• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU : Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU : Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU

(Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pengembangan Kurikulum

Al Musanna

NIM. 0800831

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH PASCA SARJANA

(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

Anggota,

Dr. H. Azis Mahfudin, M.Pd.

Mengetahui

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU (Studi Desain dan

Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)” dan seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara

yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas

pernyataan tersebut, saya siap menanggung risiko yang dijatuhkan kepada saya

apabila kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam

karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya.

Bandung, Maret 2013

Yang membuat pernyataan,

Al Musanna

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah atas rahmat dan inayah-Nya disertasi ini dapat diselesaikan.

Shalawat dan salam disampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw., yang telah

membimbing manusia menemukan jalan kebenaran. Penyelesaian disertasi ini telah

melalui perjalanan yang panjang dan melibatkan banyak orang. Dalam kesempatan

ini disampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi

kontribusi, khususnya kepada:

1. Bapak Rektor, Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana dan Bapak Ketua Program

Studi Pengembangan Kurikulum yang telah memberi kesempatan kepada saya

untuk menempuh studi S-3 di Universitas Pendidikan Indonesia.

2. (Almarhumah) Ibu Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd., Bapak Prof. Dr. H.

Sofyan Sauri, M.Pd., dan Bapak Dr. H. Azis Mahfudin, M.Pd., sebagai tim

pembimbing yang telah membaca, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis,

memberi saran dan memotivasi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima

kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd., dan Bapak

Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si., selaku penguji yang telah mengajukan

pertanyaan dan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

3. Bapak Rektor IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh yang telah memberi ijin

menempuh studi pada Program Pascasarjana Pengembangan Kurikulum Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

4. Bapak Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon dan para dosen

Studi Budaya dan Literatur Gayo yang telah mengijinkan penelitian ini dilakukan.

5. Rekan-rekan di Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia angkatan tahun akademik 2008/2009.

Pengalaman berbagi suka dan duka selama menjalani perkuliahan telah

(5)

6. Bapak Tengku H. Djemadil dan Ibu Hj. Remiah yang senantiasa mendo’akan dengan tulus dan memotivasi saya untuk menyelesaikan studi. Terhatur ungkapan

terima kasih kepada: Abang Kul Tgk. Dahlian sekeluarga; kakanda Zuraidah,

A.Md., sekeluarga; kakanda Wajnah, S.Ag. sekeluarga; abang Al Hukama, S.Ag,

S.H., MA. sekeluarga; adinda Al Amri, S.P., sekeluarga; serta adinda Islahiyah,

S.H.I sekeluarga yang dengan do’a dan pertanyaan kapan pengembaraan intelektual di bumi Parahiyangan selesai telah menyegarkan tekadku untuk

menyelesaikan studi ini.

7. Istriku Novia Rahmah, S.Pd. yang dengan ketulusan dan pengorbanannya telah

memberi inspirasi dan motivasi dalam menghadapi berbagai masalah. Terima

kasih kepada anakku Hilma Az-Zahra dan Sophia Althafunnisa yang dengan

pertanyaannya kapan Abi pulang dari Bandung telah melecut semangat saya untuk

segera mengakhiri penantian mereka.

8. Kanda Dr. Zulkarnain, M.Ag., Kanda Drs. Khairus Shadiqi, M.Pd., Bapak Drs.

Mulawarman, M.Pd, Bapak Dr. Niswanto, M.Pd., Saudara Dr. Mohammad Thohri,

M.Pd., dan Kang Yogi Mustafa Kamil, S.Pd., yang dengan caranya masing-masing

telah memberi kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.

9. Pihak-pihak yang tidak disebutkan namanya, tetapi sumbangsihnya tidak

dilupakan. Semoga Allah memberi pahala terbaik atas sumbangsih semua pihak

yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan

disertasi ini.

Bandung, Maret 2013

(6)
(7)

ABSTRAK

MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU

(Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)

(8)

ABSTRACT

LOCAL WISDOM CURRICULUM MODEL IN TEACHER EDUCATION

(The Study of Design and Implementation of Curriculum Budaya and Literatur Gayo at Tarbiyah Departmen of Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies)

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Model Implementasi Kurikulum 30

Tabel 3.1 Jurusan dan Program Studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

62

Tabel 4.1 Pengorganisasian Materi Kearifan Lokal 134

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Desain Kurikulum Rasional 18

Gambar 2.2 Model Desain Kurikulum Sistem 21

Gambar 2.3 Paradigma Konseptual Penelitian 55

Gambar 4.1 Konseptualisasi Materi Kearifan Lokal Masyarakat Gayo 98

Gambar 4.2 Sistem Budaya Gayo 107

Gambar 4.3 Model Desain Kurikulum Kearifan Lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

137

Gambar 4.4 Model Implementasi Kurikulum Kearifan Lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

(10)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian 8

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 10

E. Struktur Organisasi Disertasi 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 4. Model Revitalisasi Kearifan Lokal

32 38 49 41 C. Pendidikan Guru dan Kearifan Lokal

1. Praksis Pendidikan Guru

2. Landasan Filosofi Pendidikan Guru Berbasis Budaya 3. Teori Pendidikan Guru Tanggap Budaya

43 44 46 D. Penelitian Terdahulu yang Relevan

E. Paradigma Konseptual Penelitian

D. Setting dan Partisipan Penelitian 61

E. Teknik Pengumpulan Data 65

F. Analisis Data Penelitian 67

G. Teknik Penjaminan Keabsahan Penelitian 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian

(11)

B.Pembahasan

1. Desain Kurikulum Kearifan Lokal dalam Pendidikan Guru 170 2. Implementasi Kurikulum Kearifan Lokal dalam Pendidikan Guru 189 3. Tantangan dan Peluang Pengembangan Kurikulum Kearifan Lokal

dalam Pendidikan Guru

206

C. Keterbatasan Penelitian 222

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN

A. Simpulan 223

B. Rekomendasi 226

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIOGRAFI PENELITI

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis model kurikulum

kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama

Islam Gajah Putih Takengon. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang

penelitian, identifikasi dan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian dan struktur organisasi disertasi.

A.Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan. Sejumlah pakar

menyatakan bahwa lembaga pendidikan dengan berbagai jenis dan jenjangnya

berperan sebagai pusat pembudayaan (Alwasilah, Suryadi dan Karyono, 2009: 53;

Soedjatmoko, 2010: 99). Pembudayaan adalah proses untuk menempatkan budaya

sebagai isi dan misi proses pendidikan sehingga potensi seseorang untuk belajar

dan menyesuaikan pikiran dan sikap terhadap adat, serta sistem norma budayanya

berkembang dengan baik (Koentjaraningrat, 2011: 146). Pendidikan mengemban

tugas luhur untuk mengembangkan kepribadian peserta didik seutuhnya dalam

konteks lingkungan alamiah dan kebudayaan yang berkeadaban (Tilaar, 2012:

1136). Melalui proses tersebut diharapkan peserta didik mempunyai seperangkat

keterampilan bertahan hidup dan sikap atau karakter yang sesuai dengan

nilai-nilai kebudayaan lokal, nasional dan global.

Secara filosofis, pendidikan bertujuan memenuhi tiga aspirasi: pragmatis,

nasionalistik dan kulturalistik (Abduhzein dalam Indratno, Ed., 2013: 11).

Aspirasi pragmatis dimanifestasikan dalam konsep pendidikan untuk

mempersiapkan seseorang bertahan hidup (survival). Aspek terpentingnya adalah

membekali seseorang dengan kemampuan mencukupi kebutuhan hidup dan

terlibat aktif dalam mobilitas sosial. Aspirasi nasionalistik berkaitan dengan peran

pendidikan membangun kesadaran bersama melalui pengembangan identitas

kebangsaan. Pendidikan berfungsi sebagai bagian dari pembentukan watak atau

(13)

bersangkutan (Saefuddin dan Karim, Ed., 2008). Sementara itu, aspirasi

kulturalistik menempatkan lembaga pendidikan sebagai pranata sosial yang

berfungsi mentransmisi dan mentransformasikan budaya. Aspirasi kulturalistik

menghendaki terintegrasinya budaya lokal, nasional dan global secara sinergis

dalam pembentukan karakter peserta didik.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, salah seorang tokoh yang

mempunyai perhatian besar untuk mengembangkan pendidikan yang berakar pada

kebudayaan lokal dan nasional adalah Ki Hadjar Dewantara (Tilaar, 2013: 22;

Wangsalegawa, 2009: 145). Menurut beliau, identifikasi dan revitalisasi

puncak-puncak tradisi lokal diperlukan dalam pengembangan pendidikan nasional.

