• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK USIA 3-4 TAHUN STUDI KASUS DI KELOMPOK BERMAIN-TAMAN KANAK KANAK GEMINTANG BOJONGSARI DEPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK USIA 3-4 TAHUN STUDI KASUS DI KELOMPOK BERMAIN-TAMAN KANAK KANAK GEMINTANG BOJONGSARI DEPOK"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK USIA 3-4 TAHUN

STUDI KASUS DI KELOMPOK BERMAIN-TAMAN KANAK

KANAK GEMINTANG BOJONGSARI DEPOK

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Nama : Sri Maryani

NIM : 2013810003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH JAKARTA 2018

(2)

i

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Skripsi Agustus 2018

Sri Maryani (2013810003)

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK USIA 3-4 TAHUN STUDI

KASUS DI KELOMPOK BERMAIN-TAMAN KANAK KANAK

GEMINTANG BOJONGSARI DEPOK xvi + 92, 1 tabel, 2 gambar, 9 lampiran

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa anak yang memiliki perbedaan perkembangan kemandirian di KBTK Gemintang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan kemandirian anak usia 3-4 tahun. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriftif. Subjek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki (SA) dan anak perempuan (GE) yang berusia 3 tahun. Dengan informan penelitian adalah ibu, nenek dan guru disekolah. Tehnik pengumpulan data penelitian dengan pengamatan, wawancara, dokumentasi dan triangulasi. Dengan menggunakan tehnik analisis data yang dimulai dengan merumuskan masalah sebelum dan selama di lapangn melalui tahapan reduksi, penyajian data, memverifikasi, sehingga menghasilkan kesimpulan berupa interpretasi data yang dituangkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat intervensi orangtua yang mendominasi perkembangan kemandirian SA dan GE. SA yang masih bersikap ketergantungan kepada orangtua, dan GE yang mulai mandiri dan percaya diri. Dapat dipahami bahwa setiap anak itu cenderung untuk mandiri dan memilki potensi mandiri. Hal tersebut karena setiap anak dikaruniai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat, serta struktur yang berlainan pada tiap fase-fase perkembangannya. Anak yang diawasi secara ketat, banyak dicegah atau selalu dilarang dalam setiap aktivitasnya dapat berakibat patahnya kemandirian anak. Sikap yang bijak dan perlakuan yang wajar pada anak dapat memicu tumbuhnya kemandirian anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya guru dan orangtua.

Kata kunci : Kemandirian Anak, Orangtua

(3)

ii

UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH JAKARTA FACULTY OF SCIENCE EDUCATION

STUDY PROGRAM EARLY CHILDHOOD TEACHER EDUCATION Thesis August 2018

Sri Maryani (2013810003)

THE DEVELOPMENT OF THE CHILDREN AGE 3 - 4 YEARS OF CASE

STUDY IN PLAYGROUP AND KINDERGARTEN GEMINTANG

BOJONGSARI DEPOK

xvi + 92, tables, 2 drawings, 9 attachments ABSTRACT

The writing of this thesis is motivated by the presence of several children who have differences in the development of independence in the Gemintang KBTK. The purpose of this study was to determine the development of the independence of children aged 3-4 years. The method used is descriptive qualitative method. The subject of this study was a boy (SA) and a daughter (GE) who was 3 years old. With research informants are mothers, grandmothers and teachers at school. Research data collection techniques with observation, interviews, documentation and triangulation. By using data analysis techniques that begin by formulating the problem before and during the field through the stages of reduction, data presentation, verification, so as to produce conclusions in the form of data interpretation that is expressed descriptively. The results showed that there were parental interventions that dominated the development of the independence of SA and GE. SA is still dependent on parents, and GE is starting to be independent and confident. It is understandable that every child tends to be independent and has independent potential. This is because each child is blessed with feelings, thoughts, own will, all of which are psychic totality and traits, and different structures in each phase of its development. Children who are closely monitored, prevented a lot or are always banned in every activity can result in the breakdown of children's independence. Wise attitudes and fair treatment for children can trigger the growth of children's independence. The results of this study are expected to be useful for many parties, especially teachers and parents.

Keywords: Independence, Children, Parents.

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah harta yang dititipkan oleh Allah SWT yang harus kita lindungi, sayangi, cintai serta diberikan ilmu, dan diberikan hak dan kewajibannya sebagai seorang anak. Sudah kewajiban bagi orangtua untuk memberikan pelajaran bagi anak mereka, dari mulai mengajarkan bicara, berjalan, makan, mandi, serta beribadah dan pendidikan akhlak. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT :

“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di

sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan ”.(Q.S Al Kahfi :46)

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah masa-masa yang paling berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif

(11)

2

kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun. Anak mencapai titik kulminasi ketika berumur sekitar 18 tahun (Suyanto, 2005:6).

Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas (golden age) ini, merupakan periode kritis bagi anak, di mana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu, pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.

Usia dini juga merupakan peluang terbaik untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak, dan mengembangkan kemandirianya. Hal ini dirasa sangat penting karena dengan aktivitas pengembangan potensi yang dimiliki, anak dapat mengikuti perkembangan zaman dan tidak larut dalam arus kemajuan yang belum tentu memiliki efek baik. Dengan pendidikan di masa emasnya, anak akan memiliki kualitas di masa depanya, Tapi bila kita berbicara tentang pendidikian anak usia dini maka tidak

(12)

3

bisa lepas dari metode atau cara memberikan pendidikan tersebut agar anak tetap enjoy, menyenangkan, tidak merasa tertekan, atau terhambat kreativitasnya. Pendidikan Anak usia Dini tidak bisa disamakan dengan pendidikan orang dewasa. Pendidikan anak usia dini ini bertujuan untuk mendewasakan mereka, selain untuk mencetak generasi yang mandiri tentunya ditempuh melalui pendidikan yang bermutu.

Menurut kerangka dasar kurikulum pendidikan anak usia dini yang diterbitkan tahun 2007, seorang anak dapat dikatakan memiliki sikap kemandirian apabila anak mampu berinteraksi, mulai mematuhi aturan, dapat mengendalikan emosinya, menunjukkan rasa percaya diri, dan dapat menjaga diri sendiri. Bila ditinjau dari hal tersebut dapat ditemukan bahwa saat ini masih banyak anak yang kemandiriannya tidak mengikuti tingkat kedewasaan usianya. Anak yang tidak dilatih mandiri sejak usia dini akan menjadi individu yang bergantung pada orang lain sampai remaja bahkan dewasa nanti. Bila kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah dimiliki dan dikuasai anak di usia tertentu dan anak belum dapat melakukannya dapat dikatakan anak yang manja dan tidak mandiri.

Banyak fenomena yang menggambarkan hal di atas, di Indonesia adalah seperti berita yang dituliskan oleh Arowana (2016) dalam malangvoice.com yang bertajuk “Calon Mahasiswa Diantar Orangtua, bukti turunnya kemandirian” yang terbit pada

(13)

4

tanggal 31 Mei 2016 disebutkan masih banyaknya calon mahasiswa baru yang diantar dan didampingi orangtuanya dalam mengurus serba-serbi penerimaan mahasiswa, hal ini dipandang sebagai turunya kemandirian oleh Haryono (Arowana, 2016). Selain itu ditambah pula di era globalisasi seharusnya kemandirian adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang. Fenomena tentang rendahnya kemandirian ini sudah terjadi sejak anak-anak TK, dikhawatirkan jika hal ini terus membudaya, kecerdasan sosial dan kemerdekaan berpikir mahasiswa menjadi lemah. Tak hanya itu, ketangkasaan, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan masalah juga lemah. (Arowana, 2016).

