• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN

BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA)

DI SD NEGERI MERTELU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Rahmawati Suharno NIM 131134055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

(3)
(4)

iv

Karya ini kupersembahkan untuk:

Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah, dan anugerahNya sehingga skripsi ini selesai dengan lancar dan tepat waktu.

Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu memberikan dukungan, doa, dan semangat.

Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi.

Ibu Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi. yang membimbingku dalam proses pengerjaan skripsi.

Seluruh dosen PGSD USD yang telah memberikan pengalaman belajar yang luar biasa.

Teman-temanku satu payung, Witanti Wiyantari dan Mariyah yang selalu memberikan bantuan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi.

Teman-teman terdekatku, Marta, Galuh, Windha, Itri, Voo, Rajiv, Adel, Adiktia, dan Dessy Riska yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

Teman-teman PGSD angkatan 2013, terimakasih atas kebersamaan, dukungan, bantuan, dan saling berbagi selama belajar di PGSD USD.

(5)

v

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)

yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Terjemahan Q.S Al-Insyirah: 6-8)

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis

(7)

vii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Rahmawati Suharno

Nomor Mahasiswa : 131134055

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR

MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 13 Juni 2017 Yang menyatakan

(8)

viii

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno

Universitas Sanata Dharma 2017

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research & Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.

Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga

diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi

album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.

(9)

ix

DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN

SD NEGERI MERTELU was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.

This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used

seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the

field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.

There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.

Key words: Research and Development, media, dyscalculia.

(10)

x

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya yang berlimpah peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA

MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma dan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat dibuat dengan baik karena doa dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan memberikan doa serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si, M.Pd., Ketua Program Studi Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., Wakil Program Studi Prodi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., Dosen Pembimbing II yang selalu memberi pengarahan, kritik dan saran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan pelayanan peneliti dengan baik.

6. Para validator yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini. 7. Kepala Sekolah SD Negeri Mertelu yang dengan tangan terbuka telah

bekerja sama dan memberikan izin penelitian di sekolah.

(11)

xi

IV SD Negeri Mertelu yang dengan berbaik hati mau berpartisipasi dan memberikan waktu kepada peneliti.

10. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai pengalaman belajar. 11. Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu

memberikan dukungan, doa, dan semangat.

12. Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi. 13. Teman-teman terdekatku yang telah memberikan bantuan, semangat, dan

dukungan.

14. Teman-teman satu payung yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

15. Semua pihak yang telah mendukung dan tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penelitian selanjutnya dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan skripsi.

Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis

(12)

xii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

(13)

xiii

2.1.1 Alat Peraga ... 14

2.1.2 Matematika ... 17

2.1.3 Kesulitan Belajar ... 27

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) ... 35

2.1.5 Materi Pembagian ... 43

2.2 Penelitian yang Relevan ... 45

2.3 Kerangka Berpikir ... 48

2.4 Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

3.1 Jenis Penelitian ... 52

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 62

3.5 Instrumen Penelitian... 66

3.6 Teknik Analisis Data ... 69

3.6.1 Data Kualitatif ... 69

3.6.2 Data Kuantitatif ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

4.1 Hasil Penelitian ... 73

4.1.1 Potensi dan Masalah ... 73

(14)

xiv

4.1.4 Validasi Desain ... 83

4.1.5 Revisi Desain ... 84

4.1.6 Uji Coba Produk ... 100

4.1.7 Revisi Produk ... 102

4.2 Pembahasan ... 103

BAB V PENUTUP ... 107

5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 108

5.3 Saran ... 109

DAFTAR REFERENSI ... 110

DAFTAR LAMPIRAN...114

(15)

xv

(16)

xvi

Tabel 3.1 Garis Besar Pertanyaan untuk Kepala Sekolah ... 66

Tabel 3.2 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 66

Tabel 3.3 Garis Besar Pertanyaan untuk Anak Diskalkulia kelas IV ... 66

Tabel 3.4 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 67

Tabel 3.5 Rambu-Rambu Pengamatan terhadap Anak Diskalkulia ... 67

Tabel 3.6 Pengukuran Skala Likert ... 68

Tabel 3.7 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Alat Peraga ... 68

Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Album Alat Peraga... 68

Tabel 3.9 Klasifikasi Hasil Penilaian ... 70

Tabel 4.1 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli ... 84

Tabel 4.2 Komentar dan Saran Terhadap Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli... 84

Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 87

Tabel 4.4 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 88

Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 89

Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 91

Tabel 4.7 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

Tabel 4.8 Komentar dan Saran Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

(17)

xvii

(18)

xviii

Gambar 1.1 Desain Produk ... 8

Gambar 1.2 Bagian-Bagian Papan Pembagian ... 9

Gambar 1.3 Kartu Soal ... 11

Gambar 1.4 Kartu Bilangan yang Dibagi ... 11

Gambar 1.5 Kartu Bilangan Pembagi ... 11

Gambar 1.6 Kartu Bilangan Hasil Bagi ... 11

Gambar 1.7 Tabung Kecil (Tab) ... 12

Gambar 1.8 Kotak Penyimpanan ... 12

Gambar 4.1 Desain Alat Peraga Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30 ... 82

(19)

xix

Lampiran 1. Surat Izin Melakukan Penelitian... 115

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 116

Lampiran 3. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Matematika ... 117

Lampiran 4. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Psikologi Anak ... 118

Lampiran 5. Surat Pengantar Validasi Kepala Sekolah ... 119

Lampiran 6. Surat Pengantar Validasi Guru Kelas IV ... 120

Lampiran 7. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika ... 121

Lampiran 8. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 123

Lampiran 9. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Kepala Sekolah... 125

Lampiran 10. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 127

Lampiran 11. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika 129 Lampiran 12. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak………131

Lampiran 13. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Kepala Sekolah ... 133

Lampiran 14. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 135

Lampiran 15. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Potensi dan Masalah ... 137

Lampiran 16. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Pengumpulan Data ... 138

Lampiran 17. Pedoman Observasi ... 139

Lampiran 18. Album Petunjuk Penggunaan Alat Peraga Papan Pembagian untuk Anak Berkesulitan Belajar Matematika ... 140

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

Uraian dalam bab ini berisi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) spesifikasi produk yang dikembangkan, dan (6) definisi operasional.

