• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISBN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Citation:

Raharjo SHT, H. Hetharie, G.H. Augustyn, M. Pesireron M. 2014. Keragaman ubi kayu dan ubi jalar di Seram Bagian Barat dan peluang pemanfaatannya untuk ketahanan dan industri. Dalam: W. Girsang dan R.M. Osok, Percepatan Pembangunan Ekonomi Berbasis Hasil Kajian Pertanian dan Perikanan di Provinsi Maluku; . pp 73-102. Penerbit Pensil Komunika, Yogyakarta 234.

(2)
(3)

KERAGAMAN UBI KAYU DAN UBI JALAR DI SERAM BAGIAN BARAT DAN PELUANG PEMANFAATANNYA UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN

INDUSTRI

Simon Hadi Teguh Raharjo, Helen Hetharie, Gelora Helena Augustyn, Marietje Pesireron

LATAR BELAKANG

Tanaman ubi kayu [(Manihot esculenta Crantz, Euphorbiaceae] dan ubi jalar [Ipomoea batatas (L.) Lam., Convolvulaceae] merupakan tanaman yang tergolong tanaman semusim (berumur pendek) dan di Indonesia tanaman ini juga digolongkan sebagai palawija. Penyebaran tanaman ubi jalar meliputi seluruh wilayah tropis. Wilayah budidayanya kini terdapat di Cina dan beberapa Negara Asia lainnya, dimana Cina menyumbang 90% produksi ubi jalar dunia (CIP, 2008).

Ubi kayu dan ubi jalar merupakan tanaman pangan penting di wilayah timur Indonesia. Di Provinsi Maluku yang merupakan wilayah kepulauan, budidaya tanaman-tanaman ini tersebar di pulau-pulau besar maupun kecil, terutama sebagai tanaman-tanaman subsistensi dan sebagai tanaman cadangan pangan. Dengan demikian, tanaman ini juga berperanan penting untuk ketahanan pangan masyarakat (security and emergency food source). Kedua tanaman umbian ini ditanam di sebagian besar kepulauan Maluku sebagai komponen budidaya tanaman pada ‘kabong’ (pola agroforestry), dan terutama berperanan sebagai tanaman sumber pangan pokok (staple food) bagi keluarga. Pada tahun 2011, luas panen ubi kayu di Provinsi Maluku adalah 7197 hektar dengan produksi 128733 ton, atau dengan produktivitas 17,873 ton per hektar. Sedangkan luas panen ubi jalar adalah 1993 hektar dengan produksi 18167 ton, atau dengan produktivitas 9,115 ton per hektar. Dengan demikian, produktivitas keduanya masih tergolong rendah. Luas panen ubi kayu dan ubi jalar di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) masing-masing sebesar 1844 hektar dan 388 hektar (BPS Provinsi Maluku, 2012).

Di Maluku, ubi kayu dan ubi jalar merupakan sumber karbohidrat penting, setelah beras dan sagu. Beras telah banyak menggeser kedudukan sagu dan umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok; namun pada saat ini terdapat tekad pemerintah daerah dan masyarakat untuk menghidupkan kembali pemanfaatan tanaman umbi-umbian dan sagu sebagai sumber tanaman pokok. Dengan demikian upaya ini akan memperkuat ketahanan pangan.

(4)

Petani/peladang di Maluku yang menanam ubi kayu dan ubi jalar biasanya menggunakan beberapa kultivar atau klon pada lahannya. Puluhan atau bahkan ratusan kultivar lokal dapat ditemukan pada suatu wilayah. Misalnya, kajian yang dilakukan Fakultas Pertanian Unpatti sebelumnya di Maluku menunjukkan bahwa di satu desa atau negri di Maluku dapat ditemukan lebih dari 10 aksesi ubi jalar yang berbeda secara morfologis (Maitimu, 2008; Hukunala, 2010). Dengan demikian, di Maluku terdapat keragaman plasma nutfah ubi jalar yang tinggi. Kajian di lapang menunjukkan bahwa hal yang sama juga terjadi pada ubi kayu.

Karena informasi tentang potensi agronomis plasma nutfah ubi kayu dan ubi jalar asal Maluku masih sangat terbatas, kajian ilmiah yang meliputi karakterisasi plasma nutfah, evaluasi genetik dan agronomi, serta pendugaan potensinya telah dilakukan di SBB dalam rangka memperkuat peranannya dalam menunjang ketahanan pangan. Selama ini kedua jenis tanaman tersebut masih terbatas peranannya sebagai tanaman subsistensi. Dengan adanya 13 ribu hektar lahan potensial untuk tanaman pangan di SBB, yang dapat ditanami ubi kayu dan ubi jalar, maka masih terbuka luas pengembangan pemanfaatan kedua jenis tanaman itu untuk industri rumah tangga serta pasokan bahan baku untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, kimia, farmasi dan bioenergi. Dengan demikian, kajian ke arah pendayagunaan kedua komoditas ini sebagai bahan pangan dan pasokan bahan baku industri sangat bermanfaat.

Walaupun di daerah perkotaan posisi umbian telah tergeser secara bertahap oleh beras, di perdesaan masyarakat tradisional masih mempertahankan pola makan dengan sumber makanan pokok (staple food) campuran yang terdiri dari umbi-umbian (terutama ubi jalar, ubi kayu, ubi Dioscorea spp, talas dan keladi), sagu, serealia, dan pisang. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan salah satu tanaman sumber bahan makanan pokok yang sangat penting bagi penduduk SBB, keduanya juga merupakan bagian yang harus ada pada menu makanan tradisional. Di SBB, tanaman ubi kayu dan ubi jalar umumnya juga ditanam pada sistem budidaya tanaman campuran ‘kabong’. Dengan pola budidaya tanaman seperti itu, walaupun produktivitasnya masih rendah, kedua jenis umbian itu punya peranan penting sebagai tanaman subsistensi sumber pangan pokok (staple) yang turut menunjang ketahanan pangan masyarakat. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produksinya akan memperkuat ketahanan pangan penduduk. Di samping memperbaiki aspek agronomis, ini perlu dicapai dengan pemanfaatan klon-klon unggul yang spesifik lokasi, idealnya dengan melibatkan plasma nutfah lokal. Karakterisasi dan evaluasi

(5)

plasma nutfah asal SBB adalah sangat penting, untuk mendapatkan klon-klon unggul yang adaptif dan spesifik lokasi.

Karakterisasi morfologis dan pendugaan daya hasil untuk ubi jalar telah dilakukan in situ pada lahan-lahan petani/peladang di beberapa lokasi di Maluku (misalnya Maitimu, 2008 dan Hukunala, 2010). Akan tetapi, umumnya petani/peladang tradisional belum menggunakan teknik budidaya yang memadai untuk mengoptimalkan produktivitas kultivar-kultivar lokal ubi kayu dan ubi jalar yang ditanamnya, sehingga karakterisasi yang demikian kurang akurat. Upaya-upaya karakterisasi dan pemanfaatan sumberdaya genetik ubi kayu dan ubi jalar disertai dengan upaya koleksi akan berperan dalam pelestarian sumberdaya genetik itu yang saat ini terancam degradasi akibat peranannya sedang tergeser oleh padi/beras.

