• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI. 4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI. 4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa yang terletak pada 6°30’ - 6°52’ Lintang Selatan dan 102°02’ - 105°37’ Bujur Timur. Secara administrasi, TNUK terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Perhatian akan kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna Ujung Kulon mulai dirintis oleh F. Junghun, dan Hoogerwerf ahli botani berkebangsaan Eropa. Kala itu, kawasan Ujung Kulon merupakan tempat berburu bagi para pejabat Belanda yang datang dari Batavia. Pada waktu itu mereka melakukan perjalanan ke Semenanjung Ujung Kulon untuk mengumpulkan beberapa species tumbuhan tropis yang eksotik.

Satu dekade kemudian, keragaman speciesnya dinyatakan dalam laporan perjalanan ilmiah yang dimasukkan dalam jurnal ilmiah.

Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten

TNUK

TNUJUNGKULON



Gambar 2. Peta lokasi Taman Nasional Ujung Kulon Banten

Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon, terjadi beberapa periode perubahan penting dalam sejarah terbentuknya TNUK.

(2)

Tahun 1883, Pada bulan Agustus gunung Krakatau meletus, menghasilkan gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan perairan dan daratan di Ujung Kulon serta membunuh tidak hanya manusia akan tetapi satwa dan tumbuhan. Pada saat itu seluruh kawasan Ujung Kulon diberitakan hancur.

Sejak letusan gunung Krakatau yang dahsyat tersebut, kondisi Ujung Kulon tidak banyak diketahui, sampai kemudian dilaporkan bahwa kawasan Ujung Kulon sudah tumbuh kembali dengan cepat. Tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan melalui SK. Pemerintah Hindia Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921. Pada tahun 1937, Dengan keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 17 tanggal 14 Juni 1937 diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan.

Tahun 1958, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/Um/1958 tanggal 17 April 1958 berubah kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (pulau Boboko, pulau Pamanggangan). Tahun 1967,

Dengan SK. Menteri Pertanian No. 16/Kpts/Um/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, Gn Honje selatan seluas 10.000 ha masuk kedalam kawasan Cagar Alam Ujung Kulon. Tahun 1979, Gn Honje utara masuk kawasan Cagar Alam Ujung Kulon melalui SK. Menteri Pertanian No. 39/Kpts/Um/1979 tanggal 11 Januari 1979, seluas 9.498 ha. Tahun 1980, Tanggal 15 Maret, melalui pernyataan Menteri Pertanian, Ujung Kulon mulai dikelola dengan sistem manajemen Taman Nasional.

Tahun 1984, Dibentuklah Taman Nasional Ujung Kulon, melalui SK. Menteri Kehutanan No. 96/Kpts/II/1984, yang wilayhnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 ha, Gunung Honje seluas 19.498 ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 ha dan Hutan Wisata Carita seluas 95 ha. Tahun 1990, Berdasarkan SK. Dirjen PHPA No. 44/Kpts/DJ/1990 tanggal 8 Mei 1990, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mengalami pengurangan dengan diserahkannya Kepulauan Krakatau seluas

(3)

2.405,1 ha kepada BKSDA II Tanjung Karang, Hutan Wisata Gn. Aseupan Carita seluas 95 ha kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Selanjutnya luas kawasan TN. Ujung Kulon berubah menjadi 120.551 ha meliputi kawasan daratan 76.214 ha dan kawasan perairan laut seluas 44.337 ha.

Tahun 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992. Meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, P. Handeuleum dan Gunung Honje. Dengan luas keseluruhan 120.551 ha, yang terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha. Tahun 1992, Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409 tahun 1992 tanggal 1 Pebruari 1992. Binatang langka warisan purba yang masih hidup dan dilestarikan di TNUK hingga sekarang, serta menjadi ikon TNUK adalah Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus). Berikut peta batas wilayah kelola TNUK:



(4)

Menurut Adiwibowo, dkk (2009) perubahan status kawasan yang berlangsung sejak masa Hindia Belanda hingga saat ini pada dasarnya bukan persoalan teknis tata batas belaka tetapi lebih dari itu juga merefleksikan perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan. Sebab perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan akan merubah struktur akses dan kontrol masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan yang telah telah terjalin lama sebelumnya. Terdapat perubahan status kawasan hutan secara evolutif selaras dengan rejim pengelolaan kawasan hutan di Ujung Kulon sejak masa kolonial Hindia-Belanda hingga saat ini. Kawasan TNUK yang ada sekarang ini merupakan hasil panjang amalgamasi dari kawasan suaka alam (Cagar Alam Ujung Kulon, Panaitan, dan Pulau Peucang) dan kawasan hutan produksi (semula hutan produksi Perum Perhutani). Berikut data perubahan status dan batas taman Nasional Ujung Kulon:

Tabel 1. Perubahan Status dan Batas Taman Nasional Ujung Kulon.

