Kerangka Kelembagaan dan
Regulasi Kabupaten Bantaeng
6.1 Kerangka Kelembagaan
Kelembagaan daerah di Kabupaten Bantaeng terkait erat dengan pelaksanaan
program pembangunan infrastruktur bidang PU/Cipta Karya yang fungsi kinerjanya
dilakukan melalui suatu koordinasi baik secara vertikal maupun horisontal dan intensif
untuk tujuan sinkronisasi di dalam pelaksanaan program dengan instansi-instansi
terkait. Untuk itu, peningkatan dari kapasitas kelembagaan diperlukan dalam
pelaksanaan pembangunan agar kegiatan investasi pengembangan infrastruktur dapat
terjamin keberlanjutannya secara optimal.
Beberapa kebijakan yang merupakan landasan hukum dalam pengembangan
dan peningkatan kapasitas kelembagaan RPIJM Kabupaten Bantaeng, antara lain :
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
2. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
3. PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Daerah;
4. PP No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014;
5. Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025;
6. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional
7. Permen PU No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimum;
9. Permendagri No. 57 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Pelayanan
Perkotaan;
10. Kepmen PAN No. 75 Tahun 2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan
Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi
Pegawai Negeri Sipil.
Peran dan hubungan atas keterlibatan unsur pemerintahan seperti Bappeda,
Dinas/Instansi terkait dan PDAM, swasta dan masyarakat diperlukan agar pelaksanaan
program menjadi satu kesatuan dengan pelaksanaan program lainnya. Pembentukan
perangkat daerah didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan dengan memperhatikan
kebutuhan, kemampuan keuangan, cakupan tugas, kepadatan penduduk, potensi,
karakteristik serta sarana dan prasarana. Penataan organisasi perangkat daerah ini
dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta didukung oleh ketersediaan sumberdaya
manusia yang memadai, sehingga fungsi pelayanan yang terdapat dalam urusan yang
menjadi kewenangannya dapat terlaksana secara lebih optimal.
Pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dari pola
sentralisasi menjadi pola desentralisasi yang ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, membawa implikasi yang mendasar
terhadap keberadaan, tugas, fungsi dan tanggung jawab lembaga serta aparatur
pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkanpada
prinsip-prinsip good governance.
Tujuan peningkatan kelembagaan daerah terkait langsung dengan pembangunan
prasarana Kabupaten Bantaeng bidang PU/Cipta Karya, yaitu agar investasi
pembangunan dapat dioperasionalkan secara maksimal oleh Pemerintah Kabupaten
Bantaeng. Dalam hal pembangunan kota, wilayah kegiatan pembangunan mencakup
mendalam dan melibatkan peran pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Pusat
sehingga dapat diwujudkan kerjasama antar Kabupaten/Kota dan fungsi koordinasi
yang bersifat sinergi. Aspek kelembagaan dibahas pada masing-masing sektor
pembangunan dengan memperhatikan fungsi koordinasi dan sinkronisasi kegiatan
antar sektor pembangunan prasarana kota, sesuai dengan kedudukan dan tugas
masing-masing unit organisasi/instansi. Kelembagaan di Kabupaten Bantaeng perlu
dioptimalisasi dan dikoordinasikan serta disinkrosnisasi uraian jabaran dari
fungsi-fungsi sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing unit organisasi/instansi dan
perangkatnya, guna tercapai tujuan peningkatan kelembagaan yang mendukung
kegiatan pembangunan prasarana kota termasuk didalamnya Bappeda, Dinas-Dinas,
PDAM dll.
6.1.1. Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi Masing-masing Unit Yang Terkait
dengan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
Kapasitas dan kewenangan instansi yang mendukung Rencana Program
Investas Infrastrukturi Jangka Menengah (RPIJM) PU Bidang Cipta Karya, menjadi
sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan
roda pengelolaan yang biasanya tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit.
Kondisi Kelembagaan pemerintahan Kabupaten Bantaeng, saat ini memperlihatkan
beberapa kendala dalam mendukung program pembangunan bidang ke Cipta Karyaan
Kabupaten Bantaeng, antara lain:
a) Organisasi belum sesuai dengan kapasitas kewenangan yang dibutuhkan;
b) SKPD yang membidangi Keciptakaryaan tidak satu atap sehingga
menyulitkan koordinasi serta pengambilan kebijakan;
c) Dukungan peraturan belum memadai;
d) Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki; dan
e) Manajemen pelayanan masih perlu ditingkatkan.
Permasalahan yang sering dihadapi Dinas PU/Bid. Cipta Karya antara lain masih
Dinas/Badan dan Kantor di Kabupaten Bantaeng. Peningkatan pendidikan formal para
aparatur, kursus singkat,pelatihan dll masih sangat dibutuhkan dalam pengembangan
dan peningkatan kapasitas (capacity building) sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat. Selain masih terbatasnya SDM bidang tertentu dan penempatan
tenaga kerja yang sesuai keahlian. Prasarana dan sarana kerja juga masih terbatas
seperti: ruang kerja, perangkat komputer, perangkat survey, kendaraan operasional dll
sehingga belum optimal dalam pelaksanaan kerja. Belum Gedung perkantoran sendiri
dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari, sehingga mengurangi efektifitas kerja.
Di dalam pelaksanaan/implementasi RPIJM Bidang Cipta Karya di Kabupaten
Bantaeng melibatkan banyak komponen kelembagaan sehingga terjalin koordinasi dan
sinkronisasi program/kegiatan di bidang keciptakaryaan sesuai tugas pokok dan fungsi
masing-masing lembaga.
Kapasitas dan kewenangan instansi dalam kerangka mendukung RPIJM menjadi
sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan
roda pengelolaan yang biasanya tidak sederhana bahkan cendrung cukup rumit. Untuk
maksud tersebut peran kelembagaan bidang PU/Cipta Karya memiliki posisi yang
cukup penting didalam implentasi program yang akan disepakati. Aspek kelembagaan
yang dimaksud dalam pelaksanaan RPIJM bidang PU/Cipta Karya Kabupaten
Bantaeng akan bertugas untuk menjalaskan fungsinya melalui suatu koordinasi baik
secara vertikal maupun horisontal. Dengan demikian akan diperlukan koordinasi yang
intensif untuk tujuan singkronisasi didalam pelaksanaan program termasuk didalamnya
Bappeda, Dinas-Dinas dan PDAM. Oleh karena RPIJM ini bersifat program jangka
menengah, maka di perlukan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah baik
kelembagaan masyarakat maupun swasta yang terkait langsung dengan program yang
akan dilaksanakan.
Untuk meningkatkan keterlibatan dan rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas
yang akan dikembangkan perlu diperhatikan aspek sosial budaya masyarakat
setempat. Hal ini perlu untuk menghidari terjadinya pertentangan tujuan antara
fasilitas yang dibangun semata-mata untuk pemerintah, sehingga masyarakat tidak
peduli dengan keberhasilannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan dan
sosialisasi yang terus-menerus sebelum proyek dilaksanakan. Masyarakat perlu
dilibatkan pada setiap tahap kegiatan pembangunan, mulai dari perumusan gagasan,
perencanaan, pelaksanaan, sampai operasi dan pemeliharaan.