Sebagai tanaman subsistensi, nilai ekonomi dan sosial ubi kayu dan ubi jalar umumnya dianggap rendah. Kedua umbian ini umumnya dikonsumsi langsung setelah direbus atau digoreng. Produk olahan dari kedua tanaman ini di Maluku masih sangat terbatas, misalnya dalam bentuk 'embal' (di Maluku Tenggara), ‘suami’ dan keripik dari ubi kayu; sedangkan ubi jalar hanya diolah dengan direbus atau digoreng. Dengan demikian, peluang pengembangannya masih sangat luas untuk pemanfaatan kedua jenis umbian itu selain untuk bahan pangan subsistensi. Produk kedua jenis umbian itu sebenarnya dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi dekstrin, asam sitrat, glukosa kristal dan dekstrosa monohidrat, yang diperlukan dalam berbagai industri, yakni industri tekstil, farmasi/kimia, makanan dan minuman. Ubi kayu dan ubi jalar juga dapat menjadi bahan baku industri pakan ternak unggas dan babi. Dengan meningkatkan produktivitasnya, umbi-umbian ini juga mempunyai peluang besar menjadi ‘energy crops’, yaitu penghasil bahan baku untuk produksi bioetanol sebagai salah satu bentuk bioenergi (bahan bakar hayati), yang saat ini pengembangannya sedang gencar dilakukan mengingat semakin berkurangnya cadangan dan semakin tingginya harga minyak.

Sebelum upaya-upaya di atas dapat ditempuh dengan peluang keberhasilan yang tinggi, perlu dikumpulkan berbagai informasi bagi pengembangan kedua komoditas tersebut. Melalui penelitian ini telah dijaring informasi tentang besarnya potensi sumberdaya genetik ubi kayu dan ubi jalar di SBB, luas lahan budidaya kedua umbi-umbian itu di tingkat petani, tingkat teknologi budidaya yang diterapkan petani, dan pemanfaatannya.

(6)

Penelitian yang diuraikan dalam tulisan ini bertujuan untuk: (1) mengeksplorasi, mengumpulkan dan mendeskripsikan keragaman plasma nutfah ubi kayu dan ubi jalar di SBB, Provinsi Maluku, (2) mempelajari cara budidaya dan pemanfaatan ubi kayu dan ubi jalar oleh petani di SBB, serta peranan keduanya dalam penyediaan bahan pangan dan gizi, (3) mengevaluasi beberapa aksesi ubi kayu dan ubi jalar asal SBB, tentang daya hasil dan karakter-karakter agronomis penting lainnya.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas secara deskriptif tentang keragaman genetik dan budidaya ubi kayu dan ubi jalar di SBB serta peluang pemanfaatannya. Selanjutnya berdasarkan pengalaman dan informasi dari penelitian tersebut disampaikan rekomendasi tentang arah kebijakan untuk perbaikan genetik, pengembangan budidaya dan pemanfaatan kedua komoditas tersebut, khususnya untuk menunjang diversifikasi sumber bahan pangan, ketahanan pangan dan pemanfaatan dalam industri.

METODOLOGI

Penelitian yang difokuskan pada dua tanaman umbian utama, yaitu ubi kayu dan ubi jalar, telah dilaksanakan dengan dukungan dana MP3EI, terdiri dari dua bagian utama, yaitu: (1) penelitian survei eksploratif, yaitu eksplorasi, karakterisasi morfologis plasma nutfah ubi kayu dan ubi jalar, dan (2) penelitian eksperimental, yaitu pengujian daya hasil dan karakterisasi agronomis plasma nutfah ubi kayu dan ubi jalar asal SBB. Hasil penelitian eksploratif merupakan fokus tulisan ini. Dalam penelitian ini juga telah dilakukan kegiatan koordinasi dan desk studi sebelum dan selama penelitian, yang dimulai dengan pengumpulan data sekunder dan pustaka yang relevan dengan keragaman ubi kayu dan ubi jalar, budidaya produksi kedua jenis umbian itu, kondisi geografis, serta pengembangan pertanian tanaman pangan khususnya di Kabupaten SBB, dan dilanjutkan dengan analisis dan kajian terhadap data, informasi dan pustaka yang terkumpul.

Lokasi penelitian survei eksploratif yang dilaksanakan Juli sampai Oktober 2012 adalah Kabupaten SBB, dengan 15 desa/dusun/negri sampel yang terdapat pada 8 kecamatan yang secara geografis menyebar di seluruh wilayah kabupaten, baik pada pesisir utara, barat dan selatan, serta wilayah pedalaman. Ini meliputi kecamatan-kecamatan: Inamosol, Kairatu, Kairatu Barat, Seram Barat, Hunamual Muka, Waesala, Taniwel dan Taniwel Timur.

Sebelum pelaksanaan survei eksploratif, eksplorasi awal dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi lingkungan geografis

(7)

lokasi-lokasi yang akan disurvei, pertanaman dan budidaya tanaman ubi kayu dan ubi jalar di berbagai desa/dusun/negri, gambaran umum tentang petani dan usaha taninya, keberadaan petugas pertanian dan kepala desa/dusun/negri yang dapat menjadi informan kunci dalam pelaksanaan survei dan orang-orang yang dapat dihubungi (contact persons), serta keberadaan tanaman ubi kayu dan ubi jalar pada lahan-lahan pertanian.

Penelitian survei eksploratif dilakukan dengan diawali penentuan desa dan petani sampel dengan purposive sampling. Pada 8 kecamatan masing-masing diambil 1-2 desa/dusun/negri sample. Jumlah responden petani adalah 4-8 orang per desa/dusun/negri. Informasi dari petani dikumpulkan melalui wawancara terpandu (guided interview) dan FGD, yang dipandu dengan kuisener. Kepala atau Sekretaris Desa/Dusun, Raja dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga dilibatkan sebagai informan kunci dalam FGD ataupun wawancara terpisah. Pengamatan tanaman langsung di lahan-lahan petani sampel tersebut dilakukan terhadap jenis-jenis ubi kayu dan ubi jalar yang ditanam serta teknik budidayanya.

Observasi untuk mendapatkan data deskripsi/karakterisasi morfologis dilakukan dengan formulir-formulir deskripsi yang telah disusun berdasarkan pada deskriptor-deskriptor ubi kayu dan ubi jalar (Huaman, 1991 dan Fukuda et al, 2010). Observasi lapang dilakukan secara langsung di kebun-kebun petani. Bahan-bahan tanam yang terkumpul ditanam lokasi koleksi di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, untuk penelitian lanjutan. Beberapa aksesi telah evaluasi daya hasilnya di Kebun Percobaan BPTP Maluku di Makariki (untuk ubi kayu) dan di lahan percobaan milik petani di Laha, Ambon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lingkungan Pertanian dan Budidaya Ubi Kayu dan Ubi Jalar di SBB

Iklim di Kabupaten SBB adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak wilayah SBB di dekat daerah katulistiwa dan dikelilingi oleh laut luas. Oleh karena itu iklim disini sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara dan Musim Timur atau Tenggara. Pergantian musim selalu diselingi oleh musim pancaroba, yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut.

