LAJU KOROSI STAINLESS STEEL 304 PADA LARUTAN
H
2SO
4TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknik Mesin
disusun oleh :
Paulus Ronny Permana Setyawan
NIM : 035214019
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
A FINAL PROJECT
Submit for The Partial Fulfillment of Requirements to Obtain the Sarjana Technic Degree
In Mechanical Engineering
By :
Paulus Ronny Permana Setyawan
Student number : 035214019
MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT
SCIENCE & TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2008
Karya ini kupersembahkan untuk :
TUHAN-KU YESUS KRISTUS
PAPA & MAMA
& seluruh keluargaku
” HI’ 04 UPN, Psi’ 04 USD, TE’ 05 USD “
Dosen2 Teknik Mesin FST USD
SUKARJO CLUB HOUSE
(kax Nando, koko Drew, mas Dendra, mas Guntur, om Wendi,
Genthong, Erwin, Koreri Komenity dkk)
TUGU ASRI FAMILY
(Ma’ El, Mas Wisnu, Mba Lusi, semuanya…popi juga ikut).
Teman2 seperjuangan TM’ 03, I’ ll miss you all…, CAM’ s, Temen2
Mahesa Kost, Illusion Basketball Team, Burjo Komeng, Team Football
FST, KMTM, Progresif_net, Temen2 UPPC, Kontrakan’ 04, Ariko Keyna
Café, Anak2 DMKC, Miu, Alm. Peppy, Alm. Bubba, Alm. Dingdong,
Almamater.
Jadilah Garam dan Terang Dunia....
inginkan dalam hidup ini, sungguh menakjuban
bagaimana peluang-peluang akan muncul bagi anda “
* JOHN M. GODDARD *
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Juli 2008
Penulis
Paulus Ronny Permana Setyawan
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Paulus Ronny Permana Setyawan
Nomor Mahasiswa : 035214019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Univesitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
LAJU KOROSI STAINLESS STEEL 304 PADA LARUTAN H2SO4
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikanny di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 17 Juli 2008 Yang menyatakan
{Paulus Ronny Permana Setyawan)
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju korosi Baja Tahan Karat (Stainless Steel) 304 yang telah mengalami pengelasan dan yang tidak mengalami pengelasan dalam larutan H2SO4 pH 0,2 dan 0,5. Hal ini untuk mendekatkan pada
penggunaan secara nyata yaitu sebagai bahan dasar tabung Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Prad Action).
Spesimen yang telah mengalami pengelasan TIG (pengelasan berperisai tungsten) dibersihkan dari kerak kemudian diukur, ditimbang dan dicatat berat awalnya. Selanjutnya spesimen dicelup ke dalam larutan H2SO4 pH 0,5 pada suhu
700C selama 6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap harinya selama 16 minggu. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada spesimen yang lainnya, namun dengan pH 0,2.
Hasil penelitian menunjukan perbedaan yang tidak signifikan, antara laju korosi stainless steel yang telah mengalami pengelasan (0,4276619 gram/dm2/bulan) dengan stainless steel yang tidak mengalami pengelasan (0,5036259 gram/dm2/bulan).
hingga terselesaikannya penyusunan Tugas Akhir ini, dengan judul “Laju Korosi Stainless Steel 304 Pada Larutan H2SO4”. Adapun penyusunan tugas akhir ini
merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Sains & Teknologi Universitas Sanata Dharma. Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis akan meneliti laju korosi baja tahan karat (Stainless Steel) 304 dalam larutan H2SO4 pH 0,2 dan pH 0,5 pada suhu 70oC
selama 6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap harinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih atas segala bantuan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan bimbingan-Nya selama pengerjaan tugas ini.
2. Ir. Greg. Heliarko, S.J., S.S., B.S.T., M.A., M.Sc Dekan Fakultas Sains & Teknologi Universitas Sanata Dharma.
3. Budi Sugiharto, S.T., M.T. Ketua Program Studi Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma.
4. Budi Setyahandana, S.T., M.T. Dosen pembimbing utama penyusunan Tugas Akhir.
5. Seluruh staf dan laboran jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma.
6. Seluruh staf dan laboran jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan, demi kesempuranan tugas ini penulis dengan kesungguhan hati dan lapang dada menerima kritik dan saran yang bersifat membangun guna lebih sempurnanya tugas akhir ini. Akhir kata semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Terima kasih.
Yogyakarta, 17 Juli 2008
Penulis
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL (INGGRIS) ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
MOTTO ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vii
PERNYATAANPUBLIKASI... viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4
2.1. Klasifikasi Besi dan Baja ... 4
2.2. Baja Tahan Karat (Stainless Steel)... 11
2.3. Korosi Pada Stainless Steel... 16
2.4. Pengelasan Berperisai Tungsten (TIG) ... 26
BAB III METODE PENELITIAN... 28
3.1. Bagan Alir penelitian ... 28
3.2. Bahan dan Peralatan... 29
Tabel 2.1 Tabel perbandingan sifat stainless steel ... 15
Tabel 4.1 Data perubahan berat spesimen I ... 31
Tabel 4.2. Tabel Laju korosi rata-rata spesimen I... 40
Tabel 4.3. Laju korosi total spesimen I ... 41
Tabel 4.4 Data perubahan berat benda uji II ... 44
Tabel 4.5 Tabel Laju korosi rata-rata spesimen II ... 45
Tabel 4.6. Laju korosi total spesimen II... 46
Tabel 4.7 Data perubahan berat benda uji III... 50
Tabel 4.8 Tabel Laju korosi rata-rata spesimen III. ... 51
Tabel 4.9. Laju korosi total spesimen III ... 52
Tabel 4.10 Data perubahan berat benda uji IV... 56
Tabel 4.11 Tabel laju korosi rata-rata spesimen IV ... 57
Tabel 4.12. Laju korosi total spesimen IV ... 58
Tabel 4.13 Data perubahan berat benda uji V... 62
Tabel 4.14 Tabel laju korosi rata-rata spesimen V... 63
Tabel 4.15 Laju korosi total spesimen V... 64
Tabel 4.16 Tabel laju korosi rata-rata per bulan spesimen I, II dan III... 65
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur mikro baja karbon ... 10
Gambar 2.2 Pembentukan spontan lapisan oksida... 17
Gambar 2.3 Korosi Uniform ... 18
Gambar 2.4 Ilustrasi pitting corrosion pada SS ... 20
Gambar 2.5 Skema proses kimia pada saat pitting corrosion ... 21
Gambar 2.6 Ilustrasi Crevice Corrosion ... 22
Gambar 2.7 Ilustrasi stress cracking corrosion ... 23
Gambar 2.8 Ilustrasi korosi batas butir pada SS ... 25
Gambar 2.9 Ilustrasi galvanic corrosion ... 26
Gambar 2.10 Alat Pengelasan TIG ... 27
Gambar 4.3 Benda Uji II setelah perendaman selama 16 minggu... 36
Gambar 4.7 Benda uji II setelah perendaman selama 16 minggu... 43
Gambar 4.8 Benda uji III mula-mula ... 47
Gambar 4.9 Benda uji III setelah perendamaan selama2 minggu... 48
Gambar 4.10 Benda uji III setelah perendaman selama 16 minggu ... 48
Gambar 4.11 Benda uji IV mula-mula... 54
Gambar 4.12 Benda uji IV setelah perendaman selama 2 minggu ... 54
Gambar 4.13 Benda uji IV setelah perendaman selama 16 minggu ... 55
Gambar 4.14 Benda uji V mula-mula ... 59
Gambar 4.15 Benda uji V setelah perendaman selama 2 minggu ... 60
Gambar 4.16 Benda uji V setelah perendaman selama 16 minggu ... 60
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Grafik laju korosi rata-rata spesimen I... 40
Grafik 4.2 Grafik laju korosi total spesimen I ... 41
Grafik 4.3 Grafik laju korosi rata-rata spesimen II ... 45
Grafik 4.4 Grafik laju korosi total spesimen II... 46
Grafik 4.5 Grafik laju korosi rata-rata spesimen III ... 51
Grafik 4.6 Grafik laju korosi total spesimen III ... 52
Grafik 4.7 Grafik laju korosi rata-rata spesimen IV... 57
Grafik 4.8 Grafik laju korosi total spesimen IV ... 58
Grafik 4.9 Grafik laju korosi rata-rata spesimen V ... 63
Grafik 4.10 Grafik laju korosi total spesimen V ... 64
Grafik 4.11 Grafik perbandingan laju korosi spesimen I, II dan III... 65
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan jaman dan teknologi mempengaruhi keanekaragaman kebutuhan manusia. Penerapan teknologi di negara-negara industri berkembang dengan pesat. Hampir semua peralatan dan mesin-mesin industri serta komponen-komponennya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui kekuatan maksimum dan umur pakainya. Hal ini membutuhkan waktu penelitian dengan ketelitian yang tinggi. Serangkaian proses diperlukan untuk mendapatkan baja dengan sifat mekanik yang diinginkan, misalnya : keuletan, ketangguhan, kekerasan, ketahanan terhadap korosi dan lain-lain.
