• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TELAAH PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1.1. Dasar – Dasar Perpajakan

Pajak merupakan salah satu wujud kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali potensi dalam negeri dan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, guna membiayai pengeluaran rutin serta pengembangan social dan ekonomi masyarakat. Pajak serta bebas dapat dikatakan suatu kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa Pembangunan Nasioanl yang pelaksanaanya diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

2.1.2. Pengertian Pajak

Pengertian pajak secara awam merupakan iuran dalam bentuk uang (bukan barang) yang dipungut oleh pemerintah (negara) dengan suatu peraturan tertentu (tarif tertentu) dan selanjutnya digunakan untuk pembiayaan kepentingan – kepentingan umum.

(2)

Menurut Mardiasmo (2007: 20), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 36 Tahun 2008, pajak merupakan iuran rakyat yang dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

Sedangkan menurut Sumarsan (2010:4), definisi pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Dari empat definisi yang telah disajikan dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).

b. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik secara rutin maupun pembangunan.

(3)

c. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak.

d. Pajak digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.

e. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undangundang serta aturan pelaksanaannya. pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undangundang serta aturan pelaksanaannya.

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Menurut Sumarsan (2010:7), agar tidak menimbulkan masalah pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil,

b. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian, c. Pemungutan pajak harus efisien,

(4)

2.1.3. Fungsi Pajak

Mardiasmo (2011:1-2) dalam buku Perpajakan: Edisi Revisi, menuliskan bahwa ada dua fungsi pajak yaitu:

1) Fungsi budgetair (Pendanaan)

Fungsi budgetair disebut juga fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas negara secara optimal berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang mempunyai historis pertama kali timbul.

2) Fungsi regulerend (Mengatur)

Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan yaitu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena hanya sebagai fungsi pelengkap dari fungsi utama. Untuk mencapai tujuan tertentu maka pajak digunakan sebagai alat kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Beberapa Contoh Pemungutan Pajak Yang Berfungsi Mengatur:

a. Pemberlakuan tarif progres ( dalam hal ini pajak berperan sebagai alat dalam redistribusi pendapatan )

(5)

b. Pemberlakuan bea masuk yang tinggi bagi barang impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.

c. Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan mendorong atau memotivasi para investor tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor untuk meningkatkan investasinya.

d. Pengenaan jenis pajak tertentu (PPN – BM), dengan maksud untuk menghambat gaya hidup mewah.

e. Pembebasan PPh atas sisa hasil usaha (SHU) koperasi yang diperoleh sehubungan dengan kegiatan usaha yang semata - mata dari dan untuk anggota.

2.1.4. Jenis - Jenis Pajak

Dalam penjelasan berbagai literatur terdapat perbedaan atau penggolongan pajak serta jenis-jenis pajak. Perbedaan pembagian atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak. Apakah beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, siapa yang memungut, serta sifat – sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Berikut ini adalah pembagian jenis pajak berdasarkan kriteria di atas menurut Pudyatmoko (2007) :

(6)

1. Menurut Golongan

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, misalnya Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2. Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak, misalnya PPh.

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, misalnya PPN dan PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)

3. Menurut Pemungutnya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara. Contohnya adalah PPh, PPN & PPn BM, dan Bea Materai.

(7)

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah. Contohnya adalah Pajak Reklame serta Pajak Hotel dan Restoran.

2.1.5. Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak Penghasilan ( PPh)

Waluyo (2008:87) mengemukakan Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional atau regresif. UU No 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No 36 Tahun 2008, (selanjutnya disebut dengan UU PPh).

Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

(8)

2.1.6. Dasar Hukum Pajak Penghasilan

1. Undang – undang No. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 Tahun 1984 tentang pajak penghasilan.

2. Keputusan Dirjen Pajak No. Kep. 161/PJ/2001 tentang jangka waktu pendaftaran dan penghapusan NPWP, serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.