Musim Barat umumnya berlangsung pada bulan Desember sampai dengan Maret, sedangkan April merupakan masa transisi ke musim Timur. Musim Timur berlangsung pada bulan Mei sampai dengan Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan

(8)

Nopember, yang merupakan transisi ke musim Barat. Berdasarkan catatan curah hujan dan jumlah hari hujan Stasiun Klimatologi Kairatu untuk 2011 puncak musim hujan terjadi antara Juni dan Agustus. Pola tanam ubi kayu dan ubi jalar oleh petani kurang mempertimbangkan musim, tetapi lebih banyak berdasarkan kebiasaan para petani lokal, yaitu setelah buka lahan baru langsung tanam dan setelah panen langsung tanam ulang. Hal ini juga karena umur panen ubi kayu bervariasi berdasarkan varietas atau jenisnya, yaitu 3-9 bulan bahkan lebih dari 1 tahun (contohnya Kasbi Sangkola). Di samping itu, ubi kayu juga dipanen sesuai kebutuhan konsumsi keluarga. Ubi jalar biasanya ditanam pada akhir musim hujan.

Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE), luas lahan untuk tanaman pangan di Kabupaten SBB sebesar 42.896,5 ha, sedangkan total lahan aktual yang baru dimanfaatkan sebesar 2.056,75 hektar, sehingga masih terdapat potensi pengembangan yang sangat luas untuk tanaman pangan (Bustaman dan Susanto, 2003). Statistik Provinsi Maluku (BPS Provinsi Maluku, 2012) memberikan angka yang lebih moderat, yaitu 13 ribu hektar lahan tersedia untuk tanaman pangan. Kabupaten SBB memiliki wilayah dengan daratan yang luas dan merupakan penghasil ubi kayu terbesar kedua setelah Kabupaten Maluku Tengah. Luas panen ubi kayu dan ubi jalar tahun 2010 masing-masing seluas 6.321 hektar dan 213,9 hektar dengan produksi masing-masing 93,465 ton dan 3.208,5 ton, dengan tingkat produktivitas kedua komoditas ini relatif rendah, yaitu sebesar 15 ton per hektar (BPS SBB, 2011).

Untuk menunjang ketahanan pangan dan perekonomian Kabupaten SBB, perluasan areal pertanaman ubi kayu dan ubi jalar masih sangat dimungkinkan, mengingat kabupaten ini masih memiliki lahan potensial yang cukup luas untuk pertanian tanaman pangan, yaitu sebesar 13 ribu hektar (BPS Provinsi Maluku, 2012). Lahan potensial untuk pengembangan tanaman umbi-umbian di seluruh wilayah Provinsi Maluku juga masih cukup luas. Pengembangan umbi-umbian dapat diarahkan pada lahan kering yang cocok untuk usahatani tanaman pangan, yaitu zona IV ax dan IV ay, yang di Maluku terdapat seluas 718 ribu hektar (Susanto dan Bustaman, 2006).

Petani tradisional yang bersifat subsisten dan relatif terbelakang masih banyak ditemukan di Kabupaten SBB; sedangkan petani yang relatif maju penyebarannya terbatas pada daerah-daerah transmigrasi, seperti di Kecamatan Kairatu dan Kairatu Barat. Pada umumnya pemilikan lahan yang sudah ditanami setiap keluarga petani hanya berkisar antara 0,25 hektar dan 2 hektar, dan sistem tanam bersifat campuran dengan tanaman pangan (pisang, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian dan sayuran)

(9)

dan yang lebih dominan adalah tanaman tahunan (cengkeh, pala, kelapa, kakao dan lain-lain).

Ubi kayu dan ubi jalar ditanam sebagai tanaman subsisten sumber karbohidrat, biasanya dengan areal relatif kecil berkisar antara <100 m2 sampai 0.5 hektar dari keseluruhan pemilikan lahan petani (0.25 hektar sampai 2 ha). Umumnya kedua jenis tanaman tersebut merupakan salah satu tanaman umbi-umbian yang dominan sebagai sumber pangan; namun areal pertanamannya hanya merupakan sebagian kecil dari luas lahan yang diusahakan oleh para petani. Sebagian besar luas lahannya ditanami dengan tanaman umur panjang sumber penghasilan berupa uang (cash crops), yang meliputi cengkeh, kelapa, kakao dan pala. Pola ini sebenarnya merupakan akibat dari sistem perladangan yang diarahkan menuju budidaya tanaman umur panjang, yang dipraktekkan oleh sebagian besar petani di SBB.

Sistem ini dimulai dari pembukaan hutan dengan penebangan dan penebasan (pameri), pembakaran untuk pembukaan lahan, pengolahan tanah sederhana serta penanaman tanaman setahun. Pada tahun pertama lahan ditanami serealia, kacang-kacangan dan sayur-sayuran, yang secara bertahap akan digeser dengan tanaman umbi-umbian, termasuk ubi kayu dan jalar, serta pisang. Pada saat yang sama di tahun-tahun awal pembukaan lahan itu, juga ditanam bibit-bibit tanaman tahunan yang menjadi tujuan jangka panjang usaha pertanian mereka, berupa tanaman penghasil uang (cash crops), seperti kelapa, cengkeh, kakao, pala, atau berbagai tanaman buah-buahan dan tanaman penghasil kayu. Sementara tanaman-tanaman tahunan itu tumbuh sampai menghasilkan, di antaranya ditanami tanaman-tanaman sumber pangan subsistensi. Pada sistem yang demikian, ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya merupakan jenis-jenis yang dominan, yaitu pada saat kesuburan tanah sudah mulai menurun.

Semua petani responden menanam ubi kayu dan ubi jalar sebagai salah satu tanaman pada sistem pertanaman campuran (mixed cropping), baik dengan pola yang beraturan ataupun tidak beraturan. Tanaman umbi-umbian lain yang ditanam pada areal yang sama dengan ubi kayu meliputi keladi (Xanthosoma sagittifolium), ubi (Dioscorea alata) dan gembili (Dioscorea esculenta), di samping sumber karbohidrat penting lainnya yang bukan umbi-umbian, yaitu pisang, sagu dan jagung.

Sistem perladangan berpindah yang diterapkan oleh para petani di SBB merupakan usahatani input rendah, yang menerapkan persiapan lahan dengan teknik pemangkasan semak-semak dan penebangan beberapa pohon (pameri) dengan disertai proses pembakaran semak-semak yang telah dipangkas. Untuk budidaya tanaman

(10)

pangan, termasuk ubi kayu dan ubi jalar, kebanyakan petani menerapkan teknik sistem tanpa olah tanah (TOT). Pengolahan minimal atau pengelohan setempat dilakukan dengan sistem kuming (berupa gundukan) yang dikerjakan menggunakan peralatan sederhana, seperti tugal, cangkul dan peralatan lain yang memiliki efisiensi relatif rendah. Kebutuhan biaya sarana produksi rendah karena biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli alat cangkul dan parang yang dapat digunakan beberapa tahun.

Tidak ada satupun petani responden pada penelitian ini yang menanam ubi kayu maupun ubi jalar dengan jarak tanam yang tepat dan teratur (menggunakan ajir). Dari pengamatan di lahan petani didapati jarak tanam berkisar antara 0,6 m x 0,6 m sampai 1 m x 1 m untuk ubi kayu, dan 0,25 m x 0,5 m sampai 0,5 m x 0,5 m dengan 1-3 setek per kuming untuk ubi jalar.