Dengan pesatnya teknologi, manfaat nuklir yang dahulunya dipakai sebagai senjata perang sekarang banyak dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Pemanfaatan teknologi nuklir memiliki banyak keunggulan oleh adanya sifat radiasi yang mudah dideteksi sampai kadar yang sangat rendah, berdaya tembus besar dan dapat dikendalikan baik arah, luas berkas maupun energi partikelnya.
Baja tahan karat (stainless steel) merupakan bahan yang memiliki banyak keunggulan terutama mengenai ketangguhan, keuletan dan ketahanan terhadap korosi. Karena keunggulan tesebut, dari tahun ke tahun penggunaan stainless steel semakin meningkat.
2
Baja Tahan Karat (Stainless steel) 304 sangat cocok untuk pembuatan tabung reaksi untuk reaksi-reaksi nuklir. Contoh penggunaan Stainless steel 304 adalah tabung Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Prad Action).
Dalam tugas akhir ini penulis melakukan penelitian pengaruh Larutan H2SO4 dengan pH 0,2 dan 0,5 terhadap laju korosi Stainless Steel
304 yang telah mengalami pengelasan TIG dan yang tidak mengalami pengelasan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju korosi Stainless Steel 304 yang telah mengalami pengelasan dan tidak mengalami pengelasan yang direndam dalam lingkungan H2SO4 dengan pH 0,2 dan
0,5.
1.3 Batasan Masalah
Judul dari Tugas Akhir yang penulis susun sebenarnya bisa mencakup permasalahan yang luas. Maka agar pembahasannya tidak terlalu banyak dan lebih terarah, maka penulis memberikan batasan permasalahan sebagai berikut:
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah pelat Stainless Steel Austenit 304 yang telah mengalami pengelasan TIG dan tidak mengalami pengelasan.
2. Proses pembuatan larutan H2SO4 dengan pH 0,2 dan 0,5 dengan
3. Benda kerja yang akan diteliti dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi larutan H2SO4 masing-masing dengan pH 0,2 dan 0,5.
Kemudian tabung ditutup supaya gas dari larutan tidak mengkorosi lingkungan sekitar.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan Tugas Akhir ini akan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu :
1. Bab I membahas mengenai latar belakang penelitian, batasan masalah,
tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab II membahas mengenai tinjauan pustaka yang berisi klasifikasi
besi dan baja, sifat-sifat baja, pengaruh unsur spesifik pada baja, struktur mikro besi dan baja, jenis-jenis stainless steel, jenis-jenis korosi pada stainless steel, dan pengelasan TIG yang dilakukan.
3. Bab III membahas mengenai metode penelitian yang berisi skema
penelitian, bahan yang digunakan, alat-alat yang digunakan.
4. Bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang
berisi data dan perhitungan laju korosi benda uji.
5. Bab V membahas mengenai kesimpulan yang diambil dari perhitungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Besi dan Baja
A. Besi
Besi merupakan elemen logam penyusun utama pada baja.
Pada suhu 1539ºC, besi cair mulai membeku. Pada pendinginan
selanjutnya, larutan padat menunjukkan titik henti pada 1400ºC dan
pada suhu ini besi mengalami perubahan susunan kristal. Besi pada
suhu 1539 – 1400ºC disebut besi dengan susunan δ. Besi dengan
suhu 1400 – 910ºC disebut dengan susunan ∂. Besi dengan suhu 910
– 768 ºC disebut besi β. Besi dengan suhu 768ºC sampai suhu kamar
disebut besi α..
B. Baja
Untuk mendapatkan baja, harus dilakukan serangkaian proses
peleburan bijih besi yang merupakan hasil tambang yang dilebur
dalam dapur tinggi untuk mendapatkan besi mentah (pig iron). Besi
mentah hasil dapur tinggi masih mengandung unsur-unsur C, Si, Mn,
P dan S dengan jumlah yang cukup besar. Kandungan-kandungan
unsur tersebut perlu dikurangi agar diperoleh baja yang sesuai
dengan keinginan. Proses pembuatan baja dapat diartikan sebagai
proses yang bertujuan untuk mengurangi kadar C, Si, Mn, P, dan S
dari besi mentah lewat proses oksidasi peleburan.
Berdasarkan kadar karbon baja dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Baja karbon rendah (<0,3%)
Semakin sedikit unsur karbon yang ada maka semakin mendekati
sifat besi murni. Baja karbon rendah ditinjau dari kekuatannya
memiliki sifat sedang, liat, serta tangguh. Baja ini mudah di
mesin dan mampu las.
b. Baja karbon sedang (0,3% - 0,6%)
Baja ini lebih keras dari baja karbon rendah, dan sifatnya juga
lebih kuat dan tangguh tetapi kurang liat. Sifat baja karbon
sedang dapat diubah dengan cara heat treatment.
Pembentukannya dengan cara ditempa.
c. Baja karbon tinggi (0,6% - 1,4%)
Memiliki sifat lebih keras tapi kurang liat dan tangguh. Maka,
untuk mempertinggi ketahanan terhadap aus dilakukan dengan
heat treatment dan untuk mengurangi sifat getasnya dengan cara
di temper. Baja jenis ini dipergunakan untuk pembuatan pegas,
alat-alat pertanian dan lain-lain.
AISI (American Iron and Steel Institute) dan SAE (Society of
Automotive Engineers) memberi kode untuk baja karbon biasa
dengan seri 10xx. Dua angka terakhir menunjukan kandungan
6
berarti baja karbon dengan kandungan C sebesar 0,50 % berat.
Seri 1080 berarti baja karbon dengan kandungan karbon sebesar
0,80 % berat.
B.1 Sifat-Sifat Baja
1. Malleability / dapat ditempa
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat dengan mudah
dibentuk, baik dalam keadaan dingin maupun panas tanpa terjadi
retak (misal menggunakan hammer / palu atau dirol).
2. Ductility / ulet
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat dibentuk dengan
tarikan tanpa menunjukkan gejala putus.
3. Toughness / ketangguhan
Adalah kemampuan suatu logam untuk dibengkokkan beberapa
kali tanpa mengalami retak.
4. Hardness / kekerasan
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat menahan penetrasi
logam lain
5. Strength / kekuatan
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat menahan gaya yang
bekerja atau kemampuan untuk menahan deformasi
6. Weldability / mampu las
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat mudah dilas, baik
7. Corrosion resistance / tahan korosi
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat menahan korosi
atau karat akibat kelembaban udara, zat-zat kimia, dan lain-lain.
8. Machinability / mampu mesin
Adalah kemampuan suatu logam untuk dapat dikerjakan dengan
mesin (misal mesin bubut, frais, dan lain-lain).
9. Elasticity / kelenturan
Adalah kemampuan suatu logam untuk kembali ke bentuk
semula tanpa mengalami deformasi plastis yang permanen.
10. Britlleness / kerapuhan
Adalah sifat logam yang mudah retak dan pecah. Sifat ini
berhubungan dengan kekerasan dan merupakan kebalikan dari
ductility.