Tanggal Landasan Hukum Status Kawasan Tata Batas

17-Apr-58

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 48/Um/58

Cagar Alam Ujung Kulon Panaitan

Utara: Sungai Cilintang, Sungai Cihujan, Cikawaung yang berbatasan dengan hutan tutupan Gunung Honje

Timur: hutan tutupan Gunung Honje Selatan: Samudera Hindia

Barat: Samudera Hindia dan Selat Sunda termasuk di dalamnya Pulau Panaitan dan Peucang yang diukur 500 m dari garis air surut serta Kepulauan Handeuleum dan gugusan Pulau Boboko yang terletak di teluk Cilintang

1-Mar-67

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. Kep. 16/3/1967

Cagar Alam Ujung Kulon dimana hutan tutupan Gunung Honje sebelah selatan seluas 10.000 ha termasuk kawasan cagar alam

Utara: mengikuti batas hutan G. 573, Sungai Cipunaga sampai ujung Cihandayan Timur: batas jalur Sungai Cihandayan dan batas hutan G. 355

Selatan: batas hutan G. 355 sampai dengan G. 464, batas laut yang diukur 500 m dari garis air surut sampai dengan batas hutan G. 435

Barat: batas hutan dari G. 435 sampai dengan G. 430 termasuk jalur laut selebar 500 m yang diukur dari air surut

15-Jul-78

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 440/Kpts/Um/ 7/1978

Penunjukan kompleks gunung Aseupan seluas 95 ha sebagai Taman Wisata yang selanjutnya dinamakan Taman Wisata Carita

Penetapan batas ditentukan setelah diadakan pengukuran di lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Kehutanan

11-Jan-79

Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

59/Kpts/Um/I/1979

Penetapan hutan Gunung Honje sebelah utara seluas 9.498,9 ha sebagai kawasan Cagar Alam Ujung Kulon

Penetapan tata batas Cagar Alam dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan melalui pengukuran dan penataan batas di lapangan

(5)

Tanggal Landasan Hukum Status Kawasan Tata Batas 11-Dec-84 Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 46/Kpts/VI-Sek/84

Penetapan wilayah kerja TNUK yang meliputi, Cagar Alam Krakatau, Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan dan Pulau Peucang, Cagar Alam Ujung Kulon dan Taman Wisata Carita

-8-May-90 Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 44/Kpts/DJ-VI/1990

Penyerahan pengelolaan Cagar Alam Gunung Krakatau kepada Badan Konservasi Sumberdaya Alam II Tanjungkarang -4-Jun-90 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/90

Pemberian hak pengusahaan hutan Taman Wisata Carita kepada Perum Perhutani

-26-Feb-92

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/92

Penetapan kawasan TNUK yang meliputi Cagar Alam Gunung Honje, Pulau Panaitan, Peucang dan Cagar Alam Ujung Kulon dengan luas total 78.619 ha serta perairan laut disekitar kawasan dengan luasan 44.337 ha

Penetapan batas ditentukan setelah dilakukan pengukuran dilapangan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan

Sumber: Adiwibowo dkk, Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional, 2009

Luas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon kini mencapai 121.561 ha terdiri atas 63% di darat dan sekitar 37% di laut. Kawasan semenanjung Ujung Kulon merupakan kawasan hutan yang terluas di TNUK. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, TNUK dibagi dalam beberapa kawasan dan zona. Sejak pertama kali ditetapkan, kawasan dan zona TNUK mengalami tiga kali revisi. Pertama, zonasi awal pada tahun 1991 berdasarkan SK Dirjen PHPA No.172/Kpps/DJ-VI/1991, dimana kawasan dibagi ke dalam enam zona. Kedua, melalui SK Dirjen PHPA No. 115/Kpps/DJ-VI/1997, zonasi TNUK direvisi menjadi lima zona dengan dikeluarkannya zona penyangga dari dalam kawasan. Ketiga, Balai TNUK kini mengajukan usulan perubahan zona menjadi tujuh bagian.

(6)

Tabel 2. Perubahan Zona TNUK, Tahun 1991 dan 1997

No. Status Hukum

Pembagian Zona

Zona Luas (ha)

1. SK Dirjen PHPA No.172/Kpps/DJ-VI/1991 Inti 37.150 Rimba 77.839 Pemanfaatan intensif 562 Pemanfaatan tradisional 1.800 Rehabilitasi 3.200 Penyangga 2.405

2. SK Dirjen PHPA No. 15/Kpps/DJ-VI/1997 Inti 37.150 Rimba 77.295 Pemanfaatan intensif 1.096 Pemanfaatan tradisional 1.810 Rehabilitasi 3.200

Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Ujung Kulon Tahun Anggaran 1999/2000.

Kemudian terdapat usulan perubahan zonasi menjadi tujuh bagian sebagai berikut; Tabel 3. Usulan Perubahan Zonasi TNUK

No. Zona Luas

(ha) Wilayah Cakupan

1. Inti 47.250 Semenanjung Ujung Kulon, G. Honje

2.