Kemandirian menjadi salah satu aspek penting ranah perkembangan anak usia dini. Kemandirian berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan anak dalam mengurus diri sendiri. Ketika anak mulai mengeksplorasi berbagai keterampilan dengan kemampuan yang dimiliki, maka termasuk dalam kemandirian. Seperti dikemukakan Wiyani (2012:54) bahwa kemampuan dan keterampilan yang dimiliki anak merupakan bentuk kemandirian anak usia dini, yang disesuaikan dengan tugas perkembangannya, seperti belajar berjalan, belajar makan, dan belajar berinteraksi dengan orang lain. Erickson dalam Wiyani (2012:55) menyatakan bahwa anak harus mulai dilatih kemandiriannya sejak usia 1,5 – 3 tahun. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa

(14)

5

ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.

Hasil observasi di Kelompok Bermain (KB) Taman Kanak-kanak (TK) Gemintang, Bojongsari Depok masih ditemukan anak yang belum mandiri, penakut, pencemas, manja, cengeng, pemalu, dan tidak mau ditinggal orang tuanya. Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada persoalan perkembangan kemandirian pada anak usia dini yang akan memberikan solusi alternatif pada problem pendidikan anak usia dini. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sering kali dianggap sebagai pelengkap pendidikan, padahal anak usia tersebut memiliki sifat yang berbeda dengan anak yang memiliki usia di atasnya. Anak belum kehilangan sifat asli, belum terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif, jadi pendidikan akan lebih mudah diberikan kepada anak.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini akan telaah lebih jauh berkaitan dengan pentingnya meningkatkan kemandirian anak dan dituangkan ke dalam karya ilmiah (Skripsi) dengan judul “Perkembangan Kemandirian Anak Usia 3-4 Tahun (Penelitian Kualitatif Deskriptif Di KB/TK Gemintang, Bojongsari Depok)”.

B. Fokus Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada perkembangan kemandirian anak usia 3-4 tahun di KB/TK Gemintang, Bojongsari Depok.

(15)

6

C. Rumusan Masalah

Mengacu pada permasalahan dan batasan masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan kemandirian anak usia 3-4 tahun di KB/TK Gemintang, Bojongsari Depok?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Perkembangan kemandirian anak usia 3-4 tahun di KB/TK Gemintang, Bojongsari Depok.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi semua pihak yang terkait.

1. Secara Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi disiplin ilmu yang dimiliki terutama berkaitan dengan kemandirian pada anak usia dini.

2. Secara Praktis

a. Lembaga PAUD

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan evaluasi terutama berkaitan dengan meningkatkan kemandirian anak.

(16)

7

b. Tenaga Pendidik atau Guru PAUD

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukkan untuk bahan evaluasi diri terutama dalam menerapkan strategi pembelajaran berkaitan dengan peningkatan kemandirian anak.

c. Penelitian Lanjutan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi dalam pengembangan variabel dan indikator yang diteliti berkaitan dengan kemandirian anak.

(17)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakikat Anak Usia Dini

a. Pengertian Anak Usia Dini

Bredekamp dalam (Susanto, 2017:1) menyebutkan bahwa Definisi anak usia dini menurut Nation Association Education Young Children (NAEYC) menyatakan bahwa anak usia dini “early childhood” merupakan anak yang berada pada usia nol sampai delapan tahun. Pada masa tersebut merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek dalam rentang kehidupan manusia. Proses pembelajaran terhadap anak tersebut harus memerhatikan karakteristik yang dimiliki dalam tahap perkembangan anak.

Menurut Bacharuddin Musthafa (2002:35), anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia antara satu hingga lima tahun. Pengertian ini didasarkan pada batasan pada psikologi perkembangan yang meliputi bayi (infancy atau babyhood)berusia 0-1 tahun, usia dini (early childhood) berusia

1-5 tahun, masa kanak-kanak akhir (late childhood), berusia 6- 12 tahun.

(18)

9

Menurut Wijaya (2010:16) anak yang berusia 0-6 tahun digolongkan dengan anak usia dini, yang terbagi menjadi empat tahapan, yaitu : (a) masa bayi dari usia lahir sampai dengan 12 bulan; (b) masa kanak-kanak atau batita dari usia 1 tahun hingga 3 tahun; (c) masa prasekolah dari usia 3 tahun sampai 6 tahun.

Menurut Mulyasa dalam (Wiyani, 2016:98) mengartikan anak usia dini sebagai individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Anak usia dini memilki rentang yang sangat berharga disbanding usia-usia selanjutnya karena perkembangan kecerdasannya tengah berlangsung luar biasa. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dan berada pada masa proses perubahan berupa pertumbuhan, perkembangan, pematangan, dan penyempurnaan baik pada aspek jasmani maupun rohaninya yang berlangsung seumur hidup, bertahap, dan berkesinambungan.

Menurut Berk dalam Yuliani (2012:6) anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani sustu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam

(19)

10

berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia.

Menurut Wiyani (2014: 32) menyatakan bahwa anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia ketika anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya.

Sebagaimana tertera dalam Lampiran Permendiknas No 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini, pemerintah juga mengelompokkan usia anak dengan tahapan dan rentang waktu sebagai berikut: (1). Tahap usia 0-2 tahun: a). 0-3 bulan, b). 4-6 bulan, c). 7-9 bulan, d). 10-12 bulan, e). 13-18 bulan, f). 19-24 bulan, (2). Tahap usia 2-4 tahun: a). 2-3 tahun, b). 3-4 tahun, (3). Tahap usia 4-6 tahun: a). 4-5 tahun, b). 5-6 tahun.

Masa anak usia dini sering disebut dengan istilah “golden age” atau masa emas. Pada masa ini hampir seluruh potensi

(20)

11

anak mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara cepat dan hebat. Perkembangan setiap anak tidak sama karena setiap individu memiliki perkembangan yang berbeda. Makanan yang bergizi dan seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Apabila anak diberikan stimulasi secara intensif dari lingkungannya, maka anak akan mampu menjalani tugas perkembangannya dengan baik.

Masa kanak-kanak merupakan masa saat anak belum mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Mereka cenderung senang bermain pada saat yang bersamaan, ingin menang sendiri dan sering mengubah aturan main untuk kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, dibutuhkan upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun perkembangan psikis. Potensi anak yang sangat penting untuk dikembangkan. Potensi-potensi tersebut meliputi kognitif, bahasa, sosio emosional, kemampuan fisik dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0-6 tahun yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis.

(21)

12

b. Karakteristik Anak Usia Dini

Anak usia dini memiliki karakteristik yang khas, baik secara fisik, sosial, moral dan sebagainya. Menurut Siti Aisyah, dkk (2010: 1.4-1.9) karakteristik anak usia dini antara lain; a) memiliki rasa ingin tahu yang besar, b) merupakan pribadi yang unik, c) suka berfantasi dan berimajinasi, d) masa paling potensial untuk belajar, e) menunjukkan sikap egosentris, f) memiliki rentang daya konsentrasi yang pendek, g) sebagai bagian dari makhluk sosial, penjelasannya adalah sebagai berikut.

