• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA PEMBANGUNAN JAVAN RHINO S ANCTUARY DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, KABUPATEN PANDEGELANG, PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENCANA PEMBANGUNAN JAVAN RHINO S ANCTUARY DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, KABUPATEN PANDEGELANG, PROVINSI BANTEN"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

 

Laporan Akhir

A

AN

NA

AL

LI

IS

SI

IS

S

R

R

IS

I

SI

I

KO

K

O

L

LI

IN

NG

GK

KU

UN

NG

GA

AN

N

(

(

E

E

N

N

V

V

I

I

R

R

O

O

N

N

M

M

E

E

N

N

T

T

A

A

L

L

R

R

I

I

S

S

K

K

A

A

S

S

S

S

E

E

S

S

M

M

E

E

N

N

T

T

/E

/

E

R

R

A

A

)

)

R

R

R

E

E

E

N

N

N

C

C

C

A

A

A

N

N

N

A

A

A

P

P

P

E

E

E

M

M

M

B

B

B

A

A

A

N

N

N

G

G

G

U

U

U

N

N

N

A

A

A

N

N

N

J

J

J

A

A

A

V

V

V

A

A

A

N

N

N

R

R

R

H

H

H

I

I

I

N

N

N

O

O

O

S

S

S

A

A

A

N

N

N

C

C

C

T

T

T

U

U

U

A

A

A

R

R

R

Y

Y

Y

D

D

D

I

I

I

T

T

T

A

A

A

M

M

M

A

A

A

N

N

N

N

N

N

A

A

A

S

S

S

I

I

I

O

O

O

N

N

N

A

A

A

L

L

L

U

U

U

J

J

J

U

U

U

N

N

N

G

G

G

K

K

K

U

U

U

L

L

L

O

O

O

N

N

N

,

,

,

K

K

K

A

A

A

B

B

B

U

U

U

P

P

P

A

A

A

T

T

T

E

E

E

N

N

N

P

P

P

A

A

A

N

N

N

D

D

D

E

E

E

G

G

G

E

E

E

L

L

L

A

A

A

N

N

N

G

G

G

,

,

,

P

P

P

R

R

R

O

O

O

V

V

V

I

I

I

N

N

N

S

S

S

I

I

I

B

B

B

A

A

A

N

N

N

T

T

T

E

E

E

N

N

N

        D DIIRREEKKTTOORRAATTKKOONNSSEERRVVAASSIIKKEEAANNEEKKAARRAAGGAAMMAANNHHAAYYAATTII D DIIRREEKKTTOORRAATT JJEENNDDEERRAALL PPEERRLLIINNDDUUNNGGAANN HHUUTTAANN DDAANN KKOONNSSEERRVVAASSII AALLAAMM K KEEMMEENNTTEERRIIAANN KKEEHHUUTTAANNAANN D DEEPPAARRTTEEMMEENNKKOONNSSEERRVVAASSIISSUUMMBBEERRDDAAYYAAHHUUTTAANNDDAANNEEKKOOWWIISSAATTAA F FAAKKUULLTTAASS KKEEHHUUTTAANNAANN I INNSSTTIITTUUTT PPEERRTTAANNIIAANN BBOOGGOORR W WWWFF––UUJJUUNNGGKKUULLOONN

2

2

0

0

1

1

0

0

(2)

ERA Rencana Pembangunan JRS 

KATA PENGANTAR

Laporan ini merupakan hasil kegiatan analisis risiko lingkungan (Environmental Risk Assessment/ERA) terhadap rencana pembangunan Javan Rhino Sanctuary (JRS) di Taman Nasional Ujung Kulon. Adapun garis besar dari isi laporan ini yaitu sebagai berikut:

1. Latar belakang mengenai pentingnya Analisis Risiko Lingkungan sebelum pembangunan JRS dimulai.

2. Tujuan, sasaran, ruang lingkup dan kerangka pemikiran dari kegiatan Analisis Risiko Lingkungan.

3. Metodologi yang digunakan dalam melakukan Analisis Risiko Lingkungan yang mencakup metode pengumpulan data maupun metode analisis data.

4. Rencana pembangunan JRS.

5. Detail mengenai kondisi biofisik hingga saat ini di calon lokasi JRS dan daerah penyangga termasuk kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya.

6. Analisis risiko yang mencakup analisis risiko ekologik maupun risiko sosial ekonomi dan budaya.

Sehubungan dengan telah selesainya penyusunan laporan ini, penyusun menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Direktorat KKH, Ditjen PHKA yang telah menginisiasi pelaksanaan kegiatan Analisis Risiko Lingkungan Pembangunan JRS.

2. Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang telah memfasilitasi kelancaran pelaksanaan kegiatan lapangan.

3. WWF Ujung Kulon yang telah memfasilitasi terselenggaranya kegiatan studi ini. 4. YABI yang telah berkontribusi dalam memberikan data/informasi, tenaga

lapangan dan masukan-masukan dalam diskusi untuk penyempurnaan laporan ini. 5. Prof. Dr. EKS Harini Muntasib, MS (Fahutan IPB), Dr. Agustinus Suyanto

(LIPI) dan Drs. Hasmar Rusmendro (Biologi UNAS) sebagai reviewer terhadap laporan hasil studi.

6. Para pihak yang telah mendukung dan membantu pelaksanaan kegaitan hingga terselesaikannya laporan ini, yang tidak dapat kami sebutkan namanya satu per satu.

Demikian Laporan ini dibuat sebagai dasar dalam menentukan kebijakan selanjutnya terkait rencana pembangunan Javan Rhino Sanctuary di Taman Nasional Ujung Kulon.

Bogor, November 2010

Tim ERA

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN ... I-1

A. Latar Belakang ... I-1

B. Tujuan dan Sasaran ... I-2

C. Dasar Pelaksanaan ... I-3

D. Kerangka Pemikiran ... I-3

E. Ruang Lingkup ... I-4

BAB II METODOLOGI ... II-1

A. Waktu dan Lokasi ... II-1

B. Pelaksana Kegiatan ... II-1

C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... II-2

D. Metode Pengumpulan Data ... II-2

D.1. Desk Study ... II-2

D.2. Survey Lapangan . ... II-3

E. Metode Analisis Data ... II-5

E.1. Analisis Data Ekologik ... II-5

E.2. Analisis Data Sosekbud ... II-5

E.3. Metode Evaluasi Risiko Lingkungan ... II-6

BAB III RENCANA PEMBANGUNAN JRS ... III-1

A. Latar Belakang ... III-1

B. Tujuan ... III-1

C. Pemrakarsa ... III-2

D. Lokasi Rencana JRS ... III-2

E. Gambaran Kegiatan Proyek ... III-2

E.1. Tahapan Proyek ... III-2

E.2. Disain Sarana-Prasaran ... III-3

E.3. Kegiatan Pengelolaan JRS ... III-3

BAB IV KONDISI UMUM CALON LOKASI JRS ... IV-1

A. Profil Taman Nasional Ujung Kulon ... IV-1

B. Kondisi Fisik Kawasan ... IV-2

B.1. Aksesibilitas (cara pencapaian ke JRS) ... IV-2

B.2. Topografi ... IV-4

B.3. Hidrologi ...….. IV-4

B.4. Penutupan Lahan ... IV-5

C. Kondisi Biotik Kawasan ... IV-6

C.1. Ekosistem ... IV-6

C.2. Flora ... IV-7

C.3. Fauna ... IV-9

D. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... IV-12

D.1. Letak, Luas dan Aksesibilitas ... IV-12

 

(4)

ERA Rencana Pembangunan JRS 

D.2. Kondisi Biofisik ... IV-13

D.3. Administrasi Pemerintahan ... IV-13

D.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya ... IV-14

D.5. Perilaku, Persepsi dan Harapan ... IV-19

BAB V ANALISIS RISIKO ... V-1

A. Identifikasi Risiko ... V-1

A.1. Risiko Ekologik ... V-1

A.1.1. Hambatan Terhadap Pergerakan Satwaliar ... V-2

A.1.2. Fragmentasi Habitat ... V-5

A.1.3. Kompetisi ... V-7

A.2. Risiko Sosial Ekonomi dan Budaya ... V-8

A.2.1. Konflik Manusia – Satwaliar ... V-8

A.2.2. Konflik Masyarakat – PengelolaTNUK ... V-10

B. Evaluasi Risiko Lingkungan ... V-12

B.1. Risiko I: Hambatan terhadap Pergerakan Satwaliar ... V-13

B.2. Risiko II: Fragmentasi Habitat ... V-14

B.3. Risiko III: Kompetisi ... V-15

B.4. Risiko IV: Konflik Manusia dengan Satwaliar ... V-17

B.5. Risiko V: Konflik Masyarakat dengan TNUK ... V-18

BAB VI PENUTUP ... VI-1

A. Kesimpulan ... ... VI-1

B. Saran-saran ... VI-1

DAFTAR BACAAN ... DB-1

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Susunan tim pelaksana kegiatan ERA ... II-2

