• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku kekerasan intensional tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado : tinjauan psikoanalisis - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perilaku kekerasan intensional tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado : tinjauan psikoanalisis - USD Repository"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Listiana Kusuma Handaru 054114014

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Listiana Kusuma Handaru 054114014

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan-Nya padaku

(Filipi 4: 13)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Maha Kasih, Yesus Kristus

Bapak dan Ibuyang menjadi sumber inspirasi dan kekuatanku Adikku Dika yang selalu kusayang

(6)

v

rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini., yaitu:

1. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan dan masukan kepda saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberi masukan dan membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membiming saya selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

(7)

vi

tetap memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Lima peri cantik yang telah melukis warna berbeda dalam hidup peneliti. 8. Lukase Adek. Mamieh, dan anak-anak kost Welcome, thanks

dukungannya.

9. Mas Cindil terima kasih atas sharing-nya, “Dimataku kamu tetap teman yang unik”.

10.Teman-teman Bengkel sastra yang telah mengenalkan peneliti kepada dunia “lain”.

11.Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2005, terima kasih atas kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.

12.Semua karyawan di Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas pelayanannya selama ini.

(8)

vii skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 28 Februari 2010

(9)

viii

ini adalah hasil inspirasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak mengutip hasil karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya membuat karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 Februari 2010

Peneliti

(10)

Yang bertanda tangan di bawah ini. Saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Listiana Kusuma Handaru

No. Mahasiswa : 054114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Perilaku Kekerasan Intensional Tokoh-tokoh Dalam Kembang Jepun Karya

Remy Sylado Tinjauan Psikoanalisis

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 28 Februari 2010 Yang menyatakan,

(11)

ix

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji perilaku kekerasan intensional enam tokoh; Keke, Broto, Hiroshi, Kotaro, Yoko, dan Jantje dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan dinamika dan struktur kepribadian keenam tokoh, kemudian menemukan perilaku kekerasan keenam tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado.

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud sebagai landasan teori serta teori kekerasan intensional oleh E. Kristi Poerwandari.

Pendekatan dari sudut psikologi memberikan gambaran adanya alam taksadar yang mempengaruhi kekerasan intensional keenam tokoh. Pendekatan dari sudut sastra menggunakan teks sastra yang berupa novel Kembang Jepun karya Remy Sylado sebagai bahan penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan analisis isi. Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah mendeskripsikan keenam tokoh dalam novel Kembang Jepun dengan menerapkan teori psikoanalisis, yaitu dinamika dan struktur kepribadian. Didapat hasil analisis bahwa perilaku kekerasan intensional berorientasi pada identifikasi, kastrasi, kecemasan, kisah fantastik, narsisme, oedipus kompleks, dan tahap anal.

Langkah kedua menganalisa perilaku kekerasan intensional keenam tokoh berdasarkan hasil analisis pertama. Hasilnya adalah sebagai berikut: (1) identifikasi dialami Kotaro dengan meniru figur ayahnya yang keras terhadap perempuan, (2) kecemasan realita membuat Keke melakukan kekerasan karena terpengaruh oleh pengalaman kekerasan masa lalu, (3) sikap fantastik pada arwah nenek moyang juga dialami Keke sehingga ia berani menyerang gurunya sendiri, (4) narsisme membuat Jantje menyerang Kotaro, (5) oedipus kompleks membuat Kotaro terobsesi menyiksa wanita, (6) ketidakberesan tahap anal yang dialami Hiroshi membuatnya menjadi orang yang kejam.

(12)

x

Indonesian Literature Department, Indonesian Literature Faculty, Sanata Dharma University.

This observation analyzes intencional violence habits of the six characters in Kembang Jepun novel by Remy Sylado; Keke, Broto, Hiroshi, Kotaro, Yoko, and Jantje. The Purpose of this observation is analyzing and describing the dynamics and personality structures of the six characters then find the violence behavior of the six characters in Remy Sylado’s Kembang Jepun.

This observation uses the literature psychology approach with Sigmund Freud’s psychoanalysis theory as the basic theory and the intencional violence theory of E. Kristi Poerwandari.

The psychology approach gives a description of an instinct that influences the intencional violence of those six characters. The literature approach uses the literature script of Kembang Jepun novel as the observation resources.

The method that’s being used in this observation is the descriptive method and content analyzing method. The first step of this method is trying to describe the six characters in Kembang Jepun novel by applying the psychoanalysis theory that contains of the dynamics and personality structures. The result of this observation shows that intencional violence is oriented to identification, castration, worry, fantastic story, narcissism, oedipus complex, and anal phase.

(13)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR………. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… . viii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka……….. 6

1.6 Landasan Teori... 6

1.6.1 Teori Psikologi Sastra ... 7

1.6.2 Teori Psikoanalisis ... 7

1.6.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian ... 8

(14)

xii

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data……….. 15

1.7.4 Sumber Data……… 16

1.8 Sistematika Penyajian………... 16

BAB II DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH-TOKOH DALAM KEMBANG JEPUN KARYA REMY SYLADO... 17

2.1 Pengantar………. 17

2.2 Dinamika dan Struktur Kepribadian Keke………... 18

2.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian Broto……….. 28

2.4 Dinamika dan Struktur Kepribadian Hiroshi.…………... 32

2.5 Dinamika dan Struktur Kepribadian Kotaro.…………... 36

2.6 Dinamika dan Struktur Kepribadian Yoko………... 38

2.7 Dinamika dan Struktur Kepribadian Jantje ... 41

2.8 Rangkuman ... 43

(15)

xiii

3.3 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari

oleh Kecemasan ... 49

3.4 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari oleh Kisah Fantastik…... 52

3.5 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari oleh Narsisme... 54

3.6 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari oleh Oedipus Kompleks……….. 57

3.7 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari oleh Tahap Anal…… ... 60

3.8 Rangkuman……….. 61

BAB IV PENUTUP... 64

4.1 Kesimpulan ... 64

4.2 Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA... 68

(16)

1 1.1 Latar Belakang

Karya sastra dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini, dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang (Wellek dan Waren, 1990: 97). Menurut Wellek dan Waren (1990: 30), setiap pembahasan modern tentang proses kreatif pasti menyorot peran alam bawah sadar dan alam sadar pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada ekspresi jiwa pengarang berdasarkan imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Kejiwaan pengarang terlihat melalui tokoh-tokoh dalam karyanya. Psikologi sastra melihat karya sastra sebagai ekspresi kejiwaan pengarang atas imajinasi atau hasil pengamatan pengarang terhadap realitas. Ini memberikan pemahaman melihat karya sastra berdasarkan kondisi kejiwaan tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya.

(17)

maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) atau kita tekan. Bagi Freud, ketaksadaran merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak teorinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru ditentukan oleh alam tak sadarnya (Hartono, 2003: 03).

Hal ini, peneliti temukan dalam novel Kembang Jepun karya Remy Sylado. Peneliti tertarik dengan perilaku kekerasan tokoh disebabkan alam tak sadar yang ditekan semasa kecil. Keterikatan Keke, Broto, Kotaro, Hiroshi, Yoko dan Jantje yang sangat erat. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan penelitian terhadap tokoh Keke, Broto, Hiroshi, Kotaro, Yoko dan Jantje dalam Kembang Jepun. Enam tokoh ini juga melakukan perilaku kekerasan yang berbeda. Mereka memiliki beragam kepribadian yang dipengaruhi oleh pola pemikiran dan lingkup pergaulan masing-masing. Hal ini membentuk kepribadian mereka menjadi berbeda. Tradisi kebudayaan, situasi penjajahan dan latar belakang keluarga mempengaruhi pembentukan kepribadian mereka. Dinamika dan struktur kepribadian berbeda dari keenam tokoh ini menjadi topik yang diambil oleh peneliti. Hal ini menjadi psikoanalisis dalam penelitian ini.

(18)

Eagleton (2007: 264) juga mengungkapkan bahwa psikoanalisis merupakan ‘kecurigaan’, kepeduliannya bukan hanya tentang ‘membaca teks’ bawah sadar, tetapi juga menyingkap prosesnya, kerja mimpi yang memproduksi teks. Untuk melakukan ini, psikoanalisis terutama terfokus pada apa yang disebut tempat-tempat yang ‘mengandung gejala’ dalam teks mimpi, ambiguitas, ketidakhadiran, dan penghilangan yang mungkin dapat memberikan cara akses yang khusus dan berharga ke ‘kandungan laten’ atau dorongan tak sadar, yang telah menjadi bagian terciptanya mimpi.

Dinamika dan struktur kepribadian ini membentuk perkembangan psikis tiap tokoh. Hal ini tampak pada tokoh Keke. Ia justru merasa senang dan bangga ketika dijadikan sebagai geisha. Sikap aneh juga ditunjukkan tokoh Broto yang rela meninggalkan keluarganya demi menikahi Keke seorang Kembang Jepun. Tokoh Hiroshi begitu memuja Keke sehingga tega memisahkan Keke dengan suaminya. Tokoh Kotaro meresapi pemikiran bahwa kaum wanita hanya sebagai budak kaum lelaki. Tokoh Yoko menganggap Keke merupakan saingan sekaligus pengganti anaknya yang telah mati. Tokoh Jantje tega menjual adiknya sendiri untuk dijadikan sebagai geisha di tempat Kotaro.

