• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara - TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA TERHADAP JATUHNYA PESAWAT AIR ASIA DENGAN NOMOR PENERBANGAN QZ8501 Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara - TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA TERHADAP JATUHNYA PESAWAT AIR ASIA DENGAN NOMOR PENERBANGAN QZ8501 Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara

Pengangkutan berasal dari kata angkut, seperti yang dijelaskan oleh

Abdulkadir Muhammad sebagai berikut: “Pengangkutan berasal dari kata angkut

yang berarti angkat dan bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya

mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan”.9

Pengangkutan pada umumnya diatur dalam KUHD, yang kemudian dijabarkan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus baik

angkutan udara, laut, maupun angkutan darat. Di dalam KUHD sendiri tidak

memberikan definisi pengangkutan, dijumpai dalam Pasal 90 KUHD disebutkan

bahwa :

“surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau juragan kapal, dan meliputi selain apa yang mungkin menjadi persetujuan antara pihak-pihak bersangkutan, seperti misalnya jangka waktu penyelenggaraan pengangkutannya dan penggantian kerugian dalam hal kelambatan, juga meliputi nama dan berat atau ukuran barang-barang yang harus diangkut beserta merek-mereknya dan bilangannya; nama yang dikirimi barang-barang itu; nama dan tempat tinggal pengangkut atau juragan kapal; jumlah upah pengangkutan; tanggal penandatanganan; penandatanganan pengirim atau ekspeditur.

Merujuk pada ketentuan Pasal 90 KUHD tersebut di atas dapat dijelaskan

bahwa pengangkutan didasarkan atas perjanjian yang dibuat antara pengirim

atau ekspeditur dan pengangkut atau juragan kapal dengan bukti surat muatan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai

angkutan udara yaitu:

9

(2)

1. Ordonansi Pengangkutan Udara Stb. 1939-100

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

(selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 2009)

3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang

Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (selanjutnya disebut

PermenHub No. 77 Tahun 2011)

Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) mulai berlaku di Indonesia pada

tanggal 29 September 1933. Dalam OPU tidak menyebutkan definisi mengenai

angkutan udara. Definisi angkutan udara diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 pasal

1 angka (13) yang menyebutkan bahwa angkutan udara adalah setiap kegiatan

dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo,

dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar

udara yang lain atau beberapa Bandar udara.

Definisi lain mengenai angkutan udara terdapat pula dalam PermenHub

No. 77 Tahun 2011 yang menjelaskan angkutan udara adalah setiap kegiatan

dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo,

dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar

udara yang lain atau beberapa Bandar udara.

Ketentuan – ketentuan lain yang mengatur tentang pengangkutan udara

internasional terdapat pada :10

1. Konvensi Warsawa 1929 tentang Unifikasi Ketentuan-Ketentuan

Tertentu Sehubungan dengan Pengangkutan Udara Internasional.

10

(3)

2. Konvensi Roma 1952 tentang Tanggung Jawab Operator Pesawat

Terbang Asing kepada Pihak Ketiga di Darat.

3. Protokol The Haque 1955 tentang Amandemen Konvensi Warsawa

1929.

4. Konvensi Guadalajara 1961 tentang Tambahan Konvensi Warsawa

1929 untuk Unifikasi Aturan Tertentu Berkaitan dengan

Pengangkutan Udara Internasional yang Dilakukan Oleh Pihak

Selain Contracting Carrier.

5. Montreal Agreement 1966

6. Protokol Guatemala City 1971

7. Protokol Tambahan No. 1, 2, 3, dan 4 Montreal 1975

8. Konvensi Montreal 1999

Konvensi Warsawa adalah peraturan yang mengatur tentang pengangkutan

udara internasional. Dalam konvensi ini mengatur tentang prinsip-prinsip

tanggung jawab pengangkut udara atas kerugian yang timbul kepada penumpang,

bagasi dan barang, dan juga karena kerugian yang disebabkan oleh penundaan.

Seiring dengan berjalannya waktu dan pengangkutan mulai berkembang

dalam skala luas, Konvensi Warsawa telah mengalami perubahan dan

penambahan. Perubahan serta penambahan itu adalah sebagai berikut:11

(1)Protokol The Haque 1955. Protokol ini ditambahkan pada Konvensi

Warsawa dengan tujuan untuk menyesuaiakan jumlah ganti kerugian. Protokol

ini mulai berlaku sejak 1 Agustus 1963.

