• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKA P BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DIKA P BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Cerpen

Cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu fisiknya dalam objek terkecil (Sumardjo, 2007: 19). Mengacu pada pemahaman tersebut maka dapat dipahami bahwa arti pendek bukan terletak pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup masalahnya. Ruang lingkup masalah sangat dibatasi, maka masalah tersebut harus digambarkan dengan jelas sehingga mengesankan pembaca. Dikarenakan bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita. Pendapat lain mengungkapkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan oleh sebuah novel (Thahar, 2009: 175).

(2)

Diungkapkan oleh Sayuti (2000: 9) bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Selanjutnya Sayuti mengungkapkan bahwa sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Di samping hal tersebut, kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukan karakternya.

Secara umum dengan membaca cerpen, seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki. Hal ini terjadi karena tokoh merupakan sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Jadi, dapat dipahami bahwa membaca cerpen tidak sekedar mengetahui jalan cerita tetapi mengetahui manusia dengan sifat-sifatnya. Karya sastra bentuk ini juga merupakan suatu alat komunikasi dari perasaan-perasaan yang dimiliki manusia. Melalui cerpen kita dapat mengetahui bagaimana gambaran kehidupan masyarakat suatu zaman, masalah kemanusiaan, cinta, harapan, protes, ketimpangan sosial, religiusitas, dan sebagainya.

(3)

cerpen tidak terlalu banyak dan ceritanya lebih fokus terhadap satu masalah sehingga pencitraan tokoh dapat tergambarkan dengan jelas. Cerita pendek mengisahkan kehidupan tokoh yang berada dalam satu peristiwa atau satu kejadian. Tokoh di dalam cerpen dapat berupa tokoh imajinatif atau tokoh nyata, hal ini sesuai dengan kehendak pengarang itu sendiri.

B. Ketidakadilan Gender

Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari Bahasa Inggris. Jika dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara sex (seks) dan gender. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan kaitan antara konsep gender dengan

masalah ketidakadilannya (Fakih, 2012: 7). Salah satu cara untuk membedakan konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata sex. Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks. Dalam kaitannya dengan peranan laki-laki dan perempuan di masyarakat, pengertian dari kedua konsep itu sering disalahartikan, maka untuk menghindari hal itu dan dan untuk mempertajam pemahaman kita tentang konsep gender, maka pengertian seks perlu dijelaskan terlebih dahulu.

(4)

Di sisi lain perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, dan mempunyi alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya, artinya secara biologis tidak dapt dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin itu tidak dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan (Fakih, 2012: 8). Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis.

Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara laki-laki dengan perempuan, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.

(5)

menunjukkan bahwa gender itu dipahami berbeda sesuai dengan budaya dan kepercayaan yang diyakini suatu masyarakat.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, pembagian peranan antara laki-laki dengan perempuan dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti, peran gender dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Di setiap masyarakat, memang tuntutan akan sifat-sifat yang dimiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidaklah selalu sama, tergantung pada lingkungan budaya, tingkatan sosial ekonomi, umur dan agama. Berbagai faktor tersebut akan menentukan derajat perbedaan pembagian sifat antara laki-laki dan perempuan.

Jika mengacu pada pengertian di atas, diperoleh gambaran bahwa istilah gender berbeda dengan istilah perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis sebagai kodrat yang dibawa sejak lahir. Gender merujuk pada sekumpulan aturan, tradisi, dan hubungan sosial budaya yang menentukan kategori “feminim”, “maskulin”. Dengan

(6)

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial (Tong, 2010: 1). Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturasi ke dalam inferioritas (Tong, 2010: 45). Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan (Selden, 1991: 131-132). Gagasan patriarki menyarankan dominasi universal tanpa asal-usul dan variasi kesejarahan. Dominasi ini merupakan suatu proses kompleks yang terdiri atas berbagai unsur yang harus dihubungkan. Unsur-unsur itu meliputi organisasi ekonomi rumah tangga dan ideologi kekeluargaan yang menyertainya, pembagian kerja dalam sistem ekonomi, sistem pendidikan dan pemerintahan, dan kodrat identitas jenis kelamin dan hubungan di antara reproduksi seksualitas dan biologis (Hollows, 2000: 134).