(19)

id, ego, dan superego. Dalam hal ini hubungan dinamika dan struktur kepribadian tidak dapat dipisahkan.

Dinamika dan struktur kepribadian para tokoh menciptakan perilaku kekerasan intensional yang dilakukan oleh para tokoh. Menurut Poerwandari (2004: 10-13), kekerasan adalah semua bentuk tindakan baik intensional (sengaja) maupun bukan intensional (tidak sengaja) yang mengakibatkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, dan bukan cuma dalam artian fisik, tetapi juga psikologis. Dalam penelitian ini peneliti hanya menemukan perilaku kekerasan intensional saja pada keenam tokoh dalam novel Kembang Jepun. Oleh karena itu, peneliti hanya memfokuskan perilaku kekerasan intensional yang terjadi pada keenam tokoh. Poerwandari menambahkan, manusia sebagai pelaku kekerasan dan manusia sebagai korban kekerasan sama artinya dengan manusia sebagai subjek dan manusia sebagai objek.

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah–masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana dinamika dan struktur kepribadian tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado?

1.2.2 Bagaimana perilaku kekerasan intensional tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan dinamika dan struktur kepribadian tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado.

1.3.2 Mendeskripsikan perilaku kekerasan intensional tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah pengetahuan karya sastra ditinjau secara psikologi sastra menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud.

(21)

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh peneliti ketahui terdapat satu penelitian yang berkaitan dengan teori psikoanalisis, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Yeni Sugiarto (2003) Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Judul penelitian adalah “Perilaku Seksualitas Lima Tokoh Perempuan Dalam Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan (sebuah pendekatan psikoanalisis)”. Sugiarto mengunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud karena banyak perilaku seksualitas tokoh dipengaruhi oleh alam tak sadarnya. Dalam penelitiannya Sugiarto juga meneliti dinamika kepribadian mencakup oedipus kompleks, narsisme, kastarsi, fantasme, mimpi dan refleksi mitologi dari dinamika ini akan terbentuk struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego dan superego.

Dari penelitian terdahulu, peneliti berusaha melakukan penelitian yang berbeda dengan mengangkat perilaku kekerasaan yang dialami oleh Keke, Broto, Hiroshi, Kotaro, Yoko dan Jantje dilihat dari dinamika dan struktur kepribadian tokoh dalam novel Kembang Jepun karya Remy Sylado berdasarkan tinjauan psikoanalisis.

1.6 Landasan Teori

(22)

1.6.1Teori Psikologi Sastra

Menurut (Wellek dan Waren, 1990: 90) istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe yang ketiga yaitu, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Psikologi itu sendiri baru merupakan suatu persiapan penciptaan. Dalam karya sastra, kebenaran psikologis baru mempunyai nilai artistik jika ia menambah koherensi dan kompleksitas karya. Dengan kata lain, jika kebenaran psikologis itu sendiri merupakan suatu karya seni (Wellek dan Waren, 1990: 108).

Teori Psikologi sastra merupakan pengantar untuk menjelaskan teori psikoanalisis. Psikoanalisis adalah teori psikologi yang paling dominan dalam teori psikologi sastra.

1.6.2 Teori Psikoanalisis

(23)

pokok atau tiang pasak teorinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru ditentukan oleh alam tak sadarnya. Ia membayangkan kesadaran manusia sebagai gunung es, hanya sebagian kecil saja yaitu puncak teratasnya yang tampak terapung di laut. Sebagian besar badan gunung es tersebut terendam di bawah permukaan laut. Bagian yang terendam ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: bagian pra-sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke kesadaran dan bagian tak sadar yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tak sengaja, fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongeng dan sebagainya (Hartono, 2003: 2-3).

Menurut Hall dan Lindzey (1993: 125), psikoanalisis merupakan sejenis analisis psikologi tentang ketidaksadaran; perhatian-perhatiannya terarah pada bidang-bidang motivasi, emosi, konflik, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat karakter.

Teori psikoanalisis membantu peneliti untuk menemukan dinamika dan struktur kepribadian tiap tokoh. Dinamika dan struktur kepribadian akan membentuk perilaku kekerasan intensional tokoh.

1.6.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian

(24)

pengungkapan dan peredaan ketegangan dan merupakan bawaan tiap makhluk hidup. Gejala neurofisiologis meliputi identifikasi, kastrasi, kecemasan, kisah fantastik, narsisme, oedipus kompleks, dan tahap anal.

Menurut Hall dan Lindzey (1993: 83), identifikasi dapat didefinisikan sebagai metode yang digunakan orang untuk mengambil alih ciri-ciri orang lain dan menjadikan bagian yang tak terpisahkan dari kepribadiannya sendiri. Orang belajar mereduksikan tegangan dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain.

Kastrasi bisa diartikan sebagai rasa takut karena adanya ancaman terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya atau kehilangan apa yang menjadi miliknya. Ketakutan bisa muncul karena merasa ada pihak ketiga yang mengusik hubungan pribadinya. Freud memaparkan dalam bentuk contoh cerita Theseus yang berperan sebagai anak yang merasa terancam akan kehilangan cintanya karena ada pihak ketiga anaknya Hyppolitus, yang pada kenyataannya tidak berbuat apa-apa. Kompleks kastrasi itu mengakibatkan Theseus mengambil tindakan, yaitu membunuh anaknya. Tindakan Theseus tersebut adalah usaha untuk membebaskan diri dari keadaan khayali yang sesungguhnya tak berdasar (Kramadibrata, 2003: 80).

(25)

kecemasan moral merupakan rasa takut terhadap suara hati (Hall dan Lindzey, 1993: 81).

Sikap tentang kisah fantastik salah satunya, kepercayaan pada hal-hal yang gaib, terutama pada hantu, pada dasarnya kembali pada kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan terhadap “kekuatan” atau “roh” yang dilihat secara mutlak terpisah dari badan (Soebadio, 2003: 170).

Narsisme merupakan rasa “keakuan” yang menonjol pada diri seseorang. Alasan-alasan yang diberikan pelaku mengenai tindakan tertentu lebih merupakan pembenaran akan apa yang dilakukannya. Menurut Freud ada kaitan yang erat antara narsisme, pemujaan pada diri dengan citra ego seseorang. Pelukisan yang selalu baik tentang dirinya merupakan usaha untuk mempertahankan citra ego-nya (Kramadibrata, 2003: 75-76).

Oedipus kompleks adalah keseluruhan hasrat cinta dan benci yang dirasakan anak terhadap orang tuanya. Oedipus kompleks terjadi sekitar tiga sampai lima tahun pada anak laki-laki, terpancang libido pada ibu. Hilangnya oedipus kompleks pada anak laki-laki terjadi dengan melepaskan ibunya sebagai hasrat seksual dan dengan melakukan identifikasi pada bapaknya. (Zaimar, 2003: 34-35).

(26)

Dinamika kepribadian menjadi dasar terbentuknya struktur kepribadian pada diri manusia. Freud membagi struktur kepribadian manusia, terdiri dari tiga ‘bagian’ yang tumbuh secara kronologis: id, ego dan superego. Bila dikaitkan dengan pandangan topografis sebelumnya: id sama sekali terletak dalam ketaksadaran, ego dan superego meliputi ketiga tingkat kesadaran manusia.

Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar-salah. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan dalam batas tertentu. Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat tempat individu itu hidup (Hartono, 2003: 3-4).

Peneliti menggunakan teori dinamika dan struktur kepribadian untuk menemukan alasan setiap tokoh melakukan perilaku kekerasan intensional.

1.6.4Kekerasan Intensional

(27)

dilakukan setiap tokoh disebabkan oleh gejala neurofisiologis. Gejala neurofisiologis terdiri dari, identifikasi, kastrasi, kecemasan, kisah fantastik, narsisme, oedipus kompleks dan tahap anal.

Kekerasaan adalah semua bentuk tindakan baik intensional (sengaja) maupun bukan intensional (tidak sengaja) yang mengakibatkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, dan bukan cuma dalam artian fisik, tetapi juga psikologis (Poerwandari, 2004: 10-13). Menurut Poerwandari, kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, kelompok individu, negara (baik oleh aparat maupun sebagai sebuah sistem), dapat juga dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban maupun orang yang tidak dikenal oleh korban.

Poerwandari (2004:12) membagi kekerasan menjadi dua, yaitu tindak kekerasan yang intensional dan tindak kekerasan yang bukan intensional. Tindak kekerasan intensional adalah tindakan yang disengaja atau sadar diri untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya.

(28)

(kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subyek, pemaksaan hubungan sosial, sadisme dalam relasi seksual, dan lain-lain.

