• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KONSEP DAN PRINSIP INTEGRASI ILMU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKALAH KONSEP DAN PRINSIP INTEGRASI ILMU"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KONSEP DAN PRINSIP INTEGRASI ILMU

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Dalam Disiplin Ilmu/IDI Dosen Pengampu : Amirullah, S.Pd.I., M.A

Kelas : 6B

Disusun Oleh : Kelompok 3

Arisa Salsabila 1901075038

Bagus Mikail 1901075037

Fikri Nur'Alim 1901075020

Putri Shalsa Fitria 1901075004

Rahmanto Dwi Sasongko 1901075029

Indira Putri Fauhan 1901075028

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JAKARTA

2022

(2)

PENDAHULUAN

Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama. Dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama telah berlangsung semenjak Indonesia mengenal sistem pendidikan modern.

Dikalangan masyarakat Islam, berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu- ilmu agama Islam lebih dipelajari oleh umat Islam, sementara ilmu-ilmu umum dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Lembaga-lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu umum mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan metodologi ditambah dengan pengayaan dibidang skill, tapi minus pengayaan moral. Lembaga-lembaga ini hanya mampu menghasilkan output individu yang cerdas tapi kurang memiliki kepekaan etika dan moral. Sebaliknya lembaga-lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama mempunyai keunggulan dari sisi moralitas tetapi minus tradisi rasional, meskipun memiliki keunggulan pada moralitas tetapi lemah secara intelektual1.

Nasim Butt, yang mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan karakteristik-karekteristik dan ukuran-ukuran ilmu-ilmu umum yang berbeda dengan ilmu-ilmu agama, yaitu sebagai berikut, pertama percaya pada rasionalitas. Kedua, sains untuk sains, yang dimana ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, yang dimana dalam hal ini ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk dan perlu diketahui bahwa golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total untuk mengetahui realitas. Ketiga, Netralitas emosional sebagai syarat kunci menggapai rasionalitas yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic. Keempat yaitu tidak memihak, artinya seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya. Kelima yaitu tidak adanya bias, yang dimana validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada

1 Nur Jamal, ‘MODEL-MODEL INTEGRASI KEILMUAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM’, Kabilah, 2.1 (2017), 83–101.

(3)

bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya. Keenam yaitu penggantungan pendabat, pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang meyakinkan. Ketujuh yaitu reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains. Kedelapan yaitu fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, oleh karena itu harus dibagi ke dalam berbagai macam disiplin dan subdisiplin ilmu. Kesembilan yaitu Universalisme, meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya bagi mereka yang mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak. Kesepuluh yaitu Individualisme, yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis. Kesebelas yaitu netralitas, sains adalah netral, apakah ia baik ataukah buruk. Keduabelas Loyalitas kelompok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi.

Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan. Ketigabelas yaitu ilmu haruslah berdiri atas otonominya sendiri, netral, dan tidak terikat pada nilai moral apapun. Terakhir yaitu tujuan membenarkan sarana, karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan umat manusia, setiap sarana, termasuk pemanfaatan hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin, dibenarkan demi penelitian sains2.

Cara pandang ini, kemudian berimplikasi terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Pemikiran tentang integrasi ilmu dan agama di lembaga pendidikan Islam di Indonesia selama ini masih belum dapat dirumuskan dalam suatu bentuk jelas, terstruktur dan sistematis.

PEMBAHASAN

KONSEP DAN PENTINGNYA INTEGRASI ILMU

Integrasi adalah suatu penyatuan atau disebut dengan suatu proses dalam memadukan nilai-nilai tertentu terhadap konsep yang lainnya yang memiliki perbedaan sehinggan disatukan menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Konsep integrasi dikalangan ilmuan ini mempunyai kaitan yang erat dengan konteks historis dan juga sosiologis baik dari segi perkembangan ilmu maupun

2 Nasim Butt, Sains Dan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).

(4)

dari perkembangan agama yang mengalami dikotomisasi kalangan ilmuan Barat dan ilmuan Muslim. Didalam buku milik Kuntowijoyo yang berjudul “Islam sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi dan Etika”3 buku ini menjelaskan tentang integrasi keilmuan yaitu dengan menyatukan atau menggabungkan intergrasi keilmuan yang dapat memberikan ruang lingkup kepada aktivitas nalar manusia dan menyediakan keleluasaan pada Tuhan dan Wahyunya. Pengembangan ilmu yang terjadi tidak bisa berdiri sendiri dan selalu memiliki persoalan-persoalan lainnya sala satu nya ialah agama.

