• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses pengolahan yang melibatkan panas dapat mengakibatkan sejumlah perubahan baik karakteristik maupun komposisi kimia dan sifat gizi pangan. Pengaruh proses pemanasan dengan cara dioven atau digoreng terhadap mi jagung substitusi kering dan instan dapat mempengaruhi komposisi kimia, nilai biologis maupun indeks glikemik dibahas sebagai berikut.

4.1 Komposisi kimia Tepung Jagung, Mi Jagung Substitusi Kering dan Instan serta Mi Komersial

Analisis kimia tepung jagung, mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar air tepung jagung hasil penelitian adalah 12.79% atau lebih tinggi dari batas maksimum SNI tepung jagung yaitu 10%. Kadar air tepung jagung yang tinggi menyebabkan adonan mi jagung lebih rapuh/susah dibentuk adonan yang kuat. Alternatif proses yang dapat dilakukan adalah dengan mengeringkan tepung jagung sebelum digunakan dalam pembuatan mi jagung. Kadar abu tepung jagung adalah 0.43%, persyaratan kadar abu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 adalah maksimal 1.5%.

Tabel 6. Hasil analisis kimia tepung jagung, mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial.

Komposisi kimia Nilai (% bk) Tepung jagung Mi jagung kering Mi jagung instan Mi komersial* Air 12.79 ± 0.36 8.58 ± 1.61a 4.91 ± 0.66 a 5.91 Abu 0.43 ± 0.03 2.15 ± 0.58 a 1.50 ± 0.09 a 2.51 Protein 6.05 ± 1.10 12.22 ± 0.40 a 10.91 ± 0.66 a 12.78 Lemak 0.81 ± 0.03 0.54 ± 0.03 a 14.11 ± 0.22 b 18.02 Karbohidrat (by difference) 79.93 ± 1.52 76.52 ± 0.66 a 68.58 ± 0.31 b 60.78 Pati 73.20 ± 0.11 42.52 ± 0.47 a 43.90 ± 1.37 a - Amilosa 28.20 ± 0.53 30.99 ± 0.64 a 28.85 ± 0.37 a - Amilopektin 45.00 ± 0.64 11.53 ± 0.17 a 15.05 ± 1.74 a -

Keterangan: Huruf superscript menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada uji t (α = 0.05); * Indriani (2005).

Kadar protein tepung jagung adalah 6.05%. Kadar protein hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitan Lestari (2009) yaitu 7.24%. Protein utama dalam jagung adalah glutelin yang juga dikenal dengan nama glutenin.

(2)

39 Glutelin merupakan protein yang berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein) (Johson 1991). Kadar lemak tepung jagung adalah 0.81%. Kandungan lemak tepung jagung terutama tersusun oleh asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dengan proporsi asam lemak tidak jenuh yang tinggi (Suarni dan Widowati 2007).

Komposisi terbesar tepung jagung adalah karbohidrat (by difference) yaitu 79.93%. Karbohidrat tepung jagung tersusun atas pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin, dimana amilopektin dihitung berdasarkan selisih kadar pati dengan amilosa. Kadar pati, amilosa dan amilopektin dari tepung jagung adalah 73.20%; 28.20% dan 45.00%. Pati merupakan komponen penting pada proses pembuatan mi, terutama mi dari bahan baku non gluten (jagung). Hal tersebut disebabkan oleh pati memiliki fungsi dalam membentuk tekstur pada produk mi.

Kadar air mi jagung substitusi kering yaitu 8.58% atau lebih tinggi dibandingkan mi jagung substitusi instan yaitu 4.91%, sedangkan kadar air mi komersial adalah 5.91%. Hasil uji t menunjukkan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap kadar air mi jagung substitusi (Lampiran 4). Kadar air maksimal menurut SNI mi kering (01-2974-1996) dan SNI mi instan (01-3551-2000) masing-masing adalah 8 % dan 10%. Jika ditinjau dari persyaratan kadar air, mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial telah memehuni persyaratan SNI yang ditetapkan.

Kadar air mi jagung substitusi kering yang tinggi disebabkan selama proses pengovenan kandungan air dalam produk cenderung dikonversi menjadi uap air akibat aliran udara panas dari oven ke permukaan produk. Air di bagian dalam mi berdifusi ke bagian tengah dan bergerak menuju ke permukaan. Kecepatan pengurangan kadar air mi sangat ditentukan oleh suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara panas selama pengovenan (Xiao-Fu 2008).

Kadar air mi jagung substitusi instan yang rendah disebabkan selama penggorengan air digantikan oleh minyak yang masuk matriks produk. Permukaan produk yang banyak mengandung air ketika kontak dengan minyak, menyebabkan air cepat dikonversi menjadi uap. Suhu lapisan dalam produk tidak melebihi titik didih dari air sehingga hanya sedikit air yang hilang (Pokorny 1999).