Kekerasan psikologis berupa penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan yang mempermalukan, dan teror dalam banyak manifestasinya. Misal: makian kata-kata kasar, ancaman, penghinaan, penguntitan, dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis. Kekerasan Deprivasi dapat berupa penelantaran, penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, buang air, udara, bersosialisai, dan bekerja) dalam berbagai bentuknya, misalnya pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, serta pembiaran orang sakit serius (Poerwandari, 2004: 13). Teori kekerasan intensional menjadi dasar peneliti menganalisis perilaku kekerasan setiap tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado.

(29)

1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1Pendekatan

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Psikologi sastra. Menurut Wellek dan Waren (1990: 90) istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Peneliti memilih melakukan analisis dengan studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Peneliti menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud pada novel Kembang Jepun kemudian mendeskripsikan perilaku kekerasaan intensional para tokohnya.

1.7.2Metode Penelitian

(30)

Peneliti menggunakan metode analisis isi dengan menganalisis isi laten dari sebuah teks sastra dan menggabungkannya dengan isi komunikasi sebagai pesan yang terkandung dalam teks. Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48).

Penelitian ini akan langsung menjelaskan dinamika dan struktur kepribadian setiap tokoh untuk menjelaskan isi laten dari teks sastra karena penelitian ini menggunakan kajian psikoanalisis, maka teks laten tersebut berupa deskripsi dinamika dan struktur kepribadian tokoh-tokoh -- yang dalam paradigma kajian struktural disamakan dengan kajian tokoh dan penokohan.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Kembang Jepun, buku-buku referensi, artikel, dan tulisan-tulisan berkaitan dengan objek tersebut.

(31)

1.7.4 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Judul buku : Kembang Jepun

Pengarang : Remy Sylado Tahun terbit : 2003

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : 2 (kedua)

Halaman : 319 halaman

1.8 Sistematika Penyajian

(32)

17 2.1 Pengantar

Dalam bab II ini, akan dianalisis dinamika dan struktur kepribadian tokoh yang terdapat pada novel Kembang Jepun. Oleh karena itu, novel Kembang Jepun akan dieksplorasi untuk mengungkapkan teks yang tersembunyi, berkaitan dengan dorongan alam tak sadar di jiwa para tokoh. Dorongan alam tak sadar ini akan mempengaruhi perilaku kekerasan yang dialami tokoh.

Menurut Hartono (2003: 3), alam tak sadar adalah segi pengalaman yang tak pernah kita sadari (karena terjadi pada tahap perkembangan ketika kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) atau kita tekan. Bagi Freud, alam tak sadar merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak teorinya.

(33)

prinsip kesenangan, yang selalu mencari kesenangan dan menghindari ketegangan. Sedangkan, ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, artinya bisa menunda pemuasan diri dan mencari pemuasan lain yang sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Superego merupakan norma di tempat individu itu hidup. Pada novel Kembang Jepun keenam tokoh dihadapkan untuk memilih ego dan superego-nya yang termasuk tingkat kesadaran manusia atau id yaitu tingkat ketaksadaran manusia.

Keenam tokoh dalam Kembang Jepun mempunyai keterkaitan yang erat. Mereka inilah yang sering melakukan perilaku kekerasan intensional baik sebagai pelaku atau korban. Keenam tokoh dihadirkan oleh pengarang sebagai penggerak alur. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh ini akan dibahas dalam bab ini.

2.2 Dinamika dan Struktur Kepribadian Keke

(34)

mengapa hubungan Keke dengan ayah kandungnya terlihat kaku dan tidak terlalu akrab. Keke merasa ayahnya tidak dapat mengerti dirinya, karena itu ia sangat mematuhi segala perintah Jantje layaknya seorang anak perempuan pada ayahnya. Terlihat dalam kutipan sebagai berikut.

(1) Saya menganggukkan kepala, patuh seperti seorang anak kepada ayahnya yang baik begitu saya merasakan Jantje lebih kena menjadi ayah karena usianya yang kacek 34 tahun itu sejauh saya berusaha mendudukkan taraf saya sebagai adik kepada kakak sebagaimana hubungan itu berlaku (Sylado, 2003: 25)

Kutipan (1) mendeskripsikan tokoh Keke mengalami gejala oedipus kompleks karena rasa cinta dan benci terhadap ayahnya. Keke mencintai figur ayah yang ideal baginya. Ayah pengertian dan dapat dibanggakan. Namun, sesungguhnya ayah Keke sangat kaku dan kolot. Kekolotan ayahnya membuat Keke merasa tidak diperdulikan. Keke menemukan figur seorang ayah pada diri Jantje. Figur Jantje yang wibawa, pintar, dihormati, dan supel tidak ia temukan pada diri ayahnya.

(35)

Keke dijanjikan untuk sekolah di Batavia justru dibawa Jantje ke Surabaya. Lima gadis di bawah 9 tahun turut serta bersama Keke ke Surabaya. Di Surabaya, mereka dijual kepada Kotaro Takamura pengusaha rumah makan Jepang. Jantje bersepakat dengan Kotaro menjual Keke dan lima gadis lain karena ia haus akan kekayaan. Mereka akan dijadikan geisha, yaitu seniman dalam budaya Jepang. Keke merasa dikhianati oleh Jantje karena peristiwa tersebut. Ia kecewa dengan keputusan Jantje untuk menjualnya.

Di tempat Kotaro, Keke dilatih untuk menjadi geisha sejati. Keke dilatih Yoko, tangan kanan Kotaro. Budaya berbeda membuat mereka kesulitan menyerap pelajaran yang diberikan. Mereka sering mendapat hukuman karena tidak melakukan tugas dengan baik. Keke diajarkan untuk mampu memahami bahwa geisha tidak pernah bersalah pada siapa pun sebab yang dilakukan geisha adalah pengabdian, pelayanan, kesenian, dan tanggung jawab. Ini moral dan kebenaran seorang geisha. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(2) Saya berani menyatakan keyakinan saya, bahwa saya sudah mahir untuk nyanyian liris yang pendek dan nyanyian liris umum, sebab ketika saya memainkan itu, saya lihat wajah Kotaro Takamura begitu puas, sementara Yoko hanya dingin saja (Sylado, 2003: 33).

(36)

mengalah. Gejala narsisme itu dapat muncul kembali ketika Keke merasa sebagai murid paling pintar. Keke ingin menunjukkan bahwa dirinya pantas diperlakukan istimewa. Kemampuan Keke membuat Yoko merasa iri hati. Yoko selalu mencari cara untuk menjatuhkan Keke di hadapan Kotaro. Keke menjadi marah dan ego -nya mengikuti id untuk menyerang Yoko. Ia tidak memperdulikan superego-nya yang mengharuskan seorang murid menghormati gurunya. Terlihat pada kutipan sebagai berikut.

(3) Dan, memang pada kaitan ini amarah yang sudah tertahan itu, tak bisa lagi saya kuasai. Saya meloncat dari tempat sila saya, dan seperti ayam aduan saya sergap Yoko, menarik kimononya dengan tangan kiri, dan menjambak rambutnya dengan tangan kanan. Ia meronta dan segera melepaskan tangan saya (Sylado, 200: 101)

Kutipan (3) mendeskripsikan tokoh Keke mengalami narsisme. Di samping merasa tidak bersalah yang ia sadari, alam ketaksadaran membawa Keke mencari kepuasan dengan menyerang Yoko gurunya sendiri. Ketaksadaran ingin diperlakukan istemewa selalu muncul kembali apabila Keke merasa direndahkan oleh orang lain. Sikap narsisme Keke dibuktikan dalam (Sylado, 2003: 01-108).

(37)

-nya untuk bersama Broto. Keke tidak memperdulikan superego bahwa geisha tidak boleh jatuh cinta.

(4) Tanpa harus saya tutup-tutupi, ingin saya katakan, kedudukan saya sebagai geisha yang sanggup mandiri, dan menganggap semua lelaki sama, adalah khayal. Di saat saya mulai iba kepada orang lain, tahulah saya bahwa di situ telah berlangsung perlawanan terhadap kemampuan hidup mandiri (Sylado 2003: 89).

Kutipan (4) menjelaskan Keke dituntut untuk hidup mandiri tanpa terikat oleh lelaki. Akan tetapi, rasa cinta kepada ayah muncul kembali dengan kehadiran Broto. Keke memilih mengikuti id-nya bersama Broto karena ingin memiliki Broto seutuhnya. Harapan Keke mempunyai ayah mengayomi dan modern dapat ditemukannya pada diri Broto. Oleh karena itu, Keke tidak memperdulikan superego-nya sebagai geisha yang tidak boleh terikat. Rasa cinta Keke terhadap figur ayah muncul kembali. Hal itu dibuktikan pada (Sylado, 2003: 37-137).