2. Tahapan kegiatan ERA ... II-2

3. Sebaran responden kegiatan ERA ... II-5

4. Pendugaan tingkat risiko lingkungan dan pembobotannya ... II-6

5. Pembagian zonasi TNUK tahun 1997 ... IV-2

6. Persepsi responden terhadap kerusakan TNUK ... IV-20

7. Persepsi responden terhadap manfaat keberadaan TNUK ... IV-20

8. Persepsi responden terhadap rencana pembangunan JRS ... IV-21

9. Persepsi responden terhadap rencana pemagaran beraliran listrik

JRS ... IV-22

10. Persepsi responden mengenai manfaat adanya JRS ... IV-22

11. Harapan responden terhadap rencana pembangunan JRS ... IV-23

12. Tindakan responden melihat terjadinya pengrusakan kawasan TNUK .. IV-23 13. Penilaian/pembobotan atas risiko hambatan terhadap pergerakan

Satwaliar ... V-13

14. Penilaian/pembobotan atas risiko fragmentasi habitat ... V-15

15. Penilaian/pembobotan atas risiko kompetisi ... V-17

16. Penilaian/pembobotan atas risiko konflik manusia - satwaliar ... V-18

17. Penilaian/pembobotan atas risiko masuyarakat – TNUK ... V-20

 

(6)

ERA Rencana Pembangunan JRS 

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Lokasi studi ERA pembangunan JRS ... II-1

2. Jalur pengamatan lapang kegiatan ERA ... II-4

3. Areal calon lokasi Javan Rhino Sanctuary ... III-2

4. Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon ... IV-3

5. Peta sebaran beberapa jenis satwa penting ... IV-11

6. Peta sebaran temuan jejak badak selama survey lapangan ... IV-11

7. Peta desa-desa di daerah penyangga TNUK ... IV-12

8. Persentase tingkat pendidikan di Kecamatan Sumur ... IV-15

9. Persentase tingkat pendidikan di Kecamatan Cimanggu ... IV-15

10. Komposisi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sumur dan

Cimanggu ... IV-16

11. Pergerakan Banteng (titik kuning) dan macan tutul (kotak putih)

Di sekitar Karang Ranjang ... V-3

(7)

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies yang paling langka diantara 5 spesies badak yang ada di dunia. Badak jawa merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 dan dalam IUCN Red List of Threatened Species dikategorikan sebagai satwa sangat terancam punah (critically endangered). Selain itu, badak jawa juga termasuk dalam Apendiks I CITES.

Pada saat ini penyebaran badak jawa di dunia terbatas di dua negara saja, yakni di TN Cat Tien (Vietnam) dengan populasi tinggal 5-8 ekor (Polet & Mui 1999) dan TN Ujung Kulon (Indonesia) dengan populasi sekitar 50-60 ekor (TNUK 2008), sehingga menjadi harapan terakhir bagi para pelaku konservasi untuk dapat menyelamatkan populasi badak jawa dari kepunahan.

Satwa, seperti badak jawa, yang hidup berkumpul di satu kawasan utama, sangat rentan terhadap kepunahan atau dianggap belum sepenuhnya aman dari ancaman kepunahan, karena adanya berbagai faktor yaitu serangan penyakit, bencana alam (seperti tsunami, letusan gunung Krakatau, gempa bumi), perburuan, degradasi habitat dan kompetisi dengan banteng.

Berbagai upaya konservasi badak jawa sudah banyak dilakukan di lokasi ini selama 3 – 4 dekade terakhir, Namun demikian, kehidupan badak jawa di TNUK dianggap belum sepenuhnya aman dari ancaman kepunahan karena adanya berbagai faktor seperti bencana alam, degradasi habitat, penyakit, perburuan liar dan kemungkinan terjadinya inbreeding. Oleh sebab itu, berbagai langkah strategis konservasi badak jawa telah dicanangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Jawa. Salah satu strategi penyelamatan badak jawa adalah mengembangkan habitat kedua (second habitat) (DEPHUT 2007) dan membangun Javan Rhino Sanctuary (JRS).

Sejalan dengan pengembangan habitat kedua, JRS dianggap perlu untuk mendukung program relokasi badak jawa ke habitat barunya nanti. JRS akan

       I-1   

(8)

  ERA Rencana Pembangunan JRS 

menjadi langkah awal untuk mengembangkan populasi kedua badak jawa, sebagai tempat memperdalam pengetahuan tentang bioekologi badak jawa dan mengidentifikasi cara paling aman dalam menangkap dan translokasi badak jawa, serta mengupayakan migrasi alami badak jawa ke sanctuary (AsRSG 2009).

Secara fisik, sebagaimana telah direncanakan, JRS akan berupa areal seluas 3.000 - 4.000 ha yang berada di Resort Kalejetan dan Legon Pakis, yang di sekelilingnya dipasangi pagar beraliran listrik. Adanya pemagaran akan memberi keuntungan antara lain: menghambat masuknya ternak masyarakat yang berpotensi menularkan penyakit yang bersifat zoonosis serta mempermudah upaya seleksi individu badak jawa berkualitas baik untuk tujuan translokasi (second habitat).

Namun demikian, pemilihan lokasi dan pemagaran tersebut telah memunculkan kekhawatiran di kalangan akademisi, peneliti dan pemerhati badak bahwa rencana tersebut akan mendatangkan risiko/dampak negatif jangka panjang bagi proses-proses ekologik dan pengelolaan taman nasional. Hal paling utama yang menjadi kekhawatiran tersebut adalah terputusnya konektivitas antar semenanjung dengan wilayah G. Honje akibat keberadaan JRS. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dianggap perlu untuk melakukan Analisis Risiko Lingkungan/Environment Risk Assesment (ERA) sebelum pembangunan JRS (khususnya pemagaran) agar risiko-risiko dari segi ekologik, sosial-ekonomi dan budaya dapat diidentifikasi dan diantisipasi dengan sebuah rencana pengelolaan JRS yang lebih komprehensif.

B. Tujuan dan Sasaran

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka tujuan utama dari kegiatan Analisis Risiko Lingkungan (ERA) yang dilakukan adalah untuk: menjawab dan membuktikan kekhawatiran kalangan akademisi, peneliti dan pemerhati badak akan adanya risiko/dampak negatif dari pembangunan JRS. Adapun tujuan antara yang ingin dicapai yaitu:

1. Mengetahui risiko ekologik yang dihadapi satwa yang ada di dalam dan di sekitar JRS.

2. Mengetahui risiko sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar JRS.

Sedangkan sasaran yang akan dicapai dari studi ini adalah menjelaskan risiko lingkungan akibat kegiatan JRS.

(9)

C. Dasar Pelaksanaan

Tim bekerja berdasarkan Surat Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) No. S.455/KKH-1/2010 tanggal 20 Agustus 2010 perihal Rapid Risk Assesment (RRA) di Balai Taman Nasional Ujung Kulon (Lampiran 1).

D. Kerangka Pemikiran

Rencana kegiatan pembangunan JRS merupakan tindak lanjut dari rekomendasi pertemuan AsRSG (2009). Berdasarkan proposal rencana pembangunan yang disampaikan BTN Ujung Kulon dan YABI kepada Direktorat KKH, lokasi JRS tersebut akan berupa areal seluas 3.000 – 4.000 ha di Zona Inti TN Ujung Kulon (yang mencakup tanah genting – Kalejetan – Aermokla dan Honje Selatan) yang diberi pagar beraliran listrik sepanjang ± 20 km.

Secara geografis, areal yang diusulkan untuk JRS berada di antara Semenanjung dan G. Honje. Posisi tersebut berpotensi memecah kesatuan lansekap TN Ujung Kulon. Kesatuan lansekap tersebut dibuktikan dengan adanya kesamaan tipe ekosistem dan pergerakan satwaliar dari Semenanjung ke G. Honje atau sebaliknya. Dengan demikian, rencana pemagaran tersebut diduga akan memutus konektivitas dan menimbulkan risiko-risiko ekologik (terganggunya pergerakan satwa, fragmentasi habitat dan kompetisi) dan sosial-ekonomi-budaya (konflik manusia-satwaliar dan masyarakat-pengelola taman nasional). Risiko-risiko inilah yang telah menimbulkan kekhawatiran para pihak, terutama akademisi, peneliti dan pemerhati badak jawa. Tetapi risiko-risiko tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Oleh karena itu diperlukan kegiatan analisis risiko lingkungan (ERA) untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya risiko-risiko tersebut.

Dalam kerangka kerja ERA dikenal ada 3 tingkatan/tahapan proses yakni: (1) Screening Assessment, (2) Preliminary Quantitative dan (3) Detailed Quantitative. Secara prinsip, Screening Assessment bersifat sederhana, cenderung kualitatif, deskriptif dan lebih menekankan pada studi literatur. Di lain pihak, tahap Detailed Quantitative bersifat kompleks, fully quantitative, prediktif dan berdasarkan studi lapangan yang detail. Sementara tahap Preliminary Quantitative berkarakteristik di tengah-tengah antara tahap Screening Assessment dan Detailed Quantitative.

       I-3   

(10)

  ERA Rencana Pembangunan JRS 

Sebagaimana dikemukakan di atas, kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi risiko lingkungan yang diduga akan muncul apabila ada pembangunan JRS sesuai proposal yang diajukan. Oleh sebab itu, sesuai dengan kerangka kerja ERA, kegiatan analisis risiko lingkungan ini merupakan Screening assesment yang bersifat sederhana, kualitatif, deskriptif dan lebih menekankan pada studi literatur.