1.1 Latar Belakang Penelitian

(21)

karena itu, pembelajaran Matematika hendaknya diajarkan pada anak mulai dari usia dini dengan mengenalkan konsep dasar Matematika mulai dari tahap yang konkrit, semi konkrit, dan abstrak. Hal tersebut dapat membantu anak berpikir logis dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam proses pembelajaran konsep dasar Matematika pada anak-anak tidak selalu berkembang sebagaimana mestinya, karena masing-masing anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda. Ada anak yang cepat dan ada juga yang lamban atau kesulitan dalam memahami konsep dasar Matematika. Dari hasil wawancara dengan dugaan anak Diskalkulia, pelajaran Matematika memang dirasa sebagai pelajaran yang paling sulit bagi sebagian besar anak. Bagi anak dengan Diskalkulia, butuh waktu yang lebih lama untuk memahami konsep Matematika dibanding dengan anak biasa pada umumnya. Pembagian sering kali dianggap sebagai salah satu materi yang paling sulit dimengerti oleh anak dan pengajarannya jarang menggunakan alat peraga. Alat peraga sangat diperlukan untuk menunjang proses belajar anak Diskalkulia. Alat peraga dapat membantu anak menangkap pesan/materi yang terkandung dalam suatu pembelajaran, khususnya Matematika. Alat peraga yang menarik juga dapat membangkitkan semangat dan minat belajar anak.

(22)

masyarakat. Teknologi bantu merujuk pada perangkat apa pun, baik itu suatu alat, produk, atau barang lainnya yang dapat digunakan untuk menaikkan, mempertahankan, atau meningkatkan kemampuan fungsional individu penyandang disabilitas. Tingkatan teknologi bantu yang dapat digunakan siswa disabilitas yaitu (1) tanpa teknologi atau teknologi rendah, (2) teknologi menengah, dan (3) teknologi tinggi. Alat peraga yang dikembangkan dalam penelitian ini tergolong dalam tingkatan pertama, yaitu tanpa teknologi atau teknologi rendah. Tanpa teknologi atau teknologi rendah merujuk pada alat dan barang yang tidak termasuk dalam tipe elektronik apa pun.

Analisis kebutuhan pada penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Mertelu, Piji, Mertelu, Gedangsari, Gunung Kidul pada tanggal 23, 26, dan 28 November 2016 pada tahun ajaran 2016/2017. Peneliti menggunakan 3 anak Diskalkulia di kelas IV. Dari ketiga anak tersebut, masing-masing menampakkan karakteristik anak Diskalkulia. Karakteristik yang paling ditampakkan adalah asosiasi visual-motor, dimana anak sering tidak dapat menghitung benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Anak mungkin baru memegang benda yang

ketujuh namun telah mengucapkan “9”, atau sebaliknya. Anak semacam ini dapat

memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya. Hal tersebut terlihat ketika peneliti mendikte sebuah bilangan kemudian anak diminta

untuk menuliskan simbol bilangannya. Misalnya, peneliti mendikte “lima puluh

(23)

Hasil wawancara dengan guru kelas IV di SD N Mertelu diperoleh hasil bahwa beliau belum pernah menggunakan alat peraga apapun untuk mengajarkan anak Diskalkulia tentang konsep pembagian. Beliau juga mengatakan bahwa di sekolah tersebut belum tersedia alat peraga Matematika tentang pembagian. Alat peraga yang disediakan oleh sekolah hanya terbatas pada materi tertentu saja. Beliau hanya menjelaskan berulang kali untuk mengatasi masalah yang ada pada anak tersebut, namun hal itu dirasa tidak membuat anak menjadi paham. Guru meminta peneliti mendesain alat peraga untuk mengajarkan konsep pembagian pada anak Diskalkulia. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2015) yang berjudul

“Pengembangan Alat Peraga Pembelajaran Matematika SD Materi Perkalian dan

Pembagian Berbasis Metode Montessori” dijelaskan bahwa alat peraga dapat membantu dalam memahami konsep perkalian dan pembagian. Selain itu, alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dari hasil pretest ke posttest menunjukkan perbedaan sebesar 90,4%. Hal tersebut menegaskan bahwa alat peraga Matematika tentang pembagian sangat dibutuhkan untuk membantu anak Diskalkulia dalam memahami konsep pembagian.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai “Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD

Negeri Mertelu”. Materi pembelajaran Matematika dibatasi pada standar kompetensi

1 “memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan

(24)

khususnya materi pembagian. Peneliti kemudian mempersempit materi kajiannya menjadi pembagian tanpa sisa 1 sampai dengan 30 dimana bilangan pembaginya 1 sampai dengan 10. Hal tersebut dimaksudkan agar anak Diskalkulia terlebih dahulu memahami konsep pembagian dan berhitung.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pengembangan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.2.2 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengembangkan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.3.2 Mengetahui kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

(25)

“Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak

dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD Negeri Mertelu” 1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini mampu memberikan pengalaman langsung kepada peneliti tentang mengembangkan alat peraga Matematika sesuai dengan karakteristik anak Diskalkulia di Sekolah Dasar.

1.4.2.2 Bagi Siswa

Siswa kelas IV yang mengalami gangguan Diskalkulia dapat mempelajari materi pembagian dengan alat peraga yang telah melalui serangkaian uji coba ilmiah. Siswa juga dapat merasakan suasana belajar yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

1.4.2.3 Bagi Guru

Menambah wawasan guru mengenai cara mengajar dan mengembangkan alat peraga untuk anak berkebutuhan khusus yang mengadopsi ciri-ciri alat peraga yang terdapat dalam pendidikan Montessori.

1.4.2.4 Bagi Sekolah

(26)

1.5 Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Alat peraga yang akan dikembangkan peneliti berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dimana bilangan pembaginya 1-10. Kelengkapan alat peraga tersebut meliputi kartu soal, kartu bilangan, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan pembagi, kartu bilangan hasil pembagian, tab (tabung), album petunjuk, dan kotak penyimpanan beserta tutup. Papan pembagian dibuat dengan bentuk persegi panjang dengan panjang 53 cm dan lebar 68 cm, serta ketebalan papan 1 cm. Papan tersebut dibuat dengan bahan kayu jenis teak wood. Pada papan terdapat 600 lubang yang berbentuk lingkaran untuk meletakkan tabung kecil (Tab) yang mempunyai diameter 1,6 cm dan tinggi 4,5 cm dengan diameter lubang 1,7 cm serta dalamnya lubang sebesar 1 cm. Selain itu terdapat juga 4 lubang berbentuk persegi panjang berukuran 5 cm x 9 cm dengan dalamnya lubang sebesar 0.5 cm. Lubang berbentuk persegi panjang ini digunakan untuk meletakkan kartu yang berukuran 5 cm x 7 cm.