(38)

merah yang disimpan di pinggang dipercaya adalah arwah nenek moyang mereka). Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(5) Hujan deras pun seperti ikut menghukum. Akibatnya saya terjebak dalam takhayul. Untuk itu saya yakin, kodrat alami saya sebagai orang Minahasa, bukan Jepang, memanggil pulang pada kepercayaan takhayul ini. Keadaan alam yang menggamang antara hujan deras dan halilintar serta guntur adalah kutuk. Itu sebabnya ketika Tjak Broto menenangkan saya, rasanya sulit akal menerima. “Walau pun kau sempat kecewa karena disakiti, jangan kuatir, saya tetap bersama kau,” katanya. “Dengan atau tanpa restu Ibu, kita nikah.” Tiba-tiba kilat bersama guntur meledak dasyat. Jantung saya seakan copot. Kaget dan takut. Saya berteriak seperti gila. Pasti ini disebabkan pula oleh berkembangnya rasa patuh kepada takhayul tadi (Sylado, 2003: 135-136)

Keke terbawa id-nya untuk menafsirkan bahwa opo-opo (arwah nenek moyang) telah menghukumnya. Sejak kecil, orang tua Keke menghukumnya dengan memberi alasan opo-opo yang menghukum Keke. Saat dewasa pun kepercayaan arwah nenek moyang pasti menghukum orang bersalah akan selalu muncul kembali apabila Keke menemukan masalah. Ego melepaskan tekanan itu dengan berteriak seperti orang gila. Superego membuat Keke semakin dihantui perasaan bersalah. Keke tetap terbawa ajaran leluhurnya tentang kepercayaan pada opo-opo walaupun sejak usia 9 tahun ia diperkenalkan pada ajaran Shinto oleh Yoko. Ini dideskripsikan pada kutipan berikut.

(6) Sementara itu, seperti sudah saya katakan di muka, orang Minahasa, yaitu nenek moyang saya, sulit meninggalkan kebiasaan-kebiasaan animis, dan oleh karenanya gambaran saya tentang Tuhan adalah juga opo-opo, bungkusan kain merah yang harus disimpan di pinggang (Sylado, 2003: 174).

(39)

arwah nenek moyang sedang menghukumnya. Ia menjadi semakin tertekan dan menyesal karena memisahkan Broto dengan keluarganya. Dinamika kepribadian Keke dapat diartikan sebagai sikap pada kisah fantastik. Hal itu dibuktikan dalam (Sylado, 2003: 21-252)

Sikap pada kisah fantastik salah satunya, kepercayaan pada hal-hal yang gaib, terutama pada hantu, pada dasarnya kembali pada kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan terhadap “kekuatan” atau “roh” yang dilihat secara mutlak terpisah dari badan (Soebadio, 2003: 170).

Keke sangat menikmati pekerjaannya sebagai geisha. Baginya menjadi geisha memang bukan pilihan, tetapi ia bahagia menjadi geisha yaitu pribadi seni.

(7) Saya bahagia dengan kehidupan ini, sebab saya sudah terbina sejak usia 9 tahun untuk menerima kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur. Maksud saya, dalam tradisi budaya Jepang, kedudukan saya sebagai geisha, terhormat (Sylado, 2003: 06).

(40)

Keke telah menjadi istri Broto ketika Broto ditangkap oleh tentara Jepang karena difitnah teman sendiri. Keke nekad menyusul Broto ke markas Jepang, demi membebaskan suaminya.

(8) “Ternyata suami Nyonya harganya mahal. Dia terbukti menghasut. Jadi, kalau Nyonya ingin ketemu dengan dia, Nyonya pun harus membayar dengan harga yang seimbang.”

“Baik! Saya akan bayar. Berapa?” Sambil berkata begini, saya keluarkan pundi-pundi berisi uang yang seperti umumnya perempuan kampung saya selipkan di dalam kutang. “Ini! Kalau jumlah ini belum cukup, saya bisa tambah. Sebut saja jumlahnya.”

Diluar sangkaan saya, tiba-tiba Kobayashi mendekati saya, lalu dengan tangan kiri ia mengambil dengan cara merampas uang itu, dan dengan tangan kanan ia menarik kutang saya sambil berkata, “Jumlahnya satu!” (Sylado, 2003: 193).

Terlihat dalam kutipan (8) Keke mengabaikan superego-nya. Ia harus melakukan hubungan badan dengan lelaki yang tidak dinikahinya. Keke mengalami sikap narsisme pada dirinya. Keke nekad masuk ke markas Jepang sendiri, tanpa memperdulikan bahwa ia seorang perempuan. Dinamika kepribadian Keke muncul kembali. Id-nya merasa mampu membebaskan suaminya sendiri. Ego mengikuti dengan membiarkan Keke datang sendiri ke markas Jepang. Ia begitu percaya diri karena ingin dianggap sama seperti Janjte dan Broto yang dengan gagah berani melawan Jepang. Hal inilah yang mempengaruhi perilakunya. Sikap narsisme Keke untuk membebaskan Broto terbukti dalam (Sylado, 2003:01-201).

(41)

Hiroshi mencintai Keke sejak pertama kali bertemu, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan memiliki Keke. Hiroshi membawa Keke ke Jepang ketika Jepang menandatangani pengakuan menyerah di atas kapal Missouri 2 September 1945.

Hiroshi mengenalkan Keke pada ibunya sebagai istri yang dinikahi semasa hidup di Indonesia. Keluarga Hiroshi keras dan kaku membuat hidup Keke tertekan dan menderita. Keke selalu diperlakukan semena-mena layaknya seorang budak. Keke tak kunjung mempunyai anak semakin membuat Hiroshi dan keluarga menyepelekannya. Tahun 1952, Hiroshi tewas dalam perang Korea. Ibu Hiroshi telah membenci Keke. Ibu Hiroshi menyalahkannya atas kematian Hiroshi.

(9) Itu di luar dugaannya. Ketika saya naik darah, dan meletus ibarat sebuah bom yang tak terkendalikan, maka anggaplah saya kerasukan opo-opo nenek moyang saya di Minahasa. Napas saya terengah-engah, dan mata saya pasti merah dan liar, sementara tubuh saya terasa enteng, walaupun seluruh saraf saya menegang. Saya meloncat menerjangnya ketika saya lihat tubuhnya bergerak hendak berdiri. Tapi saya tidak sempat mencakar-cakar tubuhnya karena keburu beberapa orang lelaki sanak saudara Hiroshi Masakuni menangkap dan mengamankan saya (Sylado, 2003: 251).

(42)

oleh ibu Hiroshi ia tidak terima. Ia memilih ego-nya untuk memberi kepuasan melakukan perilaku kekerasan pada ibu Hiroshi, dengan begitu ia dapat menunjukkan bahwa ia kuat dan tidak dapat diremehkan. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas dan pereda ketegangan (Hartono, 2003: 04). Ia tidak memperdulikan superego, bahwa seorang menantu harus hormat pada mertuanya. Sikap Keke dapat diartikan sebagai narsisme karena tidak ingin diremehkan atau diperlakukan seenaknya oleh orang lain. Sikap narsisme Keke muncul kembali dengan menyerang ibu Hiroshi. Hal itu dapat dibuktikan pada (Sylado, 2003: 01-252).

Keke kembali ke Indonesia untuk mencari suaminya. Keke tidak dapat menemukan Broto di rumah mereka dulu. Keke mendapat keterangan bahwa Broto telah menikah dan hidup di Bandung, dari nenek Broto di Blitar. Keke tetaplah orang Minahasa walaupun ia telah dididik untuk meresapi bahwa Jepang adalah tanah airnya. Terlihat ketika ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Maliku, Minahasa. Ketika Keke tidak dapat menemukan perlindungan dari orang yang mencintainya, ia berharap menemukan kedamaian dengan pulang ke tanah kelahiran dan dekat leluhurnya. Ia tidak perduli bahwa di Minahasa sedang terjadi perang antara pemerintah pusat dan Permesta.

(43)

mempunyai kesempatan untuk melarikan diri ketika markas tentara Permesta diserang pemerintah pusat.

Kekerasan yang selama ini dialami Keke membuat ia sering merasa takut dan tegang dalam menghadapi sesuatu yang sekiranya mengancam jiwanya. Ini sering terjadi pada pendidikannya sebagai calon geisha. Keke sering merasa takut dihukum gurunya. Oleh karena itu, ia tumbuh menjadi gadis yang pendiam. Sewaktu dewasa Keke mengatasi rasa takutnya dengan melakukan kekerasan pada Yoko dan ibu Hiroshi. Keke nekad menyerang Yoko dan ibu Hiroshi karena tidak ingin kehilangan citra ego-nya sebagai geisha. Ketakutan muncul kembali ketika Keke menghadapi manusia pertama yang dilihatnya setelah 25 tahun ia tidak bertemu dengan manusia. Hal ini tampak pada kutipan (10).

(10) Dan demi mendengar itu, si Keke tua meloncat secara naluriah ke dinding belakang. Ismail Roeslan menangkapnya. Tapi tangkapannya terlepas lagi, saking kuatnya si Keke tua mengencangkan tubuhnya dan menyikut-nyikut. Ia lari seperti kesurupan di tengah kebunnya, terus menembus bambu duri, dan memasuki belukar (Sylado, 2003: 312).

