• Tidak ada hasil yang ditemukan

FIKIH MUYASSAR 1 : PEMBUKAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FIKIH MUYASSAR 1 : PEMBUKAAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FIKIH

MUYASSAR

1

:

PEMBUKAAN

? Insya Allah mulai hari ini, setiap hari selasa kita akan bersama-sama mempelajari permasalahan fikih. Kita akan memulainya dari pembahasan thoharoh (bersuci) dan seterusnya.

Panduan dasar pelajaran fikih ini adalah kitab Al-Fiqhu Al-Muyassar fi Dhouil Kitab was Sunnah yang ditulis oleh sekumpulan Ulama dan diberi pengantar oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhahullah. Tidak menutup kemungkinan ada faedah-faedah dari sumber lain yang akan disisipkan di sela-sela pembahasan.

? Sebagaimana tekad kami sejak awal, kami tidak akan berpanjang lebar di dalam menjelaskan suatu permasalahan. Lebih baik singkat tetapi dimengerti daripada panjang lebar yang membuat pembaca menjadi bosan.

✅ Agar faedah-faedah ini tidak berlalu begitu saja, ada baiknya anda mengabadikannya ke dalam buku catatan anda.

Ikuti Terus pelajarann fikih Muyassar di: Channel Telegram

Website Twitter

=============

Pelajaran Rutin Fikih Muyassar di Channel Telegram Warisan Salaf https://telegram.me/warisansalaf/40

(2)

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-3

Kaedah Ke 3 Bagian 1 ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣ ﻢﻬﺗادﺎﺒﻋ ﻓ ﻦﻴﻗﺮﻔﺘﻣ ٍسﺎﻧا ﻠﻋ ﺮﻬﻇ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﺒﻨﻟا ّنأ :ﺔﺜﻟﺎﺜﻟا ةﺪﻋﺎﻘﻟاو ﺲﻤﺸﻟا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،رﺎﺠﺷﻷاو رﺎﺠﺣﻷا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟاو ءﺎﻴﺒﻧﻷا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،ﺔﺋﻼﻤﻟا ﻢﻬﻨﻴﺑ قِﺮﻔﻳ ﻢﻟو ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻢﻬﻠﺗﺎﻗو .ﺮﻤﻘﻟاو. 193:ةﺮﻘﺒﻟا] {ﻪﻟ ﻦﻳِّﺪﻟا َنﻮﻳو ٌﺔَﻨْﺘﻓ َنﻮَﺗ  ﱠﺘﺣ ﻢﻫﻮُﻠﺗﺎَﻗو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﻞﻴﻟﺪﻟاو] . و ِﺲﻤﱠﺸﻠﻟ اوُﺪﺠﺴَﺗ  ﺮﻤَﻘْﻟاو ﺲﻤﱠﺸﻟاو رﺎﻬﱠﻨﻟاو ﻞﻴﱠﻠﻟا ﻪﺗﺎﻳآ ﻦﻣو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺮﻤﻘﻟاو ﺲﻤﺸﻟا ﻞﻴﻟد 37:ﺖﻠﺼﻓ] {ِﺮﻤَﻘْﻠﻟ] . 80:ناﺮﻤﻋ لآ] {ﺎﺑﺎﺑرا ﻦﻴِﻴِﺒﱠﻨﻟاو َﺔﺋَﻤْﻟا اوُﺬﺨﱠﺘَﺗ ْنا ﻢﻛﺮﻣﺎﻳ و} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﺋﻼﻤﻟا ﻞﻴﻟدو] . ﻦﻴﻬَﻟا ﻣاو ﻧوُﺬﺨﱠﺗا ِسﺎﱠﻨﻠﻟ ﺖْﻠُﻗ ﺖﻧاا ﻢﻳﺮﻣ ﻦﺑا ﺴﻴﻋ ﺎﻳ ﻪﻟا لﺎَﻗ ْذاو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ءﺎﻴﺒﻧﻷا ﻞﻴﻟدو ﺴْﻔَﻧ ﻓ ﺎﻣ ﻢَﻠﻌَﺗ ﻪَﺘﻤﻠﻋ ْﺪَﻘَﻓ ﻪُﺘْﻠُﻗ ﺖﻨﻛ ْنا ﻖﺤِﺑ ﻟ ﺲﻴَﻟ ﺎﻣ لﻮُﻗا ْنا ﻟ ُنﻮﻳ ﺎﻣ َﻚَﻧﺎﺤﺒﺳ لﺎَﻗ ﻪﻟا ِنود ﻦﻣ 116:ةﺪﺋﺎﻤﻟا] {ِبﻮﻴُﻐْﻟا مﱠﻋ ﺖْﻧا َﻚﱠﻧا َﻚﺴْﻔَﻧ ﻓ ﺎﻣ ﻢَﻠﻋا و] . َنﻮﺟﺮﻳو بﺮْﻗا ﻢﻬﻳا َﺔَﻠﻴﺳﻮْﻟا ﻢِﻬِﺑر َﻟا َنﻮُﻐَﺘﺒﻳ َنﻮﻋْﺪﻳ ﻦﻳِﺬﱠﻟا َﻚﺌَﻟوا} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا ﻞﻴﻟدو 57:ءاﺮﺳﻹا] {ﻪﺑاَﺬﻋ َنﻮُﻓﺎَﺨﻳو ﻪَﺘﻤﺣر] . . [20-19:ﻢﺠﻨﻟا] {ىﺮْﺧا َﺔَﺜﻟﺎﱠﺜﻟا َةﺎَﻨﻣو ،ىﺰﻌْﻟاو تﱠﻟا ﻢُﺘﻳاﺮَﻓا} :ﻟﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ رﺎﺠﺷﻷاو رﺎﺠﺣﻷا ﻞﻴﻟدو ﻦﻴﻨﺣ ﻟإ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﺒﻨﻟا ﻊﻣ ﺎﻨﺟﺮﺧ“ :لﺎﻗ ‐ﻪﻨﻋ ﻪﻟا ﺿر‐ ﺜﻴﻠﻟا ٍﺪﻗاو ﺑأ ﺚﻳﺪﺣو ،طاﻮﻧأ تاذ :ﺎﻬﻟ لﺎﻘﻳ ﻢﻬﺘﺤﻠﺳأ ﺎﻬﺑ نﻮﻃﻮﻨﻳو ﺎﻫﺪﻨﻋ نﻮﻔﻌﻳ ةرﺪﺳ ﻦﻴﻛﺮﺸﻤﻠﻟو ،ﺮﻔﺑ ٍﺪﻬﻋ ءﺎﺛﺪﺣ ﻦﺤﻧو 1) ﺚﻳﺪﺤﻟا ” … طاﻮﻧأ تاذ ﻢﻬﻟ ﺎﻤﻛ طاﻮﻧأ تاذ ﺎﻨﻟ ﻞﻌﺟا ﻪﻟا لﻮﺳر ﺎﻳ :ﺎﻨﻠﻘﻓ ةرﺪﺴﺑ ﺎﻧرﺮﻤﻓ) . FAEDAH:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus kepada manusia yang menyetukukan Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, matahari dan bulan, berhala, bebatuan, dan pohon, dan ada juga yang menyembah orang shalih. Ini sebagai dalil yang menunjukkan