Unit Kerja Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng merupakan institusi yang
menangani penyusunan dan implementasi program investasi Bidang Cipta Karya,
memiliki kewenangan yang terbatas dalam pengambilan keputusan dalam proses
perencanaan, penganggaran dan hubungan antar instansi terkait. Diusulkan untuk
dibentuk satuan kerja yang terdiri dari seluruh unit kerja terkait Bidang Cipta Karya,
perencanaan dan penganggaran antara lain Dinas Bappeda dan Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan program keciptakaryaan
Kabupaten Bantaeng, maka diperlukan langkah-langkah koordinasi sebagai berikut:
a. Dalam hal penganggaran pelaksanaan program, maka Dinas Pekerjaan
Umum dan Kimpraswil (Bidang Cipta Karya) Kabupaten Bantaeng akan
berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; dan
b. Dalam hal pelaksanaan program maka Dinas Pekerjaan Umum dan
Kimpraswil (Bidang Cipta Karya) Kabupaten Bantaeng, akan berkoordinasi
dengan dinas/instansi yang terkait langsung dengan pelaksanaan program.
Dalam upaya untuk mempermudah pelaksanaan koordinasi perencanaan dan
pengendalian program bidang Cipta Karya di level Kabupaten/Kota, maka harus di
bentuk Satgas Randal Kabupaten/kota (Surat Edaran Direktorat Jenderal Cipta Karya
No. 11/SE/DC/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Perencanaan dan Pengendalian
Bidang Cipta Karya dan Surat Keputusan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan No. 650/386/Distarkim tanggal 31 Januari 2013 tentang Pembentukan
SATGAS RANDAL Kabupaten/Kota). Satgas Randal Kabupaten/Kota sebaiknya
beranggotakan dengan melibatkan unsur-unsur dari:
1. Pokjanis Strategi Pengembangan Permukiman dan Infrastruktur
2. Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Permukiman/Sanitasi
(AMPL/Sanitasi) Kab/Kota;
3. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten/Kota bidang Cipta
Karya;
4. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kab./Kota;
5. Tim Koordinasi Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP).
Adapun penjelasan dari masing-masing unsur Satgas Randal
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
1. Pokjanis SPPIP
Kelompok kerja teknis (Pokjanis) SPPIP bertugas terutama untuk
menghasilkan dokumen SPPIP dan Rencana Pengembangan Kawasan
Permukiman Prioritas (RPKPP) di bidang permukiman. Dokumen SPPIP
dan RPKPP diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman melalui pengurangan luasan kawasan kumuh, peningkatan
kualitas penyelenggaraan penataan kawasan permukiman dan
peningkatan pelayanan infrastruktur permukiman. Dalam melakukan
tugasnya Pokjanis SPPIP didampingi oleh tim tenaga ahli, untuk
menghasilkan dokumen SPPIP kemudian dikonsultasikan kepada publik
sebelum dirumuskan menjadi acuan dalam merencanakan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur permukiman perkotaan. Dokumen SPPIP dan
RPKPP ini selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan RPIJM
Kab/kota, maka keanggotaan Satgas Randal Kabupaten/kota harus
melibatkan unsur Pokjanis SPPIP.
2. Kelompok kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Permukiman/Sanitasi (Pokja AMPL/Sanitasi) Kab/Kota.
Pokja AMPL/Sanitasi merupakan wadah bagi para pelaku yang
berkepentingan dalam penanganan masalah air minum dan sanitasi.
Fokusnya adalah menyusun Buku Putih dan Strategi Sanitasi Kota (SSK)
sanitasi. Pemerintah daerah yang telah menyusun Buku Putih dan SSK,
terbukti berhasil meningkatkan investasi sanitasinya dengan pelaksanaan
program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) di
kabupaten/kota.
3. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD)
Kabupaten/kota adalah wadah koordinasi lintas sektor, lintas pemangku
kepentingan dalam rangka menanggulangi kemiskinan di tingkat
kab/kota. TKPKD kab/kota bertugas melakukan koordinasi dan
mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan di kabupaten/kota sekaligus sesuai keputusan tim nasional.
Anggota TKPKD terdiri dari unsur: pemerintah ,masyarakat, dunia usaha,
dan pemangku kepentingan lainnya.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan organisasi perangkat
daerah yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kegiatan dekonsentrasi maupun tugas pembantuan yang dilimpah sesuai
dengan kewenangannya. Dalam hal ini yang di maksud SKPD terutama
yang melaksanakan kegiatan berkaitan dengan bidang Cipta Karya di
daerah.
5. Tim Koordinasi Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP)
Kab/kota adalah tim yang mengkoordinasikan dan mengendalikan
pelaksanaan program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat di tingkat Kabupaten. Kegiatan PPIP meliputi fasilitasi dan
memobilisasi masyarakat dalam melakukan identifikasi permasalahan
kemiskinan, menyusun perencanaan dan melaksanakan pembangunan
infrastruktur Perdesaan. Tujuan PPIP adalah untuk mewujudkan
peningkatan akses masyarakat miskin, dan kaum perempuan, termasuk
kaum minoritas terhadap pelayanan infrastruktur dasar perdesaan
berbasis pemberdayaan masyarakat dalam tata kelola pemerintahan
Guna memudahkan pelaksanaan koordinasi, akan sangat ditentukan oleh
struktur organisasi yang telah terbentuk dan upaya penyempurnaan struktur organisasi
Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng sesuai peraturan pemerintah yang berlaku.
Struktur Organisasi Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng terdiri atas beberapa
bidang dan seksi yang masuk ke dalam Satuan Tugas Perencanaan dan Pengendalian
(SATGAS RANDAL) Kabupaten Bantaeng. Adapun perincian SATGAS RANDAL
Kabupaten Bantaeng yang telah terbentuk sebagai berikut:
a. Tim Pengarah, terdiri atas :
1. Bupati Bantaeng
2. Wakil Bupati Bantaeng
3. Sekretaris Daerah Kabupaten Bantaeng
b. Tim Teknis, terdiri atas :
1. Kepala Satuan Tugas Pendampingan Perencanaan : Kepala Bappeda
Kabupaten Bantaeng
2. Sekertaris : Kepala Bidang SDA dan Prasarana Wilayah Bappeda
Kabupaten Bantaeng
3. Kepala Satuan Tugas Pendampingan Pengendalian : Kepala Dinas PU
dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng
4. Sekertaris Kepala Bidang Perumahan dan Permukiman Dinas PU dan
Kimpraswil Kabupaten Bantaeng
5. Angggota:
o Kabid Anggaran Dinas PPKAD
o Kasie Penyusunan APBD Dinas PPKAD
o Kasubag Program dan Pelaporan Bappeda
o Kasubag Program dan Pelaporan Dinas PUDan Kimpraswil
o Kabid Tata Ruang Dinas PU dan Kimpraswil
o Kasie Perumahan dan Permukiman Dinas PU dan Kimpraswil
o Kasie Bangunan dan Rumah Daerah Dinas PU dan Kimpraswil
o Kasie Perenc. dan Penataan Ruang Dinas PU dan Kimpraswil
o Kasubid Prasarana Wilayah Bappeda
o Kabid P2PL Dinas Kesehatan
o Kasie Penyehatan Lingkungan dan Pembinaan Peran Serta
Masyarakat
o Dinas Kesehatan
o Kabid Kebersihan dan Pertamanan Bappedalda
o Kasubid Kebersihan Bappedalda
o Kabag. Perencanaan PDAM
c. Sekertariat:
1. Irman (Staf Dinas PU & Kimpraswil Kabupaten Bantaeng)
2. Irsan (Staf Bappeda Kabupaten Bantaeng)
Peran Satgas RPIJM/Randal Kabupaten/Kota pada dasarnya adalah sebagai
perumus dokumen RPIJM. Pembentukan Satgas Penyusunan RPIJM Kabupaten/Kota
ini ditetapkan oleh Keputusan Bupati/Walikota. Satgas tingkat Kabupaten/Kota memiliki
tugas dan tanggung jawab masing-masing, yaitu :
1. Pengarah
a. Memberikan arahan kebijakan kegiatan Pendampingan Penyusunan
RPIJM Bidang Pekerjaan Umum/Cipta Karya Daerah Kabupaten/Kota;
b. Memberikan dukungan dalam kaitan dengan hubungan dengan pimpinan
instansi terkait mitra kerjasama; dan
c. Memberikan dukungan dalam kaitan hubungan pada Daerah
Kabupaten/Kota.