Walaupun sebagian petani responden memperhitungkan musim tanam, yang untuk ubi kayu dan ubi jalar pada akhir atau setelah musim hujan (di SBB pada bulan Agustus sampai Desember), tetapi sebagian besar petani tidak memperhitungkan bulan-bulan tertentu sebagai musim tanam ubi kayu. Penanaman ubi kayu dilakukan sepanjang tahun, yaitu setelah memanen tanaman sebelumnya. Sedangkan petani lebih banyak menanam ubi jalar pada akhir musim hujan. Karena ubi kayu umumnya dicabut sesuai kebutuhan konsumsi keluarga petani, maka tidak dikenal musim panen ubi kayu. Pencabutan (pemanenan) ubi kayu dan ubi jalar dari suatu lahan pertanaman juga tidak dilakukan secara serentak, tetapi sesuai kebutuhan untuk konsumsi keluarga atau penjualan dengan skala kecil. Biasanya penjualan dilakukan secara lokal dan jarang yang dikirim ke luar daerah (Gambar 1). Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa para petani di SBB jarang menerapkan penyimpanan umbi, kecuali pada tanaman dalam keadaan hidup atau dengan menunda pemanenan. Pola ini kurang dilakukan pada ubi jalar karena petani tahu jika ubi jalar dipanen lewat masa panen maka banyak umbinya yang rusak. Apabila terjadi kelimpahan produksi, para petani umumnya juga tidak menerapkan pengeringan umbi, pembuatan gaplek atau pembuatan tepung ubi kayu, sebagaimana diterapkan di Jawa. Mereka biasa memanen sesuai kebutuhan, sehingga tidak terjadi kelebihan produksi. Sementara itu, hampir semua hasil ubi jalar juga dikonsumsi dalam keadaan segar setelah direbus. Menurut para petani, umur panen ubi kayu berkisar antara 3 sampai 12 bulan, dan rata-rata petani memanen pada umur 6 bulan. Sedangkan umur panen ubi jalar adalah 3-4 bulan, dan petani memanen ubi jalar menurut umur panennya tidak seperti ubi kayu.

(11)

Sebagai akibat petani tidak memanen ubi kayu maupun ubi jalar secara serentak pada satu pemanenan dalam satu musim, maka sulit untuk menduga hasilnya per satuan luas. Ini juga dipersulit oleh kenyataan bahwa petani tidak menimbang umbi yang dipanen. Namun dugaan kasarnya untuk ubi kayu adalah antara 2 kg per tanaman ( 20 ton per hektar) sampai 5 tanaman per karung 25 kg atau 5 kg per tanaman ( 50 ton per hektar). Ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh Alfons (2007) tentang perkiraan produktivitas ubi kayu di Maluku sebesar 12 ton per hektar ataupun data statistik Maluku (BPS Provinsi Maluku, 2012) sebesar 17,87 ton per hektar. Taksiran produktivitas ubi jalar adalah 1-1,5 kg per tanaman, atau sekitar 20-30 ton per hektar.

Bibit atau bahan tanam yang digunakan oleh petani umumnya diperoleh dari tanaman sendiri (dari pertanaman sebelumnya) secara temurun dan hanya sebagian kecil diperoleh dari petani lain atau dari desa tetangga. Tidak satupun dari petani responden yang menyatakan telah memperoleh bahan tanam berupa bibit unggul dari dinas atau petugas pertanian. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada sistem penyediaan bibit unggul untuk tanaman umbi-umbian di Maluku, oleh Balai Benih misalnya, yang menyediakan bibit sampai ke tingkat petani. Dari hasil pengamatan di lahan-lahan petani didapatkan bahwa petani rata-rata menanam satu sampai tiga varietas ubi kayu ataupun ubi jalar pada lahannya. Namun ditemukan beberapa petani yang menanam lebih dari lima varietas ubi kayu pada lahannya, seperti ditemukan di Morekao (Kecamatan Seram Barat), Seaputih (Kecamatan Hunamual Muka) dan di Musihuwey (Kecamatan Taniwel Timur). Juga ditemukan kelompok tani di Dusun Ursana dengan 6 jenis ubi jalar pada satu lahan. Petani yang demikian menjadi semacam ‘kolektor’ varietas lokal (landrace) dan dapat berperan dalam melestarikan keragaman genetik ubi kayu dan ubi jalar.

Walaupun sebagian besar petani responden menyatakan bahwa mereka mengetahui ‘nama’ jenis ubi kayu dan ubi jalar yang mereka tanam, tetapi setelah ditanyakan kepada mereka apa saja nama jenis-jenis yang mereka tanam, hanya sebagian kecil yang dapat menyebutkan nama lokalnya secara meyakinkan. Oleh sebab itu, selama eksplorasi diperlukan penamaan sementara, yaitu berdasarkan nama yang disebutkan/diberikan oleh petani, ciri yang menonjol dari aksesi yang ditemukan (misalnya Kasbi Kuning, Kasbi Ular atau Kasbi Pahit) atau daerah asal darimana petani memperoleh aksesi itu (misalnya Kasbi Tihulale, diperoleh dari Desa Tihulalae).

(12)

Dengan demikian, verifikasi identitas suatu aksesi melalui karakterisasi morfologis secara ex situ menjadi sangat penting. Karakterisasi ex situ pada selanjutnya dilakukan terhadap aksesi-aksesi yang telah terkoleksi dan ditanam pada lahan koleksi di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura.

Alasan utama petani responden menanam suatu varietas ubi kayu ataupun ubi jalar adalah karena rasa umbinya enak (preferensi rasa) dan tanamannya dapat cepat dipanen (kegenjahan). Namun juga terdapat indikasi bahwa petani menanam jenis-jenis tertentu karena sudah biasa (karena sudah menanamnya secara temurun), bibitnya tersedia dan tidak melihat pilihan lain. Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa petani tidak menanam varietas-varietas unggul baru karena memang tidak pernah tersedia atau terjangkau oleh mereka. Dengan demikian, pembentukan sistem penyediaan bahan tanam untuk tanaman-tanaman yang membiak secara vegetatif ini sangat dibutuhkan di Kabupaten SBB, dan petani perlu difasilitasi untuk menanam jenis-jenis ubi kayu dan ubi jalar yang produktif dan dengan identitas yang jelas.

Pada sistem pertanian ‘kabong’ yang banyak diterapkan di SBB, input biaya untuk sarana produksi sangat rendah. Disamping rendahnya biaya sarana produksi, petani juga membutuhkan biaya tenaga kerja yang rendah, karena tindakan pemupukan, pengendalian hama, pembumbunan dan pemeliharaan intensif lainnya jarang dilakukan. Cara ini pada dasarnya merupakan cara pertanian tradisional yang dikuasai dan diterapkan secara turun temurun pada berbagai kelompok masyarakat yang tinggal di dalam desa/dusun maupun di sekitar hutan. Teknik tradisional yang diterapkan ini pada awalnya disebabkan oleh keterbatasan tenaga kerja, keterbatasan modal dan belum adanya penyuluhan maupun pelatihan tentang inovasi teknologi budidaya pertanian, khususnya untuk ubi kayu dan ubi jalar. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa petani di SBB dalam usahataninya tidak atau kurang sekali menggunakan pupuk, pestisida, alat pengolahan tanah (traktor maupun handtraktor) dan tenaga kerja di luar tenaga dalam keluarga.