B.2 Pengaruh Spesifik Unsur Paduan pada Baja
a. Unsur paduan Sulfur ( S ) dan Phospor ( P )
Semua baja mengandung unsur S dan P. Unsur-unsur S dan P ini
sebagian berasal dari kotoran terbawah biji besi sebelum diolah
dalam dapur tinggi. Kadar S dan P harus dibuat sekecil mungkin
karena unsur S dan P akan menurunkan kualitas dari baja. Kadar
S dalam jumlah banyak menjadikan baja rapuh pada suhu tinggi
(panas) sedangkan unsur P menjadikan baja rapuh pada suhu
rendah (dingin). Kadang-kadang unsur P perlu ditambahkan pada
8
mendapatkan ukuran tatal lebih kecil ketika dikerjakan dengan
mesin otomatis.
b. Unsur paduan Mangan ( Mn )
Semua baja mengandung mangan, karena mangan sangat
diperlukan dalam pembuatan baja. Kadar mangan lebih kecil dari
0,6 % tidak dianggap sebagai unsur paduan karena tidak
mempengaruhi sifat baja secara mencolok. Unsur mangan dalam
proses pembuatan baja berfungsi sebagai deoksider (pengikat O2)
sehingga proses peleburan dapat berlangsung secara baik. Kadar
mangan rendah dapat juga menurunkan kecepatan pendinginan
kritis.
c. Unsur paduan Nikel ( Ni )
Unsur nikel memberi pengaruh yang sama, yaitu menurunkan
suhu kritis dan kecepatan pendinginan kritis. Apabila kadar Ni
cukup banyak maka akan menjadikan baja austenit pada suhu
kamar. Ni membuat struktur butiran halus sehingga menaikan
keuletan baja.
d. Unsur pada Silikon ( Si )
Unsur silikon selalu terdapat dalam baja. Unsur silikon
menurunkan laju perkembangan gas sehingga mengurangi sifat
berpori baja. Silikon akan menaikkan tegangan tarik baja dan
menurunkan pendinginan kritis. Unsur silikon harus selalu ada
dikarenakan akan memberikan sifat mampu las dan mampu
tempa pada baja.
e. Unsur paduan Cromium (Cr)
Unsur cromium dapat memindahkan titik eutektik ke kiri.
Cromium dan karbon akan membentuk karbida yang akan
menaikan kekerasan baja. Cromium akan menaikan kemampuan
potong, kekerasan dan daya tahan alat perkakas terhadap korosi,
tetapi menurunkan keuletan. Cromium akan menurunkan
kecepatan pendinginan kritis dan menaikan suhu kritis baja.
f. Unsur paduan Cobalt (Co)
Pada umumnya unsur cobalt digunakan bersama-sama unsur
paduan lainya. Cobalt menaikan daya tahan aus dan menghalangi
pertumbuhan butiran.
g. Unsur paduan Tungsten (W), Molibdenum (Mo), Vanadium (V)
Seperti Cr, unsur-unsur ini akan membentuk karbida dalam baja
yang akan menaikan kekerasan, kemampuan potong dan daya
tahan aus baja. Unsur-unsur ini juga memberikan daya tahan
panas pada alat perkakas yang bekerja dengan kecepatan tinggi.
Unsur-unsur ini tidak begitu mempengaruhi kecepatan
pendinginan baja tetapi menaikan titik eutektik baja. Unsur
paduan ini terutama digunakan pada pahat baja HSS (High Speed
10
h. Karbon (C)
Karbon merupakan unsur utama pada baja. Dengan Fe maka akan
membentuk Fe3C (sementit). Peningkatan kadar karbon akan
menambah kekerasan baja. Di atas 0,83 % C, kekuatan baja akan
turun, meskipun kekerasan baja bertambah.
Gambar 2.1 Diagram struktur mikro baja karbon
( Sumber : Tata Surdia, Shinroku Saito, Pengetahuan Bahan Teknik hal 71 )
Perubahan-perubahan yang diakibatkan perbedaan kadar
karbon tersaji pada Gambar 2.1. Dengan naiknya kadar karbon (%C),
maka bertambah besar pula noda flek hitam (flek perlit), akibat dari
itu berkurang pula flek putih (ferrit = besi murni). Pada saat kadar
karbon mencapai 0,85% maka besi dalam keadaan jenuh terhadap
karbon. Struktur seperti itu disebut perlit lamellar, yaitu campuran
yang sangat halus dan berbentuk batang-batang kristal. Campuran
kristal tersebut terdiri dari ferrit dan sementit. Apabila kadar karbon
nilainya bertambah besar, maka sementit akan berkurang dan
2.2. Baja Tahan Karat (Stainless Steel)
Stainless Steel (SS) adalah paduan besi dengan kadar kromium
(Cr) minimal 12 %. Komposisi ini membentuk protective layer (lapisan
pelindung anti korosi) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap
krom yang terjadi secara spontan. Tentunya harus dibedakan mekanisme
protective layer ini bila dibandingkan dengan baja yang dilindungi dengan
coating (misal seng dan cadmium) ataupun cat.
Meskipun seluruh kategori stainless steel didasarkan pada
kandungan krom, namun unsur paduan lainnya dapat ditambahkan untuk
memperbaiki sifat-sifat stainless steel sesuai penggunaannya. Kategori
stainless steel berbeda dengan baja lain yang didasarkan pada prosentase
kadar karbon, tetapi didasarkan pada struktur metalurginya.
Dalam penggunaanya, stainless steel selain dibutuhkan sebagai
logam yang tahan terhadap korosi juga dibutuhkan sifat tambahan guna
meningkatkan sifat mekaniknya. Peningkatan sifat mekanik ini tergantung
pada sejumlah unsur yang terkandung dalam paduan stainless steel.
Berikut ini akan dijelaskan kegunaan unsur-unsur tambahan dalam
stainless steel :
1. Cromium (Cr), berguna untuk membentuk protective layer (lapisan
pelindung) untuk melindungi dari korosi.
2. Nikel (Ni), sebagai penstabil austenit, meningkatkan sifat mekanik,
12
3. Mangan (Mn), untuk membantu fungsi Ni
4. Molybdenum (Mo), sebagai penstabil lapisan pelindung dalam
lingkungan yang mengandung banyak ion klorida (Cl) seperti pada
lingkungan air laut (NaCl).
5. Karbon (C), untuk meningkatkan kemampuan dapat dikeraskan
(hardenability) dari material stainless steel.
6. Nitrogen (N), dapat membentuk duplex stainless steel dengan
meningkatkan terbentuknya austenit sehingga meningkatkan sifat
mekanik stainless steel.
Ada lima golongan utama stainless steel seperti Austenit, Ferrit,
Martensit, Duplex (fasa ganda) dan Precipitation Hardening stainless steel:
a. Austenit
Stainless steel austenit mengandung sedikitnya 0,15% karbon,
18% krom dan 8% nikel (grade standar untuk 304), oleh karena itu
biasa disebut baja delapan belas delapan. Ketahanan korosi stainless
steel ini baik, mampu bentuk dan mampu lasnya juga baik, maka
banyak dipakai dalam industri kimia. Selain itu juga banyak digunakan
pada bahan konstruksi, perabot dapur, turbin, mesin jet, komponen
berputar, konstruksi kapal, reaktor nuklir, dan sebagainya.
Austenit cocok juga untuk penggunaan pada temperatur rendah,
disebabkan unsur nikel membuat stainless steel tidak menjadi rapuh
baja ini memiliki kekurangan antara lain korosi antar butir, korosi
lubang/crevice dan retakan korosi regangan.
b. Ferrit
Stainless steel jenis ini mengandung 16-18% krom. Ketahanan
korosi tidak begitu istimewa dan relatif lebih sulit di
fabrikasi/machining.
Baja tahan karat ini biasanya dibentuk menjadi pelat tipis sebagai
bahan untuk bagian dalam suatu konstruksi, peralatan dapur,
komponen trim mobil bagian dalam, dan lain-lain. Pada lingkungan
korosi yang ringan tidak terjadi karat, tetapi bila berada pada
air/larutan netral dapat terjadi korosi lubang/crevice bila terdapat
sedikit ion klor, atau bila ada struktur berbentuk kervis.
