BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan virus dengue (infeksi arbovirus / arthopoda-borne virus) akut, yang ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes.(3)
2. Etiologi
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4 serotipe virus dengue yang saling tidak mempunyai imunitas silang.(3)
Sabin adalah orang pertama yang berhasil mengisolasi virus dengue, yaitu darah penderita sewaktu terjadi epidemi demam dengue di Hawaii dengan diberi nama tipe 1, sedangkan virus dari penderita demam dengue yang berasal dari New Guinea (Irian) diberi nama tipe 2.(3)
Virus dengue tipe 1 dan 2 berhasil diisolasi dengan menyuntik darah penderita secara Intrakutis pada anak tikus putih muda. Dari serum penderita yang diserang Philippine hemorrhagic fever yang terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat diisolasi tipe virus dengue baru yang diberi nama virus dengue 3 dan 4. Biakan jaringan itu diberi kode sel C6/36 dan disebut “a clone of Singh’s Aedes albopictus cells” karena Singh adalah sarjana pertama yang membuat biakan jaringan Aedes albopictus, sedangkan kloning biakan jaringan dikembangkan oleh Igarashi. Isolasi virus dengue dengan menggunakan biakan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus disebut mosquito inoculation technique yang merupakan suatu teknik baru, sangat sensitif, sederhana dan murah, sensitivitas isolasi bergantung pada serotipe virus, macam strain, macam biakan jaringan, asal biakan jaringan, jumlah pasase biakan jaringan dan lain-lain.(3)
3. Patogenesis
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala Demam Dengue (DD). Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue lainnya. Virus akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen. Tubuh akan membentuk kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah sehingga akan mengaktivasi sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a
sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Akan terjadi trombosit melepaskan vasoaktif yang bersifat meningkatkan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor tiga yang merangsang koagulasi intravaskular. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) akan menyebabkan pembekuan intravaskular yang meluas dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah.(4)
4. Diagnosis DBD
Kriteria klinis Demam Dengue, adalah : 1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi.
2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari. 3. Kurva demam yang menyerupai pelana kuda. 4. Nyeri tekan terutama di otot-otot dan persendian. 5. Adanya ruam-ruam pada kulit.
6. Leukopenia.(4)
Kriteria klinis DBD menurut WHO 1986, adalah :
1. Demam akut yang tetap tinggi selama 2-7 hari, kemudian turun secara lisis, demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, malaise, nyeri pada punggung, tulang, persendian dan kepala.
2. Manifestasi perdarahan, sepert uji turniket positif, petekie, pur pura, ekimosis, epistakis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena.
3. Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus.
4. Dengan / tanpa rejatan. Rejatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis yang buruk.
5. Kenaikan nilai Hematokrit / hemokonsentrasi, yaitu sedikitnya 20 %.(4)
Derajat beratnya DBD secara klinis dibagi sebagai berikut :
1. Derajat I (ringan), terdapat demam mendadak selama 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestasi perdarahan teringan yaitu uji turniket positif.
2. Derajat II (sedang), ditemukan pula perdarahan kulit dan tekanan darah yang tidak terukur.
3. Derajat III, ditemukan tanda-tanda dini rejatan.
4. Derajat IV, terdapat Demam Shock Sindrom (DSS) dengan nadi dan tekanan darah yang tidak terukur.
Diagnosa klinis perlu disokong pemeriksaan serologi.(4)
5. Penatalaksanaan DBD
Setiap pasien tersangka DBD sebaiknya dirawat ditempat terpisah dengan pasien penyakit lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu) penatalaksanaan pada DBD tanpa penyulit adalah :
1. Tirah baring 2. Makanan lunak
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5 - 2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau sirup) atau air tawar ditambah dengan garam saja
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres es dikepala, ketiak dan Inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan. 4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.(5)
Pada pasien DBD perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda renjatan, yaitu :
1. Keadaan umum memburuk. 2. Hati makin membesar.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombosiopenia. 4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.(5)
6. Upaya Pemberantasan DBD
Kegiatan pokok penanggulangan DBD
1. Penyuluhan DBD kepada masyarakat, tentang : a. Penyebab DBD, tanda dan gejala penyakit.
b. Cara-cara penularan dan vektor yang menularkan penyakit serta kehidupan nyamuk penular penyakit.
c. Kebersihan lingkungan rumah dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
d. Peran serta masyarakat (PSM) dalam upaya gerakan Jum’at bersih. e. Pelaporan dan pertolongan cepat ke Puskesmas, rumah sakit atau
ke dokter yang terdekat.(6) 2. Pencegahan DBD
a. Kewaspadaan terhadap timbulnya DBD, terutama pada awal dan selama musim penghujan.
b. Upaya kebersihan lingkungan rumah, secara teratur dan berkesinambungan.
c. Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seminggu sekali secara teratur terutama pada musim penghujan sebagai berikut : 1) Menguras tandon air, seperti : bak mandi, WC, Tandon air
minum, tempat minum burung, vas bunga, dan lain-lain.
