• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

12 1. Tinjauan Mengenai Kasasi

a. Pengertian Kasasi

Kasasi berasal dari kata casser yang artinya membatalkan atau memecahkan. Kasasi berarti pembatalan, yaitu salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain (Andi Hamzah, 2002: 287). Kasasi merupakan suatu pembatalan terhadap putusan hakim pada Pengadilan Tinggi karena putusannya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan baik bagi pihak terpidana maupun pihak penuntut umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, kasasi sebagai pembatalan putusan atau penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir, karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 244 KUHAP dijelaskan bahwa “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap

putusan bebas”. Kasasi hanya dimungkinkan apabila mengetahui

persoalan-persoalan hukum (rechtvregen). Persoalan-persoalan hukum itu adalah:

1) Apabila satu aturan hukum tidak diperlukan oleh hakim; 2) Ada kekeliruan dalam memberlakukan satu aturan hukum; 3) Hakim melampaui batas kekuasaan.

Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2002: 292). Ada beberapa tujuan upaya hukum kasasi, yaitu:

(2)

1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya, serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang.

2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindak koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi.

3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work

dan legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang

menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi dapat terhindar kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.

b. Alasan Pengajuan Kasasi

Berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara

(vormverzuim). Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan

tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh Undang-Undang. Tidak adanya pertimbangan-pertimbangan/alasan-alasan ataupun alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi (Andi Hamzah, 2009:288-299).

(3)

Dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan guna menentukan:

1) Apakah benar suatu peratuan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya

2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang

3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Pemohon kasasi tidak dapat menggunakan alasan-alasan selain dari yang telah ditetapkan oleh undang-undang, atau dengan kata lain kasasi yang telah ditentukan undang-undang (Harun M. Husein, 1992: 74).

c. Prosedur Pengajuan Kasasi

Seringkali dijumpai pengajuan kasasi ditolak atau putusan kasasi terlambat diajukan dan melampaui tenggang waktu yang ditentukan Pasal 245 ayat (1) KUHAP, atau juga pemohon kasasi diajukan tidak dengan memori kasasi atau memori kasasi terlambat diajukan ke panitera. Semua hal itu merugikan bagi pemohon kasasi (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987: 207). Maka dari itu perlu diketahui dan dipahami cara pengajuan kasasi sesuai dengan Pasal 248 KUHAP, sebagai berikut:

1) Permohonan kasasi diajukan kepada panitera

Pasal 248 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. Apabila pemohon kasasi berada diluar tahanan, maka sebaiknya datang sendiri untuk langsung mengajukan permohonan kasasi dan menandatangani akta permohonan kasasi. Apabila pemohon kasasi berada dalam tahanan, pemohon dapat datang sendiri dengan diantar atau didampingi petugas rumah tahanan atau petugas panitera

(4)

mendatangi rumah tahanan untuk menyuruh pemohon menandatangani akta kasasi.

2) Yang berhak mengajukan permohonan kasasi

Berdasarkan Pasal 244 KUHAP, bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah terdakwa dan penuntut umum. Mereka berhak mengajukan kasasi sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. 3) Tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi

Berdasarkan Pasal 246 ayat (2) KUHAP, bahwa pengajuan permohonan kasasi bisa gugur karena pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi. Tenggang waktu mengajukan kasasi menurut undang-undang adalah empat belas hari sejak putusan pengadilan diberitahukan kepada terdakwa sesuai dengan Pasal 245 ayat (1) KUHAP.

2. Tinjauan Mengenai Judex Factie dan Judex Juris a. Pengertian Judex Factie dan Judex Juris

Judex factie adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi

merupakan badan peradilan yang memeriksa fakta-fakta tentang terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Judex juris adalah Mahkamah Agung, hanya memeriksa penerapan

hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara adalah berdasarkan surat dakwaan yang telah disusun sedemikian rupa oleh Penuntut Umum.