(27)

aktivitas pembelajaran menggunakan papan pembagian. Desain produk dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1.1 Desain Produk

(28)

Gambar 1.2 Bagian-bagian papan pembagian Keterangan:

1. Judul alat peraga. Judul alat peraga ini adalah “Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30”. Judul ini berfungsi untuk memudahkan anak mengetahui fungsi alat peraga yang akan digunakan.

2. Lubang kartu soal. Lubang persegi panjang berwarna putih digunakan untuk meletakkan kartu soal.

1

5

4 3

2 7

6

8

9

(29)

3. Lubang kartu bilangan yang dibagi. Lubang persegi panjang berwarna biru untuk meletakkan kartu bilangan yang dibagi.

4. Lubang kartu bilangan pembagi. Lubang persegi panjang berwarna hijau untuk meletakkan kartu bilangan pembagi.

5. Lubang kartu bilangan hasil bagi. Lubang persegi panjang berwarna merah untuk meletakkan kartu bilangan hasil bagi.

6. Lubang tabung kecil (Tab). Lubang berbentuk lingkaran digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab).

7. Bilangan yang dibagi. Bilangan berwarna biru menunjukkan jumlah lubang tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab).

8. Bilangan pembagi. Bilangan berwarna hijau menunjukkan jumlah lubang tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab) setiap barisnya.

9. Bilangan hasil bagi. Bilangan berwarna merah menunjukkan jumlah bilangan hasil bagi.

(30)

Bagian kedua dari alat peraga papan pembagian adalah kartu. Terdapat 4 jenis kartu yang berbeda, yaitu kartu soal, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan pembagi, dan kartu bilangan hasil bagi.

Tampak depan Tampak belakang Gambar 1.3 Kartu soal

Gambar 1.5 Kartu bilangan pembagi

Gambar 1.4 Kartu bilangan yang dibagi

Gambar 1.6 Kartu bilangan hasil bagi Tulisan pada bagian muka (depan) kartu soal mempunyai tiga warna, yaitu biru, hitam, dan hijau. Tulisan berwarna biru menunjukkan bilangan yang dibagi, hitam menunjukkan simbol pembagian, dan hijau menunjukkan bilangan pembagi. Pada kartu soal dilengkapi dengan pengendali kesalahan yang terdapat di bagian belakang kartu soal.

Bagian ketiga dari alat peraga ini adalah tabung kecil (Tab). Tabung kecil

pada papan pembagian ini disebut “Tab” untuk memudahkan dalam pengucapan. Tab

melambangkan jumlah bilangan yang sesuai dengan kartu soal.

Delapan Belas

Dibagi

Enam 18: 6 = 3

18

(31)

Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)

Bagian terakhir dari alat peraga ini adalah kotak penyimpanan. Kotak penyimpanan berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan kartu dan tabung kecil (Tab).

Gambar 1.8 Kotak penyimpanan

1.6 Definisi Operasional 1.6.1 Alat Peraga

(32)

1.6.2 Matematika

Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu masalah.

1.6.3 Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun berhitung.

1.6.4 Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga Diskalkulia.

1.6.5 Alat Peraga Montessori

(33)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II ini akan membahas (1) kajian pustaka, (2) penelitian yang relevan, (3) kerangka berpikir, dan (4) pertanyaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Alat Peraga

2.1.1.1 Hakikat Alat Peraga

Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran (Arsyad, 2014: 9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 37) dijelaskan bahwa alat peraga adalah alat bantu dalam pengajaran untuk memperagakan sesuatu supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti oleh anak didik. Senada dengan pengertian tersebut, Prastowo (2015: 297) memberikan pengertian alat peraga sebagai media yang menggambarkan atau mengilustrasikan konsep atau materi yang diajarkan sehingga anak lebih mudah dalam mempelajari materi yang diajarkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alat peraga adalah benda-benda yang digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak memahami suatu materi yang diajarkan.

(34)

peraga memudahkan dalam memberi pengertian kepada siswa dari perbuatan yang abstrak sampai ke yang sangat konkret (Sanaky, 2013: 24). Segala sesuatu yang masih bersifat abstrak dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat dijangkau dengan pemikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan dirasakan (Arsyad, 2014: 13).

Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengoptimalkan keseluruhan fungsi panca indra siswa (Widiyatmoko & Pamelasari, 2012: 52). Melibatkan indra penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba dalam pembelajaran dapat memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu (Arsyad, 2014: 13). Berdasarkan teori di atas, alat peraga dapat membantu siswa dalam mempelajari suatu materi. Dengan alat peraga, siswa juga dapat mengembangkan seluruh panca indranya. Materi yang diajarkan kepada anak menjadi lebih mudah diterima apabila menggunakan alat peraga karena melibatkan seluruh panca indra yang dimiliki. Salah satu metode yang memiliki kekhasan penggunaan alat peraga dalam pembelajarannya adalah metode Montessori.

2.1.1.2 Alat Peraga Berbasis Metode Montessori

(35)

memperhatikan warna, kontur permukaan yang lembut, dan beratnya, sehingga anak tertarik untuk menyentuh, meraba, dan memegangnya. Anak normal akan mengulangi kegiatan yang mereka lakukan karena ketertarikan. Mereka melakukan modifikasi dalam menggunakan alat peraga (Motessori, 2002: 170-174).

Ciri yang kedua adalah bergradasi. Gradasi alat peraga terkait dengan warna, bentuk, dan usia anak. Alat peraga bergradasi ini memungkinkan digunakan dengan melibatkan panca indra anak dan bisa digunakan untuk anak-anak dari beragam usia dalam hal pembentukan konsep belajar anak-anak (Montessori: 2002: 174). Ciri yang ketiga adalah auto-correction. Alat peraga yang dibuat memiliki pengendali kesalahan. Dengan adanya pengendali kesalahan, anak bisa mengetahui jika mereka melakukan kesalahan dalam menggunakan alat peraga tanpa diberi tahu oleh orang lain (Montessori, 2002: 171).