(7)

subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Masing-masing bentuk ketidakadilan gender tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Subordinasi

Subordinasi adalah pandangan yang memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan dipandang kurang mampu, sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah, sedangkan laki-laki mendapatkan kebebasan untuk memilih tugas yang menurutnya pantas dilakukan. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi (Fakih, 2012: 15).

2. Stereotipe

(8)

3. Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Kedua, tindakan

pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital

mutilation). Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostution). Kelima,

kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation). Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment.

(9)

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya.

4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya.

5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.

Pada dasarnya masih banyak kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan gender yang merupakan hak mereka dalam memposisikan diri sama dengan laki-laki. Hal ini terbukti bahwa kaum laki-laki khususnya yang masih berada dalam lingkungan patriarki. Kaum laki-laki lebih banyak berperan sentral dalam segala urusan memilih jalan hidup yang salah satunya adalah tentang profesi. Kaum laki-laki bebas memilih profesi yang diinginkannya tanpa ada orang lain di sekitarnya yang peduli. Menurut Gamble (2010: 38) sistem patriarki adalah satu di antara penyebab terjadinya ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan.

(10)

tersebut kemudian menjadi tujuan perjuangan feminisme, termasuk dalam studi sastra (Jackson dan Jackie Jones, 2009: 13). Feminisme dalam studi sastra menggunakan soft deconstruction, yaitu dengan mengalihkan pusat perhatian konstruksi dari realitas

maskulin ke realitas feminim (Tong, 2010: 56).

C. Kritik Sastra Feminis

Pembahasan tentang perspektif gender tidak bisa lepas dari kritik sastra feminisme. Oleh karena itu sebelum membahas tentang perspektif gender, akan dibahas terlebih dahulu kritik sastra feminisme. Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Ratna (2012: 226) berasal dari kata femme, berarti perempuan. Menurut Sugihastuti (2002: 18), feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.

(11)

Sedangkan menurut Djajanegara (2003: 18) bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.

Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, terutama tertindas oleh budaya patriarki. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi perempuan, yaitu proses pelepasan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju. Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.

(12)

perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki dan tidak sedikit pun membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan. Berdasarkan pendapat tersebut, muncullah sebuah permasalahan yang utama dalam kritik feminis yakni adanya encriture feminine (karya tulis perempuan), yakni karya tulis khas perempuan dalam gaya dan bahasa.

Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Endraswara (2011: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya, sehingga muncullah istilah reading as a woman (membaca sebagai perempuan), maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkat. Menurut Sugihastuti (2000: 19) membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Di dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.

(13)

berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme. Analisis cerpen dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini munculah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.

Menurut Wiyatmi (2008: 113) kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Selain itu kajian feminisme juga dipahami sebagai salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2010: 7) kritik sastra feminis merupakan kesadaran membaca sebagai perempuan, yakni kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Mengacu pada sejarahnya, feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, baik dalam bidang publik maupun bidang domestik.

(14)

telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama laki-laki, sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan, menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laki-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya.

Pada dasarnya label negatif tersebut tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri. Melalui feminisme, kaum perempuan menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis. Feminisme menganggap dominasi patriarki merupakan penyebab utama ketidakadilan gender perempuan. Hal itu sependapat dengan Fakih (2012: 78) pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahaman seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.

(15)

selalu berkaitan dengan gender.

Feminisme adalah sebuah paham/aliran yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2010: 86-89) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kritik feminis adalah salah satu kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra terutama dalam cerpen. Konsep penafsiran tersebut dilakukan dengan acuan dengan konsep reading is woman (membaca sebagai perempuan).