2) Menutup tandon air yang tidak dapat dikuras atau dibersihkan seperti : gentong, jerigen, tempayan, dan lain-lain.
3) Mengubur barang-barang bekas yang dapat terisi air pada waktu hujan seperti : kaleng, ban / aki bekas, pecahan botol, plastik bekas, dan lain-lain.
4) Membelah tonggak bambu dan “Cumplung” kelapa, melubangi pagar bambu dan sebagainya.
d. Pemberian bahan kimia (abate) pada tandon / bak tempat air yang tidak dapat dibersihkan atau dikuras, terutama pada saat ada penularan penyakit atau transmisi DBD. Abatisasi ini dilakukan 2-3 bulan sekali, jumlah abate yang dipeerlukan dengan takaran 1 gram abate untuk 10 liter air atau 10 gram abate (1 sendok makan peres) untuk 100 liter air (kadar abate dalam air = 1 ppm)
e. Pemberian ikan pemakan jentik
Pada bak-bak air yang sukar dibersihkan atau dikuras dapat pula ditaburi ikan pemakan jentik seperti lunjar cetul (phucilia reticulate), ikan kepala timah (panchax) atau ikan kecil lainnya.(6) 3. Pengamatan dan Pertolongan Penderita
a. Pengamatan terhadap penderita
Pengamatan terhadap kemungkinan adanya penderita dilakukan terutama sejak awal musim hujan terhadap orang dengan gejala panas tinggi lebih dari 3 hari disertai adanya bintik-bintik merah dikulit
b. Pertolongan penderita
1) Penderita tersebut agar diberi minum banyak (air masak / susu) 2) Beri obat penurun panas atau kompres es
3) Penderita dengan gejala “Pre Shock” harus dirawat di rumah sakit.(6)
B. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian DBD 1. Pola Musim
Perbedaan pola musim dalam wabah DBD terjadi di kebanyakan tempat. Di wilayah tropis dimana pola musim hujan terjadi, angka
hospitalisasi DBD meningkat selama musim hujan dan menurun beberapa bulan setelah hujan berhenti. Penurunan ini mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas gigitan nyamuk, penurunan lama hidup nyamuk betina atau keduanya, dan kemungkinan berkaitan dengan penurunan populasi vektor. Selama musim tenang ini, penularan virus paling mungkin terjadi di perkotaan endemik dimana kejenuhan populasi manusia yang tinggi menjamin mengisolasi populasi vektor karena pengaruh musim hujan.(7)
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk umumnya rendah dan waktunya banyak tersita untuk mencari nafkah. Bagi yang telah menamatkan pendidikannya tidak memungkinkan untuk dapat membaca bahan bacaan seperti ; koran, majalah dan buku-buku; karena harganya tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat pedesaan. Anak-anak mereka terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena alasan sosial ekonomi, transportasi dan harus membantu orang tuanya untuk mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adiknya di rumah. Sehingga secara turun temurun mereka terjerat keterbelakangan. Keterbelakangan dalam bidang kesehatan disebabkan karena ketidaktahuan tentang cara-cara hidup sehat dan perilaku yang dapat merugikan kesehatan.(6)
Sebagian masyarakat Indonesia belum menyadari pentingnya higiene lingkungan dan diri masyarakat itu sendiri. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan agar tidak ada genangan air di sekeliling rumah merupakan salah satu faktor penghambat yang paling sering dijumpai. Beberapa tempat penampungan air (TPA) yang muncul setelah terjadinya hujan cenderung dibiarkan mengering dengan sendirinya, sedangkan TPA tersebut sangat berpotensi untuk menjadi tempat bertelur dan berkembang biak nyamuk Aedes aegypti. Terkadang penutupan TPA tidak dilakukan dengan rapat, sedangkan tempayan dengan penutup yang longgar seperti itu lebih disukai nyamuk untuk
tempat bertelur karena ruangan di dalamnya lebih gelap daripada tempat air yang tidak tertutup sama sekali. Perilaku ini juga bisa terjadi pada masyarakat yang sosial ekonominya lebih mampu. Selain itu, masyarakat juga kurang mengetahui bagaimana cara pembersihan bak mandi, tempat makanan burung dan TPA lainnya. Pembersihan tidak dilakukan dengan teratur sehingga Aedes aegypti dapat bebas bertelur dan berkembang biak. Walaupun pembersihan TPA dilakukan teratur, pembersihan hanya sekedar mengganti air tanpa menyikat dinding TPA. Akibat cara pembersihan yang salah ini, telur Aedes aegypti tetap melekat dan tetap dapat melanjutkan siklus hidupnya. Dinding TPA yang kasar, dapat menyerap air dan gelap merupakan tempat bertelur yang disukai Aedes aegypti. Selain itu telur dapat bertahan hidup selama 6 bulan. Oleh karena itu, menguras bak mandi / wc dan TPA lainnya sebaiknya dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali (perkembangan telur-larva-pupa-nyamuk kurang lebih 9 hari). Pengurasan tersebut tidak hanya mengganti air pada bak mandi, dan semua tempat penyimpanan air untuk menyingkirkan telur nyamuk.(8)
3. Frekuensi kehadiran dalam penyuluhan DBD
Penyuluhan kesehatan masyarakat adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya melakukan apa yang bisa dilakukan, secara perorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan bila perlu.(6)