E. Ruang Lingkup

Karena rencana detail tentang pengelolaan JRS belum ada, maka assesment terhadap rencana JRS belum dapat dilakukan secara mendalam, sebagaimana layaknya studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Selain itu, karena proposal pembangunan JRS juga baru fokus pada pembangunan pagar maka ERA, sebagaimana dinyatakan di atas, hanya akan ditekankan pada identifikasi risiko keberadaan pagar terhadap aspek-aspek ekologis satwaliar serta aspek sosial ekonomi dan budaya. Itu sebabnya, kegiatan ERA ini masih berada pada tahap Screening Assessment.

ERA dilakukan dengan mengacu pada proposal rencana pembangunan JRS yang diajukan Balai TN Ujung Kulon bersama Yayasan Badak Indonesia, yang secara resmi telah diketahui dan ditandatangani oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Ditjen PHKA [Lampiran 3]. Atas dasar proposal tersebut maka Direktur KKH membentuk Tim untuk melakukan studi ERA terhadap rencana JRS tersebut [Lampiran 2].

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan ERA ini adalah:

1. Pendataan dan identifikasi, yang mencakup (a) Desk study untuk keperluan penyusunan laporan awal dan (b) survei serta observasi lapangan dalam rangka pengumpulan data dan informasi. Adapun data dan informasi lapangan meliputi:

distribusi dan pergerakan satwa pada calon lokasi JRS (dengan menggunakan GIS);

karakteristik bio-fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan;

potensi dan permasalahan kawasan.

2. Kompilasi dan analisis hasil-hasil pendataan dan identifikasi.

(11)

       I-5   

3. Penyusunan draft laporan ERA .

4. Pembahasan laporan bersama reviewer yang telah ditentukan. 5. Presentasi hasil ERA di Kementerian Kehutanan (PHKA). 6. Penyempurnaan laporan akhir hasil ERA.

(12)

 ERA Rencana Pembangunan JRS 

Bab II

METODOLGI

A. Waktu dan Lokasi

Kegiatan ERA ini dilaksanakan selama lebih kurang lima minggu mulai dari tanggal 30 Agustus s/d 9 Oktober 2010. Pelaksanaan survei lapangan dilakukan di areal rencana lokasi JRS, SPTN II Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, selama 1 minggu (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi studi ERA pembangunan JRS

B. Pelaksana Kegiatan

Pelaksana kegiatan ERA ini adalah sebuah tim yang ditunjuk oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA sesuai dengan surat No. S.455/KKH-1/2010 tanggal 20 Agustus 2010 perihal Rapid Risk Assesment (RRA) di Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Tim ini awalnya terdiri atas 2 orang penasehat, 1 orang supervisor, 3 orang tenaga ahli, 2 orang reviewer, 1 orang asisten lapangan/

administrasi, dan beberapa orang tenaga lapangan sebagaimana pada Tabel 1. Dalam

perkembangannya, reviewer ditambah 3 orang yakni: Prof. Dr. EKS Harini Muntasib, MS (Fahutan IPB), Dr. Agustinus Suyanto (LIPI) dan Drs. Hasmar Rusmendro (Biologi UNAS).

(13)

Tabel 1. Susunan tim pelaksana kegiatan ERA

No Nama Jabatan Institusi

1. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Penasehat Dep. KSHE, IPB 2. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Penasehat Dep. KSHE, IPB

3. PM. Supervisor Dit. KKH

4. U. Mamat Rahmat, S.Hut, M.Si Tenaga Ahli/Ketua Tim Dep. KSHE 5. Ir. Ivan Yusfi Noor, M.Si Tenaga Ahli/Anggota Tim Dep. KSHE 6. Drh. Abdul Muin, M.Si Tenaga Ahli/Anggota Tim Dep. KSHE

7. Dr. Ir. Kartina AM, MP. Reviewer UNTIRTA

8. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut Reviewer UGM

9. Reni Srimulyanihsih, S.Hut Staf Adm/Anggota Tim Dep. KSHE

C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan ERA ini dilakukan melalui tahap sebagaimana pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan kegiatan ERA.

Minggu ke- .. No. Kegiatan I II III IV V PERSIAPAN 1. Penyusunan TOR √ - - - - 2. Administrasi kegiatan √ - - - -

3. Presentasi Rencana Di Kemenhut - √ - - -

PELAKSANAAN 4. Desk study √ √ √ √ √ 5. Survei Lapangan - √ - - - 6. Analisis Data - - √ - - PELAPORAN 7. Penyusunan Laporan - - - √ - 8. Presentasi Hasil - - - - √ 9. Penyempurnaan Laporan - - - - √

D. Metode Pengumpulan Data

D.1. Desk Study

Sebagian kegiatan ERA dilakukan melalui penelaahan data dan informasi dari berbagai bahan pustaka, peta, citra satelit serta dokumen terkait lainnya. Data dan informasi tersebut selanjutnya dianalisis dengan berbagai perangkat analisis seperti analisis spasial (SIG) dan statistik deskriptif, untuk mengidentifikasi risiko lingkungan (ekologik, sosial-ekonomi dan budaya) dari pembanguanan JRS.

           II-2   

(14)

 ERA Rencana Pembangunan JRS 

D.2. Survei Lapangan

Survei lapangan bertujuan untuk memverifikasi data, informasi dan hasil interpretasi yang diperoleh dari penelaahan dan analisis dengan Desk Study. tracking, inventarisasi populasi dan survei sosial ekonomi (wawancara) adalah beberapa metode pengumpulan data lapangan yang akan dipakai dalam kegiatan ERA ini. Survey lapangan ini dilakukan pada dua hal yaitu kondisi ekologi dan kondisi sosekbud masyarakat sekitar, dengan rincian sebagai berikut:

D.2.1. Pengumpulan Data Rencana Pembangunan JRS

Pengumpulan data terkait rencana pembangunan JRS dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi rencana kegiatan yang menimbulkan risiko lingkungan. Wawancara dengan pengelola TNUK maupun mitra kerja dalam pembangunan JRS dan tinjauan lapang akan dilakukan untuk mendapatkan data-data yang dimaksud.

D.2.2. Pengumpulan Data Ekologik

Pengumpulan data untuk mengidentifikasi risiko ekologik pembangunan JRS dilakukan dengan melakukan survei lapangan di areal calon lokasi fasilitas tersebut. Survei lapangan dilakukan dengan menelusuri jalur jalan setapak yang memotong atau berada di dalam areal JRS (Gambar 2). Jalur jalan setapak yang dilalui meliputi: (1) Jalur Laban – Karang Ranjang yang memotong tanah genting, (2) Jalur Karang Ranjang – Kalejetan yang menyusuri pesisir selatan areal JRS, (3) Jalur Kalejetan – Legon Pakis yang memotong bagian tengah JRS, (4) Jalur Legon Pakis – Muara S. Cilintang dan (5) Legon Pakis – Kampung Peuteuy.

Survei lapangan bertujuan untuk mengecek keberadaan dan pergerakan jenis-jenis satwaliar penting (dilindungi) di dalam dan sekitar areal calon JRS. Keberadaan dan pergerakan satwa-satwa tersebut diamati dan dianalisis melalui perjumpaan langsung atau melalui jejak aktivitasnya seperti tapak kaki, bekas makan, suara, kotoran (feses) dan bekas gesekan. Pada setiap perjumpaan (langsung maupun melalui jejak aktivitasnya), dilakukan pencatatan terhadap jenis satwa yang teramati atau meninggalkan jejak, jumlah individu, lokasi (nama tempat dan koordinat), arah pergerakan serta deskripsi lokasi. Untuk memastikan arah

(15)

pergerakan, dari setiap lokasi perjumpaan dilakukan penelusuran jejak untuk memperoleh koordinat-koordinat yang dapat memberikan gambaran tentang jalur pergerakan satwa. Keberadaan dan pergerakan satwa di dalam dan sekitar areal JRS juga diidentifikasi dan dianalisis melalui data perjumpaan satwaliar yang bersumber dari berbagai laporan dan file yang ada di Balai TNUK.

 

Gambar 2. Jalur pengamatan lapang kegiatan ERA

D.2.3. Pengumpulan Data Sosekbud

Responden dalam penelitian ini terdiri dari petugas TNUK, masyarakat Kp. Legon Pakis, masyarakat Kp. Cikawung, masyarakat Kp. Peuteuy, masyarakat Kp. Cipakis, masyarakat Kp. Salam dan masyarakat Kp. Cegog. Pengambilan responden didasarkan pada keterwakilan masyarakat yang berbatasan langsung dengan calon lokasi JRS dan dari berbagai tingkatan masyarakat seperti masyarakat biasa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparat desa dan petugas TNUK. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini adalah 30 orang yang diharapkan dapat mewakili dan mencerminkan kondisi masyarakat yang berbatasan langsung dengan calon lokasi JRS. Sebaran rensponden sebagaimana pada Tabel 3.

Data dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung pada responden dengan bantuan daftar

           II-4   

(16)

 ERA Rencana Pembangunan JRS 

pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Jenis data primer yang diperlukan adalah: interaksi masyarakat dengan TNUK, gangguan satwaliar terhadap masyarakat, pengetahuan masyarakat terhadap rencana pembangunan JRS, persepsi masyarakat terhadap rencana pembangunan JRS, manfaat yang ingin diperoleh dari pembangunan JRS, partisipasi masyarakat dan saran-saran untuk rencana pembangunan JRS. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumen terkait TNUK dan sosek masyarakat, komunikasi dengan pengelola TNUK, YABI dan WWF.