(3)

jeleknya perbuatan syirik, dimana pelakunya berpecah belah dalam hal ibadah. Berbeda dengan ahli tauhid yang memiliki sesembahan yang satu, {39 :ﻒﺳﻮﻳ] {ﺎﻫﻮﻤُﺘﻴﻤﺳ ءﺎﻤﺳا ﻻا ﻪﻧود ﻦﻣ َنوُﺪﺒﻌَﺗ ﺎﻣ ،رﺎﻬَﻘْﻟا ُﺪﺣاﻮْﻟا ﻪﻟا ما ﺮﻴَﺧ َنﻮُﻗِﺮَﻔَﺘﻣ بﺎﺑراء] “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf:39)

Perpecahan yang dilakukan oleh ahlu syirik disebabkan mereka berjalan di atas hawa nafsu dan arahannya orang-orang sesat.

Perumpamaan orang-orang yang berbidah kepada Allah semata dan kaum musyrikin, seperti seorang budak yang dimiliki oleh satu orang dan budak yang dimiliki oleh beberapa orang secara bersamaan. Tentu saja yang dimiliki satu orang lebih merasa tentram dan lebih mengerti apa yang harus dia lakukan. Sedangkan yang dimiliki oleh beberapa orang akan kebingungan, dimana masing-masing pemilik memiliki keinginan dan tuntutan yang berbeda. Allah berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” ( Az-Zumar:29)

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang memerangi semua manusia yang berbidah kepada selain Allah, dari watsaniyyun (penyembah berhala), Yahudi dan Nashara (penyembah Nabi), majusi (penyembah api), penyembah malaikat, dan penyembah para wali, ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan, “Penyembah berhala (batu, pohon, Dan benda mati) tidak sama dengan yang menyembah orang shalih dan malaikat.”

Dengan anggapan ini mereka menginginkan bahwa orang-orang yang menyembah kuburan (orang shalih atau wali) hukumnya berbeda dengan para penyembah berhala. Tidak boleh dikafirkan, dan perbuatan tersebut tidak tergolong kesyirikan, sehingga tidak boleh diperangi.

Jawabnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membeda-bedakan di antara mereka. Bahkan beliau menganggap mereka semua ahli syirik. Beliau menghalalkan darah dan harta mereka. Orang Nashara yang menyembah

(4)

Al-Masih (Nabi) diperangi, Yahudi yang menyembah Uzair (Nabi atau orang shalih) diperangi

Bersambung, insya Allah…

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-2

PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’ Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

(Kaedah Ke 2) ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﺑﺮُﻘﻟا ﻞﻴﻟﺪﻓ ،ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو ﺔﺑﺮُﻘﻟا ﺐﻠﻄﻟ ﻻإ ﻢﻬﻴﻟإ ﺎﻨﻬﺟﻮﺗو ﻢﻫﺎﻧﻮﻋد ﺎﻣ :نﻮﻟﻮﻘﻳ ﻢﻬّﻧأ :ﺔﻴﻧﺎﺜﻟا ةﺪﻋﺎﻘﻟا ﺎﻣ ﻓ ﻢﻬَﻨﻴﺑ ﻢﺤﻳ ﻪﻟا ﱠنا َﻔْﻟُز ﻪﻟا َﻟا ﺎَﻧﻮﺑِﺮَﻘﻴﻟ ا ﻢﻫُﺪﺒﻌَﻧ ﺎﻣ ءﺎﻴﻟوا ﻪﻧود ﻦﻣ اوُﺬَﺨﱠﺗا ﻦﻳِﺬﱠﻟاو} :‐ﻟﺎﻌﺗ 3:ﺮﻣﺰﻟا] {رﺎﱠﻔﻛ بِذﺎﻛ ﻮﻫ ﻦﻣ يِﺪﻬﻳ  ﻪﻟا ﱠنا َنﻮُﻔﻠَﺘْﺨﻳ ﻪﻴﻓ ﻢﻫ] . ﺎَﻧوﺎﻌَﻔُﺷ ءﻮﻫ َنﻮُﻟﻮُﻘﻳو ﻢﻬﻌَﻔْﻨﻳ و ﻢﻫﺮﻀﻳ  ﺎﻣ ﻪﻟا ِنود ﻦﻣ َنوُﺪﺒﻌﻳو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﻋﺎﻔﺸﻟا ﻞﻴﻟدو :ﺔﺘﺒﺜﻣ ﺔﻋﺎﻔﺷو ﺔﻴﻔﻨﻣ ﺔﻋﺎﻔﺷ :نﺎﺘﻋﺎﻔﺷ ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو ، [18:ﺲﻧﻮﻳ] {ﻪﻟا َﺪْﻨﻋ ﺎﻬﻳا ﺎﻳ} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ :ﻞﻴﻟﺪﻟاو ،ﻪﻟا ﻻإ ﻪﻴﻠﻋ رﺪﻘﻳ ﻻ ﺎﻤﻴﻓ ﻪﻟا ﺮﻴﻏ ﻦﻣ ﺐﻠﻄٌﺗ ﺖﻧﺎﻛ ﺎﻣ ﺔﻴﻔﻨﻤﻟا ﺔﻋﺎﻔﺸﻟﺎﻓ ﻢﻫ َنوﺮﻓﺎْﻟاو ٌﺔﻋﺎَﻔَﺷ و ٌﺔﱠﻠُﺧ و ﻪﻴﻓ ﻊﻴﺑ  مﻮﻳ ﺗﺎﻳ ْنا ﻞﺒَﻗ ﻦﻣ ﻢﻛﺎَﻨْﻗَزر ﺎﻤﻣ اﻮُﻘﻔﻧا اﻮُﻨﻣآ ﻦﻳِﺬﱠﻟا . [254:ةﺮﻘﺒﻟا] {َنﻮﻤﻟﺎﱠﻈﻟا ﻪﻟﻮﻗ ﻪﻟا ﺿر ﻦﻣ :ﻪﻟ عﻮﻔﺸﻤﻟاو ،ﺔﻋﺎﻔﺸﻟﺎﺑ مﺮﻣ ﻊﻓﺎّﺸﻟاو ،ﻪﻟا ﻦﻣ ﺐﻠﻄُﺗ ﺘﻟا :ﻫ ﺔﺘﺒﺜﻤﻟا ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو 255:ةﺮﻘﺒﻟا] {ﻪﻧْذﺎِﺑ ا هَﺪْﻨﻋ ﻊَﻔْﺸﻳ يِﺬﱠﻟا اَذ ﻦﻣ} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ لﺎﻗ ﺎﻤﻛ نذﻹا ﺪﻌﺑ ﻪﻠﻤﻋو] . Kaedah Kedua: Mereka berkata: “Kami tidak berdo’a kepada mereka (orang-orang shalih yang telah meninggal) dan mengharap kepada mereka kecuali agar

(5)

kami bisa dekat dengan Allah dan agar mereka bisa memberikan syafa’at kepada kami.” Dalil (bahwa tujuan mereka) untuk mendekatkan diri ialah firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami

tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar:3)