Kutipan (10) membuktikan jika Keke kembali melakukan kekerasan karena merasa jiwanya terancam. Ketakutan Keke dapat diartikan sebagai kecemasan realitas. Kecemasan itu muncul kembali karena ia merasakan hal yang sama seperti yang ia alami dulu yaitu rasa takut yang luar biasa. Menurut Hall dan Lindzey (1993: 81), kecemasan realitas atau rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar. Bukti bahwa Keke mengalami kecemasan realitas terdapat dalam (Sylado, 2003: 21-313).

(44)

2.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian Broto

Broto adalah suami Keke yang bekerja sebagai wartawan di Tjahaja Soerabaja. Broto hidup dalam keluarga terpandang. Broto sangat mengagumi ayahnya karena selalu berpendirian teguh terhadap pendapatnya. Ayah Broto pensiunan pegawai pemerintah Belanda. Broto memutuskan tidak melanjutkan sekolah tingkat SMA, kala itu ayahnya telah lama meninggal. Broto memilih menjadi wartawan untuk menyalurkan hobi menulis dan membacanya. Posisinya sebagai anak sulung dan satu-satunya lelaki dalam keluarga menuntut Broto tumbuh menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab. Sejak kematian ayahnya, Broto dan adiknya dibesarkan oleh ibunya seorang diri. Ibunya berasal dari masyarakat bawah dengan pendidikan rendah dan pemikiran kolot. Broto sering bertengkar dengan ibunya karena beda pendapat. Hal ini tampak sebagai berikut.

(11) Lantas, bagaimana mereka mau memberi restu kalau kamu salah melabuhkan kapal? Apa kata mereka nanti.”

“Lo. Kok apa kata mereka? Mereka mau ngomong apa pun, sampai mulut mereka sobek, biar saja. Persetan dengan mereka. Tahu apa mereka? Saya yang paling kenal diri saya sendiri.” (Sylado, 2003: 131).

(45)

dianggap sebagai pemimpin keluarga yang harus dihormati sama seperti ayahnya. Sikap narsisme Broto dibukti pada (Sylado, 2003: 51-227).

Ego lebih memilih id dengan melawan ibunya. Broto tidak memperdulikan superego-nya bahwa tidak seharusnya seorang anak melawan ibunya. Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu itu hidup. Anak mengembangkan Superego-nyamelalui berbagai perintah dan larangan orang tuanya (Hartono, 2003: 04).

Broto bekerja sebagai wartawan di redaksi Tjoa Tjie Liang. Broto sangat menghormati dan mengagumi Tjoa Tjie Liang. Terlihat dalam kutipan sebagai berikut.

(12) Boleh dikatakan ia amat khatam atas semua sastra Barat. Ia baru mengenal Ranggawarsito. Justru melalui Tjoa Tjia Liang. Orang Cina Semarang inilah yang harus dibilang berjasa menemukan kembali kejiwaannya dan dengan itu merupakan landasan bagi pengertian bangsanya (Sylado, 2003: 52).

Tjoa Tjie Liang sangat nasionalis menulari sifat nasionalis kepada Broto. Broto kurang mencintai tanah airnya sendiri karena sejak kecil ia dididik dengan cara Barat. Hal itu membuat Broto menganggap Tjoa Tjie Liang adalah ayahnya. Tjoa Tjie Liang ditafsirkan sebagai perwujudan figur seorang ayah yang sudah seharusnya membimbing dan mengarahkan pada pandangan-pandangan hidup. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(13) Namun, Tjak Broto bisa menerima kata-kata Tjoa Tjia Liang sebagai pelajaran yang akan diujinya dalam tindak-tanduknya yang akan datang, menyertai pengalaman demi pengalaman dalam hidupnya (Sylado, 2003: 57).

(46)

Broto mengikuti id-nya merindukan figur seorang ayah yang dijadikan panutan dalam hidupnya. Ego-nya bekerja dengan mengidentifikasi Tjoa Tjie Liang sebagai ayahnya. Sikap identifikasi pada diri Broto terbukti dalam (Sylado, 2003: 51-159). Identifikasi adalah cara yang membuat orang dapat memperoleh kembali suatu objek telah hilang. Dengan mengidentifikasikan diri dengan orang terkasih yang telah meninggal atau berpisah, maka orang yang telah hilang itu dijelmakan kembali dalam bentuk ciri tertentu yang meresap atau melekat pada kepribadian seseorang (Hall dan Lindzey, 1993: 84).

Broto menjalankan pekerjaannya sebagai wartawan dengan meliput pembukaan kembali rumah makan pengusaha Jepang, Kotaro Takamura. Di tempat itulah Broto bertemu dengan Keke. Keke merupakan seorang geisha di rumah makan Kotaro. Kecantikan dan kepintaran Keke memikat hati Broto. Pribadi Keke mampu mengerti segala keluh kesah Broto. Hal itu membuat Broto selalu datang kembali ke rumah makan Kotaro meski sedang tidak mencari berita. Broto mengikuti id-nya untuk memilih Keke sebagai istri karena Keke mampu menutupi segala kekurangan ibunya. Bagi Broto seorang ibu harusnya mampu memahami keinginan anaknya. Tapi berbeda dengan realitanya. Ibu Broto sangat kolot, selalu memaksakan kehendak tanpa memperdulikan perasaan Broto. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(47)

Kutipan (14) menunjukkan pandangan Broto kepada ibunya hanya sebagai wanita kuno dan kolot. Hal itu berbeda dengan Broto yang berpikiran maju dan berpendidikan. Broto mulai menyadari bahwa ia tidak merasa nyaman dengan ibunya. Ibunya kolot, selalu menuntut dan tidak mampu mengerti apa yang ia rasakan. Alasan itu membuat ia membenci figur ibu dan mulai mengagumi ayahnya. Pemahaman ini berlanjut hingga ia dewasa. Kekecewaan kepada ibu membuat Broto mencari figur perempuan yang mampu menutupi segala kekurangan ibunya. Broto menghadirkan Keke sebagai figur ibu ideal baginya. Keke lemah lembut dan pengertian menghapus segala kerinduan akan figur ibu ideal.

(15) “Saya akan temani kau,” kata saya. “Dan saya akan dengar semua yang kau omongkan. Nah, ada apa? Kau kelihatan Sumpek?” (Sylado, 2003: 68). Pada kutipan di atas, memperlihatkan sosok Keke sebagai pendengar yang baik bagi Broto. Hal ini mampu mengobati kerinduan Broto akan figur ibu ideal dalam diri Broto. Id memilih Keke untuk mengobati kerinduan akan figur ibu ideal. Ego-nya mencari pereda ketegangan dengan menikahi Keke tanpa memperdulikan superego bahwa ia menikahi seorang geisha. Oedipus kompleks dalam diri Broto dapat dibuktikan pada (Sylado, 2003: 51-159).

(48)

Broto sempat mengikuti rombongan ludruk yang menampilkan pesan perjuangan. Dari situ, ia ditangkap kembali dan berhasil bebas ketika Indonesia merdeka. Broto menikah kembali dan tinggal di Bandung, tapi istrinya meninggal karena sakit. Broto menjalankan bisnis angkutan antar kota dan dapat berkumpul kembali dengan Keke.

2.4 Dinamika dan Struktur Kepribadian Hiroshi

Hiroshi Masakuni adalah mahasiswa jurusan Antropologi sedang melakukan penelitian budaya di desa Tenganan–desa tua di Bali yang tidak beragama Hindu. Hiroshi bertemu dengan Keke di rumah makan Kotaro ketika ia hendak mencari hiburan di Surabaya. Pertama kali melihat Keke, Hiroshi langsung tertarik dengan Keke. Hiroshi mengenal Keke sebagai Keiko, wanita Jepang yang bekerja menjadi geisha di rumah makan Kotaro. Hiroshi mengenalkan dirinya sebagai lelaki Jepang yang baik dan sopan. Oleh karena itu, ia memperlakukan Keke dengan sopan layaknya wanita terhormat. Hiroshi terkesan dengan kecantikan dan kepintaran Keke. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(49)

membuat Hiroshi merasa ketagihan dan ingin datang kembali mencari Keke. Terlihat pada kutipan (17).

(17) Ia bilang, ingin jumpa lagi jika ia kembali ke Hindia Belanda (Sylado, 2003: 99).

Hiroshi datang kembali ke Indonesia sebagai komandan tentara Jepang di Surabaya di mana waktu itu Jepang berhasil menduduki Indonesia. Hiroshi bertemu kembali dengan Keke yang sudah bersuami. Hiroshi menyanggupi membebaskan suami Keke, asalkan Keke bersedia menjadi istri Hiroshi.

(18) “Saya tidak ingin kita berpisah lagi. Kalau perang terkutuk ini selesai, saya akan minta kau jadi istri saya, dan kita tinggal di Osaka, membangun rumah tangga di sana.” (Sylado, 2003: 199)

Kutipan (18) terlihat Hiroshi menginginkan Keke menjadi istrinya. Hiroshi mengikuti id-nya untuk memilih Keke karena Keke mampu menggantikan ibu yang diidealkan Hiroshi selama ini.