Karena baja ini mengandung ≥ 15% Cr maka bersifat getas pada
457 °C karena pemanasan yang lama pada 600-650 °C terjadi
kegetasan, sehingga perlu dihindari penggunaan pada daerah
temperatur ini.
c. Martensit
Stainless Steel jenis ini memiliki 12-13% Cr dan 0,1-0,3% C.
Kadar Cr sebanyak ini adalah batas terendah untuk ketahanan terhadap
asam, karena itu baja ini sukar berkarat di udara.
Sampai 500 °C baja ini dapat dipakai karena memiliki ketahanan
terhadap panas yang baik, dan dengan pemanasan dan penemperan
14
dipakai pada alat pemotong dan perkakas. Kelebihan dari stainless
steel jenis ini, jika dibutuhkan kekuatan yang lebih tinggi maka dapat
dihardening.
d. Duplex Stainless Steel (Baja Tahan Karat Fasa Ganda)
Stainless steel jenis ini memiliki mikrostruktur ganda, yaitu
campuran antara Austenit dan Ferrit. Duplex stainless steel memiliki
kombinasi sifat tahan korosi dan temperatur relatif tinggi atau secara
khusus tahan terhadap stress corrosion cracking. Umumnya baja ini
mempunyai komposisi 12% Cr + 5% Ni + 1,5% Mo + 0,03% C.
Dalam baja tahan fasa ganda, kegetasan mampu las dan
kekurangan lainnya dari baja krom tinggi diperbaiki dengan
penambahan Ni dan N. Kekurangan baja tahan karat ini adalah sifat
pengerjaan panasnya yang kurang baik. Baja tahan karat fasa ganda
mempunyai sifat-sifat bahwa sifat austenit dan ferit masing-masing
memberikan pengaruh saling menutupi. Sebagai contoh, tegangan
mulur yang rendah dari sifat austenit diperbaiki dengan adanya sifat
ferit. Dan keuletan rendah dari sifat ferit diperbaiki oleh sifat austenit.
Ketahanan korosi pada umumnya melebihi baja 18-8, terutama baja
yang memiliki kadar Cr tinggi dan mengandung Mo sangat baik dalam
ketahanan korosi lubangnya sehingga baja ini dapat dipakai untuk
penukar kalor yang menggunakan air laut. Meskipun kemampuan
stress corrosion cracking-nya tidak sebaik Ferrit tetapi ketangguhannya
Austenit. Sementara kekuatannya lebih baik dibanding Austenit (yang
di annealing) kira-kira 2 kali lipat. Sebagai tambahan, Duplex SS
ketahanan korosinya sedikit lebih baik dibanding 304 tetapi ketahanan
terhadap pitting corrosion jauh lebih baik. Ketangguhan Duplex SS
akan menurun pada temperatur dibawah – 50° C dan diatas 300° C.
e. Precipitation Hardening Steel
Precipitation Hardening Steel adalah stainless steel yang keras
dan kuat akibat dari dibentuknya suatu presipitat (endapan) dalam
struktur mikro logam. Sehingga gerakan deformasi menjadi terhambat
dan memperkuat material stainless steel. Pembentukan ini disebabkan
oleh penambahan unsur tembaga (Cu), titanium (Ti), Niobium (Nb)
dan alumunium (Al). Proses penguatan umumnya terjadi saat
dilakukan pengerjaan dingin (Cold work).
Perbandingan sifat mekanik berbagai jenis stainless steel dapat
dilihat pada Tabel 2.1
Aust enit ic Tdk Sgt Tinggi Cold Work Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi
Duplex Ya Sedang Tidak ada Sedang Rendah Sedang Tinggi
Ferrit ic Ya Sedang Tidak ada Sedang Tinggi Rendah Rendah
Mart ensit ic Ya Sedang Q & T Rendah Rendah Rendah Rendah
Tabel 2.1 Tabel perbandingan sifat mekanik berbagai jenis stainless steel
16
2.3 Korosi Pada Stainless Steel
Stainless Steel (SS) secara mendasar bukanlah logam mulia seperti
halnya emas (Au) & Platina (Pt) yang hampir tidak mengalami korosi
karena pengaruh kondisi lingkungan, sementara SS masih mengalami
korosi. Daya tahan korosi SS disebabkan lapisan yang tidak terlihat
(invisible layer) yang terjadi akibat oksidasi SS dengan oksigen yang
akhirnya membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer).
Sumber oksigen bisa berasal dari udara maupun air. Material lain yang
memiliki sifat sejenis antara lain Titanium (Ti) dan juga Aluminium (Al).
Secara umum protective layer terbentuk dari reaksi kromium +
oksigen secara spontan membentuk kromiumoksida. Jika lapisan oksida
stainless steel tergores/terkelupas, maka protective layer akan segera
terbentuk secara spontan, tentunya jika kondisi lingkungan cukup
mengandung oksigen. Walaupun demikian kondisi lingkungan tetap
menjadi penyebab kerusakan protective layer tersebut. Pada keadaan
dimana protective layer tidak dapat lagi terbentuk, maka korosi akan
terjadi. Banyak media yang dapat menjadi penyebab korosi, seperti halnya
udara, cairan/larutan yang bersifat asam/basa, gas-gas proses (misal gas
asap hasil buangan ruang bakar atau reaksi kimia lainnya), logam yang
Gambar 2.2 Pembentukan spontan lapisan oksida
Meskipun alasan utama penggunaan stainless steel adalah
ketahanan korosinya, tetapi pemilihan stainless steel yang tepat mesti
disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula. Pada umumnya, korosi
menyebabkan beberapa masalah seperti :
1. Terbentuknya lubang-lubang kecil/halus pada tangki dan pipa-pipa
sehingga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.
2. Menurunnya kekuatan material disebabkan penyusutan/pengurangan
ketebalan/volume material sehingga 'strength' juga menurun, akibatnya
dapat terjadi retak, bengkok, patah dan sebagainya.
3. Penampilan permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan
kerak karat ataupun lubang-lubang
4. Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau
material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses
18
Secara umum korosi pada stainless steel dapat dikategorikan sbb. :
a. Uniform Corrosion
Uniform corrosion terjadi disebabkan rusaknya seluruh atau
sebagian protective layer pada SS sehingga SS secara merata akan
berkurang/aus terlihat pada gambar 2.4. Korosi ini terjadi umumnya
disebabkan oleh cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas.
Asam hidroklorit dan asam hidrofluor adalah lingkungan yang perlu
dihindari SS apalagi dikombinasikan dengan temperatur serta
konsentrasi yang cukup tinggi.
b. Pitting Corrosion
Korosi berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum, dimana
dimulai dari korosi lokal (bukan seperti uniform corrosion). Pitting
corrosion ini awalnya terlihat kecil dipermukaan SS tetapi semakin
membesar pada bagian dalam SS yang tersaji pada gambar 2.5. Korosi
ini terjadi pada beberapa kondisi pada lingkungan dengan pH rendah,
temperature moderat, serta konsentrasi klorida yang cukup tinggi
(misal NaCl atau garam di air laut). Pada konsentrasi klorida yang
cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida merusak protective layer pada
permukaan SS terutama permukaan yang cacat. Timbulnya cacat ini
dapat disebabkan oleh kotoran sulfida, retak-retak kecil akibat
penggerindaan, pengelasan, penumpukan kerak, penumpukan larutan
padat. Proses kimia yang terjadi saat pitting korosi ini dapat dilihat
dalam gambar 2.6. Umumnya SS berkadar Krom (Cr), Molybdenum
(Mo) dan Nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap
pitting corrosion. Pada industri petrokimia korosi ini sangat berbahaya
karena menyerang permukaan dan penampakan visualnya sangat kecil,
sehingga sulit untuk diatasi dan dicegah terutama pada pipa-pipa
bertekanan tinggi.