2.1.7. Subjek Pajak

Waluyo (2009:89), Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

BerdasarkanUU PPh pasal 2 ayat (1) No. 36 Tahun 2008, yang menjadi subjek pajak adalah :

a. Orang pribadi

Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia atau di luar Indonesia.

b. Warisan

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.

(9)

c. Badan

Badan berdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

d. Bentuk Usaha Tetap

Bentuk Usaha Tetap yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

2.1.8. Subjek Pajak yang Dikecualikan

Berikut ini adalah dasar hukum pengecualian subjek pajak dan lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK.03/2008: 1. Pejabat – pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau

pejabat lain dari negara asing, dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama – sama mereka dengan syarat bukan WNI dan

(10)

di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di Indonesia, serta negara ybs memberikan perlakuan timbal balik.

2. Pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 2.1.9. Objek Pajak

Mardiasmo (2009:133), menyebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh.

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan.

c. Laba usaha.

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah

dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

(11)

g. Dividen.

h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

i. Sewa dan penghsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi.

o. Iuran yang diterima tau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. r. Imbalan bunga.

s. Surplus Bank Indonesia.

2.1.10. Pengecualian Sebagai Objek Pajak Penghasilan

Pertambahan kemampuan ekonomis berikut tidak termasuk sebagai obyek pajak penghasilan :

(12)

1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna.

2. Penerimaan dalam bentuk natura/kenikmatan kecuali penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk penerimaan dalam bentuk natura / kenikmatan yang diberikan oleh bukan WP/WP yang dikenakan PPh final.

3. Iuran pensiun dan iuran jaminan hari tua yang dibayar oleh pemberi kerja.

4. Penerimaan dalam bentuk natura/ kenikamatan yang diberikan oleh pemerintah.

5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemerintah.

6. Zakat yang diterima oleh OP yang berhak dari badan / lembaga amil zakat yang dibentuk/disyahkan oleh pemerintah.

2.1.11. Biaya Menurut UU Perpajakan

Menurut pajak, tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat diakui sebagai pengurang, meskipun biaya tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha. Hal ini disebabkan karena menurut ketentuan pajak, biaya fiskal digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yakni biaya – biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dan biaya – biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

(13)

a) Biaya yang dapat Dikurangkan

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang termasuk upah,, dan lain – lain atau biaya – biaya yang lazimnya disebut dengan biaya sehari – hari yang dibebankan pada tahun pengeluaran yang diperlukan. 2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta

berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan.

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta. 5. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. 8. Piutang tak tertagih.

9. Pemupukan dan cadangan.

(14)

b) Biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan

1. Pembayaran deviden, pembagian laba atau pembagian sisa hasil usaha (koperasi).

2. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.

3. Premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

4. Pemberian kenikmatan (bantuan pengobatan / konsumsi)

5. Hibah, bantuan dan sumbangan.

6. Pajak penghasilan / masa (PPh pasal 21, 22, 23, 25) 7. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan

kepada pihak – pihak tertentu.

8. Biaya atau pengeluuaran untuk kepentingan pribadi. 9. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuanyang

modalnya tidak terbagi atas saham. 10. Sanksi Pajak.

11. Beban sewa. 12. Komisi.

13. Uniform pegawai. 2.1.12. Tarif Pajak Penghasilan

KetentuanUU PPh pasal 17 ayat (1), besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang

(15)

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sebagai berikut. Wajib Pajak Badan dalam Negeri dan BUT

Tarif pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku tahun pajak 2010. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari pada tarif sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a yang di atur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Pemegang Saham adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final. Wajib Pajak dalam negeri dengan peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) dan Pasal 31 E.