(3)

40 Kadar abu mi jagung substitusi kering, mi jagung substitusi instan dan mi komersial adalah 2.15%; 1.50% dan 2.51%. Hasil uji t menunjukkan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap kadar abu mi jagung substitusi (Lampiran 5). Kadar protein mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial adalah 12.22%; 10.91% dan 12.78%. Jika ditinjau dari persyaratan kadar protein, mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial telah memehuni persyaratan SNI yaitu minimal 10%. Kadar protein menurut persyaratan SNI untuk mi kering adalah minimal 11% dan mi instan adalah minimal 10%. Hasil uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap kadar protein mi jagung substitusi (Lampiran 6). Menurut Pokorny (1999), proses penggorengan menyebabkan denaturasi protein yang berlangsung lebih cepat pada pada permukaan produk, sedangkan lapisan dalam produk cenderung berjalan lebih lambat.

Kadar lemak mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial adalah 0.54%; 14.11% dan 18.02%. Hasil uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) memberikan pengaruh terhadap kadar lemak mi jagung substitusi (Lampiran 7). Kadar lemak mi jagung substitusi instan yang tinggi disebabkan pada proses penggorengan minyak goreng yang berfungsi sebagai medium penghantar panas masuk ke matriks bahan, menggantikan air yang keluar dari bahan (Pokorny 1999). Penyerapan minyak semakin tinggi terjadi pada saat penirisan mi.

Kadar karbohidrat (by difference) mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial adalah 76.52%; 68.58% dan 60.78%. Hasil uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) memberikan pengaruh terhadap kadar karbohidrat mi jagung substitusi (Lampiran 8). Kandungan pati, amilosa dan amilopektin mi jagung substitusi kering adalah 42.52%; 30.99% dan 11.53%, sedangkan mi jagung substitusi instan adalah 43.90%; 28.85% dan 15.05%. Uji t menunjukkan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap kadar pati (Lampiran 9), amilosa (Lampiran 10) dan amilopektin (Lampiran 11) dari mi jagung substitusi. Selama proses pemasakan amilosa cenderung keluar dari

(4)

41 granula pati, sehingga mempengaruhi proporsi antara amilosa dan amilopektin dalam bahan pangan (Schweizer et al. 1986).

Proses pemanasan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga amilosa dan amilopektin keluar dari granula. Kerusakan granula menyebakan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi pati terpisah dan masuk kedalam media (Greenwood 1989). Penggorengan mi instan menyebabkan kandungan air bahan tereduksi sebelum gelatinisasi pati tercapai (Xiao-Fu 2008). Proses penggorengan mengakibatkan amilosa keluar dan larut pada media pemanas (minyak) lebih besar dibandingkan pengeringan dengan oven.

4.2 Evaluasi Nilai Biologis Mi Jagung Substitusi Kering dan Instan.

Nilai gizi suatu bahan pangan ditentukan tidak hanya oleh kandungan gizinya, tetapi juga dipengaruhi beberapa faktor. Pengolahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan zat gizi. Pengolahan dengan menggunakan panas (suhu tinggi) dapat menyebabkan perubahan beberapa zat gizi, misalnya denaturasi protein yang menyebabkan peningkatan daya cerna protein. Pengaruh pengolahan mi jagung substitusi kering dan instan yang melibatkan proses panas terhadap evaluasi nilai biologis ditunjukkan dengan kadar pati resisten, daya cerna pati, kadar serat pangan dan daya cerna protein.

4.2.1 Pati Resisten

Pati resisten didefinisikan sebagai jumlah dari pati dan produk degradasi pati yang tidak mampu diserap dalam sistem saluran pencernaan (usus kecil) pada individu sehat (EURESTA 1993). Bahan mentah dan makanan yang telah mengalami proses pengolahan mengandung sejumlah pati resisten yang dipengaruhi oleh jenis sumber bahan pangan dan tipe pengolahannya. Perbandingan amilosa dan amilopektin, perlakuan panas, bentuk fisik, derajat gelatinisasi, pendinginan dan penyimpanan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan pati resisten dalam bahan pangan. Teknik pengolahan panas mampu menginisiasi pembentukan pati resisten melalui retrogradasi amilosa (Tovar 1992).

Kandungan pati resisten dari mi jagung substitusi kering dan instan yang telah mengalami proses pemanasan (pengeringan dengan oven atau

(5)

42 penggorengan) ditampilkan pada Gambar 7. Kandungan pati resisten mi jagung substitusi kering dan instan adalah 14.80% dan 17.25%. Uji t menunjukkan proses pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap kadar pati resisten mi jagung substitusi (Lampiran 13).