2. Pelaksana
a. Melaksanakan tugas pendampingan RPIJM Daerah Kabupaten/Kota;
b. Melaksanakan tugas pembangunan kelembagaan dan sumber daya
manusia tingkat Kabupaten/Kota;
c. Menyusun RPIJM Bidang Pekerjaan Umum/Cipta Karya ;
d. Melaksanakan tugas evaluasi atas usulan RPIJM Daerah Kabupaten/Kota
e. Melaksanakan evaluasi guna perbaikan dan penyempurnaan secara terus
menerus Pendampingan RPIJM Kabupaten/Kota.
3. Sekretariat
a. Memberi dukungan teknis administrasi, dan logistik pada Satgas
Pengarah dan Pelaksana;
b. Menyelenggarakan sistem informasi manajemen untuk pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan RPIJM Daerah Kabupaten/Kota; dan
c. Melaksanakan tugas lain yang ditugaskan oleh pengarah dan pelaksana.
Kondisi dan potensi kelembagaan, khususnya yang terkait dengan sumber daya
manusia yang dimiliki oleh PU dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng. Dalam kaitannya
dengan Reformasi Birokrasi, penataan sistem manajemen SDM aparatur merupakan
program ke-5 dari Sembilan Program Reformasi Birokrasi, yang perlu ditingkatkan tidak
hanya dari segi kuantitas tetapi juga kualitas. Bagian ini menguraikan kondisi
keorganisasian instansi yang menangani bidang Cipta Karya, yang dapat dilakukan,
mengenai komposisi Struiktur dalam unit kerja bidang Perumahan dan Permukiman
yang melaksanakan Kegiatan keCiptaKaryaan di Kabupaten Bantaeng.
Untuk mendukung peningkatan aspek kelembagaan terkait dengan pelaksanaan
program RPIJM, maka Dinas PU dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng akan berinisiatif
dengan mengarahkan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga/instansi terkait
tersebut untuk pelaksanaan dan pengelolaan serta pengembangan program kegiatan
RPIJM. Pengambilan kebijakan tersebut dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih
kegiatan dan tidak terjadi penumpukan program yang kurang terarah pelaksanaannya
sesuai dengan usulan program yang dibuat.
Organisasi pelaksana kegiatan fasilitasi penyusunan RPIJM unit Bidang Cipta
KaryaKabupaten Bantaeng, terdiri dari:
a. Satgas Pusat, didukung oleh Sekretariat RPIJM;
b. Satgas Provinsi, didukung oleh Satker DJCK Provinsi dan Konsultan; dan
Dari uraian tersebut di atas, diagram organisasi pelaksana kegiatan fasilitasi
penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng sebagai berikut :
Gambar 6.1
Bagan Organisasi Pelaksana Kegiatan Penyusunan RPIJM
Untuk mendukung program Bidang Cipta Karya diKabupaten Bantaeng, instansi
yang terkait sebagai pelaksana program dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan
Kimpraswil Kabupaten Bantaeng diharapkan memiliki struktur organisasi yang memadai
agar pelaksanaan program dan kegiatan Bidang Cipta Karya dapat berjalan dengan
baik dan selesai tepat pada waktunya. Pada Bagan berikut adalah struktur organisasi
Dinas Pekerjaan Umum dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng. Satgas Pusat
Dukungan Sekretariat RPIJM
Dukungan Satker DJCK Provinsi
Satgas Provinsi
Dukungan Konsultan
Satgas Kabupaten/Kota
Gambar 6.2 Bagan Struktur Organisasi Dinas PU Kimpraswil
Kabupaten Bantaeng
6.1.2 Potensi dan Persoalan Terkait Dengan Organisasi dan Tata Laksana
Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
Potensi kelembagaan, khususnya yang terkait dengan sumber daya manusia
yang dimiliki oleh Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng. Dalam kaitannya dengan
Reformasi Birokrasi, penataan sistem manajemen SDM aparatur yang merupakan
program ke-5 dari Sembilan Program Reformasi Birokrasi. Bagian ini menguraikan
kondisi SDM di keorganisasian instansi yang menangani Bidang Cipta Karya di
Kabupaten Bantaeng seperti dijelaskan pada Tabel 6.1. berikut :
Tabel 6.1.
Komposisi Struktur dalam Unit Kerja Bidang Perumahan dan Permukiman
Kabupaten Bantaeng
No URAIAN
1 Bidang Perumahan dan Permukiman
SYAHRIANI SAID, ST
1.a Seksi Bangunan dan Rumah Daerah
SUPEDI, ST
1.b Seksi Perumahan dan Permukiman
RICA CINTYA PUTRI, S.IP, M.Si
1.c Seksi Sarana dan Prasarana Air Bersih dan Limbah
SURYANARTI SULTHAN,ST,MT
Sumber: Dinas PU danKimpraswil Kab. Bantaeng Tahun 2016
Kondisi dan potensi kelembagaan, khususnya yang terkait dengan yang dimiliki
oleh Dinas PU danKimpraswil Kabupaten Bantaeng, dijelaskan pada tabel 6.1.2.
berikut.
Tabel 6.2.