(19) Lingkungan saya ini, mulai dari ibu kandung Hiroshi Masakuni sampai saudara-saudara kandungnya tergolong manusia beku. Yang mereka pikirkan melulu pekerjaan melaut, menjaring ikan, membersihkannya, lalu memasarkannya (Sylado, 2003: 245)

(50)

superego-nya bahwa tidak sepantasnya ia menikahi wanita yang telah beristri. Hiroshi mengalami sikap oedipus kompleks terhadap figur ibu ideal terbukti pada (Sylado, 2003: 97-250)

Semasa menjadi komandan tentara Jepang, Hiroshi dikenal sebagai tokoh tanpa iba. Ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(20) Hiroshi Masakuni tenang saja berdiri di hadapan Tjak Broto, mewakili perasaannya yang kehilangan sifat iba, dan sebaliknya di penuhi dengan sifat-sifat haus akan kekejaman sesuatu yang bertentangan dengan sikapnya terhadap saya yang lembek dan cengeng (Sylado, 2003: 224). Kutipan (20) menjelaskan gambaran sosok Hiroshi yang kejam dan tanpa iba. Hiroshi mengalami tahap anal karena orang tuanya keras dan kaku membuatnya menahan segala keinginannya. Daya tahan ini lepas ketika ia dewasa. Ia mengikuti ego-nya untuk melepas ketegangan dengan bersikap kejam tanpa memperdulikan superego bahwa bersikap kejam terhadap orang lain tidak sesuai perikemanusiaan. Ia pun akan melakukan hal yang sama seperti orang tuanya. Keinginan yang tertekan akan keluar juga dan menjadi perilaku yang sulit dikontrol. Didikan orang tua yang keras membuat Hiroshi mengalami tahap anal dan mempengaruhi perilakunya ketika dewasa. Hal itu dapat dibuktikan pada (Sylado, 2003: 198-250). Menurut Yusuf dan Nurihsan (2007: 59-60), dalam tahap anal orang tua memberikan latihan kebersihan pada anak dengan bersikap keras akan memberikan dampak tersendiri terhadap perkembangan anak yaitu sikap berlebihan dalam ketertiban atau kebersihan, bersikap kikir, kurang kreatif, bersikap kejam atau keras atau sikap memusuhi, penakut dan bersikap kaku.

(51)

tidak senang kepada Keke karena Keke tidak segera mempunyai anak. Alasan tersebut membuat Keke mengalami perilaku kekerasan baik itu fisik maupun non fisik dari ibu Hiroshi. Bahkan, Hiroshi juga ikut menyiksanya. Ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

(21) Anehnya Hiroshi Masakuni, pada malam harinya, setelah menyiksa saya seperti terhadap militer, mencoba membujuk saya. Ia minta maaf dan berbicara sesuatu yang saya tidak pernah mengerti.

“Maaf soal tadi pagi. Saya cinta kau, jadi saya cemburu kalau hatimu masih terbagi buat suamimu,” katanya (Sylado, 2003: 245).

Kutipan (21) memberi gambaran Hiroshi memiliki sifat yang labil. Hiroshi menyiksa Keke seperti tawanannya tapi cepat juga ia bersikap manis dan manja terhadap Keke. Sikap ini memang lumrah terjadi bagi orang yang baru saja pulang dari perang. Ia bisa saja melakukan tindakan kekerasan seperti yang biasanya ia lakukan semasa ia masih perang. Tapi, sekejap juga ia akan berubah ke sifat semula menjadi orang normal yang berusaha untuk mengasihi dan menggunakan cemburu sebagai alasan untuk menghindar dari pernyataan bahwa ia mengalami akibat dari masa perang. Mengenai orang yang baru mengalami trauma perang, Freud sendiri pernah menulis dan menyebutkan sebagai orang yang menderita perubahan psikis akibat tekanan realita yang berlebihan: ketakutan dan ketegangan yang terus-menerus atau dalam waktu yang lama (Djokosujatno, 2003: 112-113).

2.5 Dinamika dan Struktur Kepribadian Kotaro

(52)

sangat ramai dikunjungi para tamu. Sebagian besar tamu adalah laki-laki. Pandangan laki-laki di Indonesia, geisha tidak lebih dari pelacur belaka. Alasan itu membuat mereka datang ke rumah makan Kotaro, bukan untuk makan tapi untuk menikmati pelayanan para geisha.

Rumah makan Kotaro mengalami kemunduran karena para geisha telah menjadi tua. Kotaro mencari cara supaya dapat keluar dari kebangkrutan. Kotaro membeli dan mendidik anak-anak perempuan Indonesia di bawah 9 tahun untuk dijadikan pengganti para geisha yang telah tua. Usahanya membuahkan hasil rumah makannya kembali berjaya.

Kotaro dikenal para geisha-nya sebagai pribadi kolot dan keras. Kotaro sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Hal ini tampak pada kutipan berikut. (22) Kotaro Takamura nyinyir dan kalau ia nyinyir mukanya segera

berubah-ubah menjadi mayat karena ia menganggap undang-undang itu melencengkan nilai tradisional Jepang yang luhur ke dalam selera Barat yang miskin rasa (Sylado, 2003: 06).

(53)

Kotaro dikenal sebagai majikan yang kejam. Kotaro sering menghukum para geisha apabila mereka melakukan kesalahan.

(23) Kotaro Takamura masuk pula ke ruang itu dan mulailah saya menerima pukulan-pukulan hebat, seperti terhadap seorang musuh atau tawanan perang. Tangannya kuat, terasa bagai mengapak, menumbuk dan menebas, seakan seluruhnya mewakili perasaan benci yang luar biasa (Sylado, 2003: 44).

Kutipan (23) terlihat Kotaro melakukan perilaku kekerasan terhadap Keke, geisha di rumah makannya. Semasa kecil, ia selalu melihat perlakuan ayah kepada ibunya yang semena-mena. Kotaro menganggap ibunya lemah dan pantas diperlakukan seperti itu. Ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

(24) Alasan kenapa Kotaro bisa berbuat seperti itu karena masih jelas dalam ingatannya bahwa ibunya adalah babu yang bodoh belaka yang berjalan dibelakang ayahnya sambil menggendong bayi di punggung, sementara ayahnya berjalan di depan dengan tangan dikembangkan (Sylado, 2003: 08).

(54)

Kekecewaan akan figur ibunya membuat Kotaro beralih mencintai ayahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam (Sylado, 2003: 06-102).

2.6 Dinamika dan Struktur Kepribadian Yoko

Yoko merupakan geisha pertama milik Kotaro yang paling berbakat. Semakin tua membuatnya tidak begitu banyak digemari para tamu kembali. Karena itu, Kotaro berniat menggantikannya dengan geisha yang lebih muda dan menarik. Kotaro membeli anak-anak perempuan Indonesia di bawah 9 tahun dan mempercayakan Yoko untuk melatih menjadi geisha asli dari Jepang. Yoko merasa tidak senang dan terancam karena Keke mengalami kemajuan sangat pesat dibanding murid-murid yang lain. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.

(25) Kecurigaan ini sangat beralasan, dan memang sudah lama saya rasakan. Setelah melihat saya berkembang menjadi “kembang”-nya geisha di Shinju, mau tak mau rasa cemburu tak begitu gampang membuatnya menyerah. Dalam keadan seperti itu, ia menjadi kekanak-kanakan. Dan menurut saya, semua perempuan yang kekanak-kanakan adalah mereka yang tidak pernah mau menerima bahwa perjuangan melawan usia adalah perjuangan yang sia-sia. Yoko sudah tua (Sylado, 2003: 102-103).

(55)

tua. Sudah sepantasnya Yoko digantikan dengan geisha yang lebih muda. Sikap ini bisa diartikan sebagai gejala narsisme bahwa ia ingin menjadi satu-satunya geisha di rumah makan Kotaro yang dipuji para tamu meski pun ia sudah tua. Berbagai cara ia lakukan untuk menyingkirkan Keke. Ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.

(26) “Bohong!” secepatnya Yoko menanggap. Ia pergunakan betul kesempatan ini untuk menghasut. “Dia mencuri!” (Sylado, 2003: 100).

Kutipan (26) menjelaskan bahwa Yoko memfitnah Keke mencuri. Sakit hati karena merasa tersaingi membuat Yoko nekad memfitnah Keke. Sikap narsisme itu muncul kembali karena Yoko masih ingin menjadi geisha paling berbakat di tempat Kotaro meski pun usianya tidak muda kembali. Sikap narsisme Yoko terbukti dalam (Sylado, 2003: 108).

Meskipun membenci Keke, ternyata Yoko mampu meminta maaf kepada Keke atas perbuatannya selama ini. Ini ditunjukkan pada kutipan sebagai berikut.

(27) Yoko juga menangis. Dan ia menangis karena penyesalan. Ia datang pada saya meratap-ratap merangkul saya dengan tulus dan meminta maaf (Sylado, 2003: 107-108).