Ketentuan Pasal 31 E UU PPh No.36 Tahun 2008, yang berbunyi :

(16)

1. Wajib Pajak dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-.

2. Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Jika Peredaran Bruto setahun Rp 4.800.000.000,- sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- maka perhitungan PPh Pasal 25 Badan adalah sebagi berikut :

Jumlah penghasilan yang mendapatkan fasilitas PPh sesuai Pasal 31E yaitu

Rp 4.800.000.000 / Peredaran Bruto X Laba Bersih Sebelum Pajak

Jumlah penghasilan yang tidak mendapat fasilitas PPh

Laba Bersih Sebelum Pajak – Jumlah Penghasilan yang Mendapat Fasilitas PPh

Apabila Peredaran Bruto melebihi jumlah Rp. 50.000.000.000,- maka perhitungan PPh pasal 25 adalah 25% dari penghasilan kena pajak yang dihasilkan dari laba sebelum

(17)

pajak, tarif diatas berlaku sebelum Juli tahun 2013. Namun setelah Juli 2013 diberlakukan peraturan baru PP. 46 bagi wajib pajak Badan dan Orang Pribadi yang penghasilannya kurang dari Rp 4.800.000.000,- dalam satu tahun dikenakan tarif 1% dari penghasilan Bruto. PP 46 ini diberlakukan sebagai pengganti PPh Pasal 25 atau lebih dikenal PPh Pasal 4 ayat 2 karena bersifat Final.

2.1.13. Laporan Keuangan

Laporan keuangan adalah produk dari manajemen dalam rangka mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya dan sumber dana yang dipercayakan kepadanya. Secara umum laporan ini menyediakan informasi tentang posisi keuangan pada saat tertentu, kinerja dan arus kas dalam suatu periode yang ditujukan bagi pengguna laporan di luar perusahaan untuk menilai dan mengambil keputusanyang bersangkutan dengan perusahaan. Sebagai sumber informasi, laporan keuangan harus disajikan secara wajar, transparan, mudah dipahami, dan dapat dibandingkan dengan tahun sebelumnya ataupun antar perusahaan sejenis.

Laporan keuangan menjadi penting karena memberikan input informasi yang bisa dipakai untuk pengambilan keputusan. Banyak pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan, mulai dari investor atau calon investor,

(18)

pihak pemberi dana atau calon pemberi dana, sampai pada manajemen perusahaan itu sendiri. Laporan keuangan diharapkan memberikan informasi mengenai profitabilitas, risiko dan waktu dari aliran kas yang dihasilkan perusahaan. Informasi tersebut akan mempengaruhi harapan pihak-pihak yang berkepentingan, dan pada giliran selanjutnya akan mempengaruhi nilai perusahaan.

Menurut Gill dan Chatton (2007: 3) mengemukakan bahwa: laporan keuangan merupakan sarana utama membuat informasi laporan kepada orang-orang dalam perusahaan (manajemen dan para karyawan) dan kepada masyarakat di luar perusahaan (bank, investor, pemasok, dan sebagainya).

Mamduh hanafi (2007: 27) mengemukakan bahwa “ada tiga jenis laporan keuangan yang sering digunakan yaitu neraca, laporan laba rugi, dan laporan aliran kas”. Berikut ini akan diuraikan jenis-jenis laporan keuangan sebagai berikut : 1. Neraca

Neraca keuangan perusahaan mencoba meringkaskan kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan pada waktu tertentu. Dengan demikian neraca keuangan merupakan “SNAPSHOT” gambaran kekayaan perusahaan pada saat tertentu. Karena focus pada titik tertentu, neraca keuangan biasanya dinyatakan neraca per tanggal tertentu.

(19)

Neraca dibagi kedalam dua bagian: sisi kiri yang menyajikan sumber dana yang dipakai untuk memperoleh asset tersebut. Untuk setiap sisi, neraca disusun atau diurutkan berdasarkan likuiditas asset tersebut. Likuiditas yang dimasudkan disini adalah kedekatannya dengan kas. Karena itu kas ditempatkan pada baris pertama, kemudian piutang yang membutuhkan satu langkah untuk mejadi kas, ditempatkan pada baris kedua. Persediaan ditempatkan pada baris berikutnya karena untuk menjadi kas, persediaan akan berubah menjadi piutang dulu. Demikian juga dengan sisi kanan (passiva) neraca. Kewajiban diurutkan dari utang lancar, utang jangka panjang sampai ekuitas.