Rimba 68.343 Seluruh kawasan daratan dan lautan.

Pulau Panaitan, bagian Peri-peri kawasan Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje, Pulau Peucang dan Handeleum a. Daratan 24.456 b. Perairan 43.887 3. Pemanfaatan Intensif 1.108

Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje dan Pulau Panaitan

a. Daratan 658

b. Perairan 450

4. Situs Budaya &

Sejarah 20

Gunung Raksa (Pulau Panaitan), Makam Cilintang (S. Ujung Kulon), Makam Pasir Ranji dan Cimahi (Gunung Honje)

5. Pemanfaatan Khusus 3.700 Pulau Panaitan, Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje

6. Pemanfaatan

Tradisional 130

Pulau Panaitan, Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje

7. Penyangga 23.850 19 desa yang berada disekitar atau berbatasan dengan Taman Nasional

Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Ujung Kulon Tahun Anggaran 1999/2000.

Perubahan tata batas zonasi TNUK telah menyebabkan berubahnya status wilayah pemukiman dan lahan pertanian penduduk. Kawasan yang semula masuk wilayah desa menjadi masuk kawasan taman nasional. Hal ini terutama dirasakan oleh kawasan-kawasan pemukiman di wilayah Gunung Honje yang dahulunya tumbuh ketika wilayah ini masih berstatus hutan produksi di bawah pengelolaan

(7)

Perum Perhutani. Pada masa itu muncullah perkampungan-perkampungan penduduk di Legon Pakis, Kasendor, Cimahi, Cihujan, Tanjung Lame, Cipunagara, Jayud, Cangkeuteuk, Ciakar, Ciguha, dan Ermukla.

Pada zona penyangga TNUK terdapat 19 desa penyangga yang tercakup ke dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sumur yang terdiri dari tujuh desa dan Cimanggu yang terdiri dari 12 desa. Dari 19 desa tersebut, 14 diantaranya berbatasan langsung dengan kawasan.

Tabel 4. Nama, Luas Desa di Kecamatan Sumur dan Letak terhadap TNUK

No. Nama Desa Luas

(ha) Letak

1. Ujungjaya 844 Berbatasan langsung

2. Tamanjaya 675 Berbatasan langsung

3. Cigorondong 466 Berbatasan langsung

4. Tunggal Jaya 466 Berbatasan langsung

5. Kertamukti 626 Berbatasan langsung

6. Kertajaya 420 Berbatasan langsung

7. Sumberjaya 323 Tidak berbatasan

langsung

Total Luas 3.820

Sumber: Data BPS Kabupaten Pandeglang Tahun 2002

Tabel 5. Nama, Luas Desa di Kecamatan Cimanggu dan Letak terhadap TNUK

N

o. Nama Desa

Luas

(ha) Letak

1. Tangkilsari 800 Berbatasan langsung

2. Cimanggu 1.222 Berbatasan langsung

3. Cijalarang 2.500 Tidak berbatasan langsung 4. Waringinkurung 1.250 Berbatasan langsung 5. Ciburial 1.213 Tidak berbatasan langsung

6. Padasuka 1.537 Berbatasan langsung

7. Mangkualam 1.300 Berbatasan langsung

8. Kramatjaya 1.815 Berbatasan langsung

9. Tugu 2.500 Berbatasan langsung

10

. Batuhideung 1.690 Tidak berbatasan langsung 11

. Cibadak 1.501 Berbatasan langsung

12

. Rancapinang 1.549 Berbatasan langsung

Total luas 18.877

(8)

Hingga sekarang ini persoalan hubungan TNUK dengan desa-desa baik yang berbatasan langsung maupun tidak memiliki dinamikanya sendiri. terdapat beberapa desa disekitar TNUK yang cukup harmonis menjaga hubungah dengan TNUK, tetapi sebagain lainnya terjadi konflik, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan. Hal ini sangat tergantung pada tipikal rejim penguasa TNUK dan kebijakan-kebijakan konservasi yang dikeluarkannya, terutama menyangkut isu pemukiman di sekitar dan dalam kawasan TNUK. Peristiwa peristiwa penembakan warga oleh Pertugas TNUK di desa Ujung Jaya, pada oktober 2007, menjadi titik kulminasi konflik terselubung antara masyarakat di sekitar dan dalam kawasan TNUK.

Sejak peristiwa tewasnya warga yang disusul dengan amok massa dan penangkapan/penahanan beberapa warga dari beberapa kampung di Ujung jaya, termasuk warga dari kampung Legon Pakis telah menciptakan ketegangan hubungan masyarakat dan BTNUK. Ketegangan dan disharmoni tersebut terus berlarut dengan beragam konflik sejenis, diseputar tata batas kelola, perambahan hutan, perluasan lahangarapan, penambahan wilayah pemukiman dan persoalan lainnya terkait dampak pembatasan akses dan control masyarakat atas kawasan TNUK. Konflik masyarakat dengan TNUK kembali menghangat ketika proyek Pemagaran Listrik Yayasan Badak Indoneisa (YABI) masuk sejak tahun 2010, dan masih menciptakan pro-kontra hingga sekarang ini.