Usia dini merupakan masa emas, masa ketika anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada usia ini anak paling peka dan potensial untuk mempelajari sesuatu, rasa ingin tahu anak sangat besar. Hal ini dapat kita lihat dari anak sering bertanya tentang apa yang mereka lihat. Apabila pertanyaan anak belum terjawab, maka mereka akan terus bertanya sampai anak mengetahui maksudnya.

Di samping itu, setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berasal dari faktor genetik atau bisa juga dari faktor lingkungan. Faktor genetik misalnya dalam hal kecerdasan anak, sedangkan faktor lingkungan bisa dalam hal gaya belajar anak. Anak usia dini suka berfantasi dan berimajinasi. Hal ini penting bagi pengembangan kreativitas dan bahasanya. Anak

(22)

13

usia dini suka membayangkan dan mengembangkan suatu hal melebihi kondisi yang nyata. Salah satu khayalan anak misalnya kardus, dapat dijadikan anak sebagai mobil-mobilan.

Menurut Berg (dalam Rahman, 2002:43), rentang perhatian anak usia 5 tahun untuk dapat duduk tenang memperhatikan sesuatu adalah sekitar 10 menit, kecuali hal-hal yang biasa membuatnya senang. Anak sering merasa bosan dengan satu kegiatan saja. Bahkan anak mudah sekali mengalihkan perhatiannya pada kegiatan lain yang dianggapnya lebih menarik. Anak yang egosentris biasanya lebih banyak berpikir dan berbicara tentang diri sendiri dan tindakannya yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya, misalnya anak masih suka berebut mainan dan menangis ketika keinginannya tidak dipenuhi. Anak sering bermain dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya. Melalui bermain ini anak belajar bersosialisasi. Apabila anak belum dapat beradaptasi dengan teman lingkungannya, maka anak anak akan dijauhi oleh teman-temannya. Dengan begitu anak akan belajar menyesuaikan diri dan anak akan mengerti bahwa dia membutuhkan orang lain di sekitarnya.

Pendidik perlu memahami karakteristik anak untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Pendidik dapat memberikan materi pembelajaran sesuai dengan

(23)

14

perkembangan anak. Karakteristik anak usia dini adalah sebagai berikut.

1) Usia 0–1 tahun

Perkembangan fisik pada masa bayi mengalami pertumbuhan yang paling cepat dibanding dengan usia selanjutnya karena kemampuan dan keterampilan dasar dipelajari pada usia ini. Kemampuan dan keterampilan dasar tersebut merupakan modal bagi anak untuk proses perkembangan selanjutnya. Karakteristik anak usia bayi adalah sebagai berikut:

a) Keterampilan motorik antara lain anak mulai berguling, merangkak, duduk, berdiri dan berjalan.

b) Keterampilan menggunakan panca indera yaitu anak melihat atau mengamati, meraba, mendengar, mencium, dan mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulut.

c) Komunikasi sosial anak yaitu komunikasi dari orang dewasa akan mendorong dan memperluas respon verbal dan non verbal bayi.

2) Anak Usia 2–3 tahun

Usia ini anak masih mengalami pertumbuhan yang pesat pada perkembangan fisiknya. Karakteristik yang dilalui anak usia 2-3 tahun antara lain:

(24)

15

a) Anak sangat aktif untuk mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Eksplorasi yang dilakukan anak terhadap benda yang ditemui merupakan proses belajar yang sangat efektif.

b) Anak mulai belajar mengembangkan kemampuan berbahasa yaitu dengan berceloteh. Anak belajar berkomunikasi, memahami pembicaraan orang lain dan belajar mengungkapkan isi hati dan pikiran.

c) Anak belajar mengembangkan emosi yang didasarkan pada faktor lingkungan karena emosi lebih banyak ditemui pada lingkungan.

3) Anak usia 4–6 tahun

Anak pada usia ini kebanyakan sudah memasuki Taman Kanak-kanak. Karakteristik anak 4-6 tahun adalah: a) Perkembangan fisik, anak sangat aktif dalam berbagai

kegiatan sehingga dapat membantu mengembangkan otot-otot anak.

b) Perkembangan bahasa semakin baik anak mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pikirannya.

c) Perkembangan kognitif (daya pikir) sangat pesat ditunjukkan dengan rasa keingintahuan anak terhadap

(25)

16

lingkungan sekitarnya. Anak sering bertanya tentang apa yang dilihatnya.

d) Bentuk permainan anak masih bersifat individu walaupun dilakukan anak secara bersama-sama.

4) Anak usia 7–8 tahun

Karakteristik anak usia 7-8 tahun adalah:

a) Dalam perkembangan kognitif, anak mampu berpikir secara analisis dan sintesis, deduktif dan induktif (mampu berpikir bagian per bagian).

b) Perkembangan sosial, anak mulai ingin melepaskan diri dari orangtuanya. Anak sering bermain di luar rumah bergaul dengan teman sebayanya.

c) Anak mulai menyukai permainan yang melibatkan banyak orang dengan saling berinteraksi.

d) Perkembangan emosi anak mulai berbentuk dan tampak sebagai bagian dari kepribadian anak. Karakteristik anak usia dini merupakan individu yang memiliki tingkat perkembangan yang relatif cepat merespon (menangkap) segala sesuatu dari berbagai aspek perkembangan yang ada.

Menurut Solehuddin (2002:27) menyatakan bahwa karakteristik anak usia prasekolah adalah sebagi berikut: Pertama, Anak bersifat unik. Anak sebagai seorang individu

(26)

17

berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini dapat dilihat dari aspek bawaan, minat, motivasi dan pengalaman yang di peroleh dari kehidupan nya masing-masing. Ini berarti bahwa walaupun ada acuan pola perkembangan anak secara umum, dan kenyataan anak sebagai individu berkembang dengan potensi yang berbeda-beda.

Kedua, Anak mengekspresikan prilakunya secara relatif spontan. Ekspresi perilaku secara spontan oleh anak akan menampakan bahwa perilaku yang dimunculkan anak bersifat asli atau tidak ditutup-tutupi. Dengan kata lain tidak ada penghalang yang dapat membatasi ekspresi yang di rasakan oleh anak. Anak membantah atau menentang kalau ia merasa tidak suka. Begitu pula halnya dengan sikap marah, senang, sedih, dan menangis kalau ia dirangsang oleh situasi yang sesuai dengan ekspresi tersebut.

Ketiga, Anak bersifat aktif dan energik. Bergerak secara aktif bagi anak usia prasekolah merupakan suatu kesenangan yang kadang kala terlihat seakan-akan tidak ada hentinya. Sikap aktif dan energik ini akan tampak lebih intens jika ia menghadapi suatu kegiatan yang menyanangkan.

Keempat, Anak itu egosentris. Sifat egosentris yang dimiliki anak menyebabkan ia cenderung melihat dan memiliki sesuatu dari sudut pandang dan kepentingan sendiri.

(27)

18

Kelima, Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal. Anak pada usia ini juga mempunyai sifat banyak memperhatikan, membicarakan dan mempertanyakan berbagai hal yang dilihat dan didengarnya terutama berkenaan dengan hal-hal yang baru.

