• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB SECARA HUKUM OLEH RUMAH SAKIT YANG MENOLAK MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN KEPADA PASIEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB SECARA HUKUM OLEH RUMAH SAKIT YANG MENOLAK MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN KEPADA PASIEN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

130 E-mail: Ayutriaf@gmail.com

Eka Fitriani

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: ekaftr29@gmail.com

Fajar Ardiansyah Chrisna Fakultas Hukum Universitas Suryakancana

E-mail: chrisnafaajar@gmail.com Fhauziah Rusman

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: vfhauzia@gmail.com

Ikhdan Rukhul Ikhwan

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: Ikhdanrukhul1@gmail.com

E-mail: Sidikjapar016@gmail.com R. Anggi Gilang Rusmana

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: anggigilangr174@gmail.com

Solahudin Al-Ayubi

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: solahudinalayubi73@gmail.com

Syahyul Maulana Malik

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: syahyulmaulana58@gmail.com

Syarifah Muznah Al Jufri Fakultas Hukum Universitas Suryakancana

henaaljufri28@gmail.com

ABSTRAK

Setiap orang berhak mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya, ini dapat dilihat dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Jika dilihat dalam kegunaan Rumah Sakit adalah untuk merawat dan memberikan pelayanan pertolongan pertama kepada masyarakat sebagai pasien yang membutuhkan tindakan perawatan secara baik dalam keadaan darurat maupun hanya sekedar untuk menjaga kesehatan, maka dari itu rumah sakit harus memberikan pelayanan secara optimal sesuai dengan kegunaan Rumah Sakit. Namun pada kenyataannya masih terdapat kasus penolakan pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai contoh adalah penolakan terhadap rakyat miskin, atau kepada pasien yang sedang membutuhkan pertolongan pertama. Jika dilihat dalam hukum pidana bahwa penolakan pelayanan kesehatan termasuk ke dalam kriminal, terdapat pada Pasal 304 dan 531 kitab UU Peradilan Pidana.

Kata Kunci: Penolakan Pelayanan Kesehatan, Rumah Sakit, dan Perawatan Darurat

ABSTRACT

Everyone is entitled to health care following his needs; this can be seen in article 28 H paragraph (1) of the Constitution 1945, states that "every person has the right to live a prosperous life, living and living in a good and healthy environment and entitled to a health care service." If it is seen in the hospital's use is to treat and provide first aid service to the

(2)

community as a patient who needs treatment action in both emergencies and to maintain health.

The hospital should provide services optimally according to hospital use. However, there are still cases of rejection of health services in hospitals as an example is the rejection of the poor or to patients who need first aid. If it is seen in criminal law, that denial of health services, including criminal, is found in articles 304 and 531 of the criminal justice ACT.

Keywords: Refusal of health services, hospitals, and emergency care

A. PENDAHULUAN

Kesehatan ialah perihal kodrati yang jadi kebutuhan untuk seluruh makhluk hidup begitu pula dengan manusia, yang memerlukan upaya revisi tidak cuma dalam bidang ekonomi, sosial tetapi juga kesehatan. Aspek pelayanan kesehatan jadi berarti dikarenakan tiap upaya pembangunan wajib dilandasi dengan pengetahuan kesehatan yang diciptakan secara baik serta sistematis buat pembangunan nasional, serta ini ialah tanggung jawab pemerintah serta seluruh komponen warga yang ikut serta dalam pengelolaan serta penyedia fasilitas pelayanan kesehatan.