D. Pembelajaran Sastra di SMA

1. Ketidakadilan Gender sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA

(16)

sesuai dengan hakikat sastra, sebagai seni, dan sebagai bagian dari budaya. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran seni sastra, bagian dari pendidikan seni, bagian dari pendidikan budaya. Sastra sebagai seni merupakan kegiatan kreatif dan pengalaman jiwa manusia yang dijelmakan ke dalam medium bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran sastra adalah pembelajaran kreativitas dan ekspresi.

Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang seiring dan sejalan karena pembelajaran merupakan sebagian dari kegiatan pendidikan. Pembelajaran lebih menekankan pada usaha pemindahan (pewarisan) pengetahuan, kecakapan, dan pembinaan keterampilan kepada siswa. Sedangkan di sisi lain pendidikan lebih menekankan kepada usaha pembentukkan nilai-nilai hidup, sikap, dan pribadi siswa. Dengan menghayati dan memahami sastra, siswa dapat mengenal dan menghargai nilai. Nilai yang dijunjung oleh bangsa, memperoleh bandingan untuk dapat menghargai hidup, memperoleh kenikmatan dalam mengutarakan diri melalui ekspresi orang lain.

Menurut Sayuti (2000: 21), melalui karya sastra yang mengandung berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan dalam bersikap yang diwujudkan dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki “segala macam situasi” dalam karya sastra,

(17)

dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam pembelajaran sastra di SMA. Terciptanya pembelajaran sastra dengan materi ketidakadilan gender yang efektif, maka perlu memperhatikan pada tiga komponen yaitu kurikulum, materi yang disampaikan atau diproduksi oleh institusi pendidikan, dan strategi pembelajaran di kelas (Wiyatmi, 2008: 7). Jadi, pembelajaran bermaterikan ketidakadilan gender adalah proses belajar mengajar seni sastra yang kreatif dan ekspresif yang dijiwai oleh kesadaran adanya ketidakadilan gender yang masih sering terjadi.

Pembahasan ketidakadilan gender yang dimasukkan ke dalam mata pelajaran, salah satunya dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menyalurkan pemahaman mengenai ketidakadilan gender kepada siswa-siswa. Hal tersebut dapat menjembatani masyarakat agar tercipta masyarakat yang berkeadilan dan memiliki kesetaraan gender. Pembelajaran sastra bermaterikan ketidakadilan gender perlu disiapkan materi pembelajaran yang menunjukkan adanya ketidakadilan gender atau mengkritisi adanya ketidakadilan gender yang terpresentasi pada karya-karya sastra Indonesia, yang menjadi bacaan dalam pembelajaran sastra. Perlu juga diperhatikan aktivitas dan karya-karya para sastrawan perempuan. Melalui pembelajaran sastra bermaterikan ketidakadilan gender, diharapkan secara pelan-pelan dapat tercipta adanya kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender dalam diri para pembelajar.

(18)

yaitu karya-karya sastra mengandung semangat keadilan dan kesetaraan gender, atau kritis terhadap ketidakadilan gender. Berdasarkan uraian tersebut maka kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung karya Zelfeni Wimra dapat dijadikan saran implementasi sebagai materi pembelajaran sastra di SMA khususnya dilaksanakan pada kelas XI semester 1 dengan menyesuaikan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sebagai berikut.

KI 3. Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prsedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

KI 4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah keilmuan. KD 3.3. Menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan. KD 4.1. Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan

maupun tulisan.

2. Strategi Pembelajaran Sastra Melalui Pendekatan Scientific

(19)

Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah (Kurniasih, dan Sani Berlin, 2014: 18). Pendekatan scientific diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Di dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih halus.

Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala. Dengan adanya metode ilmiah dapat diperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Mengacu pada pemahaman tersebut maka untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Metode ilmiah pada umumnya memuat serangakaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi, eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.