(36)

disesuaikan dengan konteks (Lillard, 2005: 32). Kontekstual yang dimaksud adalah sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitar anak. Selain itu, alat peraga dibuat dengan menggunakan material yang ada di alam sekitar.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti mengembangkan alat peraga dengan memperhatikan ciri-ciri alat peraga Montessori. Alat peraga yang dikembangkan menarik, dengan memberikan warna dan cara penggunaan yang menyenangkan. Alat peraga yang dikembangkan juga bergradasi karena dapat terdiri dari berbagai warna dan tekstur. Memiliki auto-correction sehingga siswa dapat mengetahui kesalahannya sendiri ketika belajar. Melalui alat peraga ini, siswa juga dapat belajar secara mandiri tanpa didampingi oleh guru ( auto-education). Alat peraga yang dikembangkan juga dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yng dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan sekitar.

2.1.2 Matematika

2.1.2.1 Pengertian Matematika

Matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan,

(37)

Matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Bila seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan mendefinisikan Matematika adalah kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan dalam perdagangan. Beberapa orang mendefinisikan Matematika berdasarkan struktur Matematika, pola pikir Matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya.

Atas dasar itu, Anitah (dalam Hamzah & Muhlisrarini, 2014: 47-48) menjelaskan beberapa definisi tentang Matematika yaitu:

a) Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi. b) Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak. c) Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan

hubungan-hubungannya.

d) Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis.

e) Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.

(38)

g) Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran, dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Selain itu John & Rising (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) mendefiniskan Matematika sebagai berikut:

a) Matematika adalah pengetahuan terstruktur, dimana sifat dan teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak didefinisikan dan berdasarkan aksioma, sifat, atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya.

b) Matematika ialah bahasa simbol tentang berbagai gagasan dengan menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan secara cermat, jelas, dan akurat.

c) Matematika adalah seni, dimana keindahannya terdapat dalam keterurutan dan keharmonisan.

(39)

bahwa Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir dengan strategi organisasi, analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk memecahkan masalah-masalah abstrak dan praktis. Dari pendapat beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu masalah.

2.1.2.2 Prinsip-Prinsip Praktis

Reys (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 30-32) mengemukakan prinsip-prinsip praktis pendekatan belajar kognitif dalam pembelajaran Matematika yang menurut pendapat penulis dapat diaplikasikan secara umum pada anak Diskalkulia. Prinsip-prinsip praktis yang dianjurkan tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan satu dengan yang lainnya.

a. Belajar Matematika harus berarti (meaningful)

Belajar dengan penuh pengertian meliputi semua materi Matematika yang diajarkan di SD.

b. Belajar Matematika adalah proses perkembangan

(40)

c. Matematika adalah pengetahuan yang sangat terstruktur

Keterampilan Matematika harus dibangun dari keterampilan sebelumnya. Keterampilan prasyarat harus dipenuhi sebelum berpindah pada materi belajar berikutnya. Oleh sebab itu, pendekatan spiral dalam belajar Matematika sangat cocok.

d. Anak aktif terlibat dalam belajar Matematika

Belajar aktif merupakan inti belajar Matematika yang memungkinkan anak berkesulitan belajar membentuk pengetahuan mereka. Keterlibatan secara aktif dapat berupa keterlibatan fisik, tetapi jangan lupa setiap kegiatan fisik tidak terlepas dari kegiatan mental.

e. Anak harus mengetahui apa yang akan dipelajari dalam kelas Matematika Anak biasanya mau bekerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang nyata, jelas dan dimengerti. Sebagai tambahan, nilai-nilai yang ada pada anak sangat dipengaruhi oleh guru. Jika guru hanya menekankan pada pengajaran keterampilan berhitung, mereka akan menganggap berhitung sangat penting. Jika guru memberi penekanan pada pemecahan masalah Matematika, anak akan memandang pemecahan masalah Matematika penting. Keterampilan Matematika akan sangat bermanfaat bagi dirinya dan kelanjutan hidupnya setelah selesai sekolah.

f. Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan belajar

(41)

tanda simbol. Anak berkesulitan belajar Matematika dianjurkan untuk

“berbicara” apa yang dipikirkannya (Garnett, 2004).

g. Menggunakan berbagai bentuk atau model Matematika (multiembodied)

dalam belajar Matematika

Matematika dibandingkan degan mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah adalah abstrak. Oleh sebab itu, materi, model, dan strategi Matematika akan sangat membantu mereka belajar Matematika. Alat bantu yang digunakan harus menyangkut banyak model dan mendorong anak berpikir abstrak. Model Matematika konkret dan terstruktur yang digunakan tergantung dari anak dan isi Matematika.

h. Variasi Matematika membantu siswa belajar Matematika

Belajar Matematika sangat tergantung pada kemampuan membuat abstraksi dan generalisasi. Prinsip, bentuk, dan model Matematika tergantung pada pengalaman anak dengan berbagai bentuk fisik yang dikaitkan dengan konsep-konsep Matematika.

i. Metakognisi mempengaruhi anak belajar

Metakognisi adalah kemampuan mengamati diri sendiri tentang apa yang diketahui dan merefleksikan apa yang diamati.

j. Pemberian bantuan pada kemampuan yang terbentuk atau retension

(42)

Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip praktis dalam Matematika adalah (1) meaningful, (2) belajar sesuai dengan tahap perkembangan anak, (3) membangun keterampilan Matematika, (4) anak aktif dalam pembelajaran, (5) mengetahui tujuan pembelajaran Matematika, (6) komunikasi, (7) model Matematika, (8) variasi mempelajari Matematika, (9) metakognisi, dan (10) retension.

2.1.2.3 Fungsi Matematika

Dalam masyarakat pendidikan dan umum kata Matematika sering dipakai dalam pergaulan. Ketika sekelompok orang membicarakan tentang perkembangan ekonomi, maka beredar pembicaraan perhitungan Matematika yang mendorong dan membantu persoalannya. Hamzah & Muhlisrarini (2014: 49-52) mengungkapkan ada beberapa macam fungsi Matematika yaitu:

a. Sebagai suatu struktur

(43)

kebenaran. Kalau tidak ada simbol-simbol, barangkali kita tidak dapat berkomunikasi Matematika. Simbol-simbol itu dibentuk dari ide, misalkan

bilangan satu maka ide kata satu diberi simbol ‘1’.