Keenam, Anak bersifat eksploratif dan petualang. Ada dorongan rasa ingin tahu yang sangat kuat terhadap segala sesuatu, sehingga anak lebih senang untuk mencoba, menjelajah, dan ingin mempelajari hal-hal yang baru. Sifat seperti ini misalnya, terlihat pada saat anak ingin membongkar pasang alat-alat mainan yang ada.

Ketujuh, Anak umumnya kaya dengan fantasi. Anak menyenangi hal yang bersifat imajinatif. Oleh karena itu, mereka mampu untuk bercerita melebihi pengalamannya. Sifat ini memberikan implikasi terhadap pembelajaran bahwa bercerita dapat dipakai sebagai salah satu metode belajar.

Kedelapan, Anak masih mudah frustrasi. Sifat frustrasi ditunjukkan dengan marah atau menangis apabila suatu kejadian tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sifat ini juga terkait dengan sifat lainnya seperti spontanitas dan egosentris.

Kesembilan, Anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Apakah suatu aktivitas dapat berbahaya

(28)

19

atau tidak terhadap dirinya, seorang anak bahaya belum memiliki pertimbangan yang matang untuk itu. Oleh karena itu lingkungan anak terutama untuk kepentingan pembelajaran perlu terhindar dari hal atau keadaan yang membahayakan.

Kesepuluh, Anak memiliki daya perhatian yang pendek. Anak umumnya memiliki daya perhatian yang pendek kecuali untuk hal-hal yang sangat disenanginya.

Kesebelas, Anak merupakan usia belajar yang paling potensial. Dengan mempelajari sejumlah ciri dan potensi yang ada pada anak, misalnya rasa ingin tahu, aktif, bersifat eksploratif dan mempunyai daya ingat lebih kuat, maka dapat dikatakan bahwa pada usia anak-anak terdapat kesempatan belajar yang sangat potensial. Dikatakan potensial karena pada usia ini anak secara cepat dapat mengalami perubahan yang merupakan hakikat dari proses belajar. Oleh karena itu, lingkungan pembelajaran untuk anak perlu dikembangkan sesuai potensi yang dimilikinya.

Keduabelas, Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.Anak mempunyai keinginan yang tinggi untuk berteman. Anak memiliki kemampuan untuk bergaul dan bekerjasama dengan teman lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak usia dini yaitu anak yang mengalami

(29)

20

pertumbuhan yang pesat pada perkembangan fisiknya, aktif, menyukai permainan, unik, egosentris, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, makhluk sosial, kaya kreativitas dan imajinasi dengan masa belajar yang paling potensial.

c. Perkembangan Anak Usia Dini

Menurut Montessori (dalam Asmani, 2009:17), mengatakan bahwa “masa anak usia dini ini merupakan periode sensitif di mana anak secara mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Pada masa peka inilah terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon dan mewujudkan semua tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilakunya sehari-hari”.

Berdasarkan teori perkembangan anak, diyakini bahwa setiap anak lahir dengan lebih dari satu bakat. Untuk itulah anak perlu diberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangannya dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya. Orang dewasa perlu memberi peluang pada anak untuk menyatakan diri, berekspresi, berkreasi, dan menggali sumber-sumber terunggul pada anak. Untuk itu, paradigma baru bagi ana usia dini atau anak prasekolah adalah harus berorientasi pada anak (student centered) dan perlahan-lahan menyeimbangkan dominasi pendekatan lama yang berpusat pada guru (teacher centered).

(30)

21

Menurut Piaget dalam Suyanto (2003: 56-72), anak memiliki 4 tingkat perkembangan kognitif yaitu tahapan sensori motorik (0-2 tahun), pra operasional konkrit (2-7 tahun), operasional konkrit (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas). Dalam tahap sensori motorik (0-2 tahun), anak mengembangkan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan dengan gerakan dan tindakan fisik. Anak lebih banyak menggunakan gerak reflek dan inderanya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Pada perkembangan pra operasional, proses berpikir anak mulai lebih jelas dan menyimpulkan sebuah benda atau kejadian walaupun itu semua berada di luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya. Pada tahap operasional konkrit, anak sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan sederhana yang bersifat konkrit dan dapat memahami suatu pernyataan, mengklasifikasikan serta mengurutkan. Pada tahap operasional formal, pikiran anak tidak lagi terbatas pada benda-benda dan kejadian di depan matanya. Pikiran anak terbebas dari kejadian langsung. Dilihat dari perkembangan kognitif, anak usia dini berada pada tahap pra operasional. Anak mulai proses berpikir yang lebih jelas dan menyimpulkan sebuah benda atau kejadian walaupun itu semua berada di luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan

(31)

22

tangannya. Anak mampu mempertimbangkan tentang besar, jumlah, bentuk dan benda-benda melalui pengalaman konkrit. Kemampuan berfikir ini berada saat anak sedang bermain.

Menurut Montessori (dalam Asmani, 2009:18), paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut: 1) Sejak lahir sampai usia 3 bulan, anak memiliki kepekaan

sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.

2) Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap). 3) Masa usia 2-4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat

dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).

4) Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4-6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.

Menurut Catron Allen Catron dan Allen (dalam Nurin Hasan, 2007:34) menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek

(32)

23

perkembangan anak usia dini yaitu kesadaran personal, kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi, kognisi, dan keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan sebagai fungsi interaksi. Kreatifitas tidak dipandang sebagai perkembangan tambahan, melainkan sebagai komponen yang integral dari lingkungan bermain yang kreatif.

Pertumbuhan anak pada enam aspek perkembangan di bawah ini membentuk fokus sentral dari pengembangan kurikulum bermain kreatif pada anak usia dini.

1) Kesadaran Personal

Permainan kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal. Bermain membantu anak untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak dapat menemukan hal baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikkan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan ini membuat anak menjadi berkompeten.

2) Pengembangan Emosi

Melalui bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan cara yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal diri mereka sendiri dan untuk

(33)

24

mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam hidup.

Perkembangan emosi anak usia 48-60 bulan adalah anak akan dengan cepat belajar marah karena marah merupakan cara yang sederhana dan mudah untuk memuaskan kebutuhannya, anak dapat menyadari bahaya yang dahulu belum diketahuinya, ketika perhatian orang tua dialihkan kepada orang lain anak mulai merasakan kedudukannya sebagai anak yang dikasihi mulai terancam, masa yang paling menyenangkan bagi anak ialah senang akan keberhasilan, rasa ingin tahu anak akan segala hal besar, adanya keinginan anak untuk selalu menang dari seorang anak sangat besar, yang dinyatakan melalui perilaku selalu ingin mendapat pujian.

3) Membangun Sosialisasi

Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain. Bermain adalah sarana paling utama bagi pengembangan kemampuan bersosialisasi dan memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme. Bermain dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak.

Melalui bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja sama, saling membantu, dan

(34)

25

berbagi. Saat bermain, ketika bertengkar, anak biasanya mengambil barang yang sedang dipegang temannya, atau merusak barang/pekerjaan temannya. Berteriak dengan keras, menangis, menendang, marah, tetapi hanya dalam waktu singkat, pertengkaran itu segera terlupakan dan tidak menaruh dendam, bahkan sudah berdamai lagi.

4) Pengembangan Komunikasi

Bermain merupakan alat yang paling kuat untuk membelajarkan kemampuan berbahasa anak. Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan menembangkan daya penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan.

