• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Studi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Studi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang Studi

Studi tentang strategi nafkah menjadi tema penelitian sosiologi pedesaan penting pada era 2000-an. Penelitian strategi nafkah dimulai di IPB pada tahun1970-an yang memandang strategi nafkah sebagai strategi memperoleh pekerjaan. Penelitian pada tahun 1990-an sampai saat ini melihat strategi nafkah sebagai bagian sistem penghidupan. Dari perspektif utilitarianis me, studi strategi nafkah diberi makna sebagai hubungan aset dan aktivitas nafkah serta pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai rumahtangga.

Studi strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID (Department For International Development) lebih memahami strategi nafkah strategi nafkah sebagai hubungan antara sumberdaya, akses, dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sistem ekologi dan sistem sosial ke masyarakata n. Penelitian serupa mengenai hubungan antara sumberdaya (aset atau resources) dan aktivitas dilakukan oleh Ashley dan Carney (2000), Meikle et. al. (2001), de Haan (2000) , Ellis (2000), serta Chambers dan Conway (1991). Mereka berpendapat ada sumberdaya yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga yang digunakan untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan atau dalam kondisi normal untuk status ekonomi rumahtangga .

PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengatur hubungan antara penduduk desa yang berada di sekitar hutan Perhutani1 dengan sumberdaya hutan. PHBM merupakan kelembagaan yang dirancang untuk mengatur penduduk desa yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan Perhutani yang diperkirakan menggunakan sumberdaya hutan sebagai basis nafkah rumahtangga mereka. Studi strategi nafkah dalam setting PHBM memberikan gambaran tentang strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan perhutani.

1

Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan Perhutani disebut dengan istilah Masyarakat Desa Hutan (MDH).

(2)

Di Kabupaten Kuningan, PHBM telah diterapkan di 63 desa sejak Nota Kesepahaman antara Perhutani dan Pemerintah Kabupeten Kuningan ditandatangani pada tahun 2002. Desa Padabeunghar merupakan salah satu desa yang dianggap berhasil menerapkan PHBM di antara desa-desa yang dianggap berhasil menerapkan pola kemitraan masyarakat desa dan Perhutani di kawasan tersebut. Salah satu indikatornya, Forum PHBM dan pemerintah Desa Padabeunghar dianggap aktif dan kooperatif pada kegiatan pemberdayaan dan pembuatan jejaring Forum PHBM se-kabupaten Kuningan2. Penilaian ini telah mengantarkan Ketua Forum PHBM Desa Padabeunghar terpilih menjadi ketua Forum PHBM desa-desa se-Jawa Barat. Desa Padabeunghar juga dianggap sebagai salah satu desa yang dipilih sebagai desa percontohan PHBM dan sering mendapat kunjungan studi banding dari desa-desa lain di Jawa maupun luar Jawa. Desa Padabeunghar sendiri memiliki wilayah pangkuan hutan atau wewengkon3 paling luas di Kabupaten Kuningan. Wilayah hutan pangkuan Desa Padabeunghar adalah 1200,46 Ha, sangat luas jika dibandingkan dengan luas sawah Desa Padabeunghar yaitu 25,13 Ha dan wilayah pemukiman serta penggunaan lahan lain seperti tanah darat, pekarangan dan kuburan yang meliputi 216,19 Ha. Secara administratif, 48,70 % penduduk Desa Padabeunghar bekerja sebagai petani4. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan realitas di lapangan, di mana penduduk yang tercatat bekerja di luar pertanian juga menggarap lahan garapan atau membuka lahan garapan di kawasan hutan Perhutani atau di lahan kebun karet5. Desa hutan yang memiliki keterbatasan lahan subur dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dianggap sebagai desa yang potensial untuk menyelenggarakan PHBM. Hal ini cukup beralasan karena dengan adanya

2 Pendapat Nana, anggota LSM KANOPI ; Usep, anggota LPI (Lembaga Pelayanan Implementasi)

Kabupaten Kuningan, 6 April 2005

3 Arti dari wilayah hutan pangkuan atau wewengkon adalah hutan akan dikelola bersama dengan

masyarakat jika pada wilayah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola.

4 Potensi Desa Padabeunghar tahun 2004 5

Lahan kebun karet digunakan untuk menjelaskan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang ada di wilayah Desa Padabeunghar dan digunakan untuk usaha pertanian oleh penduduk Desa Padabeunghar.

(3)

infrastruktur kelembagaan PHBM, maka akses terhadap lahan hutan untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian menjadi lebih besar6.