Intergrasi keilmuan ini adalah upaya dalam menggabungkan dua hal yang berbeda yaitu ilmu umum dan ilmu agama Islam agar menjadi satu keilmuan.

Konsep integrasi keilmuan di kalangan umat islam dikenal dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan dengan adanya cara untuk memasukkan nilai-nilai agama ke dalam paradigma ilmu. Integrasi ilmu dan agama menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk dibicarakan, karena pada hakekatnya ilmu mempelajari alam yang memiliki pertanyaan bersifat (moral dan agama) dan untuk menjawab hal ini tentu saja peran agama sangat diperlukan. Islam melihat bahwa sains dan ilmu tidak memiliki perbedaan karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak membedakkan keduanya yang ada hanya ilmu. Tidak ada pemisahan antara sains dengan ilmu agama, pembagian sains dengan ilmu agama adalah hasil dari identifikasi ilmu yang dilakukan oleh manusia berdasarkan dari sumber objek kajiannya.

Di dalam agama Islam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw mengisyaratkan tentang integrasi ini. Perintah yang di dapatkannya ialah “iqra” untuk mengembangkan ilmu sedangkan bi ism rabbik mengembangkan moral (agama). Menurut al-Kindi, filsafat membahas dan berusaha untuk dapat menemukan kebenaran (al-haqq) dan agama membicarakan tentang kebenaran yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia. al-Kindi pun berpendapat bahwa untuk mempelajari sains dan filsafat tidak dilarang di agama bahkan hal ini merupakan suatu keharusan yang dijalani oleh manusia agar

3 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi Dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).

(5)

mampu memahami realitas yang ada didalam kehidupan alam dan sosial serta dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di dunia. Dalam surat Al- An’am ayat 97 yang menjelaskan penciptaan bintang merupakan salah satu contoh integrasi antara ilmu sains dengan ilmu agama. Al-Qur’an yang bersifat universal sehingga perlu adanya observasi, eksperimen dan juga penalaran yang logis agar dapat menjelaskan Al-Qur’an secara mendalam. Ayat tersebut telah membuktikan bahwa pada zaman dahulu sebelum adanya GPS ataupun kompas, orang-orang dahulu menggunakan rasi bintang sebagai petunjuk arah.

Integrasi keilmuan lahir dari pemikiran tentang adanya fakta pemisahan (dikotomi) antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu tersebut dikotomis atau tidak harmonis, antara lain karena adanya perbedaan pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan wahyu (revealed knowledge)4. Sedangkan ilmu pengetahuan yan merupakan hasil dari penilitian dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia menghasilkan suatu ilmu. Kebanyakan ilmu-ilmu tersbeut berasal dari Barat yang banyak menganut pemahaman seperti ateistik, materialistik, sekuleristik, empiristik, rasionalistik dan hedonistik yang kemudian menyebabkan adanya dikotomisasi (pembagian) antara ilmu agama dengan ilmu sains atau umum.

Ilmu-ilmu yang dikembangankan di Barat memisahkan antara sains dengan ajaran moral dan agama. Hal ini didasari dari pemikiran independensi ilmu dan pengembangan ilmu itu sendiri tidak dipengaruhi sesuatu yang sudah absolut kebenerannya, sehingga ilmu-ilmu Barat membuat manusia dalam bahaya yaitu terancamnya kehidupan manusia itu sendiri. Sejak sains barat ditemukan yang membuat manusia terdorong untuk melakukan eksploitasi alam sehingga banyak menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan alam. Maka jika terus dibiarkan sains yang semestinya membantu manusia malah akan membahayakan kehidupan manusia itu sendiri, oleh karena itu sains haruslah diberi landasan

4 Al Hakim, D. S. L. Integrasi Ilmu dalam Pendidikan.

(6)

spiritual (agama) agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 5 Sehingga penting adanya integrasi ilmu agar dapat menggabungkan ilmu agama dengan ilmu sains.

Integrasinya yaitu dengan memasukkan nilai-nilai substantif dari islam ke dalam keilmuan baik pada epistemologi, ontologi dan aksiologi. Perspektif integrasi ilmu yang dikembangkan utamanya baik ilmu yang bersumber dari alam maupun dari qauliah merupakan tanda-tanda Allah (ayat Allah). Sehingga tidak dibenerkan apabila ilmu membuat seseorang menjauhi Allah, setiap ilmu apapun seharusnya menghantarkanya untuk lebih mengenal Allah.