Gambar 7. Kadar pati resisten mi jagung substitusi kering dan instan. Keterangan: Huruf superscript menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada uji t (α = 0.05)

Kandungan pati resisten mi jagung substitusi kering dan instan lebih tinggi dibandingkan pati resisten mi jagung kering (100% tepung jagung) hasil penelitian Lestari (2009) yaitu 3.5% ± 0.16. Perbedaan prosedur analisis pati resisten dalam bahan pangan menyebabkan kadar pati resisten yang bervariasi (Sajilata et al. 2006). Analisis kadar pati resisten mi jagung substitusi kering dan instan dilakukan dengan metode Goni et al. (1996). Bahan atau produk pangan yang dianalisis dengan metode tersebut memiliki kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan analisis dengan metode lainnya. Hal ini disebabkan dalam analisis metode Goni et al. (1996), dilakukan periode inkubasi yang lama (16 jam) dibandingkan metode Englyst et al. (1996) atau Wepner et al. (1999) yang hanya 2 jam inkubasi. Periode inkubasi yang lama tersebut bertujuan untuk mensimulasikan bagaimana pati resisten dicerna dalam tubuh.

Proses pengolahan pangan dengan menggunakan panas, kelembaban dan tekanan seperti pengeringan dan proses ekstrusi dapat meningkatkan pembentukan pati resisten (Asp dan Bjorck 1992). Proses pengolahan kacang-kacangan dengan steam-cooking menghasilkan pembentukan pati resisten yaitu 19-31% lebih tinggi

14.80±0.05a 17.25±1.14a 0 5 10 15 20

Mi jagung kering Mi jagung instan

P at i R es is te n (% )

(6)

43 dibandingkan bahan mentah, sedangkan proses pemasakan dengan cara konvensional dan bertekanan tinggi (high-pressure) menghasilkan pembentukan pati resisten tiga sampai lima kali lebih besar dibandingkan kacang mentah (Tovar dan Mellito 1996). Pengolahan produk kentang dengan microwave dan deep frying signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten sebesar 7.1% dan 9.3% (Thed dan Phillips 1995). Proses penggorengan mi jagung instan menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan mi jagung substitusi kering yang mendapat perlakuan pengeringan dengan oven.

Proses pemanasan meningkatkan kadar pati resisten melalui retrogradasi amilosa bahan pangan (Osorio-Dı´az et al. (2003); Tharanathan dan Mahadevamma (2003)). Retrogradasi amilosa mempengaruhi kinerja enzim pankreatik α-amilase untuk mencerna (Ring et al. 1988). Pembentukan pati resisten pada proses retrogradasi terjadi karena ikatan hidrogen amilosa bergabung dan membentuk ikatan silang membentuk polimer semi kristal. Kestabilan dan kuatnya ikatan hidrogen dari amilosa menyebabkan penurunan kemampuan enzim untuk mencerna pati (Tharanathan dan Mahadevamma 2003).

Menurut Goni et al. (1997), selama proses penggorengan terjadi pembentukan pati resisten yang diinisiasi oleh kadar air rendah. Kemampuan enzim dalam menghidrolisis substrat terbatas atau menurun pada kadar air substrat yang rendah. Proses penggorengan yang menghasilkan produk yang kering dan kadar air yang rendah menyebabkan enzim mengalami kesulitan dalam mencerna pati sehingga pati menjadi resisten dicerna enzim.

Keberadaan lemak yang tinggi pada mi jagung substitusi instan (14.11%) berpengaruh terhadap ketersediaan pati resisten. Lemak bahan pangan membentuk kompleks dengan amilosa yang mempengaruhi pembentukan pati resisten. Menurut Amadu (2001), pembentukan pati resisten pada pati jagung selama proses ekstrusi dipengaruhi oleh keberadaan lemak yang membentuk kompleks dengan amilosa. Dua jenis elmusifier yaitu SSL (sodium stearoyl lactylate) dan DATEM (diacetyl tartaric acid esters monoglycerides) meningkatkan pembentukan pati resisten dibandingkan dengan penambahan asam sitrat. Kajian oleh Szczodrak dan Pomeranz (1992), isolasi barley yang di autoclave dengan SSL dan DATEM pada suhu 158 oC mampu meningkatkan pembentukan pati

(7)

44 resisten melalui kompleks amilosa-lemak. Menurut Eerlingen et al. (1994), penghilangan lemak pada tepung terigu menyebabkan menurunnya kandungan pati resisten.

Manfaat yang dapat diperoleh dari pati resisten adalah dapat dijadikan sebagai substrat bagi bakteri fermentasi. Bakteri fermentasi menggunakan pati resisten untuk menghasilkan beberapa produk metabolit seperti asam lemak rantai pendek (asam propionat dan butirat), karbon dioksida, hidrogen dan metan. Asam lemak rantai pendek berperan penting dalam kesehatan kolon manusia, terutama menurunkan pH kolon sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroflora maupun pembentukan senyawa toksik dalam tubuh. Adanya mikroflora menyebabkan terjadinya peningkatan fermentasi dalam kolon dan mempengaruhi peningkatan masa feses, pengasaman atau pengkondisian kolon pada pH rendah (Bird 1999).