Komposisi Jabatan Struktural Dinas PU dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng
No Nama Jabatan Struktural
1 Drs.H. Nasaruddin KEPALA DINAS
2 Drs. H. MALLOMBASI.DTS,
M.Si SEKRETARIS
3 M. KASIM, ST KEPALA BIDANG PENGAIRAN
4 EDY RAHMAT, ST,M.Eng KEPALA BIDANG BINA MARGA
5 SYAHRIANI SAID, ST KEPALA BIDANG PERUMAHAN DAN
6 Hj. TITIN SUPRIYATIN, ST KEPALA BIDANG TATA RUANG
7 RAKHMAT PASI
SUDARMONO, ST SEKSI PEMBANGUNAN
8 M. ZUCHRI, ST SEKSI OPERASI DAN PEMELIHARAAN
9 MUNIR PELO,ST,MPSDA SEKSI BINA MANFAAT
10 MISBAHUSSAADAH, ST SEKSI PERENC. JALAN DAN JEMBATAN
11 ASMAWATI,ST, MT SEKSI PEMB. JALAN DAN JEMBATAN
12 PETRUS NUA SEKSI OPERASI. DAN REHAB. JALAN DAN
JEMBATAN
13 SUPEDI, ST SEKSI BANGUNAN DAN RUMAH DAERAH
14 RICA CINTYA PUTRI, S.IP,
M.Si SEKSI PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
15 SURYANARTI
SULTHAN,ST,MT
SEKSI SARANA DAN PRASARANA AIR BERSIH DAN LIMBAH
16 FATMAWATI,ST SEKSI PERENC. & PENATAAN RUANG
17 Ir. NUR AKHMAD SEKSI PERIZINAN BANGUNAN
18 RAHMAT KURNIA, ST SEKSI PENGAWASAN BANGUNAN
Sumber: Dinas PU danKimpraswil Kab. Bantaeng Tahun 2016
Kondisi kelembagaan pemerintah Kabupaten Bantaeng serta kapasitas dan
kewenangan instansi untuk mendukung RPIJM menjadi sangat penting karena
besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan
yang biasanya tidak sederhana bahkan cendrung cukup rumit. Kondisi kelembagaan
dalam pelaksanaan dan implementasi program keciptakaryaan, jika dikaji secara
mendalam masih mengalami berbagai hambatan dan permasalahan. Hambatan dan
permasalahan yang dimaksud sebagai berikut :
1. Organisasi belum sesuai dengan kapasitas kewenangan yang dibutuhkan;
2. Dukungan peraturan belum memadai;
3. Terbatasnya SDM yang dimiliki;
4. Manajemen pelayanan masih perlu ditingkatkan;
Permasalahan yang sering dihadapi Dinas PU dan Kimpraswil Bidang Cipta
Karya antara lain masih terbatasnya pengetahuan dan keterampilan dari
berbagai Dinas/Badan dan Kantor di Kabupaten Bantaeng. Selain masih terbatasnya
SDM bidang tertentu dan penempatan tenaga kerja yang sesuai keahlian, prasarana
dan sarana kerja juga masih terbatas seperti: ruang kerja, perangkat komputer,
perangkat survey, kendaraan operasional dll sehingga belum optimal dalam
pelaksanaan kerja. Belum memiliki Gedung perkantoran sendiri, sehingga dalam
melaksanakan aktifitas sehari-hari mengurangi efektifitas kerja.
Dengan rendahnya kualitas dan kapasitas aparatur sangat mengurangi efektifitas
kelembagaan pemerintah. Dengan rendahnya SDM dalam kelembagaan dapat
mengurangi efektifitas kerja dan banyak kegiatan yang tidak dapat diselesaikan tepat
waktu, sehingga keinginan para investor untuk masuk ke Kabupaten Bantaeng kurang
berminat apalagi faktor keamanan belum menjamin dalam pelaksanaan program.
Namun untuk masuknya berbagai investor dan pelaku usaha yang turut dan ingin
membantu, sangat memperhatikan kepada kualitas SDM pada kelembagaan
pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng.
Untuk merumuskan rencana pengembangan tata laksana, dengan mengacu
pada analisis SWOT sebelumnya, maka diperlukan evaluasi tata laksana,
pengembangan standar dan operasi prosedur, serta pembagian kerja dan program
yang jelas antar unit dalam instansi ataupun lintas instansi di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Bantaeng, khususnya di bidang Cipta Karya.
Format umum dalam rencana tindakan untuk peningkatan aspek kelembagaan
terkait dengan bentuk kebijakan dan strategi dalam pengambilan keputusan untuk
mendukung pelaksanaan program kegiatan RPIJM 5 (lima) tahun kedepan. Strategi
tersebut dilakukan dengan peningkatan fungsi dan peran dari setiap tingkatan
pemerintahan, dinas-dinas dan lembaga/instansi terkait lainnya untuk menjalankan
tugas dan fungsi sesuai dengan aturannya dalam bentuk koordinasi untuk pelaksanaan
program RPIJM dari proses awal hingga akhir.
Peningkatan kelembagaan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan
struktur yang dianggap tidak efektif, sehingga pelaksanaan pembangunan di berbagai
Peningkatan kelembagaan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan
struktur yang dianggap tidak efektif, sehingga pelaksanaan pembangunan di berbagai
sub bidang keciptakaryaan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Adapun usulan program dalam rangka mengoptimalkan kelembagaan
Pemerintah Kabupaten Bantaeng adalah:
1. Pengembangan struktur dinas atau instansi terkait RPIJM.
2. SKPD yang membidangi Keciptakaryaan agar disatukan dalam satu dinas
agar memudahkan koordinasi dan dalam pengambilan kebijakan.
3. Menambah jumlah tenaga sarjana teknis untuk tugas membantu pimpinan
dinas dalam perencanaan dan pemrograman, pemantauan dan supervisi.
4. Mengikutsertakan para pimpinan dan staf terpilih pada dinas atau instansi
terkait dalam program pelatihan baik teknis maupun manajemen.
5. Sistem rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) merupakan cara yang
baik untuk pelaksanaan koordinasi antar dinas atau instansi terkait, diluar itu
dapat pula dilakukan pertemuan-pertemuan antar sektor dalam bentuk
lokakarya atau bentuk pertemuan lainnya.
6. Melaksanakan perbaikan sistem, prosedur dan koordinasi dalam
perencanaan, pemrograman, pelaksanaan program dan proyek, pemantauan,
supervisi, evaluasi, operasi dan pemeliharaan hasil-hasil proyek.
7. Menambah sarana-sarana penunjang kelembagaan untuk lebih
memperlancar tugas pada dinas atau instansi terkait.
Sebagai antisipasi kebijaksanaan strategi pengembangan fisik sosial dan
ekonomi maka aspek kelembagaan merupakan faktor penting dalam pelaksanaan dan
pengawasan strategi pengembangannya. Beberapa kebijaksanaan dasar dalam strategi
pengembangan kelembagaan:
a. Peningkatan fungsi dan peran serta setiap unit perencanaan di setiap
tingkatan pemerintahan dan dinas-dinas/lembaga/instansi beserta seluruh
perangkat pemerintahan lainnya untuk menyamakan persepsi
b. Memacu peningkatan sektor-sektor dalam rangka merealisasikan Kabupaten
Bantaeng sebagai salah satu PKW di Provinsi Sulawesi Selatan.
Salah satu aspek yang menjadi usulan adalah upaya untuk melakukan
penguatan kelembagaan, khususnya pemerintah desa/kelurahan. Berbagai upaya yang
dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan yaitu:
a. Diharapkan lahirnya kader-kader masyarakat kota yang akan memiliki
kemampuan sebagai fasilitator kota yang memahami tentang sistem dan
mekanisme perencanaan partisipatif, sebagaimana petunjuk Kepmendagri
No. 66 tahun 2007 tentang KPMD;
b. Tersusunnya RPJM Kelurahan dan beberapa database desa yang sangat
penting;
c. Membentuk tim yang memiliki kemampuan manajerial pelaksanaan
pembangunan di kelurahan, dan memiliki kemampuan teknis tentang
administrasi pelaporan keuangan proyek;
d. Memberikan penguatan kepada semua pelaku dalam bentuk
pelatihan-pelatihan, baik yang sifatnya konsepsional maupun masalah-masalah teknis,
dalam rangka mendorong pelaku untuk lebih professional dalam menjalankan
tupoksi.