Tabel 3. Sebaran responden kegiatan ERA

No Responden Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Masyarakat Kp. Legon Pakis 7 23,33

2 Masyarakat Kp. Cikawung 5 16,67 3 Masyarakat Kp. Peuteuy 7 23,33 4 Masyarakat Kp. Cipakis 1 3,33 5 Masyarakat Kp. Salam 5 16,67 6 Masyarakat Kp Cegog 5 16,67 Total 30 100,00

E. Metode Analisis Data E.1. Analisis Data Ekologik

Data hasil survei lapangan dan penelusuran dokumen berupa koordinat perjumpaan satwaliar (langsung dan jejak aktivitas) diolah dan dianalisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcView 3.1 dan GoogleEarth. Analisis juga dilakukan secara deskriptif (semi kuantitatif) dengan menggunakan teori, standar-standar yang berlaku dan hasil penelitian/informasi yang relevan dengan situasi ekologik yang akan dihadapi oleh TN Ujung Kulon dengan adanya barrier JRS.

E.2. Analisis Data Sosekbud

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden diolah dan dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil pengolahan ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan pie chart.

(17)

D.3. Metode Evaluasi Risiko Lingkungan

Risiko merupakan konsekuensi dari kegagalan/kesalahan atau peluang terjadinya kegagalan. Suatu risiko juga dapat dianggap sebagai fungsi peluang terjadinya kegagalan (probability of failure) dengan fungsi konsekuensi akibat kegagalan (concequences of failure). Oleh karena itu untuk mengetahui risiko yang akan terjadi akibat adanya suatu usaha dan atau kegiatan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ke dua fungsi tersebut, terutama dalam bobot kontribusi (peranan) masing-masing guna mengetahui batasan-batasan dan penilaiannya.

Evaluasi risiko lingkungan dalam studi ini dilakukan dengan pendekatan pendugaan tingkat risiko. Tingkat risiko merupakan resultante dari kedua fungsi di atas. Fungsi peluang terjadinya kegagalan didekati oleh frekuensi atau kekerapan terjadinya risiko yang diprakirakan. Sedangkan, fungsi konsekuensi akibat kegagalan/kesalahan didekati oleh tingkat bahaya atau keparahan yang akan muncul. Kekerapan dan keparahan akan dinilai secara kualitatif dan diklasifikasikan ke dalam kategori tinggi, sedang dan rendah. Sedangkan resultantenya (misal: kekerapan = tinggi, keparahan = tinggi) akan dinilai secara semi kuantitatif dengan menggunakan skor 1 – 6 (Tabel 4). Kategori skor 1-2 menunjukkan tingkat risiko yang rendah; skor 3-4 menunjukkan tingkat risiko sedang; dan skor 5-6 menunjukkan tingkat risiko tinggi.

Tabel 4. Pendugaan Tingkat Risiko Lingkungan dan Pembobotannya

Keparahan Keparahan Risiko R S T Risiko R S T R RR RS RT R 1 2 3 S SR SS ST S 2 4 5 Keke ra pan T TR TS TT Keke ra pan T 3 5 6 Keterangan:

RR = Risiko rendah – rendah (sangat rendah); Nilai = 1 (rendah) RS/SR = Risiko rendah – sedang (rendah); Nilai = 2 (rendah) RT/TR = Risiko rendah – tinggi (sedang); Nilai = 3 (sedang) SS = Risiko sedang-sedang (agak tinggi); Nilai = 4 (sedang) ST/TS = Risiko sedang- tinggi (tinggi); Nilai = 5 (tinggi) TT = Risiko tinggi – tinggi (sangat tinggi); Nilai = 6 (tinggi)

           II-6   

(18)

 ERA Rencana Pembangunan JRS 

           II-7 

Tingkat risiko dinilai oleh seluruh Tim ERA dan hasilnya merupakan expert judgement atas tingkat bahaya yang mungkin terjadi apabila pembangunan JRS tetap dilaksanakan sesuai rencana yang ada.

(19)

Bab III

RENCANA PEMBANGUNAN JRS

Kegiatan ERA ini dilakukan atas dasar adanya usulan/permohonan untuk membangun Javan Rhino Santuary di Taman Nasional Ujung Kulon dari Balai TN Ujung Kulon bekerjasama dengan Yayasan Badak Indonesia (YABI). Berikut ini adalah gambaran ringkas tentang usulan tersebut (proposal lengkap permohonan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3):

A. Latar Belakang

Berbagai permasalahan mengancam populasi badak jawa di Taman Nasional Ujungkulon. Satwa yang oleh IUCN dianggap paling terancam punah ini ditengarai menghadapi risiko penurunan kualitas genetik akibat inbreeding, kompetisi dengan banteng, penurunan kualitas habitat dan bencana alam berupa tsunami. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai langkah penyelamatan (konservasi) badak jawa telah dirumuskan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Jawa (DEPHUT 2007). Salah satu strategi/rencananya adalah menciptakan habitat kedua bagi badak jawa. Dalam rangka menindaklanjuti rencana tersebut, AsRSG (2009) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) membangun penangkaran sebagai langkah awal mengembangkan habitat kedua bagi badak jawa; (2) memanfaatkan penangkaran tersebut sebagai tempat memperdalam pengetahuan dasar tentang badak jawa dan mengidentifikasi cara paling aman dalam menangkap dan memindahkan badak jawa; dan (3) mengupayakan migrasi badak jawa ke dalam penangkaran tersebut secara alami dan sesuai strategi atau proses seleksi individu yang dikembangkan.

B. Tujuan

Tujuan dari proyek pembangunan JRS ini adalah: (1) mendirikan suatu areal yang memudahkan pembelajaran mengenai ekologi dan perilaku badak jawa; (2) memiliki cara yang paling aman melalui program yang layak bagi pembangunan populasi kedua badak jawa tersebut; (3) mendapatkan pengetahuan mengenai daya dukung dan ruang kehidupan populasi badak Jawa untuk merencanakan reintroduksi

III-1  

(20)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

lebih lanjut; (4) membangun pemahaman bersama tentang kepentingan konservasi badak Jawa melalui proses sosilalisasi kepada masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah dan pihak-pihak lain.

C. Pemrakarsa

Pembangunan JRS diprakarsai oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan Yayasan Badak Indonesia (YABI).

D. Lokasi Rencana JRS

Areal calon JRS terletak di dalam kawasan Taman nasional Ujung Kulon, yakni di bagian selatan Gunung Honje yang berada di tengah-tengah antara Semenanjung Ujung Kulon dengan areal hutan Gunung Honje (Gambar 3). Keberadaan dua individu badak jawa yang akhir-akhir ini memasuki dan menggunakan wilayah tersebut menjadi dasar pertimbangan pemilihan lokasi ini.

 

Gambar 3. Areal calon lokasi Javan Rhino Sanctuary E. Gambaran Kegiatan Proyek

E.1. Tahapan Proyek

Pembangunan JRS dilakukan melalui 3 tahapan proyek yaitu: (1) persiapan, (2) pembangunan, dan (3) pelaksanaan. Setiap tahapan terdiri atas berbagai kegiatan sebagai berikut:

(21)

Tahap Persiapan: a. Identifikasi lokasi,

b. Survey dan penelitian, yang mengidentifikasi lokasi sebagai JRS dengan pertimbangan kelayakan habitat (sumber air, pakan dan penutup hutan) dan aksesibilitasnya,

c. Pembangunan Site Plan JRS, d. Pemancangan batas-batas JRS,

e. Identifikasi disain bangunan dan aksesibilitas JRS,

f. Penyelenggaraan Workshop untuk sosialisasi JRS (melibatkan para pihak, pemerintah daerah, LSM Lokal dan Internasional dan lembaga-lembaga pemerintah terkait).

Tahap Pembangunan: a. Pemagaran JRS,

b. Identifikasi cara yang aman bagi migrasi badak Jawa, dengan mempertimbangkan aspek biologinya,

c. Penangkapan dan translokasi, d. Monitoring.

Tahap Pelaksanaan:

a. Sarana dan Perlengkapan, b. Pengadaan Operasional JRS.

E.2. Disain Sarana-Prasarana

Sarana dan prasarana yang akan dibangun dalam JRS meliputi: (1) pagar listrik sepanjang 20 km; (2) jalan patroli sepanjang pagar dengan lebar 10 m, masing-masing 5 m di dalam dan di luar pagar; (3) pos jaga (4) gorong-gorong; dan (5) pembangkit listrik. Proposal Rencana Pembangunan JRS hanya menyajikan disain pagar listrik, sedangkan disain sarana-prasarana lain belum ada.

E.3. Kegiatan Pengelolaan JRS

Proposal pembangunan JRS yang diajukan hanya mencakup kegiatan-kegiatan pada tahap persiapan yang akan dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun. Selain

III-3  

(22)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

III-4

pembangunan pagar dan segala macam fasilitas pendukungnya, dalam waktu 1 tahun tersebut juga akan dilakukan kegiatan pembinaan habitat dan sosialisai. Pembinaan habitat akan mencakup penyediaan pakan dan pembuatan kubangan. Sosialisasi meliputi kegiatan-kegiatan rapat (pertemuan), lokakarya, evaluasi dan monitoring.

(23)

Bab IV

KONDISI UMUM CALON LOKASI JRS

A. Profil Taman Nasional Ujung Kulon

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) adalah kawasan konservasi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Secara administrasi kawasan ini berada di wilayah Kabupaten Pandegelang, Provinsi Banten.