Penyuluhan tentang penyakit demam berdarah dan pencegahannya melalui media massa, sekolah, tempat ibadah, kader/PKK dan kelompok masyarakat lainnya. Kegiatan ini dilakukan setiap saat pada beberapa kesempatan.(9)
4. Keberadaan dan kepadatan Jentik Aedes sp
Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas setiap hari, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan penyakit akan terulang kembali. Untuk meningkatkan upaya pemberantasan penyakit demam berdarah di Indonesia mulai tahun 1998 ini diselengarakan penggerakan masyarakat dalam “Bulan Gerakan 3M” yang dilakukan secara serentak di tanah air.(9)
Untuk mengetahui kepadatan vektor di suatu lokasi atau wilayah dapat dilakukan dengan cara :
1) Cara Single larva
Survei ini dilakukan dengan mengambil ratio jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut jenis jentiknya
2) Cara Visual
Survei ini cukup dilakukan dengan melihat atau tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Dalam program pemberantasan penyakit DBD survai jentik yang biasa digunakan adalah cara visual
Ukuran yang dipakai untuk menghitung kepadatan jentik Aedes sp menggunakan rumus sebagai berikut :
1) House Index (HI) = Jumlah rumah yang ditemukan jentik x 100%
Jumlah rumah yang diperiksa
House Index (HI) adalah persentase rumah yang positif jentik dari seluruh rumah yang di periksa
2) Container Index (CI) = Jumlah container ada jentik x 100%
Jumlah container yang diperiksa
Countainer Index (CI) adalah persentase kontainer yang positif jentik dari seluruh kontainer yang diperiksa
3) Breteu Index (BI) = Jumlah container dengan jentik x 100%
100 rumah
Breteu Index (BI) adalah jumlah Container dengan jentik dari 100 rumah
House Index lebih menggambarkan penyebaran nyamuk di suatu wilayah.(10)
5. Daya tahan tubuh
Pada kebanyakan virus, infeksi akan merusak daya tahan tubuh yang bisa menahan tubuh terhadap serangan virus berikutnya. Tapi ini berbeda dengan virus dengue. Infeksi pertama (primary infection) mempermudah tubuh untuk mendapat serangan berikutnya (secondary infection). Begitu juga gejala yang diakibatkannya. Serangan beriktunya menimbulkan gejala yang lebih berat dan fatal. Jika serangan pertama hanya menyebabkan panas demam dengue, serangan berikutnya bisa menyebabkan panas beserta pendarahan (dengue hemmorhagic fever) atau bahkan disertai shock (dengue shock syndrome) sehingga menyebabkan daya tahan tubuh menurun dan akan mengakibatkan kematian.(11)
6. Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari tiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya.
Teori untuk mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain :
a. Teori Lawerence Green
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor yaitu yang pertama faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan dan lain-lain. Yang kedua faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, sarana-sarana kesehatan dan lain-lain. Dan yang ketiga faktor pendorong (renforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.(16)
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan lainnya. Teori perubahan perilaku antara lain :
a. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin yang berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yakni yang pertama kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Dengan menerima informasi dari penyuluhan maka ada kemungkinan terjadi perubahan perilaku yang dapat meningkatkan pengetahuan meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda sehingga dapat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Yang kedua
kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Yang ketiga kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. (16)
C. Kerangka Teori
Berdasarkan teori diatas dirumuskan kerangka teori sebagai berikut :
Sumber : Fadilah Siti S, Depkes (2004), Moel Joewono (2000), Soegeng Soegijanto (2004), Cussi Lestari S, Saleha Sungkar (2005), Sri Rejeki H. Hadinegoro, Hindar Irawan Satari (1999), Crance, E. B (2004).(1, 6, 7, 8, 9, 11,
16)
D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini adalah : Variabel bebas Kejadian DBD Faktor Karakteristik Pendidikan responden Faktor petugas Frekuensi kehadiran dalam penyuluhan DBD Faktor Daya Tahan Tubuh Variabel terikat Kejadian DBD Faktor Lingkungan a. Musim b. Geografi c. Cuaca d. Suhu Udara Faktor Perilaku
Pendidikan ibu rumah tangga Frekuensi kehadiran dalam penyuluhan DBD Keberadaan jentik Aedes sp Faktor vektor Keberadaan dan kepadatan Jentik Aedes sp
E. Hipotesa
Hipotesis yang akan dibuktikan kebenarannya dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan antara pendidikan ibu rumah tangga dengan kejadian DBD 2. Ada hubungan antara frekuensi kehadiran dalam penyuluhan DBD dengan
kejadian DBD