Indonesia merupakan Negara Hukum , yang mempunyai salah satu prinsip berarti yang harus dilindungi oleh negara yang merupakan hak asasi manusia (HAM) serta bahwasanya kesehatan merupakan hak asasi manusia serta salah satu faktor kesejahteraan yang wajib diwujudkan cocok dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diartikan dalam Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah menyebutkan secara rinci hak asasi manusia (HAM) yang tercantum pada Pasal 28 (Pasal 28A – Pasal 28J). Salah satu bagian penting hak asasi manusia (HAM) adalah kesehatan, mengenai hal tersebut konstitusi kita mengatakan bahwa:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” 1Sebagai bagian hak asasi manusia (HAM), untuk itu pemenuhan kesehatan bagi masyarakat merupakan tanggung jawab Negara dan pemerintah sebagaimana yang dimaksud pada amandemen kedua Undang-Undang 1945 (UUD 1945) Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Bentuk peraturan pelaksana dari pelayanan kesehatan ialah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan Undang-Undang Kesehatan. Di dalam Undang-Undang Kesehatan tidak disebutkan pelayanan kesehatan namun diartikan dengan

1 UUD 1945 Pasal 28H ayat (1)

(3)

upaya kesehatan. Upaya Kesehatan diatur di dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 ayat (11) yang berbunyi:

“Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.”

Di dalam kasus kesehatan masyarakat, pemerintah bertanggungjawab untuk memastikan warga negaranya tidak sakit, penuhi hak warga negaranya atas kehidupan yang sehat dan juga menjamin kondisi kesehatan warga negaranya, karena kesehatan sudah menjadi bagian dari kesehatan warga negaranya, dan untuk merealisasikan amanat tersebut negara harus memenuhi azas pembangunan kesehatan seperti yang tercantum pada Pasal 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu:

“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.”

Pada dasarnya kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan rumah sakit yang bisa memunculkan kerugian pada pasien, seharusnya perlu adanya atensi pemerintah dalam upaya penindakan kasus ini dengan sungguh-sungguh sehingga tidak akan ada lagi warga yang mengalami kerugian. Banyak permasalahan di Rumah Sakit yang memunculkan kerugian pada pasien merupakan contoh buruknya pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Salah satu contoh buruknya pelayanan kesehatan yaitu: M. Rizki Akbar merupakan anak yang menderita penyakit jantung. Sebelum meninggal dunia, beberapa rumah sakit menolak menanganinya. Rizki tercatat enam kali berpindah-pindah rumah sakit hanya untuk dilayani secara layak. Awalnya, ia diduga menderita batuk dan radang. Namun, pemeriksaan lanjutan mengindikasikan bahwa Rizki memiliki penyakit di jantung. Walau sudah didiagnosis sakit jantung, Rizki harus luntang- lantung mencari rumah sakit karena selalu ditolak. Di sebuah rumah sakit khusus jantung terkenal di Jakarta, ia bahkan hanya 30 menit diperiksa dan tidak dirawat karena dinilai hanya sakit batuk dan tidak harus dirawat.

Berbagai alasan muncul untuk menolak penanganan terhadap Rizki. Ketiadaan ruang rawat, tidak lengkapnya fasilitas rumah sakit, hingga keharusan membayar uang muka sebelum mendapat fasilitas kesehatan adalah alasan yang dikemukakan. Pada akhirnya Rizki dapat

(4)

ditangani dan dirawat salah satu rumah sakit di Tangerang Selatan. Itupun layanan medis baru diberikan setelah orangtua Rizki membayar uang muka. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit swasta itu, nyawa Rizki tak tertolong.” 2

Dalam permasalahan di atas menjadi contoh buruknya pelayanan kesehatan terhadap pasien sehingga menimbulkan selayaknya dan menyebabkan kerugian bagi pasien, hal ini dapat dikategorikan tindak pidana hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 304 dan 531.

Buruknya pelayanan kesehatan ataupun penolakan perawatan medis terhadap pasien dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktik, pengertian malpraktik yaitu: “Malapraktik berarti kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka bakar, cacat, bahkan kematian.” 3

Kelaikan praktik (“Fitness to practice”) adalah kondisi yang menjelaskan bahwa seorang dokter/ dokter gigi memenuhi standar kompetensi dari aspek pengetahuan, keterampilan, perilaku dan memenuhi standar kesehatan secara fisik dan mental yang dibutuhkan dalam melaksanakan praktik kedokteran yang aman dan efektif. Secara umum praktik kedokteran meliputi fungsi:

a. Membuat diagnosis dan keputusan yang aman

b. Memperlihatkan tingkat keterampilan dan pengetahuan yang aman untuk praktik c. Bersikap tepat dan pantas (appropriate)

d. Tidak menimbulkan risiko infeksi pada pasiennya

e. Tidak melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) terhadap keselamatan pasien.