4.2 Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kecamatan Sumur

4.2.1 Kondisi Bio-Fisik dan Kependudukan

Secara bio-fisik letak dusun Legon Pakis yang berada di wilayah administratif Desa Ujungjaya Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, terletak pada ketinggian dibawah 500 m dpl.49 Desa ini mempunyai bentuk topografi datar. Berdasarkan letak geografisnya, desa Ujung Jaya dikategorikan sebagai desa pantai karena wilayahnya berbatasan dengan garis pantai/ laut dengan corak kehidupan sebagian masyarakat tergantung pada potensi laut. Suhu udara yang terjadi di di kedua desa ini berkisar antara 27O C – 30,650O C dengan suhu udara



49

(9)

rata-rata 27,880O C. Sedangkan curah hujan rata-rata di di kedua desa ini mencapai 1751 mm/th. Tanah di desa ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang relatif rendah serta mengandung bahan induk masam dan miskin zat hara.50

Luas kawasan wilayah dusun Legon Pakis hasil Pemetaan Pasrtisipatif bersama masyarakat adalah 261, 611 ha, terdiri dari pemukiman, sawah dan kebun campuran. Luas wilayah ini berbeda dengan data yang dimiliki oleh BTNUK yang menyebutkan bahwa laus wilayah Legon Pakis kurang dari 250 ha. Hal ini terkait dengan batas wilayah kelolala TNUK dan garapan warga yang hingga hari ini masing disengketakan. Khususnya setelah penetapan kawasan TNUK tahun 1984 yang menelan seluruh kawasan dusun Legon Pakis sebagai wilayah TNUK.

Kini, di dusun ini tinggal kurang lebih 99 KK, kurang lebih 500-an jiwa, yang mengalami pasang-surut sejak awal munculnya pemukiman di wilayah ini, hingga sekarang51. Persoalan kependudukan di wilayah Legon Pakis memilki aturannya sendiri yang diselaraskan dengan atauran pelarangan dari pihak TNUK. Dalam kesepakatan yang dibuat bersama antara masyarakat Legon Pakis dan TNUK pada tahun 2004 dan masih terus dinegosiasikan hingga sekarang, penduduk yang boleh tinggal dikawasan dusun Legon Pakis tidak boleh melebihi jumlah 120 KK52. Hal ini terkait dengan kebutuhan tempat tinggal, sawah, kebun dan kebutuhan hidup lainnya yang dikuatirkan akan merusak sumberdaya hutan disekitarnya. Sebab sudah barang tentu masyarakat yang tinggal di wilayah Legon Pakis berada di dalam kawasan TNUK. Kesepakatan tersebut dipraktikkan oleh masyarakat Legon Pakis dengan strategi bahwa jika seorang gadis Legon Pakis mendapatkankan suami orang dari luar dusun maka ia dipersilahkan untuk keluar



50

Tim ERA. 2010. Analisis Resiko Lingkungan (Enviromental Risk Assesment/ERA); Rencana Pembangunan Javan Rhino Sanctuary di TNUK, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kerjasama antara Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, dan WWF-Ujung Kulon. Bogor.

51

Hasil Kajian Sajogyo Institute (SAINS) , Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan LATIN, 2010. (belum diterbitkan).

52

Hasil kesepakatan soal jumlah penduduk yang boleh tingggal di wilayah Legon Pakis ini bukanlah hasil kesepakatan yang “berimbang”. Masyarakat lebih banyak menerima aturan tersebut menurut ketentuan TNUK. Bahkan pelanggaran dalam penambahan keluara ini isa berakibat pada pembongkaran rumah penduduk. Pada tahun 2010, hasil negosiasi multi pihak di Hotel Kharisma Pandeglang banten, disepakati ulang mengenai jumlah keluarga yang boleh tinggal di kawasan Legon Pakis, karena melihat pertambahan penduduk yang sudah ada, yaitu 120 KK, dan tentunya hanya boleh ada 120 rumah di Legon Pakis. (Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Legon Pakis, Perangkat Desa Ujung Jaya 2009). Penulis juga ikut menjadi Tim Pendamping Masyarakat Legon Pakis dalam proses negosiasi multi pihak di Hotel Kharisma, Maret 2010.

(10)

dari wilayah Dusun Legon Pakis. Namun, jika seorang pemuda Legon Pakis mendapatkan istri orang luar Legon Pakis maka ia boleh tinggal di wilayah Legon Pakis. Dengan cara demikian populsi dan kepadatan penduduk diupayakan untuk ditekan. Termasuk aturan ketat bagi para pendatang yang akan tinggal di dusun Legon Pakis.

