan secara langsung dan pengaduan tidak langsung”.

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Pengaduan secara langsung dilakukan oleh masyarakat dengan cara datang langsung ke meja pengaduan (helpdesk) dan/atau bertemu langsung dengan pejabat yang berwenang dalam menangani pengaduan masyarakat. Pengaduan secara langsung dilakukan dengan menyampaikan secara lisan keluhan atau ketidakpuasan dan/atau informasi adanya dugaan pelanggaran kode etik pegawai. Untuk kemudian dicatat oleh pegawai yang menangani pengaduan masyarakat.

2) Pengaduan secara tidak langsung dilakukan oleh masyarakat dengan cara tidak langsung berhadapan atau bertemu dengan pejabat yang berwenang dalam menangani pengaduan masyarakat atau datang langsung ke meja pengaduan/saluran. Pengaduan secara tidak langsung biasanya dilakukan melalui : Short Message Service (SMS), surat, faximili, e-mail, telepon, website/aplikasi yang dibuat secara khusus untuk saluran pengaduan online, kotak pengaduan.

Jadi bentuk penyampaian pengaduan dapat dilakukan dengan pengaduan secara langsung yaitu menemui pejabat yang berwenang dan dapat dilakukan juga pengaduan secara tidak langsung yaitu pengaduan yang menggunakan media atau sarana yang sudah disediakan.

(17)

commit to user d. Penanganan Pengaduan

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 untuk menyelesaikan pengaduan masyarakat pimpinan unit penyelenggara pelayanan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Prioritas penyelesaian pengaduan

2) Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan 3) Prosedur penyelesaian pengaduan

4) Rekomendasi penyelesaian pengaduan

5) Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan

6) Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan

7) Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada yang mengadukan

8) Dokumentasi penyelesaian pengaduan (Ratminto dan Atik Septi, 2005: 29).

Jadi dalam penyelesaian pengaduan masyarakat setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik wajib menyelesaikan setiap pengaduan mengenai ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan untuk menampung pengaduan masyarakat tersebut, unit pelayanan menyediakan kotak/loket pengaduan.

Kritik dan saran dan pengaduan dari masyarakat yang dikelola dengan baik, kemudian ditindak lanjuti dengan proses dialog guna mendapatkan masukan perbaikan maka perbaikan pelayanan publik akan dapat dilakukan sehingga akan menjadi lebih berkualitas dan akuntabel. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 36 yaitu :

Pemerintah sebagai penyelenggara layanan berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. Pemerintah juga berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan. Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan.

(18)

commit to user

Ditegaskan lagi dalam Pasal 37 yaitu “Pemerintah wajib menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas”. Materi pengelolaan pengaduan tercantum dalam ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi:

1) Identitas pengadu

2) Prosedur pengelolaan pengaduan

3) Penentuan Pelaksana yang mengelola pengaduan 4) Prioritas penyelesaian pengaduan

5) Pelaporan proses dan hasil pengelolaan pengaduan kepada atasan pelaksana

6) Rekomendasi pengelolaan pengaduan

7) Penyampaian hasil pengelolaan pengaduan kepada pihak terkait

8) Pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan

9) Dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan dan pencantuman nama dan alamat penanggung jawab serta sarana pengaduan yang mudah diakses.

Menurut Modul Penanganan Pengaduan Masyarakat terdapat prinsip-prinsip dalam penanganan pengaduan masyarakat, yaitu :

“Rahasia, segera, fair, proporsional, obyektif, selektif, kerahasiaan, keterbukaan/transparansi” (Bayu Anugrah Putra, 2013: 28).

Berikut penjabaran prinsip-prinsip tersebut :

1) Rahasia yaitu setiap pengaduan masyarakat yang diterima hanya diketahui oleh pejabat yang berwenang dan/atau pegawai yang menangani pengaduan.

2) Segera yaitu setiap pengaduan masyarakat harus memperoleh respon secara cepat.

3) Fair yaitu setiap pengaduan masyarakat harus disikapi secara positif dan ditangani secara optimal.

4) Proporsional yaitu setiap pengaduan masyarakat harus ditangani sesuai dengan ruang lingkup masalah yang diadukan.