Keyakinannya mengenai pentingnya menempatkan budaya lokal sebagai fondasi

pendidikan tercermin dalam pidatonya ketika menerima gelar Doktor Honoris

Causa di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Pada kesempatan tersebut

beliau mengungkapkan sebagai berikut:

Seperti berulang-ulang telah saya nyatakan sendiri, pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya untuk kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga (Dewantara, 2009: 202-3).

Pernyataaan tersebut menggambarkan visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara

mengenai pentingnya nilai-nilai luhur suku bangsa (lokal) dijadikan fondasi

pendidikan. Nilai-nilai lokal yang terbentuk dari hasil serangkaian pengalaman

berinteraksi dengan lingkungan seyogianya dipertimbangkan untuk memperkaya

praksis pendidikan. Kebhinekaan budaya (lokal) perlu diungkap dan diseleksi

untuk diadaptasi sebagai kebudayaan nasional. Ki Hadjar Dewantara (2009: 79) menyatakan, “Apalah artinya kemerdekaan, kalau rakyat terus mengekor pada kebudayaan bangsa-bangsa lain. Kita harus ingat, bahwa imperialisme tidak saja ada dalam bidang kenegaraan, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.”

Konsep pendidikan sebagai proses pembudayaan dan berakar pada nilai

(14)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menegaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap

terhadap tuntutan perubahan zaman. Penegasan yang sama terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah..., yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.” Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010 menegaskan bahwa prioritas pendidikan diarahkan pada “penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk

membentuk daya saing dan karakter bangsa.”

Idealitas untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berakar pada diversitas

kearifan lokal belum mendapat perhatian memadai. Prioritas kebijakan pendidikan

untuk melayani persaingan global dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja

mengakibatkan diskursus pengembangan pendidikan berbasis budaya tidak terlalu

menarik perhatian (Tilaar, 2000: 297; Salim, [Ed.], 2007: 248). Akademisi dan

praktisi pendidikan lebih tertarik menggunakan jalan pintas mengadopsi model

pendidikan dari luar (Barat) tanpa melalui proses adaptasi kritis (Gopinathan,

2006: 265). Mengenai kecenderungan tersebut, Rektor Unversitas Pendidikan

Indonesia dalam kata pengantar untuk buku Etnopedagogy: Landasan Praktek

Pendidikan dan Pendidikan Guru menyatakan:

Di antara kita ada miskonsepsi seolah-olah pendidikan yang terbaik itu adalah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Barat, sehingga seringkali kita menelan mentah-mentah konsep Barat tanpa sikap kritis. Di antara kita selama ini silau dengan sistem pendidikan Barat sehingga buta terhadap keunggulan lokal yang lama terpendam dalam bumi kebudayaan Indonesia.

Sejak akhir tahun 1980-an sejumlah tokoh pendidikan menggagas

pengintegrasian pendidikan dan kebudayaan melalui muatan lokal. Kurikulum

(15)

keragaman budaya lokal dan lingkungannya (Arikunto dan Said, 2002; Puskur,

2007). Pelaksanaan kurikulum muatan lokal yang tujuan awalnya diorientasikan

untuk meningkatkan relevansi pendidikan, melestarikan dan mengembangkan

diversitas budaya lokal tidak berjalan sesuai harapan (Bjork, 2005: 253).

Keberadaan kurikulum muatan lokal bahkan mengalami disorientasi dengan

berkembangnya praktik yang cenderung mengabaikan realitas sosial budaya di

mana pendidikan tersebut berlangsung. Alwasilah (2012: 117) mengungkapkan:

Dalam kurikulum SD tercantum muatan lokal (local content) yang harus diisi oleh penanaman kearifan lokal. Kenyataannya hampir sebagian besar sekolah menjadikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Bahasa Inggris sudah menjadi kearifan lokal, atau bangsa Indonesia tidak mampu mengenal kearifan lokalnya sendiri.

Terdapat beberapa faktor terkendalanya pencapaian idealitas muatan lokal

untuk meningkatkan relevansi pendidikan dan mengembangkan pemahaman

peserta didik terhadap keberagaman budaya. Salah satunya karena persiapan dan

peningkatan kompetensi guru yang menjalankan kurikulum muatan lokal belum

mendapat perhatian semestinya (Bjork dalam Jazda, Ed., 2006: 142). Rendahnya

kompetensi guru mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum muatan

lokal di sekolah terkait langsung dengan kurangnya perhatian lembaga pendidikan

guru dalam mempersiapkan guru yang mampu mengejawantahkan kearifan lokal

(Bjork, 2005). Sehubungan dengan hal tersebut, Tilaar (2007: 296) menyatakan:

Relevansi dari isi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat setempat memerlukan keahlian yang tinggi dari para pengelola pendidikan (guru). Para guru perlu disiapkan bagaimana penyusunan serta pelaksanaan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat lokal. Masalah ini malahan telah menghilang di dalam program pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di Indonesia dewasa ini.

Minimnya perhatian lembaga pendidikan guru dalam mengeksplorasi dan

menginternalisasikan kearifan lokal kepada mahasiswa calon guru berimplikasi

pada berkembangnya persepsi lulusan lembaga pendidikan guru yang tidak

simpatik terhadap warisan tradisinya (Trunbull dan Pacheco, 2005: 26). Harapan

(16)

guru terhadap berbagai manifestasi kearifan lokal menuntut adanya perhatian dan

tindakan nyata dari lembaga pendidikan guru untuk memutus mata rantai

kesalahpahaman terhadap budaya lokal (Alwasilah, 2012: 80). Keragaman budaya

menuntut dikembangkannya kurikulum pendidikan guru yang tidak hanya

berorientasi pada pengembangan kompetensi akademis mahasiswa calon guru,

tetapi juga mengembangkan kemampuan mereka untuk mengetahui,

mengapresiasi, dan mengintegrasikan diversitas nilai budaya lokal tersebut dalam

pembelajaran (Banks dan Banks, [Ed.], 2010; Taylor dan Soeber, 2012: 41).

Degradasi fungsi kearifan lokal juga telah menimbulkan keprihatinan di

kalangan suku atau etnis Gayo yang merupakan penduduk asli dataran tinggi

Gayo yang mendiami wilayah tengah Provinsi Aceh. Tergerusnya kearifan lokal

masyarakat Gayo disebabkan oleh faktor internal dan eksternal (Syukri, 2007: 35;

Algayoni, 2012). Faktor internal yang dimaksudkan adalah tidak

terinternalisasinya nilai-nilai tradisi secara baik dalam keluarga dan masyarakat

sehingga menyebabkan nilai-nilai yang sebelumnya menjadi rujukan mengalami

degradasi fungsi dan makna (Pinan, 2001; Melalatoa dalam Kusumo, et al., Ed.,

2005). Pada sisi lain, modernisasi dan globalisasi menyebabkan budaya lokal

dihadapkan dengan nilai-nilai atau budaya populer yang disajikan secara massif

dan lebih menarik. Persentuhan antar budaya tersebut menyebabkan terjadinya

perubahan sikap sebagian masyarakat yang ditandai dengan kecenderungan

berlebihan untuk meniru budaya populer sehingga berdampak pada terjadinya

diskontinuitas kesadaran masyarakat Gayo terhadap identitas lokalnya. Yusra

Habib Abdul Gani, seorang intelektual Gayo dan Direktur Institute for Ethnics

Civilization Research dalam artikelnya di Lintas Gayo mengemukakan:

(17)

gandrung meniru budaya dan bahasa asing, sebaliknya merendahkan prestige [prestise] budaya, tradisi dan bahasa asli (Gani, 2010: 2).