4.2.2 Daya Cerna Pati

Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dihidrolisis oleh enzim menjadi unit-unit yang lebih kecil. Prinsip dari metode ini adalah menghidrolisis pati dengan penambahan enzim alfa amilase. Pengolahan bahan pangan mengakibatkan perubahan struktur dan mempengaruhi karakteristik pati termasuk daya cerna pati (Singh et al. 2010). Semakin tinggi daya cerna pati menunjukkan kemudahan pati untuk diubah menjadi glukosa yang mengakibatkan kenaikan kadar glukosa darah. Kenaikan kadar glukosa darah menyebabkan tingginya kebutuhan insulin untuk mengubah menjadi energi (Rimbawan dan Siagian 2004).

Gambar 8 menunjukkan daya cerna pati mi jagung substitusi kering lebih tinggi yaitu 30.93% ± 0.73 dibandingkan dengan mi jagung substitusi instan yaitu 25.33% ± 0.57. Hal ini menunjukkan pati mi jagung substitusi kering lebih mudah dikonversi menjadi glukosa yang mengakibatkan kenaikan kada glukosa darah. Hasil uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) berpengaruh signifikan (α = 0.05) terhadap daya cerna pati mi jagung substitusi (Lampiran 15). Rendahnya daya cerna pati mi jagung substitusi instan berkolerasi positif dengan tingginya kandungan pati resisten yaitu 17.25% dan kadar lemak 14. 11%. Daya cerna pati mi jagung subsitusi instan relatif sama

(8)

45 dengan daya cerna pati mi jagung kering (100% tepung jagung) yaitu 25.76% (Lestari 2009).

Gambar 8. Daya cerna pati mi jagung substitusi kering dan instan. Keterangan: Huruf superscript menunjukkan terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada uji t (α = 0.05).

Penggunaan suhu tinggi pada proses pengeringan produk pasta mampu menurunkan daya cerna pati in vitro (Petitot et al. 2009). Proses pengolahan dengan cara pemasakan, autoclaving dan pengasapan yang dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan menyebabkan peningkatan daya cerna pati yaitu 30%-40% (Singh et al. 2010).

Mi jagung substitusi instan yang mengalami proses penggorengan memiliki daya cerna pati yang rendah dibandingkan mi jagung substitusi kering. Proses penggorengan lebih cepat menurunkan daya cerna pati dibandingkan proses pengolahan lainnya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya pati yang mudah dicerna (rapidly digestible starch/RDS). Pemanasan dengan penggorengan menghasilkan daya cerna pati yang lebih rendah yaitu 11% dibandingkan pemanggangan dan pengasapan yang menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi yaitu 37.2% dan 33.4% (Singh et al. 2010).

Kandungan lemak mi jagung substitusi instan yang tinggi (14.11%) dibandingkan mi jagung kering (0.54%) mengontribusi penurunan daya cerna pati. Penurunan daya cerna pati tersebut berkaitan erat dengan pembentukan kompleks antara amilosa dan lemak. Konformasi heliks amilosa berikatan pada sisi hidrofobik asam lemak dan terikat satu sama lain. Kecepatan daya cerna pati

30.93±0.73a 25.33±0.57b 0 5 10 15 20 25 30 35

Mi jagung kering Mi jagung instan

D ay a C er na P at i (% )

(9)

46 oleh enzim berlangsung lebih cepat pada amilosa, dibandingkan kompleks amilosa dan lemak (Singh et al. 2010). Kompleks amilosa dan lemak menyebabkan penurunan konversi pati menjadi glukosa menjadi 35%, dibandingkan tanpa terjadinya kompleks yaitu 60-90% (Seligman et al. 1998). Menurut Jaisut et al. (2007), penurunan daya cerna pati pada beras instan selama proses pengeringan disebabkan terjadinya kompleks amilosa dan lemak yang ditunjukkan dengan rendahnya pati yang dikonversi menjadi maltosa.

Keberadaan molekul besar non pati seperti protein berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati. Tepung lentil yang memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan buncis menghasilkan daya cerna pati yang lebih rendah. Interaksi pati dan protein menyebabkan penurunan enzim dalam mencerna pati (Chung et al. 2008). Keberadaan protein yang tinggi pada mi jagung substitusi kering dan instan yaitu 12.22% dan 10.91% menghasilkan daya cerna pati yang rendah.