Perlu diketahui bahwa ilmu sebagai ilmu tidak akan pernah menjadi muslim atau kafir. Ini berlaku bagi bidang keilmuan apa saja, baik ilmu yang selama ini disohorkan sebagai ilmu agama. Sains, baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral, artinya tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya. Nilainya diberikan oleh manusia yang menguasainya. Sebagaimana halnya dengan apa saja yang netral, sains dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat atau yang merusak.6

PRINSIP ATAU NILAI DASAR INTEGRASI ILMU

Menurut Mulyadhi, integrasi ilmu pengetahuan adalah proses mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid. Sasaran integrasi ilmu adalah pencari ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia, maka manusialah yang akan menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak. Upaya integrasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi secular, yaitu menggeser dan menggantinya dengan pemahaman- pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam ketika menelaah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kata kunci konseps integrasi ilmu adalah semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah).7

5 Al Hakim, D. S. L. Integrasi Ilmu dalam Pendidikan.

6 Nurcholis Majid, Masa Depan Islam Dalam Majalah INOVASI (Yogyakarta: UMY, 1991).

7 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:

Mizan, 2003).

(7)

Prinsip ini diperkuat oleh al-Faruqi yang berasumsi bahwa esensi pengetahuan dan kebudayaan Islam ada pada agama Islam itu sendiri. Sedangkan esensi Islam itu adalah tauhid. Ini artinya, tauhid sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam, kebudayaannya, dan sainsnya. Tauhid inilah yang memberikan identitas pada peradaban Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai suatu kesatuan integral dan organis.

Dalam mengikat unsur yang berbeda tersebut, tauhid membentuk sains dan budaya dalam bingkainya tersendiri. Ia mencetak unsur-unsur sains dan budaya tersebut agar saling selaras dan saling mendukung. Tanpa harus mengubah sifat- sifat mereka, esensi tersebut mengubah unsur-unsur yang membentuk suatu peradaban, dengan memberikannya ciri baru sebagai bagian dari peradaban tersebut. Tingkat perubahan ini bisa beragam, mulai dari yang kecil sampai yang radikal. Perubahan bersifat kecil jika hanya mempengaruhi bentuknya, dan radikal jika mempengaruhi fungsinya. Ini dikarenakan fungsilah yang merupakan relevansi unsur peradaban dengan esensinya. Itulah sebabnya umat Islam perlu mengembangkan ilmu tauhid dan menjadikan disiplin-disiplin logika, epistemologi, metafisika dan etika sebagai cabangcabangnya. Dengan demikian, tauhid merupakan perintah Tuhan yang tertinggi dan paling penting. Ini dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid.8

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tauhid tidak hanya menjadi esensi dari etika Islam, namun juga menjadi esensi bagi pengetahuan. Tauhid sebagai esensi pengetahuan mengandung tiga prinsip: Pertama, penolakan terhadap sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas. Prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas, atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan suatu teori dalam Islam, baik itu yang terkait dengan hukum.

Prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini

8 Umma Farida, ‘PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG TAUHID, SAINS, DAN SENI’, Fikrah, 2.2 (2014), 207–27 <https://doi.org/10.1007/978-94-024-1267-3_100214>.

(8)

melindungi umat Islam dari pengetahuan dan statetmen yang tidak teruji dan tidak dikonfirmasikan.

Kedua, penolakan terhadap kontradiksi-kontradiksi hakiki, termasuk kontradiksi antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, tauhid sebagai kesatupaduan kebenaran menuntut umat Islam untuk mengembalikan tesis-tesis yang kontradiktif kepada pemahaman untuk dikaji sekali lagi. Islam mengasumsikan bahwa pasti ada satu aspek yang luput dari hubungan yang kontradiktif tersebut.

Demikian pula tauhid menuntut umat Islam untuk mengembalikan solusi atas kontradiksi tersebut kepada wahyu supaya mereka kembali membaca wahyu itu sekali lagi, kalau-kalau ada arti yang kurang jelas yang mungkin telah luput dari pemahamannya pada pembacaan yang pertama, dan jika diteliti kembali akan dapat menghilangkan kontradiksi tersebut.

Ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang bertentangan.

Prinsip ketiga ini melindungi umat Islam dari literalisme, fanatisme dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan, sekaligus mendorong umat Islam kepada sikap rendah hati intelektual.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Faruqi memang mendasarkan interpretasi Islamnya pada doktrin tauhid, memadukan penegasan klasik sentralitas keesaan Tuhan (monoteisme) dengan interpretasi modernis (ijtihad) dan penerapan Islam dalam kehidupan modern. Tauhid inilah yang menjadi esensi pengalaman keagamaan, inti Islam, dan prinsip sejarah, pengetahuan, sains, etika, estetika, umat, keluarga, serta tatanan politik, sosial, dan ekonomi.