Dalam sejarahnya, kawasan ini berkali-kali mengalami perubahan status dan luasan kawasan. Status perlindungan pertama kali diberikan pada tahun 1921 ketika pemerintah Hindia Belanda menjadikan Semenanjung Ujung Kulon sebagai cagar alam dengan menyatukannya dengan kawasan Krakatau yang telah ditetapkan dua tahun sebelumnya. Tahun 1937, status cagar alam diubah menjadi suaka margasatwa (SM) dengan tambahan wilayah Pulau Peucang dan Handeuleum. Nama kawasan berubah menjadi SM Ujung Kulon – Panaitan. Tahun 1958, status kawasan berubah kembali menjadi Cagar Alam (CA) Ujung Kulon – Panaitan. Seiiring dengan perubahan itu, kawasan perairan selebar 500 m dari garis surut terendah di sekitar daratannya juga dimasukkan ke dalam cagar alam, termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Boboko dan Pulau Pamanggangan di gugusan Pulau Handeuleum.

Tahun 1967, kawasan hutan Gunung Honje bagian selatan seluas 1.000 ha yang dikelola oleh Perum Perhutani ditetapkan sebagai bagian dari CA Ujung Kulon. Selanjutnya pada tahun 1979, kawasan hutan Gunung Honje bagian barat seluas 9.498, 9 ha juga masuk menjadi bagian CA Ujung Kulon.

Tahun 1984, Semananjung Ujung Kulon seluas 39.120 ha, Gunung Honje (19.498 ha), Pulau Peucang dan Panaitan (17.500 ha), kepulauan Krakatau (2.405,1 ha) dan Hutan Wisata Carita (95 ha) ditunjuk sebagai taman nasional. Namun tahun 1990, luas TNUK mengalami pengurangan dengan diserahkannya pengelolaan kepulauan Krakatau kepada BKSDA II Tanjung Karang dan Hutan Wisata Carita kepada Perum Perhutani. Akhirnya, pada tahun 1992 kawasan TNUK yang terdiri atas daratan seluas 78.619 ha serta perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 ha, ditetapkan. Di tahun yang sama komisi warisan alam dunia menetapkan TNUK sebagai The Natural Worlds Heritage.

IV-1

(24)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

Dalam perkembangan pengelolaan selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, TNUK dibagi ke dalam beberapa kawasan dan zona pengelolaan. Hingga saat ini sistem zonasi TNUK telah mengalami tiga kali perubahan (revisi) zonasi. Zonasi awal dibentuk pada tahun 1991 dan terdiri atas 6 zona (inti, rimba, pemanfaatan intensif, pemanfaatan tradisonal, rehabilitasi dan penyangga). Tahun 1997, berdasarkan SK Dirjen PHPA No : 115/Kpts/DJ-II/1997, zona TNUK berubah menjadi menjadi 5 zona sebagaimana diuraikan pada Tabel 5 dan disajikan sebarannya pada Gambar 4. Terakhir, saat ini sedang diproses usulan perubahan zonasi. Dalam usulan tersebut, TNUK rencananya akan dibagi menjadi 7 zona, yaitu zona inti, rimba, pemanfaatan intensif, situs budaya dan sejarah, pemanfaatan khusus, pemanfaatan tradisional dan penyangga.

Tabel 5. Pembagian zonasi TNUK Tahun 1997

Nama Zona Luas (Ha) Keterangan

1. Zona Inti 37.150 Semenanjung Ujung Kulon dan sebagian kecil Gn. Honje

2. Zona Rimba a. Daratan b. Perairan

35.064 42.231

Seluruh darat dan laut P. Panaitan, Bagian peri-peri kawasan Semenanjung Ujungkulon, Gn. Honje, P. Peucang dan P. Handeuleum

3. Zona Pemanfaatan Intensif a. Daratan

b. Perairan

440 656

Wilayah darat Legon Butun-Legon Samadang seluas 375 Ha, P. Peucang seluas 50 Ha dan P. Handeuleum seluas 15 Ha.

Wilayah laut Legon Anggasa seluas 33 Ha, P. Peucang seluas 280 Ha dan P. Handeuleum seluas 40 Ha

4. Zona Pemanfaataan Tradisional a. Daratan b. Perairan 360 1.450

Perairan teluk Kasuaris, Tanjung Cangkudu-Pamanggangan dan Sepanjang perbatasan desa dengan TNUK

5. Zona Rehabilitasi 3.200 Gn. Honje Selatan dan Cegog

Jumlah 120.551

B. Kondisi Fisik Kawasan

B.1. Aksesibilitas (cara pencapaian ke JRS)

Taman Nasional Ujung Kulon dapat dicapai melalui jalan darat dan laut dari kota kecamatan Labuan. Jalan darat ke taman nasional dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi atau umum melalui rute Labuan – Cibaliung –

(25)

Cimanggu – Sumur – Ciputih – Tamanjaya – Ujungjaya. Rute ini berjarak ± 100 km dengan waktu tempuh ± 4 jam. Ruas jalan antara Sumur-Tamanjaya-Ujungjaya kondisinya kurang baik, sehingga harus menggunakan kendaraan yang double gardan.

Gambar 4. Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon

Jalan laut ke kawasan taman nasional terdiri atas beberapa rute yakni: (1) Labuan – Taman Jaya dengan waktu tempuh 4 jam; (2) Labuan – P. Handeuleum dengan waktu tempuh 4 jam; (3) Labuan – P. Peucang dengan waktu tempuh 5 jam. Dengan menggunakan kapal cepat (speed boat) jarak diatas dapat ditempuh dalam waktu yang lebih singkat.

Kota Labuan sendiri, dapat dicapai dari Jakarta melalui rute Jakarta-Cilegon-Labuan atau Jakarta-Serang-Pandeglang-Jakarta-Cilegon-Labuan, yang secara relatif dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Selain itu, ada pula rute alternatif melalui Bogor dengan rute Jakarta-Bogor-Rangkasbitung-Pandeglang-Labuan, yang secara relatif dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam.

Calon lokasi JRS dapat ditempuh melalui dua rute, yaitu:

a. Jalur darat. Calon lokasi JRS dapat ditempuh melalui jalur darat dari Ujungjaya (Legon Pakis) - Cilintang, Legon Pakis - Kampung Salam, Legon Pakis - Karang Ranjang.

IV-3

(26)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

b. Jalur laut. Jalur laut hanya bisa ditempuh dalam waktu yang relatif singkat dari Tamanjaya-Laban dan dilanjutkan menuju Karang Ranjang dengan berjalan kaki.

B.2. Topografi

Kawasan TNUK bagian Timur didominasi oleh deretan Pegunungan Honje dengan puncak tertinggi 620 m di atas permukaan laut (dpl). Bagian sebelah Baratnya yakni Semenanjung Ujung Kulon terutama didominasi oleh dataran rendah, walaupun di beberapa bagiannya terdapat pegunungan dan dataran tinggi seperti G. Payung (puncak tertinggi 480 dpl) dan Telanca. Semenanjung Ujung Kulon dengan Pegunungan Honje dipisahkan oleh dataran rendah yang dinamakan tanah genting. Pada dataran rendah antara semenanjung dan G. Honje inilah JRS ditempatkan.

TN Ujung Kulon memiliki banyak pulau besar dan kecil. Tiga pulau terbesar adalah P. Panaitan, P. Peucang dan P. Handeuleum. P. Peucang dan P. Handeuleum relatif datar sedangkan Pulau Panaitan topografinya datar sampai berbukit dan bergunung, dengan puncak tertinggi Gunung Raksa 320 m di atas permukaan Iaut.

Topografi pada areal calon JRS umumnya adalah datar, dengan sedikit areal bergelombang di bagian timur. Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000, areal calon JRS berada pada ketinggian antara 0 – 75 m dpl, dengan proporsi terbesar berada pada ketinggian di bawah 12,5 m dpl. Sisanya, khususnya yang berada di sisi sebelah timur areal calon JRS, berada di kaki Gunung Honje hingga ketinggian 75 m.dpl.

B.3. Hidrologi

Di Semenanjung Ujung Kulon terdapat 2 pola aliran sungai. Pada daerah berbukit di bagian Barat semenanjung (G. Payung dan G. Sikuya), pola aliran didominasi sungai-sungai kecil dengan arus deras dan tidak pernah kering sepanjang tahun. Sungai dengan tipe seperti itu adalah S. Cikuya dan Ciujung-kulon yang mengalir ke arah Utara, serta S. Cibunar yang mengalir ke arah Selatan .

Pada daerah rendah, sungai-sungainya relatif besar, beraliran tenang dan muaranya memiliki gugusan pasir sehingga dapat berubah-ubah bentuk. Sungai dengan tipe semacam ini adalah Cigenter, Cihandeuleum, Cikarang, Citadahan, Cibandawoh dan Cikeusik. Sungai-sungai tersebut bermuara ke pantai Barat dan Selatan.

(27)

Sungai-sungai besar biasanya juga membentuk rawa-rawa musiman. Selain itu, rawa-rawa luas juga terdapat di bagian Utara semenanjung. Rawa-rawa ini dibentuk oleh S. Nyawaan, S. Nyiur, S. Jamang dan S. Citelang.