4.2.3 Serat Pangan

Serat pangan merupakan komponen yang berbentuk karbohidrat kompleks baik itu oligosakarida maupun polisakarida dan banyak terdapat pada dinding sel tanaman. Serat pangan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu serat pangan larut dan tidak larut. Serat pangan larut yaitu serat pangan yang dapat larut dalam air dan dalam saluran pencernaan, contohnya pektin, gum, mucilages, karagenan, agar-agar dan alginat. Serat pangan tidak larut merupakan serat pangan tidak dapat larut dalam air dan saluran pencernaan, misalnya lignin, selulosa dan hemiselulosa (Alvarez dan Sanchez 2006)

Berdasarkan Tabel 7 kandungan serat pangan tidak larut, larut dan total mi jagung substitusi instan lebih tinggi yaitu 5.62%, 0.68% dan 6.30% dibandingkan mi jagung kering yaitu 4.83%, 0.49% dan 5.33%. Hasil uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh terhadap serat pangan tidak larut (Lampiran 17), larut (Lampiran 18) dan serat pangan total (Lampiran 19) mi jagung substitusi. Kandungan serat pangan mi jagung substitusi kering dan instan tidak berbeda dibandingkan serat pangan mi jagung kering (100% tepung jagung),

(10)

47 dimana kandungan serat pangan larut, tidak larut dan total adalah 2.28% ± 0.06, 4.59% ± 0.06 dan 6.87% ± 0.00 (Lestari 2009).

Tabel 7. Kandungan serat pangan mi jagung substitusi kering dan instan

Sampel Kadar serat pangan (%)

Tidak larut Larut Total

Mi jagung kering 4.83 ± 0.14a 0.49 ± 0.07a 5.33 ± 0.07a Mi jagung instan 5.62 ± 0.30a 0.68 ± 0.07a 6.30 ± 0.22a Keterangan: Tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada uji t (α = 0.05).

Perlakuan pemanasan berpengaruh terhadap peningkatan kadar serat pangan larut dan tidak larut melalui pemutusan ikatan serat pada bahan pangan yang diolah dibandingkan serat pangan bahan mentah (Asp 1996). Pemanasan meningkatkan serat pangan larut melalui pemutusan ikatan glikosidik pada polisakarida sehingga menyebabkan peningkatan kelarutan serat pangan pada air (Nyman et al. 1993). Sedangkan peningkatan serat pangan tidak larut terjadi karena depolimerisasi selulosa dari tepung kacang yang dimasak dibandingkan bahan mentah. Proses pengolahan produk kentang dengan microwave signifikan meningkatkan serat pangan tidak larut yaitu 5.50% dibandingkan kontrol 4.15% (Thed dan Phillips 1995).

Serat pangan mengalami peningkatan pada proses penggorengan disebabkan oleh terbentuknya senyawa melanoidin atau produk tidak tercerna (Pokorny 1999). Penggorengan produk kentang menyebabkan terbentuknya senyawa melanoidin yang tidak dicerna oleh enzim amilase dan dalam analisis serat pangan terhitung sebagai serat pangan tidak larut (Thed dan Phillips 1995). Perubahan serat pangan pada proses penggorengan tidak hanya ditentukan oleh jenis bahan yang digoreng, tetapi juga suhu dan jenis penggorengan. Penggorengan deep frying signifikan meningkatkan serat pangan tak larut melalui pembentukan substansi seperti lignin (Ostergard 1989). Proses pengolahan produk kentang dengan deep frying meningkatkan serat pangan tidak larut yaitu 6.62% dibandingkan kontrol 4.15% (Thed dan Phillips 1995).

Pembentukan pati resisten dari kompleks antara amilosa-lemak dan retrogradasi amilosa pada proses pemanasan merupakan faktor yang mengontribusi peningkatan serat pangan pada bahan, khususnya serat pangan

(11)

48 tidak larut (Su dan Chang 1995). Hal ini karena pati resisten merupakan bagian dari serat pangan yaitu memiliki efek fisiologis seperti serat pangan larut yang berperan dalam mengendalikan indeks glikemik dan dalam analisis terhitung sebagai serat pangan tidak larut (Haralampu 2000). Perbandingan antara serat pangan tidak larut dan larut pada bahan pangan adalah 3:1. Perbandingan tersebut sangat berhubungan terhadap struktur dan sensori serta sifat kesehatan (Jenkins et al. 1998).

Fungsi dari serat pangan larut dan tidak larut berkaitan erat dengan kemampuannya dalam sifat fungsional dan fisiologis dalam tubuh (Escrig dan Muniz 2000). Serat pangan larut memiliki karakteristik mampu meningkatkan viskositas dan menurunkan respon glikemik dan kolesterol plasma. Serat pangan tidak larut memiliki kemampuan penyerapan, densitas rendah dan meningkatkan sifat bulky dari fecal dan menurunkan waktu transit dalam usus (Hamid dan Luan 2000).