Kutipan tersebut mengungkapkan realitas perkembangan budaya masyarakat

Gayo dalam beberapa dekade terakhir. Nilai-nilai, tradisi, ungkapan-ungkapan

bijak (perimustike) yang merupakan kristalisasi pemahaman terhadap fenomena

alam dan sosial semakin memudar dari ingatan kolektif masyarakat Gayo berganti

dengan nilai-nilai baru yang datang dari luar tanpa proses seleksi yang berarti

(Melalatoa dalam Kusumo, et al., [Ed.], 2005). Sehubungan dengan kenyataan

tersebut, sejak diberlakukannya kurikulum muatan lokal, Dinas Pendidikan

Kabupaten Aceh Tengah telah mengupayakan agar sosialisasi budaya lokal

masyarakat Gayo dapat berlangsung melalui lembaga pendidikan formal

(sekolah). Pengenalan kembali khazanah tradisi masyarakat Gayo ditujukan untuk

mengembangkan pengetahuan dan apresiasi peserta didik terhadap kearifan

lokalnya (komunikasi personal dengan 2 orang guru Sekolah Dasar dan 3 orang

guru Madrasah Ibtidaiyah di Takengon, Januari 2011). Untuk merealisasikan

tujuan tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan himbauan agar sekolah

menempatkan bahasa dan budaya Gayo sebagai materi muatan lokal pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah. Dalam pelaksanaannya, materi muatan lokal

yang diterapkan di sekolah terdiri atas: bahasa dan budaya Gayo; kesenian Gayo,

cerita rakyat atau legenda (folklor) masyarakat Gayo, dan lain-lain (meskipun ada

pula beberapa sekolah yang menempatkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal).

Pelaksanaan kurikulum muatan lokal di dataran tinggi Gayo dihadapkan pada

sejumlah tantangan, terutama berkaitan dengan rendahnya kemampuan guru

mentransmisikan kearifan lokal. Pengembangan isi dan metode pembelajaran

kearifan lokal lebih berorientasi pada pengalaman personal guru yang mengasuh

muatan lokal (komunikasi personal dengan dua orang Kepala Madrasah Ibtidaiyah

dan dua orang Kepala Sekolah Dasar di Takengon, Januari 2011). Kondisi

(18)

lokal secara sistematis dan berkelanjutan. Pendampingan dan peningkatan

profesionalisme guru muatan lokal tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan

(komunikasi personal dengan dua orang guru Madrasah Ibtidaiyah di Takengon,

Januari 2011).

Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon yang merupakan

lembaga pendidikan guru yang pertama didirikan di dataran tinggi Gayo telah

melakukan inisiatif terkait pelestarian dan pengembangan budaya lokal. Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon merupakan transformasi dari Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Gajah Putih Takengon yang didirikan pada tahun

1986. Dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat

Gayo, lembaga pendidikan guru ini telah melakukan sebuah langkah penting

dengan memberlakukan kurikulum budaya dan literatur Gayo sejak tahun

akademik 2000/2001. Menurut pimpinan perguruan tinggi ini, perkuliahan

Budaya dan Literatur Gayo berorientasi pada pengembangan sikap dan

kemampuan mahasiswa mentransmisikan dan menginternalisasikan kearifan

lokal. Pengenalan terhadap budaya lokal diharapkan mampu menumbuhkan

kesadaran mahasiswa calon guru bahwa nilai-nilai kearifan lokal masih perlu

dilestarikan dan dikembangkan. Selain itu, perkuliahan budaya dan literatur Gayo

diharapkan dapat menggugah minat mahasiswa untuk mempelajari kearifan lokal

dan mampu membiasakan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur tersebut

(komunikasi personal dengan Ketua Sekolah Tinggi, Januari 2011).

Kebijakan lembaga pendidikan guru ini menjadi kasus yang unik di tengah

minimnya perhatian lembaga pendidikan guru di tanah air terhadap kearifan lokal

(Tilaar, 2007: 296; Alwasilah, Suryadi dan Karyono, 2009: 24). Terobosan sivitas

akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon ini menarik untuk

dikaji lebih lanjut untuk menghasilkan potret yang lebih komprehensif mengenai

dinamika dan kompleksitas revitalisasi kearifan lokal melalui kurikulum

pendidikan guru. Pengungkapan dan deskripsi yang sistematis terhadap proses

identifikasi, seleksi, transmisi dan transformasi kearifan lokal masyarakat Gayo

(19)

informasi ilmiah mengenai isu revitalisasi kearifan lokal yang telah menjadi

wacana akademis dalam beberapa waktu terakhir.

B.Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian

Pendidikan guru masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan, baik terkait

input, proses dan outputnya. Ditinjau dari input atau mahasiswa calon guru,

lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) belum menjadi pilihan utama

lulusan pendidikan menengah yang mempunyai prestasi akademik yang tinggi.

Hal tersebut berimplikasi pada kompleksnya upaya untuk mempersiapkan guru

yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi profesional, akademis,

pedagogis dan sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Problem yang juga menjadi perbincangan para ahli terkait dengan berjaraknya

praksis kurikulum pendidikan guru dari realitas sosial budayanya. Upaya

mewujudkan pendidikan guru yang memiliki kurikulum yang berpijak pada

kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia masih kurang mendapat perhatian.

Padahal, keberadaan kurikulum kearifan lokal di lembaga pendidikan guru

merupakan hal yang menentukan dalam pengembangan kompetensi budaya calon

guru sehingga mereka mempunyai pengetahuan mengenai realitas kearifan lokal

dan mampu mengartikulasikannya ketika menjalankan profesinya.

Pengembangan kurikulum mencakup aktivitas merencanakan,

meng-implementasikan, dan mengevaluasi pengalaman belajar. Pengembangan

kurikulum yang demikian kompleks tidak mungkin diteliti secara menyeluruh.

Diperlukan pembatasan atau penetapan fokus penelitian sehingga hasilnya

memberi kontribusi pada pengembangan praksis kurikulum pendidikan guru.

Sejalan dengan hal tersebut, perhatian penelitian ini diarahkan untuk mengungkap

persepsi dan aktivitas dosen budaya dan literatur Gayo ketika mengorganisasikan

komponen-komponen kurikulum (desain) dan mengaktualisasikan (implementasi)

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

(20)

Berdasarkan paparan tersebut, masalah utama penelitian ini adalah bagaimana

model pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan

Tarbiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon? Adapun

rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana desain kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan

Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon?

2. Bagaimana implementasi kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon?

3. Tantangan dan peluang apa saja yang dihadapi dosen dalam pengembangan

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model pengembangan

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon. Secara khusus, tujuan penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan dan merumuskan model desain kurikulum kearifan lokal

pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon;

2. Mendeskripsikan model implementasi kurikulum kearifan lokal pada

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon;

3. Mengidentifikasi perspektif partisipan terkait tantangan dan peluang

pengembangan kurikulum kearifan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara umum hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah teori

pendidikan berbasis kearifan lokal. Secara lebih spesifik, penelitian ini dapat

(21)

pendidikan guru yang keberadaannya masih belum mendapat perhatian memadai

dalam diskursus pendidikan di tanah air.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini menjadi informasi ilmiah yang disampaikan

kepada pimpinan dan dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih

Takengon. Penelitian ini juga bermanfaat bagi praktisi pendidikan mengenai

signifikansi kearifan lokal dalam pengembangan kompetensi budaya guru yang

diperlukan untuk menjalankan pembelajaran yang kontekstual dan bermakna.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memantik dilakukannya penelitian lebih

lanjut terkait dengan keragaman kearifan lokal yang terdapat pada berbagai etnis

di tanah air untuk kemudian diupayakan pengintegrasisannya melalui pendidikan

pada berbagai jenis dan jenjangnya.