Namun demikian, pada kenyataannya sumber nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar tidak terpusat semata-mata pada sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan hanyalah salah satu sumber nafkah yang dimanfaatkan oleh rumahtangga Desa Padabeunghar. Lahan hutan bagi rumahtangga Desa Padabeunghar dipandang sebagai sumber nafkah alternatif pada saat mereka tidak memiliki lahan milik sendiri. Lahan hutan juga dipandang sekedar lahan garapan jika mereka memiliki waktu luang diantara waktu penggarapan lahan milik atau pekerjaan di luar pertanian. Sumberdaya hutan, bagi kebanyakan penduduk desa setempat dipandang hanya sebagai sumber kayu bakar, sumber pakan ternak, tempat mendapatkan pasir dan batu untuk bahan bangunan serta tempat menggembalakan kerbau milik petani.

Rumahtangga peserta PHBM bahkan tidak mematuhi kesepakatan pengelolaa n hutan sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Penggarapan lahan dilakukan di lahan yang ingin digarap rumahtangga atau yang telah digarap sejak dahulu, bukan di lahan yang ditetapkan oleh NPK untuk digarap. Pengaturan rumahtangga penggarap di suatu lahan dan pengalihan lahan garapan dilakukan dengan kesepakatan antara penggarap dan bukan atas persetujuan Forum PHBM. Dengan demikian dapat dikatakan rumahtangga lebih dipengaruhi oleh kelembagaan lain dari pada kelembagaan yang dibentuk oleh negara seperti PHBM. Sebagai akibatnya gambaran sistem kehidupan yang terbentuk di Desa Padabeunghar sangat jauh dari apa yang dicita-citakan oleh penggagas PHBM.

Gambaran pola nafkah rumahtangga yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang oleh negara melalui inovasi kelembagaan PHBM merupakan suatu bukti bahwa rumahtangga sekitar hutan memiliki rasionalitas tindakan sendiri dalam merespon PHBM. Dalam hal ini rasionalitas nafkah rumahtangga

6

Setiamihardja, Arifin, 2003, Implementasi PHBM dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan, Disampaikan pada “Sharing dan Dialog Pengalaman Proses-proses Membangun Kolaborasi dalam Mengelola Hutan di Kuningan” di LSM LATIN, Bogor, Tanggal 7 September, 2003.

(4)

sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, nilai dan kelembagaan sosial serta perubahan yang disebabkan oleh proses-proses sosial dalam dan interaksi dengan komunitas di luar desa.

Bagaimana dan mengapa rasionalitas masyarakat lokal yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah rumahtangga itu terbentuk, merupakan pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjawab pertanyaan “mengapa, bagaimana, dan sejauh mana strategi nafkah dijala nkan oleh rumahtangga di Desa Padabe unghar?”. Strategi nafkah merujuk pada suatu aktivitas pemanfaatan sumberdaya di mana sumberdaya termasuk sumberdaya hutan dimaknai dan digunakan untuk tujuan bertahan hidup atau tujuan peningkatan status ekonomi. Strategi nafkah sebagai rangkaian tindakan rasional mencakup aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial yang dilakukan oleh rumahtangga atau individu dalam rangka mengamankan status kehidupan rumahtangga atau individu yang bersangkutan. Pola nafkah merujuk pada pengertian pemanfaatan dan “manipulasi” sumber-sumber nafkah yang secara alami atau secara sosial dapat digunakan dalam sistem penghidupan rumahtangga. Keseluruhan tindakan nafkah atau aktivitas pemanfaatan sumberdaya menghasilkan konfigurasi atau pola nafkah. Dalam hal ini setiap keputusan dan tindakan rumahtangga dalam melakukan pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh rasionalitas atau landasan idealitas yang diyakini oleh rumahtangga yang bersangkutan.

Penelitian ini difokuskan pada dasar pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar sebagai suatu gejala lokal. Penelitian strategi nafkah MDH sebagai studi strategi nafkah di Kabupaten Kuningan telah dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (LSM LATIN) pada tahun 2004. Hasil penelitian hanya menunjukkan identifikasi modal dan posisi desa dalam pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan7. Sejauh ini kajian sosiologis mengenai pengaruh karakter sosial dalam strategi nafkah petani belum dibahas. Penelitian yang dilakukan oleh

7

VSO -SPARK Regional Workshop, 2004, Rural Livelihoods In Indonesia, Philippines and Thailand: A Workshop Proceeding, SPARK-VSO, Indonesia.

