• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERBANKAN. A. Fungsi Perbankan Dalam Perekonomian Suatu Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERBANKAN. A. Fungsi Perbankan Dalam Perekonomian Suatu Negara"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERBANKAN

A. Fungsi Perbankan Dalam Perekonomian Suatu Negara

Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 3 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Karena dalam perbankan terdapat berbagai instrumen-instrumen pelayanan jasa-jasa perbankan, menurut Ismail selain kedua fungsi tersebut, bank juga berfungsi sebagai pelayan. Bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat, serta juga memberikan pelayanan dalam bentuk jasa-jasa perbankan.57 Berdasarkan fungsi utama dari bank tersebut, maka dapat dimengerti bahwa bank sebagai lembaga keuangan rentan dengan berbagai risiko, oleh sebab itu, karena fungsi bank tersebut yang demikian, maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan.

1. Fungsi Sebagai Penghimpun Dana dari Masyarakat

Fungsi bank dalam bentuk menghimpun dana-dana dari masyarakat dimaksud di sini adalah masyarakat yang kelebihan dana yang menggunakan instrumen perbankan untuk menyimpan dananya tersebut di bank dalam bentuk simpanan. Secara umum, masyarakat memilih bank, karena mempercayai bank sebagai tempat

57

(2)

yang aman untuk melakukan investasi, dan menyimpan dana (uang) di bank agar aman. Masalah keamanan uang nasabah di bank merupakan faktor penting dan hal yang paling sensitif dalam dunia perbankan. Apabila masyarakat (nasabah) tidak merasa aman terhadap bank tertentu untuk menyimpan dananya, maka cenderung nasabah tersebut akan berpindah kepada bank lain atau kepada jasa keuangan lainnya. Selain untuk rasa aman, tujuan lainnya adalah sebagai tempat untuk melakukan investasi. Masyarakat akan lebih aman jika uangnya diinvestasikan di bank. Dengan menyimpan uangnya di bank, masyarakat juga akan memperoleh keuntungan (return) atas simpanannya yang besarnya tergantung dari kebijakan masing-masing bank.

2. Fungsi Sebagai Penyalur Dana ke Masyarakat

Fungsi bank dalam hal ini menyalurkan dana ke masyarakat yang membutuhkan dana. Kebutuhan dana akan lebih mudah diberikan oleh bank apabila masyarakat yang membutuhkan dana tersebut dapat memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh bank yang bersangkutan. Menyalurkan dana merupakan kegiatan yang terpenting dalam bank, sebab dengan penyaluran dana demikian, bank akan memperoleh pendapatan akan dana yang disalurkan. Pendapatan tersebut dapat berupa bunga untuk bank konvensional, dan bagi hasil atau lainnya untuk bank syariah. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas penyaluran dana kepada masyarakat

(3)

(nasabah) merupakan pendapatan yang terbesar hampir di setiap bank, sehingga kegiatan penyaluran dana ini menjadi hal yang paling penting.58

Agar pendapatan dapat diperoleh bank secara evektif, maka dana atau uang yang telah dihimpun dari masyarakat, harus segera mungkin diupayakan untuk disalurkan kepada masyarakat, jangan sampai dana tersebut mengendap di dalam bank, karena jika hal ini terjadi, maka perputaran uang akan berjalan lambat. Dengan menyegerakan untuk menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan agar memperoleh pendapatan atas dana yang disalurkannya. Penyaluran dana kepada masyarakat sebahagian besar berupa kredit untuk bank konvensional dan/atau pembiayaan untuk bank syariah. Kredit dan/atau pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat menempati porsi aset terbesar di setiap bank.

3. Fungsi Sebagai Pelayanan Masyarakat

Fungsi bank sebagai pelayanan masyarakat dapat dijadikan ukuran bagi masyarakat (khususnya nasabah) untuk menempatkan dananya di bank. Apabila bank melakukan pelayanan kepada masyarakat secara memuaskan atau memanjakan nasabah bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka masyarakat akan cenderung memilih bank tersebut untuk menyimpan dananya, demikian sebaliknya jika suatu bank tidak menunjukkan fungsi pelayanan yang memuaskan nasabah, maka nasabah tersebut cenderung akan berpindah dengan memilih bank lainnya atau lembaga keuangan lainnya untuk menyimpan dananya.