11

(4)

(2)Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen konvensi warsawa

1929. Konvensi ini mengatur pengertian, berlakunya konvensi, pegawai, actual air

carrier, gugatan, batas tanggung jawab, pembagian tanggung jawab, alamat

gugatan pengadilan, pembebasan tanggung jawab, dan ketentuan-ketentuan

penutup. Konvensi ini mulai berlaku 1 Mei, 1964.

(3) Montreal Agreement 1966. Kesepakatan ini berisikan apabila suatu

perusahaan penerbangan manapun yang akan terbang ke atau dari wilayah

Amerika Serikat harus bersedia membayar ganti kerugian yang ditentukan dalam

montreal agreement.

(4)Protokol Guatemala 8 Maret 1971. Perubahan ini mengenai

penyederhaan dokumen angkutan baik individu maupun kolektif.

(5) Protokol Tambahan No. 1, 2, 3, 4 Montreal 1975 juga dimaksudkan

menjadi amandemen pada Konvensi Warsawa. Namun sampai saat ini, protokol

ini belum berlaku.

(6)Konvensi Montreal 1999 yang berjudul Convention for the Unification

of Certain Rules for International Carriage by Air yang ditandatangani pada 28

Mei 1999. Di Montreal 1999 pada prinsipnya mengatur secara garis besar

ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi Warsawa 1929, Protokol The

Hague 1955, konvensi Guadalajara 1961, protocol Guatemala 1971, dan Protokol

Tambahan No. 1, 2, 3, 4 Montreal 1975.

Sedangkan Konvensi Roma tidak termasuk dalam perubahan konvensi

Warsawa. Konvensi Roma mengatur tentang tanggung jawab pengangkut

(5)

pengangkut yang menyebabkan kerugian yang ditimbulkan oleh pesawat udara

asing.12

2.2. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara Dalam Kasus Kecelakaan Air Asia QZ8501

2.2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Udara

Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara

pengangkut dengan penumpang atau pengirim barang, dimana pengangkut

mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau

orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan

penumpang atau pengirim barang mengikatkan diri untuk membayar uang

angkutan.13 Yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan udara adalah

perjanjian antara pengangkut udara dengan penumpang atau pengirim

barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara,

dengan imbalan bayaran atas suatu prestasi lain.14 Pada definisi perjanjian

pengangkutan udara tersebut dapat dilihat bahwa ada 2 pihak yang terlibat

didalamnya, yang pertama adalah pengangkut udara dan kedua adalah

penumpang atau pengirim barang.

Definisi dari pengangkut udara (carrier) diatur dalam Perjanjian

Guadalajara (Convention, Supplementary to the Warsaw Convention for the

Unification of Certain Rules relating to International Carriage by Air

Performed by a Person Other than the Contracting Carrier), yaitu

12

Zahry Vandawati, Hand Out Hukum Pengangkutan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2015

13

Koeshardianto Nugroho, Skripsi, Tanggung Jawab Pengangkut Udara dalam Kasus Kecelakaan Lion Air di Solo, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, hal.14

14

(6)

perjanjian mengenai angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak yang

bukan pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Perjanjian ini

memberikan definisi-definisi bagi contracting carrier dan actual carrier

sebagai berikut :15

1. Contracting Carrier adalah seorang yang sebagai salah satu pihak

membuat suatu perjanjian pengangkutan dengan seorang penumpang

atau pengirim barang atau dengan seorang yang bertindak atas nama

penumpang atau pengirim barang.

2. Actual Carrier adalah kuasa dari contracting carrier yang melaksanakan

seluruh atau sebagian dari pengangkutan udara berdasarkan perjanjian

antara contracting carrier dengan penumpang atau pengirim barang.

Berdasarkan definisi diatas, yang dimaksud dengan pengangkut udara

adalah apa yang disebut sebagai contracting carrier yaitu pihak yang

mengadakan perjanjian pengangkutan udara dengan penumpang atau

pengirim barang, yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan dengan selamat. Pengangkut udara tersebut dalam

penyelenggaraan pengangkutan udara dapat melaksanakan sendiri, atau

menyerahkan penyelenggaraannya pada pihak lain melalui perjanjian charter

pesawat. Pihak lain yang melaksanakan pengangkutan udara itu yang

disebut actual carrier. Dengan demikian, maka yang disebut penumpang

adalah setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pengangkut udara

berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan.