Namun demikian, meski sejauh ini kesepakatan tersebut dipermukaan memang dijalankan, bukan berarti persoalan populasi penduduk dan kebutuhan pemukiman serta merta sudah selesai. Sebab pertambahan penduduk baik yang asli dari dusun Legon Pakis maupun para pendatang lambat laun akan bertambah seiring meningkatnya populasi masyarakat sekitar dusun Legon Pakis dan desa Ujung Jaya.

Kini mayoritas anak muda baik perempuan dan laki-laki dari dusun Legon Pakis sebagian besar keluar dari dusun Legon Pakis. Bagi yang perempuan, umumnya mereka bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), dan buruh pabrik di beberapa di kota, seperti Serang, Bekasi, Jakarta, Bandung hingga Lampung. Bagi yang laki-laki lebih banyak kerja buruh kasar, buruh pabrik dan kerja bangunan. Sehingga jika saat ini hendak berkujung ke Legon Pakis yang banyak dijumpai mayoritas adalah anak-anak dan orang-orang yang sudah cukup tua. Meskipun, masih tersisa beberapa anak muda yang tetap tinggal di Legon Pakis bertani dan berkebun sebagai sumber mata pencahariannya. Berikut peta wilayah dusun Legon Pakis:

Gambar 4. Peta Lokasi Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kec. Sumur Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (yang diberi arsiran warna kuning, di tengah-tengah. (Sumber, JKPP, SAINS LATIN, 2010)

(11)

4.2.2 Kesejarahan dan Kearifan Lokal

Secara historis, hingga pertengahan dekade 1970an, Legon Pakis Desa Ujungjaya, hanya dimukimi oleh beberapa rumah tangga saja. Saat tersebut kawasan hutan sekitar Legon Pakis masih berstatus sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani (melanjutkan rejim pengelolaan hutan produksi di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda - yang di mata masyarakat dikenal sebagai hutan Bouwheer). Ketika Cagar Alam (CA) Gunung Honje diperluas ke wilayah Utara pada tahun 1979, Legon Pakis ditetapkan sebagai bagian dari CA Gunung Honje. Kemudian ketika CA Gunung Honje dan CA Ujung Kulon, Panaitan dan Pulau Peucang dideklarasikan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 1980, pemukiman Legon Pakis otomatis masuk sebagai bagian dari taman nasional (Adiwibowo dkk, 2009).

Sejak penatapan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon tahun 1984, dan diperbaharui 1992, keseluruhan pemukiman Dusun Legon Pakis masuk di dalam kawasan TNUK, beserta sebagain besar pekarangan, sawah dan kebun campuran mereka. Hal inilah yang membedakan dengan kampung dan dusun lain yang berbatasan dengan TNUK, misalnya kampung Cikaung Girang dan Ciakaung Seberang yang hanya sebagian wilayahnya saja yang masuk di dalam kawasan TNUK, meski sama-sama di dalam wilayah administratif desa Ujung Jaya. Posisi ini pula yang membuat masyarakat Legon Pakis memiliki resistensi lebih tinggi dan dampak langsung dari sebagian dan keseluruhan kebijakan, peraturan dan program konservasi di wilayah TNUK. Selain itu, seluruh warga di Kampung Legon Pakis tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, seperti Cap Girik, Cap Garuda, atau bukti-bukti lainnya yang menunjukkan sejarah kepemilikan lahan mereka—kecuali hak historis mereka--, sebagaimana dimiliki sebagian warga di dusun tetangga mereka (Cikaung Sebrang, Cikaung Girang, Tanjung Lame, di desa yang sama yakni Ujung Jaya). Dengan kenyataan semacam ini, masyarakat di Legon Pakis sering menjadi sasaran dan objek kekerasan (fisik maupun non-fisik) atas nama konservasi, ketika mereka dianggap ‘melanggar’ aturan dan tata tertip pengelolaan kawasan TNUK.

Dari garis keturunan, menurut informasi lisan dari para sesepuh dusun yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman dan Ki Misra) diketahui bahwa

(12)

mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah/Bapak Pelen53 dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak. Mereka kemudian menyebar di sekitar hutan dan pesisir Pantai Ujung Kulon dan tinggal dikelilingi batas sungai Cilintang di sebelah Selatan dan Sungai Cihujan sebelah Timur.

Masyarakat Legon Pakis secara turun temurun telah mengenal Hutan Tutupan dan Hutan Titipan. Menurut pemahaman masyarakat Legon Pakis Hutan Tutupan menunjuk pada hutan yang tidak boleh diganggu ataupun dirusak dan harus dihormati sebagai “warisan” leluhur. Batas wilayah hutan Tutupan ini menurut keyakinan para sesepuh dan diyakini juga oleh masyarakat Legon Pakis sekarang adalah sungai Cilintang dan Sungai Cihujan ke arah dalam hutan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan batas kelola yang dibuat oleh Pemerintah/Perhutani tahun 1982 dan sejak ditetapkannya TNUK yang garis batasnya “memakan’ keseluruhan wilayah Legon Pakis dan sebagian kampung sekitarnya. Sedangkan pengertian Hutan Titipan menunjuk hutan yang boleh dikelola dan dijadikan tempat tinggal oleh masyarakat setempat. Menurut pandangan masyarakat Legon Pakis daerah hutan Titipan adalah arah keluar dari hutan Tutupan (juga dengan batas sungai Cihujan dan Cilintang)54.