58

(4)

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat maka dalam menjalankan aktivitasnya, bank juga dapat memberikan beberapa fungsi pelayanan jasa kepada nasabah. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat diberikan oleh bank antara lain jasa pengiriman uang (transfer), pemindahbukuan, penagihan surat-surat berharga, kliring, letter of credit, inkaso, garansi bank, dan pelayanan jasa lainnya. Produk pelayanan jasa bank yang ditawarkan kepada masyarakat khususnya kepada nasabah bank merupakan aktivitas pendukung yang dapat diberikan oleh bank.59

Berdasarkan ketiga fungsi utama bank di atas, maka dapat dikatakan bahwa fungsi bank tersebut adalah sebagai lembaga perantara keuangan (financial

intermediary). Sebagai lembaga perantara keuangan artinya bank berfungsi

menjembatani kebutuhan dua nasabah yang berbeda, dimana pada satu pihak merupakan nasabah yang memiliki dana dan di pihak lain merupakan nasabah yang membutuhkan dana. Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Penyaluran dalam bentuk kredit oleh bank kepada nasabah merupakan fungsi yang mendominasi dibandingkan dengan jenis penyaluran lainnya.

Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, menempati peran yang cukup penting, sebab lembaga perbankan khususnya bank umum merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan-perusahaan, lembaga pemerintah, swasta meupun

59

http://danar-pake.blogspot.com/2012_03_01_archive.html, Ditulis Oleh: Danar Wiguna, “Jasa-Jasa Perbankan {Kliring)”, diakses tanggal 21 Juni 2012.

(5)

perorangan menyimpan dananya dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan melalu perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.60

Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah-tengah masyarakat. Hal demikian tampak apabila diperhatikan fenomena transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat khususnya di kalangan pebisnis seperti sistem pembayan yang dilakukan melalui sistem pembayaran giral yakni menggunakan instrumen surat-surat berharga. Bank sebagai lembaga keuangan sangat dituntut keahliannya untuk mengelola usaha perbankan sebab jika kepercayaan masyarakat berkurang terhadap bank, masyarakat akan berlomba-lomba menarik dananya yang disimpannya di bank tersebut, bahkan dampak yang lebih jauh terasa dapat berakibat pada kegiatan perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya.61

Pentingnya fungsi bank tersebut tampak dalam perumusan UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dirumuskan dalam pasal tersendiri. Pasal 3 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan menegaskan fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat. Tampak dalam ketentuan ini, selain tujuan bisnis, bank juga berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

60

Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, Cetakan I, (Jakarta: STIE Perbanas-Gramedia, 1988), hal. xi.

61

(6)

Bank juga dapat memberikan jasa-jasa pelayanan lainnya misanya jasa pembayaran tagihan listrik melalui bank, telepon, membeli pulsa telepon seluler, mengirim uang melalui ATM, membayar gaji pegawai dengan menggunakan jasa-jasa bank. Bahkan kehadiran bank juga dapat difungsikan sebagai tempat bagi masyarakat untuk menyimpan barang-barang berharga yang dimilikinya seperti perhiasan, uang, dan ijazah dalam kotak-kotak yang sengaja disediakan oleh bank untuk disewa (safety box atau safe deposit box).62

Kegiatan usaha bank pada pokoknya meliputi tiga fungsi utama yakni menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang memerlukan, dan memberikan jasa-jasa keuangan. Sehingga dengan fungsi demikian, bank dapat dikatakan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pengawasan dan pembinaan terhadap bank oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral sangat menentukan perkembangan perbankan.63

B. Rekomendasi Pengaturan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Basel Committee

Kesadaran akan perlunya suatu sistem pengaturan prinsip kehati-hatian pada mulanya menjadi perhatian Committee on Banking Regulations and Supervisory

Practices (Basel Committee) tahun 1988 yang keanggotaannya terdiri dari para

gubernur bank sentral. Basel committee merekomendasikan agar negara pesertanya

62

http://putracenter.net/2009/09/23/definisi-fungsi-dan-peranan-bank-umum-dalam-perekonomian/, diakses tanggal 18 April 2012. Oleh: PutraCenter.net, About Economics, Law, City Planning, and Learn Language Online, “Definisi, Fungsi dan Peranan Bank Umum dalam Perekonomian”.