15

(7)

Menurut Suherman16 adanya perjanjian pengangkutan udara orang dapat

dibuktikan dengan adanya suatu tiket penumpang. Sedangkan pengirim

barang adalah pihak dalam perjanjian angkutan barang yang menjadi lawan

dari pengangkut, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya surat muatan

udara (airway bill). Yang dimaksud dengan tiket disini adalah dokumen

berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang

merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara

penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan

pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara sebagaimana diatur

dalam pasal 1 angka 27 UU No. 1 Tahun 2009. Sedangkan surat muatan

(airway bill) adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik,

atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian

angkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima

kargo untuk mengambil kargo sebagaimana pasal 1 angka 28 UU No. 1

Tahun 2009. Kedudukan dari tiket dan surat muatan udara tersebut sebagai

bukti adanya perjanjian pengangkutan.

2.2.2 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pihak-pihak yang

termasuk didalam perjanjian pengangkutan udara, maka selanjutnya akan

dibahas tentang hubungan hukum para pihak dalam perjanjian pengangkutan

udara. Hubungan hukum (Rechtsbetrekkingen) adalah hubungan yang terjadi

16

(8)

antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya dan atau

antara subyek hukum dengan obyek hukum yang terjadi dalam masyarakat

dimana hubungan tersebut diatur oleh hukum dan karenanya terdapat hak

dan kewajiban diantara pihak-pihak dalam hubungan hukum.17 Hubungan

hukum dalam pengangkutan menggunakan pesawat udara Air Asia diawali

adanya hubungan antara penyelenggara angkutan udara Air Asia dengan

penumpang yang didasarkan perjanjian pengangkutan yang dibuktikan

dengan tiket penerbangan. Seiring perkembangan jaman, maskapai

penerbangan memberikan kemudahan bagi para calon penumpangnya

dengan mengirimkan booking code melalui pesan singkat (SMS) atau surat

elektronik (email) sebagai pengganti dari tiket yang selanjutnya oleh

penumpang diserahkan kepada petugas check-in di bandara untuk

memperoleh boarding pass.

Penyelenggara angkutan menggunakan pesawat udara Air Asia dalam

lingkup perniagaan, termasuk dalam usaha di bidang ekonomi.

Penyelenggara usaha di bidang ekonomi disebut sebagai pelaku usaha

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut UUPK) yaitu setiap orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

17

(9)

ekonomi. Penumpang yang menggunakan jasa angkutan udara Air Asia

disebut konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK.

Hubungan hukum dalam perjanjian pengangkutan didasarkan atas

kesepakatan kedua belah pihak. Subekti menyebutnya dengan asas

konsensual, maksudnya bahwa perjanjian dianggap telah lahir secara kedua

belah pihak mencapai kata sepakat atau konsensus, tidak perlu harus dibuat

dalam bentuk formal (tertulis).18 Tercapainya kata sepakat, maka

menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik, kemudian dilaksanakan

dengan adanya kontrak. Pada dasarnya, perjanjian yang terjadi diantara

kedua pihak tersebut berisikan hal-hal sebagai berikut :19

Pihak maskapai penerbangan menetapkan :

a. Kewajiban konsumen untuk membayar harga tiket;

b. Kewajiban konsumen untuk membayar kelebihan biaya bagasi

apabila barang yang dibawa melebihi kapasitas yang ditentukan;

c. Kewajiban konsumen untuk check in pada waktu yang ditentukan

dan keterlambatan konsumen menjadi tanggung jawabnya sendiri;

d. Konsumen berhak atas refund atau pengembalian biaya jika

penerbangan dibatalkan, dan berhak mendapatkan kompensasi (ganti

kerugian) apabila penerbangan ditunda (delay);

e. Konsumen harus mentaati aturan baku terkait dengan keselamatan.

18

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, h. 15. 19

(10)

2.3. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut Udara 2.3.1. Hak dan Kewajiban Pengangkut Udara

Dalam kegiatan pengangkutan udara terdapat dua pihak seperti yang

sudah dijelaskan. Pihak pertama adalah perusahaan maskapai sebagai pelaku

usaha dan penumpang sebagai konsumen. Para pihak tersebut terikat oleh suatu

perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian

yang merupakan suatu bentuk dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan

maka didalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan

dipenuhi.