Di P. Peucang tidak dijumpai adanya sungai, tetapi pada musim hujan di bagian Barat dan Timur Laut pulau terbentuk rawa air tawar. Pulau Panaitan umumnya mempunyai pola aliran sungai yang baik, yang mengalir ke arah pantai dengan sungai-sungai kecil (musiman) dan sungai-sungai besar antara lain S. Cilentah yang mengalir ke arah Timur, S. Cijangkah yang mengalir ke arah Utara, dan S. Ciharashas yang mengalir ke Selatan ke Teluk Kasuari. Di pulau ini juga terdapat beberapa hutan rawa air tawar di bagian Timur Laut (Legon Lentah-Citambuyung) dan Selatan (Teluk Kasuari).

Di wilayah Gunung Honje juga terdapat dua pola aliran sungai yaitu yang mengalir ke arah barat (Teluk Selamat Datang) dan ke arah Timur/Selatan (Samudera Hindia). Sungai-sungai tersebut mengalir melewati lereng-lereng G. Honje menuju pantai dan umumnya merupakan sungai-sungai kecil. Beberapa sungai besar yang berasal dari G. Honje adalah S. Cikalejetan dan S. Cimokla yang mengalir ke arah Barat Daya menuju pantai Selatan serta S. Cikawung dan S. Cilintang yang mengarir dan bermuara ke Teluk Selamat Datang. Air sungai yang berasal dari wilayah G. Honje banyak dipakai oleh masyarakat untuk keperluan hidup sehari-hari. Sumber air tersebut potensial untuk dikembangkan bagi keperluan air bersih, irigasi sawah dan kolam ikan.

Khusus di areal calon lokasi JRS terdapat empat sungai besar melintasi areal tersebut. Dua diantaranya, yakni S. Kalejetan dan S. Cimokla mengalir ke selatan dan bermuara ke Samudera Hindia. DAS ke dua sungai ini sebagian besar berada di dalam JRS. Di bagian barat areal calon JRS, mengalir Sungai Cilintang, yang bermuara ke Teluk Selamat Datang. Seluruh daerah aliran sungai Cilintang ini berada di dalam JRS. Satu sungai besar lagi adalah S. Cikawung yang berada di sebelah utara areal JRS. Sungai Cikawung ini juga berada di dalam areal JRS, tetapi hanya pada bagian hulunya saja.

B.4. Penutupan lahan

TNUK mengalami degradasi hutan yang cukup serius. Selama periode tahun 2000 – 2005, berdasarkan interpretasi citra satelit diketahui kecepatan degradasi

IV-5

(28)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

hutan rata-rata 1.000 ha per tahun. Dalam lima tahun tersebut, diprakirakan sekitar 5.100 ha hutan alam telah berubah menjadi semak belukar (3.072 ha), kebun campuran (1.888 ha), sawah (73 ha) dan tanah terbuka (45 ha).

Penutupan lahan di calon JRS juga banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas negatif masyarakat di dalam dan di sekitar taman nasional yang terus melakukan perambahan kawasan untuk membuat kebun dan sawah, Perubahan tutupan lahan akibat perambahan ini terutama terjadi di blok Aermokla dan Legon Pakis.

C. Kondisi Biotik Kawasan

C.1. Ekosistem

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki tiga tipe ekosistem yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem pesisir pantai dan ekosistem daratan/terestrial. Ekosistem perairan laut terdiri dari habitat terumbu karang dan padang lamun yang terdapat pada sebagian besar perairan Semenanjung Ujung Kulon, P. Handeuleum, P. Peucang dan P. Panaitan. Ekosistem pesisir pantai terdiri atas hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat di sepanjang pesisir pantai bagian Timur Laut Semenanjung Ujung Kulon dan pulau-pulau sekitamya. Ekosistem daratan berupa hutan hujan tropika dataran rendah yang terdapat di Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan. Ketiga ekosistem tersebut mempunyai hubungan saling ketergantungan dan membentuk dinamika proses ekologi yang sangat komplek. Hutan-hutan di semenanjung, tanah genting dan G. Honje sendiri merupakan kesatuan lansekap yang tidak terpisahkan secara ekologik.

Areal calon JRS sendiri memiliki dua macam tipe ekosistem yakni ekosistem pesisir dan ekosistem daratan/terestrial. Hutan pantai umumnya terdapat di pesisir selatan yang bebas dari pasang surut air laut. Sedangkan hutan mangrove terdapat di pesisir sebelah utara, khususnya di sekitar tanah genting. Ekosistem daratan di areal JRS ditandai oleh hutan hujan tropis yang terbentuk atas berbagai formasi hutan seperti hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan rawa air tawar, serta sedikit padang rumput. Hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa air tawar di areal calon JRS terlihat dalam berbagai tingkat suksesi seperti semak belukar, hutan sekunder dan hutan primer.

(29)

C.2. Flora

Flora di Taman Nasional Ujung Kulon membentuk berbagai formasi hutan yang dicirikan oleh dominasi oleh jenis/spesies tertentu. Formasi hutan tersebut adalah hutan pantai, hutan hujan tropika dataran rendah, hutan hujan tropika, hutan rawa air tawar, hutan mangrove dan padang rumput.

Hutan pantai umumnya dicirikan oleh adanya jenis-jenis nyamplung (Calophyllum innophyllum), butun (Barringtonia asiatica), klampis cina (Hemandia peltata), ketapang (Terminalia catappa), cingkil (Pongamia pinnata) dan lain-lain. Formasi ini banyak terdapat di pesisir pantai TNUK. Umumnya formasi ini hidup di atas pasir dan karang dalam jalur sempit sepanjang pantai dengan lebar 5 sampai 15 meter. Pada tempat-tempat terbuka di hutan pantai umum dijumpai pandan (Pandanus tectorius), pakis haji (cycas rumphii) dan kadang-kadang cantigi (Pemphis adicul). Di sepanjang Pantai Selatan Semenanjung Ujung Kulon, pandan seringkali membentuk vegetasi murni (monotipe) pada bukit-bukit pasir, dan pada beberapa lokasi bersama-sama dengan jenis Ficus septica dan Syzygium litorale.

Hutan mangrove luas terdapat di sepanjang pantai Timur semenanjung dan sisi Utara tanah genting. Dalam luasan kecil, hutan mangrove terdapat di daerah muara sungai besar dan pulau-pulau Handeuleum. Di Pulau Panaitan terdapat pula hutan mangrove yang cukup luas, yaitu di Legon Lentah dan sepanjang pantai Timur Laut. Selain itu dalam luasan yang relatif kecil terdapat di sepanjang pantai utara dan barat daya (Legon Kadam dan Legon Mandar) serta sepanjang pantai timur laut dan utara Teluk Kasuaris (Legon Bajo dan Legon Sarbini).

Jenis vegetasi mangrove yang paling umum adalah padi-padian (Lumnitzera racemosa), api-api (Avicennia spp.), bakau-bakau (Rhizophora spp.), bogem (Sonneratia alba dan Bruguiera spp.). Di samping itu terdapat pula Hutan Rawa Nypa yang tidak terlalu luas pada beberapa muara S. Cijungkulon, S. Cigenter, S. Cikeusik dan S. Cibandawoh

Hutan rawa air tawar terdapat di bagian Pantai Utara Semanjung Ujung Kulon, di sekitar Tanjung Alang-alang, Nyiur, Nyawaan, Jamang dan Sungai Cihandeuleum. Air menggenangi daerah ini selama musim hujan dan mengering selama musim kemarau. Daerah hutan rawa air tawar ini ditandai dengan adanya Thypa angustifolia

IV-7

(30)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

dan Cyperus spp. serta yang paling umum terdapat Cyperus pilosus. Sedangkan Lampeni (Ardisia humilis) biasanya terdapat dalam tegakan murni yang membatasi hutan rawa tersebut.

Hutan hujan tropika menutup sebagian besar Semenanjung Ujung Kulon, P. Peucang, P. Panaitan dan G. Honje, namun kemungkinan hanya 40-50% Semenanjung Ujung Kulon dan hanya 50% Gunung Honje yang masih tertutup hutan pimer. Hutan hujan tropika terbaik terdapat di Pulau Peucang dan sebagian kecil di sekitar Gunung Raksa Pulau Panaitan.

Hutan di Semenanjung Ujung Kulon dan G. Honje ditandai dengan banyaknya jenis palem-paleman, terutama langkap (Arenga obtusifolia) yang sering dijumpai dalam bentuk tegakan murni dengan tajuk setinggi 10-15 meter, seperti di daerah sebelah Barat Laut, Timur Laut dan Tenggara semenanjung. Jenis palem yang lain yang umum dijumpai adalah nibung (Oncosperma tigillaria) yang berduri, aren (Arenga pinnata), sayar (Caryota mitis) dan salak (Salacca edulis).

Di daerah G. Payung terdapat hutan primer yang lebat dengan pohon segel (Dillenia excelsa), sogung (Pentae polyantha), Syzygium spp. dan jenis-jenis lain yang membentuk tajuk yang tinggi serta tumbuhan bawah yang terdiri dari palma yang rendah dan rumput-rumputan. Di sebelah Timur Semenanjung Ujung Kulon, sepanjang S. Cigenter dan S. Cikarang, serta di dekat rawa di S. Cibunar dan S. Cikeusik, terdapat tegakan bambu yang lebat. Di banyak tempat di semenanjung, terutama di daerah yang terbuka, jenis rotan (Calamus spp.) tumbuh dengan rapat mendominasi areal. Di daerah terbuka ini, bersama-sama rotan banyak tumbuh Zingiberaceae seperti Tepus (Anchasma sp.), honje (Etlingera elatior) serta telek Ayam (Lantana camara) dan Maranthaceae yang sangat lebat.