63

(7)

mengadopsi dan menerapkan prinsip prudential regulation dan pengawasan terhadap perbankan. Rekomendasi itu dituangkan dalam Basel Accord I dan disempurnakan dalam Basel Accord II. Bank Indonesia menuangkan prinsip prudential dan pengawasan berdasarkan rekomendasi Basel Committee tersebut dalam berbagai peraturan. Ketentuan itu antara lain tentang kewajiban penyediaan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, kualitas aktiva produktif, kewajiban penyisihan penghapusan aktiva produktif, restrukturisasi kredit, dan laporan keuangan tahunan.

Bank Indonesia mengadopsi Basel Acccord dalam peraturan mengenai posisi devisa neto, pengawasan likuiditas, prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal, prinsip kehati-hatian dalam transaksi efek beragun aset maupun ketentuan yang bersifat self regulatory banking yang mewajibkan bank menyusun ketentuan internal mengenai pedoman manajemen risiko.64

Rekomendasi dari Basel Accord mengacu pada pengawasan perbankan menyangkut hukum-hukum perbankan dan peraturan-peraturannya. Basel I dan Basel II dikeluarkan oleh The Basel Committee in Banking Supervision (BCBS) yang berkantor di Bank of International Settlements di Basel-Switzerland. Komite Basel terdiri dari para perwakilan dari bank-bank sentral dan otoritas-otoritas regulator dari negara-negara G-10.65 Komite tidak mempunyai otoritas untuk memaksakan

64

http://www.scribd.com/doc/24402673/Makalah-Manajemen-Risiko-RBS-Sertifikasi-Perbankan, diakses tanggal 22 April 2012. Oleh: Scribd RBS, “Manajemen Risiko Perbankan dan Peranan Risk-Based Supervision dalam Penilaian Efektivitas Penerapan Manajemen Risiko Perbankan”.

65

Melalui BCBS, rezim perbankan internasional beroperasi seperti pisau bermata dua. Satu sisi mereka mendorong liberalisasi dalam hal kebebasan lalu lintas uang secara internasional disertai dengan kemudahan dalam menguasai saham-saham bank nasional, namun pada sisi lain mereka

(8)

rekomendasi-rekomendasinya, meskipun kebanyakan negara-negara anggota cenderung untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan komite. Hal ini berarti bahwa rekomendasi tersebut dilaksanakan melalui hukum-hukum dan peraturan-peraturan nasional daripada sebagai sebuah hasil dari rekomendasi-rekomendasi komite-meskipun kadangkala berada di antara rekomendasi-rekomendasi dan implementasi sebagai hukum pada level nasional.66

Komite Basel pada pengawasan perbankan menyediakan sebuah forum sebagai kerja sama yang reguler pada hal-hal pengawasan perbankan. Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman dari isu-isu kunci pengawasan dan meningkatkan kualitas supervisi perbankan secara global. Komite melakukan cara pertukaran informasi atas isu-isu pengawasan nasional, pendekatan-pendekatan, dan teknik-teknik dengan sebuah pandangan untuk mempromosikan pengertian umum. Pada saat ini, komite menggunakan pengertian umum untuk mengembangkan petunjuk (guidelines) dan standar-standar pengawasan dimana mereka dipertimbangkan. Komite ini menjadi sangat terkenal karena standar-standar internasional pada kecukupan modal (capital adequacy), prinsip-prinsip dasar bagi pengawasan

mendorong regulasi yang ketat dalam mengatur kegiatan operasi bank-bank pada tingkat nasional. Negara-negara maju yang disponsori oleh G-7, kemudian diganti dengan G-10, membuat standarisasi perbankan secara internasional yang dibuat oleh BCBS dan menjadi acuan wajib bagi negara-negara yang menerapkan liberalisasi perbankan.

66

http://www.wealthindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=70, diaskes tanggal 22 April 2012. Oleh: Wealth Indonesia.com, “Apa yang dimaksud dengan Basel Accord”.