Dan dalil (bahwa tujuan mereka) untuk (meminta) syafa’at ialah firman Allah Ta’ala, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Syafa’at terbagi menjadi dua: Syafa’at Manfiyyah yaitu syafa’at yang diminta dari selain Allah dalam hal yang tidak dimampui kecuali Allah. Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:256)

Dan syafa’at mutsbatah yaitu syafa’at yang diminta dari Allah. Pemberi syafa’at dimuliakan dengan syafa’at tersebut, dan yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhai Allah baik ucapan dan perbuatannya setelah mendapat izin (dari Allah). Sebagaimana firman Allah Ta’aa, “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah

tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah:255)

Faedah:

Sesungguhnya kaum musyrikin yang telah dijamin kekal di dalam neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah menyekutukan Allah dalam tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa menciptakan dan memberi rejeki bersama Allah. Mereka juga tidak pernah meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memberi manfaat atau menolak musibah dan mengatur alam semesta bersama Allah.

Kaum musyrikin menyembah tuhan-tuhan mereka dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Agar tuhan-tuhan tersebut yang

(6)

merupakan orang shalih dapat memberikan syafa’at bagi mereka. Hal ini sebagaimana yang Allah nyatakan, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Dan maksud pemberi syafa’at di sini ialah, penengah yang akan menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah.

Kaum musyrikin ketika memberikan sesajian berupa sembelihan, atau ketika bernazar bukan dikarenakan mereka meyakini bahwa tuhan-tuhan tersebut dapat menciptakan dan mengatur alam semesta, tapi karena semata-mata tuhan tersebut yang menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah dan memberi syafa’at bagi mereka.

Oleh karena itu ketika anda mencoba berdiskusi dengan Kuburiyyun, mereka pasti akan menjawab dengan jawaban yang persis seperti di atas, “Aku tahu bahwa orang shalih ini tidak dapat memberi manfaat dan mudharat. Akan tetapi dia adalah orang shalih, dan aku hanya ingin agar ia memberikan syafa’at bagiku.”

Syafa’at ada yang benar dan ada yang bathil. Syafa’at yang benar ialah yang terpenuhi dua syarat:

Pertama: Harus seijin Allah.

Kedua: Yang diberi syafa’at adalah orang-orang yang bertauhid, maksudnya orang bertauhid yang berbuat maksiat .

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka syafa’at tersebut adalah batil.

Allah berfirman,

{ﻪﻧْذﺎِﺑ ﻻا هَﺪْﻨﻋ ﻊَﻔْﺸﻳ يِﺬﱠﻟا اَذ ﻦﻣ} “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah:255)

{ﻀَﺗرا ﻦﻤﻟ ا َنﻮﻌَﻔْﺸﻳ و} “Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiyah:28)

(7)

Orang-orang kafir dan musyrikin tidak bermanfaat bagi mereka syafa’atnya para pemberi syafa’at. Allah berfirman, “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” ( Ghafir: 18)

Mereka hanya mendengar tentang syafa’at tanpa memahami maknanya. Dengan santainya mereka meminta syafa’at dari orang-orang yang telah meninggal tanpa seijin Allah. Parahnya, sebagian orang yang mereka mintai syafa’at adalah musyrik (pelaku kesyirikan, bukan orang shalih). Syafa’at ada dua:

Pertama: Syafa’at Manfiyyah (Syafa’at yang ditiadakan), yaitu syafa’at tanpa seijin Allah atau ditujukan kepada orang musyrik. Tidak ada orang yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali yang diberi izin. Sebagai makhluk termulia sekaligus penutup para Nabi yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika hendak memberi syafa’at kepada manusia di padang mahsyar pada hari kiamat, beliau terlebih dahulu bersujud di hadapan Allah sembari berdo’a dan memuji-Nya. Beliau tidak henti-hentinya bersujud hingga dikatakan kepada beliau, “Angkat kepalamu, bicaralah engkau akan didengar, berilah syafa’at engkau akan diizinkan memberi syafa’at.”

Kedua: Syafa’at Mutsbatah (Syafa’at yang ditetapkan), yaitu syafa’at setelah izin dari Allah dan diperuntukkan bagi ahli tauhid.