E.Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini terdiri dari lima Bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi

latar belakang dilakukannya penelitian ini, identifikasi dan perumusan masalah

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi disertasi.

Bab II berisi kajian pustaka mengenai kurikulum (mencakup pembahasan

mengenai model kurikulum, desain kurikulum dan implementasi kurikulum),

kearifan lokal, pendidikan guru, penelitian terdahulu yang relevan dan kerangka

konseptual penelitian.

Bab III menyajikan metode penelitian. Pada bab ini dikemukakan justifikasi

pemilihan pendekatan, desain, seting dan partisipan penelitian, teknik

pengumpulan dan analisa data, serta teknik penjaminan keabsahan penelitian.

Pada Bab IV menampilkan hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini

dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan terkait desain, implementasi,

(22)

Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Bagian akhir bab

ini menyajikan keterbatasan penelitian.

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis model kurikulum

kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam

Gajah Putih Takengon. Dalam hal ini fokus perhatian diarahkan untuk mengungkap

pandangan partisipan mengenai desain, implementasi, tantangan dan peluang

pengembangan kurikulum kearifan lokal. Berikut dikemukakan justifikasi

pendekatan, metode, tahap penelitian, setting dan partisipan penelitian, teknik

pengumpulan data, analisa data, dan teknik penjaminan keabsahan penelitian.

A.Pendekatan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan dan merumuskan model

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan

pendekatan kualitatif. Hal ini sejalan dengan pandangan sejumlah pakar (Stake, 2010:

8; Yin, 2011: 7; Creswell, 2007: 38) yang menyatakan bahwa desain dan analisis data

penelitian kualitatif yang fleksibel memungkinkan peneliti mengumpulkan data untuk

memperoleh pemahaman mendalam mengenai dinamika fenomena sosial.

Karakteristik pendekatan kualitatif yang mengutamakan proses, berfokus pada situasi

alami, analisis data yang bersipat induktif, desain penelitian yang fleksibel (emergen),

serta memposisikan peneliti sebagai instrumen kunci (Cresswell, 2007: 38; Stake,

2010: 14) menguatkan keyakinan peneliti untuk memilih pendekatan kualitatif dalam

(24)

Secara lebih spesifik, berikut dikemukakan rasionalitas pendekatan kualitatif

dalam penelitian ini. Pertama, pengembangan kurikulum, pendidikan guru dan

kearifan lokal merupakan fenomena sosial budaya yang multi-dimensional. Ruang

tafsir yang beragam dalam memaknai kurikulum dan kearifan lokal menuntut

pendekatan penelitian yang fleksibel dan toleran terhadap keragaman perspektif.

Penelitian kualitatif dipandang relevan digunakan untuk memenuhi harapan-harapan

tersebut. Endrsawara (2006: 14) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif

memungkinkan peneliti memahami dan menganalisis peristiwa, program atau

pengalaman partisipan dengan menggunakan sudut pandang yang fleksibel dan

multi-dimensional. Kedua, pengembangan kurikulum kearifan lokal merupakan fenomena

yang tidak terbatas pada pertimbangan yang objektif. Keyakinan dan kecenderungan

Partisipan mengenai kearifan lokal tidak seluruhnya merupakan hasil pilihan rasional

(obyektif) yang dapat diungkap melalui pendekatan positivistik. Dimensi rasional dan

emosional (subyektif) partisipan ketika merumuskan tujuan, memilih dan

menentukan (konseptualisasi) materi, serta menerapkan pembelajaran memerlukan

instrumen penelitian yang adaptif. Terkait hal tersebut, pendekatan kualitatif yang

menempatkan peneliti sebagai instumen utama penelitian dipandang tepat digunakan

untuk „menangkap‟ dan menyikapi kontroversi dan ambiguitas pandangan partisipan

selama berlangsungnya penelitian (Yin, 2011: 14; Stake, 2010: 2). Keberadaan

peneliti sebagai instrumen utama penelitian diyakini dapat mengemban tugas

tersebut, hal ini sejalan dengan pandangan Nasution (2003: 9) yang menyatakan,

“hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar-manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung

dalam ucapan dan perbuatan responden.” Keterlibatan dan hubungan akrab (rapport) yang dijalin antara partisipan dan peneliti diharapkan mampu mengungkap dimensi

etik dan emik fenomena sosial secara lebih komprehensif (Endraswara, 2006: 34; Yin,

(25)

B.Metode Penelitian

Pengungkap kompleksitas dan dinamika pengembangan kurikulum kearifan lokal

masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah menghantarkan peneliti untuk memilih

menggunakan studi kasus. Melalui studi kasus, peneliti mempunyai keyakinan bahwa

fenomena pengembangan kurikulum kearifan lokal pada institusi pendidikan guru ini

dapat diungkap keunikannya. Keyakinan tersebut sejalan dengan pendapat sejumlah

pakar (Yin, 2003: 10; Bassey, 1999: 26; Mills, Eurepos dan Wiebe, Ed., 2010: 102;

Endraswara, 2007: 77) yang menyatakan bahwa studi kasus sangat relavan diterapkan

untuk mengungkap program, fenomena atau suatu peristiwa dalam konteksnya yang

spesifik. Melalui studi kasus, peneliti berupaya mendeskripsikan dan melakukan

analisis secara mendalam terhadap fenomena pengembangan kurikulum kearifan

lokal sehingga dapat ditampilkan dalam format yang menarik dan memberi kontribusi

dalam merumuskan kebijakan di masa-masa yang akan datang. Senada dengan hal

tersebut, Bassey (1999: 57) mengungkapkan bahwa studi kasus berkontribusi penting

sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan dan meningkatkan kualitas

praktik pendidikan.

Pada sisi lain, studi kasus menarik digunakan dalam penelitian kebudayaan.

Melalui studi kasus permasalahan budaya atau kearifan lokal yang sebelumnya

kurang mendapat perhatian akan terangkat ke permukaan sehingga diketahui oleh

khalayak (publik) yang lebih luas. Pendapat senada dikemukakan Endraswara (2006:

77) yang menyatakan bahwa aspek yang menarik dari studi kasus terletak pada

celah-celah budaya yang menjadi fokus kajiannya seringkali kurang disadari

keberadaannya. Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus, keunikan

fenomena pengembangan kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru yang

sebelumnya hanya menjadi konsumsi para pemangku budaya Gayo dan sivitas

(26)

diungkap lebih mendalam dan memberikan wawasan baru kepada para pembaca hasil

penelitian.

C.Tahap-Tahap Penelitian

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan tahapan

penelitian bersipat ancangan yang fleksibel. Bassey (1999: 65) menyatakan bahwa

tahap dalam penelitian studi kasus menuntut penyesuaian berkesinambungan dan

bersipat adaptif terhadap realitas. Selama berlangsungnya penelitiai berupaya

menyesuaikan tahapan penelitian sesuai dengan konteks yang melingkupinya.

Meskipun demikian, secara garis besar penelitian ini berlangsung dalam tiga tahap:

orientasi, eksplorasi dan member-check (Nasution, 2003: 33). Berikut dikemukakan

operasionalisasi masing-masing tahapan penelitian tersebut:

1. Orientasi

Pada tahap pendahuluan atau orientasi, peneliti melakukan penelusuran literatur

terkait konsep kurikulum, kearifan lokal dan pendidikan guru. Penelusuran literatur

bertujuan membantu memperluas wawasan peneliti dalam menentukan fokus studi,

memilih dan menentukan kasus yang akan diteliti (Stake, 2010: 104). Hasil

penelusuran literatur ditindaklanjuti dengan pemilihan kasus yang unik, misalnya

program inovatif atau tidak biasa (Endraswara, 2007: 78). Dalam konteks penelitian

ini, kasus yang dipandang unik dan inovatif adalah kurikulum budaya dan literatur

Gayo yang diberlakukan di Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah

Putih Takengon.