Di lereng G. Honje yang lebih rendah, pada daerah yang belum terganggu oleh adanya perambahan hutan, terdapat jenis-jenis pohon bayur (Pterospermum javanicu), kihujan (Engelthardia serrata), Ficus spp., Eugenia spp., Dipterocarpus gracilis, merbau (Intsia bijuga) dan bungur (Lagerstoemia spp.). Di bagian bawah tajuk, tumbuh berbagai jenis palem-paleman, dengan jenis yang paling dominan adalah langkap dan rotan. Pada lereng yang lebih tinggi, lereng-lereng sebelah Timur mempunyai vegetasi yang terdiri janitri (Plaeocarpus

(31)

sphaerius), cangkudu badak (Podocarpus nerifolia), palahlar (Dipteocarpus haseltii), kipela (Aphana misxis sp.) dan Eurya spp.

Khusus pada calon lokasi JRS terdapat berbagai jenis tumbuhan. Hutan pantainya didominasi oleh jenis-jenis seperti butun (Baringtonia asiatica), bayur (Pterospermum diversifolium), nyamplung (Callophyllum inophyllum), pandan (Pandanus spp.), waru (Hibiscus tiliaceus) dan waru laut (Thespesia populnea). Formasi hutan mangrovenya ditandai oleh jenis-jenis padi-padi (Lumnitzera racemosa), api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizolhora spp), cengal (Ceriops tagal) dan nipah (Nypa fructicans).

Hutan hujan dataran rendah areal calon JRS adalah formasi hutan yang paling kaya akan jenis tumbuhan. Jenis-jenis yang umum dijumpai diantaranya adalah kicalung (Diospyros macrophylla), segel (Dillenia exelsa), jambu-jambuan (Syzygium spp) dan bungur (Lagerstroemia speciosa). Formasi hutan ini juga ditandai oleh kehadiran banyak sekali tumbuhan dari jenis palem-paleman. Jenis palem-paleman yang paling dominan adalah langkap (Arenga obtusifolia).

C.2. Fauna

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki beragam jenis satwa liar endemik dan dilindungi. Secara umum kawasan ini masih mampu mendukung kehidupan populasi dari berbagai jenis satwaliar. Beberapa jenis satwa endemik penting dan merupakan jenis langka yang sangat perlu dilindungi adalah badak jawa (Rhinoceros sondaicus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis aygula) dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus).

Semenanjung Ujung Kulon merupakan habitat terpenting dari badak jawa serta merupakan satu-satunya tempat di dunia dimanab badak jawa dapat berkembang biak secara alami. Populasi badak di TNUK sekarang diperkirakan 50-60 ekor.

Di taman nasional ini diperkirakan ada sekitar 30 jenis mamalia lain, yang diantaranya adalah mamalia ungulata seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa dan S. verrucosus); mamalia predator seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), macan dahan (Neofelis nebulosa), luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan kucing hutan (Felis spp.); mamalia kecil seperti

IV-9

(32)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

walang kopo (Cynocephalus variegatus), tando, landak (Hystrix brachyura), bajing tanah, kalong (Pteropus vampirus), bintarung (Arctitis binturong), berang-berang (Aonyx cinerea dan Lutrogale perspicillata), tikus (Rattus spp.), trenggiling (Manis javanicus) dan jelarang (Ratufa bicolor). Selain itu ada pula mamalia yang termasuk golongan primata seperti owa, surili, lutung (Presbytis cristata), kukang (Nycticebus coucang) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Banteng (Bos javanicus) merupakan mamalia terbesar (selain badak jawa) yang hidup di TNUK. Populasinya diperkirakan sekitar 500 ekor. Satwa ini hanya terdapat di Semenanjung Ujung Kulon dan G. Honje, serta tidak dijumpai di Pulau Panaitan. Rusa (Cervus timorensis) di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje terdapat dalam jumlah dan penyebaran yang sangat terbatas, tetapi di P. Peucang dan P. Panaitan tedapat dalam jumlah yang banyak. Babi hutan (Sus scrofa), muncak (Muntiacus muntjak) dan pelanduk (Tragulus javanicus) relatif umum terdapat di seluruh kawasan, tetapi celeng (Sus verrucosus) hanya di jumpai di Semenanjung Ujung Kulon dan G. Honje. Macan tutul (Panthera pardus) dan Ajak/anjing hutan (Cuon alpinus javanicus) dapat dijumpai di Semenanjung Ujung Kulon dan G. Honje, namun tidak dijumpai di Pulau Panaitan.

Dari kelompok reptil dan amphibi, di TNUK terdapat antara lain ular sanca kembang (Phyton reticulatus), ular phyton India, biawak (Varanus salvator), buaya muara (Crocodylus porosus) dan penyu hijau (Chelonia mydas). TNUK juga kaya akan beragam jenis burung, diperkirakan ada 270 jenis/spesies burung baik yang bersifat menetap maupun bermigrasi. Ditinjau dari segi keragaman burung yang tinggi tersebut, menunjukan bahwa kawasan ini memiliki tipe habitat yang beragam untuk tempat tinggal burung-burung tersebut.

Khusus di areal calon JRS, jenis satwaliar terpenting yang terdapat di dalamnya tentunya adalah badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Berdasarkan data dari TNUK, setidaknya ada 2 individu badak jawa yang secara rutin masuk ke dalam areal calon JRS. Diduga wilayah jelajah kedua individu badak ini mencakup sebagian areal yang direncanakan untuk JRS. Satwaliar penting lain yang terdapat di areal calon JRS adalah banteng (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), owa (Hylobates moloch), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), jelarang (Ratufa bicolor) dan ajag (Cuon alpinus). Sebaran beberapa

(33)

satwa liar yang ada pada calon lokasi JRS sebagaimana pada Gambar 5. Adapun sebaran jejak badak yang dijumpai selama survey lapangan sebagaimana pada Gambar 6.

Keterangan: Titik Kuning : kancil Bintang biru : owa jawa Titik orange : banteng Titik putih : ajag Kotak putih : macan tutul

Gambar 5. Peta sebaran beberapa jenis satwa penting

Gambar 6. Peta sebaran temuan jejak badak selama survey lapangan

IV-11

(34)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

Dari kelompok burung, beberapa jenis dilindungi yang dapat dijumpai di areal calon JRS adalah julang (Rhyticeros undulatus), rangkong (Buceros rhinoceros), kangkareng (Anthracoceros albirostris), elang laut (Heliaeetus leucogaster), elang (Spilornis cheela), raja udang (Todirhampus chloris), kuntul karang (Egretta sacra) dan kuntul besar (Egretta alba).

D Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

D.1. Letak, Luas dan Aksesibilitas

Daerah Penyangga Taman Nasional Ujung Kulon terdiri atas 19 (sembilan belas) desa penyangga yang tercakup ke dalam 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Sumur (7 desa) dan Cimanggu (12 Desa). Empat belas dari 19 desa di daerah penyangga tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNUK. Nama-nama desa dan letak/posisi masing-masing desa tersebut terhadap TNUK dapat dilihat pada Gambar 7.

Luas keseluruhan daerah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon adalah 518.27 km2 (51.827 ha) yang terbagi atas 258.54 km2 (25.854 ha) di Kecamatan Sumur dan 259.73 km2 (25.973 ha) di Kecamatan Cimanggu.

Gambar 7. Peta desa-desa di daerah penyangga TNUK

(35)

Kecamatan Sumur dan Cimanggu masing-masing terletak kurang lebih 106 km dan 100 km dari ibu kota Kabupaten Pandeglang. Untuk mencapai daerah penyangga tersebut, dapat digunakan sarana transportasi darat dengan rute perjalanan dari Pandeglang – Labuan – Kecamatan Cimanggu – Kecamatan Sumur .

D.2. Kondisi Biofisik

Kecamatan Sumur dan Cimanggu masing-masing terletak pada ketinggian 9 m dpl dan 100 dpl. Bentuk topografi seluruh desa di Kecamatan Sumur datar sedangkan sebagian besar desa di Kecamatan Cimanggu mempunyai bentuk topografi berbukit-bukit. Berdasarkan letak geografisnya, desa-desa di Kecamatan Sumur ini dikategorikan sebagai desa pantai. Di Kecamatan Cimanggu hanya dua desa yang dikategorikan sebagai desa pantai yaitu Desa Rancapinang dan Desa Tangkilsari.

Menurut data BPS (2006), suhu udara di Kecamatan Sumur dan Cimanggu berkisar antara 27 C – 30,65 C, dengan suhu udara rata-rata 27,88 C. Sedangkan curah hujan rata-rata mencapai 14.501 mm/th.

Tanah di desa-desa daerah penyangga umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang relatif rendah serta mengandung bahan induk masam dan miskin zat hara (TNUK-IPB, 2001)

Wilayah Kecamatan Sumur seluas 258.54 km2 (25.854 ha) terbagi atas lahan sawah seluas 1.634 Ha dan lahan kering seluas 45.887 Ha (BPS, 2006). Berbeda dengan Kecamatan Sumur, lahan sawah di Kecamatan Cimanggu lebih luas yaitu mencapai 2.537 Ha dan lahan keringnya seluas 29.982 Ha.

