• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN"

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

AGUSTINA MULTI PURNOMO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2006

Agustina Multi Purnomo A152020091

(3)

Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan IVANOVICH AGUSTA.

Strategi nafkah rumah tangga penduduk desa peserta PHBM merupakan tema penelitian ini. PHBM dirancang sebagai sistem nafkah bagi desa-desa peserta PHBM. Analisis strategi nafkah dapat memberi gambaran tentang tindakan-tindakan yang dilakukan rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil cerminan dari pilihan-pilihan yang dilakukan rumahtangga. Tindakan masyarakat sehari-hari merupakan gambaran rasionalitas rumahtangga yang melandasi pilihan strategi nafkah rumahtangga.

Studi sebe lum penelitian menunjukkan pola nafkah petani yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang dalam PHBM. Ini merupakan suatu bukti bahwa MDH memiliki rasionalitas tindakan sendiri yang dibangun dari rasionalitas nafkah rumahtangga dan pengaruh kondisi alam, nilai dan kelembagaan sosial serta perubahan yang disebabkan oleh proses dalam masyarakat dan interaksi dengan komunitas di luar desa. Bagaimana dan mengapa rasionalitas masyarakat lokal yang mempengaruhi pembentukan strategi nafkah petani merupakan pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjawab pertanyaan “mengapa, bagaimana, dan sejauh mana strategi nafkah dijala nkan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar?”.

Penelitian ini fokus pada pengamatan pada struktur nafkah yang diadopsi oleh beberapa rumahtangga petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Delapan rumahtangga kasus dipilih untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Delapan rumahtangga kasus dipilih berdasarkan tipe strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga dan melengkapi pemahaman tentang strategi nafkah rumahtangga desa peserta PHBM.

Tiga tipe sumber nafkah didentifikasi, yaitu: modal sosial, modal alami, dan peluang pekerjaan. Kelima modal ini digunakan dalam delapan tipe strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar, yaitu strategi nafkah “ekstensifikasi”, “orientasi”, “investasi”, “integrasi”, “asuransi”, basis remittance, basis modal sosial dan basis pekerjaan dalam desa. Kedelapan strategi nafkah menunjukkan pola pilihan sumber nafka h, pola pilihan modal alami, pola pilihan aktivitas nafkah, tujuan strategi nafkah, dan indikasi pergeseran nilai kerja pertanian dalam rumahtangga.

Pola-pola pilihan yang dilakukan rumahtangga dalam strategi nafkah menunjukkan rasionalitas tindakan rumahtangga. Rasionalitas yang berbeda dalam memandang pengertian sumberdaya, pendapatan dan biaya dari rasionalitas yang mendasari rancangan pola nafkah PHBM.

Penelitian ini menyimpulkan rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan bentuk strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar dengan strategi nafkah yang dirancang PHBM. Perbedaan strategi nafkah dapat memberikan gambaran tentang karakter lahan yang dikelola, hasil yang diinginkan dan alasan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh desa-desa di sekitar wilayah hutan Perhutani yang mengikuti program PHBM.

(4)

DESA SEKITAR HUTAN

St

udi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

AGUSTINA MULTI PURNOMO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

(5)

Judul : Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan

(Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) Nama : Agustina Multi Purnomo

NRP : A152020091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr . Ivanovich Agusta, SP., MSi. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.

(6)

Penelitian ini dilaksanakan di masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan di kawasan hutan Perhutani yang masuk wilayah KPH Kuningan, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Padabeunghar, sebuah desa peserta PHBM yang memiliki hutan pangkua n terbesar di Kuningan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2005.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. atas bimbingan, pacuan semangat dan pembelajaran selama mengerjakan tesis. Beliau mengajarkan cara berpikir dan menulis sistematis dan terstruktur. Dua hal yang sangat sulit dilakukan penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Ivanovich Agusta, MS. terima kasih atas bimbingan dan diskusi selama mengerjakan tesis dan Dr. Ir. Felix Sitorus, MS. atas perbaikan dan penilaian dalam ujian tesis. Ujian yang membeli pelajaran tidak hanya cara memperbaiki penulisan tesis tetapi juga memperbaiki cara pandang penulis terhadap diri sendiri dan pada suatu masalah.

Penulis mendapatkan data dan persaudaraan di Desa Padabeunghar. Pak Suharma dan Pak Bandi telah mengantarkan penulis ke lahan garapan yang ada di Desa Padabeunghar. Pak Dadang, Bi Encas, Bu Kuniah, Bang Lei, Ceu Mamah, Ma Umi, Yana, Bu Eti, Pak Jajang, dan Ceu Iim telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk ikut serta dalam kegiatan nafkah rumahtangga mereka. Tinggal selama penelitian di Desa Padabeunghar memberi arti tentang pembangunan modal sosial bagi penulis.

Tema penelitian, lokasi penelitian, pengenalan ekologi hutan, masyarakat sekitar hutan dan PHBM diperoleh penulis dari teman-teman di LSM LATIN, KANOPI dan Telapak. Wibowo Djatmiko, atas bantuan dalam stukturisasi data dan sistematisasi penulisan. Arief Aliadi, atas ide tema penelitian. Nana KANOPI, terimakasih telah membantu penulis menemukan desa penelitian. Yoyon FWI, untuk pembuatan peta. Rekan-rekan SPD 2002 dan SPD 2003 atas masukan dan semangatnya. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Rita Sri Mustikasari yang memberi banyak stimuli untuk berpikir lebih banyak.

Ayah dan Agi, terima kasih atas waktu-waktu yang digunakan untuk kuliah dan menulis tesis. Terima kasih atas dukungan pada saat penelitian dan saat penulisan. Ibu Ita Karnita, Bapak Kuswahadi Purnomo, Henry Purnomo, Rahma Agung Purnomo, dan Ema keluarga yang memberi dukungan materi dan moral selama penulis menyelesaikan studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan.

Bogor, Februari 2006

(7)

Penulis lahir di sebuah desa di Kabupaten Kuningan, Desa Cibeureum, Kecamatan Cibingbin. Penulis lahir tanggal 1 Nopember 1978. Penulis lahir dari seorang bapak bernama Kuswahadi Purnomo dan ibu bernama Ita Karnita. Penulis memiliki seora ng kakak bernama Henry Purnomo dan seorang adik bernama Rahma Agung Purnomo. Penulis menikah dengan Agung Djati Walujo dan dianugerahi seorang anak laki-laki, Fadlan Fauzan (Agi) yang berusia tiga tahun

Penulis menyelesaikan sekolah di SDN III Cibeureum. Selanjutnya penulis meneruskan sekolah di SMPN I Cibingbin. SMU diselesaikan penulis di SMUN I Kuningan. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI. Penulis menyelesaikan S1 pada tahun 2002 di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Penulis masuk mejadi mahasiswa S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan tahun 2002.

(8)

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

DAFTAR SINGKATAN... xv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Studi... 1

1.2 Rumusan Pertanyaan Penelitian... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 8

II. PENDEKATAN TEORITIS... 9

2.1 Rumahtangga Petani Di Sekitar Hutan Jawa... 9

2.2 Pengelolaan Hutan di Jawa... 11

2.3 Strategi Nafkah Rumahtangga ... 16

2.3.1 Pengertian Strategi Nafkah... 16

2.3.2 Sumber-sumber Nafkah... 19

2.3.3 Pendapatan Rumahtangga... 23

2.4 Teori Pilihan Rasional... 24

2.5 PHBM: Rancangan Strategi Nafkah MDH... 30

2.6 Kerangka Studi... 37

III. METODOLOGI STUDI... 40

3.1 Batas-batas Analisis... 40

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 41

3.3 Pilihan Pendekatan Penelitian, Strategi Penelitian dan Metode Pengumpulan Data... 43 3.3.1 Pendekatan Penelitian... 43

3.3.2 Strategi Penelitian... 43 3.3.2.1 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai

Sumber Nafkah... 44

(9)

Orientasi Nafkah...

3.3.2.3 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi...

45

3.3.2.4 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Suatu Bentuk Asuransi...

46

3.3.2.5 Rumahtangga yang Mengutamakan Upaya Bersama dengan

Komunitas... 46

3.3.2.6 Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja dalam Desa Sebagai Sumber Nafkah Utama...

47

3.3.2.7 Rumahtangga yang Menggunakan Modal Sosial Sebagai Basis

Nafkah... 47

3.3.2.8 Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja Di Luar Desa Sebagai Basis Nafkah...