6.1.3 Analisis Kebutuhan SDM Dibandingkan Dengan Kondisi Eksisting
Secara umum masalah yang dihadapi di dalam pelaksanaan pembangunan,
khususnya Bidang Cipta Karya Kab. Bantaeng yang dapat di identifikasi sebagai berikut
1. Organisasi belum sesuai dengan kapasitas kewenangan yang dibutuhkan;
2. Dukungan peraturan belum memadai;
3. Terbatasnya kemampuan SDM yang dimiliki;
4. Manajemen pelayanan masih perlu ditingkatkan;
Untuk mewujudkan pelaksanaan pengembangan dan peningkatan kapasitas
SDM dapat melalui pendidikan formal maupun non formal atau pelatihan singkat dan
kursus-kursus teknis yang mendukung tugas pokok dan fungsi sehingga mendapatkan
SDM yang profesional sesuai dengan bidangnya. Untuk mendukung peningkatan SDM
ini perlu didukung oleh komitmen Pemerintah Daerah dalam peningkatan
profesionalisme aparatur sehingga pelaksanaan program yang tertuang dalam RPIJM
dapat terlaksana sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.
Adapun prinsip dari pelaksanaan pengembangan dan peningkatan kapasitas
adalah:
1. Pengembangan kapasitas bersifat multi-dimensional, mencakup beberapa
kerangka waktu; jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek,
2. Pengembangan kapasitas menyangkut “multiple stakeholders”,
3. Pengembangan kapasitas harus bersifat “demand driven”, dimana
kebutuhannya tidak ditentukan dari atas/luar, tetapi harus datang dari
stakeholdernya sendiri, dan
4. Pengembangan kapasitas mengacu pada kebijakan nasional, seperti RPJMN
Faktor utama untuk terwujudnya upaya pengembangan dan peningkatan
kapasitas yang berhasil adalah adanya komitmen dari Pimpinan Pemerintah Daerah
dan atau Pimpinan Instansi/Unit Kerja yang bersangkutan atas niatnya yang
sungguh-sungguh untuk melakukan program/proyek peningkatan kapasitas yang dimaksud, serta
siap dengan semua konsekuensinya.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas (capacity building) di Kabupaten Bantaeng sangat dibutuhkan sehingga mampu mengikuti perkembangan waktu,
informasi dan teknologi. Untuk meningkatkan SDM dapat dilakukan melalui pemberian
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan formal, pelatihan, kursus singkat dll sangat
diperlukan sehingga perlu dipersiapkan SDM yang mau dan mampu dalam
meningkatkan kapasitasnya.Dengan Pengembangan teknologi dan informasi dunia
yang sangat cepat dan ini perlu percepatan pula dalam menangkap dan meresponnya,
untuk itu sangat dibutuhkan. Bantuan teknis berupa pelatihan, kursus dalam berbagai
S-2) serta dukungan dari berbagai pihak dalam pengembangan dan peningkatan
kapasitas (capacity building) masih sangat dibutuhkan.
Lebih jauh analisis dan kajian permasalahan yang dihadapi dalam aspek
kelembagaan dapat dilakukan dengan melakukan analisis organisasi dengan
menggunakan model SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threath). Analisis tersebut akan mengacu kepada tingkat kebutuhan pada aspek kelembagaannya
beserta perangkat pendukungnya dalam penyelenggaraan program RPIJM yang
jelasnya adalah sebagai berikut:
Tabel 6.3 : Matriks Analisis SWOT Aspek Kelembagaan
Strategi
STRENGTH (S) / KEKUATAN WEAKNESS (W) / KELEMAHAN
1. Potensi SDM yang cukup memadai 2.Dukungan Pemerintah Kab. Bantaeng Cukup
Besar Di Dalam Pelaksanaan RPIJM terhadap instansi Unit kerja Bidang Cipta Karya 3.Dukungan Pemerintah dan partisipasi
OPPORTUNITY (O)/ PELUANG STRATEGI S-O STRATEGI W-O
1.Dukungan Pembiayaan Dari
1. Peningkatan SDM Aparat unit kerja Bidang Cipta Karya
2. Optimalisasi pengembangan kawasan perkotaan Kab. Bantaeng yang berkelanjutan
3. Optimalisasi sumber-sumber pendanaan daerah, partisipasi swasta dan masyarakat, untuk mendukung program Bidang Cipta
3.Efektifitas dan efisiensi di dalam penganggaran yang dibarengi dengan peningkatan pelayanan
THREATS (T) / HAMBATAN STRATEGI S-T STRATEGI W-T
1.Globalisasi Ekonomi yang cukup kuat 2.Lemahnya koordinasi pelaksanaan
program
3.Pembiayaan Pembangunan yang Terbatas
1. Mengupayakan peningkatan jiwa usaha bagi masyarakat untuk menggalang sumber-sumber pendanaan
2. Penegasan RTRW dan rencana sektoral sebagai alat pengendali pembangunan di Kab. Bantaeng
3. Penguatan struktur kelembagaan Bidang Cipta Karya
Selain menganalisa kelembagaan dengan analisa SWOT seperti diatas, juga
dijelaskan program pengembangan kelembagaan pada instansi yang menangani
Bidang Cipta Karya yang dibagi dalam 3 tahap pengembangan yaitu :
1. Tahap Konsolidasi
Dalam tahap konsolidasi, kegiatan peningkatan koordinasi lembaga baik
itu lembaga vertikal maupun lembaga horizontal pada dinas atau instansi
sangat penting, penambahan aparat pada bidang atau seksi yang terkait
RPIJM sehingga kebutuhan aparat tercukupi, peningkatan kualitas aparat
terkait dengan penyusunan program atau pelaksanaan RPIJM, melengkapi
organisasi ekstrastruktural dan sebagainya.
Terciptanya kesinambungan penyusunan dan pelaksanaan program
sangat penting sehingga diperlukan adanya tim ahli yang memberikan input
terhadap pemerintah daerah dalam aspek pengembangan kota, teknis,
keuangan dan kelembagaan RPIJM yang bersifat in-house consultant yang merupakan bantuan teknis dari Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal
Cipta Karya Kementerian PU.
2. Tahap Optimalisasi
Dalam tahap optimalisasi program berjalan terdapat kegiatan-kegiatan
seperti optimalisasi kinerja struktur organisasi dinas atau instansi terkait
keberlanjutan pelaksanaan program pembangunan, sehingga implikasi
optimalisasi kinerja tersebut baik itu mampu atau kurang mampu dalam
menangani program pembangunan dapat disempurnakan, penambahan
sumber daya manusia pada dinas atau instansi sehingga kebutuhan sumber
daya manusia tercukupi, peningkatan kualitas aparat yang berkaitan dengan
pelaksanaan program dan sebagainya.