Alternatif penyusunan neraca adalah dengan menempatkan aktiva pada bagian atas, kemudian kewajiban dan ekuitas pada bagian bawah. Neraca diatas menyajikan struktur semacam itu. Kemudian untuk aktiva dan kewajiban / ekuitas, item-item di susun berdasarkan item yang paling likuid, diikuti dengan item yang kurang likuid.

Neraca keuangan didasarkan pada accounting identity yang pada dasarnya menggambarkan neraca sebagai kesamaan antara aset dengan kewajiban dan ekuitas, sebagai berikut:

(20)

Dari persamaan tersebut terlihat bahwa jumlah asset (aktiva) akan sama dengan kewajiban dan ekuitas. Ekuitas biasanya didefinisikan sebagai selisih sisa setelah kewajiban dikurangkan dari aktiva. Neraca disajikan berdasarkan blok-blok, yang terdiri dari tiga blok tersebar: 1. Asset (aktiva)

2. Utang 3. Ekuitas

Asset bisa didefinisikan sebagai manfaat ekonomis yang akan diterima di masa mendatang, atau akan dikuasai oleh perusahaan sebagai hasil dari transaksi atau kejadian tertentu.

Utang didefinisikan sebagai pengorbanan ekonomis yang mungkin timbul di masa mendatang dari kewajiban organisasi sekarang untuk mentransfer asset atau memberikan jasa ke pihak lain dimasa mendatang, sebagai akibat transaksi kejadian di masa lalu.

Ekuitas merupakan sisa, yaitu asset dikurangi utang – utangnya. Ekuitas merupakan bentuk kepemilikan modal suatu usaha dan hasil usaha berupa laba ditahan.

2. Laporan Laba Rugi

Laporan laba rugi meringkas aktivitas perusahaan selama periode tertentu. Karena itu laporan keuangan

(21)

perusahaan ditulis sebagai laporan laba rugi untuk tahun yang berakhir 31 Desember, yang berarti laporan laba rugi menyajikan ringkasan aktivitas selama satu tahun. Laporan laba rugi sering dianggap sebagai laporan yang paling penting dalam laporan tahunan. Kegiatan laporan meliputi kegiatan rutin (operasi bisnis), dan juga kegiatan yang tidak rutin, seperti penjualan asset tertentu, perubahan metode akuntansi, dan sebagainya. Definisi kegiatan rutin dan non rutin akan tergantung dari jenis usaha yang dilakukan oleh perusahaan.

Laporan laba rugi diharapkan bisa memberikan informasi yang berkaitan dengan tingkat keuntungan, risiko, fleksibilitas keuangan, dan kemampuan operasional perusahaan. Tingkat keuntungan mencerminkan prestasi perusahaan secara keseluruhan. Risiko berkaitan dengan ketidakpastian hasil yang akan diperoleh oleh perusahaan fleksibilitas berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan terhadap kesempatan atau kebutuhan tidak seperti yang diharapkan. Kemampuan operasional mengacu pada kemampuan perusahaan menjaga aktivitas perusahaan berdasarkan tingkat kegiatan tertentu.

Laba merupakan ukuran keseluruhan prestasi perusahaan, yang didefinisikan sebagai berikut:

(22)

Laba = Penjualan – Biaya

Harga pokok penjualan dipisahkan dari biaya administrasi dan umum agar keduanya bisa dianalisis secara terpisah. Pendapatan sebelum bunga dan pajak merupakan pendapatan operasional yang langsung terkait dengan operasi perusahaan. Manajer keuangan bisa menfokuskan pada item ini untuk memperoleh gambaran kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dari operasinya. Bunga merupakan item yang diakibatkan oleh keputusan pendanaan

3. Laporan Perubahan Ekuitas

Laporan perubahan ekuitas adalah ikhtisar tentang perubahan ekuitas suatu perusahaan yang terjadi selama jangka waktu tertentu, yang terdiri atas modal Disetor, laba Ditahan dan laba tahun berjalan, termasuk adanya pengambilan prive atau dividen.