Kutipan (27) menunjukkan Yoko merasa menyesal dan meminta maaf akan segala kesalahannya terhadap Keke. Sikap narsisme untuk tidak terkalahkan dapat dikalahkan dengan naluri keibuannya. Selama ini Yoko telah menganggap Keke sebagai anaknya yang meninggal. Id-nya untuk menyayangi Keke layaknya anaknya sendiri mengalahkan ego-nya untuk selalu menyiksa keke sebagai saingannya.

(56)

Yoko mengalami identifikasi diri terhadap Keke karena menganggap Keke sebagai anaknya yang meninggal. Yoko membayangkan seandainya hidup pun anaknya akan menjadi geisha sama seperti dirinya. Sikap identifikasi Yoko dapat dibuktikan pada (Sylado, 2003: 119-259). Identifikasi juga merupakan cara membuat orang dapat memperoleh kembali suatu objek yang telah hilang. Dengan mengidentifikasikan diri dengan orang terkasih yang telah meninggal atau berpisah, maka orang yang telah hilang itu dijelmakan kembali dalam bentuk ciri tertentu yang meresap atau melekat pada kepribadian seseorang (Hall dan Lindzey, 1993: 84).

Pekerjaan sebagai geisha telah turun temurun membuat Yoko memahami bahwa kehidupan geisha adalah pelayanan, pengabdian dan tanggung jawab. Sejak kecil, Yoko hanya mengenal nenek dan ibunya. Yoko tidak pernah mengenal figur ayahnya. Tuntutan sebagai geisha yang tidak terikat membuat ibunya tidak dapat bersatu dengan ayahnya. Yoko mengalami oedipus kompleks, yaitu rasa cinta perempuan terhadap ayahnya, dialami ketika berusia tiga atau empat tahun. Karena hasrat cinta Yoko terhadap ayahnya, ia menikah dengan lelaki tua. Ini tampak pada kutipan berikut.

(29) “Satu orang lelaki pernah jadi perhatian saya. Saya nikah dengannya. Waktu itu saya lebih muda dari umurmu sekarang. Dan dia sudah berumur 70 tahun.” (Sylado, 2003: 113).

(57)

bersama Yoko sebagai pengganti anaknya. Ego-nya mencari kepuasan dengan mengiba kepada Keke supaya Keke merasa kasihan. Sikap Yoko ini bisa diartikan sebagai kastrasi. Kastrasi adalah rasa takut karena ancaman terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya atau kehilangan apa yang telah menjadi miliknya. Tampak dalam kutipan sebagai berikut.

(30) “Saya sudah tua, Keke. Saya tidak punya teman selain kau.” (Sylado, 2003: 258).

2.7 Dinamika dan Struktur Kepribadian Jantje

Jantje merupakan serdadu Belanda yang telah dipecat karena kelancangannya meminta Gubernur Jendral di Batavia untuk mengangkatnya sebagai Sekretaris Residen Manado. Jantje ingin mengubah nasib dengan pergi ke ibu kota menjadi serdadu Belanda karena orang tuanya hanya petani desa. Jantje mempunyai sifat yang kurang bersyukur terhadap apa yang telah menjadi miliknya. Orang tua Jantje keras dan kolot membentuk sifat Jantje keras dan selalu menaati segala aturan yang diajarkan.

Selepas menjadi mantan serdadu Belanda, Jantje sangat senang berjudi dan mabuk. Jantje menjalin bisnis dengan Kotaro, yaitu menjual anak-anak perempuan usia 9 tahun ke bawah untuk dijadikan calon geisha. Jantje tega menjual adik kandungnya demi memuaskan hasratnya akan harta dan kekuasan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.

(58)

Jantje tega menjual adik dan anak perempuan lainnya untuk mempertahankan harga dirinya agar tidak diremehkan. Jantje merasa masih sakit hati dengan penolakan Gubernur Jendral Batavia akan dirinya. Nasibnya menjadi anak petani akan berubah jika ia menjadi kaya. Hasratnya sejak kecil untuk menjadi orang terpandang, dapat terwujud apabila ia menjadi kaya dan berkuasa.

Meskipun Jantje tega menjual adiknya kerena hasratnya akan harta dan kekuasaan, ia tidak dapat menghilangkan id-nya untuk merasa cemas. Jantje takut akan mendapat karma karena menjual adiknya sendiri. Hal itu terjadi karena sejak kecil Jantje dibesarkan pada keluarga yang kolot akan norma moral yang dianutnya. Rasa bersalah Jantje merupakan kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati. Terlihat dalam kutipan (32).

(32) “Sudah saya bilang dia adik kandung saya, bagian dari darah saya. Saya tidak mau mati menanggung dosa dari darah saya sendiri.” (Sylado, 2003: 104).

Menurut Hall dan Lindzey (1993: 81), kecemasan moral dikarenakan orang-orang yang superego-nya berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma moral dengan mana mereka dibesarkan. Jantje merasa cemas karena superego-nya membuat Jantje merasa bersalah dengan menjual adiknya. Jantje mengalami kecemasan moral karena tega menjual adiknya. Hal ini dapat dibuktikan pada (Sylado, 2003: 16-105).

(59)

(33) “Tidak segampang itu mencabut nyawa saya.” Jantje menyobek bajunya yang hitam itu. “Lihat ini. Sembilan peluru menembusi dada saya tetap tidak mati. Bahkan mata saya pun sudah kena racun rencong, sehingga orang menyebut saya Jantje Picek, tapi tetap saya tidak mati” dia meludah “Tahu kenapa saya tidak bisa mati? Sebab iblis melindungi saya!” (Sylado, 2003: 168).

Kutipan (33) mendeskripsikan Jantje mengalami sifat narsisme karena rasa percaya diri yang tertanam semenjak Jantje kecil. Jantje mengikuti id-nya untuk selalu menang dan tidak ingin diremehkan oleh orang lain. Jantje memenuhi hasratnya untuk menunjukkan kepada Kotaro bahwa ia lebih berkuasa dengan memamerkan kebolehannya seperti yang terlihat pada kutipan (33).

2.8 Rangkuman

Berdasarkan analisis dinamika dan struktur kepribadian keenam tokoh dalam novel Kembang Jepun, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka mempunyai dinamika dan struktur kepribadian beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman yang ditekan semasa kecil.

(60)

bersikap kejam terhadap tawanannya. (4) Oedipus kompleks dialami Kotaro ketika ia menyadari bahwa ibunya tidak dapat melindunginya. Kotaro kecewa sehingga ia berpaling untuk mencintai ayah dan membenci ibunya. (5) Narsisme dialami Yoko karena ia melakukan segala cara untuk menjatuhkan Keke yang dianggap sebagai saingan. Padahal sudah seharusnya Yoko digantikan geisha yang lebih muda. (6) Kecemasan moral dialami Jantje karena telah tega menjual adiknya sendiri.

(61)

ego bekerja dengan memenuhi hasrat id, menyerang Keke. Yoko tidak memperdulikan superego bahwa seorang guru harus memberi contoh yang baik. (6) Id-nya untuk mencari harta berlebih demi kekuasaan yang diimpikannya. Ego memuaskan id dengan menjual adiknya. Superego-nya tidak berjalan dengan baik karena ia tega menjual adiknya.

(62)

46 3.1 Pengantar

Dalam bab II telah dianalisis dinamika dan struktur kepribadian tokoh. Oleh karena itu, pada bab III peneliti akan menganalisis perilaku kekerasan intensional berupa kekerasan fisik, deprivasi, psikologis, dan seksual. Kekerasan intensional ini disebabkan pada dinamika kepribadian yaitu, identifikasi, kastrasi, kecemasan, kisah fantastik, narsisme, tahap anal, dan oedipus kompleks serta dibentuk oleh struktur kepribadian terdiri dari, id, ego, dan superego.

Menurut Freud, alam tak sadar ini adalah segi pengalaman yang tak pernah kita sadari (karena terjadi pada tahap perkembangan ketika kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) atau kita tekan (Hartono, 2003: 3)

Berdasarkan teori Freud di atas, maka perilaku manusia sangat terpengaruh oleh pengalaman yang ditekan selama tahap perkembangan manusia. Pendapat inilah yang menjadi pegangan peneliti untuk mengkaji lebih lanjut perilaku kekerasan keenam tokoh dalam Kembang Jepun. Menurut peneliti, pengalaman keenam tokoh semasa kecil yang ditekan hingga dewasa mempengaruhi perilaku kekerasan mereka selanjutnya.

(63)

mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menemukan perilaku kekerasan intensional saja pada keenam tokoh. Oleh karena itu peneliti hanya memfokuskan perilaku kekerasan intensional yang terjadi pada keenam tokoh.