Secara operasional, pada tahap orientasi peneliti melakukan komunikasi dengan

pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon untuk bersilaturrahmi

dan mendiskusikan hal-hal yang terkait pelaksanaan penelitian. Berikutnya peneliti

melakukan komunikas dengan partisipan sehingga dapat terbangun sikap saling

(27)

memperoleh data dan makna yang bersumber dari pemahaman intersubjektif yang

melibatkan partisipan dan peneliti dalam suasana kesetaraan.

2. Eksplorasi

Tahap kedua berlangsung ketika peneliti berada di lapangan untuk

mengumpulkan data. Setelah diperoleh fokus penelitian terkait kurikulum kearifan

lokal (desain, implementasi dan tantangan serta peluangnya), peneliti memulai

aktivitas pengumpulan data untuk mengungkap keunikan kasus dengan melakukan

wawancara mendalam (depth interview) dengan partisipan. Keberadaan peneliti di

lapangan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang (selama dua semester).

Rentang waktu yang panjang tersebut diharapkan memberi kesempatan yang cukup

kepada peneliti untuk mengumpulan data yang komprehensif terkait persepsi dan

aspirasi partisipan mengenai kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo yang

diterapkan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih

Takengon. Pada tahap eksplorasi, peneliti melakukan penelusuran dokumen dan

observasi iklim akademis institusi pendidikan dan ketika partisipan

mengimplementasikan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo melalui aktivitas

pembelajaran. Data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara ditranskripsikan

untuk memudahkan proses analisa dan pengujian keabsahan hasil penelitian.

3. Member-check

Hasil penelusuran dokuman, transkrip wawancara dan catatan lapangan (field

note) diperbanyak dan diserahkan kepada partisipan untuk dibaca dan dimintai

komentar. Apabila terdapat data yang belum menggambarkan informasi yang

disampaikan partisipan dilakukan sinkronisasi dan perbaikan sebelum dituangkan

dalam laporan penelitian (Nasution, 2003: 34). Draft laporan penelitian

(28)

pertanggungjawaban peneliti kepada partisipan dan memastikan bahwa penyajian

data dilakukan dengan benar dan tidak merugikan partisipan. Selain itu, peneliti

mengupayakan diskusi mengenai temuan penelitian dan format akhir laporan dengan

kolega atau teman sejawat yang mempunyai perhatian terhadap penelitian ini.

D.Setting dan Partisipan Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam

Gajah Putih Takengon pada tahun akademik 2011/2012. Sekolah Tinggi Agama

Islam Gajah Putih Takengon pada mulanya bernama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

Gajah Putih yang berdiri sejak tahun 1986. Pendiriannya ditandai dengan pembukaan

program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA).

Pada tahun 2002, Yayasan Gajah Putih mengajukan proposal perubahaan status

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).

Diterbitkannya izin operasional Jurusan Syari‟ah dan Dakwah pada tahun 2004

menandai perubahan nomenklatur lembaga pendidikan tinggi di dataran tinggi Gayo

ini menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Pada tahun 2003

Departemen Agama Republik Indonesia telah menerbitkan izin program studi Tadris

Bahasa Inggris (TEN); pembukaan program studi Pendidikan Matematika (PMA)

pada tahun 2007; dan program studi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) pada

tahun 2008.

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon telah

berkontribusi penting mempersiapkan dan menghasilkan guru dalam jumlah yang

besar di dataran tinggi Gayo. Alumni jurusan Tarbiyah sampai tahun akademik

2010/2011 berjumlah 1.965 orang: 712 di antaranya memiliki kaulifikasi diploma

(D-2) dan sisanya berjumlah 1.253 dengan kualifikasi akademik sarjana (S-1). Selain itu,

penelusuran awal menunjukkan bahwa Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama

(29)

yang menempatkan kearifan lokal dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa

calon guru. Adapun program studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih

Takengon adalah:

Tabel 3.1

Jurusan dan Program Studi pada STAI Gajah Putih Takengon

Jurusan Program Studi Keterangan

Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI) Terakreditasi

Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Terakreditasi

Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Terakreditasi

Pendidikan Guru Matematika (PMA) Terakreditasi

Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) Terakreditasi

Syari‟ah Syari‟ah Muamalah wa al-Iqtishad (SMI) Terakreditasi

Dakwah Komunikasi dan Penyiaran Islam (DKPI) Terakreditasi

2. Partisipan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah kurikulum budaya dan literatur Gayo pada Jurusan

Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dengan kata lain,

kasus yang menjadi unit analisis adalah kurikulum, baik dalam konsepsi idealnya

(desain) dan realitasnya ketika dilaksanakan (implementasi). Sumber data untuk

mengungkap desain dan implementasi kurikulum adalah lima orang Partisipan yang

berperan sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum budaya dan literatur Gayo.

Peneliti menggunakan kriteria penentuan sampel berdasarkan pertimbangan

(30)

masalah penelitian. Penentuan sampel yang demikian sering disebut dengan istilah

sampel purposif (Cresswell, 2007: 125). Sampel purposif berpijak pada asumsi bahwa

kepentingan untuk menemukan, memahami dan memperoleh wawasan mendalam

mempersyaratkan adanya sumber data yang mempunyai kualifikasi mengenai data

yang diperlukan. Sampel purposif dalam penelitian ini terdiri atas lima dosen

pengasuh Budaya dan Literatur Gayo. Berikut profil singkat Partisipan:

2.1 Bapak M (Usia 82 tahun)

Partisipan ini merupakan salah seorang pendiri Yayasan Gajah Putih yang

menaungi Perguruan Tinggi Gajah Putih dengan tiga Sekolah Tinggi (Ilmu Tarbiyah,

Ilmu Pertanian dan Ilmu Ekonomi). Karir Partisipan sebagai birokrat berawal di

kantor Gubernur Aceh (pernah menduduki jabatan kepala bidang hukum) dan pada

pertengahan tahun 70-an kembali ke Takengon untuk menjabat sebagai Sekretaris

Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Tengah. Sejak menjalani pensiun tahun 1986,

beliau berkecimpung sebagai dosen dan mengelola sejumlah yayasan yang

berkonsentrasi dalam aktivitas pendidikan dan keagamaan. Keterlibatannya

mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo dimulai sejak tahun akademik

2000/2001. Dalam usia 81 tahun, beliau mendaftar sebagai salah seorang peserta

Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry konsentrasi Pendidikan Islam di Banda Aceh

dan sedang menyelesaikan penelitian akhir mengenai nilai-nilai pendidikan dalam

Utang Opat.

2.2.Bapak Y (usia 60 tahun)

Partisipan ini dikenal sebagai tokoh budaya Gayo dan pada saat penelitian

dilakukan menjabat sebagai ketua lembaga kebudayaan Gayo Kabupaten Aceh

Tengah. Ketertarikannya dalam mendalami budaya Gayo telah dimulai sejak tahun

1976 ketika beliau menyelesaikan pendidikan menengah dan aktif dalam pertunjukan

(31)

ketika beliau menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Banda Aceh pada

penghujung tahun 70-an. Ketertarikannya untuk mendalami kebudayaan masyarakat

Gayo diwujudkannya melalui keterlibatan aktif sebagai pegiat budaya. Dalam 10

tahun terakhir, Bapak Y berulangkali diundang menyampaikan makalah dan menjadi

narasumber seminar mengenai kebudayaan Gayo tingkat kabupaten dan provinsi.

2.3.Bapak H (usia 50 tahun)

Partisipan ketiga adalah dosen dan menjabat sebagai Ketua program studi pada

Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Selain tugas pokoknya sebagai

penyuluh agama Islam, beliau dikenal sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan

keagamaan di Aceh Tengah. Keterlibatannya sebagai dosen dimulai pada tahun 2006

ketika beliau diberi amanah untuk mengampu mata kuliah budaya dan literatur Gayo.

Perhatiannya terhadap budaya Gayo telah dimulai sejak tahun 1987 ketika

menyelesaikan pendidikan sarjana (ketika penelitian berlangsung, beliau sedang

dalam proses penyelesaian akhir penelitian program pascasarjana di IAIN Sumatera

Utara).