Ketahanan material terhadap pitting korosi jenis ini di formulasikan
sbb :
20
Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion sangat serius
bahwa ketika lubang kecil terbentuk, maka lubang ini akan terus
cenderung berkembang (lebih besar dan dalam) meskipun kondisi SS
tersebut sangat tertutup atau tidak dapat tersentuh sama sekali. Oleh
karena itu dalam mendesain material untuk lingkungan kerja yang
besar kemungkinan terjadinya pitting korosi digunakan nilai PREN,
sebagai acuan. Contohnya bila dibandingkan antara SS austenitik
seperti 304, 316L, dan SS super-austenitik seperti UR 6B. SS 304
memiliki komposisi (dalam %): < 0,015 C, 18.5 Cr, 12 Ni sedangkan
untuk SS 316L memiliki komposisi : < 0,030 C, 17.5 Cr, 13,5 Ni, 2,6
Mo. SS super-austenitik UR 6B memiliki komposisi : < 0,020 C, 20
Cr, 25 Ni, 4,3 Mo, dan 0,13 N. Dengan komposisi yang berbeda maka
nilai PREN untuk masing-masing SS adalah: 304 = 18, 316L = 26, dan
UR B6 = 37. Dengan demikian maka UR B6 memiliki ketahanan akan
pitting korosi paling kuat sedangkan 304 memiliki ketahanan pitting
korosi yang terlemah.
Gambar 2.5 Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion menyerang dan terus merusak logam SS.
c. Crevice Corrosion
Korosi jenis ini sering terjadi di daerah yang kondisi oksidasi
terhadap krom (Cr) SS sangat rendah atau bahkan tidak ada sama
sekali (miskin oksigen). Sering pula terjadi akibat desain konstruksi
peralatan yang tidak memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal
celah antara gasket/packing, celah yang terbentuk akibat pengelasan
yang tidak sempurna, sudut-sudut yang sempit, celah/sudut antara 2
atau lebih lapisan metal, celah antara mur/baut dsb. Peristiwa korosi ini
terjadi di daerah yang sangat sempit (celah, sudut, takik dsb) seperti
disajikan pada gambar 2.7. Crevice Corrosion dapat dipandang sebagai
pitting corrosion yang lebih berat/hebat dan terjadi pada temperatur
dibawah temperatur moderat yang biasa menyebabkan pitting
22
membuat desain peralatan lebih 'terbuka' walaupun kenyataannya
sangat sulit untuk semua aplikasi.
Gambar 2.6 Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material bertemu dan membentuk celah sempit, sehingga terjadi perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi.
d. Stress Corrosion Cracking
Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile, torsion,
compressive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif maka SS
cenderung lebih cepat mengalami korosi. Karat yang mengakibatkan
berkurangnya penampang luas efektif permukaan SS menyebabkan
tegangan kerja (working Strees) pada SS akan bertambah besar. Korosi
ini dapat terjadi pula misal pada pin, baut-mur dengan lubangnya/
dudukannya, SS yang memiliki tegangan sisa akibat rolling, bending,
welding dan sebagainya. Ilustrasi dari korosi ini dapat dilihat pada
gambar 2.8. Korosi ini meningkat jika part yang mengalami stress
berada di lingkungan dengan kadar klorida tinggi seperti air laut yang
temperaturnya cukup tinggi. Sebagai akibatnya aplikasi SS dibatasi
untuk menangani cairan panas bertemperatur di atas 50 0C bahkan
dengan kadar klorida yang sangat sedikit sekalipun (beberapa ppm).
Nikel-nya (Ni) relative tinggi. Grade 316 tidak lebih tahan secara siknifikan
dibanding 304. Duplex SS (misal 2205/UR 45N) lebih tahan dibanding
304 atau 316 bahkan sampai temperatur aplikasi 150oC dan super
duplex akan lebih tahan lagi terhadap stress corrosion cracking. Pada
beberapa kasus, korosi ini dapat dikurangi dengan cara penembakan
permukaan logam dengan butir pasir logam, atau juga meng-annealing
setelah SS selesai proses permesinan, sehingga dapat mengurangi
tegangan pada permukaan logam.
24
e. Intergranular Corrosion
Korosi ini disebabkan ketidak sempurnaan mikrostruktur SS.
Ketika austenic SS berada pada temperature 425-850 oC (temperatur
sensitasi) atau ketika dipanaskan dan dibiarkan mendingin secara
perlahan (seperti halnya sesudah welding atau pendinginan setelah
annealing) maka karbon akan menarik krom untuk membentuk partikel
kromium karbida (chromium carbide) di daerah batas butir (grain
boundary) struktur SS. Formasi kromium karbida yang terkonsentrasi
pada batas butir akan menghilangkan/mengurangi sifat perlindungan
kromium pada daerah tengah butir. Sehingga daerah ini akan dengan
mudah terserang oleh korosi (Gambar 2.9). Umumnya SS dengan
kadar karbon kurang dari 2 % relative tahan terhadap korosi ini.
Ketidaksempurnaan mikrostruktur ini diperbaiki dengan
menambahkan unsur yang memiliki daya tarik terhadap karbon lebih
besar untuk membentuk karbida, seperti Titanium (misal pada SS 321)
dan Niobium (misal pada SS 347). Cara lain adalah dengan
menggunakan SS berkadar karbon rendah yang di tandai indeks 'L'
-low carbon steel- (misal 316L atau 304L). SS dengan kadar karbon
tinggi juga akan tahan terhadap korosi jenis ini asalkan digunakan pada
Gambar 2.8 Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi krom (Cr).
f. Galvanic Corrosion
Galvanic corrosion terjadi disebabkan sambungan dissimilar
material (2 material yang berbeda terhubung secara elektris/
tersambung misal baut dengan mur, paku keling/rivet dengan bodi
tangki, hasil welding dengan benda kerja) dan atau terendam dalam
larutan elektrolit, sehingga dissimilar material tersebut menjadi
semacam sambungan listrik. Mekanisme ini disebakan satu material
berfungsi sebagai anoda dan yang lainnya sebagai katoda sehingga
terbentuk jembatan elektrokimia tersaji pada gambar 2.10. Dengan
terjadinya hubungan elektrik tersebut maka logam yang bersifat anoda
akan lebih mudah terkorosi. Urutan tersebut ditunjukkan pada seri
elektrokimia logam berikut :
Logam deret sebelah kiri cenderung menjadi anoda (mudah
berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi katoda.
Galvanic corrosion ini tergantung pada :
1. Perbedaan ke-mulia-an dissimilar material
26
Gambar 2.9 Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda jenis keaktifannya (logam A dan B).
2.4 Pengelasan Berperisai Tungsen (TIG)
Proses ini merupakan suatu metode pengelasan dengan jalan
dimana suatu busur api listrik dipertahankan di antara sebuah elektroda
tungsen yang bukan mampu habis yang pada hakekatnya berdiri sendiri,
dalam suatu atmosfer argon murni, dengan atau tanpa tambahan kecil
gas-gas berfaedah lain. Perisai gas-gas mencegah kontaminasi logam las oleh
udara. Permukaan paduan alumunium ditutupi oleh lapisan oksida tahan
api bertitik lebur tinggi yang harus dihilangkan sebelum suatu las yang
memuaskan dapat dibuat. Suatu kawat pengisi dapat juga ditambahkan
pada tepi depan genangan cairan untuk membentuk las. Ini merupakan
salah satu sifat busur api arus bolak-balik sehingga menghilangkan oksida
yang kuat selama proses pengelasan.
Proses pengelasan TIG dipakai bila diperlukan las yang rapi,
berkualitas tinggi, dan ekonomis untuk ketebalan sampai 6 mm. Untuk
ketebalan yang lebih dari 6 mm, biasanya digunakan pengelasan MIG,
atau proses pengelasan busur api logam lainnya. Lubang-lubang akar, di
dimasuki dengan menggunakan pengelasan TIG karena penetrasi dapat
dikontrol untuk memberikan suatu akhir siraman yang halus.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Bagan Alir penelitian
Bagan alir penelitian ditunjukkan di dalam gambar 3.1 :
Benda Uji Pembuatan Larutan H2SO4
pH 0,2 dan 0,5 Pencelupan Benda Uji ke dalam Larutan H2SO4 pH 0,2
dan 0,5 pada suhu 700C selama 6 jam dilanjutkan pada
suhu 290C selama 18 jam. Dilakukan secara periodik
selama 4 bulan
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
3.2 Bahan dan Peralatan
A. Bahan
A.1 Spesimen / benda uji
Bahan yang digunakan sebagai spesimen adalah stainless steel austenit 304, dengan komposisi : Cr = 18,358 %, Ni = 8,408 %, C = 0,047 %, Fe = 70,47 %
Gambar 3.2 Baja Tahan Karat 304 Yang Dilas
A.2 Larutan H2SO4 pekat 96 %.