(Soemarso, 2009 : 54). Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009 : 1.13),

“Perubahan ekuitas perusahaan menggambarkan peningkatan atau penurunan aset bersih atau kekayaan selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Perusahaan harus menyajikan laporan perubahan ekuitas sebagai komponen utama laporan keuangan, yang menunjukan :

a. Laba atau rugi bersih periode yang bersangkutan.

b. Setiap pos pendapatan dan beban, keuntungan atau kerugian beserta jumlahnya yang berdasarkan PSAK terkait diakui secara langsung dalam ekuitas.

(23)

c. Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan perbaikan terhadap kesalahan mendasar sebagaimana diatur dalam PSAK terkait.

d. Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik.

e. Saldo akumulasi laba atau rugi pada awal dan akhir periode serta perubahannya, dan

f. Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis modal saham, agio dan cadangan pada awal dan akhir periode yang mengungkapkan secara terpisah setiap perubahan.”

4. Laporan arus kas

Agar seperangkat statement keuangan menjadi lengkap, diperlukanlah informasi mengenai aliran kas suatu perusahaan yang menggambarkan aliran kas masuk dan keluar perusahaan selama satu perioda. Informasi ini dituangkan dalam statemen aliran kas (statement of cashflow). (Suwadjono, 2007 : 84). Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009 : 2.2), laporan arus kas harus melaporkan arus kas 22

selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

2.1.14. Koreksi Fiskal

Muljono (2009:59) mendefinisikan “Koreksi fiskal adalah perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal”. Perhitungan secara komersial adalah perhitungan yang diakui berdasarkan standar akuntansi yang lazim.

(24)

Muljono (2009:59) mendefinisikan “Laba secara fiskal adalah laba yang diperoleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPh terutang pada akhir tahun”. Apabila koreksi fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat memungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan.

Laba secara komersial akan sama dengan laba secara fiskal hanya apabila semua unsur dalam perhitungan pajak telah dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan ketentuan perpajakan. Bagi Wajib Pajak, hal ini sangat sulit dilakukan karena adanya perbedaan ketentuan antara Wajib Pajak dengan pembuat kebijakan pajak, yaitu pemerintah.

Kepentingan Wajib Pajak dengan pemerintah yang berkaitan dengan pajak tidak akan sama, dan cenderung berkebalikan. Wajib pajak menghendaki pajak yang terutang atau dibayar sekecil mungkin, sedangkan pemerintah menghendaki pajak yang diterima sesuai dan cenderung sebesar mungkin.Dengan kondisi itu, pengakuan akuntansi dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajakmenjadi cenderung berlawanan dengan ketentuan perpajakan.

(25)

Hampir semua perhitungan laba komersial yang dihasilkan oleh perusahaan, untuk mendapatkan laba sebelumpajak harus dilakukan koreksi fiskal, karena tidak semua ketentuan dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) digunakan dalam peraturan perpajakan. Banyak pula ketentuan perpajakan yang tidak sama dengan Standar AKuntansi Keuangan (SAK).

Perbedaan antara SAK dengan Peraturan Perpajakan antara lain dalam hal penggunaan sistem maupun metode pengakuan biaya maupun penghasilan secara akuntansi komersial dengan akuntansi secara pajak, baik dalam rangka pengakuan pendapatan maupun biaya untuk untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak.

Perbedaan yang akan terjadi dengan adanya pengakuan secara komersial dan secara fiskal adalah atas besarnya pajak terutang yang diakui dalam laporan laba-rugi komersial dengan pajak terutang menurut fiskus.

Muljono (2009:61),koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:

a. Beda Tetap : terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya sesuai akuntansi secara komersial tetapi berdasarkan ketentuan perpajakan, transaksi dimaksud bukan

(26)

merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya.

b. Beda Waktu : terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secara fiskal.

Dengan adanya koreksi fiskal maka besarnya Penghasilan Kena Pajak yang dijadikan dasar perhitungan secara komersial dan secara fiskal akan dapat berbeda. Perbedaan karena adanya koreksi fiskal dapat menimbulkan koreksi yang berupa :

a. Koreksi Positif, adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat. Elemen yang merupakan koreksi fiskal positif antara lain :

a) Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan. Seperti biaya sewa, sumbangan, Uniform pegawai, dll.

(27)

b) Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP. Seperti biaya komisi, konsumsi, pajak penghasilan (PPh).

c) Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan beban yang ditangguhkan komersial menurut WP lebih tinggi dari beban fiskal.

d) Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Seperti rugi selisih kurs.

e) Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final. Seperti pajak atas bunga dan sewa.

b. Koreksi Negatif, adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba-rugi secara komersial menjadi semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengtakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurrun. Elemen yang merupakan koreksi fiskal negatif antara lain :

a) Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan komersial menurut WP lebih rendah, selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya.

(28)

b) Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Seperti jasa giro, laba selisih kurs.

c) Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final. Seperti pendapatan bunga.

2.1.15. Formula Umum Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Perhitungan PPh untuk Wajib Pajak Badan dilakukan dengan cara pembukuan yaitu: dengan menghitung laba bersih wajib pajak berdasarkan catatan atau pembukuan yang diselenggarakan wajib pajak selama satu periode tertentu.

Tarif PPh Badan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (2) adalah:

1. Tahun 2012 Syarat:

1. Pengurangan tarif sebesar 50% yaitu hanya atas Penghasilan Kena Pajak bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000.

Penghasilan Kena Pajak atas bagian peredaran bruto diatas Rp. 4.800.000.000,- sampai dengan Rp. 50.000.000.000 tetap dikenakan tarif normal 25% dan dari Laba Fiskal menurut Pasal 31 E dan Pasal 17 ayat (2b).

(29)

2012 Laba Komersial Koreksi Positif Koreksi Negatif Laba Fiskal Rp. XXXX Rp. XXXX (Rp. XXXX) Rp. XXXX

Ketentuan Tarif untuk Menghitung PPh Pasal 25 Tarif Peredaran Bruto < / = Rp. 4.800.000.000, Peredaran Bruto > Rp. 4.800.000.000,- sampai Rp. Peredaran Bruto > Rp. 50.000.000.000,-12,5% X Laba Fiskal

Pasal 31E dan 17 ayat (2b)

25% X Laba Fiskal

2.2 Penelitian Terdahulu

Dalam penulisan ilmiah ini, penulis mengambil kajian dari jurnal, penulisan ilmiah dan skripsi terdahulu yang memiliki kesamaan topik/variabel, dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2 berikut ini :

(30)

TABEL 2.1

PENELITIAN TERDAHULU

Nama Judul Hasil Penelitian

Maretha Windiarti (2010) Analisis Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Badan pada PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep

Dimana hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa terjadinya perbedaan laba sebelum pajak antara sebelum dan setelah dilakukan perencanaan pajak. Setelah perencanaan pajak, pajak penghasilan terutang perusahaan berkurang sehingga laba setelah pajaknya meningkat.

Abda Darminta Siregar (2011) Analisis Koreksi Fiskal untuk Menghitung Besarnya PPh Terutang pada PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

Untuk kepentingan pajak, perusahaan membuat koreksi fiskal atas perhitungan laba rugi sesuai dengan UU perpajakan untuk menghasilkan penghasilan kena pajak yang menjadi dasar dalam menghitung besarnya pajak yang terutang perusahaan. Perusahaan menemukan perbedaan temporer dan perbedaan tetap dalam hal pengakuan penghasilan dan beban antara Standar Akuntansi Keuangan dan undang-undang perpajakan.

(31)

TABEL 2.2 PENELITIAN SEKARANG Nurotul Lailiyah (2014) Penerapan PPh Pasal 25 Badan dan Pengaruhnya Terhadap

Penyajian Laporan Keuangan.

Hasil analisis laporan keuangan perusahaan, menunjukkan bahwa penyajian laporan keuangan perusahaan belum sesuai dengan Undang-Undang perpajakan No. 36 tahun 2008, dimana terdapat perbedaaan penyajian laporan keuangan khususnya rugi laba, yang seharusnya menyajikan perhitungan Rugi Laba Fiskal setelah adanya Koreksi Fiskal sesuai dengan peraturan Undang – Undang perpajakan.

Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu:

1. Pada penelitian terdahulu menyajikan analisis penerapan perencanaan pajak penghasilan badan sedangkan pada penelitian sekarang tidak disajikan.

2. Pada penelitian terdahulu menyajikan perbedaan temporer dan perbedaan tetap dalam pengakuan penghasilan dan beban antara Standar Akuntansi Keuangan dan UU Perpajakan, sedangkan pada penelitian sekarang hanya menyajikan perhitungan Rugi Laba Fiskal setelah adanya Koreksi Fiskal sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

(32)

Persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu:

1. Baik penelitian terdahulu maupun penelitian sekarang sama – sama menggunakan laporan keuangan sebagai bahan penelitian.

2. Baik penelitian terdahulu maupun penelitian sekarang sama – sama membahas koreksi fiskal sebagai salah satu unsur utama dalam penyusunan laporan keuangan yang digunakan dalam pelaporan SPT Tahunan.

2.3 Kerangka Konseptual

Untuk lebih jelasnya akan disajikan kerangka konseptual yang dapat digambarkan sebagai berikut:

(33)

Gambar 2.1

Skema Kerangka Konseptual

Sumber : Data diolah dari CV. Sumber Makmur Elektrik

Bersadarkan kerangka konseptual diatas maka penulis mengambil hipotesis adalah sebagai berikut:

“Penerapan PPh Pasal 25 Badan Berpengaruh Terhadap Laporan Keuangan”

Penerapan PPh 25 Badan

Menurut Perusahaan Menurut UU Perpajakan

Penyajian Laporan Keuangan

1. L/R Komersial a. Koreksi Positif b. Koreksi Negatif 2. L/R Fiskal

Neraca Fiskal CV. Sumber Makmur Elektrik

Gambar

TABEL 2.2 PENELITIAN SEKARANG Nurotul  Lailiyah  (2014) Penerapan  PPh Pasal 25 Badan dan Pengaruhnya  Terhadap

Referensi

Dokumen terkait

425/273.6-SP, tanggal 27 Februari 2012 tentang Pengangkatan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Dinas Pendidikan Kabupaten Batu Bara, dan Jadwal pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa

pendapatan pedagang baju bekas impor di Pasar Cimol Gedebage Kota Bandung. Untuk mengetahui pengaruh prilaku kewirausahaan terhadap pendapatan

The info-gap robust satisficing methodology quantifies an irrevocable trade-off between confidence (expressed as robustness to uncertainty) and performance (embodying the

Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri

Tulisan ini menguraikan nilai-nilai budaya etnis Sasak dalam cerita rakyat Monyeh yang dihubungkan dengan hakikat dasar kehidupan manusia, yaitu hakikat

1) Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan sejauh mana keluarga mengetahui fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi pengertian, faktor penyebab,

[r]

Pengaruh Kesenian Hadrah Al-Banjari Dalam Upaya Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Remaja Di Desa Konang Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan dapat disimpulkan