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen ini terdapat suatu

ketidakseimbangan dalam posisi, sebagaimana dikemukakan oleh Sidharta20

bahwa posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah

satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan

/pengayoman kepada masyarakat. Dipertegas oleh Nasution bahwa secara

universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata

konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya

dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun

kemampuan atau daya bersaing/daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang

bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang

dibandingkan dengan kedudukan pengusaha.21 Posisi konsumen yang lemah inilah

perlu mendapatkan perlindungan hukum agar mendapatkan kepastian hukum atas

hak-haknya selaku konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen yang

20

Sidharta,Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hal.11

21

(11)

dimaksud adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi kepada konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPK.

Hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPK, meliputi:

a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

Dalam hal apabila barang/jasa tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan

fungsinya dan mengalami kerusakan atau cacat produk, serta masih dalam masa

garansi, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan

atau penggantian. Sebagai kompensasi hak konsumen, maka konsumen memiliki

kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPK, di antaranya:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Dengan demikian konsumen tidak hanya menuntut haknya saja, melainkan

(12)

dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan

barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Disamping itu, pelaku

usaha juga memiliki hak dengan kewajiban.

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK menentukan

sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UUPK menentukan:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

h. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 140 UU No. 1

(13)

a. Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

b. Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

c. Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Dengan demikian kewajiban penyelenggara angkutan adalah mengangkut

orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

Selain itu penyelenggara angkutan juga diwajibkan untuk memberikan pelayanan

yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian

pengangkutan yang disepakati. Keseluruhan kewajiban tersebut terlahir dari

perjanjian pengangkutan yang dibuktikan dengan adanya tiket penumpang dan

dokumen muatan. Tiket penumpang dan surat pengangkutan barang merupakan

tanda bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan

penumpang atau pengirim.22 Hal ini bahwa dalam pengangkutan menggunakan

angkutan udara niaga sama halnya dengan pengangkutan menggunakan mode

yang lain didasarkan atas perjanjian pengangkutan yang dibuat antara

penyelenggara angkutan dengan penumpang atau pengirim barang.

2.3.2. Tanggung Jawab Pengangkut Udara Dalam Kasus Kecelakaan Air Asia QZ8501

Dalam setiap usaha pengangkutan, setiap pengangkut pada umumnya

harus bertanggung jawab atas penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

Secara umum, dalam hukum pengangkutan dikenal adanya prinsip-prinsip

tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut :

22

(14)

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (LiabilityBased on

Fault Principle)23

Prinsip ini terdapat pada pasal 1365 B.W.. Pasal tersebut dikenal

sebagai tindakan melawan hukum yang berlaku umum termasuk

perusahan penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan

melawan hukum yang menimbulkan kerugian orang lain

mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan

kerugian itu mengganti kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut

setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya artinya

apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian orang lain,

maka orang tersebut harus bertanggungjawab untuk membayar

kerugian yang diderita. Dalam prinsip ini penumpanglah yang

harus membuktikan kesalahan dari perusahaan penerbangan.

b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (Presumption of

Liability)

Prinsip ini mempunyai arti bahwa pengangkut dianggap selalu

bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan pada

penumpang atau ahli warisnya, karena penumpang luka atau tewas,

atau bagasinya rusak atau hilang.24 Beban pembuktian ini diberikan

kepada pihak pengangkut, hal ini disebut pembuktian terbalik.

Dalam prinsip ini kemungkinan bagi pengangkut dapat

membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang

diperlukan atau tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil

23

Analisa_dan_evaluasi_Perjanjian_Internasional_Di_Bidang_Perhubungan_Udara_2006. pdf diakses tanggal 30 Mei 2015

24

(15)

tindakan tersebut guna menghindarkan kerugian yang timbul atau

pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut akibat

dara kesalahan penumpang sendiri.25

c. Prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Non-liability)

Prinsip ini menjelaskan mengenai tanggung jawab yang tidak dapat

dikenakan pada pengangkut atau pengangkut tidak bertanggung

jawab atas kerugian yang timbul atas sesuatu, dan sesuatu ini

biasanya berupa barang bawaan penumpang yang berada dalam

pengawasannya selama dalam pengangkutan (bagasi tangan).26

Dalam hal ini penumpang yang harus membuktikan bahwa

pengangkut bertanggung jawab. Misalnya bahwa kerugian pada

bagasi tangan disebabkan karena kelalaian atau perbuatan sengaja

dari pengangkut.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability/Strict Liability)

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip presumption of

liability. Berdasarkan prinsip ini pengangkut bukan lagi dianggap

bertanggung jawab tetapi dianggap selalu bertanggung jawab tanpa

ada kemungkinan membebaskan diri.27 Dalam prinsip ini

pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita

konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada

dirinya.