Berdasarkan kehidupan Keke, Broto, Hiroshi, Kotaro, Yoko, dan Jantje dalam Kembang Jepun, pada bab III akan dianalisis dinamika dan struktur kepribadian secara menyeluruh untuk mengetahui secara dekat perilaku kekerasan intensional mereka. Peneliti menemukan enam hal penting dalam diri setiap tokoh yang mempengaruhi dinamika dan struktur kepribadian yaitu, identifikasi, kastrasi, kecemasan, kisah fantastik, oedipus kompleks, dan tahap anal.

Berdasarkan teori Freud tentang dinamika dan struktur kepribadian, ditekan semasa kecil oleh tokoh membawa dampak perilaku kekerasan intensional mereka. Alasan ini yang mengantar peneliti melihat perilaku kekerasan mereka yang disebabkan oleh identifikasi, kecemasan, kisah fantastik, narsisme, oedipus kompleks, dan tahap anal. Dengan demikian, hasil kajian dalam penelitian ini merupakan psikoanalisis, maka sub judul pembahasan didasarkan pada gejala neurofisiologis tokoh-tokoh tersebut.

3.2 Perilaku Kekerasaan Intensional yang Didasari oleh Identifikasi

(64)

dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain (Hall dan Lindzey, 1993: 83).

Sikap identifikasi ditunjukkan Kotaro Takamura terhadap ayahnya. Hal ini terbukti dalam (Sylado, 2003: 06-102). Hiroshi mengagumi figur seorang ayah karena melihat ayahnya kuat dan melindungi. Pandangan Kotaro bahwa wanita lebih rendah daripada laki-laki diidentifikasi dari pandangan ayahnya terhadap wanita. Terlihat dari perlakuan ayah Kotaro terhadap ibunya yang hanya dianggap sebagai babu semata. Hal ini tampak dalam kutipan sebagai berikut.

(34) Alasan kenapa Kotaro bisa berbuat seperti itu karena masih jelas dalam ingatannya bahwa ibunya adalah babu yang bodoh belaka yang berjalan dibelakang ayahnya sambil menggendong bayi di punggung, sementara ayahnya berjalan di depan dengan tangan dikembangkan (Sylado, 2003: 08).

Menurut Kotaro wanita tidaklah berharga dan pantas disiksa. Hal itu dikarena rasa cinta terhadap ibu telah hilang. Kotaro merasa kecewa dengan figur ibunya yang terlihat lemah dan tidak berdaya seperti dalam kutipan (34). Kotaro berharap mempunyai ibu kuat dan dapat melindunginya. Kotaro kehilangan figur seorang ibu yang dapat dibanggakan. Kekecewaan itu berubah menjadi rasa benci karena melihat perlakuan ayah kepada ibunya. Kotaro mendapat pembenaran, bahwa sudah selayaknya wanita lemah dihukum dengan siksaan. Seperti menemukan figur seorang pahlawan pada diri ayah sedangkan figur seorang musuh pada ibunya. Terlihat dalam kutipan berikut.

(65)

Perilaku kekerasan intensional terjadi pada kutipan (35) adalah kekerasan fisik yang dilakukan Kotaro pada Keke didasari identifikasi dirinya pada sang ayah. Kotaro melakukan perilaku kekerasan intensional fisik terhadap Keke. Perilaku kekerasan intensional fisik dilakukan Kotaro tampak pada kata mengapak, menumbuk, dan menebas. Kotaro sengaja melakukan kekerasan intensional fisik terhadap Keke untuk melampiaskan kemarahannya. Kekerasan intensional fisik dapat berupa pemukulan pengeroyokan, penggunaan senjata tajam untuk melukai, menyakiti, penyiksaan, penghancuran fisik, pembunuhan, dan penggunaan obat untuk menyakiti (Poerwandari, 2004: 12).

3.3 Perilaku Kekerasan Intensional yang Didasari oleh Kecemasan

Freud membedakan tiga macam kecemasan, yakni kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral atau perasaan bersalah. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menemukan kecemasan realitas dan kecemasan moral. Kecemasan realitas atau rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar, kedua tipe kecemasan lain berasal dari kecemasan realitas ini. Sedangkan kecemasan moral merupakan rasa takut terhadap suara hati (Hall dan Lindzey, 1993: 81).

(66)

Hiroshi. Keke nekad menyerang Yoko dan ibu Hiroshi karena ia tidak ingin kehilangan citra ego-nya sebagai geisha. Hidup pada masa perang dan merupakan korban penyiksaan semasa peperangan, membuat Keke mengalami trauma perang. Freud seperti yang dikutip oleh Djokosujatno (2003: 112-113), orang yang baru mengalami trauma perang menyebutkan sebagai nevrose de guerre, orang yang menderita perubahan psikis akibat tekanan realita yang berlebihan, yaitu ketakutan dan ketegangan yang terus-menerus atau dalam waktu yang lama. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.

(36) Ketika siuman, saya dapati diri saya berada diatas balai-balai, dan kedua kaki saya diikat pula dengan menindihkan bambu diatasnya. Dalam keadaan seperti ini saya betul-betul sudah mati. Mereka, kecuali Otto Walilangit sendiri, telah memperlakukan saya seperti barang rekreasi, saban hari memperkosa saya. Apabila ada rasa kesadaran dalam ketakberdayaan ini, maka doa saya, moga-moga memang betul ada kapal perang Pusat yang akan datang kesini, lalu tentara-tentaranya menghajar mereka (Sylado, 2003: 276-277).

(67)

setelah 25 tahun ia tidak bertemu dengan manusia lain. Terlihat pada kutipan sebagai berikut.

(37) Dan demi mendengar itu, si Keke tua meloncat secara naluriah ke dinding belakang. Ismail Roeslan menangkapnya. Tapi tangkapannya terlepas lagi, saking kuatnya si Keke tua mengencangkan tubuhnya dan menyikut-nyikut. Ia lari seperti kesurupan di tengah kebunnya, terus menembus bambu duri, dan memasuki belukar (Sylado, 2003: 312)

Kecemasan moral juga dialami oleh Jantje. Hasratnya menjadi orang kaya dan berkuasa, membuatnya tega menjual adik sendiri. Jantje berpikir seandainya ia menjadi kaya, ia akan dihormati sebagai orang terpandang. Tidak seperti yang Jantje alami ketika Gubernur Jendral Batavia menolak permintaannya untuk menjadi sekretaris Residen Manado, hanya karena Jantje seorang pribumi. Hasratnya akan harta dan kekuasaan telah ada semenjak Jantje kecil, Jantje nekad pergi dari rumah karena tidak terima ia hanya anak dari seorang petani pribumi.

(38) Jantje gelisah. Ia bangkit dari duduknya. Berputar sebentar di ruang itu, dan sempat memandang saya, lalu kembali duduk lagi. Ia sudah termakan oleh gertak Kotaro Takamura. “Ya sudah, ambillah semuanya,” kata Jantje akhirnya (Sylado, 2003: 24).

Tampak dalam kutipan (38) Jantje tega menjual adiknya. Meskipun Jantje tega menjual adiknya karena hasrat akan harta dan kekuasaan. Jantje tetap merasa takut mendapat karma karena menjual adiknya sendiri. Hal itu dapat terjadi karena sejak kecil Jantje dibesarkan pada keluarga kolot akan norma moral yang dianutnya. Rasa bersalah Jantje merupakan kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati. Dapat dilihat dalam kutipan (39) berikut.

(68)

Menurut Hall dan Lindzey (1993: 81), kecemasan moral dikarenakan orang-orang yang superego-nya berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma moral dengan mana mereka dibesarkan.

Kecemasan moral dialami Jantje membuatnya melakukan perilaku kekerasan terhadap Kotaro. Hal ini terbukti pada (Sylado, 2003: 16-1

Referensi

Dokumen terkait

Upaya sistemik dan strategis yang dapat dilakukan untuk mencegah agar sistem di sektor kesehatan tidak menginduksi ter- jadinya korupsi adalah membangun mekanisme kerja dengan

Puji Tuhan penulis ucapkan terkhusus kepada Bapa Yesus Kristus, yang telah memberikan anugrah dan berkat-berkat-Nya sehingga dapat tersusun skripsi ini dengan judul “Pola

Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, melalui observasi lapangan, kuesioner di lapangan, yang berhubungan langsung dengan dampak Tempat

2000 diberikan apabila pemilik rahasia dagang atau pemegang rahasia dagang telah melakukan langkah-langkah untuk menjaga rahasia dagang yang dimilikinya dengan

Konsep silvofishery yang memadukan antara usaha tambak dengan penanaman mangrove diharapkan dapat menjembatani dua kepentingan tersebut, sehingga kegiatan budidaya

Tujuan penelitian adalah mengangkat cerita rakyat, serta budaya Jawa seperti wayang dan batik sebagai elemen desain, dalam pembuatan suatu jenis dek Tarot yang baru..

Halaman Tabel 2.1 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Tugas Pemimpin 41 Tabel 2.2 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Hubungan Pemimpin 42 Tabel 2.3 Kontinum Tingkat

Be to, pasiūlytas elektroninės parduotuvės, kaip verslo komunikacijos instrumento, pritai- kymo tikslinei kultūrai metodas, grindžiamas kultūros dimensijomis ir interneto