Secara legal kelaikan praktik dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh KKI. Sesuai Pasal 35 ayat (1) UUPK, Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien;

2 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170912100017-20-241097/ragam-kasus-mirip-bayi- debora, Diakses pada 01 July 2020.

3 https://pelayananpublik.id/2019/09/14/malpraktek-pengertian-unsur-hingga-proses-pidananya/, Diakses pada 2 July 2020.

(5)

c. menentukan pemeriksaan penunjang;

d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Tindakan malpraktik dalam bidang kesehatan terjadi bilamana tindakan tersebut sudah melanggar UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, salah satunya rumah sakit atau tenaga kesehatan dilarang menolak pasien yang sedang membutuhkan pertolongan pertama dengan alasan apapun.4

B. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang perundang-undangan (Statuta Approach) dan norma hukum.

2. Sumber Bahan Hukum

Bahan yang digunakan oleh penulis ini, meliputi:

a. Bahan hukum primer, diperoleh dari UUD 1945, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Permenkes 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Medis.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis dan kedudukannya sebagai pendukung untuk menjelaskan bahan hukum primer atau semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi. Dimana penulis menggunakan literatur-literatur

4 Buku Saku Dokter dan Dokter gigi Indonesia, 2018, Praktek Dokter dan Dokter Gigi di Indonesia, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia, hal.5

(6)

kepustakaan atau buku-buku yang berkaitan dengan obyek penelitian, jurnal, dan juga media internet.

3. Analisa Bahan Hukum

Dalam penulisan ini bersifat penelitian hukum normatif yang didukung oleh data penelitian empiris, artinya penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

C. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

1. Pelayanan Kesehatan oleh Rumah Sakit Merupakan Hak Atau Kewajiban

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan, sarana pendukung untuk upaya kenaikan kesehatan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit memiliki ciri serta organisasi yang komplek serta mempunyai sifat dan ciri serta fungsi yang khusus.

Pelayanan medis yang diberikan mempunyai karakteristik dan guna yang spesial, serta melibatkan berbagai kelompok profesi. Oleh karena itu hubungan hukum yang terjadi pada pelayanan kesehatan melibatkan pasien dengan berbagai pihak yang berada di rumah sakit tersebut. Hubungan bisa terjadi antara lain: Hubungan pasien dengan rumah sakit; Hubungan pasien dengan dokter atau tenaga medic; dan Pasien dengan apotek, dan lain-lain.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, ditetapkan bahwa Rumah Sakit adalah: “Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.’’

Jika ditinjau secara hukum, bahwa Hak dan kewajiban rumah sakit diatur dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Bab VIII, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatur tentang kewajiban rumah sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, yaitu: “Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.”

Sedangkan dalam Pasal 30 huruf b UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatur tentang hak rumah sakit setelah memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien, yaitu:

“Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan per Undang-Undangan.”

(7)

Hak-hak rumah sakit merupakan seluruh suatu yang berhubungan dengan kepentingan rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang dilindungi oleh hukum yang berlaku, sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) huruf f UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menetapkan bahwa: “Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.”

Tidak hanya rumah sakit yang berkewajiban membagikan pelayanan kesehatan, dokter sebagai tenaga medis di lingkungan rumah sakit juga berkewajiban untuk membagikan pelayanan kesehatan terhadap pasien sebagaimana, diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktisi Kedokteran, yaitu : “Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.”

Kewajiban yang harus dilaksanakan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang memiliki biaya untuk berobat, melainkan kepada semua orang termasuk mereka yang tidak mampu secara financial. Dalam hal ini Pemerintah menjamin pembiayaan bagi orang-orang yang kurang mampu sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menetapkan bahwa: “Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan.”