Gambar 3.3 Larutan H2SO4 pekat 96 %.
30
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
B.1 Tabung Reaksi, milik Laboratorium Analisis, Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gambar 3.4 Tabung Reaksi
B.2 pH Meter Elektrik Digital, milik Laboratorium Analisis, Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gambar 3.5 pH meter Digital
B.3 Timbangan Elektrik Digital, milik Laboratorium Analisis dan Instrumen, Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gambar 3.6 Timbangan Digital
B.4 Water Bath dan Thermometer , milik Laboratorium Analisis, Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gambar 3.7 Water Bath
32
3.3 Proses Pembuatan Larutan H2SO4 pH 0,2 dan 0,5 Dan Proses
Perendaman
Proses pembuatan larutan H2SO4 pH 0,2 dan 0,5 dari larutan
H2SO4 pekat 96 % dilakukan pencampuran dengan aquades.
Langkah-langkah dalam proses tersebut : 1. Peralatan dan bahan yang disiapkan :
• Tabung reaksi
• Larutan H2SO4 pekat 96 %
• Pipet
• pH Meter Elektrik Digital
• Aquades
2. Menghitung komposisi larutan :
Dalam keadaan normal kadar 1 N H2SO4 = 49 gr/ltr H2SO4 murni.
Maka untuk memperoleh larutan H2SO4 pH 0,2 dari larutan H2SO4
Untuk memperoleh larutan H2SO4 pH 0,5 dari larutan H2SO4 pekat 96
% dengan berat jenis 1,84 diambil 8,78 ml. Ini diperoleh dari :
pH 0,5 = 10−0,5N
kemudian H2SO4 pekat 96 % dimasukan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan aquades sedikit demi sedikit sampai volumenya 1 liter. Kemudian diukur pHnya dengan menggunakan pH Meter. Namun dikarenakan keterbatasan alat ukur pH meter yang hanya mampu membaca hanya sampai pH 1, maka pengambilan H2SO4 pekat 96 %
hanya berdasarkan hasil perhitungan diatas.
3. Spesimen dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi yang telah berisi Larutan H2SO4 pH 0,2 dan 0,5.
4. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam water bath yang telah diatur suhunya.
5. Proses pencelupan dilakukan pada suhu larutan dalam tabung 700 C selama 6 jam dan suhu 290C selama 18 jam. Hal ini untuk mendekatkan pada penggunaan secara nyata di dalam prakteknya. 6. Dalam waktu 1 minggu spesimen diambil, dikeringkan dan ditimbang.
Setelah itu spesimen dicelup ke dalam larutan yang sama dengan volume sama yaitu 1 liter. Karena adanya penguapan maka setiap hari perlu ditambahkan larutan untuk menjaga pH dan kejenuhannya.
34
3.4 Analisis Hasil
Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan laju korosi Stainless Steel 304 yang telah mengalami pengelasan TIG dan tidak mengalami pengelasan dalam larutan H2SO4 pH 0,2 dan 0,5 pada suhu
700C selama 6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap harinya..
4.1 Larutan H2SO4 pH 0,5
A. Stainless Steel Yang Mengalami Pengelasan TIG (Benda Uji I)
Benda uji (spesimen) I ini, sebelumnya pernah mengalami
perendaman dalam larutan H2SO4 pH 1 selama 4 bulan.
Gambar benda uji I :
Gambar 4.1 Benda uji I mula-mula
Gambar 4.2 Benda uji setelah perendaman 2 minggu
36
Gambar 4.3 Benda uji I setelah mengalami perendaman selama 16 minggu
Data Spesimen (benda uji I)
1. Tebal benda uji = 3 mm
2. Tebal benda uji dengan las = 3,5 mm
3. Berat mula-mula = 19,579 gram
4. Panjang benda uji = 31,5 mm
38
Analisis Perhitungan
Rumus laju korosi diperoleh dari konversi rumus kelajuan benda :
t
Dalam persoalan ini digunakan Δ y dengan satuan gram
dan waktu dihitung dalam satuan Jam. Hal ini dikarenakan untuk
mempermudah pengamatan. Dalam penelitian ini benda uji
dicelupkan kedalam larutan H2SO4 pH 0,5 dengan suhu 700C selama
6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap harinya. Hal
ini untuk mendekatkan pada keadaan sebenarnya.
Luas I = Luas II
Luas III
Luas spesimen I = luas I + luas II + luas III
Dari data diatas diperoleh laju korosi :
Laju korosi pada minggu I :
Berat mula-mula = 19,579 gram
Berat pada minggu I = 19,574 gram
40
Tabel 4.2 Data laju korosi rata-rata spesimen I yang telah mengalami pengelasan
TIG per bulan
Minggu Berat Awal Berat Akhir Penurunan Berat Luas Laju Korosi Per Minggu Rata-rata Laju Korosi Per Bulan Ke - (gram) (gram) (gram) (dm2) (gram/dm2/minggu) (gram/dm2/minggu) 1 0 19.579 19.579 - 0.19554
-2 I 19.579 19.574 0.005 0.19554 0.0255702
3 II 19.574 19.574 - 0.19554 -4 III 19.574 19.574 - 0.19554
-5 IV 19.574 19.573 0.001 0.19554 0.0051140
6 V 19.573 19.573 - 0.19554 -7 VI 19.573 19.573 - 0.19554 -8 VII 19.573 19.573 - 0.19554 -9 VIII 19.573 19.573 - 0.19554
-10 IX 19.573 19.574 -0.001 0.19554 -0.0051140
11 X 19.574 19.574 - 0.19554 -12 XI 19.574 19.574 - 0.19554 -13 XII 19.574 19.574 - 0.19554
-14 XIII 19.574 18.241 1.333 0.19554 6.8170195
15 XIV 18.241 18.241 - 0.19554
-Grafik laju korosi rata-rata per bulan spesimen I yang telah mengalami pengelasan
TIG
Grafik Rata-Rata Laju Korosi Per Bulan Spesimen I
Tabel 4.3 Data laju korosi total spesimen I setelah mengalami pengelasan TIG
No Bulan Pengurangan Berat Luas Laju Korosi Total ke- (gram) (dm2) (gram/dm2/bulan)
1 I 0.006 0.19554 0.030684259
2 II 0.006 0.19554 0.015342129
3 III 0.005 0.19554 0.008523405
4 IV 1.338 0.19554 1.710647438
Grafik laju korosi total spesimen I yang telah mengalami pengelasan TIG
Grafik Laju Korosi Total
Grafik 4.2 Grafik laju korosi total spesimen I dalam larutan H2SO4 pH 0,5
Pada minggu ke-I terjadi penurunan berat. Namun dari
minggu ke-I sampai minggu ke-III tidak terjadi penurunan berat
(tidak terjadi korosi).
Pada minggu ke-IV kembali terjadi penurunan berat. Namun
sampai minggu ke-VIII berat benda uji tidak berubah (tidak terjadi
42
Pada minggu ke-IX sampai minggu ke-XII terjadi
peningkatan berat benda uji. Kemudian pada minggu ke-XIII terjadi
penurunan berat yang sangat signifikan, disertai dengan perubahan
warna dari terang menjadi kecoklat-coklatan. Namun Pada minggu
ke- XIV sampai XVI sudah tidak terjadi korosi lagi.
B. Benda Uji II
Benda uji II merupakan pelat stainless steel tanpa mengalami
pengelasan.
Benda uji II ini, sebelumnya telah mengalami perendaman
dalam larutan H2SO4 pH 1 selama 4 bulan. Kemudian dilanjutkan
lagi dengan perendaman ini.