Secara spesifik, bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini : bahasa reseptif (penerimaan), yaitu mengikuti petunjukpetunjuk dan memahami konsep dasar; bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan, perasaan: penggunaan kata-kata, frase-frase, kalimat: berbicara secara jelas dan terang; komunikasi nonverbal, yaitu penggunaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat tubuh,isyarat tangan dan

(35)

26

memori pendengaran/perbedaan, yaitu memahami bahasa berbicara dan membedakan bunyi.

5) Pengembangan Kognitif

Bermain dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan, untuk bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima pengalaman baru, memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain dan mulai memasukkan dunia mereka.

Bermain adalah awalan dari semua fungsi kognitif selanjutnya, oleh karenanya bermain sangat diperlukan dalam kehidupan anak-anak. Konsep yang dimiliki oleh anak usia 48-60 bulan adalah konsep tentang mati dan hidup yaitu bahwa barang dan manusia itu sama, memiliki nyawa atau hidup. Anak-anak suka memanusiakan barang-barang, menganggap mereka “hidup”, jadi sulit bagi anak-anak untuk mengerti tentang kematian.

Selain itu, adalah konsep tentang ruang, melalui bermain anak belajar mengenal jarak, kanan dan kiri, serta mampu membedakan bentuk besar atau kecil. Sedangkan mengenai konsep tentang angka yaitu bagi anak-anak, angka tidak memunyai arti yang besar. Anak memang

(36)

27

mengenal arti angka satu hingga sepuluh tetapi masih kabur tentag konsep angka. Selain itu, konsep tentang diri yaitu anak akan merasa tertarik akan dirinya sendiri dan dapat membedakan dirinya laki-laki atau perempuan, bahkan mengenal nama-nama organ tubuhnya.

6) Pengembangan Kemampuan Motorik

Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan, aktivitas sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan perseptual motorik.

Bermain dapat memacu perkembangan perseptual motorik pada beberapa area yaitu: koordinasi mata-tangan atau mata-kaki, seperti saat menggambar, menulis, manipulasi objek, mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, menendang; kemampuan motorik kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan, melompat, berbaris, berlari, berguling-guling, dan merayap; kemampuan bukan motorik kasar (statis) seperti menekuk, meraih, bergiliran, memutar, meregangkan tubuh, jongkok, duduk, berdiri, bergoyang; manajemen tubuh dan kontrol seperti menunjukkan kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat, keseimbangan,

(37)

28

kemampuan untuk memulai, berhenti dan mengubah petunjuk.

Menurut Susanto (2017:13) perkembangan setiap anak memiliki pola yang sama, walaupun kecepatannya berbeda. Setiap anak mengikuti pola yang dapat diramalkan dengan cara dan kecepatannya sendiri. Beberapa pola perkembangan tersebut antara lain sebagai berikut : (1) perekembangan fisik, mengikuti hokum perkembangan yang disebut “cephalocaudal” dan “proximodistal”. Hokum cephalocausal menyatakan bahwa perkembangan dimulai dari kepala kemudian menyebar keseluruh tubuh sampai kaki. Sementara itu, hokum proximodistal menyatakan bahwa perkembangan bergerak dari pusat sumbu ke ujungnya, atau dari sebagian yang dekat sumbu pusat tubuh kebagian yang lebih jauh; (2) perkembangan bergerak dari tanggapan umum menuju ke tanggapan khusus, bayi pada awal perkembangan memberikan reaksi dengan menggerakkan seluruh tubuh. Semakin lama ia kan mampu memberikan reaksi dalam bentuk gerakan khusus. Demikian seterusnya dalam hal lain-lain; (3) perkembangan berlangsung secara berkesinambungan. Proses perekembangan diawali dari bertemunya sel sperma dan ovum yang disebut ovulasi; (4) terdapat periode keseimbangan dan ketidakseimbangan. Setiap anak mengalami periode masa

(38)

29

bahagia, mudah menyesuaikan diri dan lingkungan bersikap positif terhadapnya, terdapat juga masa ketidakseimbangan yang ditandai dengan kesulitan anak untuk menyesuaikan diri, sulit diatur, dan emosi negatif; (5) terdapat tugas perkembangan yang harus dilalui anak dari waktu kewaktu. Tugas perkembangan adalah sesuatu yang harus dilalui atau dicapai oleh anak berdasarkan tahap usianya. Bersifat khas sesuai dengan tuntutan dan ukuran yang berlaku di masyarakat.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak usia dini adalah suatu tahapan perkembangan yang terdiri atas perkembangan fisik dan psikis yang harus dilalui dengan pola yang berbeda pada setiap anak dan saling berkaitan dan berkesinambungan.

2. Hakikat Kemandirian Anak

a. Pengertian Kemandirian Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mandiri diartikan sebagai keadaan yang dapat menjadikan individu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian sendiri merupakan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Alwi, 2012:710).

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh kumulatif selama masa perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam

(39)

30

menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu tersebut pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Kemadirian adalah satu pribadi yang harus dibentuk sejak dini, karena kemandirian adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Syafri, 2012:1).

Kemandirian juga dapat diartikan sebagai keterampilan untuk membantu diri sendiri, baik kemandirian secara fisik maupun secara psikologis. Kemadirian secara fisik adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri, sedangkan kemampuan kemandirian secara psikologis adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Parker (dalam Yamin, 2012:88) mengatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengelola waktu, berjalan dan berfikir secara mandiri, disertai dengan kemampuan untuk memecahkan masalah.

Sedangkan Koentjaraningrat (dalam Yamin, 2012:88) berpendapat bahwa kemandirian adalah bagian dari kepribadian yang merupakan susunan akal yang dapat menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari setiap individu.

Pribadi yang mandiri adalah kemampuan hidup yang utama dan salah satu kebutuhan setiap manusia diawal usianya.

(40)

31

Anak meskipun usianya sangat muda namun diharuskan memiliki pribadi yang mandiri. Hal ini diperlukan karena ketika anak terjun kelingkungan di luar rumah sudah tidak tergantung kepada orang tua (Yamin, 2012:77).

Menurut Bachruddin Musthafa (Wiyani, 2017:35) kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan menerima konsekuensi yang menyertainya. Kemandirian pada Anak-anak terwujud jika mereka menggunakan pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan. Tumbuhnya kemandirian pada anak-anak bersamaan dengan munculnya rasa takut atau kekhawatiran dalam berbagai bentuk dan intensitas yang berbeda-beda.

Sementara menurut Syamsu Yusuf (Wiyani, 2017:35) menyatakan kemandirian dapat disebut juga dengan istilah autonomi merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat (healty personality). Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku dilingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah bagian dari kepribadian yang merupakan kemampuan untuk mengelola waktu, berjalan dan berfikir secara mandiri, disertai dengan kemampuan untuk memecahkan masalah.

(41)

32

b. Aspek-aspek Kemandirian

Menurut Wiyani (2017:39) kemandirian pada anak usia dini ditandai dengan beberapa aspek yaitu:

1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.

Anak yang memiliki kepercayaan diri sendiri memiliki keyakinan untuk melakukan sesuatu sesuai yang dipilihnya sendiri.

2) Memiliki motivasi intrinsik yang tinggi.

Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan suatu perilaku maupun perbuatan. Motivasi yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

3) Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri.

Anak yang mandiri memiliki kemampuan dan berani dalam menentukan pilihannya sendiri. Contohnya seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan untuk bermain.

4) Kreatif dan inovatif.

Anak melakukan atau menciptakan sesuatu atas ide yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan suka mencoba hal-hal yang baru.

(42)

33 5) Bertanggung jawab.

Anak yang mandiri akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi. Misalnya tidak menangis ketika ia salah mengambil alat mainan, dengan senang hati mengganti dengan alat mainan yang lain yang diinginkannya.

6) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Anak yang mandiri akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Contohnya anak tidak menangis dan tetap belajaar di sekolah meski tidak didampingi atau ditunggu oleh orang tua di sekolah.

7) Tidak bergantung pada orang lain.

Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan segala sesuatu dan dia akan tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain. Karakter mandiri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif dan mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya, serta ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Menurut Martin (dalam Yamin, 2013:79) terdapat beberapa aspek dalam kemandirian pada anak, yaitu:

1) Self-regulation, anak mampu menyesuaikan tingkah laku agar sesuai dengan apa yang mereka ketahui dapat diterima

(43)

34

oleh lingkungan sosialnya. Anak berusaha menghindari tingkah laku-tingkah laku yang menurut pengalamannya tidak harus dan tidak patut dilakukan. Tingkah laku-tingkah laku yang menjadi indicator adanya self-regulation diantaranya dapat memasukkan makanan ke dalam mulut dengan benar, dapat menggunakan alat makan/minum dengan benar, membuang sampah pada tempatnya, mau merapikan mainan ke tempat semula, makan dengan rapi, mau bersalaman dengan orang baru, makan dan minum pada waktu yang ditetapkan, mau menghabiskan makanan atau memberitahukan kalau sudah kenyang, mau mengikuti permainan dengan teman-teman dan mematuhi peraturan yang ada, tidak meminta bantuan terus menerus, mau tidur sendiri, tidak menangis saat ditinggal, dan mau meminjamkan mainan pada temannya.

2) Self-control, anak mengendalikan tingkah lakunya susai dengan tuntutan sosial yaitu jenis perilaku yang disenangi oleh orangtua dirumah atau guru disekolah. Tingkah laku – tingkah laku yang menjadi indicator adanya self-control diantaranya bisa duduk atau jongkok di WC dengan posisi yang benar, tidak mengompol, dan tidak merengek saat menyampaikan sesuatu.

(44)

35

3) Self-efficacy, anak memiliki perasaan mampu mengerjakan sendiri sesuatu secara efektif. Tingkah laku – tingkah laku yang menjadi indicator adanya self-efficacy diantaranya mau membereskan mainan tanpa disuruh, mengambil gelasnya sendiri dengan satu tangan, mencoba menyisir rambut sendiri, mencoba menggososk gigi sendiri tanpa dibantu, menolak bantuan yang ditawarkan apabila merasa mampu. 4) Self-determination, anak mampu menentukan sendiri apa

yang ingin atau dilakukannya. Tingkah laku-tingkah laku yang menjadi intikator adanya self determination diantaranya bisa memilih baju yang akan dipakai, memilih mainan sendiri, dan mampu menentukan makanan atau hal lain kesukaannya.

Secara hakiki, perkembangan kemandirian seseorang adalah merupakan perkembangan hakikat eksitensi manusia, dimana perilaku mandiri itu adalah perilaku yang sesuai dengan hakikat eksistensi diri. Oleh karena itu kemandirian adalah hasil dari suatu prosedur perkembangan diri yang normatif, terarah sejalan dengan tujuan hidup manusia. Kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu seseorang yang diperoleh melalui proses mencari jati diri menuju kesempurnaan (Yamin, 2013:80).

Kemandirian seseorang juga berkembang secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan hidupnya. Hal ini

(45)

36

juga diperlukan dengan tujuan pendidikan nasioanl yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dalam menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggung jawab (Yamin, 2013:80).

Kemandirian pada anak sangat diperlukan karena dengan kemandirian, anak bisa menjadi lebih bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya. Anak-anak yang memiliki kemandirian secara normal akan cenderung lebih positif di masa depannya. Anak yang mandiri cenderung berprestasi karena dalam menyelesaikan tugas-tugasnya anak tidak lagi tergantung pada orang lain. Sehingga anak bisa lebih percaya diri. Anak yang mandiri yakin, jika ada resiko ia mampu untuk menyelesaikannya tanpa bantuan dari orang lain.

Dengan begitu anak akan tumbuh menjadi orang yang mampu untuk berfikir serius dan berusaha untuk menyelesaikan sesuatu yang menjadi targetnya. Demikian juga di lingkungan keluarga dan sosial, anak yang mandiri akan mudah menyesuaikan diri. Ia akan mudah untuk diterima oleh anak-anak dan teman-teman di sekitarnya. Anak yang sudah mandiri juga dapat memanfaatkan lingkungan untuk belajar, dapat membantu temannya untuk belajar mandiri.

(46)

37

Dari uraian di atas, maka maka dapat disimpulkan beberapa aspek kemandirian anak usia dini, antara lain: (1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri; (2) Memiliki motivasi intrinsik yang tinggi; (3) Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri; (4) Kreatif dan inovatif.; (5) Bertanggung jawab; (6) Penyesuaian diri; (7) tidak ketergantungan; (8) pengendalian diri.(9) Komunikasi; dan (10) dapat berinteraksi.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak

Muhammad Asrori (dalam Yamin, 2013:82) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah keturunan orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah, sistem kehidupan di masyarakat.

1) Keturunan Orang Tua

Faktor keturunan lebih menekankan pada aspek biologis yang dibawa melalui aliran darah dalam kromosom. Karena itu, faktor genetis cenderung bersifat statis untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Kalau sejak awal, orang tua memiliki karakteristik fisiologis dan psikologis yang sehat, maka dapat dipastikan akan menurunkan generasi yang sehat, dan sebaliknya apabila orang tua tidak sehat maka keturunanannya pun mengalami gangguan atau penyimpangan secara fisik maupun psikis. Aspek psikis yang dapat diturunkan kepada generasi

(47)

38

berikutnya adalah seperti: intelligensi, bakat, kemampuan, minat, dan kepribadian (Dariyo, 2007:44).

Menurut paparan di atas jelas, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian seorang anak adalah keturunan orang tua sebab di dalam tubuh anak mengalir darah dari orang tuanya, dari aspek psikis orang tua yang menurun kepada anak salah satunya adalah kepribadian, dimana kepribadian menurut McDougal (dalam Yusuf, 2013:126) adalah tingkatan sifat-sifat dimana biasanya sifat yang tinggi tingkatannya mempunyai pengaruh yang menentukan. Kepribadian yang dapat menentukan keberhasilan seorang anak salah satunya adalah kemandirian.

2) Pola Asuh Orang Tua

Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Dalam keluarga, kemandirian adalah sifat yang harus dibentuk oleh orang tua dalam membangun kepribadian anak-anak mereka. Pada saat ini orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Maka dari itu orang tua harus memperhatikan pola asuh yang baik untuk anaknya, untuk melatih kemandirian anak (Mustari, 2014:77).

(48)

39 3) Sistem Pendidikan di Sekolah

Pendidikan di sekolah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian anak. Karena, di sekolah anak mendapatkan pendidikan di luar lingkungan keluarga atau orang tuanya. Dari kegiatan kegiatan yang dilakukan di sekolah, dengan tidak sengaja akan menumbuhkan kemandirian pada diri anak. Misalnya: anak dapat menyelesaikan permainan terlebih dahulu dibandingkan dengan temannya, bertanggung jawab akan tugas yang diberikan guru, membereskan peralatan makan sendiri dan lain-lain, mudah bersosialisasi dan berempati kepada orang lain.