Menurut cerita lisan beberapa sesepuh kampung Legon Pakis, masih terdapat pemahaman tradisional yang dipegang teguh masyarakat hingga sekarang misalnya pandangan bahwa “Hutan itu adalah perkampungan hidup yang punya tata tertib, aturan dan norma sendiri, sehingga hutan harus dihormati dan dilestarikan sebagaimana seharusnya”. Keyakinan semacam ini memunculkan “etika berhutan” yang sangat dipatuhi secara turun temurun di masyarakat LP, diantaranya: 1) . Jangan memotong dahan/ranting pohon dengan tangan kosong, harus dengan parang. 2) Jangan makan dan minum dengan berdiri. 3). Jangan



53

Menurut cerita lisan masyarakat Bapak/Abah Pelen adalah seorang sosok tokoh populer dan legendaris di mata masyarakat Legon Pakis, Cikawung Girang, Cikawung Sebrang dan beberapa kampung dan desa di sekitar Ujung Kulon. Beliau dianggap sebagai seseorang yang sakti mandraguna (Jawara) yang membuka pertama kali hutan Ujung Kulon. Diceritakan secara lisan oleh para muridnya, Abah Pelen telah datang ke Ujung Kulon sekitar tahun 1918. Selain sebagai seorang pemimpin kharismatik dalam politik, gerakan, pendakwah, beliau diklaim masyarakat sebagai kawan karib Ir Soekarno (Presiden RI I). Di hampir setiap kampung, masyarakat bercerita perkawanan antara Abah Pelen dan Soekarno, bahkan beberapa sesepuh kampung yang masih hidup mengaku pernah melihat langsung Soekarno dengan bersama Bapak/Abah Pelen. (Hasil wawancara penulis, dengan sesepuh dusun Legon Pakis, oktober 2008, dan akhir tahun 2009).

54

Hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dusun Legon Pakis dan murid-murid Bapak Pelen yang masih hidup. (Juni 2009).

(13)

kencing dengan berdiri. 4). Jangan bersiul, 5). Kalau duduk di hutan harus pakai alas. 6) Jangan bekerja jika sudah magrib, 7) Jangan menebang dan merusak hutan Tutupan . Jika hal-hal di atas dilanggar maka, menurut keyakinan warga akan ada sesuatu yang menimpa sang pelanggar, bahkan hingga berujung kematian.

Dengan pemahaman semacam ini masyarakat Legon Pakis sebenarnya telah memiliki pemahaman dan kesadaran ekologis yang terpelihara bagi tata kelola bagi pelesatarian kawasan konservasi TNUK. Perubahan tata batas kawasan TNUK pada tahun 1982 ikut merubah juga wilayah kelola masyarakat, termasuk akses dan kontrol masyarakat atas kawasan hutan TNUK. Baik untuk kepentingan mata pencaharian mereka sehari-hari maupun jangka panjang, misalnya kebutuhan kayu bagi perbaikan rumah mereka, yang kadangkala memaksa masyarakat mengambil kayu di wilayah zona inti yang berakibat pada penangkapan dan pemenjaraan warga dengan tuduhan perambahan hutan. Satu kasus yang paling sering terjadi hingga kini, dan kerap menciptakan ketegangan dan disharmoni masyarakat dan BTNUK.

4.2.3 Kondisi Sosial Ekonomi

Masyarakat Legon Pakis mempunyai 3 pola pemanfaatan sumberdaya di dalam, yaitu penggunaan lahan, pengambilan sumberdaya alam, dan pemanfaatan sumberdaya hayati. Penggunaan lahan terutama untuk kegiatan pertanian tanaman semusim misalnya padi, dan jagung. Ada dua jenis tanaman perkebunan yang dominan dilakukan oleh masyarakat, yakni kelapa dan umum (kopi, melinjo, nangka, ubi batang dan lain-lain). Masyarakat legon pakis 70% bertani, 30% usaha lain (dagang, kerja di kota/luar daerah, buruh bangunan dan lain-lain)55.

Jadi, pengambilan kayu bukan merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat legon pakis. Penebangan kayu dilakukan untuk kebutuhan sendiri (bahan bakar dan bangunan), tidak untuk tujuan komersial (dijual ke luar/pasar). Pada umumnya yang mengambil/pengguna kayu yang berasal dari TNUK tidak hanya masyarakat Legon Pakis saja melainkan banyak penduduk



55

Hal ini selaras dengan data BPS Pandenglang 2010, yang menyebutkan bahwa 95 % masyarakat di desa Ujung Jaya adalah Petani.

