• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Uptake Fenol oleh Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) pada Proses Fitoremediasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laju Uptake Fenol oleh Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) pada Proses Fitoremediasi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 1 ISSN 1907-0500

Laju “Uptake” Fenol oleh Enceng Gondok (

Eichhornia crassipes)

pada

Proses Fitoremediasi

Is Sulistyati Purwaningsih, Evelyn,Wanda Mulfariana dan Yusmanely Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Kampus Bina Widya

Jalan Raya Soebrantas km.12,5 Pekanbaru-Riau, fax. (0761) 63273 e-mail: is_pur@yahoo.com, listya@unri.ac.id

ABSTRAK

Fenol banyak dijumpai dalam berbagai proses industri, salah satunya adalah yang berbasis petroleum. Umumnya senyawa toksik ini berada di perairan sebagai air buangan industri. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk penanganan limbah adalah fitoremediasi, yang memanfaatkan tanaman untuk meremediasi media yang tercemar. Pada penelitian ini digunakan enceng gondok untuk meremediasi air yang tercemar fenol. Percobaan dilakukan dalam reaktor yang terbuat dari fiber glass yang berisi larutan fenol dalam air. Enceng gondok yang sudah dibersihkan dari kotoran dan sudah diaklimatisasi selama seminggu, dengan berat tertentu dimasukan ke dalamnya. Sampel diambil pada imterval waktu tertentu untuk dianalisisi. Dari hasil penelitian terlihat bahwa tingkat toksisitas fenol terhadap enceng gondok berpengaruh terhadap proses remediasi. Makin tinggi konsentrasi awal fenol, makin lambat laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok. Laju remediasi dengan konsentrasi larutan fenol 50 mg/l ternyata 1,06 kali lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 100 mg/l dan 1,54 kali lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 150 mg/l. Dengan penambahan nutrisi, ternyata laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok meningkat menjadi 1,14 hingga 1,22 kali lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya. Pada percobaan dengan menambahkan nutrisi serta memberikan aerasi pada media, ternyata laju berkurangnya konsentrasi fenol sangat signifikan, hingga mencapai 5 kali lebih cepat dibandingkan pada media yang tidak mendapat nutrisi dan aerasi.

(2)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 2 ISSN 1907-0500

Pendahuluan

Salah satu senyawa organik yang menjadi pencemar di perairan adalah fenol. Limbah senyawa ini berasal dari beberapa sumber antara lain: karbonasi batu bara, tekstil, farmasi, industri gas, pabrik penghasil minyak, pabrik kimia dan peptisida, pabrik kertas, pabrik penghasil tinta, limbah rumah tangga dan senyawa huma yang berasal dari tanah gambut. Fenol (C6H5OH)

merupakan senyawa berbentuk kristal jernih dan memiliki bau yang khas, sangat beracun jika terserap oleh kulit karena mampu membuat tangan terbakar dan menyebabkan kematian, meskipun kulit yang terkena tidak luas. Batas konsentrasi yang masih bisa diterima manusia adalah 20 mg/m3

dengan waktu kontak sepuluh jam per hari. Fenol juga dapat mencemari rasa ikan jika kadarnya di air mencapai 0,1 – 1,0 ppm (Kirk and Othmer, 1982).

Di alam, fenol terakumulasi secara tetap di lingkungan. Pembuangan limbah bahan ini secara terus menerus memungkinkan adanya akumulasi limbah, sehingga kadarnya potensial melampaui nilai ambang batas dan dapat membahayakan mahluk hidup. Fenol yang dibuang ke sungai dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Namun penguraian tersebut membutuhkan oksigen terlarut yang lebih besar daripada jumlah oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis (Arisandi, 2002). Hal ini menyebabkan keracunan bagi ikan dan biota yang mengkonsumsinya dan mengurangi jumlah oksigen di air .

Fitoremediasi memiliki potensi untuk membantu penanganan polutan lingkungan beracun dan berbahaya bagi mahluk hidup. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersih, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, peptisida dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air, dengan memanfaatkan tanaman (Rismana, 2001). Aiyen (2004) melaporkan beberapa tanaman yang dapat digunakan untuk fitoremediasi diantaranya, bunga matahari, keluarga palma, tembakau dan enceng gondok.

Enceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman gulma yang hidup mengambang dipermukaan air, kondisi optimal tumbuhnya adalah daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini memiliki kemampuan tumbuh yang cepat. Penelitian-penelitian terdahulu melaporkan bahwa enceng gondok mampu menyerap senyawa organik serta beberapa ion logam dalam air, antara lain timah, cadmium, mercury, tembaga, seng, dan kromium (O’Keeffe et al, 1987). Fenol

termasuk senyawa organik, sehingga enceng gondok diharapkan mampu menyerap senyawa fenol

Tinjauan Pustaka

Fenol dan banyak komponen fenolik sintetik merupakan komponen polutan umum pada lingkungan yang berasal dari karbonasi batu bara, tekstil, farmasi, industri gas, industri berbasis petroleum, pabrik kimia dan peptisida, pabrik penghasil tinta dan limbah rumah tangga . Selain itu senyawa fenol juga ditemukan pada kawasan rawa atau gambut. Air yang berwarna gelap pada tanah gambut dan rawa menandakan adanya senyawa fenol pada air tersebut (Sudaryanto, 2004). Nilai ambang batas fenol untuk baku mutu air minum sebesar 0.001 ppm, mutu buangan industri sebesar 0,3 ppm.

Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi limbah fenol, baik secara fisika , kimia, maupun biologi. Beberapa metoda pengolahan tersebut memiliki kelemahan , antara lain diperlukan media pengencer yang banyak, bahan kimia lain untuk mengolah, tambahan peralatan serta waktu yang lama jika digunakan mikroba untuk mendegradasi fenol. Dari beberapa penelitian terdahulu (O’Keeffe et. al., 1987; Rismana, 2001; Aiyen 2004 ), diperoleh informasi bahwa, beberapa tanaman mampu menjadi agen penyerap polutan. Teknik penanggulangan limbah dengan prinsip ini disebut fitoremediasi

Beberapa keuntungan dari kegiatan fitoremediasi dibandingkan metoda lain telah dilaporkan (EPA,2000) yaitu : Mengembalikan struktur dan tekstur media tercemar ke keadaan semula, sumber energi utama berasal dari sinar matahari, biayanya rendah, dan potensi proses remediasi relatif cepat. US EPA (2001) telah meneliti bahwa waktu yang dibutuhkan tanaman untuk membersihkan polutan menggunakan fitoremediasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu: a. Tipe dan jumlah tanaman yang digunakan, b. Tipe dan jumlah zat kimia berbahaya yang ada, c. Luas area yang tercemar, dan d. Tipe air atau tanah dan kondisinya .

(3)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 3 ISSN 1907-0500

Beberapa tanaman telah diteliti memiliki kemampuan sebagai remediator. Robson (2003) melaporkan bahwa jenis tanaman yang paling umum dipergunakan dalam penelitian fitoremediasi lahan tercemar di Canada adalah kochia, wild barly, salt grass, stricta, bluegrass, dan wheatgrass.

Sedangkan menurut Aiyen (2004), jenis-jenis tanaman yang sering digunakan untuk fitoremediasi bunga matahari, palma-palmaan, tembakau dan enceng gondok

Dalam penelitian ini, digunakan Enceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai remediator karena tanaman ini mampu hidup mengapung di air yang kualitasnya tidak baik.Kemampuan tumbuhnya luar biasa. Dari sepuluh tanaman dewasa dapat berkembang menjadi sekitar 65.000 hanya dalam delapan bulan (O’Keeffe et al, 1987). Peneliti terdahulu telah melaporkan bahwa enceng gondok mampu mereduksi kadar logam berat seperti timah hitam, cadmium, mercuri, tembaga, seng, dan kromium dari limbah cair. Sedangkan kemampuan enceng gondok untuk menyerap polutan yang berupa senyawa organik belum banyak dilaporkan.

Cara Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah enceng gondok yang diperoleh dari tepian Sungai Siak, di kelurahan Kampung Bandar kecamatan Senapelan, dan fenol. Sebelum digunakan enceng gondok dicuci dan dibersihkan dari kotoran yang melekat dan selanjutnya dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang berisi air untuk diaklimatisasi selama 7 hari. Rangkaian alat yang digunakan seperti tertera pada gambar 1.