Komunikasi secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan adanya simbol Matematika yang dibentuk dari suatu hal yang abstrak. Berawal dari ide-ide lalu disimbolisasi, kemudian dari simbol-simbol dikomunikasikan. Dari komunikasi diperoleh informasi dan dari informasi-informasi itu dapat dibentuk konsep-konsep baru. Pengembangan produk berbentuk konsep baru melahirkan Matematika, yaitu suatu ilmu yang tersusun secara hierarkis, logis, dan sistematis dari konsep yang sederhana sampai kepada konsep yang kompleks. Dalam prosesnya, ide yang menjadi simbol harus dipahami lebih dahulu sebelum ide tersebut disimbolkan, sehingga penggunaan simbol tidak mengalami kekeliruan. Kekeliruan penggunaan simbol dalam Matematika sangat berbahaya karena akan mengalami kekeliruan dalam menipulasi aturan-aturan atau rumus-rumus pada tahap berikutnya.

b. Kumpulan Sistem

(44)

aljabar, analisis, dan dasar Matematika. Aritmatika membahas teori bilangan, dasar Matematika membicarakan tentang logika dasar. Matematika dapat digambarkan sebagai pohon dengan semua cabang-cabangnya dan logika dasar sebagai akar pohon tersebut. Walaupun berurai menjadi beberapa macam, Matematika tetap bersifat konsisten dalam arti bebas dari kontradiksi yang di dalamnya di samping mempunyai sistem deduktif.

c. Sebagai Sistem Deduktif

Kita mengenal pengertian pangkal atau primitif pada bidang Matematika. Definisi-definisi dasar ini memuat beberapa definisi, sekumpulan asumsi, banyak postulat dan aksioma serta sekumpulan teorema atau dalil. Ada hal-hal semacam di atas sebagai tidak dapat didefinisikan, akan tetapi diterima sebagai suatu kebenaran, konkretnya yakni tentang titik, garis, elemen atau unsur dalam Matematika tidak didefinisikan, akan menjadi konsep yang bersifat deduktif.

d. Ratunya Ilmu dan Pelayan Ilmu

(45)

mengatakan bahwa Matematika memberikan dampak yang cukup berarti terhadap perkembangan ilmu dan Matematika itu sendiri, sehingga ke depan akan senantiasa melakukan penemuan-penemuan baru. Inilah umpan balik dalam bentuk dorongan perkembangan iptek kepada Matematika.

Dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan alat untuk menyelesaikan masalah menerjemahkan masalah-masalah ke dalam simbol-simbol Matematika. Di samping itu, penerjemahan ke dalam Matematika berbentuk model yang dikatakan model Matematika. Masalah yang diterjemahkan dalam model Matematika kemudian dianalisis, disintesis, dan dihitung dalam ruang Matematika sampai selesai. Hasil yang diperoleh dikembalikan lagi ke dalam bidang permasalahan semula, bidang keilmuan yang memerlukan Matematika itu untuk lebih jauh dianalisis. Dalam hal ini Matematika tidak campur tangan lagi.

(46)

2.1.3 Kesulitan Belajar

2.1.3.1 Pengertian Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris

learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena

learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar (Mulyono, 2012: 1). Runtukahu & Kandou (2014: 19) juga mempunyai pendapat bahwa berkesulitan belajar atau learning disabilities artinya ketidakmampuan belajar. Arti yang tepat sukar ditetapkan karena digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pendidikan, antara lain psikologi dan ilmu kedokteran. Anak-anak berkesulitan belajar agak sukar dibedakan dari anak-anak yang berprestasi akademik kurang, tunagrahita ringan, atau tunalaras ringan (Heward & Orlansky dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 19)

Mulyono (2012: 2) menjelaskan bahwa definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) 94-142, yang hampir identik dengan dengan definisi yang dikemukakan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun 1967. Definisi tersebut seperti dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985: 14) seperti berikut ini.

(47)

menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan lingkungan, budaya, atau ekonomi.”

Meskipun definisi USOE merupakan definisi resmi yang digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan pada definisi tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap definisi PL 94-142 tersebut, maka The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengemukakan definisi sebagai berikut Mulyono (2012: 3).

“Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi Matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammil, et al., 1981: 336).”

(48)

definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan definisi seperti dikutip oleh Lovitt (1989: 7) sebagai berikut ini:

“Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga

bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu

perkembangan integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non verbal.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun berhitung.

2.1.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Berbagai faktor dapat menyebabkan kesulitan belajar. Faktor penyebab kesulitan belajar sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi dapat dikemukakan beberapa penyebab sebagai berikut.

a. Keturunan

Keturunan dapat menyebabkan kesulitan belajar, tetapi tidak semua pakar PLB menyetujuinya. Hal ini karena laporan-laporan hasil penelitian yang berbeda-beda.

b. Otak tidak berfungsi

(49)

karena itu, anak-anak berkesulitan belajar sering disebut anak-anak yang mengalami kerusakan otak ringan. Tidak semua anak berkesulitan belajar mengalami kerusakan otak, tetapi sampai sekarang istilah ini masih sering digunakan, khususnya dalam bidang kedokteran.

c. Lingkungan dan malnutrisi (kurang gizi)

Tekanan lingkungan dan malnutrisi dapat menyebabkan kesulitan belajar. Tekanan lingkungan antara lain sikap negatif masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan keluarganya. Malnutrisi pada umur dini dapat mempengaruhi pusat saraf yang selanjutnya akan mempengaruhi belajar dan perkembangan anak.

d. Ketidakseimbangan biokimia

Banyak anak berkesulitan belajar yang tidak mempunyai masalah kelainan fungsi otak, tekanan lingkungan atau malnutrisi. Salah satu dugaan penyebab selain yang disebutkan ialah ketidakseimbangan biokimia dalam tubuh anak. Ketidakseimbangan biokimia lebih dikhususkan pada darah anak yang tidak dapat mempertahankan jumlah vitamin dalam tubuhnya. Pemberian vitamin dan diet telah diupayakan untuk mengatasi kesulitan belajar, namun ada yang berhasil dan ada yang tidak (Lerner dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 21-22).

(50)

keturunan dan kondisi fisik seseorang. Sedangkan faktor dari luar adalah pengaruh keluarga maupun lingkungan sekitar.

