• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN

DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

A. Prosedur tentang pengambilan suatu keputusan tembak ditempat terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang kepolisian

Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu. Tanpa wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan tidak mempunyai landasan yang kuat. Maka agar tindakan yang dilakukan khusus dalam melaksanakan tugas, dapat dianggap sah, si pelaku harus diberi wewenang untuk itu.

Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh aparat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan kewenangan tembak ditempat serta sesuai dengan situasi dan kondisi kapan perintah tembak ditempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalam pelaksanaan tembak ditempat harus sesuai dengan asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan, dan asas kepentingan. Pada dasarnya tindakan tembak di tempat menjadi prioritas apabila posisi petugas terdesak dan pelaku mengancam keselamatan anggota polisi. Dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat harus menghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan karena kedua hak itu dijamin dengan undang-undang. Serta perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat agar nantinya dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat itu tidak melanggar hukum.

(2)

Menurut Binner, aparat kepolisian harus diberi ruang gerak lebih lapang pada asas oportunitas, asas diskresi, dan kewenangan umum kepolisian karena pekerjaan Polisi berbeda dengan penegak hukum lainnya, seperti jaksa, hakim, dan pengacara yang menerima kasus matang dari Polisi. Aparat kepolisian harus mampu menemukan titik terang bagi sebuah kasus, dimana belum diketahui secara jelas siapa tersangka, barang bukti, bahkan korbannya, semua harus dibuat terang oleh Aparat Kepolisian.29 Hal ini jelas bukanlah hal yang mudah bagi aparat kepolisian karena itu Polri harus mempunyai ruang gerak lebih terkait asas oportunitas, asas diskresi dan kewenangan umum kepolisian, karena tak selamanya kasus yang ditemui dilapangan saat berhadapan langsung dengan tersangka dapat diselesaikan seperti teori yang telah dipelajari oleh aparat kepolisian. Pada kenyataannya di lapangan, aparat kepolisian dituntut untuk berimprovisasi guna menemukan suatu titik terang akan sebuah kasus.

Tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian merupakan suatu tugas Polisi yang bersifat represif, yaitu bersifat menindak. Tugas represif Polisi adalah tugas kepolisian yang bersifat menindak terhadap para pelanggar hukum untuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik didalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.30 Kewenangan melakukan tugas represif dalam hal ini tembak ditempat oleh aparat kepolisian disebut dengan diskresi kepolisian aktif, dan umumnya tugas ini kewenangannya diberikan kepada aparat kepolisian unit reserse.31

29

Anton Tabah. 2001.Membangun Polri Yang Kuat (Belajar dari Macan-macan Asia). Jakarta : PT.Sumbersewu Lestari., hal.66

30

M.Faal. Op.Cit., hal.61

31

(3)

Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak ditempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak ditempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Sebagai penegak hukum di lini terdepan dari proses pelaksanaan sistem peradilan, yang berkewenangan melakukan upaya paksa dalam tindakan represif, yang potensial menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan padanya, maka aparat kepolisian harus diikat dengan hukum acara yang ketat. Dan untuk dapat bersikap dan bertindak santun harus diikat dengan Etika Kepolisian yang ditegakkan dengan konsekwen dan konsisten.Oleh karena itu setelah pelaksanaan kewenangan tembak ditempat selesai dilakukan maka setiap aparat kepolisian yang terlibat dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat harus membuat laporan ataupun berita acara dalam bentuk pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya dihadapan hukum. Pelaksanaan kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian ini harus sesuai dengan ketentuan penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian serta juga harus sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan ketentuan hukum tentang hak asasi manusia karena secara moral Polisi berkewajiban penuh untuk menegakkan dan menghormati HAM, sebab jika melanggar dapat diadili melalui peradilan umum ataupun melalui peradilan HAM sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.

Prosedur tembak ditempat sudah diatur secara jelas dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak ditempat, dimana dalam menggunakan senjata api harus :

(4)

a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.

b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara :

1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.

2. Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. 3. Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.

Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah :

1. Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkanbahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

2. Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

3. Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :

a. untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota polri atau masyarakat.

b. untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

4. Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.

Setiap anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan dalam melakukan suatu tinadakan terhadap bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau

(5)

tersangka, Tahapan ini pun diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 terdiri dari :

a. Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. b. Tahap 2 : perintah lisan.

c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak. d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.

e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.

f. Tahap 6 :kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat.

Namun sebelum aparat kepolisian melakukan tindakan tembak ditempat ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, dimana hal ini sudah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika aparat kepolisian tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dapat dilakukan apabila tersangka melarikan diri, dan penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Namun dalam hal nyawa masyarakat ataupun jiwa aparat kepolisian terancam saat berhadapan dengan tersangka, maka aparat kepolisian dapat melakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan lisan untuk menhentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Sedapat mungkin tindakan tembak ditempat ini dihindarkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan pendekatan secara halus terhadap tersangka pidana tanpa adanya

(6)

kekerasan, namun tidak selamanya harus halus dan lemah lembut tetapi juga boleh keras dan kasar, asal proporsional.32

Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak ditempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya sebagai berikut :

a. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; b. Tindakan kekerasan hanya diterapkan bila sangat diperlukan;

c. Tindakan kekerasan hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah; d. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;

e. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan sesuai dengan hukum;

f. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat penerapan dalam tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;

g. Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras;

h. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan/tindakan keras harus seminimal mungkin.

Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian sangatlah ketat aturannya dan penggunaan senjata api ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh aparat kepolisian, karena semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan aparat kepolisian harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam hal ini setelah menggunakan senjata api. Bila tindakan keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk

32

Anton Tabah. 1990. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka, hal. 94

(7)

melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan pasal Pasal 47 ayat (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia . Selain itu menurut Pasal 47 ayat (2) pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk :

a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;

b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau mengancam jiwa orang;

e. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.

f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Dari uraian dapat dipahami bahwa penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian hanya boleh dilakukan demi melindungi nyawa manusia yang terancam jiwanya baik dari kalangan masyarakat maupun aparat kepolisian itu sendiri yang berhadapan langsung dengan pelaku tindak pidana atau tersangka.

Berdasarkan isi Resolusi PBB No.34/168 Tahun1980 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api Oleh Aparat Penegak Hukum nomor 5, apabila penggunaan kekuatan dan senjata api secara sah tidak dapat dihindari maka aparat penegak hukum harus :

1. Melaksanakan pengekangan diri dalam penggunaan kekuatan dan senjata api tersebut dan bertindak secara proporsional terhadap keseriusan pelanggaran yang sedang berlangsung serta terhadap tujuan absah yang hendak dicapai; 2. Memperkecil kemungkinan kerusakan dan luka-luka, dan menghormati serta

memelihara kehidupan manusia;

3. Memastikan bahwa bantuan kemanusiaan dan bantuan medis diberikan dalam waktu secepat mungkin kepada setiap orang yang terluka atau terkena dampak lain;

4. Memastikan bahwa kerabat atau teman dekat orang yang terluka atau yang terkena dampak diberitahu secepat mungkin.

(8)

Aparatur penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata api terhadap seseorang kecuali dalam usaha membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi, dilakukan untuk mencegah suatu tindakan kejahatan yang sangat serius yang menyangkut ancaman besar terhadap kehidupan, untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri, dan hanya dilakukan apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini.

B. Pemberlakuan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka

Salah satu tugas aparat kepolisian adalah menangkap orang yang melakukan suatu tindak pidana, masyarakat di luar kepolisian selalu menganggap bahwa tugas penangkapan selalu berjalan dengan lancar apabila dilakukan dengan ramah tamah dan penuh bijaksana. Memang banyak peristiwa penangkapan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada unsur perlawanan yang gigih dari tersangka yang akan ditangkap. Namun tidak jarang juga ditemui peristiwa dimana tersangka yang akan ditangkap melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian, karena di dalam diri tersangka sudah tertanam suatu anggapn bahwa kejahatan yang dilakukannya hanya akan berhasil jika dilakukan dengan menggunakan kekerasan.