2.4.Bapak J (43 tahun)

Partisipan ini menyelesaikan pendidikan sarjana bahasa Inggris dari perguruan

tinggi di Sumatera Utara dan mulai mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo

di program studi bahas Inggris. Ketertarikannya mengkaji budaya Gayo sudah

dimulai sejak menyelesaikan studi sarjana pada tahun 1998, hal ini dibuktikan dengan

publikasi sejumlah buku dan tulisan lepas di media online. Tahun 2007 beliau

melanjutkan pendidikan magister di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Tesisnya yang dibimbing Prof. Dr. Noeng Muhadjir berkaitan dengan pengembangan

(32)

untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (TEN) di Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon. Saat penelitian berlangsung, selain menjalankan

tugasnya sebagai pengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo, beliau alam

penjajakan penelitian untuk penulisan disertasi di Universitas Negeri Surakarta

(UNS). Fokus penelitiannya tentang Perimustike Gayo (ungkapan-ungkapan adat

dalam pepatah, peribahasa, dan pidato adat) ditinjau menurut ilmu pragmatik.

2.5.Bapak K (usia 38 tahun)

Partisipan ini mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo sejak tahun 2006.

Keterlibatannya dalam memahami budaya Gayo dimulai ketika yang bersangkutan

mengikuti pendidikan sarjana di fakultas Dakwah di Banda Aceh. Dalam kesempatan

tersebut, beliau melakukan penelitian untuk penulisan skripsi mengenai pidato adat

pernikahan masyarakat Gayo (melengkan). Pada saat penelitian ini berlangsung,

beliau bertugas pula sebagai salah seorang pengawas pelaksanaan syari‟at Islam di

Aceh Tengah yang dalam implementasinya mempunyai kaitan dengan revitalisasi

adat Gayo. Salah satu program utama lembaga tersebut adalah melakukan sosialisasi

mengenai keterpaduan syari‟at dan adat-istiadat masyarakat Gayo (khususnya dalam pemberantasan sumang opat).

E.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara,

observasi dan studi dokumentasi. Ketiga teknik tersebut digunakan secara

berkesinambungan untuk memperoleh data yang terpercaya. Melalui ketiga teknik

tersebut diharapkan dapat terungkap situasi, interaksi yang terjadi, pengalaman

partisipan, dan dokumen atau rekaman yang terkait (Yin, 2003: 85). Berikut

(33)

1. Studi dokumen

Dokumen merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkap sebuah kasus.

Keberadaan dokumen tidak dapat dikesampingkan dalam penelitian kualitatif,

meskipun dalam aplikasinya perlu dilengkapi dengan teknik pengumpulan data lain,

(Yin, 2003: 85). Dalam penelitian ini dokumen yang menjadi perhatian peneliti terdiri

atas: (1) transkrip wawancara; (2) catatan lapangan (field-notes); (3) catatan reflektif

peneliti. Selama penelitian, peneliti menyediakan dua buah buku tulis (satu buah

berukuran saku yang praktis dan satu buku lain yang berukuran besar) yang memuat

catatan reflektif dan situasi kebatinan peneliti selama penelitian; (4) jurnal reflektif

partisipan. Peneliti menyediakan lembaran reflektif yang diserahkan kepada

partisipan untuk menulis refleksinya; (5) silabus atau Satuan Acara Perkuliahn (SAP);

dan (6) bahan ajar budaya dan literatur Gayo dan referensi lain yang memiliki

relevansi dengan penelitian fokus penelitian. Dengan keragaman dokumen yang ada,

peneliti mengklasifikasikan dokumen tersebut dalam wadah yang berbeda sehingga

memudahkan pencarian pada saat dilakukan analisis data.

2. Wawancara

Wawancara dipilih sebagai teknik pengumpulan data karena peneliti dapat

melakukan uji silang (cross-check) data sehingga kesimpang-siuran pertanyaan atau

jawaban dapat dikonfirmasi secara langsung. Pemilihan wawancara juga didasarkan

pada kebiasaan masyarakat Gayo yang lebih suka mengemukakan pandangan secara

lisan dibanding melalui tulisan. Pelaksanaan wawancara dilakukan berdasarkan

kesepakatan antara partisipan dan peneliti. Secara umum, waktu pelaksanaan

wawancara berlangsung antara 45-60 menit, bertempat di kampus atau di kediaman

partisipan (sesuai perjanjian dengan partisipan). Untuk menjaga fokus wawancara,

(34)

sebagaimana dikemukakan Yin (2012: 139), berisi kerangka umum dalam benak

(mental framework) mengenai hal-hal yang menjadi fokus wawancara. Untuk

memudahkan transkripsi wawancara, peneliti menggunakan alat perekam. Pemakaian

alat perekam dilakukan setelah memperoleh izin dari partisipan sehingga tidak

menimbulkan dampak yang tidak diharapkan. Hasil rekaman ditranskripsi setelah

wawancara, dicetak dan disampaikan kembali kepada partisipan untuk mendapat

masukan, tambahan atau perbaikan sekiranya terdapat hal-hal yang menurut

partisipan tidak perlu dimasukkan dalam laporan penelitian.

3. Observasi

Pengumpulan data melalui observasi bertujuan memperoleh data yang berkaitan

dengan proses implementasi kurikulum dan untuk mengungkap situasi aktual

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dalam observasi, perhatian peneliti ditujukan

untuk melihat dan merasakan iklim akademis, khususnya ketika dosen

menyampaikan materi, interaksi antara dosen dan mahasiswa, dan respon mahasiswa

(ekspresi verbal maupun non-verbal) selama pembelajaran. Ketika melakukan

observasi di kelas, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada partisipan sehingga

tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan selama berlangsunnya proses

pembelajaran. Posisi peneliti selama berlangsungnya observasi bersipat tidak terlibat

(non-participant observation).

F. Analisis Data Penelitian

Analisis data dalam penelitain kualitatif dan juga mendasari pelaksanaan

penelitian ini tidak memiliki batasan yang tegas dengan tahap pengumpulan data.

Peneliti sudah mulai menganalisis data sejak ketertarikan terhadap sesuatu dimulai,

(35)

analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara berkesinambungan dan

telah dimulai sejak seorang peneliti tertarik untuk meneliti dan baru berhenti ketika

laporan akhir penelitian tuntas dikerjakan.

Strategi analisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Miles dan

Huberman (2009: 16) yang mengklasifikasikan tiga rangkaian proses analisis: reduksi

data (reduction); penyajian data (display); dan verifikasi data. Secara singkat, berikut

dikemukakan operasionalisasi analisis data yang berlangsung dalam penelitian ini:

1. Reduksi Data

Data yang telah diperoleh dalam observasi, wawancara dan penelusuran

dokumen yang jumlahnya sangat banyak perlu diorganisir secara seksama. Reduksi

data merupakan bagian dari pilihan-pilihan yang diambil peneliti sejak awal. Peneliti

melakukan seleksi, penetapan fokus, dan penyederhanaan terhadap transkrip

wawancara, pengamatan lapangan dan dokumentasi. Reduksi data dilakukan dengan

meringkas catatan lapangan, transkrip wawancara, hasil penelusuran dokumen yang

terkait dengan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Pada tahap ini, peneliti

melakukan pengklasifikasian terhadap data yang akan dan telah terkumpul. Dengan

kata lain, peneliti berupaya menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang

yang tidak perlu, dan mengorganisasi data.

2. Penyajian Data

Data yang telah direduksi menyisakan data yang relevan dengan pengungkapan

dan pemahaman terhadap kasus yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti

melakukan sistematisasi data dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar. Penyajian data

(36)

partisipan, mengelompokkan hasil temuan (baik yang diperoleh melalui wawancara,

penelusuran dokumen, maupun hasil pengamatan) ke dalam bentuk gambar, tabel,

skema dan lain-lain. Dengan kata lain, hasil reduksi data ditransformasikan ke dalam

tabel atau diagram, serta narasi sehingga mudah dipahami dan membantu dalam

menghasilkan kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif.