(5)

LSM LATIN tidak dapat menjelaskan dinamika pelaksanaan PHBM di desa sekitar hutan sebagai suatu lokalitas yang memiliki karakter sosial yang unik.

Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor untuk memahami hubungan MDH dengan hutan. Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan property right oleh masyarakat adat atau penekanan pada indigenous knowledge untuk pengelolaan hutan (Anonimous , 2000; Howitt, Connell dan Hirsch, 1996; Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa MDH memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh LSM yang berasumsi bahwa MDH adalah masyarakat yang hidup selaras dengan alam, memelihara hutan lebih baik dari siapa pun yang berada di luar hutan, penelitian ini melihat MDH sebagai masyarakat rasional yang menganggap hutan sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. MDH dianggap sebagai entitas sosial yang memiliki rasionalisme sendiri yang dapat berarti memelihara atau merusak hutan agar dapat bertahan hidup atau bahkan mengembangkan sikap memperkaya rumahtangga. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian-penelitian serupa yang dilakukan pada masyarakat pedalaman seperti suku Dayak di Kalimantan yang hidup dan tergantung pada hutan saat hutan ditetapkan sebagai hutan produksi maupun taman nasional (Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001) . Masyarakat Desa Padabeunghar pada saat penelitian dilakukan adalah masyarakat yang menyadari dan terbiasa dengan posisi hutan sebagai “hutan lindung” yang dikuasai Perhutani.

Penelitian sosial tentang desa hutan di Jawa Barat telah dilakukan oleh Marzali (2003) . Marzali menggunakan pendekatan antropologi untuk melihat strategi nafkah petani Cikalong, Jawa Barat dalam menghadapi kemiskinan. Penelitian Marzali menunjukkan peserta perhutanan sosial adalah petani dari kelas ekonomi terendah dalam masyarakat dan mengikuti program perhutanan sosial karena tidak memiliki pekerjaan dan lahan pertanian. Petani menggarap lahan untuk memperoleh padi untuk mendapat jaminan kesinambungan hidup. Pengelolaan hutan dilandasi oleh falsafah “mimi likan”—mungkin akan

(6)

mendapatkan hasil yang banyak. Pengelolaan hutan menggunakan pola tanam sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan modal petani, sementara petani tidak memahami tentang program pengelolaan hutan yang ditetapkan dalam perhutanan sosial. Istilah-istilah seperti tanaman tepi, sisipan dan pagar sama sekali tidak dipahami petani. Petani menanam tanaman palawija dan padi, padahal dalam program perhutanan sosial, penanaman tanaman palawija atau padi hanya diijinkan hingga kanopi tanaman pokok tinggi. Setelah itu tanaman harus diganti dengan tanaman berumur panjang seperti petai, kapulaga, kopi, nangka, durian dan pisang.

Penelitian Marzali (2003) memberikan deskripsi tentang siapa petani penggarap hutan dan bagaimana petani menggarap hutan di daerah perbukitan Cikalong. Penelitian ini dilakukan di tempat yang berbeda dan dengan pumpunan (fokus) penelitian yang berbeda. Penelitian Marzali (2003) memperjelas potret petani desa yang miskin, tidak terdidik, kurung batok8, takut pada pemerintah tetapi mengerti bahwa oknum aparat pemerintah banyak yang tidak jujur dan tidak ikhlas menolong petani, etika kerja keras tetapi tetap miskin, punya kalkulasi rasional dalam memilih benih karena takut rugi dan tenggelam, dan etika hidup hanya untuk menyambung nafas kemarin. Sementara, penelitian ini mencoba melihat rumahtangga desa sebagai entitas yang mempunyai sejumlah pilihan untuk bertahan di desa atau pergi keluar desa serta melakukan kalkulasi rasional dalam membuat keputusan nafkah. Keputusan itu mencakup pilihan untuk menyambung hidup (survival strategy) atau memperbaiki status kehidupan rumahtangga mereka (consolidating strategy).

Penelitian ini juga diarahkan pada pertanyaan sejauh manakah rumahtangga di desa peserta PHBM merespon keberadaan infrastruktur kelembagaan PHBM dalam pola nafkah mereka? Apakah ketersediaan dan kelimpahan modal sosial berupa kelembagaan PHBM telah mempengaruhi pilihan-pilihan strategi nafkah yang dilembagakan oleh rumahtangga di desa peserta PHBM? Bagaimanakah bentuk strategi na fkah yang secara faktual

8

Kurung batok” adalah istilah yang dikemukakan Marzali. Berdasarkan pengetahuan peneliti yang juga berasal dari Jawa Barat, “kurung batok” adalah istilah untuk orang yang tidak pernah pergi ke luar dari daerah asal.