Para tersangka yang melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian saat akan ditangkap berusaha agar bebas dari pertanggungjawaban atas perbuatannya. Para tersangka biasanya sudah memikirkan suatu rencana, bagaiman bila kejahatan yang dilakukannya diketahui oleh pihak berwajib, dan bagaimana tindakan yang akan diambilnya, lari atau melawan, atau membuat alasan-alasan tertentu yang masuk akal agar bebas dari penangkapan aparat

(9)

kepolisian. Terkadang tersangka bertindak secara terang-terangan dalam melakukan kejahatannya dan melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian.

Pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sebelum melakukan tindakan tembak ditempat seorang aparat kepolisian harus mempertimbangkan secara matang hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian harus mampu dipertanggungjawabkan terhadap atasannya dan terhadap hukum yang mengatur.

Tindakan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan suatu bentuk perintah dari atasan kepolisian terhadap anggotanya yang bertugas dilapangan untuk menangkap tersangka pidana, namun prosedur pelaksanaannya telah diatur secara jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Umumnya perintah ini dikeluarkan oleh atasan kepolisian untuk diberlakukan terhadap tersangka pidana yang telah melakukan kejahatan pidana berat berulang kali (residivis) dan terhadap tersangka yang membahayakan nyawa manusia saat penangkapannya oleh aparat kepolisian, dalam hal ini tindakan tembak ditempat itu diputuskan oleh aparat kepolisian yang berhadapan langsung dengan tersangka dilapangan.33

Senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka berat Untuk mencegah terjadinya

33

(10)

kejahatan berat yang melibatkan ancaman terhadap nyawa Atau untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa mengancam dan yang sedang berupaya melawan usaha untuk menghentikan ancaman tersebut Dan Dalam setiap kasus, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup Penggunaan kekerasan dan senjata api dengan sengaja, hanya dibolehkan bila benar-benar untuk melindungi nyawa manusia.

Berikut beberapa alasan mengapa penjahat melakukan kekerasan dan perlawanan saat akan ditangkap oleh aparat kepolisian :34

1. Tersangka tersebut mempunyai anggapan bahwa kejahatannya hanya akan berhasil jika dilakukan dengan menggunakan kekerasan.

2. Untuk membuktikan keberaniannya, tersangka tersebut sengaja melakukan kekerasan agar disegani dalam grupnya.

3. Ada kelainan jiwa dalam diri si tersangka tersebut, misalnya : agresif dan berdarah dingin, emosional, serta mempunyai perasaan balas dendam karena ia menganggap orang lain sebagai penyebab penderitaannya.

Kekerasan yang dilakukan terpaksa agar si tersangka tidak tertangkap oleh aparat kepolisian. Para tersangka menganggap aparat kepolisian sebagai musuhnya yang akan memperlakukan dirinya secara kejam bila tertangkap, karena itu lebih baik menghindarkan diri dengan segala cara, agar tidak tertangkap.

Untuk menghadapi tersangka yang berbuat demikian, maka aparat kepolisian dituntut untuk mengambil suatu tindakan tegas yang dapat mengatasi perbuatan si tersangka tersebut. Dalam hal ini aparat kepolisian dapat melakukan

34

DPM.Sitompul. 1985.Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Bandung: Tarsito, hal.118

(11)

suatu tindakan kekerasan terhadap tersangka, tentunya kekerasan itu ialah kekerasan professional yaitu penggunaan kekerasan secara professional dari segi peralatan maupun sasaran.35

Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka setiap aparat kepolisian harus memperhatikan Prinsip-prinsip Dasar Penegakkan Hukum, dimana prinsip tersebut terdiri dari :36

a. Asas Legalitas

Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam hak asasi manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, seorang polisi harus mengetahui perundang-undangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakkan hukum.