(14)

sekitar yang mengambil kayu dari TNUK dan itu untuk kebutuhan konsumsi sendiri bukan untuk dijual.

Perubahan rejim pengelolaan hutan ini – dari hutan produksi ke cagar alam kemudian ke taman nasional – membawa pengaruh besar pada denyut kehidupan masyarakat yang bermukim di Legon Pakis. Menurut warga Legon Pakis, di masa rejim hutan (produksi) Bouwheer dan Perum Perhutani, mereka diperbolehkan akses ke kawasan hutan untuk keperluan budidaya pertanian. Struktur akses ini berubah ketika kawasan hutan Perum Perhutani berubah menjadi Cagar Alam dan kemudian Taman Nasional. Terlebih ketika batas kawasan TNUK telah selesai ditata.

Walau upaya memindahkan warga keluar dari dan melarang warga baru masuk ke Legon Pakis telah dimulai sejak dideklarasikannya TNUK, namun langkah-langkah serius baru dimulai setelah tahun 1992 yakni ketika TNUK telah mempunyai kawasan hutan yang ditunjuk untuk itu Sementara areal pemukiman, sawah serta kebun kelapa di Legon Pakis perlahan-lahan meluas akibat proses transisi yang berlangsung selama 12 tahun (tahun 1980 sampai 1992). Di mata warga Legon Pakis, keberadaan mereka yang “diijinkan” dikawasan TNUK selama lebih dari dua dekade, dan besarnya investasi yang telah mereka tanamkan untuk membangun pertanian di Legon Pakis, telah menjadikan Legon Pakis sebagai ‘tanah air’ dimana hidup bergantung. Ketergantungan tersebut sulit dibantah, jika dilihat dari hasil sensus aset agraria dan produksi pertanian di kampung ini. (Adiwibowo, dkk, 2009).

(15)

Tabel 6. Aset Agraria Legon Pakis Masyarakat di Dusus Legon Pakis (Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007)

GAMBARANASETAGRARIAMASYARAKATKAMPUNGDI WILAYAHKONFLIK Jenis Pemanfaatan Luas (ha) Status Keterangan ”Pemilik” (org) Penggarap (org) Sawah 89,1 59 8 Penggarap rata-rata memiliki sawah juga, meskipun tidak terlalu luas Kebun Kelapa 30,421 56 - Kebun ini hanya ditanami

pohon kelapa saja Kebun

Campuran 83,675 56

-Umumnya kebun campuran ditanami pohon kelapa juga Total lahan pertanian 203,196 Rumah Tinggal 24,487 67 Total luas 227,683 LEGONPAKIS

Tabel 7. Produkivitas Sumberdaya Pertanian di Wilayah Legon Pakis (Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007)

PRODUKTIVITASSUMBERDAYAPERTANIANDI WILAYAHLEGONPAKIS(Sensus,2007) Jenis Komoditas Volume Produksi per tahun Frekuensi Produksi per tahun

Nilai Produksi per

tahun Keterangan

Gabah 320,8 ton 1-2 kali Rp 705.760.000 Harga gabah Rp 2.200 per kg Kelapa 752.840 buah 6 kali Rp 376.420.000 Harga kelapa per

butir Rp 500 Kopi 5.930 kg 1 kali Rp 118.600.000 Harga Kopi Rp

20.000 per kg

Pete 26220 1 kali Rp 5.240.000

Harga pete Rp 20.000 per 100 papan (empong) Melinjo 280 kg 1 kali Rp 840.000 Harga Melinjo Rp 3000 per kg Jengkol 161 kg 1 kali Rp 322.000 Harga jengkol Rp

2000 per kg Mahoni 20 papan 1 kali Rp 400.000 Harga mahoni Rp 20.000 per papan

Jumlah (bruto) Rp 1.207.582.000

Pada tahun 2009, dalam rangka pendampingan untuk penyelesaian konflik, dilakukan kajian ulang tentang sumberdaya ekonomi di Legon Pakis. Berdasarkan pola sebaran pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria lokal, maka pola pelapisan (ekonomi) Rumah Tangga Petani (RTP) di Legon Pakis dikelompokkan ke dalam 3 lapisan yakni, RTP golongan mampu, sederhana dan tidak mampu. Menurut informasi yang digali di masyarakat diketahui bahwa

(16)

dari 73 RTP yang tercatat, 40 RTP masuk dalam kategori tidak mampu yang di antaranya tidak memiliki lahan (5 RTP) dan janda (8 RTP). Sementara, untuk golongan sederhana terdiri 16 RTP sedangkan untuk golongan mampu sebanyak 17 RTP. Selain ukuran pemilikan dan penguasaan lahan, profesi dan status sosial turut menentukan ukuran tingkatan kesejahteraan suatu RTP. Ukuran kesejahteraan RTP di Legon Pakis dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 8. Ukuran Kesejahteraan Masyarakat di Dusun Legon Pakis