(7)

terbentuk di lapangan? Semua pertanyaan penelitian ini akan dijawab oleh penelitian ini.

1.2 Rumusan Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan bagaimana dan mengapa pilihan strategi nafkah rumahtangga dilakukan dibagi dalam dua pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis, yaitu:

1. Pertanyaan tentang strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Pertanyaan tentang strategi nafkah diperlukan untuk melihat pola umum strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Secara lebih spesifik dibagi menjadi tiga bentuk pertanyaan:

a) Sumber-sumber nafkah apa saja kah yang tersedia bagi rumahtangga di Desa Padabeunghar? Bagaimanakah mereka mendapatkan sumber nafkah tersebut? Dan apa sumbangan setiap sumber nafkah tertentu pada keseluruhan sistem nafkah rumahtangga?

b) Bagaimana kah penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM dan bagaimana penggunaan sumberdaya hutan diantara sumberdaya lain yang digunakan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM?

c) Strategi nafkah apa yang dipilih rumahtangga ? aktivitas nafkah apa yang menonjol dilakukan oleh rumahtangga dalam Desa peserta PHBM? Untuk tujuan apakah strategi nafkah dilakukan? Dalam konteks sosial atau ekonomi apakah strategi nafkah terbentuk? 2. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal

diarahkan untuk melihat bagaimana strategi nafkah yang ada dipilih dan dilakukan. Strategi nafkah yang benar-benar dilakukan oleh rumahtangga dapat memberikan gambaran tentang “cara berpikir komunitas lokal” dalam menggerakkan sikap untuk melakukan tindakan nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM. Secara lebih spesifik dibagi menjadi dua pertanyaan:

(8)

a) Dalam konteks sosial apa pilihan strategi nafkah dputuskan? kekuatan-kekuatan sosial apa sajakah yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah? bagaimana kekuatan-kekuatan sosial itu bekerja? dan bagaimana kah relevansinya dengan strategi nafkah yang dirancang oleh pemerintah melalui PHBM?

b) Adakah tujuan ideal yang ditetapkan oleh rumahtangga dalam memutuskan pilihan strategi nafkah? Adakah hirarki hirarkhi tujuan yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pertimbangan keuntungan dan kerugian yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pengorganisasian tenaga kerja rumahtangga dan aturan yang sengaja disusun untuk mengorganisasikan tugas anggota rumahtangga untuk mencapai tujuan nafkah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan sebagai sumber nafkah dalam rumahtangga di Desa Padabeunghar

2) Mengetahui penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar

3) Mendapatkan gambaran strategi nafkah rumahtangga yang dipilih dan ditetapkan oleh rumahtangga desa peserta PHBM

4) Mengetahui pilihan strategi nafkah yang dilakukan rum ahtangga di sekitar hutan Perhutani.

5) Mengetahuai dasar rasionalitas yang melatarbelakangi pilihan strategi nafkah rumahtangga .

Studi ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada penyusunan dan pelaksanaan program pengelolaan hutan yang melibatkan rumahtangga desa di sekitar hutan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada turbidimetri, detektor diletakkan segaris dengan sumber sinar (sudut 0 o ), sedangkan untuk nefelometri 90 o .Dapat pula digunakan alat yang lebih canggih, dengan detektor

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) karakteristik dan pola konsumsi masyarakat Muslim di Provinsi Jambi berdasarkan jenis pekerjaan, pendidikan, pendapatan

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang mengambil judul “Tanggung

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan program SPSS versi 23 pada tabel 7 dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 99,5% yang berarti bahwa

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara parsial masing-masing variabel, hanya persepsi, pembelajaran, keyakinan, dan sikap yang mempunyai pengaruh signifikan, sedangkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi metabolis dalam pakan domba Garut jantan fase pertumbuhan di peternakan Lesan Putra telah mencukupi kebutuhannya namun pemanfaatan

4.1.2.3 Hasil Perubahan Perilaku Siswa setelah Mengikuti Pembelajaran Keterampilan Membaca untuk Menemukan Gagasan Utama dengan Menggunakan Metode Think, Pair, and

Hasil penelitian menemukan terdapat hubungan kecerdasan emosi pegawai pada pegawai kecamatan dengan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) terlihat