Kewajiban rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi orang-orang yang tidak mampu dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e dan f UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menetapkan bahwa: (e). “Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; (f). “Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/ miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan”.

Adapun kewajiban-kewajiban seorang dokter Pada dasarnya tidak ada dokter/dokter gigi yang berniat untuk mencelakakan pasiennya, namun berbagai risiko dapat terjadi dalam pelaksanaan praktik yang berdampak pada tanggung jawab dokter/dokter gigi yang dapat berupa: a. tanggung jawab moral; b. tanggung jawab hukum (Liability); dan c. tanggung gugat (Accountability).

1) Tanggung Jawab Moral/Etika

Etika Kedokteran adalah kewajiban moral, tanggung jawab moral, dan pedoman berperilaku bagi seorang dokter yang ditetapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam bentuk Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan bagi seorang dokter dalam bentuk Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI). KODEKI dan KODEKGI disahkan oleh

(8)

Menteri Kesehatan RI, karena itu berlaku untuk semua dokter yang berpraktik di Indonesia.

KODEKI dan KODEKGI membagi kewajiban moral seorang dokter dalam empat kelompok:

Kewajiban Umum; Kewajiban terhadap Pasien; Kewajiban terhadap Sejawat, dan; Kewajiban terhadap Diri Sendiri.

2) Tanggung Jawab Hukum (Liability)

Liability adalah kewajiban hukum (legal obligation) dan juga sekaligus tanggung jawab hukum (legal responsibility), sebagai konsekuensi pelanggaran atau pengabaian kewajiban hukum. Keputusan tentang ada atau tidaknya pelanggaran atau pengabaian kewajiban dan tanggung jawab hukum oleh dokter/dokter gigi dalam kasus sengketa medik dengan pasien/

keluarga, ditetapkan oleh Hakim dalam proses pengadilan dengan mengacu pada pasal-pasal dalam Hukum Kesehatan (Health Law) atau Hukum Kedokteran (Medical Law).

3) Tanggung Gugat (Accountability)

Tanggung gugat adalah tanggung jawab hukum seorang dokter/dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran yang tidak baik, dengan akibat pasien cidera atau dirugikan, dapat digugat perdata ganti rugi di pengadilan atau di luar pengadilan melalui proses mediasi.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menganjurkan, dalam kasus sengketa medik agar pertama-tama dicari pemecahan masalah melalui mediasi.5

1. Penolakan Kewajiban Pelayanan Medis oleh Rumah Sakit Terhadap Pasien Ditinjau dari Hukum Pidana

Penolakan rumah sakit terhadap seseorang yang membutuhkan pelayanan medis, hal ini merupakan tindakan yang akan mendatangkan citra buruk pelayanan medis terhadap masyarakat di Indonesia. Pelayanan kesehatan merupakan hak bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa harus melihat kemampuan finansial seorang pasien.

Sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau”.

Rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan medis berarti termasuk melanggar Undang-Undang, selain itu pelayanan medis termasuk perbuatan pidana. Penolakan pasien oleh rumah sakit memang tidak secara terang-terangan, dengan berbagai alasan rumah sakit menolak pasien yang kurang mampu dalam finansial. Penolakan medis tersebut jelas melanggar Pasal 32

5 Buku Saku Dokter dan Dokter gigi Indonesia 2018, Praktek Dokter dan Dokter Gigi di Indonesia, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia, hal.26

(9)

ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, larangan menolak pasien yang berbunyi:

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.” Dalam pasal ini menyebutkan dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka, jika rumah sakit melakukan penolakan pelayanan medis maka termasuk melakukan perbuatan pidana.

Dalam menyikapi terjadinya penolakan pelayanan medis terhadap pasien, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pembinaan unit pelaksana teknis pelayanan kesehatan kurang optimal sehingga masih ada penolakan perawatan medis yang dilakukan oleh rumah sakit dengan berbagai alasan, seperti yang diamanatkan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 14 ayat 1, yang berbunyi : “Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini.

a. Kesengajan (dolus), yang dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1) Bentuk kesengajaan yang paling sederhana, dimana untuk menimbulkan perbuatan yang dilarang, dan Pelaku menghendaki perbuatan tsb beserta akibatnya.

2) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.

3) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi, kemudian benar-benar terjadi. Menurut Sudarto sebagaimana di kutip Tamba, bahwa kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis ini disebutnya dengan teori “apa boleh buat” sebab ini keadaan batin dari si pelaku mengalami dua hal, yaitu: 6

 Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut;

 Akan tetapi meskipun demikian ia menghendakinya, namun apabila keadaan / akibat itu timbul, apa boleh buat hak itu diterimanya juga. Ini berarti pelaku berani

memikul resiko. Maka disini pun terdapat suatu pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang bersifatnya lebih dari sekedar suatu kemungkinan biasa saja. Sebab

6 Henny Nuraeny , Op.cit. Hlm.23.

(10)

sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur-unsur mengetahui dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar sekali atau dapat dikatakan hampir tidak terlihat sama sekali.

b. Kealpaan (culpa) Merupakan kebalikan dari Kesengajaan atau dapat juga disebut kurang hati-hati, yang terdiri dari Kealpaan disadari (bewuste schuld) dan Kealpaan tidak disadari (on bewuste schuld).7

Tindak pidana dalam hal penolakan pelayanan medis diatur dalam Pasal 304 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Selain itu, Pasal 531 KUHP juga mengatur tentang perbuatan pidana tentang penolakan pelayanan medis: “Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya ataupun orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.’’

Dalam pasal 304 dan 531 KUHP merupakan perbuatan pasif, dimana seseorang tidak melakukan perbuatan fisik apapun, tetapi seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya. Unsur pasal 304, dengan sengaja membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, misalnya: penolakan perawatan medis yang dilakukan oleh rumah sakit. Dan dalam Unsur pada pasal 531, dengan sengaja tidak memberikan pertolongan terhadap seseorang yang membutuhkan perawatan medis diancam pidana.

Tindakan penolakan dilakukan oleh rumah sakit, maka pertanggungjawaban pidana sepenuhnya adalah pimpinan fasilitas kesehatan jika atas perintah jabatan, karena dalam rumah sakit pasti ada pimpinan (direktur) atau tenaga medis (dokter), hal ini diperjelas pada Pasal 190 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Jika yang melakukan penolakan pelayanan medis terhadap pasien hanya seorang karyawan biasa yang bukan termasuk tenaga kesehatan (dokter) dalam rumah sakit, maka yang

7 Henny Nuraeny. Hangout Mata Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur

(11)

menanggungjawabkan pidana yaitu pimpinan fasilitas kesehatan atau tenaga medis, karena semua perintah yang dilakukan karyawan ataupun bawahan tersebut semua kehendak dari pimpinan fasilitas kesehatan ataupun tenaga medis jika hal ini atas nama perintah jabatan yang diatur dalam Undang-Undang.

Jika perintah atas nama pribadi maka staf karyawan juga dapat dipidana, Undang-Undang mengatur pemidanaan oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan tenaga medis dijerat Pasal 190 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yaitu: “Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Apabila menimbulkan kematian dalam penolakan pelayanan medis oleh rumah sakit, maka dapat dijerat Pasal 190 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga dapat dijerat Pasal 304 KUHP terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Dan juga dapat dijerat Pasal 531 KUHP, karena adanya pelanggaran tindak pidana. Tetapi pasal-pasal dalam KUHP tidak menguntungkan korban dikarenakan hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung oleh korban sebagai pihak yang dirugikan. Yang sesuai dengan permasalahan diatas adalah menggunakan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, karena UU Kesehatan lebih memberatkan hukuman terhadap pelaku yang telah melakukan tindak pidana.

2. Penjelasan Tentang Tindakan Kedokteran

Ditinjau dari Ilmu Hukum tindakan kedokteran yaitu tindakan hukum sebagaimana dari adanya hubungan antar subjek hukum, berupa perikatan/perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para subjek hukum.