b. Asas Nesesitas

Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan tersangka. Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan. Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua

35

Anton Tabah. Membangun Polri ………Op.Cit., hal. 80

36

(12)

keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan, hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan. Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka.

c. Asas Proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas dalam penegakkan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dalam semua tindakan, terutama pada saat penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:

1. Tindakan tersangka dan penggunaan sasaran/peralatan (senjata api, pisau, dan lain-lain);

2. Keadaan yang mendesak menimbulkan risiko kematian (wargamasyarakat, petugas kepolisian dan tersangka) ;

3. Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa atau keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana. 4. Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan terjadi,

petugas harus mampu menetukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan.

Dalam Perpolisian, proporsionalitas tidak berarti menggunakan alat/peralatan yang sama dengan yang digunakan oleh tersangka (misalnya, dalam keadaan tersangka menggunakan sebuah pisau, tidak secara langsung polisi juga

(13)

menggunakan pisau). Selain itu, apabila tujuan penggunaan kekerasan dan senjata api sudah terpenuhi, maka penggunaan kekerasan harus dihentikan. Proporsionalitas adalah penggunaan kekerasan yang sesuai berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas.

C. Berlakunya Asas Praduga Tidak Bersalah Terhadap Tersangka

Asas praduga tidak bersalah yang diberlakukan terhadap tersangka dalam suatu tindak pidana tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia (HAM). Asas praduga tidak bersalah erat kaitannya terhadap HAM dikarenakan asas ini merupakan salah satu asas yang memberikan perlindungan HAM atas seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana.

Mien Rukmini menyatakan bahwa antara negara hukum, HAM dan Sistem Peradilan pidana memiliki hubungan yang relevan dan erat sekali dalam melaksanakan perlindungan HAM.37 Negara Indonesia merupakan Negara hukum dimana Negara Indonesia selalu mengedepankan HAM dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana dapat terjadi pada tataran norma (undang-undang), namun lebih terlihat jelas pada tataran penegakannya, yakni pemeriksaan dalam semua tahapan sistem peradilan pidana. Dalam tahapan pemeriksaan, aparat penegak hukum berpotensi menggunakan kekuasaannya baik dalam bentuk ancaman fisik maupun psikis terhadap pelaku tindak pidana pada saat mulai pemanggilan, penentuan sebagai tersangka/terdakwa, pemeriksaan yang berlarut-larut, penahanan yang tidak sah bahkan sampai pada rekayasa perkara. Rekayasa perkara merupakan pelanggaran

37

O.C Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni, hal.29

(14)

HAM yang sangat kejam dalam proses penegakan hukum, yaitu dengan sengaja menciptakan seseorang sebagai pelaku tindak pidana.38

Asas pokok yang menjadi pelindung terhadap tersangka / terdakwa adalah asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah merupakan asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu. Asas ini harus dipatuhi oleh penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Jaminan atas hak ini terdapat dalam Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.39

Asas praduga tidak bersalah mengandung konsekuensi bahwa untuk dianggap bersalah oleh pengadilan, maka seseorang harus dipenuhi hak-haknya sebagai berikut:40

a. Hak atas peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak; b. Hak atas bantuan dari profesi hukum yang bebas.

Untuk menjamin agar proses peradilan tidak dilaksanakan secara sewenang-wenang, maka jalannya pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas publisitas atau keterbukaan merupakan asas yang sangat pokok untuk menjamin berjalannya proses peradilan yang independen, jujur dan tidak memihak.41

38

Ari Wibowo. 2012. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu, hal. 44

39 Ibid, hal. 45 40 Ibid., hal.46 41 Ibid.,

(15)

Sebelum masuk ke dalam tahap pemeriksaan pengadilan, apabila seseorang ditangkap, maka ia berhak untuk segera diberitahukan mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya. Hak selanjutnya adalah orang yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Segera disini menunjukkan bahwa harus diberikan batas waktu penahanan yang jelas. Orang tersebut juga berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Dalam jangka waktu yang wajar maksudnya ialah bahwa setiap orang berhak untuk diadili tanpa adanya penundaan yang tidak semestinya.42

Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak proses penyidikan hingga putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Pemerintah menyediakan bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu untuk membiayainya. Untuk keadaan tertentu, tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan lain terkait perlindungan haknya selama proses peradilan, misalnya untuk mendapatkan bimbingan rohani dan psikologi apabila hal tersebut diperlukan.