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-1

PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’

(8)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

‐ ﻪﻟا ّنﺄﺑ نوﺮﻘﻣ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻢﻬﻠﺗﺎﻗ ﻦﻳﺬﻟا رﺎّﻔﻟا ّنأ ﻢﻠﻌﺗ نأ :ﻟوﻷا ةﺪﻋﺎﻘﻟا ﻦﻣ ﻢُﻗُزﺮﻳ ﻦﻣ ﻞُﻗ} :ﻟﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ :ﻞﻴﻟﺪﻟاو ،مﻼﺳﻹا ﻓ ﻢﻬْﻠﺧْﺪﻳ ﻢﻟ ﻚﻟذ ّنأو ،ﺮِﺑﺪﻤﻟا ﻖﻟﺎﺨﻟا ﻮﻫ ‐لﺎﻌﺗ ﻦﻣو ﺤْﻟا ﻦﻣ ﺖِﻴﻤْﻟا جِﺮْﺨﻳو ِﺖِﻴﻤْﻟا ﻦﻣ ﺤْﻟا جِﺮْﺨﻳ ﻦﻣو رﺎﺼﺑاو ﻊﻤﺴﻟا ُﻚﻠﻤﻳ ﻦﻣا ِضراو ءﺎﻤﺴﻟا 31:ﺲﻧﻮﻳ] {َنﻮُﻘﱠﺘَﺗ ََﻓا ﻞُﻘَﻓ ﻪﻟا َنﻮُﻟﻮُﻘﻴﺴَﻓ ﺮﻣا ﺮِﺑَﺪﻳ]

Kaedah Pertama: Hendaknya engkau mengetahui, bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mereka mengakui bahwasanya Allah adalah Pencipta dan Pengatur (alam semesta). Dan bahwasanya hal tersebut tidak dapat memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31)

FAEDAH:

Bahwasanya mengakui tauhid Rububiyah semata tidak lantas memasukkan seseorang ke dalam Islam. Karena dahulu orang-orang yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengakui tauhid Rububiyyah. Tapi nyatanya tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tidak membuat darah mereka haram ditumpahkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwasanya tauhid dan syirik tidak hanya pada Rububiyah saja. Bahkan tidak ada yang menyekutukan Allah dalam perkara Rububiyyah kecuali segelintir manusia. Seluruh umat mengakui tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyyah yang dimaksud di sini ialah, “Mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rejeki, Menghidupkan dan Mematikan, dan Mengatur seluruh makhluk.” Hampir tidak didapati seorang pun yang meyakini adanya Pencipta, Pemberi Rejeki, dan Pengatur seluruh Makhluk bersama Allah. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sekalipun mengakui hal ini.

(9)

bukanlah tauhid rububiyyah.

Hanya meyakini tauhid rububiyyah tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Karena kaum musyrikin dahulu juga mengakuinya, tapi tidak dapat mengeluarkan mereka dari kekufuran dan memasukkan ke dalam Islam. Kesalahan besar ketika memaknakan tauhid hanya dalam hal rububiyah. Sebagaimana dilakukan oleh ulama’ ahli kalam di dalam kitab-kitab mereka. barangsiapa yang meyakini hal ini, maka ia akan senantiasa berada di atas keyakinannya Abu Jahal dan Abu Lahab.

Barangsiapa mengatakan, “Bahwasanya kesyirikan ialah ketika seseorang meyakini ada Pencipta dan Pemberi rejeki lain bersama Allah.” Maka ia sama dengan Abu Jahal dan Abu Lahab.

Diringkas Oleh: Admin Warisan Salaf Insya Allah akan bersambung kepada Qo’idah Kedua.

PEJALARAN ARBA’IN NAWAWI:

HADITS PERTAMA (Innamal

a’malu bin niyyat))

Download ebooknya

Syarah Hadits 1 Arbain Nawawi (746.1 KiB, 880

downloads) ***

PENJELASAN HADITS PERTAMA SYARAH ARBA’IN NAWAWI

(10)