D.3. Administrasi Pemerintahan

Desa-desa di Kecamatan Sumur dan Cimanggu masih mempunyai status pemerintahan desa (pedesaan) karena keadaan sarana-prasarana yang dimiliki masih belum menyebar secara merata di setiap wilayah desanya (Pandeglang dalam Angka (2006). Di Kecamatan Sumur ada 3 desa yang diklasifikasikan sebagai desa swakarya dan 4 desa diklasifikasikan sebagai desa swasembada. Sedangkan di Kecamatan Cimanggu hanya 3 desa yang diklasifikasikan sebagai desa swasembada.

Pada umumnya di tingkat desa telah terdapat aparat /perangkat desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris dan staf. Selain itu adapula BPD (Badan

IV-13

(36)

 ERA Rencana Pembangunan JRS  

Perwakilan Desa) yang terdiri dari tokoh-toh masyarakat. Administrasi umum desa pun telah berjalan teratur namun di sebagian besar desa, pelaksanaan administrasi kependudukan dan administrasi keuangan masih banyak yang tidak teratur.

D.4. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

D.4.1. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data BPS Pandeglang (2006) total jumlah penduduk di daerah penyangga TNUK yang terbagi dalam 2 (dua) kecamatan Sumur dan Cimanggu adalah 58.619 jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Sumur adalah 21.696 jiwa

(6.853 KK) dengan kepadatan penduduk 84 jiwa/km2. Sedangkan jumlah penduduk

di Kecamatan Cimanggu adalah 36.923 (12.596 KK) dengan kepadatan sebesar 142 jiwa/km2.

D.4.2. Agama

Sebagian besar penduduk di Kecamatan Sumur dan Cimanggu beragama Islam (BPS Kab. Pandeglang, 2002). Hanya terdapat 0,0046% dan 0,12% penduduk di Kecamatan Sumur yang beragama Katolik dan Hindu. Latar belakang agama Islam ini mendasari kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Penduduk di daerah ini dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan fanatik. Pada umumnya masyarakat daerah penyangga memiliki tokoh-tokoh agama/ulama yang memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Peran seorang Kyai atau Ulama di daerah ini sangat menentukan dalam pengambilan suatu keputusan.

D.4.3. Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat adat di daerah penyangga masih relatif rendah. Sebagian besar masyarakat berpendidikan hanya sampai Sekolah Dasar dan banyak pula yang buta aksara. Kondisi tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Sumur dan Cimanggu disajikan pada gambar 8 dan 9.

D.4.4. Pola Pemukiman

Pola pemukiman penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mengikuti prinsip “Multiple Purpose” karena rumah penduduk memiliki berbagai

(37)

fungsi dan kegunaan baik itu sebagai tempat tinggal, tempat musyawarah, kandang hewan peliharaan dan tempat santai bersama tetangga di beranda depan (Revisi RPTN Ujung Kulon, 2005). Pada umumnya pemukiman penduduk di daerah penyangga bersifat menetap, jarang ada pemukiman berpindah, hanya pada waktu panen biasanya penduduk menginap di pondok sawah atau ladang. Rumah-rumah penduduk di daerah penyangga TNUK umumnya bersifat tidak permanen, namun sebagian kecil adapula yang sudah semi permanen dan permanen.

7.33% 16.13% 17.22% 49.70% 5.36% 3.44% 0.63% 0.20%

Tidak sekolah belum sekolah Tidak tamat SD SD SLTP SLTA D1-D3 S1

Gambar 8. Persentase tingkat pendidikan di Kecamatan Sumur

7.42% 13.91% 21.42% 42.50% 8.92% 4.86% 0.72% 0.26%

Tidak sekolah belum sekolah Tidak tamat SD SD SLTP SLTA D1-D3 S1

Gambar 9. Persentase tingkat pendidikan di Kecamatan Cimanggu

IV-15

(38)

 ERA Rencana Pembangunan JRS   D.4.5. Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sumur mayoritas adalah petani (51%). Sedangkan yang lainnya berturut-turut buruh tani ( 21%), nelayan (15%), pedagang (7%), buruh swasta (3%), Pengrajin (1%), peternak (1%) dan PNS (1%).

Hampir sama dengan penduduk di Kecamatan Sumur, sebagian besar penduduk di Kecamatan Cimanggu bermata pencaharian sebagai petani (61,2%) dan sisanya sebagai buruh swasta (48%), buruh tani (26,7%), pedagang (4,9%), PNS (0,8%), nelayan (0,7%), pengrajin (0,5%), peternak (0,3%), dan montir (0,1%). Komposisi mata pencaharian penduduk di wilayah Kecamatan Sumur dan Cimanggu disajikan pada Gambar 10.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% Persentase

Petani Buruh tani Buruh swasta

nelayan Pedagang Pengrajin Peternak Montir PNS

Mata Pencaharian

Sumur Cimanggu

Gambar 10. Komposisi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sumur dan Cimanggu

Selain mata pencaharian utama, untuk menambah penghasilan beberapa penduduk mempunyai mata pencaharian sampingan antara lain sebagai guide, porter ataupun usaha industri rumah tangga. Usaha industri rumah tangga masayrakat cukup bervariasi seperti pembuatan emping/keceprek dan kelapa kopra (di Kecamatan Sumur) serta pembuatan kerajinan anyaman, perkakas rumah tangga, aneka keripik dan gula aren (di Kecamatan Cimanggu). Selain industri rumah tangga, sebagian masyarakat juga berusaha di bidang jasa seperti home stay, penggilingan padi, bengkel motor, usaha foto copy, ojeg, menjahit serta rental

(39)

komputer. Sumber pendapatan masyarakat juga berasal dari menjual hasil pertanian berupa kelapa, melinjo, cengkeh dan tanaman buah-buahan.

Aktivitas lain yang sering dilakukan yaitu mengambil madu odeng/lebah di hutan, yang biasanya dilakukan pada musim kemarau (Juni sampai September). Aktivitas ini biasanya dilakukan penduduk yang tinggal di pinggir hutan seperti di Desa Ujungjaya, Tamanjaya dan Rancapinang. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan sayuran, buah-buahan dan kayu bakar mereka pergi ke hutan (TNUK) yang mereka istilahkan dengan “ngalasan”.

D.4.6. Mitos, Legenda dan Ziarah

Di kalangan masyarakat masih berkembang cerita-cerita rakyat seperti cerita tentang Prabu Kiansantang, Prabu Tajimalela, Nyi Pohaci, Sanghyang Sri, Nyi Mas Mayang Sari, Nyi Buyut Maya, Ki Buyut Akram. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat sekitar TNUK masih sering melakukan ziarah pada tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Goa Sanghiang Sirah, Kuta Karang Cilintang, Cimahi, Citerjun, Gunung Tilu dan lain-lain. Mereka melakukan ziarah terutama pada setiap bulan Maulud. Beberapa lokasi tempat ziarah berada didalam calon lokasi JRS, yaitu Cimahi dan Kuta Karang Cilintang.

Mitos adalah kepercayaan yang berlaku di masyarakat berupa adanya larangan-larangan apabila masuk kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Beberapa mitos yang masih berkembang adalah: (1) tidak boleh makan sambil berjalan, (2) tidak boleh memetik daun atau memotong dahan tanpa golok, (3) duduk harus dengan alas daun, (4) tidak boleh buang air kecil sambil berdiri, (5) tidak boleh bicara gegabah, (6) menjelang waktu sembahyang maghrib harus berhenti berjalan dan (7) tidak boleh bersiul. Menurut kepercayaan masyarakat adat setempat, apabila larangan-larangan tersebut dilanggar maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan baik berupa berupa kecelakaan atau didekati harimau bahkan sampai ada yang meninggal.

D.4.7. Adat Kebiasaan

Kehidupan adat masyarakat di daerah penyangga tidak terlepas dari aturan agama. Segala adat kebiasaan selalu dikaitkan dengan agama khususnya agama Islam karena penduduk di daerah ini dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan fanatik. Adat kebiasaan ini meliputi semua bidang kehidupan antara lain dalam

IV-17

Gambar

Gambar 1.  Lokasi studi ERA pembangunan JRS
Tabel 1.  Susunan tim pelaksana kegiatan ERA
Tabel 3.  Sebaran responden kegiatan ERA
Tabel 4. Pendugaan Tingkat Risiko Lingkungan dan Pembobotannya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Merancang upaya yang harus dilakukan pihak penyedia RTH-Kota berdasarkan keinginan penduduk (partisipan FGD). Upaya tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan: apa

Database ManagerÆ menyediakan interface antara data low-level yang ada dibasis data dengan program aplikasi dan query yang diberikan kesistem. Query ProcessorÆ

Penelitian ini membahas tentang komunikasi dakwah digital dan cara penyampaian konten Islami lewat media sosial Line pada akun dakwah bernama 3SAFA. Rumusan

Kabag Tata Usaha Pimpinan pada Biro Umum,..

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa variasi tingkat keasaman berpengaruh nyata terhadap kadar metoksil pektin kulit buah durian Rata-rata kadar metoksil

Dengan adanya Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan wadah untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat mahasiswa calon guru di bangku perkuliahan.

Hasil uji larva udang ( Leach) terhadap ekstrak MeOH daun # Konsentrasi (ppm) Log.. Grafik hubungan antara probit dengan log konsentrasi pada ekstrak metanol daun #. Oleh