Kebanyakan petani menanam ubi kayu dan ubi jalar hanya untuk konsumsi sendiri dan hanya sebagian kecil untuk dijual. Meskipun kondisi usahatani yang demikian, menurut Pesireron et al (2011) bahwa rata-rata komoditas tanaman pangan di Kabupaten SBB secara ekonomi layak diusahakan karena memiliki nilai R/C > 1. Berdasarkan hasil analisis finansial R/C untuk ubi kayu dan ubi jalar di Kabupaten SBB didapatkan nilai berturut-turut 1,93 dan 1,30, yang berarti secara biofisik dan ekonomi layak untuk diusahakan dan dikembangkan oleh petani (Pesireron et al., 2011).

(13)

Hasil wawancara dengan para petani responden menunjukkan bahwa masih cukup banyak kendala yang dihadapi petani dalam berusahatani ubi kayu dan ubi jalar, yaitu faktor iklim, hama khususnya babi hutan, tenaga kerja dan pemasaran hasil. Upaya penerapan inovasi teknologi pada masyarakat terutama petani ladang berpindah umumnya dihambat oleh faktor-faktor biofisik, sosiologi, teknologi dan ekonomi. Penguasaan dan penerapan teknologi produksi ubi kayu dan ubi jalar sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya produktivitas kedua jenis tanaman umbian itu. Peningkatan produktivitas perlu dilakukan dengan upaya penyediaan bibit unggul, sarana produksi pertanian lainnya, serta teknologi produksi yang spesifik lokasi.

Keragaman Ubi Kayu dan Ubi Jalar di SBB

Karakterisasi in situ terhadap aksesi-aksesi yang ditemukan pada survei eksploratif telah dilakukan dengan deskriptor (adaptasi dari Fukuda et al., 2010). Terdapat 105 aksesi tanaman ubi kayu yang terkoleksi dari 8 kecamatan contoh yaitu Kecamatan Inamosol, Kairatu, Kairatu Barat, Seram Barat. Hunamual Muka, Taniwel, Taniwel Timur dan Waesala. Keragaman morfologi tertinggi pada aksesi ubi jalar ditemukan pada Kabupaten SBB lebih terpusat pada Kecamatan Inamosol dengan 17 aksesi ubi kayu, diikuti oleh Kecamatan Taniwel Timur dengan 15 aksesi. Jumlah aksesi yang ditemukan per desa/negri di Kabupaten SBB juga bervariasi dari 2 aksesi (Kamarian dan Kamal) sampai 12 aksesi (Morekao).

Dari keseluruhan aksesi ubi kayu yang telah terkumpul sebagian besar (98 aksesi atau 93%) merupakan ubi kayu yang umbinya dapat dikonsumsi secara langsung (kadar HCN rendah). Hanya tujuh aksesi merupakan ubi kayu berumbi pahit dan tidak bisa dikonsumsi secara langsung tanpa pengolahan (kemungkinan dengan kadar HCN tinggi), dan satu di antaranya dinyatakan sebagai ubi kayu beracun (Kasbi Galela). Berdasarkan kandungan HCN ubi kayu dibedakan menjadi ubi kayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubikayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar (Sundari, 2010). Sebagian besar aksesi yang diperoleh memiliki daging umbi berwarna putih. Terdapat 17 aksesi (16,2%) berumbi dengan warna kuning dan 3 aksesi (2,85%) berumbi dengan warna krem.

Didapatkan 71 aksesi ubi jalar yang terkoleksi dari 8 kecamatan sampel, yaitu Kecamatan Inamosol, Kairatu, Kairatu Barat, Seram Barat, Hunamual Muka, Taniwel,

(14)

Taniwel Timur dan Waesala. Namun 71 aksesi ubi jalar perlu diidentifikasi lanjut untuk menentukan jumlah aksesi yang sebenarnya berdasarkan ciri-ciri morfologi yang membedakan satu dengan yang lain. Keragaman morfologi tertinggi pada aksesi ubi jalar ditemukan pada Kabupaten SBB lebih terpusat pada Kecamatan Inamosol dengan 18 aksesi ubi jalar, diikuti oleh Kecamatan Seram Barat dan Taniwel berturut-turut 9 dan 7 aksesi. Meskipun Kecamatan Taniwel Timur ditemukan 11 aksesi dan Kecamatan Waesala 12 aksesi tetapi tidak menunjukkan keragaman yang tinggi antar aksesi.

Data yang diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa SBB memiliki keragaman genetik ubi kayu maupun ubi jalar yang tinggi, yang berarti pula bahwa pada wilayah tersebut terkandung sumberdaya genetik yang besar. Ini juga menunjukkan bahwa kedua jenis tanaman tersebut telah lama tersebar di wilayah tersebut, sehingga dalam jangka waktu yang lama itu telah memungkinkan terbentuknya genotipe-genotipe baru yang banyak jumlahnya. Kebiasaan petani yang tidak menggunakan varietas unggul tetapi menanam beberapa varietas lokal (landdraces) sekaligus pada lahannya telah memungkinkan konservasi in situ terhadap keragaman genetik kedua jenis tanaman tersebut. Keragaman genetik itu sangat berharga sebagai sumber gen-gen penting untuk pemuliaan ubi kayu dan ubi jalar di masa mendatang.

Pengolahan dan Pemanfaatan Ubi Kayu dan Ubi Jalar di SBB

Hasil wawancara dan FGD yang melibatkan para petani responden rata-rata tiap keluarga memiliki luas lahan untuk tanaman pangan subsistensi dan tanaman umur panjang sebesar 0,25 sampai dengan 2 hektar. Hasil ubi kayu dan ubi jalar pada umumnya dikonsumsi sendiri oleh keluarga dan sebagian dijual dalam bentuk segar. Produksi ubi kayu dan ubi jalar cukup tinggi, namun penganekaragaman olahannya masih terbatas. Oleh karena itu diperlukan penganekaragaman produk olahan.

Masyarakat di daerah penelitian, khususnya yang mempunyai mata pencaharian utama petani, mengkonsumsi ubi kayu dan ubi jalar yang ditanam sendiri sebagai pangan pokok. Mereka tidak membeli ubi kayu dan ubi jalar di pasar karena mereka menanamnya sendiri. Selain ubi kayu dan ubi jalar, masyarakat juga mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok walaupun mereka tidak menanam padi. Hasil penjualan produk pertanian lain atau pendapatan lain dipakai untuk membeli beras. Selain dikonsumsi sebagai pangan pokok, ubi kayu maupun ubi jalar dikonsumsi juga sebagai makanan jajanan, seperti digoreng, dibuat lemet, onde-onde, dan lain-lain. Dalam jumlah terbatas ubi kayu diolah menjadi makanan kering berupa kerupuk, embal dan

(15)

aneka kue kering. (Gambar 1). Bagian tanaman lain yang banyak dikonsumsi adalah daun ubi kayu yang digunakan sebagai sayur.

Tanaman ubi kayu dan ubi jalar dapat dikonsumsi sebagai pangan pokok karena mengandung karbohidrat yang tinggi, yaitu 34,7 gram dan 25,6 gram per 100 gram bahan. Sebagai pangan pokok, maka ubi kayu dan ubi jalar dapat dimakan dengan lauk seperti ikan, daging dan sayur, untuk memperbaiki nilai gizinya. Selain mengandung karbohidrat tanaman ini juga mengandung protein, walaupun tidak sebanyak beras; sedangkan kandungan lemak, vitamin A, vitamin C dan kalsium lebih tinggi daripada beras. Kandungan mineral kalsium cukup tinggi pada ubi kayu dan ubi jalar, lebih dari yang dikandung oleh beras yaitu 33 mg dan 27,7 mg per 100 g, dibandingkan beras hanya 6 mg. Kandungan kalsium yang tinggi menggolongkan kedua jenis umbian ini sebagai pangan yang berperan memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh.