Gambar 1. Susunan Alat Penelitian

Selanjutnya setiap run percobaan digunakan kurang lebih 500 gram enceng gondok yang dimasukkan ke dalam reaktor. Semuanya ada 4 buah reaktor yang di run secara simultan dengan mevariasikan konsentrasi larutan fenol, masing-masing 50, 100,150 dan 200 mg/l. Setiap interval waktu tertentu, sampel dianalisis dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 276 nm untuk menentukan kadar fenol yang tersisa dalam reaktor. Pengambilan sampel dihentikan jika konsentrasi fenol dalam larutan relatif tetap. Sebagai variabel yang lain adalah penambahan nutrisi, aerasi dan kombinasi aerasi dan nutrisi pada media yang diremediasi.Sebagai nutrisi digunakan pupuk NPK sebanyak 1.06 mg/liter larutan dan untuk media yang diaerasi digunakan aerator dengan laju aerasi 16 ml/det.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian fitoremediasi air tercemar fenol dengan enceng gondok disajikan dalam beberapa gambar dan tabel berikut.. Gambar 2 menyajikan hubungan kosentrasi awal fenol terhadap pengurangan jumlah fenol dalam larutan dan tabel 1 menunjukkan laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok pada berbagai konsentrasi laruran fenol. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak maka konsentrasi fenol semakin berkurang. Pada konsentrasi awal 50 mg/L, konsentrasi fenol dalam larutan berkurang sebesar 76% setelah 68 jam waktu kontak, sedangkan untuk konsentrasi awal arutan 100 mg/L dan 150 mg/L terjadi penurunan fenol berturut-turut 50% untuk waktu kontak 66 jam

enceng gondok

reaktor yg berisi lar. fenol aerator

(4)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 4 ISSN 1907-0500

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi awal terhadap ”uptake” fenol oleh enceng gondol

Tabel 1. Laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok pada berbagai konsentrasi awal fenol

Konsentrasi awal fenol (mg/L) Laju rata-rata (mg/L.jam) 50 0,925 100 0,872 150 0,600

dan 21% untuk waktu kontak 68 jam. Dari data tersebut, terlihat bahwa makin tinggi konsentrasi awal fenol, makin kecil jumlah fenol yang mampu diserap oleh enceng gondok. Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi fenol, makin bersifat toksik terhadap enceng gondok, yang menyebabkan kemampuan remediasi fenol oleh enceng gondok berkurang. Pernyataan ini didukung oleh data yang ditampilkan pada tabel 1 di atas, yang menunjukkan laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok menurun dari 0.925 mg/l jam untuk konsentrasi awal 50 mg/l menjadi 0.600 mg/l jam untuk konsentrasi awal fenol 150 mg/l. Secara fisik juga tampak, makin tinggi konsentrasi fenol, daun dan batang enceng gondok lebih cepat menyusut dan mengering. Bagian akar yang awalnya berwarna pucat keungu-unguan menjadi berwarna coklat. Untuk konsentrasi awal fenol 200 mg/l tidak dapat ditampilkan, karena enceng gondok menjadi rapuh dan mati setelah tercelup ke dalam larutan selama kurang dari 15 jam.

Penelitian ini dilanjutkan dengan menambahkan nutrisi, aerasi dan kombinasi antara aerasi dan nutrisi ke dalam media, yaitu larutan fenol pada berbagai konsentrasi. Hasil penelitian disajikan pada gambar 3,4 dan 5, serta tabel 2. Dari gambar-gambar dan tabel tersebut terlihat bahwa perbandingan laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok dengan menambahkan nutrisi pada media meningkat antara 1.15 – 1.22 kali lebih cepat dibandingkan dengan percobaan yang tidak memakai nutrisi untuk kisaran konsentrasi fenol 50 – 150 mg/l selama rentang waktu kurang lebih 68 jam. Dengan adanya nutrisi yang mengandung unsur nitrogen dan pospor dalam media, maka enceng gondok mampu hidup lebih baik walau dalam habitat yang bersifat toksik. Kedua unsur tersebut sangat diperlukan untuk tumbuh kembangnya enceng gondok. Namun demikian menurut . Petrucio dan Esteves (1999), walaupun enceng gondok merespon positif terhadap penambahan nitrogen hingga 5.5 mg/l, tetapi penambahan pospor melebihi 1,06 mg/l larutan akan menghambat laju pertumbuhan. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 70 w aktu (jam) K o ns en tr as i ( pp m ) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

(5)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 5 ISSN 1907-0500

Gambar 3. Hubungan konsentrasi fenol dan waktu setelah penambahan nutrisi pada berbagai konsentrasi awal fenol

0 50 100 150 0 10 20 30 40 50 60 waktu (jam) ko ns en tr as i ( pp m ) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 4. Hubungan konsentrasi fenol dan waktu setelah penambahan aerasi pada berbagai konsentrasi awal fenol