(20)

Secara umum untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat non ilmiah. Menurut Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 lampiran IV, proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman pokok, yaitu: 1) mengamati, 2) menanya, 3) mengumpulkan informasi/eksperimen, 4) mengasosiasikan/mengolah informasi, dan 5) mengkomunikasikan. Kelima pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 1. Keterkaitan antara Pengalaman Belajar dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya.

Pengalaman

Belajar Kegiatan Belajar

Kompetensi yang Dikembangkan

Mengamati Membaca, mendengar,

menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat)

Melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi

Menanya Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik)

Mengembangkan

kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuyan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajr sepanjang hayat

Mengumpulkan informasi/ Eksperimen

- Melakukan eksperimen - Membaca sumber lain selain

buku teks

- Mengamati objek/ kejadian/ - Aktivitas

- Wawancara dengan narasumber

Mengembangkap sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi,

menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan

(21)

Pengalaman

Belajar Kegiatan Belajar

Kompetensi yang Dikembangkan

Mengasosiasikan/ mengolah informasi

- Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. - Pengolahan informasi yang

dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan.

Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kempuan dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

Mengkomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya

Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis,

mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

3. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

a. Definisi Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Model discovery learning didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri (Kurniasih dan Sani Berlin, 2014: 30). Metode discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses

intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Mulyasa, 2013: 43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya

(22)

observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi (Kumano dalam Septi, 2014: 219).

Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Di sisi lain pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa. Maka siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Prinsip belajar yang nampak jelas dalam discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Dengan mengaplikasikan metode discovery learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus ekspositori siswa hanya menerima informasi secara

keseluruhan dari guru ke modus discovery siswa menemukan informasi sendiri.

b. Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning

(23)

untuk belajar secara aktif. Sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar peserta didik sesuai dengan tujuan. Menurut Syah (2004: 244) dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar. Prosedur tersebut yakni stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data), verification (pembuktian), generalization (menarik kesimpulan/generalisasi). Berikut penjelasan mengenai prosedur-prosedur yang diaplikasikan dalam metode discovery learning.

1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

(24)

2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004: 244). Dari tahapan tersebut, peserta didik diharuskan menemukan permasalahan apa saja yang dihadapi, sehingga pada kegiatan ini peserta didik diberikan pengalaman untuk menanya, mencari informasi, dan merumuskan masalah. Sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi. Hal ini menjadi salah satu teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

(25)

disengaja peserta didik menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Menurut Syah (2004: 244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi. Kemudian bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Hidayat, 2013: 22). Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (Pembuktian)

(26)

aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Gambar

Tabel 1.  Keterkaitan antara Pengalaman Belajar dengan Kegiatan Belajar dan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dan kok sedapat mungkin melayang retatif dekat di atas jaring (net). Oleh karena itu, jenis servis ini kerap digunakan oleh pemain ganda. - Sikap berdiri adalah kaki

Ketika seorang wanita mengalami perubahan hormon di masa pra menopause, segala macam perdarahan mungkin terjadi, mulai dari menstruasi yang menjadi sangat ringan dan sebentar

Sementara itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003 : 92) memberikan asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut di antaranya adalah sebagai berikut. 1)

Sancaya, dkk (1996) dalam laporan penelitian yang berjudul “Citra Wanita dalam Sastra Bali Tradisional dan Modern: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis.” Citra wanita

a. Palung sungai atau saluran sedapat mungkin harus lurus dengan arah, dan kecepatan aliran seragam /sejajar.. Apabila rencana PLTMH berada di sungai, maka dipilih

Keterkaitan karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, menurut Endraswara (2003:97-99) bahwa psikologi dan sastra memiliki hubungan secara tidak

Karena titik tolak dari pemikiran Epikuros adalah manusia akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin dan sedapat-dapatnya

1) Atribut dinyatakan dengan simbol elips. 2) Nama atribut dituliskan dalam simbol elips. 3) Nama atribut berupa kata benda tunggal. 4) Nama atribut sedapat mungkin menggunakan