Ukuran/Penanda Mampu (kaya) Sederhana (sedang) Tidak Mampu (miskin)

Sawah >21 kotak 16 – 21 kotak 0 – 16 kotak

Kebun Kelapa >500 pohon 50 – 500 pohon 0 – 50 pohon

Kebun kopi, cengkeh,

Meninjo Punya Tidak punya Tidak punya

Jenis pekerjaan/status sosial

Ustadz, penadah, tokoh

masyarakat Petani Petani dan buruh tani

Jumlah RTP 17 RTP 16 RTP 40 RTP

Sumber: Kajian Sosial-Ekonomi Tim SAINS, JKPP dan Latin 2009

Data ini menunjukkan bahwa ada kondisi kesejahteraan yang belum merata lapisan masyarakat di Legon Pakis. Kemampuan pengelolaan dan akses atas sumberdaya hutan dan daya adaptasi atas tekanan dan ancaman dari BTNUK menentukan tingkat kesejahteraan ini. Ketidakmerataan sosial-ekonomi ini masih dialami oleh masyarakat Legon Pakis hingga sekarang. Hampir separoh kehidupan masyarakatnya tergolong miskin dan memiliki keterbatasan beragam akses bagi kepentingan pemenuhan basic right mereka sehari-hari, seperti baik yang nyata bagi kehidupan mereka seperti kesehatan, pendidikan, informasi, juga hal-hal yang lebih substansial yakni keamanan, keadilan dan kebebasan. Sebab mereka hanya punya satu pilihan untuk patuh dengan aturan kebijakan BTNUK, mengingat kawasan mereka kini seratus persen berada di dalam kawasan TNUK.

Padahal jika merujuk pada pemikiran Amartia Sen (2009), tanda kemiskinan yang paling substansial adalah ketidakadilan, dan kebebasan, semata persoalan ekonomi. Di titik ini “masyarakat yang adil” mestinya dipahami sebagai hasil dari institusi-institusi negara yang berjalan secara adil, dengan adanya pengaturan sosial serta hak-hak warga. Masih banyaknya penangkapan, kekerasan, pembatasan dan tekanan-tekanan psikologis dari wakil Negara dalam

(17)

hal ini BTNUK, menyisakan beragam hambatan akses bagi peningkatan dan kemajuan sosial-ekonomi warga. Selaras dengan pandangan Sen (2000) bahwa penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Dalam hal ini, kemiskinan diakibatkan oleh keterbatasan akses.

Masyarakat dibatasi pilihanya dalam menentukan keberlangsungan untuk kehidupannya. Apabila manusia dibatasi dan tidak diberikan akses maka itu artinya manusia hanya melakukan apa yang terpaksa dilakukan bukan apa yang seharusnya dilakukan. Atas dasar itu, maka potensi untuk mengembangkan hidup menjadi terhambat dan pada akhirnya menimbulkan kontribusi untuk menciptakan kesejahteraan bersama yang lebih kecil. Kondisi keterbatasan akses dan masih banyaknya ketidakdilan akibat kebijakan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK selama ini telah menyebabkan proses ketidakmerataan sosial-ekonomi warga di Legon Pakis.

Gambar

Tabel 1. Perubahan Status dan Batas Taman Nasional Ujung Kulon.
Tabel 2. Perubahan Zona TNUK, Tahun 1991 dan 1997
Gambar 4. Peta Lokasi Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kec. Sumur Kabupaten Pandeglang Provinsi  Banten (yang diberi arsiran warna kuning, di tengah-tengah
Tabel   6.  Aset Agraria Legon Pakis Masyarakat di Dusus Legon Pakis (Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Tesis : Kajian Pengelolaan Wisata Di Ka~vasan Konsewasi (Studi Kasus Di Taman Nasionsl Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten).. Nama :

Jenis media promosi itu sendiri memiliki kekuatan pesan yang tinggi maka pengunjung akan lebih tertarik untuk mengunjungi ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon, tetapi jika

Judul Skripsi : Analisis Institusi Konservasi di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Desa Tamanjaya, Kampung Cibanua, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten..

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan hutan tropis dataran rendah yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, dimana di dalamnya terdapat fauna seperti badak bercula

Pengembangan ekowisata di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) harus terintegrasi dengan kawasan penyangga yang menghubungkan antara aktivitas masyarakat dan konservasi, untuk itu,

Selama survai herpetofauna di Taman Nasional Ujung Kulon yang dilakukan pada bulan Juli sampai September 1990 dijumpai 14 jenis amfibia; yang terdiri dari satu jenis dari

Di Semenanjung Ujung Kulon terdapat pola aliran sungai yang sangat berbeda, pada daerah berbukit di bagian Barat banyak sungai kecil dengan arus yang umumnya

Penilaian Pengunjung terhadap Obyek yang ada disepanjang Trail Taman Nasional Ujung Kulon memiliki kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah, hal ini terbukti dari jumlah