48

3.3.3 Metode Pengumpulan Data... 48

3.3.3.1 Wawancara Mendalam... 49

3.3.3.2 Pengamatan Berperan Serta ... 50

3.3.3.3 Analisis Dokumen... 51

3.4 Subyek Penelitian... 52

3.5 Unit Analisis... 53

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 54

VI. PROFIL SOSIAL EKONOMI DESA PADABEUNGHAR... 56

4.1 Lokasi dan Lingkungan Fisik... 56

4.2 Keterhubungan Dengan Daerah Lain... 57

4.3 Kondisi Pemukiman... 59

4.3.1 Kepadatan Pemukiman... 59

4.3.2 Fasilitas dalam Rumah... 60

4.5 Penduduk Desa Padabeunghar... 62

4.4.1 Struktur Demografi Masyarakat Desa Padabeunghar... 62

(10)

4.5 Kelembagaan Ekonomi... 75

4.5.1 Simpan-Pinjam Informal... 75

4.5.2 Arisan... 78

4.6 Kelembagaan Sosial... 80

4.6.1 Kelompok Kerja “Bakti” ... 81

4.6.2 Sistem Kerja Nyeblok... 81

4.6.3 Ngobeng... 82 4.6.4 Ngalongok ... 83 4.6.5 Babantu ... 83 4.6.6 Kondangan... 85 4.6.7 Neang... 85 4.6.8 Maron... 86

4.7 Ikatan Sosial (Social Ties)... 87

4.7.1 Ikatan Persaudaraan... 87

4.7.2 Ikatan Pertetanggaan... 89

4.7.3 Ikatan dengan Anggota Komunitas (Horizontal Integration)... 89

4.7.4 Ikatan dengan Luar Anggota Komunitas (Vertical Integration)... 92

4.8 Tenaga Kerja dalam Rumahtangga... 93

4.9 Ekonomi di Luar Pertanian... 96

4.10 Perubahan Ketersediaan Sumberdaya... 98

4.11 Ikhtisar... 101

V. AKTIVITAS NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR. 103 5.1 Aktivitas nafkah Berdasarkan Penggunaan Modal Alami... 103

5.1.1 Menggarap Beberapa Lahan Bersamaan... 104

5.1.2 Mengurangi Biaya Produksi Pertanian... 106

5.1.3 Menanam Beragam Tanaman dalam Satu Luasan Lahan... 108

5.1.4 Mengurangi Resiko Pertanian... 108 5.1.5 Menggali Pasir dan Batu, Mengambil Kayu Bakar dan

Menggembalakan Kerbau di Hutan... 109

(11)

5.1.8 Pendapatan dari penggunaan modal alami dan Penggunaannya dalam Rumahtangga...

112

5.2 Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Modal Sosial... 115

5.2.1 Aktivitas Membangun Ikatan Sosial (Social Ties Building )... 115

5.2.2 Aktivitas Menggunakan Ikatan Sosial (Social Ties Utilizes)... 117

5.2.3 Alokasi Tenaga kerja Rumahtangga ... 121

5.2.4 Pendapatan dari Modal sosial dan Penggunaannya dalam Rumahtangga... 122 5.3 Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Peluang Kerja... 124

5.3.1 Bekerja Sebagai Pamong Desa, Pedagang dan Tukang... 124

5.3.2 Pekerja Pabrik, Pembantu rumahtangga, dan TKI... 124

5.3.3 Pekerja Bangunan... 125

5.3.4 Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga... 125

5.3.5 Pendapatan dari Bekerja... 126

5.4 Aktivitas Konsumsi... 128

5.4.1 Menyekolahkan Anak... 129

5.4.2 Tinggal Bersama Orang tua Setelah Menikah... 129

5.4.3 Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga... 130

5.5 Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Nafkah... 131

5.6 Ikhtisar... 132

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR. 134 6.1 Strategi Nafkah Basis Modal Alami... 135

6.1.1 Strategi Nafkah “Ekstensifikasi”: Rumahtangga Pak Suh... 135

6.1.2 Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am... 142

5.1.3 Strategi “Investasi”: Rumahtangga Bi En... 145

6.1.4 Strategi “Integrasi”: Rumahtangga Bu Et... 151

6.1.5 Strategi “Asuransi”: Rumahtangga Ma Um... 155

6.2 Strategi Nafkah Basis Bukan Modal Alami... 158

(12)

6.3 Pola Umum Strategi Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa

Padabeunghar... 167

6.3.1 Pola Pilihan Penggunaan Sumber Nafkah... 169

6.3.2 Pola Pilihan Penggunaan Modal Alami... 170

6.3.3 Pola Pilihan Aktivitas Nafkah Anggota Rumahtangga... 172

6.3.4 Tujuan Strategi Nafkah... 175

6.3.5 Pergeseran Nilai Kerja Pertanian... 177

6.4 Ikhtisar... 177

VII. RASIONALITAS RUMAHTANGGA DALAM MENENTUKAN PILIHAN STRATEGI NAFKAH ... 181 7.1 Dasar Rasionalisasi Nafkah PHBM... 181

7.1.1 Pengamanan Lahan Hutan... 183

7.1.2 Kelangsungan Produksi Hutan... 183

7.1.3 Kesejahteraan MDH... 184

7.1.4 Mempertahankan Akses Lahan... 185

7.2 Kerangka Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar... 185 7.3 Dasar Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar... 189

7.3.1 Menjaga Keamanan Ekonomi... 189

7.3.2 Menjaga Keamanan Sosial... 189

7.4 Perbandingan Antara Rasionalisme Petani dengan Rasionalisme PHBM... 191 7.5 Ikhtisar... 193 VIII KESIMPULAN... 194 DAFTAR PUSTAKA... 197 LAMPIRAN...199

(13)

Halaman

1. Bagi Hasil antara Perhutani dan MDH... 36

2. Jenis Barang dan Dasar Penghargaan di Masyarakat... 65

3. Jenis Lahan dan Struktur Pemilikan Lahan di Desa Padabeunghar... 70

4. Jenis Lahan dan Ekonomi Lahan Bagi Rumahtangga... 75

5. Jenis Pinjaman dan Uang yang Diperoleh Rumahtangga... 76

6. Jenis arisan yang diselenggarakan untuk mengadakan kegiatan besar rumahtangga... 79 7. Jenis Arisan yang diselenggarakan sehari-hari... 79

8. Tenaga Kerja Ruma htangga Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Keterampilan ... 95 9. Perubahan Akses Modal oleh Rumahtangga... 101

10. Jenis Komoditas Pertanian dan Perkiraan Jumlah Uang Per Tahun ... 114

11. Pendapatan dan Kegunaan Modal Alami bagi Rumahtangga... 115

12. Pendapatan dari Modal sosial dan Kegunaannya dalam Rumahtangga ... 123

13. Pendapatan dari Peluang Pekerjaan dan Penggunaanya dalam Rumahtangga ... 127 14. Jenis Pekerjaan dan Jumlah Uang Gaji... 128 15. Tipologi Strategi Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa

Padabeunghar... 168

16. Dasar Pemilihan Strategi dan Strategi yang Digunakan untuk Mencapai Tujuan di Tingkat Aktor ...

173

17. Perbedaan Rasionalisme Tindakan antara Petani di Desa Padabeunghar dengan Negara ...

(14)

Halaman

1. Komposisi Lahan di Kuningan... 20 2. Kerangka Rasionalitas Nafkah PHBM... 38 3. Peta Mobilitas Petani Desa Padabeunghar... 63 4. Aliran Sumberdaya dalam rumahtangga yang berisi KK orang tua

dan KK anak... 69

5 Pembentukan modal sosial di dalam masyarakat Desa Padabeunghar. 117 6 Denah Lahan Garapan Pak Suh... 138 7. Kerangka rasionalitas strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar.. 188

(15)

Halaman

1. Karakteristik Rumahtangga Kasus... 200 2. Peta Desa Padabeunghar... 202

(16)

Asper : Asisten Perhutani, pejabat Perhutani yang membawahi wilayah RPH setingkat kecamatan.

MDH : Masyarakat Desa Hutan, merupakan masyarakat dari

desa-desa yang terletak di sekitar hutan yang dikuasai oleh Perhutani.

HGU : Hak Guna Usaha

HPH : Hak Pengelolaan Hutan

Juklak : Petunjuk Pelaksanaan

Juknis : Petunjuk teknis , petunjuk teknis pelaksanaan PHBM di

Kabupaten Kuningan

KTH : Kelompok Tani Hutan, kelompok yang dibentuk sebagai

asosiasi kegiatan anggota petani penggarap dalam satu petak

LPI Kabupaten Kuningan : Lembaga Pelayanan Implementasi Kabupaten Kuningan

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

NKB : Nota Kesepakatan Bersama

NPK : Nota perjanjian Kerjasama

NTFP : Non Timber Forest Product

Perdes : P eraturan desa, kelembagaan yang dibentuk setelah Nota

Kesepahaman, NKB, dan NPK. Peraturan desa disusun dan disahkan oleh pemerintah desa dan Forum PHBM. Peraturan desa terutama berfungsi untuk memberikan pengesahan hak penggarapan lahan, pewarisan atau pengalihan lahan garapan.

Perum Perhutani : Perusahaan Umum Perhutani (Perhutanan Indonesia),

sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam pengelolaan hutan di wilayah Jawa.

PHBM : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

PMDH : Pembangunan Masyarakat Desa Hutan

UUPH : Undang-undang Pengelolaan Hutan

(17)

1.1 Latar Belakang Studi

Studi tentang strategi nafkah menjadi tema penelitian sosiologi pedesaan penting pada era 2000-an. Penelitian strategi nafkah dimulai di IPB pada tahun1970-an yang memandang strategi nafkah sebagai strategi memperoleh pekerjaan. Penelitian pada tahun 1990-an sampai saat ini melihat strategi nafkah sebagai bagian sistem penghidupan. Dari perspektif utilitarianis me, studi strategi nafkah diberi makna sebagai hubungan aset dan aktivitas nafkah serta pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai rumahtangga.

Studi strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID (Department For International Development) lebih memahami strategi nafkah strategi nafkah sebagai hubungan antara sumberdaya, akses, dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sistem ekologi dan sistem sosial ke masyarakata n. Penelitian serupa mengenai hubungan antara sumberdaya (aset atau resources) dan aktivitas dilakukan oleh Ashley dan Carney (2000), Meikle et. al. (2001), de Haan (2000) , Ellis (2000), serta Chambers dan Conway (1991). Mereka berpendapat ada sumberdaya yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga yang digunakan untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan atau dalam kondisi normal untuk status ekonomi rumahtangga .

PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengatur hubungan antara penduduk desa yang berada di sekitar hutan Perhutani1 dengan sumberdaya hutan. PHBM merupakan kelembagaan yang dirancang untuk mengatur penduduk desa yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan Perhutani yang diperkirakan menggunakan sumberdaya hutan sebagai basis nafkah rumahtangga mereka. Studi strategi nafkah dalam setting PHBM memberikan gambaran tentang strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan perhutani.

1

Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan Perhutani disebut dengan istilah Masyarakat Desa Hutan (MDH).

(18)

Di Kabupaten Kuningan, PHBM telah diterapkan di 63 desa sejak Nota

Kesepahaman antara Perhutani dan Pemerintah Kabupeten Kuningan

ditandatangani pada tahun 2002. Desa Padabeunghar merupakan salah satu desa yang dianggap berhasil menerapkan PHBM di antara desa-desa yang dianggap berhasil menerapkan pola kemitraan masyarakat desa dan Perhutani di kawasan tersebut. Salah satu indikatornya, Forum PHBM dan pemerintah Desa Padabeunghar dianggap aktif dan kooperatif pada kegiatan pemberdayaan dan pembuatan jejaring Forum PHBM se-kabupaten Kuningan2. Penilaian ini telah mengantarkan Ketua Forum PHBM Desa Padabeunghar terpilih menjadi ketua Forum PHBM desa-desa se-Jawa Barat. Desa Padabeunghar juga dianggap sebagai salah satu desa yang dipilih sebagai desa percontohan PHBM dan sering mendapat kunjungan studi banding dari desa-desa lain di Jawa maupun luar Jawa. Desa Padabeunghar sendiri memiliki wilayah pangkuan hutan atau

wewengkon3 paling luas di Kabupaten Kuningan. Wilayah hutan pangkuan Desa Padabeunghar adalah 1200,46 Ha, sangat luas jika dibandingkan dengan luas sawah Desa Padabeunghar yaitu 25,13 Ha dan wilayah pemukiman serta penggunaan lahan lain seperti tanah darat, pekarangan dan kuburan yang meliputi 216,19 Ha. Secara administratif, 48,70 % penduduk Desa Padabeunghar bekerja sebagai petani4. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan realitas di lapangan, di mana penduduk yang tercatat bekerja di luar pertanian juga menggarap lahan garapan atau membuka lahan garapan di kawasan hutan Perhutani atau di lahan kebun karet5. Desa hutan yang memiliki keterbatasan lahan subur dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dianggap sebagai desa yang potensial untuk menyelenggarakan PHBM. Hal ini cukup beralasan karena dengan adanya

2 Pendapat Nana, anggota LSM KANOPI ; Usep, anggota LPI (Lembaga Pelayanan Implementasi)

Kabupaten Kuningan, 6 April 2005

3 Arti dari wilayah hutan pangkuan atau wewengkon adalah hutan akan dikelola bersama dengan

masyarakat jika pada wilayah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola.

4 Potensi Desa Padabeunghar tahun 2004 5

Lahan kebun karet digunakan untuk menjelaskan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang ada di wilayah Desa Padabeunghar dan digunakan untuk usaha pertanian oleh penduduk Desa Padabeunghar.

(19)

infrastruktur kelembagaan PHBM, maka akses terhadap lahan hutan untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian menjadi lebih besar6.

Namun demikian, pada kenyataannya sumber nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar tidak terpusat semata-mata pada sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan hanyalah salah satu sumber nafkah yang dimanfaatkan oleh rumahtangga Desa Padabeunghar. Lahan hutan bagi rumahtangga Desa Padabeunghar dipandang sebagai sumber nafkah alternatif pada saat mereka tidak memiliki lahan milik sendiri. Lahan hutan juga dipandang sekedar lahan garapan jika mereka memiliki waktu luang diantara waktu penggarapan lahan milik atau pekerjaan di luar pertanian. Sumberdaya hutan, bagi kebanyakan penduduk desa setempat dipandang hanya sebagai sumber kayu bakar, sumber pakan ternak, tempat mendapatkan pasir dan batu untuk bahan bangunan serta tempat menggembalakan kerbau milik petani.

Rumahtangga peserta PHBM bahkan tidak mematuhi kesepakatan pengelolaa n hutan sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Penggarapan lahan dilakukan di lahan yang ingin digarap rumahtangga atau yang telah digarap sejak dahulu, bukan di lahan yang ditetapkan oleh NPK untuk digarap. Pengaturan rumahtangga penggarap di suatu lahan dan pengalihan lahan garapan dilakukan dengan kesepakatan antara penggarap dan bukan atas persetujuan Forum PHBM. Dengan demikian dapat dikatakan rumahtangga lebih dipengaruhi oleh kelembagaan lain dari pada kelembagaan yang dibentuk oleh negara seperti PHBM. Sebagai akibatnya gambaran sistem kehidupan yang terbentuk di Desa Padabeunghar sangat jauh dari apa yang dicita-citakan oleh penggagas PHBM.

Gambaran pola nafkah rumahtangga yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang oleh negara melalui inovasi kelembagaan PHBM merupakan suatu bukti bahwa rumahtangga sekitar hutan memiliki rasionalitas tindakan sendiri dalam merespon PHBM. Dalam hal ini rasionalitas nafkah rumahtangga

6

Setiamihardja, Arifin, 2003, Implementasi PHBM dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan, Disampaikan pada “Sharing dan Dialog Pengalaman Proses-proses Membangun Kolaborasi dalam Mengelola Hutan di Kuningan” di LSM LATIN, Bogor, Tanggal 7 September, 2003.

(20)

sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, nilai dan kelembagaan sosial serta perubahan yang disebabkan oleh proses-proses sosial dalam dan interaksi dengan komunitas di luar desa.

Bagaimana dan mengapa rasionalitas masyarakat lokal yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah rumahtangga itu terbentuk, merupakan pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjawab pertanyaan “mengapa, bagaimana, dan sejauh mana strategi nafkah dijala nkan oleh rumahtangga di Desa Padabe unghar?”. Strategi nafkah merujuk pada suatu aktivitas pemanfaatan sumberdaya di mana sumberdaya termasuk sumberdaya hutan dimaknai dan digunakan untuk tujuan bertahan hidup atau tujuan peningkatan status ekonomi. Strategi nafkah sebagai rangkaian tindakan rasional mencakup aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial yang dilakukan oleh rumahtangga atau individu dalam rangka mengamankan status kehidupan rumahtangga atau individu yang bersangkutan. Pola nafkah merujuk pada pengertian pemanfaatan dan “manipulasi” sumber-sumber nafkah yang secara alami atau secara sosial dapat digunakan dalam sistem penghidupan rumahtangga. Keseluruhan tindakan nafkah atau aktivitas pemanfaatan sumberdaya menghasilkan konfigurasi atau pola nafkah. Dalam hal ini setiap keputusan dan tindakan rumahtangga dalam melakukan pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh rasionalitas atau landasan idealitas yang diyakini oleh rumahtangga yang bersangkutan.

Penelitian ini difokuskan pada dasar pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar sebagai suatu gejala lokal. Penelitian strategi nafkah MDH sebagai studi strategi nafkah di Kabupaten Kuningan telah dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (LSM LATIN) pada tahun 2004. Hasil penelitian hanya menunjukkan identifikasi modal dan posisi desa dalam pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan7. Sejauh ini kajian sosiologis mengenai pengaruh karakter sosial dalam strategi nafkah petani belum dibahas. Penelitian yang dilakukan oleh

7

VSO -SPARK Regional Workshop, 2004, Rural Livelihoods In Indonesia, Philippines and Thailand: A Workshop Proceeding, SPARK-VSO, Indonesia.

(21)

LSM LATIN tidak dapat menjelaskan dinamika pelaksanaan PHBM di desa sekitar hutan sebagai suatu lokalitas yang memiliki karakter sosial yang unik.

Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor untuk memahami hubungan MDH dengan hutan. Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan property right oleh masyarakat adat atau penekanan pada indigenous knowledge untuk pengelolaan hutan (Anonimous , 2000; Howitt, Connell dan Hirsch, 1996; Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa MDH memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh LSM yang berasumsi bahwa MDH adalah masyarakat yang hidup selaras dengan alam, memelihara hutan lebih baik dari siapa pun yang berada di luar hutan, penelitian ini melihat MDH sebagai masyarakat rasional yang menganggap hutan sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. MDH dianggap sebagai entitas sosial yang memiliki rasionalisme sendiri yang dapat berarti memelihara atau merusak hutan agar dapat bertahan hidup atau bahkan mengembangkan sikap memperkaya rumahtangga. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian-penelitian serupa yang dilakukan pada masyarakat pedalaman seperti suku Dayak di Kalimantan yang hidup dan tergantung pada hutan saat hutan ditetapkan sebagai hutan produksi maupun taman nasional (Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001) . Masyarakat Desa Padabeunghar pada saat penelitian dilakukan adalah masyarakat yang menyadari dan terbiasa dengan posisi hutan sebagai “hutan lindung” yang dikuasai Perhutani.

Penelitian sosial tentang desa hutan di Jawa Barat telah dilakukan oleh Marzali (2003) . Marzali menggunakan pendekatan antropologi untuk melihat strategi nafkah petani Cikalong, Jawa Barat dalam menghadapi kemiskinan. Penelitian Marzali menunjukkan peserta perhutanan sosial adalah petani dari kelas ekonomi terendah dalam masyarakat dan mengikuti program perhutanan sosial karena tidak memiliki pekerjaan dan lahan pertanian. Petani menggarap lahan untuk memperoleh padi untuk mendapat jaminan kesinambungan hidup. Pengelolaan hutan dilandasi oleh falsafah “mimi likan ”—mungkin akan

(22)

mendapatkan hasil yang banyak. Pengelolaan hutan menggunakan pola tanam sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan modal petani, sementara petani tidak memahami tentang program pengelolaan hutan yang ditetapkan dalam perhutanan sosial. Istilah-istilah seperti tanaman tepi, sisipan dan pagar sama sekali tidak dipahami petani. Petani menanam tanaman palawija dan padi, padahal dalam program perhutanan sosial, penanaman tanaman palawija atau padi hanya diijinkan hingga kanopi tanaman pokok tinggi. Setelah itu tanaman harus diganti dengan tanaman berumur panjang seperti petai, kapulaga, kopi, nangka, durian dan pisang.

Penelitian Marzali (2003) memberikan deskripsi tentang siapa petani penggarap hutan dan bagaimana petani menggarap hutan di daerah perbukitan Cikalong. Penelitian ini dilakukan di tempat yang berbeda dan dengan pumpunan (fokus) penelitian yang berbeda. Penelitian Marzali (2003) memperjelas potret petani desa yang miskin, tidak terdidik, kurung batok8, takut pada pemerintah tetapi mengerti bahwa oknum aparat pemerintah banyak yang tidak jujur dan tidak ikhlas menolong petani, etika kerja keras tetapi tetap miskin, punya kalkulasi rasional dalam memilih benih karena takut rugi dan tenggelam, dan etika hidup hanya untuk menyambung nafas kemarin. Sementara, penelitian ini mencoba melihat rumahtangga desa sebagai entitas yang mempunyai sejumlah pilihan untuk bertahan di desa atau pergi keluar desa serta melakukan kalkulasi rasional dalam membuat keputusan nafkah. Keputusan itu mencakup pilihan untuk menyambung hidup (survival strategy) atau memperbaiki status kehidupan rumahtangga mereka (consolidating strategy).

Penelitian ini juga diarahkan pada pertanyaan sejauh manakah rumahtangga di desa peserta PHBM merespon keberadaan infrastruktur kelembagaan PHBM dalam pola nafkah mereka? Apakah ketersediaan dan kelimpahan modal sosial berupa kelembagaan PHBM telah mempengaruhi pilihan-pilihan strategi nafkah yang dilembagakan oleh rumahtangga di desa peserta PHBM? Bagaimanakah bentuk strategi na fkah yang secara faktual

8

“Kurung batok” adalah istilah yang dikemukakan Marzali. Berdasarkan pengetahuan peneliti yang juga berasal dari Jawa Barat, “kurung batok ” adalah istilah untuk orang yang tidak pernah pergi ke luar dari daerah asal.

(23)

terbentuk di lapangan? Semua pertanyaan penelitian ini akan dijawab oleh penelitian ini.

1.2 Rumusan Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan bagaimana dan mengapa pilihan strategi nafkah rumahtangga dilakukan dibagi dalam dua pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis, yaitu:

1. Pertanyaan tentang strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Pertanyaan tentang strategi nafkah diperlukan untuk melihat pola umum strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Secara lebih spesifik dibagi menjadi tiga bentuk pertanyaan:

a) Sumber-sumber nafkah apa saja kah yang tersedia bagi rumahtangga di Desa Padabeunghar? Bagaimanakah mereka mendapatkan sumber nafkah tersebut? Dan apa sumbangan setiap sumber nafkah tertentu pada keseluruhan sistem nafkah rumahtangga?

b) Bagaimana kah penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM dan bagaimana penggunaan sumberdaya hutan diantara sumberdaya lain yang digunakan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM?

c) Strategi nafkah apa yang dipilih rumahtangga ? aktivitas nafkah apa yang menonjol dilakukan oleh rumahtangga dalam Desa peserta PHBM? Untuk tujuan apakah strategi nafkah dilakukan? Dalam konteks sosial atau ekonomi apakah strategi nafkah terbentuk? 2. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal

diarahkan untuk melihat bagaimana strategi nafkah yang ada dipilih dan dilakukan. Strategi nafkah yang benar-benar dilakukan oleh rumahtangga dapat memberikan gambaran tentang “cara berpikir komunitas lokal”

dalam menggerakkan sikap untuk melakukan tindakan nafkah

rumahtangga di desa peserta PHBM. Secara lebih spesifik dibagi menjadi dua pertanyaan:

(24)

a) Dalam konteks sosial apa pilihan strategi nafkah dputuskan? kekuatan-kekuatan sosial apa sajakah yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah? bagaimana kekuatan-kekuatan sosial itu bekerja? dan bagaimana kah relevansinya dengan strategi nafkah yang dirancang oleh pemerintah melalui PHBM?

b) Adakah tujuan ideal yang ditetapkan oleh rumahtangga dalam memutuskan pilihan strategi nafkah? Adakah hirarki hirarkhi tujuan yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pertimbangan keuntungan dan kerugian yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pengorganisasian tenaga kerja rumahtangga dan aturan yang

sengaja disusun untuk mengorganisasikan tugas anggota

rumahtangga untuk mencapai tujuan nafkah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan sebagai sumber nafkah dalam rumahtangga di Desa Padabeunghar

2) Mengetahui penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar

3) Mendapatkan gambaran strategi nafkah rumahtangga yang dipilih dan ditetapkan oleh rumahtangga desa peserta PHBM

4) Mengetahui pilihan strategi nafkah yang dilakukan rum ahtangga di sekitar hutan Perhutani.

5) Mengetahuai dasar rasionalitas yang melatarbelakangi pilihan strategi nafkah rumahtangga .

Studi ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada penyusunan dan pelaksanaan program pengelolaan hutan yang melibatkan rumahtangga desa di sekitar hutan.

(25)

2.1 Rumahtangga Petani Di Sekitar Hutan Jawa

Rumahtangga merupakan lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya

memenuhi kebutuhan hidup anggota rumahtangga. Douglas (1998)

mengemukakan pengertian rumahtangga sebagai:

“the houselholds is a basic institution for reproducing society in its material as well as non-material aspect. Its includes pooling and allocating labor and resources which, as has been widely noted, neither goes uncontested nor can be assumed to be egalitarian but is nonetheless an arena of social co-operation. This ‘miny political economy’ of decision making abaut status, power, property and work between men and women, generations and kin is multifaceted and dynamic in its formation and life” (Douglass, 1998, dalam Meikle et. al., 2001).

Penge rtian rumahtangga di atas menyebutkan rumahtangga sebagai struktur kecil politik ekonomi yang membuat keputusan tentang dinamika kehidupan dan formasi rumahtangga. Rumahtangga memiliki struktur kekuasaan, kepemilikan, pengambilan keputusan dan pelestarian ikatan-ikatan darah.

Ellis (2000) mengartikan rumahtangga sebagai tempat di mana ketergantungan sosial dan ekonomi antara kelompok dan individu terjadi secara teratur. Rumahtangga diartikan sebagai kelompok sosial yang tinggal di satu tempat, berbagi makanan yang sama, membuat keputusan bersama mengenai alokasi sumberdaya dan pendapatan (Meillassoux, 1981; Ellis, 1993, dalam Ellis, 2000) . Rumahtangga merupakan unit sosial yang mengikat anggotanya dalam kesatuan sosial dan ekonomi. Rumahtangga menjalankan strategi nafkah sebagai upaya mempertahankan kehidupan anggota rumahtangga.

Rumahtangga tidak selalu berisi ikatan darah. Rumahtangga bisa juga berarti sekelompok orang yang berbagi rumah atau tempat tinggal dan berbagi pendapatan atau seseorang yang tinggal sendiri, keluarga inti, keluarga batih, atau sekelompok orang yang tidak berhubungan (Marshal, 1994, dalam Dharmawan 2001). Jadi rumahtangga bisa berarti ikatan darah atau hubungan bukan atas dasar ikatan darah.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, rumahtangga diartikan sebagai suatu unit sosial ekonomi yang memiliki hubungan dalam menjalankan strategi

(26)

nafkah. Rumahtangga dibatasi oleh hubungan ketergantungan secara sosial ekonomi yang terjadi secara intens. Rumahtangga dapat terdiri dari orang-orang yang memiliki hubungan darah atau pun tidak.

Sebagai suatu unit sosial ekonomi, rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai be rikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga (Manig, 1991, dalam Dharmawan, 2001). Rumahtangga merupakan tempat bagi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Rumahtangga juga berfungsi sebagai perekrutan tenaga kerja baru melalui perkawinan atau pun kelahiran. Rumahtangga merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan alokasi ekonomi dan pilihan tindakan-tindakan yang dianggap rasional untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, membangun rumah, investasi, dan membangun kesejahteraan anggota rumahtangga (Netting, 1993). Fungsi-fungsi rumahtangga menurut Netting (1993) dan Manig (1991) lebih menekankan pada fungsi ekonomi rumahtangga, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan rumahtangga.

Dharmawan (2001) menekankan bahwa merefleksikan tingkatan masyarakat yang lebih luas seperti komunitas sosial tempat rumahtangga berada. Setiap tindakan yang dilakukan rumahtangga merupakan reaksi dari berbagai stimuli yang diberikan oleh komunitas (Von Braun, 1992, dalam Dharmawan, 2001). Melalui pendekatan model unitary, tindakan rumahtangga dapat difahami dari tindakan-tindakan individu dalam rumahtangga. Namun berbeda dengan pendekatan model unitary yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, Weber (1968) menekankan tindakan-tindakan individu dipengaruhi oleh nilai dan norma di tempat individu tersebut berada.

Bagi rumahtangga, hutan berarti sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Penelitian Wollenberg dan Nawir (1998) tentang pendapatan rumahtangga dari hutan menunjukkan hutan mendukung pendapatan

(27)

rumahtangga melalui NTFP (Non Timber Forest Product), kayu hutan, makanan liar dari hutan, penggunaan lahan hutan, karet, dan kakao.

2.2 Pengelolaan Hutan di Jawa

Bagi masyarakat Jawa hutan9 sejak dahulu telah dikenal sebagai sumberdaya penting bagi nafkah rumahtangga. Sebelum kedatangan Belanda pada akhir abad ke -16, hutan jati telah menyumbang ekonomi rumahtangga dari mulai kayu bakar sampai pada bahan baku industri perkapalan. Hutan sebagai penyumbang ekonomi rumahtangga diambil-alih oleh penguasa. Belanda melalui VOC (Verenigne Ost-Indische Compagnie) memperoleh ijin eksploitasi hutan melalui penguasa-penguasa lokal seperti sultan atau raja. Ijin penebangan hutan yang dipegang VOC merupakan legalisasi penguasaan pengusaha asing terhadap hutan yang selama ini dimanfaatkan masyarakat10. Kepentingan ekonomi ini diperkuat secara politik oleh Agrarische-wet pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffless pada tahun 1811 (Wiradi, 2000). Berdasarkan agrarische-wet, seluruh tanah di luar milik pribadi dianggap sebagai milik negara, termasuk lahan hutan. Kebijakan ini diperkuat dengan penetapan domeinverklaring tahun 1870 yang meneta pkan batas kawasan hutan yang dikuasai negara. Domeinverklaring memberi pengesahan eksploitasi hutan oleh negara (Simon, 2004).

Pengambilalihan penguasaan dan pengusahaan hutan dari masyarakat lokal oleh negara dilanjutkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui UUPH (Undang-undang Pengelolaan Hutan) tahun 1967, hak pengelolaan hutan diberikan pada pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan perusahaan milik negara. Tujuan pengelolaan hutan untuk menambah pendapatan negara dari sektor kehutanan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini juga berarti pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal yang tidak

9 Hutan yang dimaksudkan terutama hutan jati. Simon (2004:1-24) menunjukkan masyarakat Jawa

telah memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat kayu (aspek teknologi), cara penebangan (aspek eksploitasi), dan cara pemanfaatan (aspek pengolahan hasil).

10 Secara hukum, seluruh kawasan hutan jati di Jawa masih di bawah kekuasaan Sunan Paku

Buwana di Surakarta atau Sultan Hamengkubuwana di Jogjakarta. Tatanan penguasaan hutan masyarakat yang menyatu dengan hukum tak tertulis, hukum adat atau yang disebut hak ulayatbergabung dengan system administrasi pemerintahan. Hak ulayat untuk mengendalikan sumberdaya hutan di Jawa masuk ke dalam aturan wilayah administrasi paling kecil, yaitu desa. Hutan termasuk ke dalam wewengkon desa. Ijin penebangan hutan dari sultan atau sunan merupakan legalisasi bagi VOC untuk mengeksploitasi hutan. Potensi pertentangan dari desa diatasi dengan kerjasama antara VOC dan pemerintah desa (Simon, 2004: 21-22).

(28)

memiliki HPH dianggap ilegal. Di masa ini pula terjadi pengusiran masyarakat lokal dari wilayah hutan yang telah ditetapkan menjadi hutan negara. Masyarakat desa sekitar hutan yang tetap menggarap lahan hutan disebut perambah hutan, peladangan ilegal, penjarah, atau penggembala liar.

Kelembagaan yang mengatur hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan-sumberdaya hutan lebih banyak dibentuk oleh pemerintah atau pihak perusahaan yang memiliki HPH. Simon (2004) menunjukkan sejak masa timber

extraction dilakukan oleh VOC sebuah organisasi perdagangan di bawah

pemerintah Belanda, pengaturan hubungan masyarakat desa sekitar hutan dengan sumberdaya hutan lebih banyak dilakukan oleh pihak pemegang HPH. Selanjutnya, bentuk kelembagaan tersebut ditentukan oleh tiga hal (1) kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH, (2) tuntutan perkembangan kebijakan kehutanan di tingkat global, dan (3) tuntutan petani yang menuntut akses terhadap sumberdaya hutan (Simon, 2004).

Kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH melibatkan petani dalam pengelolaan hutan sebagai tenaga kerja. Belanda melibatkan penduduk di sekitar hutan sebagai penebang kayu pada masa VOC. Blandongdienstein , dinas penebangan kayu yang didirikan Belanda, mengikis kekuasaan hak ulayat penduduk asli. Belanda memanfaatkan kekuasaan Sultan dan Raja -raja untuk mendapatkan hak penebangan hutan. Penduduk sekitar hutan sebagian kecil, yang memilihi keterampilan menebang kayu, menjadi blandhong (penebang kayu) yang dibayar dan sebagian besar menjadi pembuat kayu bakar dengan penghasilan kecil.

Perhutani merupakan perusahaan pemegang HPH di Jawa. Simon (2004) mengungkapkan bahwa pada awalnya Perhutani berupa jawatan yang masih lebih mementingkan upaya pelestarian hutan dari pada peningkatan pendapatan negara melalui hutan. Perubahan Perhutani menjadi Perusahaan Umum (Perum), kemudian Perseroan Terbatas (PT) merupakan upaya optimalisasi peran Perhutani dalam eksploitasi hutan Jawa. Perubahan bentuk Perhutani dari PT menjadi Perum kembali dianggap sebagai suatu titik tolak perubahan setting konsep dan program pengelolaan hutan yang berbasis pada kepentingan masyarakat (Http://www.kompas.com diakses pada 3 Februari 2005)

(29)

Perusahaan Negara Perhutani dibentuk untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan seperti (1) memupuk keuntungan sebesar-besarnya untuk keuntungan negara, (2) menciptakan lapangan pekerjaan dan (3) perlindungan lingkungan hidup (Simon, 2004). Lapangan pekerjaan yang disediakan Perhutani tidak lepas dari tujuan pertama dan ketiga, penduduk sekitar hutan dalam penebangan dan penanaman kembali. Keterlibatan mereka sebagai pekerja di kegiatan perhutanan kembali. Kegiatan tersebut terdapat dalam dua bentuk, cemplongan di mana penduduk desa mendapatkan upah harian untuk penanaman pohon atau tumpang sari sebagai bentuk dari taungya di mana penduduk desa dapat menanam tanaman pangan di lahan hutan selama dua tahun penanaman dan berkewajiban untuk menanam dan menjaga tanaman bibit (Seymour dan Rutherford, 1994).

Perubahan besar terjadi setelah tahun 1978 kongres kehutanan Dunia VIII dengan tema forest for people memaksa Perhutani melakukan perubahan. Meskipun dalam pelaksanaannya, belum sepenuhnya menempatkan pengelolaan hutan pada masyarakat, namun yang menjadi titik tolak adalah perubahan di aras global menekan perubahan di tingkat manajemen nasional. Kebijakan perhutanan sosial merupakan tanggapan atas hasil Kongres Kehutanan Dunia tersebut.

PHBM lahir tahun 2001 sebagai penyempurnaan program kehutanan sosial dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) (Simon, 2004). PHBM dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan. Semangat ini digambarkan dalam slogan PHBM “hutan lestari, masyarakat sejahtera”.

PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sejak pemetaan wilayah hutan yang akan menjadi wilayah kelola sampai dengan cara penanaman dan tanaman yang akan ditanam. Pada tahap awal PHBM merupakan kesepakatan antara Perhutani dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Wujud kesepakatan antara Perhutani-Pemda adalah Nota Kesepahaman ditandatangani. Setelah Nota Kesepahaman ditandatangani proses internalisasi PHBM dilakukan. Proses tersebut meliputi sosialisasi hak dan kewajiban, pembentukan KTH (Kelompok Tani Hutan) dan Forum PHBM, penetapan pemetaan partisipatif, penggalian potensi, perencanaan pengelolaan, NPK (Nota Perjanjian Kerjasama), dan Perdes (Peraturan Desa).

(30)

Peran LSM ada dalam setiap tahapan internalisasi PHBM11. LSM berperan memberikan kontrol pada kesepakatan yang dibuat oleh Perhutani dan pemerintah daerah. LSM merupakan bagian yang diikutsertakan secara formal dalam pelaksanaan PHBM (Pokok-pokok Pengelolaan PHBM, 2001). LSM tersebut ada yang bergerak di aras hubungan pemerintah dan Perhutani dan ada yang bergerak di aras masyarakat desa. LSM yang bergerak di aras masyarakat desa membuat rencana kerja sebagai penyeimbang langkah internalisasi PHBM oleh pemerintah dan Perhutani dan pendampingan pelaksanaan PHBM di desa hutan12.

PHBM merupakan kelembagaan yang membuka peluang akses sumberdaya hutan pada masyarakat di sekitar hutan. PHBM membuka peluang bagi desa-desa di sekitar hutan di Kuningan untuk mendapatkan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya hutan. Bagi hasil dilakukan setiap siklus tanaman utama yaitu 20 tahun untuk pinus dan 35 tahun untuk kayu jati.

Kontrak PHBM tersebut membuat PHBM di Kuningan dinilai berhasil oleh LSM yang melakukan pendampingan di Kuningan13. Keberhasilan PHBM dilihat dari kontrak yang menjamin akses masyarakat desa sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan, dukungan dana dari pemerintah daerah14. Keberhasilan juga ditunjukan dengan penambahan luasan desa yang ikut serta dalam program PHBM. Namun, Gunawan (2001) menunjukkan bahwa kemiskinan masih mendominasi desa-desa di sekitar kawasan hutan. Akses sumberdaya hutan melalui PHBM belum memberikan keberlanjutan nafkah bagi masyarakat desa di sekitar hutan.

Perkembangan paradigma pengelolaan hutan oleh pemerintah mempengaruhi pola hubungan antara masyarakat dengan hutan. Peraturan mentri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dalam rangka sosial forestry memandang masyarakat setempat sebagai masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar

11 LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan adalah LSM LATIN,

LSM KANOPI, Visita, Akar, Kompepar, dan Komar Cs.

12 Rencana kerja LSM KANOPI merupakan contoh untuk menunjukkan peranan LSM dalam

pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan.

13 Hasil Wawancara dengan Arif Aliadi, Anggota LSM LATIN (Lembaga Alam Tropika), LSM

yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan, Rabu, 20 September 2004

14

Pemerintah Daerah Kuningan memberikan dana sebesar Rp. 200 juta pada tahun 2001 dan kemudian pada tahun 2002 ditambah menjadi Rp 500 juta bagi pelaksanaan program PHBM

(31)

hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan (Pasal 1).

Perkembangan paradigma pengelolaan hutan pemerintah penting artinya bagi strategi nafkah rumahtangga di desa sekitar kawasan hutan. Pengelolaan hutan melibatkan masyarakat desa di sekitar hutan yang berhubungan langsung dengan hutan, pemerintah yang secara legal formal menguasai wilayah hutan, dan Perhutani yang memiliki hak kelola hutan. Pemerintah Daerah Kuningan tidak sejalan dengan Perhutani karena Perhutani dianggap tidak memberikan sumbangan pada pendapatan daerah (Wahyu, 2002). Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian pada bidang agraria yang menunjukkan hubungan erat antara pihak pengusaha dengan pemerintah15. Pemerintah daerah memberi dukungan pada masyarakat desa di sekitar hutan dalam program PHBM dalam bentuk dana, dukungan yang tidak lepas dari peran LSM yang mendampingi masyarakat desa di sekitar hutan.

Secara legal formal, PHBM merupakan suatu kebijakan yang pada intinya mengakui wilayah desa atas wilayah hutan Perhutani. Hutan Perhutani yang masuk ke dalam wilayah suatu desa akan menjadi wilayah bersama atau disebut hutan pangkuan desa atau wewengkon. Arti dari wilayah bersama adalah hutan akan dikelola bersama dengan masyarakat jika di wila yah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola. PHBM pada prinsipnya mendudukkan Perhutani dan masyarakat lokal sebagai pihak yang sama-sama memiliki hak akses sumberdaya hutan.

Peranan LSM LATIN dan LSM KANOPI di Kuningan adalah membentuk kelembagaan yang dapat menjamin posisi tawar masyarakat desa di sekitar hutan terhadap Perhutani. LSM LATIN mendorong agar Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (Petunjuk teknis) PHBM tidak ditentukan sepihak oleh Perhutani dan

15 Program PIR -Bun (PIR Perkebunan) yang dipilih sebagai jalur reforma agraria oleh pemerintah

orde baru umumnya lebih menguntungkan pihak perkebunan daripada petani (Sitorus, 2004). Beberapa perlawanan petani seperti perlawanan petani Jenggawah (Hafid, 2001), perlawanan petani Lampung (Kusworo, 2000) atau kasus tanah pertambangan antara masyarakat dengan PT. Freeport di Irian Jaya (Munggoro et. al., 1999) semuanya menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pihak pemilik modal

(32)

memberikan kesempatan bagi LSM di Kuningan bersama masyarakat menentukan bentuk kerjasama dalam PHBM.

Interaksi antara pemerintah, Perhutani dan masyarakat yang dimediasi oleh LSM menentukan bentuk akses masyarakat desa di sekitar hutan pada sumberdaya hutan. Akses masyarakat desa di sekitar hutan akan besar jika masyarakat desa di sekitar hutan memiliki kekuatan yang mendorong interaksi antara Perhutani, pemerintah dan masyarakat desa di sekitar hutan pada posisi yang menguntungkan maay desa di sekitar hutan. Kondisi sebaliknya terjadi jika pemerintah atau Perhutani lebih memperhatikan kepentingan produksi atau pendapatan dengan menekan akses masyarakat desa di sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan.

2.3 Strategi Nafkah Rumahtangga 2.3.1 Pengertian Strategi Nafkah

Konsep nafkah (livelihood ) hidup seringkali digunakan dalam tulisan-tulisan tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Arti di dalam kamus adalah cara hidup (means of living ). Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Lebih jelas, strategi nafkah didefinisikan sebagai:

Livelihoods compromises the capabilities, asset s (stores, resources, claim dan acces) and activities required for a means of living (Chambers and Conway,

1991).

Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway (1991) adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia . Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset

(33)

yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Aset didefinisikan Ellis (2000) sebagai berbagai bentuk modal, seperti modal sosial, modal fisik, modal manusia dan modal finansial yang dimiliki dan digunakan untuk kehidupan individu atau rumahtangga (Ellis, 2000). Akses terhadap modal dapat diperoleh rumahtangga melalui struktur melalui proses yang telah dibakukan dalam kebijakan, tata aturan, kelembagaan atau budaya (Ashley dan Carney, 1999). Ashley dan Carney juga mengemukakan bahwa kelima modal ini selain menjadi aset yang penting bagi strategi nafkah juga dapat menjadi hasil dari proses strategi nafkah sebelumnya.

Menggunakan pendekatan teori pilihan rasional (Coleman, 1994) strategi nafkah merupakan serangkaian tindakan rasional yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya. Menggunakan pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi nafkah, maka strategi nafkah berarti tindakan rasional individu untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya.

Kemiskinan bukan sesuatu yang tetap dan statis. Kemiskinan bergerak sebagai respon peluang atau tegangan dari kondisi sosial dan lingkungan (Moser, 1996; Chambers, 1995 dalam Meikle et. al., 2001). Strategi nafkah tidak hanya dilakukan orang dalam keadaan miskin. Kemiskina n membuat orang berstrategi dengan menghasilkan berbagai pola nafkah. Strategi nafkah selain untuk mengamankan kehidupan sehari-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi (Dharmawan, 2001). Secara sederhana strategi nafkah diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki hidup (Chambers dan Conway, 1991).

Ellis menggambarkan bahwa strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis16. Strategi nafkah yang dilakukan dalam kondisi krisis berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan biasa (normal). Penjarahan hutan pasca krisis moneter di tahun 1998 menunjukkan krisis politik di pemerintah pusat berpengaruh pada strategi nafkah rumahtangga di desa-desa pinggir hutan di Kuningan (Gunawan, 2001). de Haan (2000) menguatkan dengan

16

Ellis (2000) menggambarkan bahwa kondisi krisis (wabah penyakit, bencana alam, perang dan kondisi krisis lain) mempengaruhi strategi nafkah. strategi nafkah merupakan hasil dari aset yang dapat diakses dalam suatu kondisi tertentu.

(34)

istilah coping strategy. Menurut de Haan, Jika keberlanjutan nafkah17 terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping (coping strategy). Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber nafkah18 rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, strategi nafkah dilakukan dalam berbagai tindakan. Bahkan ketika individu memilih untuk tidak melakukan apa-apa, bukan berarti ia tidak melakukan strategi nafkah. Berdasarkan teori pilihan rasional, individu memilih tidak melakukan apa -apa atau memilih menyerahkan pencapaian tujuannya pada orang lain jika tidak ada informasi yang cukup atau jika pasif menjadi pilihan yang paling menguntungkan (Abell, 2000; Scott, 2000).

Strategi nafkah dilakukan berdasarkan sumber-sumber nafkah yang dimiliki individu atau rumahtangga dan faktor-faktor di luar rumahtangga yang menentukan kemampuan rumahtangga dalam melakukan strategi nafkah. Berdasarkan kerangka pikir strategi nafkah DFID (Ferrington, et. al., 2004; Meikle et. al., 2001) faktor struktur dan proses mempengaruhi strategi nafkah rumahtangga. Kebijakan pemerintah, budaya masyarakat, kelembagaan dan struktur pemerintah mempengaruhi aset nafkah rumahtangga.

Analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di Kuningan lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan. Konsep strategi nafkah digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumahtangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya. Hasil penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan secara material dan spiritual atau pekerjaan (dalam istilah bahasa Sunda pagawean)19.

17

Nafkah dianggap berkelanjutan jika mampu untuk mencukupi, memuaskan kebutuhan dasar sendiri dan mengamankan orang dari kejutan dan tekanan (de Haan, 2000)

18 de Haan menggunakan pendekatan lima modal, modal sosial, modal alami, modal manusia,

modal fisik dan modal finansial untuk menjelaskan sumber nafkah yang digunakan oleh rumahtangga.

19

VSO -SPARK Regional Workshop, 2004, Rural Livelihoods In Indonesia, Philippines and Thailand: A Workshop Proceeding, SPARK-VSO, Indonesia.

(35)

Berdasarkan penjelasan di atas, strategi nafkah meliputi beragam tindakan rasional yang diambil rumahtangga untuk mencapai tujuan yang ditetapkan rumahtangga. Merujuk pada pendapat Ellis (2000) tindakan yang dilakukan berkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki atau tidak dapat dimiliki tetapi dapat diakses manfaatnya. Akses sumberdaya ditentukan oleh kemampuan rumahtangga dalam memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya.

2.3.2 Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga

Berdasarkan pengertian strategi nafkah di atas, sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimafaatkan oleh rumahtangga, sedangkan modal mengacu pada semua hal yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga. Merujuk pada Dharmawan (2001) sumber nafkah rumahtangga biasanya berupa sumber nafkah yang beragam (multiple source of livelihood ). Ini karena rumahtangga tidak tergantung pada satu kegiatan tertentu dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi tujuan rumahtangga. Rumahtangga dapat menjadi petani pemilik dan menggarap lahan sendiri, penggarap dengan menggarap lahan orang lain, penggembala, pencari kayu bakar, pencari rumput bahkan pedagang.

Rumahtangga membutuhkan aset untuk dapat menjalankan strategi nafkah. Aset yang dimiliki dan dapat digunakan oleh rumahtangga disebut modal. Modal bisa dibedakan menjadi lima kategori, seperti: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Modal alam menjelaskan basis sumberdaya alam, air, pohon-pohonan yang menghasilkan pangan dan segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya alam yang digunakan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Modal manusia dan modal fisik mengacu pada pengertian ekonomi klasik. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan, dan status kesehatan individu dan populasi. Modal manusia menunjukkan tenaga kerja yang dimiliki rumahtangga. Modal fisik mengacu pada aset yang dihasilkan dalam

(36)

proses produksi ekonomi. Modal finansial mengacu pada persediaan uang tunai yang dapat digunakan dalam produksi dan konsumsi termasuk juga akses untuk kredit. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang bergabung dan darinya orang mendapat dukungan untuk menjalankan pola nafkahnya (Carney, 1999; Ellis, 2000; de Haan, 2000). Peranan kelima modal dalam nafkah rumahtangga tergantung dari berapa banyak akses, berapa besar kemampuan mengelola dan mengambil kegunaan oleh Rumahtangga.

Di Kuningan, sumberdaya hutan memiliki tempat yang penting sebagai modal alam. Selain lahan sawah, komposisi lahan terbesar adalah hutan produksi, lahan yang dilindungi, dan komunitas hutan. Komposisi lahan di Kuningan dapat diamati pada gambar berikut:

Sumber: VSO -SPARK Regional Workshop, 2004: 20.

Gambar 1. Komposisi Lahan di Kuningan

Komposisi lahan tersebut menunjukkan lahan sebagian besar masih berupa hutan. Lahan hutan yang berupa hutan produksi dan hutan lindung berada di bawah kewenangan Perhutani dan Pemerintah Daerah dan hanya bisa diakses oleh masyarakat jika terdapat kelembagaan yang mengatur hubungan antara sumberdaya hutan dan masyarakat.

Modal sosial merupakan suatu aset yang dapat digunakan oleh rumahtangga untuk mempertahankan kelangsungan nafkah (de Haan, 2000; Carney, 1999). Modal sosial memfasilitasi tindakan aktor -aktor di dalam struktur

Peruma han, kota dll. Hutan produksi Hutan lindung Kebun masy Hutan masy sawah

(37)

sekaligus menetapkan aktor -aktor tersebut dalam aspek-aspek struktural (Coleman, 1988). Modal sosial dibangun untuk keuntungan rumahtangga .

Carney (1999, dalam de Haan, 2000) menggambarkan modal sosial sebagai (1) hubungan kepercayaan, resiprositas dan pertukaran antara individu, (2) keterhubungan, jaringan dan kelompok, termasuk akses pada beragam kelembagaan; (3) aturan yang biasa, norma dan sangsi yang disetujui bersama oleh masyarakat. de Haan mengartikan modal sosial termasuk tolong menolong antar tetangga, organisasi keagamaan, kelompok pengguna sumberdaya alam, partai politik dan lainnya.

Menurut Stone dan Hughes (2002) inti dari modal sosial adalah hubungan sosial. Kualitas hubungan sosial mengacu pada kemampuan manusia bersama bekerjasama menyelesaikan masalah bersama -sama. Dalam komunitas, modal sosial mengacu pada kemampuan anggota komunitas untuk berpartisipasi, bekerjasama, berorganisasi dan interaksi (Cavayne, 2001, dalam Stone dan Hughes, 2002).