4) Sistem Kehidupan di Masyarakat

Kehidupan di masyarakat atau lingkungan dimana tempat anak tinggal tentu memiliki peran besar bagi perubahan kemandirian anak, akankah peran itu akan menjadi positif ataupun negatif. Hal ini, tergantung bagaimana karakteristik kehidupan di masyarakat dimana anak tinggal. Lingkungan yang baik tentu akan membawa pengaruh yang positif untuk anak, sebaliknya lingkungan yang kurang baik cenderung memperburuk perkembangan anak termasuk kemandiriannya.

(49)

40

Menurut Soetjiningsih (1995:64) menyatakan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak satu dengan anak yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan individual anak. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak, yaitu: 1) Faktor internal

a) Faktor emosi ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.

b) Faktor intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan mengatasi masalah yang dihadapi anak. 2) Faktor Eksternal

a) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan kebebasan untuk bergerak ke sana ke mari dan mempelajari lingkungan.

b) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak, misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan tingkat kemandirian anak- anak dari keluarga kaya.

c) Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri disbanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

(50)

41

d) Poal asuh, anak dapat mandiri dengan diberi kesempatan, dukungan dan peran orangtua sebagai pengasuh.

e) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya karena jika diberikan berlebihan, anak menjadi kurang mandiri. Hal ini dapat diatasi bila interaksi dua arah anatar orangtua dan anak berjalan lancer dan baik.

f) Kualitas informasi anak dan orangtua yang dipengaruhi pendidikan orangtua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan pada anak karena orangtua dapat menerima informasi dari luar terutama cara meningkatkan kemandirian anak. g) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja di luar

rumah untuk mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja dapat memantau langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya.

Berdasarkan faktor-faktor kemandirian di atas, dapat kita ketahui bahwasannya keturunan orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah dan sisten kehidupan di masyarakat sangat berpengaruh pada kemandirian anak. Namun

(51)

42

dari beberapa faktor tersebut, yang harus kita perhatikan dengan baik adalah faktor dimana anak akan terjun ke sekolah, dari sistem pendidikan di sekolah kegiatan permainan yang diberikan oleh guru akan melatih kemandirian anak. Oleh sebab itu, seorang guru TK harus melatih kemandirian anak dengan baik, memberikan rangsangan-rangsangan sehingga akan tumbuh sikap kemandirian pada anak.

d. Perkembangan Kemandirian Anak usia 3-4 tahun

Kemandirian pada anak mulai berkembang di usia 3-4 tahun atau ketika anak memasuki tahapan autonomy vs shame and doubt menurut teori perkembangan psikososial Erikson.

Ketika memasuki tahapan ini, anak mulai merasa kalau dirinya sudah besar dan berusaha untuk melepaskan diri dari Caregiver atau orang-orang yang dekat dengan mereka dengan cara menjadi mandiri. Bentuk kemandirian anak ditahapan ini biasanya ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap bantuan yang ditawarkan. Misalnya menolak dibantu saat berpakaian, ingin makan sendiri meskipun ada yang tercecer, ingin membereskan mainan sendiri meskipun belum rapi benar, ingin jalan sendiri dan lain semacamnya (Papalia, Ods, & Feldman, 2009).

Pada usia-usia ini, tingkah laku-tingkah laku mandiri yang ditampilkan anak cenderung berupa tingkah laku yang sesuai

(52)

43

dengan tingkah laku yang diinginkan lingkungannya. Caregiver pada tahapan ini memiliki tugas untuk mendorong perilaku-perilaku itu agar muncul tidak lagi karena perilaku-perilaku itu diinginkan lingkungannya, tetapi karena adanya keinginan dari dalam diri anak untuk berlaku mandiri (Martin, 2000).

Erikson (1950) dalam (papalia, Old, & Feldman, 2009) mengidentifikasi usia 1,5-3 tahun sebagai tahap kedua dalam perkembangan kepribadian (autonomy vs shame and doubt) yang ditandai dengan adanya perubahan dari control eksternal ke control internal (self-control). Pada tahapan ini, nilai yang berkembang adalah will.

Setiap anak memiliki kemampuan yang unik untuk memahami sesuatu, tidak hanya menerima saja, tetapi punya inisiatif untuk mandiri, dalam memahami dan mengambil keputusan sendiri dalam tindakannya. Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan diri dan motivasi yang tinggi. Sehingga setiap tingkah lakunya tidak banyak menggantungkan diri pada orang lain. Anak yang kurang mandiri selalu ingin ditemani oleh orang tua atau orang terdekatnya, baik pada saat sekolah maupun pada saat bermain.

Watkins (dalam Yamin, 2013:85) berpendapat bahwa seorang anak yang memiliki kemandirian yang tinggi cenderung memiliki gaya belajar yang kreatif. Anak yang mandiri adalah

(53)

44

anak yang kreatif yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan individunya yang dipengaruhi oleh faktor keluarga (di rumah) maupun dilingkungan sekitarnya (sekolah). Anak yang mandiri untuk ukuran anak usia dini terlihat dengan ciri sebagai berikut:

1) Dapat melakukan segala aktivitasnya secara sendiri

Anak mulai mengembangkan kemandirian ditandai dengan kebebasan melakukan sesuatu dengan sendiri. Kebebasan disini yaitu anak melakukan segala aktivitas yang mereka inginkan dengan sendiri namun tetap pada pengawasan orang dewasa. Misalnya: anak dapat pergi ketoilet sendiri, memakai baju dan sepatu sendiri, mengambil makan dan minum sendiri.

2) Dapat membuat keputusan dan pilihan sesuai dengan pandangan

Pandangan itu sendiri diperolehnya dari melihat perilaku atau perbuatan orang-orang disekitarnya. Dalam hal ini, anak mampu mengambil contoh dari apa yang mereka lihat/pandang. Oleh karena itu, perlulah anak dilatih kemandiriannya sejak dini, agar anak mampu mengambil keputusan yang positif untuk diri anak.

(54)

45

3) Dapat bersosialisasi dengan orang lain

Bersosialisasi ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu orang lain untuk melakukan tindakan. Bersosialisasi sangat berpengaruh pada perkembangan kemandirian anak, anak yang mudah bersosialisasi akan mudah mencari teman dan berinteraksi kepada orang lain dengan baik.

4) Dapat mengontrol emosinya bahkan dapat berempati terhadap orang lain

Emosi yang baik akan membuat teman-teman dan orang lain di lingkungan sekitar anak akan merasa nyaman sehingga anak pun akan merasakan hal yang sama. Dengan anak merasa nyaman dengan orang lain, anak akan mudah untuk berempati dengan orang lain. Namun jika hal tersebut tidak terjadi maka anak mungkin akan mengalami masa sulit dan terbelakang karena minder. Oleh karena itu, peran orang dewasa (guru dan orang tua) dalam membantu anak untuk melatih kemandiriannya (Yamin, 2013:83).

Sementara itu, menurut Wiyani (2017:33) ciri-ciri kemandirian anak usia dini adalah sebagai berikut:

(55)

46

1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri

Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk melkaukan sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab terhadap konsekwensi yang dapat ditimbulkan karena pilihannya.

2) Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi.

Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan suatu perilaku maupun perbuatan. Motivasi instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua motivasi tersebut bisa berkurang dan bertambah. Motivasi yang datang dari dalam mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

3) Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri

Anak yang berkarakter mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihannya sendiri. Contohnya seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan untuk bermain, serta dapat memilih mana sandal untuk kaki kanan dan mana sandal untuk kaki kiri.

(56)

47 4) Kreatif dan inovatif

Kreatif dan inovatif pada anak usia dini merupakan salah satu ciri anak yang memiliki karakter mandiri, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak bergantung terhadap orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai dan selalu ingin mencoba hal-hal baru.

5) Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya

Pada saat anak usia dini mengambil keputusan atau pilihan tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi.

6) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang baru bagi anak usia dini, bagi mereka yang memiliki karakter mandiri, anak akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui oleh orangtuanya.

7) Tidak bergantung pada orang lain

Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak bergantung kepada orang lainbdan dia tau kapan waktunya meminta bantua orang lain.

(57)

48

Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa kemandirian anak adalah keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, mampu bersosialisasi, dapat melakukan aktivitasnya sendiri, dapat membuat keputusan sendiri dalam tindakannya, dan dapat berempati dengan orang lain. Oleh karena itu, mendidik anak untuk mandiri dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang cukup. Orang tua maupun guru tidak boleh melupakan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, maka anak tidak boleh dituntut menjadi seperti orang dewasa.

Beberapa hal yang harus menjadi perhatian orangtua dan para guru dalam menanamkan kemandirian pada anak usia dini adalah sebagai berikut:

1) Memberikan Kepercayaan

Suasana sekolah yang terasa asing dan berat bagi anak-anak, menumbuhkan harapan bagi orang tua dan guru agar anak bisa menjadi anak yang lebih baik. Dalam hal ini, guru perlu menanamkan rasa percaya diri dalam diri anak-anak dengan memberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang mampu dilakukan sendiri.

2) Memberikan Kebiasaan

Seorang guru harus memberikan kebiasaan yang baik kepada anak sesuai usia dan tingkat perkembangannya,

(58)

49

sikap kemadirian akan muncul dengan sendirinya melalui pembiasaan yang dilakukan oleh guru. Misalnya: membuang sampah pada tempatnya, mencuci tangan, merapikan alat permainan lalu meletakkan pada tempatnya Melakukan Komunikasi

Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial. Komunikasi merupakan hal penting dalam melatih kemandirian anak. Oleh karena itu, seorang guru harus melakukan komunikasi yang baik dengan peserta didik, yaitu melalui bahasa yang dimengerti oleh anak dan gaya komunikasi yang baik.

3) Menanamkan Sikap Disiplin

Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Maka dari itu, kemandirian erat kaitannya dengan disiplin, yang merupakan proses yang dilakukan oleh pengawasan dan bimbingan dari orang tua dan guru yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh dengan peraturan yang sesuai dengan usia anak (Yamin, 2013:94-95).

B. Kerangka Berpikir

Hasil observasi di Kelompok Bermain (KB) - Taman Kanak-kanak (TK) Gemintang, Bojongsari Depok masih ditemukan anak yang yang tidak mandiri, penakut, pencemas, manja, cengeng, pemalu,

(59)

50

atau tidak mau ditinggal orang tuanya. Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada persoalan pendidikan kemandirian pada anak usia dini yang akan memberikan solusi alternatif pada problem pendidikan anak usia dini.

Kemandirian anak adalah keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, mampu bersosialisasi, dapat melakukan aktivitasnya sendiri, dapat membuat keputusan sendiri dalam tindakannya, dan dapat berempati dengan orang lain. Oleh karena itu, mendidik anak untuk mandiri dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang cukup. Oleh sebab itu, baik guru maupun orang tua sangat bertanggungjawab terhadap perkembangan kemandirian anak. Bagi orang tua, untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Dalam keluarga, kemandirian adalah sifat yang harus dibentuk oleh orang tua dalam membangun kepribadian anak-anaknya.

Selain itu, pendidikan di sekolah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian anak. Karena, di sekolah anak mendapatkan pendidikan di luar lingkungan keluarga atau orang tuanya. Dari kegiatan kegiatan yang dilakukan di sekolah, dengan tidak sengaja akan menumbuhkan kemandirian pada diri anak. Misalnya: anak dapat menyelesaikan permainan terlebih dahulu dibandingkan dengan temannya, bertanggung jawab akan tugas yang

(60)

51

diberikan guru, membereskan peralatan makan sendiri dan lain-lain, mudah bersosialisasi dan berempati kepada orang lain.

(61)

52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di KB/TK Gemintang, yang terletak di Jalan Serua Kencana VI Blok B1/G12A, Wates Bojongsari, Depok.

2. Waktu Penelitian

Adapun waktu penelitian dilakukan pada bulan Nopember tahun 2017 sampai dengan Mei tahun 2018, terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3.1 Waktu Penelitian No Kegiatan Bulan 10 11 12 1 2 3 4 5 1 Konsultasi Pembimbing 2 Penyusunan Pedoman Observasi dan Wawancara 3 Memberikan Surat izin

Penelitian 4 Observasi 5 Wawancara

6 Pengumpulan Data 7 Analisis Data

(62)

53 8 Perlengkapan skripsi

9 Pendaftaran Sidang Skripsi

B. Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (2013:59) metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dikembangkan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.

Penelitian kualitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono (2013:61), merupakan metode baru karena popularitasnya belum lama, metode ini juga dinamakan postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat post positifisme, serta sebagai metode artistik karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil peneletian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang di temukan di lapangan. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut juga metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya.

Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor dikutip oleh Moleong (2009:181) mengemukakan pendekatan kualitatif sebagai prosedur

Gambar

Gambar 3.2  Tringulasi Teknik

Referensi

Dokumen terkait

Strategi pembiasaan shalat berjama‟ah dalam meningkatkan kedisiplinan siswa di MI Hidayatul Mubtadi‟in Wates dan MIN Pandansari Ngunut Tulungagung ... Metode pembiasaan

DANCAYAAAI SA DALAM XOLOM. '

Sertifikat kompetensi (SK) yang dikeluarkan oleh Kolegium Dokter Parasitologi Klinik Indonesia (KPDSPARKI), bersama dengan Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh

Hubungan antara potensi kerja pemulung dengan kondisi barang bekas sebagai hasil mulungnya dan kemitraan dengan pembuatan alat peraga edukatif untuk lembaga PAUD menjadi

Penampilan bagian dalam tempat usaha “Iga -Iga Bakso Mas Elo” dari sebelah kanan?. Kegiatan produksi pada usaha “Iga - Iga Bakso

dapat dipercaya kebenaran dan keandalannya, sehingga diharapkan dapat menjamin keamanan kekayaan perusahaan. b) Dalam melaksanakan fungsi masing- masing, setiap

Di dalam pendidikan islam seorang guru itu diharuskan berpengetahuan tentang kesediaan dan tabiat anak-anak serta memperhatikan hal-hal ini dalam mengajar, agar dapat dipilihkan

Imaging spectroscopy (IS), or hyperspectral remote sensing (HRS), is an advanced tool that provides high spectral resolution data in an image, with the aim of