Al-Faruqi berpandangan bahwa pengetahuan modern mengakibatkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu diperlukan islamisasi sains yang berpijak dari ajaran tauhid.9 Sains menurut tradisi Islam tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan independen dari realitas absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, islamisasi sains menurut al-Faruqi harus

9 Djamaluddin Ancok and Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem- Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).

(9)

diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan pola hukum Tuhan.10

Al-Faruqi percaya bahwa Islam adalah solusi bagi problematika yang dihadapi manusia sekarang ini. Karenanya, ia tidak pernah bosan mengingatkan orang-orang Islam yang menerima secara utuh westernisasi dan modernisasi Barat untuk melakukan reformasi pemikiran Islam. Ini berarti bahwa umat Islam tidak saja harus menguasai ilmu-ilmu warisan Islam saja, melainkan juga harus menguasai disiplin ilmu modern. Sangat perlu bagi umat Islam melakukan integrasi pengetahuan-pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan penghilangan, perubahan, penafsiran kembali dan adaptasi komponen- komponennya, sehingga sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai Islam.

10 Zainal Habib, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif (Malang:

UIN Malang Press, 2007).

(10)

KESIMPULAN

Awal muncul ide tentang intergrasi ini dilatarbelakangi oleh adanya dualisme yaitu antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama. Integrasi ini merupakan penyatuan atau memadukan konsep yang berbeda menjadi satu yang tidak bisa di pisahkan. Integrasi ilmu dan agama tidak terjadi pemisahan sebab pembagian sains dan ilmu agama merupakan hasil dari identifikasi yang dilakukan oleh manusia yang berdasarkan dari sumber objek kajiannya. Kata kunci konsep integrasi ilmu ialah semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah. Prinsip ini pun diperkuat oleh al-Faruqi yang menyatakan bahwa esensi pengetahuan dan kebudayaan Islam ada pada agama Islam. Dan esensi Islam itu adalah tauhid, jadi tauhid merupakan salah satu penentu pertama dalam Islam, kebudayaan dan sains

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaluddin, and Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Butt, Nasim, Sains Dan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) Farida, Umma, ‘PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG

TAUHID, SAINS, DAN SENI’, Fikrah, 2.2 (2014), 207–27

<https://doi.org/10.1007/978-94-024-1267-3_100214>

Habib, Zainal, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif (Malang: UIN Malang Press, 2007)

Jamal, Nur, ‘MODEL-MODEL INTEGRASI KEILMUAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM’, Kabilah, 2.1 (2017), 83–101 Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi

Islam (Bandung: Mizan, 2003)

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi Dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

Majid, Nurcholis, Masa Depan Islam Dalam Majalah INOVASI (Yogyakarta:

UMY, 1991)

Referensi

Dokumen terkait

berfungsi sebagai pencegah sstres. Individu dengan ikatan sosial yang kuat hidup lebih lama dan memiliki kesehatan lebih baik dibandingkan dengan individu yang hidup tanpa

Karena kita adalah bagian-bagian dari satu manusia baru yang korporat, maka kita perlu memiliki kesadaran akan manusia baru melalui hidup di dalam bagian-bagian dalam Kristus

3DGD 6HSWHPEHU NDPL WLQJJDO GL UXPDK VHRUDQJ DNWLYLV VHNDOLJXV DSDUDWXU GHVD GL 'XVXQ 7HOXN /DLV 'HVD 7HOXN %DNXQJ .DEXSDWHQ .XEX 5D\D 'DHUDK LQL PDVXN NH GDODP NDZDVDQ

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pencucian terhadap kualitas bakso ikan Gabus serta menentukan frekuensi pencucian yang tepat dan

adalah suatu gangguan tumbuh kembang motorik anak yang disebabkan karena adanya kerusakan pada otak yang terjadi pada periode sebelum, selama dan sesudah kelahiran

1. Perlu adanya peningkatan produksi hasil pertanian yang dapat me- ningkatkan perekonomian penduduk,.. supaya hasil produksinya dapat dijual untuk wilayah di luar

 Bahwa pada tanggal 03 April 2013 sekira pukul 07.30 wib saksi datang kerumah terdakwa meminta uang rental mobil milik saksi dan terdakwa mengatakan masih merental mobil

Perencanaan hanya dilakukan pada 1 bulan yakni pada bulan September 2015, untuk itu agar optimasi lebih baik perlu dilakukan peramalan terhadap permintaan selama 1 tahun.