Berdasarkan pemeriksaan perkara tersebut maka akan terungkap fakta-fakta di persidangan yang menjadi penilaian serta pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Hal tersebutlah yang membedakan dengan judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya atau dengan kata lain penerapan hukum judex factie dalam memeriksa dan memutus perkara yang telah menjadi kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(5)

b. Judex Factie dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Judex factie dalam sistem hukum pidana Indonesia dijalankan

oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri tingkat pertama yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilimpahkan kepadanya. Sedangkan pengadilan tingkat banding adalah Pengadilan tinggi Negeri yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk memeriksa permohonan banding yang diajukan atas putusan pengadilan tingkat pertama oleh Penuntut Umum atau terdakwa yang tidak menerima putusan yang bersangkutan. Jadi di Indonesia pemeriksaan judex factie ada 2 (dua) tingkatan, yaitu tingkat pertama yang dijalankan oleh Pengadilan Negeri dan tingkat banding sebagai upaya hukum atas putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama yang dijalankan oleh Pengadilan Tinggi.

Di negara dengan sistem hukum common law, hakim dalam persidangan bersikap aktif, sebagaimana dikemukakan oleh Baosheng Zang and Hua Shang (2009:3) dalam jurnalnya yang berjudul Evidentiary Provisions of the People’s Courts and Transition of the Judge’s Role, “In the common law system, the litigants play a dominant role in driving the trial process. The judge’s role often is to supervise these proceedings rather than actually render a decision on the merits of the case. This function includes such tasks as applying rules of evidence, instructing juries, and maintaining order in the court”.

Yang dalam terjemahan bebas Penulis berarti “dalam sistem hukum umum, orang yang berperkara memainkan peran yang dominan dalam proses peradilan. Peran hakim sering kali untuk mengawasi proses ini daripada membuat putusan yang memiliki manfaat dari kasus tersebut. Peran ini termasuk tugas-tugas seperti menerapkan aturan hukum, alat bukti, dan menjaga ketertiban di pengadilan (Bosheng Zang and Hua Shang, 2009:3).

(6)

3. Tinjauan Mengenai Pembuktian a. Pengertian Pembuktian

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum dan tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun demikian, banyak ahli yang berusaha menjelaskan tentag pengertian dari pembuktian tersebut. Membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yag dikemukakan dalam suatu sengketa (Subekti, 2003:1).

Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010:273).

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi ruang lingkup dari pembuktian antara lain:

1) Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan terdakwa, dikenal juga dengan sistem atau teori pembuktian.

2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan.

3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.

Ketiga hal tersebut yang merupakan obyek dan inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan untuk itulah mutlak harus

(7)

dikuasai oleh pejabat pada semua tingkat pemeriksaan yang berhubungan dengan perkara-perkara yang ditangani mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, sampai pada tahap menuntutan diwajibkan untuk menguasai hukum pembuktian.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting di acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana hakikatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah, maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2009: 249). Terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, yakni:

1) Sistem Keyakinan (Conviction Intime)

Menurut M. Yahya Harahap, conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 277).

Sedangkan Andi Hamzah berpendapat conviction intime atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim, merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang. Teori berdasar keyakinan hakim didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2009: 252).

(8)

2) Sistem Positif (Positif Wettelijk)

Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26). Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2012: 278). Menurut D. Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor

(inquisitoir) dalam acara pidana (Andi Hamzah, 2008: 251).

Dari satu segi sistem ini memiliki kebaikan, karena bersifat obyektif dimana hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan Undang-Undang. Dengan pembuktian yang obyektif, maka hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim tetapi di atas kewenangan Undang-Undang yang berlandaskan asas seseorang baru dapat dihukum dan dipidana, jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

3) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)

Hakim ditentukan/ dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang-Undang. Hakim

(9)

tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/ menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

b) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif’ dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 279). Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”. Dalam kalimat tersebut nyata, bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).

(10)

4) Sistem Pembuktian Bebas

Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” atas dasar alasan-alasan yang logis yang dianut dalam putusan. Jadi, keyakinan hakim tersebut disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika (Leden Marpaung, 2011: 28). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi (Andi Hamzah, 2008: 253).

4. Tinjauan Mengenai Barang Bukti

Barang bukti adalah sesuatu untuk menyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Sedangkan menurutnya alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksiaan, keterangan ahli, surat dan petunjuk sedang dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah (Andi Hamzah, 2008:164).

Sedangkan menurut Ratna Nurul Alfiah, barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Ratna Nurul Alfiah, 1988:19).

Maka apabila menyimak pendapat-pendapat sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa barang bukti adalah suatu benda/barang yang digunakan untuk menyakinkan atas kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya dan dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu perkara.

(11)

Benda tersebut berwujud dan biasanya real evidence ini disebut sebagai bukti yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self,) serta pada pembuktian ini memiliki pertimbangan yang paling bernilai dibandingkan pertimbangan bukti lainnya. Tetapi di Indonesia sendiri tidak mengenal adanya sistem ini. Didalam KUHAP, tidak terdapat uraian secara tegas mengenai macam-macam barang bukti. Namun berdasar penafsiran otentik terhadap Pasal 1 butir 16 KUHAP, barang bukti dapat disebut juga sebagai benda sitaan. Macam-macam benda sitaan atau barang bukti tersebut diuraikan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan.”

Adami Chazawi membagi macam-macam barang bukti sebagai berikut:

a. Benda berwujud yang berupa:

1) Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana (instrument

delicti) atau untuk mempersiapkanya;

2) Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan;

3) Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan tindak pidana (instrument delicti);

4) Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung/tidak langsung dengan dilakukannya tindak pidana. Masuk dalam bagian

(12)

ini adalah benda yang dihasilkan suatu tindak pidana (corpus

delicti), misalnya uang palsu hasil kejahatan pemalsuan uang.

b. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dalam hal tertangkap tangan, penyidik juga berwenang untuk melakukan penyitaaan atas benda-benda tersebut sebagai berikut: c. Benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan

untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP).

d. Paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimanya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, sepanjang benda tersebut diperuntukan bagi tersangka atau berasal darinya (Pasal 41 KUHAP).

5. Tinjauan Mengenai Putusan

a. Tinjauan mengenai Putusan secara Umum

Athur L. Corbin mengemukakan sebagai berikut, “A judge who is ready to decide what is justice and for the public weal without any

knowledge of history and precedent is an egoist and an ignoranmus”.

Artinya seorang hakim yang siap memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa bodoh (Fence M. Wantu, 2011: 40). Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Proses penjatuhan putusan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak (Ahmad Rifai, 2010: 94-95). Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim dalam perkara pidana menurut Moeljatno dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

(13)

1) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Pada saat hakim menganalisis apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan segi tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.

2) Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggung jawaban pidana untuk membuktikan pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi adalah melakukan perbuatan pidana, diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab, mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf (bersifat melawan hukum) (Ahmad Rifai, 2010: 96-100). 3) Tahap Penentuan Pemidanaan

Dalam hal ini, jika hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut, dengan melihat pasal-pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana KUHP telah mengatur mengenai pemidanaan maksimal yang dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.

(14)

b. Teori Penjatuhan Putusan

Menurut Mackenzia, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Keseimbangan

Adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat (Ahmad Rifai, 2010:102-103).

2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Adalah penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.

3) Teori Pendekatan Keilmuan

Dalam penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau

instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan

hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.

4) Teori Pendekatan Pengalaman

Dimana pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapai perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

(15)

pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5) Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dam lam penjatuhan putusan, serta mempertimbangkan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. 6) Teori Kebijaksanaan

Landasan dalam teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya (Ahmad Rifai, 2010: 105).

c. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

Dalam hukum pidana, ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu putusan sela dan putusan akhir.

1) Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan Penuntut Umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:

(16)

a) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Diterima

Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh hakim. Jika eksepsi terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya. b) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Tidak Dapat Diterima

Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau pensihat hukum terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan Penuntut Umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

2) Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112). Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a) Putusan Bebas (vrijspraak)

Adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang

(17)

diajukan oleh Penuntut Umum terhadap terdakwa di persidangan.

b) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag

van allerecht vervolging)

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad Rifai, 2010: 113).

c) Putusan Pemidanaan

Dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya.

6. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Pencurian a) Pengertian Pencurian

Secara umum, pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal.

Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian disebut pencuri, dan tindakannya disebut mencuri. Pencurian terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat

(18)

pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).

b) Tindak Pidana Pencurian

Disebutkan dalam Pasal 362 KUHP bahwa :

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu:

1) Unsur objektif, terdiri dari: a) Unsur perbuatan mengambil

Unsur pertama dari tindak pidana ialah perbuatan “mengambil” barang. Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari memegang barangnya, dan mengalihkannya ke lain tempat. Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil, mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasannya (Sudikno Mertokusumo, 1999:67).

Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam

(19)

kekuasannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna. b) Unsur benda

Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van toelitching (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan. Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan.

c) Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik X dan Y, yang kemudian X mengambil mengambil dari kekuasaan Y lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP). 2) Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:

a) Adanya maksud untuk memiliki

Maksud untuk memilik terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama “maksud” (kesengajaan sebagai maksud atau

(20)

opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur “memiliki”. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian “memiliki” tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan pertama dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.

Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu dijadikan sebagai miliknya.

b) Dengan melawan hukum.

Menurut Moeljatno sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian yaitu maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukkan pada melawan hukum, artinya sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar bahwa memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1999:68). Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan

(21)

secara tegas dalam rumusan masalah tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya,

Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau kedalam kekuasaannya. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.

Seseorang dikatakan mencuri jika telah selesai melakukan perbuatan mengambil, atau dengan kata lain ia dalam selesai memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda dalam tangannya secara mutlak dan nyata. Orang yang telah berhasil menguasai suatu benda, ialah bila ia dapat melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu.

Mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (rorend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan

(22)

mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.

c) Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan

Pada pasal 365 KUHP ini merupakan pencurian dengan kekerasan dengan keadaan yang membertakan karena didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk menyiapkan, mempermudah, melarikan diri sendiri atau untuk tetap meguasai atas barang yang dicurinya yang dilakuka pada waktu dan dengan cara tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seperti yang dilakukan dalam pasal 265 ayat (2) dan (3) KUHP, dengan demikian pasal ini disebut “pencurian dengan kekarasan” (Suharto, 1996: 79).

Pasal 365 KUHP menyebutkan diantaranya sebagai berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya;

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun: (a). Ke 1 : Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam

dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

(23)

(b). Ke 2 : Jika peruatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

(c). Ke 3 : Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(d). Ke 4 : Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika peruatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

(24)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar1. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran Penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalah hukum yaitu kesalahan pengembalian

Pemeriksaan Perkara di Persidangan

Proses Pembuktian Oleh Penuntut Umum Alat Bukti Pasal 184 KUHAP Barang Bukti Dirampas Untuk Negara Ketentuan KUHAP ?

Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor: 106/PID.B/2014/PN.PDG Tindak Pidana Pencurian di Kota Padang dengan

Terdakwa I Syahrizal dan Terdakwa II Hendra Indrian Efanda

(25)

barang bukti oleh judex factie dijadikan alasan Penuntut Umum untuk mengajukan Kasasi terhadap perkara pencurian dengan kekerasan. Dalam setiap proses peradilan pidana, digunakan proses beracara sesuai dengan KUHAP. Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi harus menggunakan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP tersebut, pemohon kasasi tidak dapat memepergunakan alasan-alasan lain selain dari yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Dalam studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1120 K/PID/2014 yang Penulis angkat, bahwa Hakim memutus perkara tersebut dengan barang bukti dirampas untuk negara. Untuk itu, sehingga Penulis ingin membuat kajian apakah memutuskan barang bukti dirampas untuk negara adalah kesalahan dalam pembuktian dan sudah sesuai dengan KUHAP serta implikasi hal tersebut terhadap putusan hakim.

Referensi

Dokumen terkait

1) Pemerintah Desa mengajukan surat permohonan pencairan kepada Gubernur Jawa Timur yang diketahui oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten

Pada saat transformator memberikan keluaran sisi positif dari gelombang AC maka dioda dalam keadaan forward bias sehingga sisi positif dari gelombang AC tersebut

9) Trust agreement, yaitu kesepakatan yang dicapai antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya, melalui pembentukan.. perusahaan patungan atau perusahaan besar untuk

Teori inflasi moneterisme yakni berpendapat bahwa inflasi terjadi karena adanya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal ekspansif sehingga banyaknya jumlah uang yang beredar

Secara teoritis, untuk membuktikan kesalahan terdakwa Hukum Acara Pidana menganut Teori pembuktian menurut undang-undang yang negative yang secara eksplisit ditegaskan dalam

Price Earning Ratio (PER), merupakan jumlah pengukuran dalam bentuk uang yang rela dikeluarkan oleh investor untuk membayar setiap laporan laba, sehingga dapat mengukur

Dengan mengkombinasikan algoritma RSA dan mode CBC, hasil enkripsi citra digital menjadi lebih optimal tanpa memakan waktu running time yang cukup

Dengan teknologi multimedia dapat digunakan sebagai media pembuatan video profil “Vihara Dhama Sundara” yang menjadi media informasi dan promosi agar dikenal oleh masyarakat