Penyajian katagori data disusun dan dideskripsikan secara berurutan sehingga

strukturnya dapat dipahami.

3. Verifikasi dan penyimpulan

Pada tahap verifikasi, awalnya peneliti mengajukan kesimpulan tentatif terkait

model kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Kesimpulan tersebut diverifikasi selama

penelitian berlangsung sehingga nantinya dapat dirumuskan kesimpulan akhir (Miles

dan Huberman, 2009: 18). Verifikasi data merupakan bagian tidak terpisahkan dari

analisis data. Verifikasi dilakukan melalui pengujian pemahaman dan makna-makna

yang muncul terkait desain kurikulum, implementasi kurikulum, serta tantangan dan

peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo dengan

membandingkannya dengan catatan lapangan, tukar pikiran dengan teman sejawat

dan sekaligus memperkayanya dengan kajian literatur. Melalui tahapan-tahapan

tersebut, simpulan akhir yang dikemukakan pada bagian akhir penelitian diharapkan

dapat dipertanggungjawabkan.

G. Teknik Penjaminan Keabsahan Penelitian

Persoalan yang sering menjadi perdebatan dalam penelitian kualitatif berkenaan

(37)

dan reabilitas. Untuk menjamin keabsahan penelitian, peneliti mengikuti saran

sejumlah pakar penelitian kualitatif untuk menerapkan beberapa strategi dalam

menjamin keabsahan penelitian. Adapun langkah-langkah yang peneliti lakukan

adalah dengan menerapkan trianggulasi, pelibatan partisipan dalam pemeriksaan

laporan, penggunaan teori untuk penelitian studi kasus tunggal, dan perumusan atau

penyusunan protokol penelitian (Yin, 2003: 34). Berikut dikemukakan

operasionalisasi teknik-teknik penjaminan keabsahan penelitian dalam penelitian ini.

1. Trianggulasi

Untuk meningkatkan keabsahan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini,

Peneliti menggunakan trianggulasi atau menggunakan berbagai sumber untuk

memperoleh data yang meyakinkan. Nasution (2002: 15) mengungkapkan bahwa

pada mulanya istilah trianggulasi dikembangkan dalam praktik navigasi dan survey

tanah ketika membuat peta. Trianggulasi dilakukan untuk memastikan lokasi suatu

titik dengan menyepadankannya posisinya terhadap dua titik lain. Senada dengan hal

tersebut, Stake (2010: 113) mengungkapkan bahwa aktivitas trianggulasi mencakup

kegiatan, “look again and again, several times” dan “Stop!, Look!, and Listen!.”

Operasionalisasi trianggulasi dalam penelitian ini dilakukan melalui penerapan

strategi trianggulasi sumber dan metode (Yin, 2011: 81; Mills, Eurepos dan Wiebe,

[Ed.], 2010: 945-7). Dalam penelitian ini, trianggulasi dilakukan untuk menemukan

makna kearifan lokal masyarakat Gayo berdasarkan penjelasan partisipan,

membandingkan penjelasan tersebut dengan penjelasan partisipan lainnya,

(38)

menerapkan ketekunan observasi dan memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam

mengumpulkan data.

2. Pelibatan Partisipan

Untuk meningkatkan keabsahan penelitian, peneliti melibatkan partisipan dalam

pemeriksaan data penelitian. Kegiatan ini dilakukan agar data dan hasil penelitian

tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan terhadap partisipan. Prosesnya

dilakukan dengan melakukan transkripsi hasil wawancara dan catatan observasi

untuk kemudian dikonfirmasikan kepada partisipan. Peneliti menunjukkan data yang

telah dikumpulkan sehingga partisipan dapat menyampaikan masukan, koreksi dan

tambahan data yang dipandangnya masih kurang merepresentasikan hal-hal yang

dipandangnya penting.

3. Penyusunan protokol penelitian

Protokol penelitian berfungsi sebagai ancang-ancang mental agar peneliti

terfokus. Penyusunan protokol penelitian yang berisi kisi-kisi wawancara yang

digunakan peneliti sejalan dengan anjuran Yin (dalam Mills, Eurepos dan Wiebe, Ed.,

2010: 84-6) yang mengungkapkan bahwa protokol penelitian studi kasus berisi

agenda mental (mental agenda) yang berisi teknik pengumpulan data, rencana

interaksi dengan partisipan, langkah-langkah untuk menjaga agar etika penelitian

dapat diterapkan dengan baik. Protokol penelitian berisi kisi-kisi wawancara sehingga

peneliti tidak keluar dari topik pembahasan (Terlampir). Dalam hal ini, Peneliti

mempersiapkan langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian

sehingga aktivitas penelitian tidak kehilangan fokus.

4. Diskusi sejawat (peer-briefing)

Peneliti melakukan diskusi dan pembahasan data dengan kolega (dalam hal ini

(39)

pendidikan Indonesia; dan dua orang dosen yang tidak mengampu perkuliahan

Budaya dan Literatur Gayo di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)

yang mempunyai minat terhadap kurikulum dan kearifan lokal. Melalui upaya ini,

Peneliti memperoleh perspektif pembanding terhadap data yang dikumpulkan,

analisis dan simpulan-simpulan tentatif yang diajukan. Perspektif alternatif tersebut

berguna untuk memperkaya pemahaman peneliti terhadap hasil dan pembahasan

(40)

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan

desain, implementasi, tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal

pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Berikut

disampaikan simpulan dan rekomendasi penelitian.

A.Simpulan

1. Desain kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama

Islam Gajah Putih Takengon menunjukkan pola yang dinamis. Pengembang

kurikulum kearifan lokal melakukan upaya yang berkelanjutan dalam menyusun

dan mengadaptasi berbagai komponen kurikulum (analisis kebutuhan, formulasi

tujuan, pengembangan bahan ajar, konseptualisasi materi, pengorganisasian

pembelajaran dan penyusunan rencana penilaian). Keberadaan kurikulum kearifan

lokal pada lembaga pendidikan guru ini bertitik tolak dari keyakinan pimpinan dan

pengembang kurikulum bahwa kearifan lokal diperlukan untuk mengembangkan

kompetensi budaya mahasiswa calon guru sehingga mempunyai pengetahuan,

sikap dan keterampilan untuk mengartikulasikan kearifan lokal masyarakat Gayo,

baik pada saat studi maupun ketika mereka menjalankan perannya sebagai anggota

masyarakat dan pendidik di sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembang

kurikulum melakukan konseptualisasi materi yang mencakup empat hal pokok:

sejarah lokal, agama (Islam) dan kearifan lokal; sistem nilai budaya Gayo, dan

pranata sosial masyarakat Gayo. Pengembangan bahan ajar dilakukan melalui

pengembangan buku daras, diktat, dan handout. Rencana penilaian disusun dengan

memberi perhatian pada penilaian berbasis kinerja mahasiswa, baik melalui tes

(midterm dan final) dan non-tes (pengamatan perkembangan sikap mahasiswa

(41)

2. Implementasi kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon dilakukan melalui penerapan berbagai model

pembelajaran. Fase awal perkuliahan dioptimalkan untuk mengembangkan minat

mahasiswa calon guru untuk mengetahui dan menumbuhkan perasaan tanggung

jawab melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat Gayo. Untuk

memperkuat minat tersebut dilakukan kontekstualisasi materi kearifan lokal.