Pemberian aerasi dengan laju 16 ml/det pada media fitoremediasi, ternyata memberikan penurunan konsentrasi fenol yang signifikan (lihat Gmb. 4). Demikian juga pada kombinasi antara penambahan nutrisi dan pemberian aerasi, ternyata memberikan pengurangan kadar fenol dari media fitoremediasi jauh lebih banyak dibandingkan tanpa aerasi (lihat Gmb 5). Sebagai perbandingan kita lihat tabel 2, laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok pada media tanpa penambahan nutrisi maupun aerasi akan menurun dengan meningkatnya konsentrasi fenol dalam larutan yang diremediasi. Demikian juga halnya, pada percobaan dengan penambahan nutrisi ke dalam media, laju”uptake” fenol oleh enceng gondok berkurang seiring dengan bertambahnya konsentrasi awal fenol. Tetapi dengan pemberian aerasi, laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok justru meningkat dengan bertambahnya konsentrasi fenol dalam larutan media. Pada konsentrasi fenol yang tertinggi, yaitu 150 mg/l, laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok meningkat menjadi 3.97 lebih cepat dibandingkan laju ”uptake” fenol pada media tanpa perlakuan, dan meningkat menjadi 530% lebih cepat pada perlakuan dengan pemberian aerasi dan nutrisi.

0 50 100 150

0 10 20 30 40 50 60 70

waktu kontak (jam)

K on se nt ra si ( pp m ) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

(6)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 6 ISSN 1907-0500

Gambar 5. Hubungan konsentrasi fenol dan waktu setelah penambahan aerasi dan nutrisi pada berbagai konsentrasi awal fenol

Tabel 2. Laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok pada berbagai konsentrasi awal fenol dan dengan berbagai perlakuan terhadap media fitoremediasi

Konsentrasi Awal

(mg/L) Perlakuan

Kecepatan remediasi rata-rata (mg/L.jam)

Tanpa perlakuan 0,92546

Penambahan nutrisi 1,06628

Aerasi 1,03443

50

Nutrisi dan aerasi 1,15889

Tanpa perlakuan 0,87248

Penambahan nutrisi 1,00900

Aerasi 1,81001

100

Nutrisi dan aerasi 2,06851

Tanpa perlakuan 0,60037

Penambahan nutrisi 0,73365

Aerasi 2,38183

150

Nutrisi dan aerasi 3,17998

Fenol adalah senyawa organik yang mudah larut dalam air tetapi mempunyai bilangan Henry yang rendah (7.6E-07). Senyawa yang demikian tidak mudah di”strip-off” oleh udara (Purwaningsih et.al., 2002). Dengan demikian kemungkinan adanya transfer fenol ke udara dapat diabaikan. Senyawa fenol juga toksik bagi bakteri, apalagi di lingkungan dengan konsentrasi fenol

0 50 100 150 0 10 20 30 40 50 60 70 waktu (jam) ko n se nt ra si (p pm ) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

(7)

Seminar Nasional Teknik Kimia Oleo & Petrokimia Indonesia 2008 7 ISSN 1907-0500

yang tinggi (Wolverton and McKown, 1976; O’Keeffe et.al.,1987; dan Purwaningsih, 2002), sehingga tidak banyak bakteri yang toleran terhadap fenol. Dengan demikian, pada percobaan dengan penambahan aerasi, kemungkinan penyebab penurunan konsentrasi fenol yang signifikan akibat adanya penguapan fenol atau metabolisme oleh mikroba dapat diabaikan. Satu hal yang mungkin dapat disampaikan disini adalah adanya enzim polyphenol oxidase yang ada dalam tanaman enceng gondok yang memungkinkan fenol termetabolisme menjadi catechol (O’Keeffe et.al.,1987). Peristiwa oksidasi ini dipengaruhi oleh waktu, sinar dan udara (Purwaningsih, 2002). Salah satu indikasi terbentuknya catechol adalah terbentuknya warna coklat dalam larutan., karena waktu ekspose yang lama di udara terbuka.

Kesimpulan

1. Laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok dipengaruhi oleh konsentrasi awal fenol atau tingkat toksisitas fenol terhadap enceng gondok. Semakin besar konsentrasi awal fenol maka laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok akan menurun. Laju remediasi dengan konsentrasi larutan fenol 50 mg/l ternyata 1,06 kali lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 100 mg/l dan 1,54 kali lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 150 mg/l.