ﻪﻟا ﱠﻠﺻ ﻪﻟا لﻮﺳر ﺖﻌﻤﺳ :لﺎَﻗ ﻪْﻨﻋ ﻪﻟا ﺿر ِبﺎﱠﻄَﺨْﻟا ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ٍﺺْﻔﺣ ِﺑا ﻦﻴﻨﻣﻮﻤْﻟا ِﺮﻴﻣا ﻦﻋ -1 ﻪﻟﻮﺳرو ﻪﻟا َﻟا ﻪُﺗﺮﺠﻫ ﺖَﻧﺎﻛ ﻦﻤَﻓ ، ىﻮَﻧ ﺎﻣ ءيِﺮﻣا ﻞﻟ ﺎﻤﱠﻧاو ِتﺎﻴّﻨﻟﺎِﺑ لﺎﻤﻋﻻا ﺎﻤﱠﻧا )) :ﻢﱠﻠﺳو ﻪﻴَﻠﻋ .(( ﻪﻴَﻟا ﺮﺟﺎﻫ ﺎﻣ َﻟا ﻪُﺗﺮﺠِﻬَﻓ ﺎﻬﺤْﻨﻳ ٌةاﺮﻣا وا ﺎﻬﺒﻴﺼﻳ ﺎﻴْﻧُﺪﻟ ﻪُﺗﺮﺠﻫ ﺖَﻧﺎﻛ ﻦﻣو ، ﻪﻟﻮﺳرو ﻪﻟا َﻟا ﻪُﺗﺮﺠِﻬَﻓ ﻮﺑاو ، يِرﺎَﺨﺒْﻟا ﺔﺑْزِدﺮﺑ ﻦﺑ ةﺮﻴﻐﻤْﻟا ﻦﺑ ﻢﻴﻫاﺮﺑا ﻦﺑ ﻞﻴﻋﺎﻤﺳا ﻦﺑ ِﺪﻤﺤﻣ ﻪﻟا ِﺪﺒﻋ ﻮﺑا : ﻦﻴَﺛِّﺪﺤﻤْﻟا ﺎﻣﺎﻣا هاور ِﺐـُﺘْﻟا ﺢـﺻا ﺎـﻤﻫ ﻦـﻳَﺬﱠﻠﻟا ﺎﻤِﻬﻴﺤﻴﺤـﺻ ـﻓ يِرﻮﺑﺎـﺴﻴﱠﻨﻟَا يِﺮـﻴَﺸُﻘْﻟا ﻢﻠـﺴﻣ ﻦـﺑ جﺎـﺠﺤْﻟا ﻦـﺑ ﻢﻠـﺴﻣ ﻦﻴـﺴﺤْﻟا . ﺔَﻔﱠﻨﺼﻤْﻟا Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits yaitu, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam Shahih keduanya, yang mana keduanya adalah kitab karangan yang paling shahih.

l Biografi Periwayat Hadits Shahabat Umar bin Khattab

Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu-ai, Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Nasab beliau bersambung dengan nasab rasulullah pada kakekny yang ketujuh yaitu Ka’ab bin Luai.

Umar bin Khattab memeluk islam pada tahun keenam setelah kenabian. Beliau turut serta dalam semua pertempuran bersama rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau meninggal pada awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyyah, karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, budak majusi milik Mughirah bin Syu’bah. Kepemimpinan Umar berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan.

(11)

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Penulis kitab Ash-Shahih, lahir di bulan Syawwal tahun 194 hijriyah.

Al-Imam Muslim

Beliau adalah Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, lahir pada tahun 204 hijriyah dan meninggal di bulan Rajab tahun 261 hijriyah.

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pada tujuh tempat dalam kitab Shahih-nya[1] dengan redaksi yang berbeda-beda. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di akhir kitab Al-Jihad no.1907[2].

Hadits ini juga diriwayatkan dari tujuh belas shahabat lainnya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Mandah[3]. Mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Ubadah bin Shamith, ‘Utbah bin ‘Abd Aslami, Hazzal bin Suwaid, ‘Utbah bin ‘Amir, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar Al-Ghifari, ‘Utbah bin Mundzir, dan ‘Uqbah bin Muslim radhiallahu ‘anhum.[4] Semuanya diriwayatkan Ibnu Mandah sebagaimana disebutkan Badrud Din Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari 1/51, Al-Hafizh Al-‘Iraqi dalam At-Taqyid wal Idhah hal.102-103 dan Tharhut Tatsrib 1/357 .

Akan tetapi riwayat dari tujuh belas shahabat di atas semuanya dha’if/lemah, sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqi.

Al-Bazzar berkata dalam musnad-nya (no.260): “Dan kami tidak mengetahui hadits ini diriwayatkan (dengan sanad yang shahih) kecuali dari ‘Umar bin Khattab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Seperti ini pula yang disebutkan Al-Imam Ali bin Al-Madini, At-Tirmidzi, Hamzah Al-Kinani, dan Muhammad bin ‘Attab.[5]

Al-Imam An-Nawawi juga berkata: “Para huffazh berkata, ‘Hadits ini tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dari riwayat Umar bin Khattab.”[6]

(12)

* * * Makna Hadits secara Global

Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam. Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu dan masuk ke dalam tujuh puluh bab pembahasan fikih.”[7] Disebut sepertiga ilmu karena perbuatan seorang hamba tidak lepas dari tiga bagian: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat yang bermukim di dalam hati adalah salah satunya.

Al-Imam Ahmad berkata: “Pokok islam ada pada tiga hadits; kemudian beliau menyebutkan salah satunya adalah hadits Umar di atas.”

Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah buku, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”

Al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khattab Al-Khattabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ma’alim, “Dahulu para masyayikh kami menyukai mendahulukan hadits ini pada segala sesuatu.”

Sebagian salaf juga berkata, “Sepatutnya hadits ini dijadikan pembuka setiap kitab dari kitab-kitab ilmu.”