Implementasi kurikulum kearifan lokal juga dilakukan melalui penugasan kepada

mahasiswa calon guru untuk berinteraksi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang

dipandang kompeten menjelaskan kearifan lokal masyarakat Gayo. Melalui

aktivitas tersebut mahasiwa calon guru terlibat dalam mengidentifikasi,

mensosialisasikan dan menginternalisasikan kearifan lokal. Partisipan juga

menerapkan pembelajaran reflektif yang bertujuan untuk melatih dan

membiasakan mahasiswa calon guru untuk menilai dan memaknai kearifan lokal

secara arif sehingga kecenderungan mengidealkan (romantisme), menempatkan

kearifan lokal sebagai produk yang abadi (esensialisme), atau pandangan yang

menafikan fungsi kearifan lokal (apatisme) dapat diminimalkan. Pengembangan

iklim institusi yang mendukung internalisasi dan eksternalisasi kearifan lokal

masyarakat Gayo juga menjadi perhatian pengembang kurikulum. Komitmen dan

keteladanan pengembang kurikulum menjadi perekat berbagai model

pembelajaran kearifan lokal sehingga meninggalkan kesan mendalam pada

mahasiswa dalam proses menemukan ulang (reinventing), memahami kembali

(reinterpretasi), memberdayakan (revitalisasi) dan membiasakan (habituasi)

(42)

3. Pengembangan kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru pada Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon dihadapkan pada sejumlah tantangan:

minimnya literatur kearifan lokal masyarakat Gayo; tersisihnya kearifan lokal

karena konflik berkepanjangan di Aceh; kebijakan pendidikan pada masa lalu yang

mengarah pada homogenisasi budaya; terjadinya kesenjangan antara nilai-nilai

ideal kearifan lokal dan praktiknya dalam masyarakat; dampak modernisasi dan

globalisasi yang menyebabkan munculnya pandangan yang tidak simpatik

terhadap kearifan lokal; dan sukarnya menemukan model atau teladan (uluni

tawar) yang mampu mengartikulasikan pengamalan kearifan lokal.

Meskipun demikian, perkembangan yang terjadi satu dekade terakhir dalam

bidang pendidikan, politik, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi telah

membuka peluang revitalisasi kearifan lokal secara umum dan pengembangan

kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru secara lebih spesifik. Kebijakan

pendidikan yang lebih demokratis dan berorientasi pada pengembangan budaya

dan karakter bangsa membuka kembali kesempatan pemangku kearifan lokal

untuk mengidentifikasi dan mensosialisasikan warisan tradisinya. Terjadinya krisis

identitas dan karakter telah mendorong berbagai pihak untuk kembali melihat

kearifan lokal sebagai salah satu alternatif dalam membangun karakter luhur di

tengah kompleksitas permasalahan kontemporer. Selain itu, mengemukanya

kecenderungan global yang mengarah pada pemberdayaan kearifan lokal (ditandai

gerakan glokalisasi dan pembangunan berkelanjutan) dan perkembangan teknologi

informasi telah membuka peluang bagi pengembang kurikulum kearifan lokal

untuk menjalin kerjasama berbagai lembaga yang peduli terhadap kearifan lokal.

Komitmen dan tindakan nyata pimpinan perguruan tinggi dalam revitalisasi

kearifan lokal masyarakat Gayo memberi peluang pengembangan kurikulum

(43)

B.Rekomendasi

Berikut disampaikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait yang dianggap

berkepentingan dengan hasil penelitian ini. Rekomendasi ini ditujukan:

Pertama, kepada dosen. Terbatasnya bahan ajar dan literatur mengenai kearifan

lokal masyarakat Gayo perlu disikapi dengan pengembangan kompetensi pengampu

kurikulum untuk menuangkan gagasannya secara tertulis. Pada sisi lain,

pengembangan kompetensi budaya mahasiswa calon guru di masa-masa mendatang

dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang semakin lama bertambah kompleks

sehingga membutuhkan adanya strategi pembelajaran yang mampu meningkatkan

kebermaknaan kurikulum kearifan lokal. Untuk itu, direkomendasikan kepada

pengembang kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo agar meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan dalam mentransmisikan dan mentransformasikan

kearifan lokalnya sehingga hasilnya dapat lebih maksimal. Komitmen dan dedikasi

dosen untuk menempatkan dirinya sebagai model atau teladan (uluni tawar) dalam

mengartikulasikan kearifan lokal masyarakat Gayo perlu ditingkatkan sehingga

internalisasi kearifan lokal dapat lebih optimal pada masa-masa mendatang.

Kedua, kepada pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

agar melakukan peninjauan secara berkala terhadap kurikulum kearifan lokal pada

Jurusan Tarbiyah sehingga efektivitas dan relevansi kurikulum ini dalam

pembentukan kompetensi budaya mahasiswa calon guru dapat lebih bermakna.

Pengembangan kompetensi dosen dalam mendesain, mengimplementasikan dan

mengevaluasi kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo perlu mendapat perhatian

lebih lanjut. Pimpinan perguruan tinggi ini direkomendasikan untuk menggagas

pembentukan pusat kajian kearifan lokal atau memberdayakan lembaga penelitian

(44)

pengembangan dan desiminasi kearifan lokal masyarakat Gayo melalui berbagai

program penelitian.

Ketiga, kepada pemerintah daerah (provinsi, kota atau kabupaten). Kenyataan

bahwa dokumentasi dan publikasi kearifan lokal masih sangat terbatas menuntut

adanya langkah-langkah yang konkrit dari pengambil kebijakan. Pemerintah daerah

direkomendasikan untuk melakukan langkah-langkah yang berkelanjutan untuk

mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan mendukung revitalisasi kearifan lokal

yang terdapat di Aceh. Pemerintah daerah perlu melakukan sinergi dengan Perguruan

Tinggi, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO),

Lembaga Swadaya Masyarakat, dan komunitas pencinta/pelestari kebudayaan daerah

dengan menyelenggarakan seminar, diskusi, sarasehan, lokakarya yang berkaitan

dengan kondisi terkini kearifan lokal dan menyusun cetak biru (blue-print)

pengembangan kearifan lokal. Pemerintah daerah direkomendasikan menindaklanjuti

berbagai regulasi yang telah dihasilkannya terkait pelestarian dan pengembangan

kearifan lokal sehingga dapat mengurangi apatisme masyarakat yang telah terlanjur

berharap terlalu banyak.

Keempat, kepada para pengambil kebijakan pendidikan pada tingkat nasional.

Kebhinekaan masyarakat Indonesia dengan kearifan lokal yang menyertainya

memerlukan pendidikan guru yang tanggap terhadap kenyataan tersebut. Oleh karena

itu, penyusunan panduan dan penyelenggaraan pelatihan guru untuk mengembangkan

kompetensi budaya guru sangat diperlukan. Regulasi mengenai empat kompetensi

guru (pedagogi, profesional, sosial dan personal) sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik

dan Kompetensi Guru perlu dikembangkan indikator-indikator yang lebih akomodatif

dan mengapresiasi keragaman kearifan lokal yang tersebar di berbagai daerah.

(45)

mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang telah dicanangkan

Gambar

Tabel 2.1 Tabel 3.1
Tabel 3.1 Jurusan dan Program Studi pada STAI Gajah Putih Takengon

Referensi

Dokumen terkait

menganalisis dan mengembangankan desain kurikulum muatan lokal gizi boga dan lingkungan dalam seting kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang relevan dengan basis

Berdasarkan hasil analisis mengenai Implementasi Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal, Seni dan Budata Dayak (Sudi Festival Budaya “Tira Tangka Balang” di

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : 1) kearifan lokal yang terdapat dalam cerita pendek di buku bahasa Indonesia kelas XI SMA, dan 2)

Berdasarkan alasan tersebut, maka dibutuhkan pengembangan bahan ajar dalam bentuk E-Modul mata kuliah matematika ekonomi yang berbasis PjBL dan terintegrasi Kearifan Lokal

Kegiatan pelatihan dan pendampingan ini dilaksanakan berupa pelatihan pengembangan modul pembelajaran berbasis kearifan lokal lahan gambut dengan menggunakan model

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk kearifan lokal masyarakat di Kawasan Danau Tempe yang dapat dipertimbangkan dalam

Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren dalam pengembangan pendidikan karakter di Madrasah Aliyah Bustanul Ulum

PENDAHULUAN Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa pengembangan kurikulum muatan lokal budaya maja dan dahu sekolah dasar di kabupaten bima, belum memperhatikan dan menyiapkan peserta