3. Tahap Penyempurnaan
Dalam tahapan penyempurnaan terdapat kegiatan evaluasi atau uji hasil
penggunaan hasil evaluasi pelaksanaan program untuk memperbaiki
pelaksanaan program yang belum optimal, merekomendasikan penggunaan
aparatur yang telah terlatih dalam menangani program untuk tetap bekerja
sampai akhir pelaksanaan program sehingga akan tercipta organisasi yang
baik, kualitas yang baik dan kuantitas yang mencukupi dari segi aparatur
khususnya dibidang perencana, bidang pelaksana dan bidang pengawas,
adanyan pelatihan-pelatihan teknis dan manajemen untuk lebih
meningkatkan kualitas aparatur.
Relatif masih terbatasnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan dari
aparatur/ sumber daya manusia (SDM) yang menangani/ mengelola pembangunan
bidang Cipta Karya di Kabupaten Bantaeng. Peningkatan pendidikan formal para
aparatur melalui kursus singkat, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat dalam
penanganan sarana dan prasarana Keciptakaryaan masih sangat dibutuhkan dalam
pengembangan dan peningkatan kapasitas (capacity building) sehingga kualitas SDM semakin meningkat.
Juga masih terbatasnya SDM, prasarana dan sarana kerja yang kondisi dalam
jumlah yang terbatas serta pemanfaatan yang padat dan terbatasnya ruang kerja,
perangkat komputer, perangkat survey, kendaraan operasional dan peralatan kantor
menjadikan belum optimalnyakinerja kelembagaan.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas (capacity building) di Kabupaten Bantaeng masih sangat dibutuhkan untuk mengikuti perkembangan waktu, informasi
dan teknologi. Pengembangan teknologi dan informasi sangat cepat dan ini perlu
kecepatan pula dalam menangkap dan meresponnya, sehingga sangat diperlukan
peningkatan SDM personel kelembagaan yang terlibat di Kabupaten Bantaeng.
Oleh karena itu peningkatan kualitas serta dukungan dari Kementrian Pekerjaan
Umum dalam pengembangan dan peningkatan kapasitas (capacity building) di Kabupaten Bantaeng diperlukan untuk pelaksanaan RPIJM agar dapat berjalan
Untuk mendukung peningkatan kapasitas kelembagaan, bidang PU/Cipta Karya
dalam kerangka pelaksanaan program beberapa hal yang akan dilakukan antara lain
sebagai berikut :
1. Peningkatan kualitas SDM melalui jalur pendidikan bagi staf yang tingkat
pendidikannya masih sarjana muda dan non sarjana melalui jalur pendidikan
formal;
2. Peningkatan kualitas SDM aparat bidang PU/Cipta Karya melalui pelatihan
dan kursus di bidang teknis dan manajerial untuk pengelolaan infrastruktur
keciptakaryaan;
3. Penghargaan bagi karyawan yang berprestasi.
Untuk merumuskan rencana pengembangan Sumber Daya Manusia, dengan
mengacu pada analisis SWOT, maka diperlukan perencanaan karier setiap pegawai
sesuai dengan kompetensi individu dan kebutuhan organisasi. Guna meningkatkan
pelayanan kepegawaian, maka perencanaan pegawai hendaknya mengacu pada
analisis jabatan yang terintegrasi sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Selain itu, rencana pengembangan SDM dapat dilakukan dengan peningkatan
jenjang pendidikan serta mendukung pembinaan kapasitas pegawai melalui pelatihan.
Sesuai dengan lingkup kegiatan bidang keciptakaryaan, dalam rangka peningkatan
kualitas SDM terdapat beberapa pelatihan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Cipta
Karya Kementerian PU yang dapat menjadi referensi dipaparkan pada tabel dibawah
Tabel 6.4. Jenis Pelatihan Bidang Cipta Karya
No Jenis Pelatihan
1 Bimbingan Teknis Pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara Pusat, Barat dan Timur serta sertifikasi Pengelola Teknis
2 Bimbingan Teknis Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara 3 Bimbingan Teknis Pengelolaan Rumah Negara Golongan III
4 Training of Trainers (TOT) Bidang Penyelenggaraan Penataan Bangunan dan Lingkungan
5 Training of Trainers (TOT) Sosialisasi Peraturan Perundangan-undangan Bangunan Gedung dan Lingkungan
6 Pelatihan Pengadaan Barang dan Jasa Dit. PBL
7 Peningkatan Kapasitas SDM Dit. PBL bekerjasama dengan Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi
8 Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan dalam Bidang Keprotokolan
9 Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan dalam Bidang Tata Persuratan
10 Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan Pemeliharaan dan Pengamanan Infrastruktur Publik Bidang Keciptakaryaan
11 Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan Aparatur Negara dalam Tanggap Darurat Bencana
12 Pembinaan Teknis Percepatan Proses Hibah/Alih Status Barang Milik Negara
13 Pembinaan Teknis Penerapan Aplikasi SIMAK BMN 14 Pembinaan Teknis Pengembangan Kompetensi Pegawai 15 Pembinaan Teknis Pemetaan Kompetensi Pegawai 16 Diklat Pejabat Inti Satker (PIS)
17 Diklat Jabatan Fungsional
Sumber : Pedoman RPIJM, 2016
6.2. Kerangka Regulasi
Beberapa kebijakan ataupun regulasi yang merupakan landasan hukum dalam
pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan RPIJM Kabupaten Bantaeng
serta jenis regulasi yang sudah ada atau yang sudah disusun dalam mencapai sasaran
strategis (dalam RPJMD Kab. Bantaeng) terkait dengan pembangunan infrastruktur
Bidang Cipta Karya Kabupaten Bantaeng, yaitu.
2. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
3. PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Daerah;
4. Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019;
5. Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025;
6. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional
7. Permen PU No. 14/PRT/M/2010 tentang Estándar Pelayanan Minimum;
8. Permen PUPR No. 13/RPT/M/2015 tentang Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015-2019;
9. Permendagri No. 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah;
10. Permendagri No. 57 Tahun 2010 tentang Pedoman Estandar pelayanan
Perkotaan;
11. Kepmen PAN No. 75 Tahun 2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan
Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi
Pegawai Negeri Sipil.
Selain landasan hukum yang tersebut diatas ada beberapa Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan Bidang Cipta Karya diantaranya sebagai
berikut :
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Permukiman
Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan perwujudan keberpihakan
Pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat terutama bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Oleh karena itu, Kementerian Perumahan
Rakyat yang diberi amanat untuk bertanggung jawab sebagai bagian yang menangani
mengintegrasikan kebijakan dari pusat sampai dengan daerah serta menjawab
permasalahan-permasalahan yang terjadi di bidang perumahan dan kawasan
permukiman.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman,
adalah salah satu bentuk penyebarluasan kebijakan sektor perumahan dan kawasan
permukiman. Undang-Undang ini menjadi pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan
Kawasan Permukiman yang terdiri dari 18 BAB dan 167 Pasal merupakan bukti
keberpihakan pemerintah terhadap pemenuhan hak akan rumah bagi masyarakat.
Terutama, bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dalam Pasal 50 (1) yang berbunyi “(1) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah”. Berdasarkan UU ini, rumah berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga yang mendukung perikehidupan dan penghidupan juga
mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan
penyiapan generasi muda.
Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan rumah merupakan tanggung jawab
masyarakat secara mandiri, namun dukungan pencapaiannya membutuhkan
keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota serta para pemangku kepentingan bidang perumahan dalam
merealisasikannya. Permasalahan yang muncul selama 18 tahun berlakunya UU No. 4
tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, diantaranya, yaitu semakin
meningkatnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh di daerah perkotaan yang
tidak diikuti dengan kebijakan dan pengaturan untuk memperbaiki kawasan kumuh;
belum jelasnya tugas dan wewenang Pemda baik di tingkat propinsi, maupun
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang
berakibat pada lemahnya komitmen pemda dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman; ketidakseimbangan pembangunan desa-kota serta
Selain itu, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman saat ini juga
dinilai belum mampu memberdayakan peran masyarakat agar mampu memenuhi
kebutuhan rumahnya sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktifitas; dan dalam hal
penyediaan/pasokan perumahan baru, yang secara resminya ditujukan terutama bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, pada kenyataannya seringkali tidak tepat sasaran.
Bahwa idealnya rumah memang harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah
padat penduduk di perkotaan. Keberpihakan negara terhadap masyarakat
berpenghasilan rendah, tertuang dalam Pasal 54 Ayat (1) yang mewajibkan pemerintah
dan/atau pemda untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dengan memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui
program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.
Kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah, menurut Pasal 54 Ayat (3), adalah dengan memberikan kemudahan berupa
pembiayaan, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum, subsidi perolehan
rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan, perizinan, asuransi dan
penjaminan penyediaan atas tanah dan/ atau sertifikasi tanah.
Kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman yang aspiratif dan
akomodatif, dengan memungkinkan terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan
permukiman bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah; berupaya mengatasi
meluasnya daerah kumuh khususnya di perkotaan (City Slump); memberikan jaminan
dilakukannya revitalisasi perumahan dan permukiman yang telah ada dengan
menyediakan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman oleh
pemerintah; mengatasi ketidakadilan, konflik dan marjinalisasi yang dirasakan
kelompok sebagian masyarakat yang rentan dan kurang berdaya; dan menyediakan
perumahan baru bagi MBR yang tidak diorientasikan kepada tipe kecil, tetapi pada
upaya pemenuhan kebutuhan ruang.
1. Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Permukiman
1) Meningkatkan kinerja pengelola air minum (PDAM) dengan
melanjutkan kebijakan sebelumnya, yaitu restrukturisasi utang
pokok dan peningkatan manajemen melalui penetapan tarif yang
wajar serta penurunan tingkat kebocoran/kehilangan air pada
ambang batas normal (20%).
2) Mendorong pengelolaan PDAM agar lebih profesional dan
menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance serta
meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pelayanan air
minum melalui uji kompetensi, pendidikan dan pelatihan.
3) Meningkatkan pembiayaan melalui Dana Alokasi Khusus yang
diarahkan untuk membantu pelayanan air minum perdesaan serta
insentif bagi PDAM, disamping mendorong pemerintah
provinsi/kabupaten/kota untuk berinvestasi di bidang pengembangan
air minum.
4) Meningkatkan peran serta seluruh pemangku kepentingan dalam
upaya mencapai sasaran pembangunan air minum.
5) Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk
turut berperan serta secara aktif dalam memberikan pelayanan air
minum.
b. Air Limbah
1) Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan air limbah, baik
yang dikelola BUMD maupun yang dikelola secara langsung oleh
masyarakat.
2) Meningkatkan pendanaan dengan mengembangkan alternatif
sumber pembiayaan yang murah dan berkelanjutan serta melalui
kemitraan swasta dengan pemerintah.
3) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan
pengelolaan air limbah.
c. Persampahan dan Drainase
1) Menciptakan kesadaran seluruh stakeholders terhadap pentingnya
peningkatan pelayanan persampahan dan drainase.
2) Meningkatkan peranserta seluruh stakeholders dalam upaya
mencapai sasaran pembangunan persampahan dan drainase.
3) Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk
turut berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan
persampahan, baik dalam handling-transportation maupun dalam
pengelolaan TPA.
4) Menciptakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kemitraan pemerintah-swasta (public private partnership) dalam
pengelolaan persampahan.
5) Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan persampahan
dan drainase.
6) Meningkatkan kinerja pengelola persampahan dan drainase
melalui restrukturisasi kelembagaan dan revisi peraturan
perundang-undangan yang terkait.
7) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola
persampahan dan drainase melalui uji kompetensi, pendidikan,
pelatihan, dan perbaikan pelayanan kesehatan.
2. Program Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur Permukiman,
dngan Outcome-Nya :
a. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang menerapkan NSPK dalam
pengembangan kawasan permukiman sesuai rencana tata ruang
wilayah/kawasan bagi terwujudnya pembangunan permukiman, yang
diukur dari indikator kinerja outcome :
1) Jumlah Kab/Kota yang menerbitkan produk pengaturan dan
2) Jumlah Kab/Kota yang menerbitkan produk pengaturan dan
mereplikasi Bantek bangunan gedung dan lingkungan.
3) Jumlah Kab/Kota yang menerbitkan produk pengaturan dan
mereplikasi Bantek air limbah dan drainase.
4) Jumlah Kab/Kota yang menerbitkan produk pengaturan dan
mereplikasi Bantek air minum.
5) Jumlah dukungan manajemen bidang permukiman.
6) Jumlah Kebijakan, Program Dan Anggaran, Kerjasama Luar Negeri,
Data Informasi. Serta Evaluasi Kinerja Infrastruktur Bidang
Permukiman.
7) Jumlah kab/kota yang menerapkan NSPK.
b. Berkurangnya kawasan kumuh perkotaan, yang diukur dari indikator
kinerja outcome: Jumlah Kawasan kumuh di perkotaan yang ditangani.
c. Terlaksananya pembangunan rusunawa, yang diukur dari indikator kinerja
outcome : Jumlah rusunawa terbangun.
d. Menurunnya kesenjangan antar wilayah, yang diukur dari indikator
kinerja Outcome :
1) Jumlah Kawasan Permukiman Perdesaan ditangani.
2) Jumlah Kawasan Pusat Pertumbuhan terbentuk.
e. Meningkatnya jumlah kelurahan/desa yang ditingkatkan infrastruktur
permukiman perdesaan/kumuh/nelayan, yang diukur dari indikator kinerja
outcome:
1) Jumlah desa tertinggal yang ditangani.
2) Jumlah Kel/Desa yang yang meningkat kualitasnya melalui
pemberdayaan masyarakat.
f. Terwujudnya revitalisasi kawasan permukiman dan penataan
bangunan, yang diukur dari indikator kinerja outcome: Jumlah
Kawasan yang meningkat fungsinya.
g. Meningkatnya jumlah pelayanan sanitasi, yang diukur dari indikator
1) Jumlah cakupan pelayanan sistem air limbah.
2) Luas kawasan potensi banjir di perkotaan yang tertangani.
h. Berkurangnya potensi timbunan sampah, yang diukur dari indikator
kinerja outcome: Jumlah cakupan pelayanan persampahan
i. Terlaksananya pembinaan kemampuan Pemda/PDAM, yang diukur
dari indikator kinerja outcome: Jumlah Kab/Kota/PDAM yang
memperoleh pembinaan kemampuan.
j. Meningkatnya cakupan pelayanan air minum, yang diukur dari
indikator kinerja outcome: Jumlah cakupan pelayanan (kawasan) SPAM.
k. Tersedianya infrastruktur tanggap darurat/kebutuhan mendesak, yang
diukur dari indikator kinerja outcome: Jumlah paket infrastruktur
tanggap darurat/kebutuhan mendesak.