(9)

perbankan yang efektif, dan concordat (keharmonisan) dalam pengawasan perbankan lintas batas.67

Anggota-anggota komite berasal dari Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Spanyol, Swediam, Swiss, UK, dan US. Negara-negara diwakili oleh bank sentral dan juga autoritas dengan tanggung jawab formal atas pengawasan dengan prinsip kehati-hatian dari bisnis perbankan. Komite berusaha mendorong pelbagai kontak dan kerjasama di antara para anggota-nya dan otoritas pengawasan perbankan lainnya. Hasilnya disampaikan kepada para pengawas ke seluruh dunia baik secara publikasi maupun tidak yang didalamnya terdapat petunjuk dalam pengawasan perbankan.

Alasan rekomendasi dari Basel Committee untuk melaksanakan KYCP untuk menyikapi moral hazard para pelaku perbankan yang tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dalam mengelola resiko perbankan sehingga menyebabkan ketidakmampuan dalam menanggung segala hutang yang timbul dari risiko tersebut. BCBS mengeluarkan suatu rumusan permodalan yang dapat dijadikan acuan oleh bank dalam menetapkan permodalan yang dilandasi dengan prinsip kehati-hatian dalam memanajemen resiko. Rumusan ini dikenal dengan nama Basel Accord (Basel I). Dalam Basel I diakui telah berhasil mencapai dua sasaran utamanya, yaitu menjaga tingkat kecukupan modal dalam sistem perbankan internasional dan menciptakan iklim kompetisi yang lebih seimbang melalui pemeliharaan modal yang cukup di antara perbankan internasional. Namun, pada tahun 1997, BCBS melakukan

67

(10)

penyempurnaan terhadap Basel I yang dianggap masih kurang mampu untuk meredam dan menghadapi potensi risiko dari sistem perbankan di masa depan.

Penyempurnaan Basel I diarahkan untuk membuat kesepakatan modal baru yang tujuan utamanya adalah untuk mengarahkan semua risiko perbankan ke dalam suatu kerangka pemikiran kecukupan modal secara menyeluruh. Kesepakatan modal baru ini dinamakan dengan Basel Capital Accord II (Basel II). Dalam Basel II ada 3 (tiga) pilar yang harus diterapkan secara bersamaan, pertama, syarat modal minimum; kedua, proses review pengawasan bank; dan ketiga, disiplin pasar.

Pada tahun 1999, BCBS melengkapi lagi Basel II dengan sistem supervisor yang lebih detail lagi sehingga menjadi prinsip-prinsip dasar dalam melakukan supervisi yang bernama Basel Core Principles (BCP) sebagai rujukan dasar bagi institusi supervisor keuangan/perbankan dan otoritas publik lainnya yang berlaku secara internasional. BCP memiliki 25 acuan dasar perbankan yang telah dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) prinsip dasar (core principles), yaitu:68

1. Prinsip prakondisi bagi pengawasan bank yang efektif; 2. Prinsip perizinan dan struktur;

3. Prinsip ketentuan kehati-hatian dan persyaratan;

4. Prinsip metode pengawasan perbankan yang sedang berjalan; 5. Prinsip persyaratan informasi;

6. Prinsip kewenangan pengawas; dan 7. Prinsip lintas batas perbankan.

Dengan produk-produk BCBS ini maka semakin lengkaplah infrastruktur yang dibangun oleh negara-negara maju dalam menjalankan niatnya dalam

68

http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=554&Itemid=168, Ditulis Oleh Administrator Institute for Global Justice, “Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, diakses tanggal 22 April 2012.

(11)

menguasai sumber-sumber keuangan secara internasional. BCBS dijadikan sebagai acuan internasional bagi seluruh bank di dunia yang kemudian diadopsi ke dalam regulasi domestik, khususnya oleh negara berkembang. Kondisi ini berakibat bank-bank di negara berkembang semakin sulit dalam menjalankan kegiatan operasional mereka, dikarenakan standar-standar yang sangat memberatkan. Sehingga bank lebih memprioritaskan kehati-hatian ketimbang membiayai perekonomian sektor riil.