2.1.3.3 Jenis dan Komponen Kesulitan Belajar

Dikutip dari Kirk dan Galagher, 2008; Hamill dan Bavel, 1990 dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23), menjelaskan bahwa secara umum kesulitan belajar dapat dibedakan atas kesulitan belajar dalam perkembangan (developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik. Kesulitan belajar berhubungan dengan perkembangan psikologis anak menyimpang dari linguistik yang normal. Ketidakmampuan yang berhubungan dengan perkembangan biasanya mengalami kesulitan belajar, sedangkann kesulitan belajar tidak semuanya diasosiasikan dengan masalah kemampuan akademik. Misalnya, ada anak berkesulitan belajar dengan kelainan persepsi motorik tidak dapat membaca. Kesulitan belajar akademik merupakan kondisi-kondisi yang secara signifikan terdapat pada proses belajar (1) membaca; (2) menulis; (3) Matematika. Ketidakmampuan tersebut terdapat pada anak-anak yang belajar di sekolah dengan pencapaian hasil belajar di bawah kemampuan akademik yang sebenarnya. Kesulitan belajar akademik dalam membaca dikenal dengan istilah disleksia, menulis adalah

disgrafia, dan berhitung adalah Diskalkulia.

(51)

Walaupun kita tidak tahu hubungannya, perbedaan antara ketiga jenis kesulitan belajar ini akan membantu kita dalam menentukan penyebab kesulitan belajar (Kirk dan Galagher dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 23) sebagai contoh, seorang anak menunjukkan ketidakmampuan akademik. Ia kurang dalam Matematika, membaca, dan menulis. Ia sulit belajar Matematika dengan metode yang digunakan pada anak-anak yang bersekolah di sekolah umum atau sekolah inklusi. Setelah kesulitan belajar akademik diketahui, perlu dicari faktor-faktor penyebab lain yang berhubungan dengan perkembangan anak tersebut. Jika kesulitan belajar bukan karena faktor dalam diri anak (tunagrahita atau kelainan perilaku yang cukup berat) maka perlu dicari penyebab lain.

Penyebab lain ialah perhatian, ingatan, dan bahasa. Jika didapati anak kurang dalam ingatan visual, guru dapat menggunakan kemampuan mendengar untuk mengajarkan Matematika atau bahasa. Sebaliknya jika anak kurang dalam kemampuan mendengar, guru dapat menggunakan kemampuan visual. Akan tetapi, bila anak mengalami kesulitan, baik pada kemampuan visual dan mendengar maka anak mengalami kesulitan belajar yang cukup berat. Kesulitan belajar biasanya berhubungan dengan perkembangan ganda (misalnya persepsi dan bahasa), dan kesemuanya akan menyebabkan kesulitan belajar akademik.

(52)

perkembangan anak. Beberapa komponen kesulitan belajar yang utama telah dikemukakan oleh Lovit dalam Runtukahu & Kandou (2014: 24-25) sebagai berikut.

a. Perhatian

Anak dikerumuni oleh banyak stimulus jika sedang belajar. Perhatian adalah kemampuannya untuk memilih stimulus (rasangan) dari sekian banyak stimulus ia dapat belajar. Kesulitan belajar terkait respons pada stimuli apa saja yang dihadapinya. Jika siswa tidak mampu memilih stimulus yang menunjang belajar, ia tidak tahan belajar dan tidak dapat memusatkan perhatian pada belajar.

b. Mengingat (memory)

Mengingat adalah kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah didengar, dilihat, dan dialami waktu belajar. Kesulitan belajar biasanya kurang atau tidak mampu dalam mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.

c. Persepsi

(53)

d. Berpikir

Kesulitan utama dalam operasi kognitif ialah adanya kelainan dalam berpikir, seperti pemecahan masalah, pembentukan konsep, dan asosiasi. Pemecahan masalah Matematika membutuhkan kemampuan membuat analisis dan sintesis, yaitu perilaku yang dapat membantu anak mengadakan respons atau beradaptasi dengan situasi baru. Pembentukan suatu konsep sangat tergantung pada kemampuan mangklasifikasikan objekdan peristiwa. Kelainan dalam berpikir juga berhubungan dengan kemampuan bahasa lisan.

e. Bahasa

Kelainan jenis ini sangat banyak ditemukan pada anak berkesulitan belajar yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat mengadakan respons terhadap suatu perintah atau pernyataan verbal seperti yang dilakukan anak-anak normal.

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) 2.1.4.1 Pengertian Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika disebut juga Diskalkulia (dyscalculis)

(54)

dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23) juga menjelaskan bahwa kesulitan belajar akademik dalam berhitung disebut Diskalkulia. Dari pendapat beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga Diskalkulia.

2.1.4.2 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Menurut Lerner dalam Mulyono (2012: 210-213) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar Matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, (8) Perfomance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.

a. Gangguan Hubungan Keruangan

Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan.

(55)

komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan. Adanya gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.

Untuk mempelajari Matematika, anak tidak cukup hanya menguasai konsep hubungan keruangan, tetapi juga berbagai konsep dasar yang lain. Ada empat macam konsep dasar yang harus dikuasai oleh anak pada saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adalah (1) konsep keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas, dan (4) konsep serbaneka (miscallaneous) (Boehm dalam Mulyono, 2012: 211).

b. Abnormalitas Persepsi Visual

(56)

anak dapat secara cepat mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya.

Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujursangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat garis yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar Matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.

c. Asosiasi Visual-Motor

Anak berkesulitan belajar Matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan

bilangannya “Satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru

memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “lima”, atau

sebaliknya, telah menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan

(57)

d. Perseverasi

Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi. Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu. Misalnya:

4 + 3 = 7 5 + 3 = 8 5 + 2 = 7 5 + 4 = 9 4 + 4 = 9 3 + 4 = 9

Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperlihatkan kaitannya dengan soal Matematika yang dihadapi.

e. Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol

Anak berkesulitan belajar Matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbolsimbol Matematika seperti +, -, =-, >-, <-, dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.

f. Gangguan Penghayatan Tubuh

(58)

merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagainya.

g. Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca

Matematika itu sendiri pada hakikatnya adalah simbolis (Johnson & Myklebust dalam Mulyono A, 2012: 213). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang Matematika. Soal Matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal metematika yang berbentuk cerita tertulis.

h. Skor PIQ Jauh Lebih Rendah dari pada Skor VIQ

Hasil tes intelegensi dengan menggunakan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar Matematika memiliki skor PIQ (Perfomance Intelligence Quotient)

(59)

mencakup (1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3) menyusun balok, (4) menyusun objek, dan (5) coding (Anastasi dalam Mulyono A, 2012: 213).