5) Obyektif yaitu setiap pengaduan masyarakat harus ditangani dengan semestinya tanpa dipengaruhi faktor-faktor yang dapat

(19)

commit to user

menyebabkan proses penanganan menjadi tidak semestinya (misalnya, jenjang jabatan, pertemanan, kepentingan dan/atau keberpihakan pribadi atau golongan, dan lain-lain).

6) Selektif yaitu setiap pengaduan masyarakat harus dianalisa guna menentukan untuk dilakukannya proses investigasi atau tidak.

7) Kerahasiaan bagi pengadu yaitu kerahasiaan identitas pengadu harus dijamin untuk rasa keamanan yang bersangkutan.

8) Keterbukaan atau transparansi yaitu setiap pihak yang ingin mendapatkan penyelesaian masalah harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya secara transparan. Proses dan hasil penyelesaian pengaduan harus disampaikan kepada pihak terkait/yang berkepentingan.

e. Landasan Hukum di Bidang Kesehatan

Bertujuan untuk memenuhi Hak Kesehatan bagi Warga Negara terdapat jaminan-jaminan perlindungan, yaitu sebagai berikut :

1) Hak Kesehatan Warga Negara dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa, “Setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang layak untuk menikmati kesehatan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian, perumahan, pelayanan medis dan pelayanan sosial lainnya” (Hesti Puspitosari, 2011:185).

2) Hak Kesehatan Masyarakat dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu menurut Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai berikut :

a) Pasal 28 H ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD 1945. Ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

(20)

commit to user

sama guna mencapai mencapai persamaan dan keadilan”. Ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Ayat (4) berbunyi: ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.

b) Pasal 34 ayat (3) berbunyi “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

3) Hak Kesehatan Warga Negara dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Bab II Pasal 3 pembentukan Undang-Undang ini bertujuan untuk pembangunan kesehatan agar meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investai bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif.

Beberapa hak menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut :

a) Pasal 4 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kesehatan”.

Penjelasan menurut pasal ini setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan beserta pelayanan kesehatan dari Pemerintah.

b) Pasal 5 ayat (1) sampai ayat (3), ayat (1) berbunyi:” Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Ayat (2) berbunyi:” Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau”. Ayat 3 berbunyi “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Penjelasan menurut pasal ini yaitu masyarakat memiliki hak yang sama tanpa

(21)

commit to user

non diskriminasi didalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang disediakan Pemerintah bagi masyarakat yang mana pelayanan kesehatan yang diberikan haruslah merupakan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

c) Pasal 6 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”.

Penjelasan menurut pasal ini yaitu setiap orang dalam hal ini masyarakat memiliki hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat bebas bibit penyakit.

d) Pasal 7 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab”. Penjelasan menurut pasal ini yaitu masyarakat memiliki hak dalam memperoleh keterbukaan informasi-informasi yang berkaitan dengan kesehatan.

e) Pasal 8 yang berbunyi, “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.

Masyarakat berhak mendapatkan keterbukaan informasi yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diterimanya.

3. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat a. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga Swadaya Masyarakat juga sering dikenal dengan NGO (Non-governmental organization). Pada dasarnya Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO (Non-governmental organization) memiliki pengertian sebagai organisasi yang tidak berada secara langsung dalam struktur pemerintahan ataupun tidak ada koordinasi langsung dari Pemerintah dan merupakan badan yang bersifat mandiri.

Menurut Peter Hagul (1992: 139), menyatakan pendapat bahwa

“Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi masyarakat yang yang bangkit dari kesadaran solidaritas sosial”.

(22)

commit to user

Lembaga Swadaya Masyarakat menurut Tanjil Alami yaitu, “Sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut” (Anonim, 2012, http://hujau.blogspot.com/).

Berdasarkan pendapat Suharko (2005: 90) mengenai Lembaga Swadaya Masyarakat adalah :

NGO (Non-governmental organization) atau Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan lembaga yang tidak memiliki basis keanggotaan dan didirikan sebagai yayasan dengan misi untuk meningkatkan swadaya masyarakat sehingga membuat berbeda dengan organisasi lainnya, namun secara hukum berdasarkan Undang- Undang Organisasi masyarakat, Pemerintah menempatkan NGO (Non-governmental organization) atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai bagian dari organisasi masyarakat.

Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan lembaga sosial yang disebut juga sebagai Organisasi Non Pemerintahan (Ornop), Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi masyarakat karena dalam tujuan pembentukan adalah secara sukarela demi kepentingan bersama.

Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat, tercantum juga dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu :

Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sesuai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.

Ismawan mengemukakan pendapat mengenai definisi Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu :

Organisasi yang dibentuk secara sukarela oleh warga negara Indonesia berdasarkan kepentingan bersama, hobi, profesi atau tujuan partisipasi sosial dalam kegiatan peningkatan standar hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan penekanan pada pelayanan swadaya (Suharko, 2005: 91).

(23)

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu suatu organisasi kemasyarakatan yang merupakan perwujudan partisipasi masyarakat dalam mencapai kesejahteraan masyarakat secara mandiri, yang dibentuk oleh masyarakat sendiri berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan bersama yaitu dalam rangka memberikan pelayanan secara sukarela kepada masyarakat secara luas.

b. Sejarah Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia

Sejarah perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat menurut David Korten (2001: 191) yaitu dibagi menjadi empat yaitu : “1) generasi pertama 2) generasi kedua 3) generasi ketiga 4) generasi keempat”.

Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1). Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma dengan usaha untuk memenuhi sesuatu yang kurang dalam masyarakat, disebut juga relief welfare. Lembaga Swadaya Masyarakat generasi ini memfokuskan kegiatan amal untuk anggota masyarakat yang menyandang masalah sosial.

2). Generasi kedua, memusatkan perhatiannya ada upaya agar Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat disini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya adalah proyek pengembangan masyarakat dengan membantu masyarakat memecahkan masalah mereka.

3). Generasi ketiga, memiliki pandangan yang lebih dalam. Keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai akibat dari masalah regional maupun nasional. Untuk memperbaikinya harus dilakukan dengan melakukan perubahan struktural yaitu kebijakan Pemerintah.

4) Generasi keempat, adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang termasuk bagian dari masyarakat. Generasi ini berusaha agar ada transformasi

(24)

commit to user

struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan dalam hal ini dibutuhkan penduduk dunia.

Menurut Suharko (2005: 120) mengenai perkembangan NGO (Non- governmental organization) yaitu :

Perkembangan NGO (Non-governmental organization) dimulai selama periode kolonial merupakan bagian dari gerakan anti kolonial, berlanjut masa radikal sebagai bagian dan gerakan demokratisasi, Pada periode paska Orde Baru, banyak dibentuk NGO (Non- governmental organization) yang berorientasi advokasi.

Selama periode kolonial, NGO (Non-governmental organization) merupakan bagian dari gerakan anti kolonial. Selepas kemerdekaan, NGO (Non-governmental organization) yang berorientasi pembangunan dan berbasis non keanggotaan pertama kali muncul pada akhir 1950. Sejak Pemerintahan Orde Baru berkuasa, berkembang luas sampai sekarang. NGO (Non-governmental organization) yang muncul pada 1960-1970 biasanya memfokuskan pada persoalan pengentasan kemiskinan, NGO (Non- governmental organization) yang dibentuk dan terlibat dalam kerja advokasi di era 1980, mayoritas muncul sebagai respon terhadap isu-isu lingkungan, hak asasi manusia, gender, demokrasi dan sebagainya Pada periode ini, NGO (Non-governmental organization) Indonesia mulai membangun jaringan di tingkat regional, nasional dan internasional. Pada akhir 1980- 1990 muncul NGO (Non-governmental organization) yang radikal sebagai bagian dan gerakan demokratisasi dan terlibat aktif dalam aksi politik untuk menentang sistem politik. Akan tetapi, ada juga beberapa NGO (Non- governmental organization) yang muncul sebagai respon terhadap kepedulian global tentang pembangunan berkelanjutan.