Gambar benda uji II :
Gambar 4.6 Benda uji II setelah mengalami perendaman selama 2 minggu
Gambar 4.7 Benda uji II setelah mengalami perendaman selama 16 minggu
Data Spesimen II :
1. Tebal benda uji = 3 mm
2. Berat mula-mula = 19,634 gram
3. Panjang benda uji = 54 mm
Tabel 4.5Data laju korosi rata-rata per bulan spesimen II tanpa mengalami
pengelasan pada larutan H2SO4 pH 0,5
Minggu Berat Awal Berat Akhir Penurunan Berat Luas Laju Korosi Per Minggu Rata-rata Laju Korosi Per Bulan Ke - (gram) (gram) (gram) (dm2) (gram/dm2/minggu) (gram/dm2/minggu) 1 0 19.634 19.634 - 0.20340
-2 I 19.634 19.629 0.005 0.20340 0.0245821
3 II 19.629 19.629 - 0.20340
-4 III 19.629 19.628 0.001 0.20340 0.0049164
5 IV 19.628 19.628 - 0.20340 -6 V 19.628 19.628 - 0.20340 -7 VI 19.628 19.628 - 0.20340 -8 VII 19.628 19.628 - 0.20340 -9 VIII 19.628 19.628 - 0.20340
-10 IX 19.628 19.629 -0.001 0.20340 -0.0049164
11 X 19.629 19.629 - 0.20340 -12 XI 19.629 19.629 - 0.20340 -13 XII 19.629 19.629 - 0.20340
-14 XIII 19.629 17.995 1.634 0.20340 8.0334317
15 XIV 17.995 17.995 - 0.20340
-Grafik laju korosi rata-rata spesimen II per bulan tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Rata-Rata Per Bulan Spesimen II
46
Tabel 4.6 Data laju korosi total spesimen II tanpa mengalami pengelasan pada
larutan H2SO4 pH 0,5
No Bulan Pengurangan Berat Luas Laju Korosi Total ke- (gram) (dm2) (gram/dm2/bulan)
1 I 0.006 0.20340 0.029498525
2 II 0.006 0.20340 0.014749263
3 III 0.005 0.20340 0.008194035
4 IV 1.639 0.20340 2.014503441
Grafik laju korosi total spesimen II tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Total
Grafik 4.4 Grafik laju korosi total spesimen II dalam larutan H2SO4 pH 0,5
Pada minggu ke-I terjadi penurunan berat. Namun dari
minggu ke-I sampai minggu ke-II tidak terjadi penurunan berat
Pada minggu ke-III kembali terjadi penurunan berat. Namun
sampai minggu ke-VIII berat benda uji tidak berubah (tidak terjadi
korosi).
Pada minggu ke-IX sampai minggu ke-XII terjadi
peningkatan berat benda uji. Kemudian pada minggu ke-XIII terjadi
penurunan berat yang sangat signifikan, disertai dengan perubahan
warna dari terang menjadi kecoklat-coklatan. Pada minggu ke XIV
sampai XVI tidak terjadi korosi.
C. Benda Uji III
Benda uji III merupakan pelat stainless steel tanpa mengalami
pengelasan.
Benda uji III ini, sebelumnya telah mengalami perendaman
dalam larutan H2SO4 pH 1 selama 4 bulan. Kemudian dilanjutkan
lagi dengan pencelupan ini.
Gambar benda uji III :
48
Gambar 4.9 Benda uji III setelah mengalami perendaman selama 2 minggu
Gambar 4.10 Benda uji III setelah mengalami perendaman selama 16 minggu
Data Spesimen III
1. Tebal benda uji = 3 mm
2. Berat mula-mula = 15,142 gram
3. Panjang benda uji = 41 mm
Luas spesimen III = luas I +luas II + luas III
Luas I = 41 mm x 16 mm
= 656 mm2
Luas II = 41 mm x 16 mm
= 656 mm2
Luas III = (2p + 2l) x tebal
= 354 mm2
Luas spesimen III = (656 mm2 + 656 mm2 + 354 mm2)
Tabel 4.8 Data laju korosi rata-rata per bulan spesimen III tanpa mengalami
pengelasan pada larutan H2SO4 Ph 0,5
Minggu Berat Awal Berat Akhir Penurunan Berat Luas Laju Korosi Per Minggu Rata-rata Laju Korosi Per Bulan Ke - (gram) (gram) (gram) (dm2) (gram/dm2/minggu) (gram/dm2/minggu) 1 0 15.142 15.142 - 0.16660
-2 I 15.142 15.138 0.004 0.16660 0.0240096
3 II 15.138 15.138 - 0.16660
-4 III 15.138 15.137 0.001 0.16660 0.0060024
5 IV 15.137 15.137 - 0.16660 -6 V 15.137 15.137 - 0.16660 -7 VI 15.137 15.137 - 0.16660 -8 VII 15.137 15.137 - 0.16660
-9 VIII 15.137 15.138 -0.001 0.16660 -0.0060024
10 IX 15.138 15.138 - 0.16660 -11 X 15.138 15.138 - 0.16660 -12 XI 15.138 15.138 - 0.16660 -13 XII 15.138 15.138 - 0.16660
-14 XIII 15.138 13.848 1.290 0.16660 7.7430972
15 XIV 13.848 13.848 - 0.16660
-Grafik laju korosi rata-rata per bulan spesimen III tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Rata-Rata Per Bulan Spesimen III
52
Tabel 4.9 Data laju korosi total spesimen III tanpa mengalami pengelasan pada
larutan H2SO4 Ph 0,5
No Bulan Pengurangan Berat Luas Laju Korosi Total ke- (gram) (dm2) (gram/dm2/bulan)
1 I 0.005 0.16660 0.030012005
2 II 0.004 0.16660 0.012004802
3 III 0.004 0.16660 0.008003201
4 IV 1.294 0.16660 1.941776711
Grafik laju korosi total spesimen III tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Rata-Rata Per Bulan Spesimen III
Grafik 4.6 Grafik laju korosi total spesimen III dalam larutan H2SO4 pH 0,5
Pada minggu ke-I terjadi penurunan berat. Namun dari
minggu ke-I sampai minggu ke-II tidak terjadi penurunan berat
(tidak terjadi korosi).
Pada minggu ke-III kembali terjadi penurunan berat. Namun
sampai minggu ke-VII berat benda uji tidak berubah (tidak terjadi
Pada minggu ke-VIII sampai minggu ke-XII terjadi
peningkatan berat benda uji. Kemudian pada minggu ke-XIII terjadi
penurunan berat yang sangat signifikan, disertai dengan perubahan
warna dari terang menjadi kecoklat-coklatan. Pada minggu ke XIV
54
4.2 Larutan H2SO4 Ph 0,2
A. Benda Uji IV
Benda uji IV merupakan pelat stainless steel yang tidak
mengalami pengelasan, dan belum pernah mengalami perendaman
dalam larutan H2SO4.
Data Percobaan Laju Korosi Stainless Steel 304 tanpa
mengalami pengelasan pada Larutan H2SO4 Ph 0,2.