Efek fisiologis serat pangan larut terhadap kemampuan menurunkan respon glukosa darah disebabkan oleh (1) Adanya peningkatan viskositas di lambung maupun intestin menyebabkan penurunan jumlah karbohidrat yang dapat dicerna (barier terhadap enzim) dan gula sederhana yang dapat diserap (akses nutrien terhadap mukosa usus), (2) Serat makanan menyebabkan perubahan level hormon di saluran pencernaan, seperti Gastric inhibitory polipetida (GIP), glukagon yang berpengaruh pada motilitas saluran pencernaan, penyerapan zat gizi dan sekresi insulin, (3) Serat makanan membantu meningkatkan sensitivitas insulin, menstabilkan level gula darah sehingga melindungi komplikasi akibat diabetik (Alvarez dan Sanchez 2006).

4.2.4 Daya Cerna Protein

Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein. Protein yang mudah dicerna ditunjukkan dengan tingginya jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh dan sebaliknya. Asam amino yang penyerapannya rendah dibuang bersama feses. Pada penelitian ini pengukuran daya cernap protein dilakukan dengan metode teknik multienzim, dimana campuran enzim yang digunakan tripsin, kimotripsin dan peptidase.

(12)

49 Prinsip pengukuran ini didasarkan pada kecepatan pelepasan ion hidrogen terhadap perubahan pH, dimana semakin cepat suatu bahan melepaskan ion hidrogen maka nilai pH akan semakin rendah (Muchtadi et al. 1989).

Daya cerna protein mi jagung substitusi kering dan instan (Gambar 9) adalah 81.87% ± 1.02 dan 80.26% ± 0.70. Uji t menunjukkan perlakuan pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak berpengaruh signifikan (α = 0.05) terhadap daya cerna protein mi jagung substitusi (Lampiran 21). Daya cerna protein mi jagung substitusi kering dan instan tidak berbeda dengan daya cerna protein mi jagung kering (100% tepung jagung) hasil penelitian Lestari (2009) yaitu 79.21% ± 0.24.

Gambar 9. Daya cerna protein mi jagung substitusi kering dan instan. Keterangan: Huruf superscript menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada uji t (α = 0.05).

Proses pemanasan mengakibatkan peningkatan daya cerna protein sebagai akibat dari denaturasi protein. Protein yang mengalami denaturasi lebih mudah dipecah oleh enzim proteolitik, karena struktur sekunder, tersier dan kuartener yang berbentuk gulungan dan tiga dimensi berubah menjadi fragmen-fragmen yang lebih sederhana (asam amino) yang mudah dicerna enzim proteolitik (Sathe et al. 1982). Mi jagung subsitusi kering dan instan yang mengalami proses pemanasan memiliki daya cerna protein yang tinggi disebabkan terjadinya denaturasi protein produk menjadi asam-asam amino yang mudah dicerna enzim.

Perebusan dan pemasakan dengan tekanan pada beras menyebabkan peningkatan daya cerna protein yaitu 76.5%-80%. Peningkatan daya cerna protein

81.87±1.02a 80.26±0.70a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Mi jagung kering Mi jagung instan

D ay a C er na P rot ei n ( % )

(13)

50 selain oleh terjadinya denaturasi protein pada bahan juga karena proses pemanasan menyebabkan penghilangan senyawa anti-nutrisi seperti polifenol (tanin, flavonoid, asam fitat dan fenol) (Sagum dan Arcot 2000). Proses pemanasan menyebabkan kerusakan kompleks protein dengan polifenol dengan merusak ikatan hidroksil senyawa polifenol yang mengikat protein sehingga protein terdenaturasi dan menjadi asam amino yang lebih mudah dicerna enzim (Duodu et al. 2003).

Selain perebusan dan pemasakan bertekanan, proses pemanasan dengan autoclaving juga meningkatkan daya cerna protein. Autoclaving produk kacang merah pada suhu 121 oC selama 30 meningkatkan daya cerna protein sebesar 4-22% dibandingkan kontrol. Proses pemanasan dengan autoclaving menyebabkan rusaknya inhibitor enzim proteolitik, inaktivasi inhibitor tripsin dan terbukanya struktur protein menjadi asam amino yang mudah dicerna enzim (Shimelis dan Rakshit 2007). Pengaruh peningkatan daya cerna protein juga ditunjukkan proses pengeringan atau ekstrusi. Pengeringan tepung kacang pada suhu 76 oC selama 6 jam signifikan meningkatkan daya cerna protein sebesar 12-15% (Cabrejas et al. 2009).

4.3 Indeks dan Beban Glikemik Mi Jagung Substitusi Kering dan Instan serta Mi Komersial

Pengukuran indeks glikemik dilakukan dengan menggunakan 11 sukarelawan yang telah memenuhi syarat-syarat pengukuran indeks glikemik seperti sehat, non-diabetes, dan memiliki nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kisaran normal atau 18.5-25 Kg/m2. Sukarelawan yang telah memenuhi persyaratan tersebut, selanjutnya dilakukan screening gula darahnya yang bertujuan untuk mengetahui respon gula terhadap konsumsi glukosa dari masing-masing sukarelawan. Sukarelawan yang dinyatakan lolos screening adalah yang mempunyai respon gula darah yang stabil setelah 2 jam pengujian.