Pada periode paska Orde Baru, banyak dibentuk NGO (Non- governmental organization) yang berorientasi advokasi. Mereka terlibat dalam upaya mereformasi tata pemerintahan daerah (desentrasi) dan mengatasi berbagai persoalan pembangunan di tingkat lokal, termasuk kerusakan lingkungan yang drastis, dibentuk juga untuk merespon tantanan

(25)

commit to user

transisi politik, seperti pelembagaan demokrasi, mempromosikan good governance dan memperkuat masyarakat sipil. Pada periode paska Orde Baru ini, NGO (Non-governmental organization) generasi baru dan generasi lama yang berorientasi pada advokasi secara bersama-sama terlibat aktif dalam upaa memajukan demokrasi. Tegasnya perkembangan NGO di Indonesia pada periode ini terkait erat dengan proses perkembangan politik dan ekonomi.

c. Hubungan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah

Berdasarkan cara Lembaga Swadaya Masyarakat berhubungan dengan Pemerintah dan dengan masyarakat yang dilayaninya.

Eldridge menjelaskan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO (Non-governmental organization) dibagi menjadi empat kategori yaitu: “1) NGO menekankan pada penyediaan pelayanan untuk masyarakat lapisan paling bawah 2) NGO yang memiliki kegiatan advokasi dalam isu- isu tertentu 3) NGO yang menggunakan pendekatan empowement from below 4) NGO yang kritis terhadap Pemerintah” (Suharko, 2005: 16).

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Kategori pertama adalah NGO yang menekankan pada penyediaan pelayanan untuk masyarakat lapisan paling bawah (grass roots) dengan menggunakan pendekatan high level cooperation grassroots development (kerjasama tingkat tinggi pembangunan masyarakat bawah) Dalam melaksanakan aktivitas pembangunan NGO berusaha menjalin hubungan dengan Pemerintah yang berwenang tanpa disertai minat untuk mengubah proses politik.

2) Kategori kedua adalah NGO yang memiliki kegiatan advokasi dalam isu-isu tertentu seperti lingkungan, gender, hak konsumen, hak asasi manusia, demokrasi dan sebagainya. NGO tipe ini menerapkan pendekatan high level politics grassroots mobilization (politik tingkat tinggi mobilisasi masyarakat bawah). NGO kategori kedua lebih kritis terhadap Pemerintahan Orde Baru dan aktif melakukan upaya advokasi

(26)

commit to user

dan mengintervensi proses penyusunan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

3) Kategori ketiga adalah NGO yang menggunakan pendekatan empowement from below (pemberdayaan dari bawah). Tipe NGO tipe ini lebih menekankan pada pembentukkan kesadaran atas hak-hak dasar ketimbang pada upaya mengubah kebijakan Pemerintah dan hanya melakukan kontak seperlunya saja dengan Pemerintah.

4) Kategori keempat yaitu NGO radikal yang kritis terhadap Pemerintah dan menempatkan dirinya sebagai oposisi terhadap Pemerintah.

d. Tinjauan Teori Exit Voice

Semua penelitian yang bersifat ilmiah mengunakan teori untuk mendalami permasalahan yang ada. Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang diangkat terus berkembang maka teori yang menghubungkan yaitu teori exit voice yang dikembangkan oleh Albert Hirschman. Kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme exit dan voice.

Menurut pendapat Ratminto dan Atik Septi (2005: 72) mengenai teori exit voice menyatakan sebagai berikut :

Mekanisme exit berarti jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen/ klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggaraan pelayanan publik yang lain yang disukainya. Sedangkan mekanisme voice berarti adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Berdasarkan pada pengertian teori exit dan voice diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk dapat meningkatkan sebuah kinerja pelayanan publik maka dibutuhkan sebuah mekanisme exit dan voice. Dengan adanya mekanisme exit ini diharapkan masyarakat penerima layanan yang kurang puas dengan pelayanan yang diterimanya maka bisa mempunyai kesempatan untuk memilih penyelenggara pelayanan publik yang lain, kemudian dengan adanya mekanisme voice maka masyarakat penerima

(27)

commit to user

layanan yang kurang puas dapat memberikan kritik atau saran atas pelayanan yang diterimanya.

Merujuk pada penelitian mengenai refungsionalisasi ruang partisipasi masyarakat melalui pengaduan keliling yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah Informasi Regional/PATTIRO Surakarta yang menyelenggarakan kegiatan penggalangan pengaduan masyarakat secara berkeliling. Pelaksanaan pengaduan keliling dengan mendatangi masyarakat yang memiliki pengaduan di titik-titik sentral merupakan bentuk keberfungsian mekanisme exit yang bersumber dari inovasi Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional/ PATTIRO Surakarta.

Terkait sebagai usaha mengembalikan fungsi ruang–ruang partisipasi masyarakat yang sudah disediakan oleh Pemerintah yang keberadaannya kurang diketahui oleh masyarakat. Sedangkan perwujudan mekanisme voice yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional/ PATTIRO Surakarta merupakan sebuah organisasi non pemerintahan (ornop) yang berbentuk lembaga swadaya masyarakat.

Sebagaimana Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional yang merupakan organisasi ini didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Hal ini menguatkan berfungsinya mekanisme voice yang bisa diperankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang mirip atau menyerupai dengan penelitian yang dilakukan. Pada umumnya suatu penelitian tidak berasal dari penelitian murni, akan tetapi ada penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang relevan untuk penelitian ini yaitu :

(28)

commit to user

1. Siti Roswati Handayani. 2011. Kinerja Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat Bidang Kesehatan Tahun 2008-2011.

Tesis ini memberikan gambaran secara diskriptif dengan pemilihan pengaduan dibidang kesehatan. DIY memiliki lembaga penjamin kesehatan yang lengkap, mulai dari tingkat provinsi dengan JAMKESOSnya dan JAMKESDA/JPKM di tingkat Kabupaten Kota serta JAMKESMAS di tingkat Nasional. Lembaga penjamin kesehatan yang ada sudah terstruktur dengan baik, namun tidak dilengkapi dengan lembaga pengawasan yang memadai termasuk tempat komplain masyarakat. Kehadiran LOD masih cukup efektif dan efisien dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pelayanan publik yang dialami masyarakat.

Persamaan dengan peneliti yaitu sama-sama meneliti mengenai pengaduan kesehatan tetapi dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada kinerja Lembaga Ombudsman Daerah dalam menangani pengaduan masyarakat, sedang peneliti lebih mengkhususkan pada keberfungsian ruang partisipasi masyarakat di bidang kesehatan dalam menampung pengaduan masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan peran Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional/PATTIRO Surakarta dalam penyelenggaraan pengaduan keliling.

2. Endah Nur Rohmawati. 2013. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Kota Surakarta (Studi pada Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta) Tahun 2013.

Skripsi ini memberikan gambaran mengenai peran Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta, yang mana kartu PKMS tidak menanggung seluruh pelayanan kesehatan sehingga ada pelayanan yang dibatasi karena keterbatasan anggaran dari Pemerintah Kota Surakarta Surakarta serta kendala-kendala yang dihadapi dalam

(29)

commit to user

rangka dalam memenuhi hak kesehatan bagi masyarakat Kota yaitu sosialisasi PKMS, kurang aktifnya masyarakat dalam program PKMS dan sikap dan sumber daya manusia sebagai tenaga pelaksana pelayanan PKMS.

Persamaan dengan peneliti yaitu sama-sama meneliti di bidang kesehatan, tetapi dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada pelaksanaan peran Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta bagi memenuhi hak kesehatan bagi masyarakat, sedang peneliti lebih mengkhususkan pada sejauh mana keberfungsian ruang partisipasi masyarakat di bidang kesehatan dalam menampung pengaduan masyarakat.

Berdasarkan kedua penelitian-penelitian yang relevan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu hal yang menjadi persamaan dengan yang diteliti oleh Penulis yaitu keduanya sama-sama meneliti tentang kajian di bidang kesehatan tetapi berbeda objek penelitian dengan peneliti.

Permasalahan yang dibahas peneliti lebih pada mengembalikan fungsi ruang partisipasi masyarakat yang ada di bidang kesehatan melalui pengaduan keliling yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional/ PATTIRO Surakarta.

C. Kerangka Berpikir

Dewasa ini masih sering ditemukan mengenai ketidakpuasan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan kepada masyarakat. Pemanfaatan kartu pengobatan dengan pelayanan yang kurang memuaskan masih ditemukan di lapangan. Rata-rata keluhan masyarakat bersumber dari :

1. Kinerja petugas kesehatan yang kurang ramah dan kurang tanggap dalam melayani masyarakat di bidang kesehatan yang menggunakan bantuan pengobatan dengan yang membayar.

(30)

commit to user

2. Perbedaan fasilitas kesehatan yang kurang memadai yang disediakan bagi pelayanan kesehatan gratis, padahal sebagian besar masyarakat yang menggunakan bantuan pengobatan merupakan masyarakat miskin.

Berdasarkan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menjadikan pelayanan di bidang kesehatan kurang memuaskan bagi masyarakat sehingga timbullah pengaduan terhadap kebijakan pelayanan bidang kesehatan oleh masyarakat.

Pengaduan kepada Pemerintah oleh masyarakat merupakan bentuk dari partisipasi masyarakat, dimana kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengaduan masyarakat juga dapat diartikan sebagai wujud keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik terutama dalam bidang pelayanan publik. Melalui pengaduan masyarakat dapat menyampaikan keluhan-keluhan yang dirasakan sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk memperbaiki dan mengevaluasi sistem pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu disediakan ruang- ruang partisipasi masyarakat sebagai wadah menampung segala pengaduan- pengaduan masyarakat. Ruang-ruang partisipasi masyarakat yang dapat ditemukan di Kota Surakarta, antara lain melalui kotak saran maupun melalui pos pengaduan online.

Masyarakat cenderung lebih memilih diam daripada ikut serta memberikan pengaduan ataupun kritik dan saran bagi kinerja Pemerintah terkait pelayanan publik yang telah diberikan kepada masyarakat. Budaya diam yang tercipta telah mengakar dalam kehidupan masyarakat menjadikan kurangnya peran masyarakat dalam menilai kinerja Pemerintah.

Berangkat dari keprihatinan akan berkembangnya budaya diam yang tumbuh dalam masyarakat serta kesadaran akan pentingnya peran masyarakat didalam mengevaluasi kebijakan publik bagi Pemerintah sebagai upaya menciptakan pelayanan kesehatan yang merata dan perbaikan terhadap sistem yang ada maka dalam rangka merefungsionalisasi ruang

(31)

commit to user

partisipasi masyarakat PATTIRO Surakarta sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat mengadakan kegiatan pengaduan keliling (mobile complaint) yang bertujuan untuk menampung pengaduan masyarakat yang nantinya hasil pengaduan akan disampaikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.

Secara sistematis hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir Ketidakpuasan

Masyarakat PENGADUAN

BUDAYA DIAM Partisipasi Masyarakat

Refungsionalisasi Ruang Partisipasi Masyarakat Melalui Pengaduan Keliling (Mobile Complaint) oleh PATTIRO Surakarta

Kurangnya pelayanan kesehatan

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukhidin, yang dilakukan pada tahun 2010 (diunduh pada portal garuda

Kesadaran akan pentingnya ilmu juga penulis dapatkan selama ditempatkan di divisi training management Angkasa Pura I dimana penulis menyadari bahwa ilmu merupakan suatu

Sebagaimana dijelaskan oleh perbincangannya dengan Abu Ya’qub pada hari “ditemukannya” Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail mengetahui benar masalah-masalah yang memisahkan Al-Ghazali

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa densitas semakin besar dengan bertambahnya konsentrasi Liquid Natural Rabber (LNR) dan penambahan LNR terhadap polyblend

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas metode penetapan kadar kurkumin dalam sediaan cair OHT merk Kiranti ® secara KCKT fase terbalik menggunakan

Tujuan pengembangan sistem pakar ini sebenarnya bukan untuk menggantikan peran manusia tetapi untuk mensubstitusikan pengetahuan manusia ke dalam bentuk

MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 tanjung Gusta Medan)”.. Besar harapan