Dilihat pada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham individualistik plus, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak

42

(16)

indvidu. Hal tersebut mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tersebut, maka asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, kepada paradigma baru.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut di atas, adalah negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda.

D. Kaitan Antara Asas Praduga Tidak Bersalah Dengan Tembak Ditempat

Pelanggaran atas hak-hak tersangka, terdakwa maupun terpidana oleh aparat penegak hukum yang merupakan terpidana oleh aparat penegak hukum yang merupakan sub-sistem Sistem Peradilan Pidana terjadi di berbagai belahan dunia dikenal dengan istilah miscarriage of justice. Apabila seorang pejabat penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada

(17)

padanya justru untuk memberikan ketidakadilan, pada saat itulah terjadi

miscarriage of justice atau kegagalan dalam menegakkan keadilan. Lemahnya sistem peradilan pidana di Indonesia membuka peluang bagi oknum aparat kepolisian, jaksa atau hakim untuk menyalahgunakan wewenangnya sehingga karena kekuasaan yang ada pada dirinya, mereka dapat memperoleh keuntungan pribadi. Dalam sistem peradilan pidana, ketentuan perlindungan terhadap hak asasi tersangka mengarah pada kewajiban utama negara melalui Hukum Acara Pidana agar sejalan dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana, yaitu untuk mewujudkan dan menjamin kebenaran sesuai dengan perikemanusiaan.43

Tindakan tembak ditempat merupakan suatu bagian dari diskresi kepolisian yang dijalankan oleh aparat kepolisian, khususnya unit reserse yang menjalankan fungsi sebagai penyelidik. Aparat kepolisian yang menjalankan fungsi ini lebih sering berhadapan langsung dengan tersangka pidana di lapangan dibandingkan dengan fungsi kepolisian lainnya.44 Pada saat berhadapan langsung dengan tersangka, tidak menutup kemungkinan terjadinya perlawanan dari tersangka secara tiba-tiba. Dalam situasi seperti ini aparat kepolisian dituntut untuk segera mengambil tindakan guna mencegah tersangka melarikan diri ataupun melukai masyarakat sipil pada tempat kejadian ataupun membahayakan nyawa aparat kepolisian bersangkutan. Setiap aparat kepolisian harus dapat memutus sendiri jenis tindakan yang harus dia lakukan tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada atasannya. Seorang aparat kepolisian yang sedang melaksanakan tugasnya dituntut supaya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak

43

O.C. Kaligis, Op.Cit.,hal. 11-12

44

(18)

agar tidak terdapat aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang salah.45 Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa aparat kepolisian unit reserse lebih rentan untuk menggunakan kewenangan tembak ditempat terhadap tersangka.

a. Unit Reserse

Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1981 dan peraturan perundangan lainnya. Unit Reserse berfungsi menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi Reserse Kepolisian dalam rangka penyidikan tindak pidana sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, koordinator PPNS, dan pengelolaan Pusat Informasi Kriminil (PIK).46

Setiap menjalankan tugas dan fungsinya, aparat kepolisian bidang reserse ini diwajibkan untuk bertindak sesuai dengan asas-asas yang berlaku dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Asas yang utama harus dikedepankan oleh aparat kepolisian bidang reserse antara lain :47

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence )

Artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

45

Ibid., hal.108

46

Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, hal. 134

47

(19)

2. Asas Persamaan Di Muka Umum ( Equality before the law)

Asas ini memberikan jaminan bahwa setiap orang diperlakukan sama di muka hukum tanpa membedakan ras, agama, kedudukan susila, dan kelamin. Polri dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat tidak boleh memberikan pelayanan yang berbeda-beda.