Rendahnya skor PIQ pada anak berkesulitan belajar Matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan adanya gangguan assosiasi visual-motor. 2.1.4.3 Kekeliruan Umum yang Dilakukan Oleh Anak Berkesulitan

Belajar Matematika

Guru perlu mengenal berbagai kesalahan umum yang dilakukan oleh anak dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi Matematika agar dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika. Beberapa kekeliruan umum tersebut menurut Lerner (dalam Mulyono, 2012: 213) adalah kekurangan pemahaman tentang (1) simbol, (2) nilai tempat, (3) perhitungan, (4) penggunaan proses yang keliru, dan (5) tulisan yang tidak terbaca.

a. Kekurangan Pemahaman tentang Simbol

Anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika kepada mereka disajikan soal-soal seperti 4 + 3 = …, atau 8 – 5 = …; tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal seperti 4 +

… = 7; 8 = … + 5; … + 3 = 6; atau … - 4 = 7; atau 8 - … = 5. Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol-simbol

(60)

dan sebagainya. Agar anak dapat menyelesaikan soal-soal Matematika, mereka harus lebih dahulu memahami simbol-simbol tersebut.

b. Nilai Tempat

Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya. Ketidakmampuan tentang nilai tempat akan semakin mempersulit anak jika kepada mereka dihadapkan pada lambang bilangan basis bukan sepuluh. Bagi anak yang tidak berkesulitan belajar pun anyak yang mengalami kesulitan untuk memahami lambang bilangan yang berbasis bukan bersepuluh. Oleh karena itu, banyak yang menyarankan agar pelajaran Matematika di SD lebih menekankan pada aritmatika atau berhitung yang dapat digunakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Ketidakpahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak-anak seperti berikut ini. Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan tersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup. c. Penggunaan Proses yang Keliru

Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:

1) Mempertukarkan simbol-simbol.

(61)

3) Semua digit ditambahkan bersama (alogaritma yang keliru dan tidak memperhatikan nilai tempat).

4) Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan nilai tempat.

5) Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan. d. Perhitungan

Ada anak yang belum mengenal dengan baik konsep perkalian tetapi mencoba menghafal perkalian tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan jika hafalannya salah. Daftar perkalian mungkin dapat membantu memperbaiki kekeliruan anak jika anak telah memahami konsep perkalian.

e. Tulisan yang Tidak Dapat Dibaca

Ada anak yang tidak dapat membaca tulisannya sendiri karena bentuk-bentuk hurufnya tidak tepat atau tidak lurus mengikuti garis. Akibatnya, anak banyak mengalami kekeliruan karena tidak mampu bagi membaca tulisannya sendiri.

(62)

2.1.5 Materi Pembagian

Pembagian sederhana dilakukan di bawah 100 dengan hasil dua angka dan satu angka. Menurut Supriadi (2013: 46), pembagian adalah konsep membagikan bilangan pada kelompok-kelompok yang diinginkan sehingga bilangan tersebut terbagi merata di setiap kelompok. Pembagian merupakan pengurangan yang berulang hingga habis (Heruman: 2010: 7). Sedangkan menurut Simanjuntak (2003: 130), membagi merupakan mengurang dengan pengurangan tetap. Pengurang yang tetap yang dimaksud adalah pembagi. Pengurangan merupakan salah satu dari empat operasi dasar Matematika, dan pada prinsipnya merupakan kebalikan dari operasi penjumlahan (Supriadi, 2013: 32). Dari pengertian beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembagian adalah pengurangan yang berulang hingga habis, dimana bilangan pengurangannya tetap. Standar kompetensi Matematika yang

digunakan dalam penelitian ini adalah standar kompetensi 1 “memahami dan

menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah” pada

kompetensi dasar 1.3 “melakukan operasi perkalian dan pembagian”. Berikut materi

pembagian pada kelas IV SD (Mustaqim dan Ary, 2008: 147).

a. Bagaimana cara membagi bilangan 20 dengan 5? Mari kita kurangi secara berulang.

(63)

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

20 : 5 = 4

Pembagian tersebut dinamakan pembagian tanpa sisa.

b. Bandingkan dengan pembagian bilangan 20 oleh bilangan 6 berikut ini. 20 – 6 = 14

14 – 6 = 8 8 – 6 = 2

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

20 : 6 = 3 (sisa 2)

Pembagian tersebut dinamakan pembagian bersisa. Hasil pembagian bersisa kita tuliskan sebagai berikut.

20 : 6 = 3 (sisa 2) = =

Bentuk tersebut dinamakan pecahan campuran.

2.2 Penelitian yang Relevan

2.2.1 Penelitian Alat peraga Matematika tentang Pembagian

(64)

digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development (R & D). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa alat peraga memiliki 5 ciri khas, yaitu menarik, bergradasi, auto-education, auto correction, dan kontekstual, yaitu dengan

rerata skor 3,7 dan masuk ke dalam kategori “Sangat baik”. Hasil tes siswa juga

menunjukkan perbedaan sebesar 90,4%. Perbedaan tersebut adalah hasil dari pretest

ke posttest setelah menjalani pendampingan menggunakan alat peraga kotak peraga perkalian dan pembagian. Perbedaan ini sebagai bukti yang mendukung bahwa alat peraga kotak perkalian dan pembagian layak digunakan.

Anastasia (2016) mengimplementasi alat peraga pembagian berbasis metode Montessori pada pembelajaran Matematika materi pembagian kelas II SD Kanisius Kenalan, Magelang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini berupa deskripsi pengimplementasian alat peraga pembagian berbasis metode Montessori pada pembelajaran Matematika. Dampak pengimplemensian alat peraga pembagian berbasis metode Montessori menunjukkan dampak yang positif, yaitu hasil belajar siswa yang baik, dengan rata-rata nilai tes 86, motivasi belajar siswa yang tinggi dengan rata-rata-rata-rata hasil angket 4.105 dan hasil observasi 81.24.

(65)

Charla (2015) menggunakan jenis penelitian Research and Development (R&D), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Anastasia (2016) menggunakan jenis penelitian kualitatif.

2.2.2 Penelitian Anak Diskalkulia

Berikut ini akan dipaparkan penelitian yang relevan mengenai anak Diskalkulia dari junal yang ditulis oleh Sony dan Dyah (2015). Penelitian tersebut berjudul Diary of Dyscalculia untuk anak berkesulitan belajar Matematika. Penelitian ini merancang dan menghasilkan media papan permainan pop up dengan nama Diary of Dyscalculia dengan mengembangkan prinsip PECS sehingga terdapat beberapa kartu-kartu gambar dengan tujuan mempermudah siswa dalam berkomunikasi dan mempelajari mata pelajaran Matematika. Selain karena alasan mudah dan murah,

board game merupakan salah satu jenis permainan konvensional yang memiliki beberapa keunggulan antara lain unsur fleksibel, interaktif sosial, rekreatif, serta edukasi yang dikemas dalam satu permainan. Desain sengaja menggunakan pop up

untuk mempermudah dalam menarik perhatian siswa serta untuk menggambarkan situasi yang lebih riil bagi siswa. Penggunaan kartu membantu siswa dalam memahami inti dari permainan dan membantu memahami konsep dasar materi yang diajarkan pada Matematika.