2. Dengan adanya penambahan nutrisi, enceng gondok lebih mampu bertahan di lingkungan yang mengandung fenol.

3. Pada percobaan tanpa perlakuan dan penambahan nutrisi laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok berbanding terbalik dengan konsentrasi awal fenol. Untuk percobaan dengan perlakuan aerasi ataupun penambahan nutrisi dan aerasi, laju ”uptake” fenol oleh enceng gondok berbanding lurus dengan konsentrasi awal fenol.

4. Laju ”uptake” tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan nutrisi dan aerasi.

Daftar Pustaka

Aiyen, 2004, Ilmu Remediasi untuk Atasi pencemaran Tanah di Aceh dan Sumatra Utara,

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/04/ilpeng/ 1592821.htm , 12 Oktober 2005.

EPA, 2000, Introduction to Phytoremediation, http://www.clu-in.org/download

/remed/introphyto.pdf, 10 Juni 2006.

EPA, 2001, A Citizen’s Guide to Phytoremediation, http://clu-in.org/download /citizens/

citphyto.pdf, 24 Mei 2006

Kirk and Othmer, 1987, Encyclopedia of Chemical Engineering Technology, 3rd, Vol 17. John

Wiley & Sons, New York.

O’Keeffe, D.H., Wiese T.E., Brummet, S.R. and Miller, T.D., 1987, Uptake and Metabolism of Phenolic Compounds by The Water Hyacinth, di dalam: Saunders, J.A., Kosak-Channing, L., Conn, E.E (editor)., Recent Advances in Phytochemistry, Vol. 21, New York and London Plenium Press, New York.

Petrucio, M.M., and Esteves, F.A., 1999, Uptake Rate of Nitrogen and Phosphorus in The Water By Eichhornia crassipes and Salvinia auriculata,Rev. Brasil. Biol.., 60:229-236.

Purwaningsih, I. S., 2002, Mass Transfer and Bioremediation of Solid Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) Particles in Bioreactors, Disertasi, University of Saskatchewan Saskatoon, Canada.

Purwaningsih, I. S., Hill, G. A., and Headley, J., 2002, Air Stripping and Dissolution Rates of Aromatic Hydrocarbon Particles in a Bioreactor, Chem.Eng. Commun., 189 (2): 268 – 283 Rismana, E., 2001, Teknologi Pengolahan Limbah Alternatif,

http://www.terranet.or.id/goto-berita.php?id=3241, 12 Oktober 2005.

Robson, D.B. (2003). Phytoremediation of Hydrocarbon-contaminated Soil Using Plants Adapted to The Western Canadian Climate, Disertasi, University of Saskatchewan. Canada

Sudaryanto, 2004, Siak Tercemar Selat Malaka Terancam, Riau Pos ,7 Desember 2005.

Wolverton,B.C.,dan M.M. McKown, 1976. Water hyacinths for Removal of Fenol from Polluted Waters. Aqua. Bot. 2:191-201

Gambar

Gambar 1. Susunan Alat Penelitian
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi awal terhadap ”uptake” fenol oleh enceng gondol
Gambar 4.  Hubungan konsentrasi fenol  dan waktu setelah penambahan aerasi  pada berbagai konsentrasi awal fenol
Gambar 5.  Hubungan konsentrasi fenol  dan waktu setelah penambahan aerasi dan nutrisi  pada berbagai konsentrasi awal fenol

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data dan kajian penelitian yang relevan, membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari hasil media pembelajaran pohon angka untuk mengenal

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi Pantai Metro Tanjung Bunga Kota Makassar dari pendekatan strategi pemerataan yaitu Pemerintah

Hal ini diduga kombinasi antara pupuk hijau kirinyuh baik basah maupun kering dosis 60 g/tanaman dengan pemberian pupuk NPK telah mampu meningkatkan ketersediaan

Dari hasil analisis yang ditunjukkan dalam penelitian ini maka dapat disimpulan sebagai berikut pada perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI: Pertama,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sari bengkoang dengan sari asam jawa memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar vitamin C (mg/100 g bahan), total

Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Politeknik TEDC Bandung, Program Studi Teknik Otomotif tahun ajaran 2007

Penggunaan istilah manajemen ini jelas tidak akan dapat mengubah arti semula dan yang sebenarnya dari istilah bahasa Inggris management; sebagaimana alas an

Dengan potensi sumber daya iklim tersebut mengindikasikan bahwa di sebagian besar wilayah PG Bone dan PG Camming optimasi masa tanam sangat penting dan menggunakan