Demi menjalankan wasiat para Imam tersebut, banyak ulama’ yang menjadikan hadits ini sebagai pembuka tulisan mereka, sebagai contoh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, ‘Abdul Ghani Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Al-Baghawi dalam dua kitabnya; Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah, demikian pula As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir , serta Al-Imam Nawawi dalam dua kitabnya; Al-Majmu’ dan Al-Arba’in yang sedang kita bahas ini.[8]

Makna Hadits

[ hanyalah ] lafazh Innama (hanyalah) dalam ilmu ma’ani bahasa arab berfungsi sebagai hashr (pembatasan).

[ amal perbuatan dengan niat ] Maknanya adalah: hanyalah amal perbuatan akan diterima atau akan menjadi benar dengan niat. Amal perbuatan di sini

(13)

mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan perbuatan hati, dan ucapan lisan juga perbuatan lisan, demikian pula ucapan dan perbuatan jawarih (anggota tubuh).

Akan tetapi niat hanya berlaku untuk amalan yang bersifat perintah, adapun untuk amalan yang bersifat larangan maka tidak disyari’atkan untuk berniat, seperti membersihkan najis, meninggalkan khamar, atau menjauhi ghibah. Seseorang yang meninggalkan perbuatan tersebut atau yang semisalnya akan tetap sah walaupun tidak didahului dengan niat. Berbeda dengan amalan yang bersifat perintah, seperti shalat, puasa, dan wudhu’. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali apabila disertai dengan niat yang benar. Wallahu a’lam.

[ dan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya ] yakni amal perbuatan hamba disesuaikan dengan niatnya; keabsahan atau kerusakannya, kesempurnaan atau kekurangannya. Maka siapa saja yang melakukan perbuatan ketaatan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Dan siapa saja meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka yang dia dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian atau yang lainnya.

Terkadang sebuah amalan yang asalnya mubah bisa bernilai ibadah disebabkan niat. Sebagai contoh adalah makan dan minum yang asalnya mubah, tetapi jika diniatkan untuk melakukan ketaatan seperti makan sahur maka ia bernilai ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

[ Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya ] asal kata hijrah

maknanya ialah meninggalkan. Adapun makna hijrah karena Allah ialah

meninggalkan sesuatu karena mengharap keridhaan Allah. Dan makna hijrah karena Rasul-Nya ialah meningalkan sesuatu karena mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dan yang dimaksud hijrah pada hadits ini adalah meninggalkan negeri syirik menuju negeri Islam. Termasuk juga seseorang yang meninggalkan negeri bid’ah

(14)

menuju negeri sunnah, atau negeri yang dipenuhi kemaksiatan menuju negeri yang sedikit maksiatnya.

[ maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya ] hijrah yang diniatkan karena mencari keridhaan Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah ibadah, dan pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Ini adalah perumpamaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang seorang yang melakukan amalan ibadah ikhlas karena Allah .

[ dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya ] Ini adalah perumpamaan bagi seorang yang melakukan ibadah karena mencari kenikmatan dunia berupa harta atau wanita. Maka pelakunya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Demikian pula seluruh amalan akan dinilai sesuai dengan niatnya.

Sebagian ulama’, seperti Ibnu Daqiqil ‘Ied dan An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini berkenaan dengan seorang shahabat yang melakukan hijrah dari Mekkah menuju Madinah karena ingin menikahi wanita yang dia cintai bernama Ummu Qais. Sehingga orang tersebut dijuluki Muhajir Ummu Qais (orang yang pindah karena mencari Ummu Qais). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Dahulu ada seseorang berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.” Dalam riwayat lain, “Dahulu ada di antara kami seorang yang melamar wanita dikenal dengan Ummu Qais, ia enggan untuk dinikahi sampai lelaki tersebut melakukan hijrah, maka lekaki itupun berhijrah kemudian menikahinya. Orang itu kami juluki Muhajir Ummu Qais.”

Menanggapi cerita di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun, tidak ada keterangan pada kisah di atas bahwa hadits innamal a’malu bin niyat (diucapkan oleh Nabi) bertepatan dengan kejadian itu. Aku juga tidak menemukan satupun dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut.” (Fathul Bari 1/10)

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75) juga menjelaskan: “Sangat masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits “Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia atau wanita yang

(15)

akan dia nikahi” banyak orang (ulama) sekarang yang menyebutkan hal itu di kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam sanad yang shahih, wallahu a’lam.”

Dari penjelasan Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab di atas menjadi jelas bahwa kisah Muhajir Ummu Qais tidak ada kaitannya dengan hadits innamal a’malu bin niyyat ini. Wallahu a’lam.

Faedah hadits

1) Hadits ini adalah hadits pertama yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih–nya.

2) Anjuran untuk ikhlas (dalam beramal), karena Allah tidak akan menerima sebuah amalan kecuali jika dibangun di atas dasar muta’ba’ah dan ikhlas. Oleh karena itu, banyak ulama yang memulai karya tulis mereka dengan hadits ini sebagai bentuk teguran bagi pembaca tentang pentingnya meluruskan niat.

Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah kitab, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”

3) Bahwa perbuatan apapun yang dapat mendekatkan diri kepada Allah jika dilakukan oleh seorang mukallaf sebagai suatu kebiasaan[9] tidak akan membuahkan pahala, sampai ia benar-benar meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

4) Keutamaan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya[10]. Dalam sejarah Islam telah terjadi dua macam hijrah, pertama: berpindah dari negeri yang penuh dengan ketakutan menuju negeri yang penuh keamanan, seperti hijrah ke negeri Habasyah dan hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Kedua: hijrah dari negeri kufur menuju negeri Islam, jenis ini berlaku setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tinggal di Madinah. Pada masa rasul, istilah hijrah hanya dikhususkan ke negeri Madinah sampai peristiwa Fathu Makkah. Sehingga yang berlaku adalah hijrah dari negeri kufur ke negeri islam, bagi yang

(16)

mampu hukumnya wajib.

5) Dianjurkan bagi seorang ‘Alim memberikan contoh ketika menjelaskan sesuatu agar permasalahan yang ia terangkan mudah dipahami.

Dikumpulkan oleh: Admin Warisan Salaf Abu Rufaidah Al-Maidany

[1] Yaitu pada no.1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953.

[2] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud no.2201, Tirmidzi no.1647, Nasa’i 1/58, 7/13, dan Ibnu Majah no.4227 .

[3] Al-Hafizh Al-‘Iraqi berkata: telah sampai kepadaku berita bahwa Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi ditanya tentang ucapan Ibnu Mandah ini, maka beliau menganggapnya mustahil. Sungguh, aku (Al-Hafizh Al-‘Iraqi) telah meneliti ucapan Ibnu Mandah ini, ternyata aku menemukan bahwa kebanyakan shahabat yang ia sebutkan haditsnya tentang hal ini, adalah berbicara tentang niat secara umum bukan hadits ini secara khusus. (Tharhu At-Tatsrib 1/357)

[4] ‘Umadatul Qari Syarhu Shahih Al-Bukhari 1/51

[5] Tharhut Tatsrib 1/ 355 dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam dengan Ta’liq Mahir Yasin Fahl

[6] Syarhu Muslim lin Nawawi 6/387

[7] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/14. Lihat Al-Majmu’ lin Nawawi 1/169, Syarhu Muslim lin Nawawi 7/48, Tharhu At Tatsrib lil ‘Iraqi 2/5, dan Fathul Bari 1/14 .

[8] Lihat Fathu Qawiyil Matin fi Syarhil Arba’in hal.8 , Karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad .

[9] Maksudnya: seseorang melakukan suatu perbuatan ibadah karena kebiasaan, bukan karena ingin mendapatkan pahala dari Allah. Masuk juga dalam hal ini

(17)

seorang yang melakukan sebuah ibadah dengan tujuan kesehatan atau semisalnya, seperti seorang yang berpuasa karena ingin diet.

[10] Keutamaan hijrah juga dijelaskan oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Amr bin Al-‘Ash. “Tidakkah kamu tahu bahwa islam menghapus dosa sebelumnya, dan hijrah menghapus dosa sebelumnya…” (HR. Muslim, no.192)

Referensi

Dokumen terkait

Surabaya 2019.. Bgl) ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan : 1) Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Bengkulu dalam putusan Nomor: 219/ Pid.B/ 2018/ Pn. Bgl tentang

hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, sehingga ia dapat bekerja sama dengan komponen madrasah dan masyarakat guna melaksanakan berbagai program dalam lingkungan

Hasil studi pendahuluan di RSUD Ade Mohammad Djoen Kabupaten Sintang pada minggu kedua bulan April 2020 dengan mempelajari data rekam medis menunjukkan jumlah bayi baru

Bila tes ini reliable, maka dapat diharapkan bila siswa mendapat skor tinggi pada tes pertama, iapun akan mendapatkan skor tinggi pula pada kesempatan lain bila ia

Jika sistem yang penyusun usulkan ini digunakan oleh pihak sekolah maka perlu diadakan pelatihan personil dalam menangani pengolahan data secara terkomputerisasi

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis pengaruh karakteristik masyarakat terhadap kesiapsiagaan pada daerah bahaya banjir di Kecamatan

Sampul TABS berisi judul, maksud penulisan, lambang UNP, nama dan nomor mahasiswa, nama program studi dan atau jurusan, nama fakultas, nama universitas, dan tahun

a. Pemberian kalium lewat infus harus dilakukan meskipun konsentrasi kalium dalam plasma normal karena secara signifikan kalium dalam tubuh dapat berkurang,