Indikator Kinerja Utama (IKU) yang dipilih dari indikator kinerja outcome Program
Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur Permukiman adalah :
1. Jumlah rusunawa yang dibangun.
2. Jumlah kawasan permukiman dan penataan bangunan yang direvitalisasi.
3. Peningkatan jumlah pelayanan air minum.
4. Peningkatan jumlah pelayanan sanitasi.
5. Jumlah Pemda/PDAM yang dibina kemampuannya.
6. Jumlah kelurahan/desa yang ditingkatkan infrastruktur permukiman
perdesaan/kumuh/nelayan.
Nomenklatur kegiatan tupoksi untuk Program Pembinaan dan
Pengembangan Infrastruktur Permukiman sebagai berikut :
1. Dukungan Manajemen dan Infrastruktur Direktorat Jenderal Cipta Karya.
2. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan dan Penyelenggaraan dalam
Pengembangan Permukiman.
3. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan dan Penyelenggaraan dalam
Penataan Bangunan dan Lingkungan Termasuk Pengelolaan Gedung
4. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, dan Penyelenggaraan Sanitasi
Lingkungan (Air Limbah, Drainase) serta Pengembangan Sumber
Pembiayaan dan Pola Investasi Persampahan.
5. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan Sumber Pembiayaan
dan Pola Investasi, dan Penyelenggaraan serta Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum.
6. Penyusunan Kebijakan, Program dan Anggaran, Kerjasama Luar Negeri,
Data Informasi serta Evaluasi Kinerja Infrastruktur Bidang Permukiman.
7. Dukungan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Sanitasi, dan
Persampahan.
Kegiatan prioritas untuk Program Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur
Permukiman beserta output dan targetnya sebagaimana dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 - 2019 adalah merupakan
prioritas Kementerian Pekerjaan Umum, meliputi :
1. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan dan Penyelenggaraan dalam
Pengembangan Permukiman.
2. Pengaturan, Pembinaan, Dan Pengawasan Dalam Penataan Bangunan
Dan Lingkungan Termasuk Pengelolaan Gedung Dan Rumah Negara,
serta Penyelenggaraan Pembangunan Bangunan Gedung dan Penataan
Kawasan/Lingkungan Permukiman.
3. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan Sumber Pembiayaan
Dan Pola Investasi, serta Pengelolaan Pengembangan Infrastruktur
Sanitasi Dan Persampahan.
4. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan Sumber Pembiayaan
dan Pola Investasi, serta Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
5. Pelayanan Manajemen Bidang Permukiman.
6. Penyusunan Kebijakan, Program dan Anggaran, Kerjasama Luar Negeri,
UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas,
dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur
dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan
masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal,
berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan
penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin
kepastian dan ketertiban dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan dan teknis bangunan gedung, serta harus
diselenggarakan secara tertib.
Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur fungsi bangunan gedung,
persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan
kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap
penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan
pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan
lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan
berkeadilan.
Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya
dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan
mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan
gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa
sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun
jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa-jasa pengkaji teknis bangunan gedung.
Oleh karena itu, pengaturan bangunan gedung ini juga harus berjalan seiring dengan
pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka semua penyelenggaraan
bangunan gedung baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, serta
oleh pihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam
Undang-undang tentang Bangunan Gedung.
Dalam menghadapi dan menyikapi kemajuan teknologi, baik informasi maupun
arsitektur dan rekayasa, perlu adanya penerapan yang seimbang dengan tetap
mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik
arsitektur dan lingkungan yang telah ada, khususnya nilai-nilai kontekstual, tradisional,
spesifik, dan bersejarah.
Pengaturan dalam undang-undang ini juga memberikan ketentuan pertimbangan
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah terus mendorong, memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam
undang-undang ini secara bertahap sehingga jaminan keamanan, keselamatan, dan
kesehatan masyarakat dalam menyelenggarakan bangunan gedung dan lingkungannya
dapat dinikmati oleh semua pihak secara adil dan dijiwai semangat kemanusiaan,
kebersamaan, dan saling membantu, serta dijiwai dengan pelaksanaan tata
pemerintahan yang baik.
Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif,
sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan
Daerah, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang
UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala
bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air
dikuasai oleh dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil.
Atas penguasaan sumber daya air dimaksud, menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan
pengaturan hak atas air. Penguasaan atas sumber daya air tersebut
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya, seperti hak layak masyarakat adat setempat dan hak-hak yang serupa
dengan itu, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengaturan Sumber Daya Air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu
hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai
keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan
atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh
pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang
tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian
rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan
hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan
baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air
untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha air. Jumlah
alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus dipenuhi sebagaimana
yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau
sumber air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti
dibandingkan dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi.
Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut termasuk hak untuk
mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan
dengan tanahnya. Pemerintah atau pemerintah daerah menjamin alokasi air untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat
tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi ketersediaan air yang ada dalam
wilayah sungai yang bersangkutan dengan tetap menjaga terpeliharanya ketertiban
dan ketentraman.
Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong
lebih menguatnya nilai ekonomi air nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah dan
berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber
daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih memihak
kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air.
Berdasarkan pertimbangan tersebut undang-undang ini lebih memberikan
perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan
menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan fungsi
sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Persampahan
Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi
mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, pola konsumsi
masyarakat memberikan kontribusi dalam menimbulkan jenis sampah yang semakin
beragam, antara lain, sampah kemasan yang berbahaya dan/atau sulit diurai oleh
Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai
barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan.
Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir
(end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir
sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat
pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat
meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan
global. Agar timbunan sampah dapat terurai melalui proses alam diperlukan jangka
waktu yang lama dan diperlukan penanganan dengan biaya yang besar.
Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah
saatnya ditinggalkan dan diganti dengan baru pengelolaan sampah. Paradigma baru
memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat
dimanfaatkan, misalnya, untuk, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari
hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai
ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang
kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah
dengan baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan
sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali,
dan pendauran ulang, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi
bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan dalam pengelolaan sampah. Hal itu
membawa konsekuensi bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan
bertanggungjawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional
persampahan, dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang persampahan dapat
juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah.
Dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan sampah secara terpadu dan
komprehensif, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta tugas dan wewenang
Pemerintah dan pemerintahan daerah untuk melaksanakan pelayanan,diperlukan
dalam bentuk undang-undang. Pengaturan pengelolaan sampah dalam
Undang-Undang ini berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas
keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan
asas nilai ekonomi.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, pembentukan
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka :
1. kepastian bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah
yang baik dan berwawasan lingkungan;
2. ketegasan mengenai larangan memasukkan dan/atau mengimpor sampah ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah;
4. kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintahan daerah dalam pengelolaan sampah; dan
5. kejelasan antara pengertian sampah yang diatur dalam undang-undang ini
dan pengertian limbah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta
dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011.
Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional,baik dalam arah horizontal maupun