Menurut Suhardjo et al (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Tarwotjo et al (1978) mengatakan bahwa konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi dan konsumsi pangan sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan seperti tersedianya pangan, status ekonomi maupun budaya.

Pola konsumsi masyarakat menggambarkan alokasi dan komposisi atau bentuk konsumsi yang berlaku secara umum pada anggota masyarakat. Pola konsumsi juga merupakan masalah perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi social-ekonomi, budaya dan lingkungan sehingga dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan penduduk. Bagi petani kecil lahan merupakan modal utama untuk menopang kehidupan keluarganya, baik untuk memperoleh uang tunai melalui proses produksi maupun untuk sumber konsumsi pangan keluarga secara langsung.

Pola konsumsi masyarakat SBB adalah umbian/sagu/nasi-sayur-lauk-pauk. Pada umumnya ubi kayu dan ubi jalar yang dikonsumsi diperoleh dari kebun sendiri, begitu juga dengan sayur; sedangkan untuk lauk-pauk ikan atau daging harus dibeli atau merupakan hasil tangkapan di laut atau buruan di hutan. Komoditas ubi kayu dan ubi jalar dewasa ini memegang peranan dalam pola pangan pokok masyarakat khususnya masyarakat petani di perdesaan. Di banyak wilayah, ubi kayu merupakan makanan penting bagi masyarakat petani pada musim-musim tertentu ketika bahan makanan lainnya kurang tersedia atau lebih mahal (Falcon, 1986). Namun, di sebagian besar SBB ubi kayu bersama dengan umbi-umbian lainnya masih merupakan pangan pokok (staple

(16)

food) terpenting dan rutin (setiap hari), sejajar dengan sagu, dan di beberapa masyarakat dikonsumsi lebih banyak dan lebih sering daripada beras. Ini menunjukkan bahwa di SBB, masyarakat khususnya petani masih mempertahankan diversifikasi sumber pangan pokok non-beras. Pola konsumsi masyarakat di daerah penelitian memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi tubuh manusia, sehingga dari pola konsumsi ini tubuh dapat menerima zat gizi yang seimbang; artinya bukan saja karbohidrat sebagai sumber tenaga tetapi juga protein dari lauk pauk serta vitamin dan mineral dari sayuran. Kalori yang dikandung satu piring nasi setara dengan tiga potong ubi kayu dan ubi jalar ukuran sedang.

Cara pengolahan ubi kayu dan ubi jalar untuk pangan pokok di daerah penelitian yang terbanyak dalam bentuk rebus saja. Untuk pembuatan makanan jajanan, kebanyakan umbi diolah dalam bentuk gorengan, onde-onde dan lemet untuk ubi kayu, sedangkan ubi jalar hanya digoreng. Penganekaragaman bentuk dan olahan ubi kayu dan ubi jalar merupakan salah satu alternatif dalam mendukung program diversifikasi atau penganekaragaman pangan. Dalam sistem konsumsi pangan, diversifikasi merupakan aspek penting. Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, khususnya beras. Ketergantungan yang tinggi pada suatu jenis sumber pangan, seperti beras, dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu; dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternatif maka kestabilan dapat dijaga. Berdasarkan temuan yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ubi kayu dan ubi jalar berperan penting pola konsumsi dan ketahanan pangan di SBB.

Ubi kayu dan ubi jalar di SBB lebih sering dikonsumsi sebagai pangan pokok dan sebagian kecil sudah dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk diproses menjadi berbagai produk olahan secara tradisional, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun dijual. Untuk itu usaha pemanfaatan ubi kayu dan ubi jalar perlu digalakkan dan dikembangkan lebih lanjut dengan pengembangan produk baru yang lebih moderen dan berkadar gizi tinggi dan dengan sentuhan teknologi pangan yang tepat. Mengingat ubi kayu dan ubi lajar tergolong jenis umbian yang tidak tahan lama karena masa segar hanya bertahan dua hari sejak panen, maka perlu juga dilakukan penanganan untuk memperpanjang masa simpannya. Ubi kayu dan ubi jalar sebenarnya dapat ditingkatkan menjadi bahan makanan yang bernilai tinggi, melalui proses pengeringan sederhana, kemudian digiling sehingga menjadi tepung yang dapat dibuat beraneka macam produk makanan basah maupun kering. Dengan perajangan dan penggorengan yang tepat dapat

(17)

dihasilkan keripik atau chips yang dapat diberi berbagai rasa sehingga mempunyai nilai jual yang tinggi. Namun, penelitian ini mendapatkan bahwa pengolahan produk kedua jenis tanaman itu jarang dilakukan.

Ubi kayu dan ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai makanan basah, kering dan kombinasinya. Produk yang dihasilkan dapat beraneka rasa, tetapi salah satu usaha untuk menyelamatkannya adalah dengan membuatnya terlebih dahulu menjadi tepung dan dari bahan tepung itu dapat diolah menjadi berbagai produk makanan yang menarik. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena tahan lama disimpan, mudah dicampur, dapat difortifikasi, mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Balit Pascapanen Pertanian, 2002).

Oleh sebab itu, program pengembangan produksi dan pemanfaatan sumberdaya hasil pertanian pangan lokal, seperti ubi kayu dan ubi jalar, dengan cara meningkatkan pemberdayaan industri pangan pada masyarakat petani dalam bentuk industry rumahtangga (home industry) perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya di Kabupaten SBB.

Gambar 1. Pemasaran dan pengolahan ubi kayu dan ubi jalar di SBB; (a) dan (b) pemasaran berupa umbi segar dalam skala kecil di pasar Piru, (c) dan (d) dalam jumlah terbatas ubi kayu diolah menjadi makanan kering berupa kerupuk, embal dan aneka kue kering.

(18)

Peluang Industri Rumahtangga Berbasis Ubi Kayu dan Ubi Jalar di SBB

Industri rumah tangga adalah unit usaha (establishment) dengan jumlah pekerja 1 hingga 4 orang, yang kebanyakan adalah anggota-anggota keluarga (family workers) yang tidak dibayar dari pemilik usaha atau pengusaha itu sendiri. Secara umum usaha kecil yang terdapat di perdesaan adalah industri kecil dan industri rumahtangga.

Pembangunan ekonomi di perdesaan mempunyai tujuan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui pertumbuhan kesempatan kerja yang produktif dan diversifikasi kegiatan-kegiatan ekonomi atau sumber-sumber pendapatan di perdesaan. Tujuan pengembangan usaha kecil di perdesaan adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja, khususnya untuk menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh sebab itu, usaha kecil di perdesaan merupakan usaha proses produksi secara meluas dengan tujuan utama untuk meningkatkan nilai tambah total dari ekonomi perdesaan. Karena usahatani ubi kayu dan ubi jalar di SBB umumnya merupakan usaha skala kecil, maka pengembangannya dari hulu ke hilir mesti ditujukan untuk mengembangkan usaha-usaha agroindustri kecil yang efisien dan yang melibatkan tenaga kerja dari keluarga petani.

Ubi kayu dan ubi jalar mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan digemari dan dihargai oleh konsumen. Kegiatan mengangkat nilai ekonomi umbi-umbian ini membutuhkan dukungan pengembangan teknologi pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah citra pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Upaya peningkatan nilai tambah dari ubi kayu dan ubi jalar melalui agroindustri, selain meningkatkan pendapatan juga berperan dalam penyediaan pangan yang beragam dan bermutu.

Setiap daerah memiliki keunggulan pangan lokal yang berbeda sesuai tingkat produksi dan konsumsi. Kabupaten SBB memiliki berbagai jenis pangan lokal, dan di antaranya adalah ubi kayu dan ubi jalar, yang dapat dikembangkan menjadi berbagai produk olahan, seperti tepung, keripik, mie, dan lain-lain. Selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan semakin maraknya jenis pangan olahan siap saji dan praktis serta mudah diperoleh. Melalui pengembangan agroindustri, dalam hal ini industri rumahtangga di perdesaan yang menggunakan bahan baku ubi kayu dan ubi jalar, diharapkan akan terjadi peningkatan jumlah pangan dan jenis produk yang tersedia di pasar lebih beragam, yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk-produk berbasis ubi kayu dan ubi jalar.

(19)

Sub sistem agribisnis hilir menyangkut kegiatan pasca panen dan pengolahan hasil. Terbatasnya masa jual dan bentuk olahan ubi kayu dan ubi jalar serta kurangnya informasi dan penguasaan teknologi pasca panen di SBB merupakan kendala yang masih dihadapi petani. Keterbatasan tersebut berpengaruh terhadap pendapatan petani yang cenderung rendah. Salah satu langkah perbaikan pendapatan petani penanam ubi kayu dan ubi jalar adalah dengan diversivikasi hasil, yaitu mengolah umbi segar menjadi produk olahan yang dapat disimpan lama, antara lain tepung umbi, pati, gaplek, chip, dan pelet. Dengan demikian diharapkan pasar dan harga ubi kayu dan ubi jalar akan lebih terjamin, di samping adanya nilai tambah yang diperoleh petani sehingga pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

REKOMENDASI UNTUK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disampaikan beberapa rekomendasi untuk kebijakan pengembangan komoditas ubi kayu dan ubi jalar di SBB pada khususnya dan di Maluku pada umumnya di masa mendatang. Hal ini diuraikan sebagai berikut.

1) Pengembangan ubi kayu dan ubi jalar sebagai bagian dari pengembangan sistem pertanian campuran.

Di SBB ubi kayu dan ubi jalar jarang ditanam pada sistem monokultur tetapi merupakan tanaman penting dalam sistem budidaya campuran berupa ‘kabong’. Kedua jenis umbian itu berperanan sebagai tanaman subsistensi dan sumber karbohidrat utama dalam keluarga petani. Areal pertanaman ubi kayu dan ubi jalar umumnya kecil (kurang dari 0.25 ha) dan merupakan sebagian kecil dari lahan milik petani yang pada umumnya lebih banyak ditanami tanaman umur panjang penghasil uang (cash crops), seperti cengkeh, kelapa, kakao dan pala. Oleh sebab itu, kebijakan pengembangan di masa mendatang harus mempertimbangkan hal ini. Pengembangan ubi kayu dan ubi jalar hendaknya merupakan bagian dari pengembangan melalui penataan dan intensifikasi sistem pertanaman campuran berupa ‘kabong’ secara terpadu dan holistik. Ini harus diarahkan untuk menjadikan kedua jenis tanaman itu lebih produktif sebagai tanaman sumber bahan makanan pokok, seiring dengan peningkatan produktivitas tanaman-tanaman lainnya pada sistem pertanaman-tanaman campuran tersebut. Dinas Pertanian, Fakultas Pertanian serta instansi-instansi yang bertanggung jawab dalam penelitian dan pengembangan pertanian, perlu membuat inovasi berupa paket-paket intensifikasi sistem pertanian campuran seperti ‘kabong’. Ini merupakan tantangan sebab biasanya

(20)

paket-paket teknologi dikembangkan untuk pola pertanaman monokultur. Secara umum, pengembangan kedua tanaman tersebut dengan pola monokultur kurang cocok dengan kebanyakan sistem budidaya tanaman dan petani lokal di SBB. Pola monokultur hanya bisa diterapkan dalam skala kecil pada lahan-lahan di antara tanaman umur panjang yang umumnya tidak terlalu luas. Di SBB, pola monokultur umbi-umbian pada skala yang lebih besar hanya bisa dikembangkan dengan pembukaan lahan baru, tetapi harus dijamin bahwa upaya seperti ini memberikan keunggulan komparatif secara ekonomi. 2) Pengembangan usahatani ubi kayu dan ubi jalar perlu didukung dengan teknologi budidaya

yang tepat.

Budidaya ubi kayu dan ubi jalar di SBB masih bersifat tradisional. Kebanyakan masih dilakukan dengan sistem perladangan berpindah, budidaya input rendah, tanpa olah tanah atau dengan pengolahan minimal dan tidak menggunakan jarak tanam yang tepat dan teratur. Paket-paket teknologi budidaya pertanian intensif belum diterapkan. Para petani tidak menggunakan bibit unggul untuk kedua jenis tanaman tersebut, sebab sistem penyediaan benih/bibit unggul memang tidak tersedia di SBB. Bahan tanam umumnya diperoleh dari pertanaman sebelumnya secara turun-temurun atau dari petani lain yang berdekatan, tetapi tidak ada yang diperoleh dari dinas atau petugas pertanian. Rata-rata petani menanam lebih dari satu jenis ubi kayu maupun ubi jalar pada lahannya, tetapi identitas genetik ataupun agronomisnya tidak jelas. Dengan demikian masih terbuka luas peluang peningkatan produktivitas ubi kayu dan ubi jalar melalui pengelolaan lingkungan tumbuh (dengan persiapan lahan, pemupukan, pengendalian OPT yang tepat) dan penggunaan varietas/klon unggul. Sebenarnya inovasi teknologi telah tersedia untuk pengelolaan lingkungan kedua jenis tanaman tersebut, namun informasinya belum sampai ke tingkat petani. Ini merupakan tanggung jawab Dinas Pertanian, khususnya peranan para penyuluh pertanian. Berdasarkan temuan penelitian ini varietas/klon unggul memang tidak tersedia dan dikenal oleh para petani. Padahal jumlah varietas unggul ubi kayu dan ubi jalar yang dirilis sampai saat ini sudah cukup banyak, tetapi di Maluku hanya dimiliki oleh lembaga penelitian dan belum disebarkan ke petani. Beberapa varietas unggul Nasional telah terbukti produktif di Maluku. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian dan Balai Benih perlu membuat program untuk memperkenalkan bibit unggul bagi para petani, serta membangun sistem penyediaannya.

3) Pengembangan sistem pelestarian plasma nutfah dan pemuliaan tanaman perlu dilakukan dengan melibatkan sumberdaya genetik lokal.

(21)

Kegiatan survei eksploratif pada penelitian ini telah menunjukkan bahwa keragaman genetik ubi kayu dan ubi jalar di SBB sangat besar, dan ini merupakan sumberdaya genetik yang berguna untuk upaya pemuliaan tanaman. Namun sampai saat ini upaya pelestarian, pengkajian dan pemanfaatan plasma nutfah lokal untuk kedua jenis tanaman tersebut masih sangat terbatas. Dua instansi yang sudah melakukan upaya ini adalah BPTP Maluku dan Fakultas Pertanian Unpatti. Pelestarian umbi-umbian yang sudah dirintis perlu diintegrasikan dengan sistem pelestarian plasma nutfah nasional, misalnya pada bank gen Biogen di Bogor. Di Maluku, upaya pemuliaan tanaman ubi kayu dan ubi jalar baru dimulai dengan karakterisasi dan evaluasi aksesi-aksesi varietas lokal yang berasal dari berbagai wilayah di Maluku; sedangkan pemuliaan yang melibatkan persilangan-persilangan belum dilakukan. Pemerintah perlu memberi dukungan terhadap upaya-upaya seperti ini, misalnya dengan dukungan dana penelitian. Hasil dan dampak dari pengembangan dan pemanfaatan varietas-varietas unggul yang produktif dan adaptif di SBB dan Maluku secara umum akan menunjang peningkatan perbaikan ekonomi petani melalui peningkatan produksi pertanian mereka.

4) Pengembangan usahatani ubi kayu dan ubi jalar untuk industri perlu dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.

Dari penelitian ini didapatkan indikasi bahwa budidaya ubi kayu dan ubi jalar menunjang kehidupan petani hanya sampai ke tingkat subsistensi, dan tidak memberikan andil yang berarti pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan petani. Penyebabnya antara lain adalah bahwa para petani tidak memberi perhatian atau tidak memiliki teknologi pasca panen, serta tidak menguasai pemasaran produknya. Dalam keadaan segar tanpa pengolahan, produk kedua tanaman ini bersifat mudah rusak. Apabila produk melimpah, petani tidak mampu memasarkannya ke luar daerah karena prasarana dan sarana transportasi kurang tersedia atau biayanya terlalu mahal. Oleh sebab itu, jika produk ubi kayu dan ubi jalar hendak dikembangkan untuk pasokan industri, maka para petani perlu diberdayakan sehingga mempunyai kemampuan untuk mengolah produknya menjadi bahan setengah jadi berupa chip kering, tepung atau pati, sehingga menjadi tahan simpan dan memudahkan transportasinya. Alternatif lainnya adalah dengan mengembangkan kemampuan keluarga petani dalam industri rumahtangga (home industry) untuk mengolah hasil umbiannya menjadi produk makanan kering yang bermutu, misalnya berupa embal (sagu kasbi), keripik, granul nasi ubi kayu dsn ubi jalar, dan lain-lain, dengan citarasa yang baik dan pengepakan yang menarik. Dengan demikian, pengembangan usahatani ubi kayu dan ubi jalar untuk

(22)

industri tidak hanya diarahkan untuk perbaikan budidaya dan produksi saja tetapi juga harus memberdayakan petani dalam pengolahan dan pemasaran produk.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J.B. 2005. Eksplorasi dan dokumentasi plasma nuftah ubi jalar ((Ipomoea batatas (L.) Lam.) di Maluku. J.Agrivigor 4(3):244-249

Anonim. 2007. Ubi kayu, bioenergi yang potensial. Sinar Tani, Edisi 27 Juni - 3 Juli 2007.

BPS Provinsi Maluku. 2012. Maluku Dalam Angka 2012, Badan Pusat Statistik Maluku, Ambon.

BPS SBB. 2011. SBB Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik SBB, Piru.

Dahamaruddin, L. dan M.P. Sirappa. 2009. Eksplorasi dan konservasi ex situ plasma nutfah ubi kayu sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 5(1):61-67.

Falcon. 1986. Ekonomi Ubikayu, Konsumsi. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Fuglie, K.O., Oates, C.G., dan Xie, J. 2005 Root Crops, Starch and Agro-industrialization in Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor, 14 Juli 2005.

Fukuda, W.M.G., C.L. Guevara, R. Kawuki, and M.E. Ferguson. 2010. Selected morphological and agronomic descriptors for the characterization of cassava International Institute of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan, Nigeria.

Huaman, Z. 1991. Descriptor for Sweet Potato, CIP, AVRDC and IBPGR, Roma. 133p. Hukunala, E. 2010. Eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah ubi jalar (Ipomoea

batatas (L.) Lam.) di Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura.

Kasno, A., N. Saleh dan E. Ginting. 2006. Pengembangan pangan berbasis kacang-kacangan dan umbi-umbian guna pemantapan ketahanan pangan nasional. Buletin Palawija 12:43–51.

Maitimu M. 2008. Karakterisasi Plasma Nutfah Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam) di Pulau Moa, Kecamatan Moa-Lakor, Kabupaten MalukuTenggara Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Unpatti.Ambon. Skripsi.

Pesireron, M., R.E. Senewe, L. Hutuely, M.P. Sirappa, J.B. Alfons dan M.L.J. Titahena. 2011. Road Map Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten SBB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon

(23)

Setiadi, S. 2005. Teknologi produksi bioetanol dan pemanfaatannya sebagai bahan bakar hayati. Makalah dalam Semiloka Nasional Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Masyarakat. Jakarta, 19–30 November 2005

Suhardjo. 1990. Survey Konsumsi Pangan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Susanto A.N, dan S. Bustaman. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Ambon: BPTP Maluku, Badan Litbang Pertanian.73p.

Sutoro dan Minantyorini. 2003. Karakterisasi ukuran dan bentuk umbi plasma nutfah ubi jalar. Balai Peneliitian Bioteknologi dan sumberdaya genetik Pertanian, Bogor, Vol. 9, No. 2.

Tarwotjo. 1979. Masalah Gizi di Indonesia. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI Jakarta.

Thompson P.G., L.L. Hong, K. Ukoskit dan S. Zhu. 1997. Genetic linkage of randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) markers in sweetpotato. J Am Soc Hortic Sci 122:79-82.

(24)

Gambar

Gambar 1.  Pemasaran  dan  pengolahan  ubi  kayu  dan  ubi  jalar  di  SBB;    (a)  dan  (b)  pemasaran  berupa  umbi  segar  dalam  skala  kecil  di  pasar  Piru,  (c)  dan  (d)  dalam  jumlah  terbatas  ubi  kayu  diolah  menjadi  makanan  kering  berupa

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, koordinator tim Humas Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat ditunjuk langsung oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai Pejabat

jaringan saraf, jaringan otot, dan jaringan darah. Jaringan epitel terdiri atas sel-sel epitel yang saling.. berhubungan. Jaringan saraf terdiri atas

22.4 Pemegang akaun seterusnya bersetuju bahawa jika Bank didakwa atau dijadikan pihak dalam sebarang guaman berbangkit daripada tindakan Bank yang Membekukan

Sedangkan kami akan meningkatkan promosi dan memperbanyak persediaan spare part, sehingga diharapkan banyak konsumen yang puas akan servis kami, dengan harga mahasiswa..

untuk menyelesaikan soal, sehingga menuliskan berbegai jenis pecahan. 1) Nilai pembilang dijumlahkan dan nilai penyebut juga dijumlahkan. 2) Nilai penyebut dijumlahkan

• Pasal 1 ayat 1: sejalan dengan fokus yang dikemukakan di atas, Kesejahteraan Sosial perlu didefinisikan sebagai “sistem pelayanan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup

[r]

Numbered Heads Together (NHT) untuk meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas IV SDN 016 Simpang Poros semester 2 menggunakan penerapan model pembelajaran