Pada tingkat internasional standar operasional bank, diatur melalui rezim internasional yang ketat. Sementara pada tingkat nasional di negara-negara berkembang dipromosikan liberalisasi perbankan. Akibatnya banyak bank-bank nasional yang tidak dapat beroperasi dan akhirnya jatuh ke tangan bank asing. Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang dialami oleh Indonesia, merupakan pintu masuk bagi pelaksanaan liberalisasi perbankan Indonesia secara besar-besaran. Ketergantungan Indonesia kepada IMF atas bantuan keuangan yang diberikan sangat besar, yang ditujukan untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis yang melanda pada saat itu.

IMF pun menerapkan persyaratan liberalisasi sektor perbankan yang harus dilakukan Indonesia sesuai dengan kesepakatan di dalam WTO. Paket-paket program pemulihan yang disusun oleh IMF dalam program pemulihan ekonomi tersebut adalah program pemulihan dan rehabilitasi sektor industri perbankan. Indonesia diharuskan melakukan deregulasi sektor perbankan secara besar-besaran. Agenda yang diterapkan IMF kepada Indonesia mengharuskan Indonesia untuk melakukan penyesuaian terhadap seluruh regulasi perbankan yang ada. Regulasi perbankan yang berhasil dibuat atas kesepakatan Letter of Intent (LoI) terhadap pinjaman IMF adalah

(12)

UU No.10 Tahun 1998 yang menggantikan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan beberapa Paket Kebijakan Peraturan Bank Indonesia yang mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut, serta Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.69

Acuan yang digunakan IMF untuk melaksanakan program pemulihan dan rehabilitasi sektor industri perbankan adalah Basel Accord I dan II, serta Basel Core

Principles (BCP) yang merupakan produk-produk keluaran dari BCBS. Perlu

diketahui, bahwa BCBS merupakan komite yang dibentuk oleh Bank for

International Settlement (BIS) yaitu suatu lembaga keuangan yang dibentuk oleh

kelompok negara maju G-7 yang kemudian berganti menjadi G-10. BIS inilah yang menjadi bank penjamin dari seluruh dana pinjaman yang dikeluarkan oleh IMF, ADB, dan World Bank.

Berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian pada bank atau yang dikenal dengan prudential banking dalam rangka mengatur lalu lintas kegiatan perbankan, salah satu upaya agar prinsip tersebut dapat diterapkan Basel Committee dalam konteks penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

Principles) atau KYCP yaitu sebuah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui

69

http://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm, Oleh: Mr. Michel Camdessus (Managing Director International Monetary Fund Washington DC), “International Monetary Fund”, diakses tanggal 22 April 2012.

(13)

identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan dan sudah menjadi kewajiban bank untuk menerapkannya.70

Basel Committee merekomendasikan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai salah

satu bentuk prudential regulation di lingkungan industri perbankan.71 Saat ini Prinsip Mengenal Nasabah diubah menjadi Customers Due Diligence yang sebenarnya bermuara pada salah satu prinsip terpenting dan menjadi kewajiban bank yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle). Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam transaksi perbankan merupakan faktor yang penting dalam melindungi tingkat kesehatan bank. Dengan adanya KYCP berarti bank telah menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga dengan demikian bank dapat meminimalisasi berbagai risiko yang dapat mengganggu tingkat kesehatan bank itu sendiri.

Tingkat kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun BI sebagai pembina dan pengawas bank. Sesuai dengan tanggung jawabnya, masing-masing pihak harus secara bersama-sama berupaya mewujudkan bank yang sehat. Tingkat kesehatan bank dimaksudkan sebagai:72

1. Tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan

2. Tolak ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank, baik secara individual maupun perbankan secara keseluruhan.

70

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrance dan Library, 2005), hal. 43.

71

Pradjoto, Op. cit, hal. 93-94.

72

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grarmedia Pustaka Utama, 2001), hal. 29.