Sukarelawan terpilih kemudian diminta untuk mengonsumsi mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial setara dengan 50 g karbohidrat atau 200 kalori. Jumlah mi mentah yang ditimbang setara dengan 50 g karbohidrat adalah mi jagung substitusi kering dan instan yaitu 65.34 g dan 72.91 g, sedangkan mi komersial adalah 82.26 g. Mi yang telah ditimbang kemudian di

(14)

51 rehidrasi yaitu mi jagung substitusi kering (lima menit), mi jagung substitusi instan (tiga menit tiga puluh detik) dan mi komersial (tiga menit) dan disajikan dengan menambahkan bumbu. Jumlah mi yang disajikan dalam pengukuran indeks glikemik melebihi takaran saji mi yang umum dipasaran yaitu 60-70 g. Penyajian mi yang terlalu banyak dalam pengukuran indeks glikemik dapat menyebabkan efek fisiologis misalnya sukarelawan merasa mual karena terlalu kenyang.

Data indeks glikemik yang disajikan adalah data indeks glikemik rata-rata terhadap 6 sukarelawan dari 11 sukarelawan yang berpartisipasi. Penyajian data 6 sukarelawan dari 11 sukarelawan ini dikarenakan tiga sukarelawan yang menghasilkan data glukosa darah sampel yang tidak stabil pada rentang waktu pengujian. Misalnya pada rentang 30 menit dan 60 menit pasca konsumsi terjadi kenaikan kadar glukosa darah yang stabil, tetapi pada menit ke 90 dan 120 terjadi penurunan kadar glukosa darah dibawah glukosa darah puasa. Sedangkan dua sukarelawan menghasilkan nilai indeks glikemik yang terlalu besar dibandingkan nilai indeks glikemik sukarelawan lainnya (data pencilan/outlier). Menurut FAO dan WHO (1997), jumlah minimal sukarelawan dalam pengukuran indeks glikemik adalah 6 orang. Atas dasar tersebut maka data indeks glikemik rata-rata yang disajikan adalah data 6 sukarelawan.

Berdasarkan Tabel 8, indeks glikemik mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial berturut-turut yaitu 54.18% ± 11.02; 51.33% ± 21.65 dan 48.65% ± 14.66 serta termasuk kategori rendah. Uji Duncan terhadap ketiga jenis sampel mi menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan (α = 0.05) (Lampiran 25) atau proses pemanasan (pengeringan dengan oven atau penggorengan) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks mi jagung substitusi. Nilai indeks glikemik mi jagung substitusi kering dan instan lebih rendah dibandingkan indeks glikemik mi jagung kering (100% tepung jagung) hasil penelitian Lestari (2009) yaitu 56.73% dan tergolong kategori sedang.

Beban glikemik mi jagung substitusi kering dan instan yaitu 26.12 dan 22.18 serta termasuk kategori tinggi. Beban glikemik tersebut menunjukkan bahwa konsumsi mi jagung substitusi kering dan instan pada takaran saji 63 g

(15)

52 dengan jumlah karbohidrat per saji sebesar 48. 21 g dan 43.21 g cepat meningkatkan kadar glukosa darah walaupun memiliki indeks glikemik yang rendah. Beban glikemik mi komersial yaitu 18.63 dan termasuk kategori sedang, hal ini menunjukkan konsumsi mi komersial pada takaran saji yang sama dengan mi jagung subsitusi dengan jumlah karbohidrat per saji sebesar 38. 29 g lebih lambat menaikkan kadar glukosa darah dibandingkan konsumsi mi jagung substitusi kering dan instan. Menurut Powell et al. (2002), indeks dan beban glikemik mi instan (gandum) adalah 47% dan 19. Hasil penelitian tersebut sama dengan indeks dan beban glikemik mi komersial hasil penelitian ini.

Tabel 8. Indeks dan beban glikemik mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial. Sampel Indeks glikemik (%) Kategori IG Karbohidrat/saji (g) Beban Glikemik Mi jagung kering 54.18a ± 11.02 Rendah 48.21 26.12 Mi jagung instan 51.33a ± 21.65 Rendah 43.21 22.18 Mi komersial 48.65a ± 14.66 Rendah 38.29 18.63 Keterangan: Huruf superscript menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang

berbeda nyata pada uji Duncan (α = 0.05).

Karakteristik kimia mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial mempengaruhi indeks glikemik pangan. Kadar amilosa mi jagung substitusi kering dan instan yang tinggi yaitu (30.99%) dan (28.85%) berkontribusi terhadap penurunan indeks glikemik mi. Karakteristik amilosa yang mempunyai struktur lurus, terikat lebih kuat oleh ikatan hidrogen dan ukuran granula yang lebih kecil (105) mengakibatkan amilosa sulit dicerna enzim dibandingkan amilopektin (Singh et al. 2010).