3. Asas Hak Pemberian Bantuan / Penasehat Hukum ( Legal aid / assistance ) Artinya setiap orang yang tersangkut tindak pidana wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan/ atau penahanan.

Dapat dilihat bahwa asas praduga tidak bersalah memiliki keterkaitan dalam setiap tindakan aparat kepolisian khususnya fungsi reserse yang bertugas menjalankan penyelidikan. Pada dasarnya asas praduga tidak bersalah harus diberlakukan kepada setiap tersangka yang diduga melakukan tindak kejahatan. Sampai ada putusan pengadilan yang memvonis seseorang bersalah. Tetapi untuk situasi tertentu ketika berhadapan dengan tersangka tindak kejahatan polisi diperbolehkan melakukan tembak ditempat dengan mengacu pada resolusi PBB No 34/ 168 tentang prinsip penggunaan senjata bagi aparat penegak hukum yaitu antara lain :

a. prinsip legalitas artinya semua tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku,

b. prinsip Nesesitas adalah sebuah keadaan yang mengharuskan untuk melakukan suatu tindakan atau menghadapi kejadian yang tidak dapat

(20)

dihindari atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang, dan

c. prinsip proporsionalitas yaitu penggunaan senjata api sesuai dengan, dan berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas. Adapun prosedur teknis dimana harus ada tembakan peringatan sebanyak 3 kali yang diarahkan keatas kemudian jika tersangka melawan atau melarikan diri maka di tembak dengan tujuan untuk melumpuhkan tidak mematikan.

Apabila prinsip dan prosedur tesebut tidak dilakukan maka akan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan penggunaan kekuatan yang berlebih - lebihan sehingga sebagai bagian dari pelanggaran HAM.

Posisi Polri dalam perlindungan HAM bersifat ambivalen. Di satu pihak Polri memiliki monopoli penggunaan kekuatan sehingga berpotensi rawan pelanggaran HAM. Aparat kepolisian yang bersemangat mengungkap kejahatan bisa terjatuh dalam situasi pengabaian (ignore) HAM karena demokrasi dan HAM merupakan dua sisi dari suatu tipe penataan masyarakat sehingga pengembangannya juga menjadi agenda pembangunan politik dan hukum di Indonesia. Karena dalam menjalankan tugasnya aparat kepolisian secara nyata melakukan pemajuan dan perlindungan terhadap HAM, maka tanpa bekerjanya aparat kepolisian perlindungan HAM hanya akan menjadi masalah akademis.48Secara managerial Polri dituntut dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan perencanaan detail perlindungan terhadap korban kejahatan dan para saksi.

48

(21)

Pada dasarnya setiap orang yang menjadi tersangka memiliki hak untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan orang tersebut bersalah atau tidak, namun dalam hal pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka sesungguhnya pemberlakuan praduga tak bersalah terhadap tersangka juga bukan hak yang bersifat absolute. Hal ini dapat dibuktikan bila petugas Kepolisian (Penyidik) dalam melakukan penyidikan telah menemukan cukup bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa tersangka melakukan suatu tindak pidana, dengan adanya laporan kepada Polisi, adanya keterangan saksi, serta adanya barang bukti yang didapat sesuai dengan Pasal 17 KUHAP.