(14)

Dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang telah direkomendasikan Basel Committee untuk melaksanaan KYCP dinilai berdampak pada kepercayaan nasabah dan keuntungan pihak bank bahkan perekonomian negara. Bank sebagai bisnis penuh risiko sewajarnya menerapkan prinsip kehati-hatian agar dapat meningkatkan kepercayaan nasabah kepada bank dan dapat mencegah kerugian bank. Walaupun ada kalangan yang terus memperdebatkannya baik pro dan kontra namun pengaturan KYCP dalam perbankan dimaksudkan sebenarnya untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada bank tersebut selain itu juga untuk meningkatkan keuntungan bank.

C. Pengaturan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Undang-Undang Perbankan

Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Pengaturan prinsip kehati-hatian dalam perbankan menyangkut pelayanan jasa-jasa perbankan maupun dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam sistem perbankan digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Prinsip ini digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari suatu kebijakan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Penerapan prinsip

(15)

kehati-hatian merupakan suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan.73

Prinsip ini diatur dan ditegaskan dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 1992 junto UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan) yaitu: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip terpenting yang wajib diterapkan oleh bank-bank dalam menjalankan kegiatan usahanya sebab bisnis perbankan adalah bisnis yang berdasarkan kepercayaan.

Pengaturan prinsip kehati-hatian ini juga menekankan pentingnya bank dalam menjaga kesehatan bank itu sendiri. Apabila dipahami lebih jauh, prinsip kehati-hatian sangat menguntungkan, baik bagi pihak bank maupun bagi nasabah itu sendiri. Semakin hati-hatinya bank dalam mengelola usahanya, dapat dipastikan bahwa kepercayaan nasabah terhadap bank semakin tinggi serta keuntungan bank itu akan semakin meningkat.

Kehati-hatian berasal dari kata ”hati-hati” (prudent) yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diterjemahkan dengan bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan dan diterjemahkan dengan hati-hati atau kehati-hatian (prudential).74 Jadi prinsip kehati-hatian perbankan (prudent banking principle) merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan

73

Chatamarrasjid Ais, Loc. cit.

74

Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.21.

(16)

usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.75

Prinsip ini telah dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penormatifan prinsip kehati-hatian dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan berarti suatu penegasan yang secara implisit bahwa prinsip kehati-hatian ini sebagai salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan dan dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.76

Penegasan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Tidak ada alasan bagi bank-bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada prinsip ini. Hal ini mengandung makna bahwa segala sesuatu perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat harus senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

75

Rachmadi Usman, Op. cit, hal. 18.

76

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan Keempat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal.134. Lihat juga: Chatamarrasjid Ais, Op. cit, hal. 147.

(17)

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terkandung secara eksplisit prinsip kehati-hatian dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor. Ketentuan tersebut menegaskan: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”. Hal ini dilaksanakan selain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian pada bank juga memberikan perlindungan kepada kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Prinsip kehati-hatian sebagai bagian dari pembinaan dan pengawasan. Dalam judul bab V UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan mulai dari Pasal 29 s/d Pasal 37-B, tampak penegasan prinsip ini termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Prinsip kehati-hatian merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Menurut Anwar Nasution, ketentuan prinsip kehati-hatian dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.77

Tanggung jawab bank terhadap nasabahnya tampak pula dalam penegasan Pasal 29 ayat (4) UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi

77

Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, di Hotel Indonesia Jakarta, pada tanggal 24-25 Juni 1997, hal. 2.

(18)

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Dalam ketentuan secara eksplisit pula terkandung prinsip kehati-hatian yang mewajibkan bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

Tampaknya ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini sebenarnya menegaskan kepada bank untuk memiliki tanggung jawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Penyediaan informasi itu dilakukan oleh bank dalam hubungan kepercayaan. Apabila nasabah dirugikan sekali saja, akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Kedudukan bank dalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat, maka dengan itu, konsep hubungan antara bank dan nasabahnya bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan sebagai hubungan kepercayaan.78

UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak memberikan pengertian dan penjelasan secara pasti mengenai pengertian prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 2 dan Pasal 29 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya disebutkan istilah prinsip kehati-hatian saja dan tidak

78

Sutan Remy Sjahdeini, ”Bank Indonesia Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundangundangan”, Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November/Desember 1996, hal. 17. Tulisan ini juga pernah disampaikan dalam Pidato Ilmiahnya dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya pada tanggal 16 Desember 1996.