Kadar lemak mi jagung substitusi instan dan mi komersial yang tinggi yaitu 14.11% dan 18.02% berkontribusi terhadap penurunan indeks glikemik. Kandungan lemak yang tinggi pada bahan pangan berpengaruh terhadap penurunan indeks glikemik melalui mekanisme memperlambat pengosongan lambung. Produk yang mengandung lemak tinggi seperti kentang goreng memiliki indeks glikemik rendah yaitu 54% dibandingkan indeks glikemik kentang bakar yang mengandung rendah lemak yaitu 85%. Kadar protein mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial yang tinggi yaitu masing-masing 12.22%;

(16)

53 10.91% dan 12.78% berkontribusi terhadap penurunan indeks glikemik melalui mekanisme memperlambat pengosongan lambung (Wolever 2006).

Parameter evaluasi nilai biologis yaitu daya cerna pati berkontribusi terhadap indeks glikemik mi jagung substitusi kering dan instan. Daya cerna pati mi jagung substitusi kering yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mi jagung substitusi instan mempengaruhi indeks glikemik. Semakin tinggi daya cerna pati menunjukkan kemudahan pati untuk diubah menjadi glukosa yang mengakibatkan kenaikan kadar glukosa darah (Tharanathan dan Mahadevamma 2003).

Kenaikan kadar glukosa darah responden mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial pada selang waktu dua jam ditampilkan pada Gambar 10. Pada menit ke-30 mi jagung substitusi kering memiliki kadar glukosa yang lebih tinggi dibandingkan mi jagung substitusi instan dan mi komersial, kemudian pada menit selanjutnya terjadi penurunan kadar glukosa mi jagung substitusi kering relatif lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa mi jagung substitusi instan dan mi komersial memberikan pengaruh pelepasan glukosa yang lebih lama dibandingkan mi jagung kering.

Gambar 10. Pengaruh konsumsi mi jagung substitusi kering dan instan serta mi komersial selama dua jam terhadap kadar glukosa darah.

Karakteristik biologis mi jagung instan yaitu kandungan pati resisten yang tinggi (17.25%) dan daya cerna pati yang rendah (25.33%) berpengaruh terhadap peningkatan pelepasan glukosa yang lambat. Menurut Haliza et al. (2006),

0 59.78 62.22 40.50 12.06 0 51.50 23.17 17.83 8.83 0 39.33 27.33 21.50 12.33 0 30.33 19.67 15.00 10.33 0 10 20 30 40 50 60 70 0 30 60 90 120 K ada r g luk os a da ra h (m g /dL ) Waktu (menit) glukosa mi jagung kering mi jagung instan mi komersial

(17)

54 tingginya kandungan pati resisten menyebabkan rendahnya indeks glikemik mi sagu. Bahan pangan memiliki kandungan pati resisten yang tinggi mampu menurunkan glukosa darah dan memainkan peran penting dalam menjaga peningkatan kontrol metabolisme gula pada pasien diabetes tipe II. Pati resisten dalam tubuh dimetabolisme pada selang waktu yang lama yaitu 5-7 jam.

Gambar

Gambar 7. Kadar pati resisten mi jagung substitusi kering dan instan. Keterangan:  Huruf  superscript  menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang berbeda  nyata pada uji t (α = 0.05)
Gambar  10.  Pengaruh  konsumsi  mi  jagung  substitusi  kering  dan  instan  serta  mi  komersial selama dua jam terhadap kadar glukosa darah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan informasi dan alasan tersebut maka perlu dilakukan penelitian ini, dengan tujuan untuk mengetahui jenis-jenis ektoparasit pada mamalia kecil yang terdapat

Indukan yang dijadikan sebagai penghasil anakan budidaya kelinci yang dilakukan peternak di Desa Umbulrejo adalah indukan yang mulai produktif sampai usia indukan 3

kepala SMP Negeri 1 Wonogiri yang telah memberikan kesempatan seluas luasnya kepada penulis dalam proses pencarian data.. Guru-guru SMP Negeri 1 Wonogiri yang banyak

Secara singkat dari penjabaran diatas, penelitian ini dilatarbelakangi peristiwa hukum yang bermula dari perubahan sistem Kontrak Karya menjadi Sistem Izin Usaha

Dari hasil wawancara dan observasi penulis kepada bagian keuangan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan dapat diinformasikan bahwa Badan

Hal ini berarti kombinasi variabel independen dari proporsi dewan komisaris independen, komite audit, kompensasi eksekutif dan ukuran perusahaan dapat menjelaskan

Pengumpulan bahan-bahan koordinasi penyusunan program kerja di bidang Pendidikan Anak Usia Dini(PAUD) formal dan non formal yang meliputi perencanaan penyelenggaraan, pendidikan