Ruang lingkup modal sosial didefinisikan berdasarkan penjelasan Putnam dan Coleman. Putnam melihat modal sosial sebagai perpaduan dari “asosiasi horizontal” antara manusia. Modal sosia l mengacu pada sebuah jaringan dan gabungan norma yang berpengaruh pada produktivitas masyarakat. Dua hal penting dari penjelasan Putnam adalah pertama, jaringan dan norma yang bergabung secara empiris. Kedua, kedua hal tersebut, jaringan dan norma memilik i konsekuensi ekonomi yang penting. Kunci masa depan modal sosial adalah dukungannya pada koordinasi dan kerjasama pada keuntungan bersama anggota kelompok (Putnam, 1993).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, modal sosial diartikan sebagai hubungan antara sesama golongan miskin dalam hubungan sosial yang saling menguntungkan, hubungan antara golongan miskin dan kaya dalam bentuk hubungan seperti patronase atau kelembagaan yang dapat memberi jaminan pada keberlanjutan nafkah. Modal sosial merupakan sumbe r strategi nafkah rumahtangga di saat krisis atau saat perubahan sosial ekonomi (Meikle et. al., 2001). Penjelasan tentang modal sosial dapat memberikan gambaran bagaimana

(38)

hubungan-hubungan sosial mempengaruhi strategi nafkah rumahtangga di desa sekitar kawasan hutan.

Di dalam masyarakat sendiri, ikatan-ikatan solidaritas antara rumahtangga menjadi modal sosial yang penting bagi nafkah rumahtangga. Dharmawan (2000) mempetakan strategi nafkah berdasarkan solidaritas petani, yaitu:

1. Strategi ikatan solidaritas berdasarkan kegiatan pertanian. Strategi ini dilakukan oleh petani-petani yang sama-sama melakukan kegiatan pertanian sebagai basis nafkah rumahtangga petani. Strategi ini meliputi kegiatan (1) peminjaman lahan dari petani lapisan atas pada petani lapisan bawah, (2) bagi hasil dan sistem sewa tanah, (3) pengelolaan tanah adat, (4) perjanjian saling menguntungkan antar petani.

2. Strategi ikatan solidaritas sosial berdasarkan kegiatan non pertanian. Strategi nafkah nafkah rumahtangga tidak hanya berkisar dalam kegiatan pertanian. Strategi ikatan solidaritas non pertanian dibangun diantara migran di kota, diantara penduduk desa untuk kegiatan nafkah di luar pertanian, atau dalam hubungan politik dan ekonomi antara petani dengan pemerintah.

3. Strategi ikatan solidaritas sosial berdasarkan kebutuhan ekonomi. Ikatan ini berbeda dengan ikatan formal yang dilakukan oleh bank atau pengadaian. Strategi ini mengandalkan hubungan kepercayaan yang dibangun antara pihak-pihak yang bekerjasama. Termasuk dalam ikatan solidaritas berdasarkan kebutuhan ekonomi adalah (1) peminjaman berdasarkan hubungan patron-klien, (2) peminjaman berdasarkan hubungan tetangga, (3) peminjaman berdasarkan hubungan keluarga, dan (4) peminjaman berdasarkan hubungan pertemanan. Hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan ikatan-ikatan sosial ini di beberapa desa terbukti lebih dipercaya dari pada hubungan formal dengan lembaga -lembaga seperti bank atau pegadaian.

Berdasarkan uraian di atas, modal tidak bersifat spasial. Modal sosial dapat menjadi sumber ba gi akses pada modal alam, modal fisik, modal manusia, atau modal finasial. Modal finansial dapat meningkatkan kemampuan petani untuk meng-akses modal manusia, modal alam, modal fisik atau modal sosial.

(39)

Akses terhadap lima modal ini menentukan bagaimana strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga.

2.3.3 Pendapatan Rumahtangga

Pendapatan me ngacu pada keuntungan (reward, advantages) yang dapat diperoleh rumahtangga dari aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga. Pendukung utitarian seperti Blau, Emerson, (dalam, Turner, 1998), Ellis (2000), menganggap pendapatan dalam bentuk material seperti uang dan barang. Antropologis seperti Malinowski (dalam Turner, 1998) memperkenalkan pendapatan non material atau pendapatan berupa simbolik. Pemaknaan material atau non material sebagai suatu pendapatan dibangun oleh konteks sosial masyarakat. Perhatian terhadap konteks sosial masyarakat ini juga melekat pada pendapatan material. Weber (1968) me mperkenalkan konsep validitas substantif yang menentukan nilai tukar (“means of payment”) suatu barang. Weber juga menekankan bahwa pertukaran dapat berupa pertukaran barang atau jasa.

Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai (in cash) atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan memenuhi nafkah. Bentuk pendapatan tunai meliputi penjualan tanaman atau ternak, gaji atau upah, sewa dan kiriman uang (remittance). Pendapatan dalam bentuk lain mengacu pada konsumsi pada produk tanaman sendiri, pembayaran dalam bentuk barang, dan transfer atau pertukaran barang konsumsi antara rumahtangga dalam komunitas desa atau antara rumahtangga desa dan kota.

Pendapatan dibagi menjadi tiga kategori (Saith, 1992; Leones dan feldman, 1998, d alam Ellis, 2000), pertama , pendapatan pertanian. Pendapatan pertanian mengacu pada pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti dari lahan milik sendiri, atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Ked ua pendapatan off-farm. Pendapatan

off-farm mengacu pada upah atau pertukaran tenaga kerja dengan pertanian lain.

Ini termasuk upah tenaga kerja dalam bentuk lain seperti upah barang dalam bentuk padi atau perjanjian upah kerja yang lain. Ketiga, pendapata n non pertanian (non-farm income) mengacu pada sumber pendapatan di luar pertanian.

(40)

Beberapa kategori pendapatan di luar pertanian adalah (1) upah di luar pertanian desa atau gaji pekerja, (2) usaha di luar pertanian milik sendiri sering disebut pendapatan bisnis, (3) pendapatan sewa dari menyewakan lahan atau pemilikan lain. (4) remittances dari urban di dalam negeri. (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan (6) remittances yang berasal dari internasional. Pendapatan rumahtangga diartikan sebagai keuntungan yang akan diterima rumahtangga jika rumahtangga melakukan aktivitas nafkah. Keuntungan yang diperoleh rumahtangga dapat berupa keuntungan material atau non material atau dalam bahasa Weber (1968) barang atau jasa. Rumahtangga akan memperhatikan utilitas marginal yang dapat diperoleh dengan pertimbangan keuntungan yang diperoleh dari aktivitas nafkah yang dilakukan dan pendapatan yang akan diperoleh.

2.4 Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional merupakan bentuk perkembangan dari teori pertukaran yang berbasis ilmu ekonomi. Teori pilihan rasional lahir karena pengaruh sosiologi dalam teori pertukaran. Teori pilihan rasional memberi perhatian pada konteks sosial yang mempengaruhi pilihan tindakan aktor dalam hubungan pertukaran (Turner, 1998).

Pengaruh ekonomi dalam teori pertukaran ditunjukkan dengan fokus perhatian teori pertuka ran yang terpokus pada maksimisasi kepuasan pada pilihan mereka yang lebih baik (preferences). Teori pertukaran menjelaskan keputusan individu sebagai hubungan sederhana antara biaya yang dikeluarkan (cost) dan keuntungan yang akan diperoleh (reward ). Setiap orang diasumsikan akan mempertentangkan biaya dan keuntungan dahulu sebelum membuat keputusan.

Teori pertukaran melihat individu akan mempertimbangkan sumberdaya yang penting bagi rumahtangga. Sumberdaya yang efektif digunakan akan dibangun dan dipelihara, sedangkan sumberdaya yang dianggap tidak efektif akan diganti. Pertimbangan efektifitas diukur dengan menggunakan efektivitas produksi, peranan sumberdaya dalam menghasilkan pendapatan atau keuntungan yang penting bagi tujuan ekonomi rumahtangga .

Gambar

Gambar 1. Komposisi Lahan di Kuningan
Tabel 1. Bagi Hasil antara Perhutani dan MDH  No.  Pihak yang Mendapat Sharing Hasil  Jenis Tanaman
Gambar 2. Kerangka  Rasionalitas Nafkah PHBM
Gambar 3. Peta Mobilitas Petani Desa Padabeunghar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau

Abdur Rahman, “Rekonstruksi Sains Sekular dan Pengembangan Sains Islam” dalam Tri Shubhi (ed.), Membangun Peradaban dengan Ilmu, Depok: Kalam Indonesia.. Al Attas,

Pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pendidikan ini diharapkan dapat memperbaiki ataupun menambah akses dan fasilitas di bidang pendidikan seperti

Pustrua Filipina PR S1 Katholik Single Trading 1 Thn John Paul S Valdes Filipina LK D3 Katholik Single Trading 6 thn Miraclan Abejero Filipina PR D3 Katholik Menikah Trading 1

Memang tepat kiranya jika fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh citra merek terhadap ekuitas merek dan ekuitas merek terhadap respon

Hasilnya menunjukkan bahwa Loan to Deposit Ratio, Net Interest Margin, dan Return on Assets secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Price to Book Value, namun

Giriş bölümünde, “Tarih İçinde Yunanlılar” konusu işle­ necektir. Yunanca’nm gelişimi ve tarihi, çağdaş Yunanlılık’ın bir öğesini oluşturan Ortodoksluk ve