Asas praduga tidak bersalah memang harus dikedepankan oleh aparat kepolisian dalam melakukan tugasnya dalam hal menangkap tersangka tindak pidana. Namun adakalanya juga asas praduga itu ditiadakan bagi tersangka pelaku tindak pidana.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf amenyatakan :

“bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Undang –undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia huruf b menyatakan :

“bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolsian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

(22)

Kepolisian Republik Indonesia merupakan aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional yang digariskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Negara dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat demi terciptanya tatanan kehidupan yang aman dan tentram diberikan juga peran atau kekuasaan untuk menangani aksi kriminal atau general policing authority in criminal mater di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.49 Di dalam melaksanakan kekuasaan/kewenangan tersebut, Kepolisian Republik Indonesia berperan melakukan kontrol kriminal atau crime control dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan atau investigasi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan serta melakukan pelayanan sipil atau civil service harus tunduk dan taat kepada prinsip the right of due process dimana setiap tersangka/terdakwa berhak diselidiki dan disidik atas landasan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang telah digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).50

Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.51 Diskresi Kepolisian merupakan kebijakan dari aparat Kepolisian untuk mengambil suatu

49

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hal.91

50

Ibid., hal.95

51

(23)

tindakan yang menurut pertimbangannya adalah yang paling benar dalam mengatasi suatu keadaan, diamana tindakan tersebut tidak diatur dalam peraturan yang ada, yang terkadang menyimpang atau tidak melaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan, namun tindakan tersebut diambil berdasarkan fungsinya sebagai polisi. Diskresi Kepolisian tidak hanya berlaku pada aturan hukum normatif belaka, tetapi norma yang hidup di dalam masyarakat dan peristiwa hukum yang terjadi di lapangan yang sifatnya lebih pada moral bukan hukum semata.

Tembak di tempat oleh aparat Kepolisian terhadap tersangka pelaku tindak pidana merupakan penerapan diskresi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas represif dan penerapan asas kewajiban Kepolisian. Asas kewajiban Kepolisian ini memberikan keabsahan bagi tindakan kepolisian yang bersumber pada kekuasaan atau kewenangan umum. Kewajiban aparat kepolisian untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum memungkinkan melakukan tindakan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ditujukan demi hukum yang universal.

Peniadaan asas praduga tidak bersalah terhadap tersangka tindak pidana dapat dilihat dalam peraturan berikut ini :52

1. Dasar Hukum Tindakan Tegas yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

a. Pasal 50 Kitab Undang –undang Hukum Pidana (KUHP):

“barangsiapa/ anggota yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang – Undang tidak dipidana”

52

(24)

Hal ini tidak berarti setiap orang secara bebas, melainkan ada orang-orang tertentu yang diberikan kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu sesuai dengan tugas dan fungsinya.

b. Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) :

“barangsiapa/ anggota melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana” Dalam hal ini perintah yang dijalankan adalah perintah yang sah dimana perintah itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan hak dan kewajiban.

Dengan demikian adakalanya asas praduga tidak bersalah dikesampingkan demi hukum yang berdaya guna bagi kepentingan dan ketertiban umum, serta sesuai dengan tujuan hukum yang sebenarnya yaitu : Kepastian Hukum, Kemanfaatan Hukum, Keadilan Hukum.

2. Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:

Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:

“untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”

“pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”

Yang dimaksud dengan bertindak dengan penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.53

53

(25)

3. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Untuk menegakkan hukum dan menciptakan keamanan serta ketertiban, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak dapat dihindarkan pada penggunaan suatu tindakan yang dinamakan Tindakan represif Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menjadi tolak ukur, standarisasi dan pertanggungjawaban hukum bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian ini juga sebagai acuan untuk keterbukaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dapat diketahui secara umum sehingga membantu Polisi Republik Indonesia dalam mengawasi pelaksanaan tugas anggotanya serta acuan untuk kehati-hatian dalam bertindak menggunakan kekuatannya sehingga terhindar dari tindakan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kesalahan prosedur akan berarti hukuman, dan juga sebaliknya, apabila tindakan kekerasan terjadi namun dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian ini, maka personil tersebut akan mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

4. Protocol VII Perserikatan Bangsa-Bangsa, tanggal 27 Agustus – 2 Desember 1990 di Hanava Cuba tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum :

(26)

a. Untuk membela diri atau orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi.

b. Untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri.

c. Untuk mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat serius.

d. Apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan – tujuan.

5. Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember 1969 tentang Ketentuan Berperilaku atau Code of Conduct untuk Pejabat Penegak Hukum :

a. Dapat diberikan wewenang untuk melakukan kekerasan apabila perlu menurut keadilan untuk mencegah kejahatan atau dalam melaksanakan penangkapan yang sah terhadap pelaku yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan.

b. Sesuai dengan asas keseimbangan antara penggunaan kekerasan dengan tujuan yang hendak dicapai.

c. Pelaku kejahatan melakukan perlawanan dengan senjata api atau membahayakan jiwa orang lain.

6. Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol. Skep No.860/VII/1999 tentang Penggunaan Senjata Api Secara Formal.

Penggunaan senjata api dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi-fungsi tersebut diatur dengan ketat. Penggunaan senjata api digunakan untuk menghadapi bentuk-bentuk ancaman/perlawanan, ancaman terhadap anggota Polri, ancaman terhadap masyarakat dengan asas penggunaan senjata api yang

(27)

berpatokan pada asas legalitas atau setiap tindakan Kepolisian harus didasarkan pada ketentuan/peraturan yang berlaku dan asas diskresi atau penggunaan senjata api harus mempertimbangkan manfaat dan kepentingannya serta harus ditujukan untuk terwujudnya kepastian hukum dan menjamin kepentingan umum.

Tindakan tembak ditempat menjadi suatu bentuk peniadaan atau pengeyampingan asas praduga tidak bersalah, menjadi pilihan terakhir dari aparat kepolisian sebagai bentuk penerapan tindakan hukum terakhir di lapangan. Peniadaan atau pengenyampingan asas praduga tidak bersalah atau legitimasi tindakan tembak ditempat terhadap tersangka pelaku tindak pidana menjadi bentuk responsibilitas penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap perkembangan yang terjadi di lapangan ketika terjadi upaya penangkapan terhadap pelaku tindak pidana.54

Pemberian kekuasaan bagi Polisi dalam menggunakan senjata api memberikan konsekuensi serius yang mungkin terjadi ketika mereka membuat keputusan yang salah yang mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa pemberlakuan prosedural hukum yang termuat dalam peraturan tertulis, namun dengan adanya kode etik kepolisian memungkinkan menindak aparat kepolisian ketika melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur dan tahapan serta asas-asas penggunaan senjata api.55

54

Mark Blumberg dalam Thomas Barker . 1999. Police Deviaence (Penyimpangan Polisi) Edisi Ketiga. Jakarta: Cipta Manunggal, hal. 293

55

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, kegiatan selama proses pembelajaran yang tidak terlaksana pada siklus I akan dilaksanakan berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang

Rasa makanan yang telah berbentuk digital disebar ke media online dalam bentuk manuskrip yang berisi perintah ( input ) yang siap di download dan dilaksanakan

Variabel tingkat kepuasan masyarakat dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat Desa Sungai Naek, Desa Sungai Bonot, Desa Pangkalan Tarum, Desa Gunung Kembang,

Dengan menggunakan aturan notasi kendall, didapatkan kesimpulan bahwa sistem antrian kapal pada dermaga Berlian saat ini menggunakan model antrian ( ) ( )

Perseroan terus bekerja keras melakukan serangkaian program revitalisasi perkebunan dan fasilitas produksi untuk menjaga produktivitas kebun inti sawit dan karet,

Kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang relasi desain produk dengan engineering serta beberapa detail mekanisme serta contoh produk yang

Setelah proses pembelajaran, peserta didik, dapat menyebutkan minimal 3 alat yang diperlukan dalam membuat kerajinan dari bahan alam dengan tehnik pilin 2.. Setelah

Suatu cara dan ketentuan untuk mengatur, mengusun, meramu (menyampur) dengan dasar kaidah- kaidah yang ada, hingga mewujudkan, suasana tatanan yang harmonis, kaidah-kaidah