Gambar benda uji IV :
Gambar 4.11 Benda uji IV mula-mula
Gambar 4.13 Benda uji IV setelah mengalami perendaman selama 16 minggu
Data Spesimen IV :
1. Tebal benda uji = 3 mm
2. Berat mula-mula = 19,437 gram
3. Panjang benda uji = 54 mm
4. Lebar benda uji = 15,5 mm
Luas Spesimen IV = Luas I + Luas II + Luas III
Luas I = 54 mm x 15,5 mm
= 837 mm2
Luas II = 54 mm x 15,5 mm
= 837 mm2
Luas III = (2p + 2l) x tebal
= 417 mm2
Luas spesimen IV = (837 mm2 + 837 mm2 + 417 mm2)
Tabel 4.11 Data laju korosi rata-rata per bulan spesimen IV tanpa mengalami
pengelasan pada larutan H2SO4 pH 0,2
Minggu Berat Awal Berat Akhir Penurunan Berat Luas Laju Korosi Per Minggu Rata-rata Laju Korosi Per Bulan Ke - (gram) (gram) (gram) (dm2) (gram/dm2/minggu) (gram/dm2/minggu) 1 0 19.437 19.437 - 0.20910
-2 I 19.437 19.431 0.006 0.20910 0.0286944
3 II 19.431 19.431 - 0.20910 -4 III 19.431 19.431 - 0.20910
-5 IV 19.431 19.429 0.002 0.20910 0.0095648
6 V 19.429 19.429 - 0.20910 -7 VI 19.429 19.429 - 0.20910 -8 VII 19.429 19.429 - 0.20910 -9 VIII 19.429 19.429 - 0.20910
-10 IX 19.429 19.431 -0.002 0.20910 -0.0095648
11 X 19.431 19.431 - 0.20910 -12 XI 19.431 19.431 - 0.20910 -13 XII 19.431 19.431 - 0.20910
-14 XIII 19.431 19.432 -0.001 0.20910 -0.0047824
15 XIV 19.432 19.432 - 0.20910
-Grafik laju korosi rata-rata spesimen IV tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Rata-Rata Per Bulan Spesimen IV
58
Tabel 4.12 Data laju korosi total spesimen IV tanpa mengalami pengelasan pada
larutan H2SO4 pH 0,2
No Bulan Pengurangan Berat Luas Laju Korosi Total ke- (gram) (dm2) (gram/dm2/bulan)
1 I 0.008 0.20910 0.038259206
2 II 0.008 0.20910 0.019129603
3 III 0.006 0.20910 0.009564802
4 IV 0.005 0.20910 0.005978001
Grafik laju korosi total spesimen IV tanpa mengalami pengelasan
Laju Korosi Total
Grafik 4.8 Grafik laju korosi total spesimen IV dalam larutan H2SO4 pH 0,2
Pada minggu ke-I terjadi penurunan berat. Namun dari
minggu ke-I sampai minggu ke-III tidak terjadi penurunan berat
Pada minggu ke-IV kembali terjadi penurunan berat. Namun
sampai minggu ke-VIII berat benda uji tidak berubah (tidak terjadi
korosi).
Pada minggu ke-IX sampai minggu ke-XII terjadi
peningkatan berat benda uji. Kemudian pada minggu ke-XIII
kembali terjadi peningkatan berat, namun tanpa disertai dengan
perubahan warna. Pada minggu ke XIV sampai XVI tidak terjadi
korosi.
B. Benda Uji V
Benda uji IV merupakan pelat stainless steel yang tidak
mengalami pengelasan, dan belum pernah mengalami perendaman
dalam larutan H2SO4.
Data Percobaan Laju Korosi Stainless Steel 304 tanpa
mengalami pengelasan pada Larutan H2SO4 pH 0,2.
Gambar benda uji V :
60
Gambar 4.15 Benda uji V setelah mengalami perendaman selama 2 minggu
Gambar 4.16 Benda uji V setelah mengalami perendaman selama 16 minggu
Data Spesimen V :
1. Tebal benda uji = 3 mm
2. Berat mula-mula = 14,408 gram
3. Panjang benda uji = 41 mm
Luas spesimen V = luas I +luas II + luas III
Luas I = 41 mm x 15 mm
= 615 mm2
Luas II = 41 mm x 15 mm
= 615 mm2
Luas III = (2p + 2l) x tebal
= 336 mm2
Luas spesimen V = (615 mm2 + 615 mm2 + 336 mm2)
Tabel 4.14 Data laju korosi rata-rata per bulan spesimen V tanpa pengelasan pada
larutan H2SO4 pH 0,2
Minggu Berat Awal Berat Akhir Penurunan Berat Luas Laju Korosi Per Minggu Rata-rata Laju Korosi Per Bulan Ke - (gram) (gram) (gram) (dm2) (gram/dm2/minggu) (gram/dm2/minggu) 1 0 14.408 14.408 - 0.15660
-2 I 14.408 14.405 0.003 0.15660 0.0191571
3 II 14.405 14.405 - 0.15660 -4 III 14.405 14.405 - 0.15660
-5 IV 14.405 14.403 0.002 0.15660 0.0127714
6 V 14.403 14.403 - 0.15660 -7 VI 14.403 14.403 - 0.15660 -8 VII 14.403 14.403 - 0.15660 -9 VIII 14.403 14.403 - 0.15660
-10 IX 14.403 14.405 -0.002 0.15660 -0.0127714
11 X 14.405 14.405 - 0.15660
-Grafik laju korosi rata-rata per bulan spesimen V tanpa mengalami pengelasan
Grafik Laju Korosi Rata-Rata Per Bulan Spesimen V
64
Tabel 4.15 Data laju korosi total spesimen V tanpa pengelasan pada larutan H2SO4
pH 0,2
No Bulan Pengurangan Berat Luas Laju Korosi Total ke- (gram) (dm2) (gram/dm2/bulan)
1 I 0.005 0.15660 0.03192848
2 II 0.005 0.15660 0.01596424
3 III 0.003 0.15660 0.00638570
4 IV 0.003 0.15660 0.00478927
Grafik laju korosi total spesimen V tanpa mengalami pengelasan
Laju Korosi Total
Grafik 4.10 Grafik laju korosi total spesimen V dalam larutan H2SO4 pH 0,2
Pada minggu ke-I terjadi penurunan berat. Namun dari
minggu ke-I sampai minggu ke-III tidak terjadi penurunan berat
(tidak terjadi korosi).
Pada minggu ke-IV kembali terjadi penurunan berat. Namun
sampai minggu ke-VIII berat benda uji tidak berubah (tidak terjadi
Pada minggu ke-X sampai minggu ke-XVI tidak tejadi
penurunan maupun peningkatan berat benda uji (tidak terjadi korosi).
Benda uji V dapat dikatakan stabil.
4.3 Perbandingan Laju korosi Spesimen I, II dan III
Tabel 4.16 Tabel laju korosi rata-rata per bulan spesimen I, II dan III
No Spesimen Laju korosi rata-rata per bulan gram/dm2/bulan
1 I 0.4276619 2 II 0.5036259 3 III 0.4854442
Grafik perbandingan laju korosi spesimen I, II dan III
Perbandingan Laju Korosi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada spesimen I, II dan III lapisan protective layer telah rusak, karena sebelumnya telah mengalami perendaman pada larutan H2SO4 pH 1
selama 4 bulan. Laju korosi rata-rata pada spesimen I = 0,4276619 gram/dm2/bulan, spesimen II = 0,5036259 gram/dm2/bulan, spesimen III = 0,4854442 gram/dm2/bulan. Ketiga spesimen tersebut direndam dalam larutan H2SO4 pH 0,5.
2. Pada spesimen IV dan V terjadi korosi pada minggu ke- 1 sampai minggu ke- 8. Kemudian pada minggu ke- 9 sampai minggu ke- 16 tidak terjadi korosi. Laju korosi rata-rata pada spesimen IV = 0,0014945 gram/dm2/bulan, spesimen V = 0,0011973 gram/dm2/bulan. 3. Pengelasan TIG yang dilakukan pada spesimen I ternyata tidak
merusak struktur mikro disekitar daerah las, sehingga tetap tahan terhadap korosi dalam larutan asam. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan yang tidak signifikan antara laju korosi spesimen I, II dan III yang sama-sama direndam dalam larutan H2SO4 pH 0,5.
5.2 Saran
1. Gunakanlah baja yang mempunyai kadar karbon rendah. Dengan sedikitnya kadar karbon maka kemampun mengikat krom menjadi lebih besar, sehingga dengan adanya kadar krom yang banyak maka katahanan terhadap korosi akan meningkat.
2. Lakukanlah perlakuan panas (tempering) pasca pengelasan untuk melarutkan endapan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Kuliah Bahan Teknik Manufaktur, ATMI, Solo.
Chamberlain, J., & Trethewey, K.R., (1991), Korosi Untuk Mahasiswa Dan
Rekayasawan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Korosi, www.tasteel/main. php., diakses 05 April 2007.
Kenyon, W., Diterjemahkan Dines Ginting, (1985), Dasar-dasar Pengelasan, Erlangga, Jakarta.
Setyahandana, B. , Bahan Kuliah Bahan Teknik Manufaktur, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sumanto, (1994), Pengetahuan Bahan Untuk Mesin Dan Listrik, Andi Offset, Yogyakarta.
Surdia, T., & Saito, S., (1985), Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita, Jakarta.