25

Ibid, hal.41 26

Indri Hapsari, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Penumpang Terkait Asuransi Jasa Raharja, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, hal.28 27

(16)

e. Prinsip tanggung jawab terbatas (Limitation of Liability)

Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab pengangkut dapat

dibatasi sampai jumlah tertentu, artinya dari awal pengangkut

sudah menentukan jumlah baku tertentu untuk tiap-tiap kerugian

yang diderita penumpang.28

Apabila dikaitkan dengan kasus kecelakaan Air Asia QZ8501 dalam rute

penerbangan Surabaya-Singapura yang merupakan penerbangan internasional

terjadwal, pihak pengangkut dalam hal ini Perusahaan Air Asia harus bertanggung

jawab secara mutlak sehingga yang digunakan adalah prinsip absolute liability.29

Dalam prinsip absolute liability pengangkut dalam hal ini Air Asia harus

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus

membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya. Hal ini sesuai dengan yang

diatur dalam pasal 141 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia,

cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara didalam

pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Dalam hal ini UU No. 1 Tahun 2009

dapat diterapkan meskipun kasus Air Asia tersebut merupakan penerbangan

internasional karena sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 huruf c yang

menyebutkan bahwa Undang-Undang ini berlaku untuk semua pesawat udara

asing yang melakukan kegiatan dari dan/atau ke wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Selain itu, prinsip limitation of liability juga diterapkan dari

ditentukannya jumlah ganti rugi yang diatur dalam Peraturan Menteri

28

Indri Hapsari, Op.Cit.,hal.31 29

(17)

Perhubungan. Untuk pertanggungjawaban dalam hal jumlah ganti kerugian yang

harus dibayar oleh pihak pengangkut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 165

ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa jumlah ganti kerugian

untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka

sebagaimana dimaksud dalam pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan

Menteri.

Sehubungan dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan dengan Peraturan

Menteri diatur dalam Pasal 3 PermenHub No. 77 Tahun 2011, bahwa jumlah ganti

kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka

ditetapkan sebagai berikut:

a. penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;

b. penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang sematamata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;

c. penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi :

1) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan

2) penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(18)

Kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.

e. penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Sehubungan dengan tanggung jawab yang harus diberikan pengangkut udara

atas penumpang yang meninggal dunia yang ditentukan oleh Peraturan Menteri

tersebut, maka pengangkut udara dalam hal ini perusahaan Air Asia akan

memberikan ganti kerugian kepada ahli waris sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu

miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang. Dalam hal ini penumpang

dapat menuntut lebih atas besaran ganti kerugian yang akan didapatnya, seperti

yang diatur dalam pasal 180 UU No. 1 Tahun 2009 dengan menuntut ganti

kerugian terhadap bagasi dan telah tercantum dalam pasal 5 PermenHub No. 77

Tahun 2011 yang mengatur sebagai berikut :

(1) Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut :

a. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) per penumpang; dan

b. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.

(2) Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14(empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan di Bandar udara tujuan.

(19)

Maka dari itu ahli waris dapat menuntut ganti rugi lebih atas bagasi sebesar

Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,-

(empat juta rupiah) per penumpang. Besaran ganti kerugian tersebut diatas

ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu tingkat hidup yang layak rakyat

Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha Angkatan Udara, tingkat inflasi

kumulatif, pendapatan perkapita, perkiraan usia harapan hidup, dan perkembangan

nilai mata uang. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 15 PermenHub No. 77

Referensi

Dokumen terkait

Morphometric analysis consists of 5 parameters geomorphic indices: drainage basin asymmetry (AF), hypsometric curve and integral (Hc and Hi), stream length gradient (SL)

Stray dapat meningkatkan disiplin dan prestasi belajar IPS materi menghargai perjuangan para tokoh dalam memepertahankan kemerdekaan Indonesia pada siswa kelas V

asumsi klasik harus menggunakan data yang akan digunakan dalam

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Metode survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi

Pada percakapan (2) di atas, tuturan Kasino dan Indro dinilai tidak santun atau.. menyimpang dari maksim

Teknik pengumpul data dalam penelitian ini adalah 1) Teknik observasi langsung yang merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung

Dalam membantu peserta didik belajar sains dengan lebih baik melalui penulisan, guru dapat melakukan hal sebagai berikut : (1) meminta peserta didik untuk