Layaknya perancangan media game berbasis digital, perancangan media

(66)

visual dan konsep penulis telah memenuhi standar yang mengacu pada selera pasar yaitu attractive and challenging. Seluruh konten pada board games mengacu pada konsep materi pelajaran Matematika yang diperoleh pada kelas dasar. Diary of Dyscalculia dapat dimainkan dengan lima cara berbeda yang disesuaikan dengan tujuan dasar pada setiap masing-masing permainan. Hal ini untuk memberikan variasi permainan serta mencegah kebosanan pada anak. Untuk kedepannya, soal-soal pada

Diary of Dyscalculia harus diperbanyak dan divariasikan sehingga bisa digunakan untuk jenjang materi yang lebih tinggi tingkat kesulitannya.

(67)

2.3 Kerangka Berpikir

Pengertian tentang anak berkesulitan belajar sangat diperlukan karena dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan adanya penggunaan istilah tersebut secara keliru. Banyak orang, termasuk sebagian guru, tidak dapat membedakan antara kesulitan belajar, lambat belajar, dan tuna grahita. Ketika peneliti mencari potensi dan masalah kebeberapa SD, sebagian besar kepala sekolah mengatakan banyak anak Diskalkulia di sekolah tersebut. Namun setelah peneliti memperjelas bahwa anak Diskalkulia merupakan anak berkebutuhan khusus, kepala sekolah dengan sigap

Bagan 2.1 Penelitian yang relevan

Merancang dan menghasilkan media papan permainan pop up dengan nama

Pengembangan alat peraga pembelajaran matematika SD untuk materi perkalian dan pembagian berbasis metode Montessori.

Anastasia (2016)

(68)

menepis pernyataan yang telah diucapkan. Tanpa memahami pengertian kesulitan belajar, akan sulit pula menentukan jumlah anak berkesulitan belajar. Sehingga akan sulit juga untuk membuat kebijakan pendidikan bagi mereka. Oleh karena itu, sebelum melakukan pembelajaran guru semestinya sudah menggolongkan anak-anak berkesulitan belajar menurut jenisnya. Setelah itu guru juga harus memahami karakteristik dan cara penanggulangannya. Anak-anak berkesulitan belajar Matematika memerlukan lebih banyak pengalaman dengan belajar prabilangan sebagai landasan belajar Matematika. Anak tidak dapat diharapkan melakukan penalaran abstrak tanpa perkembangan dan pengalaman prasyarat. Oleh karena itu, guru harus menyadari taraf perkembangan anak. Anak Diskalkulia memerlukan pendekatan belajar tuntas tentang berbagai konsep melalui pembelajaran langsung yang terstruktur dan terancang secara sistematis.

(69)

aktivitas yang bisa membangun pemikirannya itu dengan menciptakan lingkungan anak yang sesungguhnya. Anak diberi kebebasan dalam beraktivitas, namun juga bertanggung jawab atas aktivitasnya. Alat peraga yang digunakan disesuaikan dengan anak, dari segi ukuran, warna, dan tekstur permukaan yang lembut. Alat peraga yang digunakan ini mengandung prinsip menarik, bergradasi rangsangan indera, memiliki pendali kesalahan (auto correction), memungkinkan anak belajar secara mandiri

(auto education), dan kontekstual.

Peneliti memandang perlu melakukan penelitian dan pengembangan ini karena hendak mengatasi minimnya alat peraga yang digunakan guru untuk anak Diskalkulia di Sekolah Dasar. Penelitian ini juga dirasa perlu karena alat peraga Matematika ini mengadopsi ciri-ciri alat peraga yang terdapat pada pendidikan Montessori yang sangat cocok untuk digunakan ke anak Diskalkulia. Selain itu, alat peraga yang dikembangkan akan mempunyai kualitas yang sangat baik.

2.4 Pertanyaan Penelitian

2.4.1 Bagaimana pengembangan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia di SD N Mertelu?

(70)

2.4.3 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia di SD N Mertelu menurut dosen ahli Psikologi anak?

2.4.4 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia di SD N Mertelu menurut guru kelas IV?

2.4.5 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia di SD N Mertelu menurut kepala sekolah? 2.4.6 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30

(71)

52 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini menjabarkan mengenai (1) jenis penelitian, (2) setting penelitian, (3) prosedur pengembangan, (4) uji validitas produk, (5) teknik pengumpulan data, (6) instrumen penelitian, dan (7) teknik analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

Gambar

Gambar 1.3 Kartu soal
Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)
Tabel 3.3 Garis besar pertanyaan untuk anak Diskalkulia di kelas IV.
Tabel 3.5 Rambu-rambu pengamatan terhadap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuat aplikasi sebagai sarana media pembelajaran untuk pedoman bagi orang muslim, sehingga mempermudah menyajikan informasi berupa interaktif dalam

Panarub Industry Tangerang, yaitu dengan koefisien korelasi sebesar 0.552 dengan α = 0.05 dengan demikian kontribusi variabel kepemimpinan kewirausahaan dan

Fidel Castro terpaksa turun dari jabatannya sebagai presiden karena mengalami sakit. Dan posisinya pun akhirnya digantikan oleh Raul Castro yaitu adik

Maksud disusunnya rencana strategis Kecamatan Sasak Ranah Pasisie ini adalah memberikan arah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan

GAYA HIDUP SEHAT DENGAN OLAHRAGA...

Penelitian ini merupakan penelitian survei terhadap kondisi riil guru-guru PAI SD, guna memformulasikan peta guru PAI SD di kabupaten Bantul, yang dilakukan pada bulan

Sedangkan CAR di BPR BKK Ungaran awal merger minus 2,03 persen hal tersebut terjadi karena modal habis untuk menutup kerugian karena kredit macet dan kekurangan PPAP, tetapi

Surat Izin Usaha Kelautan yang selanjutnya disingkat SIUK adalah izin tertulis yang harus dimiliki oleh perorangan atau badan untuk melakukan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan