• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbagai masalah komplek yang dihadapi oleh masyarakat saat ini seperti pencemaran, radiasi dan kontaminasi pada makanan, dan diet tinggi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang berlebih dalam tubuh manusia. Radikal bebas merupakan molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan dalam orbit terluarnya sehingga kondisinya tidak stabil. Dengan sifat ini, radikal bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit. Radikal bebas juga dapat menyebabkan berbagai kerusakan sel seperti kerusakan membran, protein, DNA, sehingga menyebabkan berbagai jenis penyakit seperti autoimun, penuan dini, dan arterosklerosis, yang selanjutnya dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit kronis.

Sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa kimia berbahaya seperti radikal bebas terjadi melalui sistem antioksidan (Zakaria et al 1996). Antioksidan dapat mencegah kerusakan akibat radikal bebas karena mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan dapat ditemukan dalam tubuh diantaranya glutation, ubiquinol, dan asam urat yang diproduksi pada metabolisme normal. Antioksidan juga dapat ditemukan pada makanan seperti vitamin E, C, dan karotenoid. Perlindungan antioksidan terhadap plasma darah merupakan gambaran dari perlindungan total terhadap tubuh, karena di samping bagian dari darah yang penting dalam sistem pencernaan, plasma juga merupakan tempat bermuaranya berbagai metabolit sel tubuh. Sehingga kondisi antioksidan di plasma penting untuk diketahui. Beberapa produk metabolit hasil oksidasi senyawa radikal seperti malonaldialdehid (MDA) dan diena terkonjugasi dijadikan model oleh para peneliti untuk menggambarkan sistem pertahanan antioksidan tubuh terhadap senyawa radikal bebas (Zakaria et al 1996; Septiana 2000; Prangdimurti 2007).

Biji kakao merupakan salah satu bahan yang kaya akan senyawa flavonoid diantaranya adalah senyawa flavanol yang berfungsi sebagai antioksidan. Flavonoid dalam kakao umumnya ditemukan dalam bentuk katekin, efikatekin, prosianidin, dan antosianidin (Hammerstone et al 2000). Kapasitas

(2)

antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan anggur, teh hijau, dan teh hitam (Lee et al 2003). Beberapa peneliti melaporkan manfaat senyawa flavanol di bidang kesehatan, seperti memacu peredaran darah dengan baik, agen perlindungan terhadap kardiovaskular, berpengaruh pada fungsi platelet, mengatur tekanan darah, produksi nitrit oksida, dan dapat menurunkan oksidasi low density

lipoprotein (LDL) pada manusia sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit

aterosklerosis (Fisher et al 2003; Heiss et al 2003; Yan Zhu et al 2005). Sampai saat ini kualitas kakao asal Indonesia masih memprihatikan. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya harga kakao Indonesia di pasaran dunia. Kakao asal Indonesia masih ditawar murah, bahkan nilainya terpaut US$ 90 sampai US$ 120 per ton dari harga kakao di pasar komoditi London, yang saat ini sudah mencapai US$ 1.725. Bahkan belakangan ini kakao Indonesia malah tidak bisa lagi masuk ke sejumlah pabrik di Singapura dan Malaysia. Beberapa hal yang diduga sebagai penyebabnya adalah ekspor kakao asal Indonesia didominasi oleh biji-biji kakao lindak tanpa fermentasi. Biji-biji kakao yang difermentasi lebih disukai karena dapat meningkatkan cita rasa produk kakao. Kakao lindak umumnya hanya digunakan sebagai bahan pelengkap dalam mengolah kakao mulia. Di samping itu, biji-biji tersebut pada proses pengolahan hanya dijadikan sebagai sumber lemak

Bubuk kakao lindak bebas lemak merupakan hasil samping produksi lemak kakao masih mengandung senyawa polifenol yang cukup tinggi. Menurut Misnawi et al 2002a bubuk kakao tanpa fermentasi mengandung polifenol 120-180 g/kg; 37% diantaranya dalam bentuk monomer flavan-3-ol, 58% dalam bentuk oligomer dan 5% sisanya berupa antosianin dan polifenol lainnya. Bentuk monomer lebih mudah diserap dalam sistem pencernaan tubuh. Hasil penelitian secara in vitro terhadap bubuk kakao bebas lemak tersebut menunjukkan bahw a bubuk kakao mempunyai kapasitas antioksidan, melindungi sel limfosit dari berbagai oksidator, dan tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit (Zairisman 2006; Olivia 2006). Kekuatan antioksidan polifenol kakao didukung oleh kelarutannya yang tinggi dalam sistem yang heterogen, bahkan dalam sistem emulsi lemak sekalipun (Ziegleder & Sandmeier 1983). Hasil penelitian Jinap & Misnawi (2002) menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan polifenol pada bubuk

(3)

kakao masih tetap tinggi bahkan lebih baik dari a-tokoferol walaupun telah dipanaskan sampai 140oC selama 45 menit. Dengan demikian peluang untuk memanfaatkan bubuk kakao lindak bebas lemak menjadi sumber antioksidan masih sangat besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara

in vivo dengan menggunakan manusia sebagai respondennya. Sehingga dapat

diketahui keamanan minuman bubuk kakao lindak bebas lemak dalam meningkatkan kesehatan manusia.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menguji efek konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar antioksidan plasma darah manusia.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah

1. menguji efek minuman bubuk kakao lindak bebas lemak dalam meningkatkan aktivitas antioksidan dan melindungi plasma dari kerusakan oksidatif dengan cara mengukur kadar vitamin C plasma, mengukur kapasitas antioksidan menggunakan radikal bebas stabil DPPH, mengukur kadar malondialdehid (MDA) dan mengukur kadar diena terkonjugasi.

2. mengukur efek minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap bioavailabilitas flavonoid dalam plasma manusia.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah mengkonsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan, menurunkan kadar MDA, dan dapat meningkatkan flavonoid dalam plasma manusia

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang khasiat minuman bubuk kakao bebas lemak sebagai antioksidan alami

2. Memberikan informasi ilmiah tentang khasiat bubuk kakao bebas lemak varietas lokal terhadap kesehatan

3. Meningkatkan citra positif kakao varietas lokal Indonesia

(4)

Kakao

Tanaman kakao (Theobroma cacao L) tumbuh baik di daerah hutan tropis seperti halnya wilayah Indonesia. Bahkan kakao merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia dimana luas arealnya mencapai 770 ribu he ktar dengan produksi tahunan mencapai 435 ribu ton. Produksi yang cukup besar ini menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga setelah Ivory Coast dan Ghana (DJBPP 2004).

Dua jenis kakao yang dominan ditanam di Indonesia, yaitu kakao mulia atau kakao edel (fine/ flavour cocoa) yang berasal dari varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao lindak (bulk cocoa) berasal dari varietas forestero dan trinitro dengan warna buah hijau. Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan pelengkap dalam mengolah kakao mulia. Jenis kakao lindak inilah yang dominan di perkebunan Indonesia (DJBPP 2004).

Komoditi kakao Indonesia tahun 2006 di pasar dunia masih memprihatinkan. Kakao dari Indonesia masih ditawar murah, bahkan nilainya terpaut US$ 90 sampai US$ 120 per ton dari harga kakao di pasar komoditi London, yang saat ini sudah mencapai US$ 1.725 (938 poundsterling) per ton. Bahkan belakangan ini kakao produk Indonesia malah tidak bisa lagi masuk ke sejumlah pabrik di Singapura dan Malaysia. Rendahnya nilai komoditi ini, tidak terlepas dari rendahnya kualitas kakao Indonesia. Salah satu penyebabnya kakao asal Indonesia didominasi oleh jenis kakao lindak yang tidak difermentasi. Kakao lindak tergolong dalam kakao kualitas ke dua yang digunakan sebagai bahan pelengkap dalam mengolah kakao mulia.

Komposisi kimia biji kakao atau bubuk kakao berbeda-beda. Tabel 1 menggambarkan hasil analisis proksimat terhadap bahan baku yang digunakan yaitu bubuk kakao lindak bebas lemak dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Komposisi kimia bubuk kakao ini sedikit berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Cheney (1999) terhadap varietas yang berbeda (Tabel 2). Variasi ini bisa disebabkan karena berbagai faktor seperti bentuk produk olahan, varietas, dan perlakuan selama proses pengolahan. Menurut

(5)

Misnawi dan Selamat (2003) kandungan dan komposisi polifenol dalam biji kakao dipengaruhi oleh proses fermentasi.

Tabel 1 Komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak per 100 gram

Nutrisi Komposisi (g/100 g) Karbohidrat 51,42 Protein 28,075 Lemak 2,585 Air 10,415 Abu 7,505

Sumber: Yuliatmoko (2007); Hasanah (2007); Amri (2007); Kusumantias (2007)

Tabel 2 Komposisi kimia bubuk kakao per 100 gram

Nutrisi Komposisi Kalori (Kcal) 228,49 Lemak (g) 13,50 Karbohidrat (g) 53,35 Serat (g) 27,90 Protein (g) 19,59 Potassium (mg) 1495,50 Sodium (mg) 8,99 Kalsium (mg) 169,45 Besi (mg) 13,86 Seng (mg) 7,93 Tembaga (mg) 4,61 Mangan (mg) 4,73 Air (g) 2,58 Kadar Abu (g) 6,33 Sumber: Cheney (1999)

Kakao merupakan salah satu jenis pangan yang mengandung senyawa polifenol, yang dapat bertindak sebagai antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Sanbongi et al 1998). Kandungan total polipenol pada kakao lebih tinggi dibandingkan dengan anggur, teh hitam, dan teh hijau (Lee et al 2003). Kelompok senyawa polifenol yang banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid golongan flavanol. Flavanol umumnya terdapat dalam bentuk senyawa

(6)

tunggal seperti katekin dan epikatekin dan juga berbentuk senyawa oligomer seperti prosianidin (Gambar 1)(CIC 2001).

Gambar 1 Struktur kimia senyawa flavonoid yang umum terdapat dalam kakao dan produk olahan kakao

Antioksidan polifenol kakao memiliki kelarutan yang tinggi dalam sistem yang heterogen, bahkan dalam sistem emulsi lemak sekalipun. Menurut Misnawi (2003) aktifitas antioksidan polifenol biji kakao masih tetap tinggi walaupun telah dipanaskan sampai 140oC selama 45 menit. Sementara itu, polifenol dengan konsentrasi tinggi dalam kakao memberi pengaruh negatif terhadap citarasa berupa rasa sepat dan pahit yang berlebihan serta menghambat pembentukan komponen-komponen aroma selama penyanggraian (Misnawi et al 2004b).

Beberapa manfaat flavanol di bidang kesehatan telah berhasil diteliti. Penelitian secara in vitro dan in vivo menyimpulkan bahwa flavanol pada biji kakao memiliki kapasitas antioksidan yang mampu menekan hidrogen peroksida dan anion superoksida, melindungi lemak dari kerusakan oksidasi, bertindak sebagai anti mikroba, menghambat pertumbuhan tumor dan kanker, dan melindungi penyakit-penyakit karena oksidasi low density lipoprotein (Wan et al 2001; Kattenberg 2000; Sanbongi et al 1998).

Mathur et al (2002) menyatakan bahwa flavanol dalam produk kakao memiliki kapasitas antioksidan dan aktivitas anti-inflamantori yang mempunyai kemampuan untuk mencegah penyakit kardiovaskular akibat stress oksidatif. Dalam penelitian yang lain disebutkan bahwa mengkonsumsi kakao yang kaya akan flavanol berpengaruh positif pada aliran darah perifer (Fisher et al 2003).

Prosianidin Katekin

(7)

Disamping itu, konsumsi cairan ekstrak kakao yang kaya akan antioksidan dapat menurunkan aktivitas enzim petanda tumor pada hati tikus percobaan (Amin et al 2004). Zhu et al (2005) melaporkan bahwa kecenderungan eritrosit sel darah manusia untuk hemolisis akibat radikal bebas dapat dikurangi secara signifikan setelah mengkonsumsi minuman yang mengandung flavanol kakao. Penelitian yang lain secara in vitro menyebutkan bahwa ekstrak bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao non fermentasi dalam pelarut air mampu memberikan efek perlindungan terhadap sel limfosit manusia (Olivia 2006). Selain itu, flavanol pada biji kakao juga bisa mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus (Grassi et al 2006).

Biji kakao biasanya diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti pasta kakao (chocolat liquor), bubuk kakao (cocao powder), mentega kakao (cocoa butter) dan coklat gelap (dark chocolate). Coklat gelap mengandung 15% pasta kakao, dan 60% mentega kakao, gula, dan aditif. Sedangkan bubuk kakao dibuat dengan menghilangkan mentega kakao dari pasta kakao (Vinson et al 1999). Kandungan polifenol produk kakao tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya (Tabel 3).

Tabel 3 Kandungan polifenol produk kakao Produk kakao Jumlah polifenol total (mg / g)

Bubuk kakao 20

Coklat gelap 8.4

Coklat susu 5

Sumber : Wollgast & Anklam (2000)

Bubuk kakao lindak bebas lemak dari biji kakao non fermentasi pada mengandung 120-180 g/kg polifenol (Misnawi et al 2002a). Bubuk kakao lindak bebas lemak dari jenis bulk masak yang digunakan dalam penelitian ini mengandung total fenol sebesar 35,5 ppm tiap 0,8 mg/ml ekstrak kakao dalam pelarut air (Zairisman 2006).

Bubuk kakao lindak bebas bebas lemak dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber flavonoid merupakan usaha yang sedang dirintis di Pusat

(8)

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember. Bubuk kakao lindak bebas lemak ini merupakan hasil samping produksi lemak kakao. Bubuk kakao lindak bebas lemak merupakan produk kakao yang berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan lemaknya. Ditemukannya kandungan polifenol yang tinggi dalam bubuk kakao lindak bebas lemak ini mumungkinkan diproduksinya bubuk kakao ini secara komersial.

Proses pembuatan bubuk kakao bebas lemak sebagai berikut: biji kakao basah dicuci bersih dan di oven pada suhu 50°C sampai kadar air 7,5%. Selanjutnya kulit ari dipisahkan, keping biji yang diperoleh dihaluskan dengan

blender (penghancur biji). Pasta kakao yang diperoleh kemudian dipisahkan

lemaknya (defatting) dalam soxhlet apparatus menggunakan pelarut petroleum benzen (titik didih 40-60°C). Bubuk kakao yang diperoleh kemudian dihaluskan sampai kehalusan < 40 mesh kemudian disimpan dalam kemasan kedap udara (Misnawi 2005).

Radikal bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul atau senyawa yang sangat reaktif karena memiliki satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas dapat bereaksi dengan molekul sel dengan cara mengikat elektron molekul tersebut sehingga menimbulkan reaksi berantai yang dapat menghasilkan radikal bebas baru. Radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen penyusun membran, enzim, dan DNA (Wijaya 1996).

Radikal bebas dapat menyebabkan stress oksidatif, yaitu keadaan ketidakseimbangan antara reactive oxcygen species (ROS) / reactive nitrogen

species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Guitteridge 1999). Jika radikal bebas

berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel (Langseth 1995). Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi essensial sel (Kehrer 1993). Stress oksidatif dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis. Menurut Zitouni

(9)

terjadinya kerusakan membran (sebagai contohnya akan meningkatkan sekresi albumin urin dan memacu diabetes).

Senyawa-senyawa yang menjadi target ROS atau radikal bebas adalah molekul-molekul seluler dan ektraseluler seperti protein, asam lemak tidak jenuh ganda, glikoprotein, lipoprotein, dan bahan-bahan penyusun DNA seperti karbohidrat dan basa purin.

Pembentukan Radikal Bebas

Terbentuknya radikal bebas dalam tubuh dapat terjadi melalui dua cara, yaitu endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi secara kontinyu pada tubuh manusia sebagai konsekuensi dari metabolisme normal melalui sistem transport elektron, dan aktivitas oksidasi seperti siklooksigenase. Radikal bebas diproduksi di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, retikulum endoplasmik, dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas didapat dari polusi luar melalui jalan pernafasan, makanan, dan penyerapan kulit (Supari, 1996). Bahan pangan tercemar yang dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh juga mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Senyawa logam seperti Pb akan mengkatalisis terbentuknya hidroksil radikal jika bertemu dengan peroksida. Senyawa pemutih bahan pangan seperti benzoil peroksida dalam tubuh dapat dirubah menjadi senyawa radikal yang telah diteliti berperan dalam kerusakan DNA sehingga dapat menyebabkan terbentuknya tumor atau kanker. Hidrokarbon aromatik yang mengkontaminasi bahan pangan dari asap rokok, tanah, polusi udara, dan air, bahan tambahan pangan, melalui reaksi oksidasi, reduksi, dan hidroksilasi akan diubah menjadi senyawa epoksi yang bersifat elektrofil dan dapat menyerang DNA. Senyawa amin heterosiklik yang terbentuk selama proses pemanggangan, bila masuk kedalam tubuh akan berubah menjadi senyawa radikal yang dapat beraksi dengan rantai DNA. Senyawa pestisida seperti karbon tetraklorida, paraquat, dan diquat yang sering terdapat dalam produk sayur dan buah, dapat juga menjadi radikal yang reaktif yang dapat menyebapkan peroksidasi lemak (Zakaria 1996).

(10)

Hidroperoksil Radikal (HO2*). Hidroperoksil radikal mempunyai potensi untuk menyebabkan sitotoksik dalam sistem biologis. Faktor yang menyebabkannya adalah karena mampu melewati membran biologis, dan sifatnya yang reaktif sehingga dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid, terutama pada lipoprotein densitas rendah (LDL). Hidroperoksil radikal lebih reaktif dibandingkan dengan anion superoksida radikal (Halliwell & Guitteridge 1990).

Anion Superoksida Radikal (O2*). Radikal bebas ini merupakan hasil reduksi satu elektron oksigen dan dapat terjadi pada hampir semua sel aerobik yang menjalankan reaksi transper elektron (Zakaria 1996). Pada organisme aerobik, 95% oksigen dalam sel direduksi menjadi air oleh rantai pernafasan pada mitokondria, proses reduksi ini melibatkan 4 elektron dan 2 proton. Kebocoran electron diperkirakan mencapai 1 sampai 5%, electron yang bocor ini bereaksi dengan oksigen membentuk radikal superoksida, hydrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH*) (Lehninger 1993).

Proses fagositosis akan menghasilkan sejumlah besar superoksida sebagai bagian dari mekanisme yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme asing. Pada inflamasi kronis, mekanisme perlindungan normal ini bersifat merusak.

Dalam larutan encer, radikal ini merupakan pereduksi yang lemah untuk mengoksidasi molekul seperti asam askorbat dan thiol. Tetapi merupakan senyawa pereduksi yang kuat untuk beberapa kompleks besi seperti sitokrom c dan ferri-EDTA. Dalam larutan encer radikal ini akan segera mengalami reaksi dismutase dengan katalisator superoksida dismutase (SOD) membentuk hidrogen peroksida dan oksigen (Guitteridge 1995).

Hidrogen Peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah yang relatif stabil, tetapi dengan adanya ion logam transisi, maka senyawa ini akan membentuk radikal yang reaktif. Senyawa ini akan segera bercampur dengan air, dan diperlakukan seperti molekul air oleh tubuh, yang dapat berdifusi melewati membran sel. Hidrogen peroksida yang tidak dikehendaki dihilangkan dari sel dengan bantuan enzim katalase, glutation peroksidase (GSH) dan

peroksidase lainnya (Guitteridge 1995)

Peristiwa iskemi yaitu deplesi ATP akibat kekurangan oksigen dimana terjadi pemecahan ATP menjadi AMP, adenosine dan hipoxantin. Hipoxantin

(11)

diubah oleh xantin oksidase, menjadi asam urat dan radikal bebas seperti: superoksida, hidroksil, dan hidrogen peroksida (Haliwell & Guitteridge 1999).

Hidroksil Radikal (OH*). Hidroksil radikal merupakan senyawa oksidan yang sangat berbahaya, karena sifatnya yang sangat reaktif dibandingkan dengan senyawa radikal lainnya sehingga dapat merusak sejumlah besar molekul biologis. Senyawa ini dapat terbentuk dari H2O2 dengan katalis ion Fe2+, reaksi ini dikenal dengan nama reaksi Fenton (Guitteridge 1985). Reaksi Fenton dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi yang dikatalis oleh Fe+2 dan Fe+3 yang berasal dari hemoglobin dan mioglobin (Zakaria 1996; Haliwell & Guitteridge 1999).

Radikal ini dapat terbentuk sebagai respon terhadap radiasi, sinar ultraviolet, polusi lingkungan, asap rokok, hiperoksida, dan olah raga yang berlebihan. Radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang rendah (misalnya sinar ga mma) dapat memecah air dalam tubuh menghasilkan radikal hidroksil. Radikal ini akan menyerang semua molekul yang berdekatan dengannya dan menimbulkan reaksi berantai.

Nitrit Oksida (NO*). Radikal bebas fisiologis yang lain adalah nitrit oksida, yang dibuat oleh sel-sel endotel dari dinding pembuluh darah sebagai faktor relaksasi. Nitrit oksida ini mempunyai fungsi fisiologis untuk relaksasi vaskuler dan dapat menekan oksidasi lipoprotein yang amat penting untuk pencegahan aterosklerosis. Namun pada kondisi tertentu nitrit oksida dapat bereaksi dengan radikal superoksida membentuk peroksinitrit yang merupakan oksidan kuat yang akan bereaksi dengan protein dan lipid (Wijaya 1996).

Dampak Negatif Radikal Bebas

Berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan radikal bebas terhadap sel-sel tubuh antara lain:

Kerusakan Membran Sel. Komponen terpenting membran sel adalah fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol. Fosfolipid dan glikolipid mengandung asam lemak tak jenuh ganda yang sangat rentan terhadap serangan radikal bebas, terutama radikal hidroksil. Radikal hidroksil dapat menimbulkan reaksi berantai yang dikenal dengan nama peroksidasi lipid. Akibat akhir dari reaksi berantai ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat

(12)

toksik terhadap sel, antara lain aldehida seperti malondialdehida (MDA), 9-hidroksinonenal, serta berbagai hidrokarbon seperti etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Semuanya ini mengakibatkan kerusakan membran sel dan membahayakan sel (Wijaya 1996)

Kerusakan Protein. Menurut Wijaya (1996) radikal bebas dapat merusak protein karena dapat mengadakan reaksi dengan asam-asam amino penyusun protein. Di antara asam amino penyusun protein yang paling rawan adalah sistein karena gugus sulfidril (SH) yang dikandungnya rentan terhadap serangan radikal bebas. Pembentukan ikatan disulfida menimbulkan ikatan intra dan antar molekul protein sehingga molekul protein tersebut kehilangan fungsi fisiologisnya.

Kerusakan DNA. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab kerusakan DNA. Kerusakan ini dapat mengakibatkan terjadinya mutasi sel dan menimbulkan penyakit kanker (Halliwell & Guitteridge 1985)

Autoimun. Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap sel tubuh biasa. Adanya antibodi terhadap sel tubuh dapat mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh (Halliwell & Guitteridge 1985).

Penuaan Dini. Kerusakan jaringan oleh radikal bebas terjadi secara terus menerus, perlahan, dan pasti. Hal ini disebabkan efisiensi proses pemusnahan radikal bebas dalam tubuh tidak terjadi secara sempurna. Jaringan yang rusak ini mengakibatkan terjadinya proses penuaan dini (Halliwell & Guitteridge 1985).

Aterosklerosis. Oksidasi LDL merupakan tahap awal terjadinya arterosklerosis. Serangan radikal hidroksil pada PUFA pada permukaan LDL mengawali terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang menyebabkan modifikasi oksidatif dari PUFA dan degradasi apolipoprotein B (Wijaya 1996).

Indikator pengukuran radikal bebas

Malonaldehid (MDA). MDA adalah senyawa dialdehid yang mengandung 3 atom karbon dengan gugus karbonil yang berada pada posisi C1 dan C3. MDA mempunyai rumus kimia C3H4O2 dengan berat molekul 72. Malonaldehid merupakan salah satu hasil oksidasi lipid pada tahap propagasi dari dekomposisi hidroperoksida (Tranggono & Setiaji 1986)

(13)

Konsentrasi MDA dalam material biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator keberadaan radikal bebas. MDA dapat mengadakan cross link dengan residu lisin yang bebas pada apo-B dari LDL. MDA dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis prostaglandin (Zakaria 1996; Jialal & Devaraj 1997).

Analis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, karena radikal ini merupakan senyawa yang tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar menjadi lebih stabil. Reaksi ini berlangsung cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Guitteridge 1995).

Menurut Conti et al (1991), MDA dapat melakukan reaksi penambahan nukleofilik (nukleophilic addition reaction) dengan asam tiobarbiturat (TBA) membentuk senyawa MDA-TBA. Senyawa ini berwarna merah jambu yang dapat diukur intensitas warnanya dengan menggunakan spektrofotometer. Inilah yang merupakan dasar analisis dengan metode TBA. 1,1,3,3-tetraetoksipropan merupakan prekusor MDA sehingga sebagai larutan standar dapat digunakan larutan tetraektoksipropan. Peningkatan kadar MDA dapat ditekan dengan pemberian antioksidan seperti vitamin C, A, dan E dan beberapa komponen bioaktif yang secara keseluruhan dapat menekan proses peroksidasi lipid.

Diena Terkonjugasi. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino, dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti : MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil, dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE). Proses pembentukan diena terkonjugasi, pada tahap awal terjadi laju oksidasi yang tergantung antioksidan endogen. Fase ini merupakan fase lag dari oksidasi. Fase lag kemudian diikuti dengan fase propagasi yang terjadi setelah penurunan jumlah antioksidan endogen. Pada fase propagasi terjadi peningkatan abstraksi H dari ALTJ, sehingga terjadi peningkatan diena terkonjugasi. Fase propagasi kemudian diikuti dengan fase dekomposisi. Pada fase terakhir ini terbentuk aldehid seperti MDA, 4 hidrosinonenal (HNE), dan hexanal (Shahidi & Wanasundara 1997).

(14)

Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler 1990). Antioksidan bereaksi dengan oksidan sehingga mengurangi kapasitas oksidan untuk menimbulkan kerusakan. Sementara itu, menurut Cillard et al (1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut. Sebaliknya pada kadar tinggi zat antioksidan bersifat peroksidan. Antioksidan biologis adalah zat yang mampu melindungi sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi (Krinsky 1992).

Antioksidan primer adalah suatu molekul yang dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipid sehingga radikal yang terbentuk lebih stabil dari daripada radikal lipidnya atau diubah menjadi produk lain yang lebih stabil. Zat-zat yang termasuk dalam golongan ini dapat berasal dari alam seperti tokoferol, polifenol, lesitin, fosfatida, dan asam askorbat serta antioksidan buatan seperti butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT). Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergi. Beberapa asam organik tertentu dapat mengikat logam-logam, misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti pada minyak kedelai (Winarno 1997).

Antioksidan fenolik seperti vitamin C, flavonoid, turunan asam sinamat, coumarin dan komponen fenolik pada umumnya merupakan antioksidan primer. Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipida (Kochhar & Rossell, 1990).

Antioksidan dapat ditemukan dalam tubuh seperti glutation, ubiquinol dan asam urat yang diproduksi pada metabolisme normal. Antioksidan juga dapat ditemukan pada makanan seperti vitamin E, C, dan karotenoid (Langseth 1995).

Mekanisme kerja antioksidan dapat melalui beberapa cara, seperti: menghambat terbentuknya radikal bebas, menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk ( scavenger ), menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom

(15)

P-450 (Charpentier & Cateora 1996). Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, mencegah tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, mengikat ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan memutus reaksi rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.

Mekanisme reaksi antioksidan senyawa fenolik terjadi melalui pemberian atom hidrogen dari gugus hidroksil dengan cepat kepada senyawa radikal (Gambar 2). Radikal antioksidan yang terbentuk dari mekanisme tersebut cukup stabil sehingga tidak akan bekerja sebagai inisiator bagi reaksi rantai berikutnya (Ranney, 1979). Kestabilan dari radikal antioksidan tersebut juga terjadi melalui delokalisasi elektron tidak berpasangan pada cincin aromatiknya berdasarkan reaksi isomerasi (Gorton, 1994)

Gambar 2 Mekanisme reaksi gugus fenol dari senyawa fenolik dengan senyawa radikal (Ranney 1979)

Flavonoid merupakan salah satu kelas dari polifenol yang terdiri dari beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanone, flavanol, dan anthocyanin (gambar 3 ).

(16)

Flavonoid merupakan komponen yang memiliki berat molekul rendah, dan pada dasarnya adalah phenylbenzopyrones dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat (Gambar 4). Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzena (A dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin ”C” (Middleton et al 2000). Hal ini dipertegas lagi oleh Miean dan Mohamed (2001) bahwa struktur flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C6C3C6.

Gambar 4 Struktur kimia flavonoid.

Mekanisme reaksi antioksidan senyawa flavonoid terjadi melalui proses scavenging radikal bebas (Gambar 5). Potensial reduksi senyawa flavonoid yang rendah (0,23 E <0,75) dapat mereduksi secara termodinamik radikal bebas dengan

FLAVONOID

Monomer flavonol,

(tomat, bawang) Monomers-katekins dan efikatekins (teh, kakao,apel ) Flavanols Oligomers-proanthosianidin Prodelphinidins. Contoh teh Pigmen merah lainnya Prosianidin, contoh: kakao, apel, kacang

Gambar 3 Pembagian kelas flavonoid ( CIC 2001).

PHENOLIC ACID LAIN-LAIN

(17)

potensial oksidasi antara 2,13 – 1,0 V. Radikal flavonoid (F1-O*) dapat bereaksi kembali dengan senyawa radikal bebas kedua, membentuk struktur kuinon yang stabil. Radikal-flavonoid (F1-O*) yang reaktif akan mengalami reaksi terminasi dengan radikal bebas (R*) membentuk senyawa flavonoid-radikal (F1-OR) yang stabil dan tidak reakti ( Pietta 2000).

Gambar 5 Scavenging radikal bebas oleh flavonoid Keterangan:

R* = senyawa radikal bebas F1-OH = senyawa golongan flavonoid F1-O* = radikal-flavonoid

Untuk mengukur aktivitas suatu antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Prinsip pengukuran ini adalah dengan cara mengadu atau mereaksikan senyawa antioksidan dengan senyawa radikal. Salah satu tes yang sudah dikembangkan adalah tes antioksidan dengan menggunakan senyawa DPPH. Tes dengan metode ini merupakan uji secara kolorimetri berdasarkan warna. Warna yang terbentuk berasal dari hasil reaksi antara radikal bebas DPPH dengan antioksidan. Reaksi yang terjadi adalah DPPH* + AH à DPPH-H + A*. DPPH* dalam bentuk radikal memberikan absorpsi yang maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Setelah direduksi oleh antioksidan, maka terbentuk

(18)

Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Vitamin C cukup stabil dalam keadaan kering, tetapi mudah rusak dalam keadaan larut, terutama bila bersentuhan dengan udara (oksidasi) bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan kehadiran besi dan tembaga. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil (Almatsier 2002).

Asam askorbat terdapat dalam 2 bentuk (Gambar 5) , yaitu tereduksi (asam askorbat), pada subyek normal 80% vitamin C yang bersirkulasi terdapat dalam bentuk ini, sedangkan bentuk teroksidasi (asam dehidroaskorbat) dapat meningkat pada kasus patologik, misalnya arthritis rhematoid. Bila asam dehidroaskorbat teroksidasi lebih lanjut akan berubah menjadi asam diketoglutarat yang tidak aktif secara biologis (Muctadi 2000)(Gambar 6).

Sumber : Muchtadi 2000

Gambar 6 Struktur kimia tiga bentuk asam askorbat.

Vitamin C mudah rusak selama pemrosesan dan penyimpanan. Laju kerusakan meningkat karena adanya kerja logam dan kerja enzim. Enzim yang mengandung tembaga atau besi dalam gugus prostetiknya merupakan katalis yang efisien untuk penguraian asam askorbat. Enzim paling penting untuk golongan ini adalah askorbat oksidase, fenolase, sitokrom oksidase, dan peroksidase. Asam askorbat dioksidasi dengan adanya udara pada kondisi netral dan basa. Pada pH asam vitamin C lebih stabil(Almatsier 2002).

Vitamin C mudah diserap secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-rata penyerapan adalah 90% untuk konsumsi di antara 20 dan 120 mg sehari.

(19)

Konsumsi tinggi sampai 12 gram (sebagai pil) hanya diserap sebanyak 16%. Vitamin C kemudian dibawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah di dalam jaringan adrenal, pituitari, dan retina. Penyerapan asam askorbat pada hewan-hewan yang bergantung pada vitamin C, nampaknya membutuhkan suatu sistem transpor aktif. Asam askorbat siap diserap jika jumlah yang masuk kecil. Jika jumlah yang masuk berlebihan, penyerapan melalui usus menjadi terbatas. Sekitar 80 sampai 90% vitamin C dari makanan dapat diserap. Menu yang kaya dengan pektin dapat menurunkan ekskresi asam askorbat melalui urin pada manusia. Asam askorbat yang terserap secara tepat mencapai keseimbangan dengan cadangan vitamin tersebut dalam tubuh. Orang dewasa yang sehat menerima masukan vitamin C yang cukup mempunyai cadangan dalam tubuh mendekati 1,5 gram asam askorbat. Sekitar 3 sampai 4% asam askorbat yang ada dalam cadangan tubuh dipakai setiap hari. Masukan 60 mg asam askorbat per hari akan mempertahankan cadangan tubuh kira-kira 1,5 gram. Cadangan tubuh vitamin C yang lebih besar dapat tercapai dengan masukan vitamin C yang lebih banyak. Jika cadangan tubuh ”jenuh”, kelebihan vitamin C ya ng diserap akan dimetabolisasi atau diekskresikan melalui urin. Dalam keadaan ini tingkat konsentrasi asam askorbat plasma ”tinggal” sekitar 1,5 mg/L (Sauberlich 1987).

Pada level molekular, askorbat dan dehidro askorbat mempunyai sifat pereduksi seperti halnya vitamin E. Dalam keadaan demikian vitamin tersebut mempunyai sifat sebagai antioksidan yang mempengaruhi redoks-potensial tubuh (Linder 1985). Aktivitas asam askorbat sebagai antioksidan berdasarkan kemampuannya bereaksi dengan radikal bebas. Asam askorbat diubah menjadi askorbil radikal yang dengan cepat mengalami disproposionasi menjadi askorbat dan dehidroaskorbat yang dapat bereaksi dengan oksigen toksik, seperti anion superoksida dan hidroksil radikal (Deshpande et al 1996).

Vitamin C melindungi bagian sel dan jaringan yang larut air dan mengurangi kembalinya senyawa radikal tokoferol ke bentuk aktif pada membran seluler (Kaur & Kapoor 2001). Asam askorbat sebagai antioksidan dapat menangkap singlet oksigen dan radikal peroksida, sehingga dapat melindungi membran sel. Asam askorbat juga dapat membantu mereduksi radikal a-tokoferil semiquinon menjadi a-tokoferol yang merupakan pengaruh tidak langsung dalam

(20)

mencegah oksidasi asam lemak. Vitamin C juga mempunyai pengaruh protektif terhadap perke mbangan, baik fase awal maupun fase akhir kanker perut. Pemberian vitamin A (30.000 IU/hari), vitamin C (1000mg/hari), dan vitamin E (70mg/hari) dapat mencegah proliferasi sel, sehingga dapat disimpulkan bahwa vitamin antioksidan tersebut dapat mencegah ti mbulnya kanker (Muchtadi 2000).

Status vitamin C tubuh ditetapkan melalui tanda-tanda klinik seperti pendarahan gusi dan kapiler di bawah kulit dan pengukuran kadar vitamin C dalam darah. Tanda dini kekurangan vitamin C dapat diketahui bila kadar vitami n C dalam darah di bawah 0.2 mg/dl (Almatsier 2002).

Plasma Darah

Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas 90 persen air dan 10 persen komponen terlarut. Lebih dari 70 persen padatan-padatan terlarut plasma merupakan protein-protein plasma. Protein-protein utama plasma antara lain: serum albumin, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), immunoglobulin lipoprotein densitas tinggi, fibrinogen, dan prothrombin. Selain protein tersebut, plasma juga mengandung sejumlah protein-protein pengangkut khusus seperti transferrin yang mengangkut besi. Di samping protein-protein, plasma juga mengandung komponen organik, metabolit organik, dan hasil-hasil buangan. Komponen anorganik yang ada dalam plasma adalah NaCL, buffer bikarbonat, buffer fosfat, CaCI2, MgCI2, KCI, dan Na2SO4. Sedangkan metabolit organik dan hasil-hasil buangan yang dikandung plasma adalah glukosa, asam amino, laktat, piruvat, badan keton, sitrat, urea, dan asam urat (Lehninger 1994).

Plasma darah juga mengandung hampir 700 mg lipida per 100 ml, yang terikat pada a dan ß-globulin. Komponen lipida yang dimaksud adalah total lipida, triasil gliserol, kolesterol dan esternya, dan fosfolipid.

Pengukuran konsentrasi komponen-komponen plasma penting dalam diagnosis dan pengobatan penyakit. Volume plasma normal adalah sekitar 5 % berat badan atau secara kasar 3500 ml (berat badan 70 kg).

Dalam penelitian secara in vitro peroksidasi lipid dapat mempercepat LDL teroksidasi ditangkap oleh makropag dan membentuk lipid-sel busa, yang

(21)

merupakan tahap awal dari lesi aterosklerosis dalam arteri intima. Mekanisme pembentukan dan penguraian hidroperoksida lipid di dalam plasma darah penting diketahui dalam upaya pencegahan aterosklerosis (Frei et al 1988).

Plasma manusia dilengkapi dengan mekanisme pertahanan antioksidan. Antioksidan plasma yang penting adalah asam askorbat, asam urat, a-tokoferol, albumin berikatan dengan bilirubin, group sulfihidril protein. Disamping itu, enzim superoksidase dismutase ektraseluler dan selenium tergantung glutation peroksedase di laporkan dapat meningkatkan pertahanan antioksidan plasma (Frei

et al 1988).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa bioaktif seperti polifenol dapat melindungi plasma dari oksidasi oleh radikal bebas. Menurut Zakaria et al 2001 senyawa yang dikandung oleh ekstrak jahe dapat meningkatkan resistensi LDL plasma terhadap oksidasi dan melindungi akumulasi kolesterol dalam makropag. Dalam penelitian lain dikatakan bahwa senyawa polifenol pada produk kakao dapat menurunkan oksidasi LDL pada plasma (Mathur et al 2002). Disamping itu, senyawa polipenol pada kakao juga telah dilaporkan dapat meningkatkan antioksidan gizi yaitu vitamin E plasma dan menurunkan kadar MDA plasma (Fraga et al 2005).

Penelitian secara in vivo yang menggunakan plasma sebagai model menyebutkan senyawa epikatekin telah ditemukan dalam plasma setelah 2 jam dari mengkonsumsi produk coklat dan kakao (Baba et al 2000). Dalam penelitian yang lain disebutkan bahwa suplemetasi asam askorbat dapat mencegah terbentuknya peroksidasi lipid dalam plasma (Frei et al 1988).

Ketersediaan Hayati (Bioavailabilitas) Flavonoid

Biovailabilitas adalah sejumlah komponen dari bahan pangan yang dapat diukur setelah penyerapan di dalam suatu jaringan. Pengukuran bioavailabilitas dari suatu bahan pangan berguna untuk mengetahui nilai biologi dan evaluasi nilai gizinya serta untuk menunjukkan daya cernanya sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme yang mengkonsumsinya (Langseth 2000).

Nilai bioavailabilitas setiap komponen bahan pangan selalu berbeda-beda tergantung dari jenis komponen yang akan diukur, cara penyajian, dan tergantung

(22)

pula dari matrixnya. Faktor penyerapan serta bioavailabilitas yang berbeda-beda dari senyawa antioksidan sangat mempengaruhi ketersediaan senyawa antioksidan di dalam sel. Bioavailabilitas senyawa antioksidan dalam bahan pangan dipengaruhi oleh proses pengolahan, pengaruh matrix bahan pangan, serat makanan, kandungan lemak, faktor-faktor fisiologis (Boileou et al 1997), kiralitas dan bentuk kimia senyawa antioksidan tersebut (Papas 1999). Dalam penelitian yang lain disebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas flavonoid adalah: (1) struktur penyusun senyawa flavonoid (matrik dari senyawa flavonoid), (2) keberadaan gula dalam tubuh, (3) keberadaan serat dalam tubuh, dan (4) status gizi (Hollman et al 1997).

Untuk dapat digunakan pada studi terhadap manusia, kandungan flavonoid pada makanan harus dihubungkan dengan bioavailabilitasnya, termasuk absorbsi, metabolisme, dan eksresi dari metabolitnya. Data mengenai penyerapan flavonoid setelah dikomsumsi belum banyak dan jenis komponen flavonoidnya juga masih terbatas (Peterson & Dwyer 2000).

Katekin anggota dari kelas flavanol yang telah dipelajari lebih ekstensif, telah diserap dan muncul di plasma antara 1 sampai 2 jam setelah komsumsi, flavon, dan flavonol muncul dalam plasma pada 1 sampai 3 jam setelah konsumsi. (Peterson & Dwyer 2000)

Menurut Walle et al (2000), model penyerapan flavonoid mengasumsikan bahwa flavonoid glukosida terlalu polar untuk diserap oleh usus halus dan penyerapan tergantung pada pemutusan ikatan ß-glukosida oleh mikroflora usus. Laporan lain mengenai metabolisme flavonoid menyatakan bakteri intestina mempunyai aktivitas glikosidase yang mampu melepaskan gugus gula dari flavonoid dalam bentuk glikosida (Middlenton et al 2000). Flavonoid dapat mengalami proses oksidasi maupun reduksi seperti metilasi, glukoronidasi maupun sulfatasi pada hewan. Middleton et al (2000) melaporkan mengenai metabolisme kuarketin dan katekin dalam hati menggunakan hati tikus yang telah di isolasi (isolated perfused red liver). Flavonoid dikonversi menjadi metabolit yang tersulfatasi dan/atau terglukoronidasi, yang kemudian di ekskresi melalui empedu. Lebih lanjut Spencer et al (1999) menyatakan bahwa komponen fenolik

(23)

yang mempunyai kemampuan mereduksi tinggi diserap terutama dalam bentuk terglukoronidasi, yaitu 96.5% ± 4.6 dari jumlah yang diserap.

Sejumlah laporan memperkirakan bahwa flavonoid dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dalam bentuk yang telah terglukoronidasi kemudian tersufatasi dalam hati serta termetilasi dalam hati dan ginjal (Azuma et al 2002).

Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1 sampai 26%. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida, metil dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC)

Analisis kimi a menggunakan metode kramatografi didasarkan pada pemisahan komponen yang terpartisi di antara dua fase dalam suatu kesetimbangan dinamis dan mengalir. Proses ini dilakukan dengan menggerakkan fase mekanis (fase gerak), relatif terhadap fase lainnya (fase diam).

Pemisahan kromatografi yang paling baik akan diperoleh jika fase diam mempunyai luas permukaan sebesar-besarnya, sehingga memastikan kesetimbangan yang baik antara fase. Persyaratan kedua agar pemisahan baik adalah fase gerak harus bergerak dengan cepat sehingga difusi sekecil-kecilnya. Untuk memperoleh permukaan fase diam yang luas, pada sebagian besar sistem kromatografi digunakan penjerap atau penyanggah berupa serbuk halus. Untuk memaksa fase gerak bergerak lebih cepat melalui fase diam yang terbagi pada serbuk halus, harus digunakan tekanan tinggi. Dengan dipenuhinya persyaratan tersebut, diperoleh tehnik kromatografi cair yang paling kuat yakni HPLC. Jadi pada HPLC fase gerak dialirkan dengan cepat dan hasilnya di deteksi dengan instrumen (Gritter et al 1991).

Keuntungan utama dari HPLC adalah mampu menangkap komponen yang memiliki stabilitas panas terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC merupakan metode yang sangat sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat otomatis yang tinggi, sehingga lebih sederhana dalam pengoperasiannya (Macrae 1988). Disamping itu, HPLC banyak digunakan untuk analisis karena kemudahan injeksi, deteksi, dan pengolahan data serta dapat digunakan untuk berbagai macam sampel

(24)

seperti sampel cairan, padatan yang dilarutkan, maupun sampel yang labil terhadap pemanasan. Modern HPLC telah banyak diaplikasikan seperti pemisahan, identifikasi, pemurnian, dan penghitungan komponen yang bervariasi.

Menurut Adamson et al (1999) HPLC merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi dan menghitung komponen fenol dan metode ini telah digunakan secara luas. HPLC telah digunakan dalam menghitung prosianidin dalam kakao dan coklat.

Dalam penelitian lain Mark et al 2005 mengungkapkan bahwa HPLC merupakan metode yang telah banyak digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa polifenol seperti flavanol dan proantosianidin.

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia bubuk kakao lindak                bebas lemak per 100 gram
Gambar 1  Struktur kimia senyawa flavonoid yang umum terdapat dalam                      kakao dan produk olahan kakao
Gambar 2  Mekanisme reaksi gugus fenol dari senyawa fenolik dengan                        senyawa radikal (Ranney 1979)
Gambar 4  Struktur kimia flavonoid.
+3

Referensi

Dokumen terkait

sulfat dan mangan yang terdapat pada air baku dan reservoir khususnya. pada PDAM

Alhamdulillahirobbil Alamin segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini dengan

Hasil penelitian menuqjukkan bahwa varietas kedelai dan pemberian pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap jumlah polong/sampel, bobot biji kering/sampel, bobot

Kontribusi mendasar dari kegiatan ini adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi upaya promosi kesehatan dan pencegahan

gaji pokok pegawai. Untuk menambah data gaji pokok, tekan tombol.. Untuk mengedit data, tempatkan kursor ke baris yang ingin. diedit kemudian tekan tombol EDIT. Untuk menghapus

hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah. ini daripada dalam

dalam penyediaan akses informasi yang mendukung pervasive learning environment diantaranya adalah dari segi kemampuannya untuk membantu (aidability), kemampuannya untuk