Dalam hal ini dokter wajib memberitahu hal-hal yang bersangkutan dengan tindakan kedokteran seperti pada pasal 7 ayat 1 dan 3 Permenkes 290 tahun 2008 yang berbunyi: (1)

(12)

Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. (3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain, dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;

f. Perkiraan pembiayaan.

Segala sesuatu tindakan kedokteran harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga sebagaimana pada pasal 2 ayat 1 dan 2 Permenkes 290 tahun 2008 yang berbunyi (1) semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

Adapun tindakan penolakan yang dilakukan oleh pasien kepada tenaga medis kedokteran yang mana dapat dilihat dari segi hukum yang terdapat di dalam pasal 16 ayat 1-3 Permenkes 290 tahun 2008 yang berbunyi (1) penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. (2) penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilakukan secara tertulis. (3) penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis. Hal tersebut sudah jelas, bahwa jika terjadi hal yang tidak diinginkan timbul kepada pasien, keluarga pasien tersebut tidak dapat mempertanggung- jawabkan apapun yang telah disetujui dengan dibuktikan nya surat persetujuan dengan tertulis.

D. PENUTUP Kesimpulan

Penolakan perawatan medis yang dilakukan rumah sakit terhadap pasien termasuk perbuatan melawan hukum dan termasuk tindakan pidana. Dalam hal ini seharusnya rumah sakit dilarang menolak pasien yang membutuhkan perawatan medis, dalam Pasal 32 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur: “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.” Selain itu perbuatan penolakan perawatan medis juga termasuk perbuatan pidana, sehingga dapat dituntut secara pidana sesuai dengan Pasal 304 dan 531 KUHP. Dalam hal yang

(13)

melakukan penolakan perawatan medis rumah sakit, maka pimpinan rumah sakit yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hukum, sesuai diatur dalam Pasal 190 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tindakan kedokteran yaitu tindakan hukum sebagaimana dari adanya hubungan antar subjek hukum, berupa perikatan/perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para subjek hukum yang tercantum dalam Permenkes 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Saran

Pemerintah harus lebih memperhatikan lagi pelaksanaan pelayanan kesehatan, dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu, untuk menghindari tindak pidana pelanggaran yang dilakukan rumah sakit. Penegakan hukum dengan memberikan sanksi yang lebih berat sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera, sehingga tidak terulang lagi pada rumah sakit lain lagi.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Nuraeny, Henny. (2013) Hukum Pidana. Universitas Suryakancana: Cianjur

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen keempat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

C. Jurnal, Makalah, Internet, Dll

Henny Nuraeny. Hangout Mata Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170912100017-20-241097/ragam-kasus-mirip-bayi- debora

https://pelayananpublik.id/2019/09/14/malpraktek-pengertian-unsur-hingga-proses-pidananya/

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan empat kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan indeks/ inflasi yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,31 persen;

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Menggunakan sumber daya yang terbatas untuk menghasilkan barang dan jasa agar dapat mengimbangi dengan keinginan yang tidak terbatasd. Penggunaan sumber daya yang

Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui potensi keberadaan shallow hydro- carbon pada Formasi Wonocolo adalah meng- gunakan metode geolistrik resistivitas

komitmen pemohon penyelenggara hajatan dan penanggungjawab (Ketua Panitia) serta angota panitia pelaksanaan hajatan terhadap penerapan protokol kesehatan

3) !enjel !enjelaskan askan aspek aspekaspek aspek layan layanan d an dukun ukungan gan sistem.. &ayanan dukungan sistem merupakan k"mp"nen layanan dan

Dari pengakuan delapan pelajar ini, diketahui tindakan itu dilakukan karena mereka kesal kepada dua orang guru yang sudah memberikan nilai kecil pada pelajarannya.. Kekesalan

Sebelum adanya sistem kesultanan yang diperkenalkan oleh Islam di Kesultanan Tenate, Tidore, Bacan, Jailolo, maka Jazirah Bomberay (fakfak dan kaimana) serta