(19)

dijelaskan maksudnya. Akan tetapi dapat dilihat pengertian prinsip kehati-hatian dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) huruf b PBI Nomor: 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum, yaitu: ”Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko”. Pada prinsipnya prinsip kehati-hatian itu tidak dapat didefenisikan secara menyeluruh karena ruang lingkupnya sangat luas. Namun, dapat dipahami bahwa sebenarnya prinsip ini menegaskan bagi bank agar bank wajib waspada untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.

Luasnya ruang lingkup prinsip kehati-hatian ini, pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang perbankan, ada yang ditegaskan secara implisit dan ada pula yang penegasannya secara eksplisit (tersirat). UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan sudah seringkali dilakukan revisi namun tetap menormatifkan prinsip kehati-hatian ini sebagai prinsip yang paling penting dalam perbankan.

Selain UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

(20)

Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disingkat UUBI), pada Pasal 25 UU No.23 Tahun 1999 menegaskan:

1. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.

2. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

Ketentuan BI yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat79 yang kemudian diatur dalam PBI Nomor: 7/4/Pbi/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum sebagai pelaksanaan kewenangan Gubernur Bank Indonesia. Dalam wewenang ini termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian yang disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional.80

Pengaturan menyangkut prinsip kehati-hatian termaktub juga dalam berbagai Surat Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), seperti: SK BI 30/11/KEP/DIR/1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, SK BI 30/46/KEP/DIR/1997

79

Lihat Paragraf 6 Penjelasan Umum UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (UUBI).

80

(21)

tentang Pembatasan Pemberian Kredit Oleh Bank Umum Untuk Pembiayaan Pengadaan Dan Atau Pengolahan Tanah, SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SK BI 31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum, SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum, SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif, Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang Perubahan SK Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit, Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum, Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Asset Bagi Bank Umum.

Dalam rangka untuk mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan internal bank. Sistem pengawasan seperti disebut juga dengan self regulations. Sejak tahun 1994 sebenarnya dalam perbankan sudah mulai diharuskan untuk membuat pengaturan internal sendiri sebagai bagian dari kehati-hatian bank dalam menjalankan kegiatan usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh.

(22)

Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi dan mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian. Selain yang ditentukan secara implisit dalam Pasal 2 dan Pasal 29 tersebut di atas, prinsip kehati-hatian juga ditegaskan secara eksplisit pada beberapa ketentuan dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Misalnya dalam Pasal 8 ayat (1), menegaskan:

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Ketentuan Pasal 8 berlaku untuk pemberian kredit81, dimana bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini mengisayaratkan bagi bank untuk tidak sembrono dalam memberikan kredit kepada pemohon (nasabah) melainkan harus dilakukan analisis mendalam terhadap nasabah debitor tersebut untuk menghindari kemungkinan kerugian bagi bank itu sendiri.

Sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana dari bank itu

81

Pasal 1 angka 11 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

(23)

sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat yuridis, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian yang meliputi pinjaman pokok dan bunga.

Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar, tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi Non Performing

Lean (NPL) atau kredit bermasalah sehingga akibatnya dapat mengganggu kesehatan

bank yang bersangkutan.82 Kredit bermasalah atau problem loan sebagaimana disebutkan oleh Ismail, bahwa kredit bermasalah merupakan kredit yang telah disalurkan oleh bank kepada nasabah, dimana nasabahnya tidak dapat melakukan pembayaran atau melakukan angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani oleh bank dengan nasabah.83

Oleh sebabnya, dalam hal pemberian kredit harus dibatasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa:

Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang

82

Sutan Remy Sjahdeini, “Menanggulangi Kredit Bermasalah”, Makalah Disampaikan Pada Kuliah Program Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Surabaya (UBAYA), Surabaya, 1995, hal. 1.

83

(24)

terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank dibatasi misalnya tidak boleh melebihi 30 persen dari modal bank bagi peminjam dan 10 persen bagi pihak-pihak atau perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan di dalam bank. Pembatasan seperti ini dilakukan karena bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut.84

Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.

Ruang lingkup aturan prinsip kehati-hatian untuk pembinaan dalam arti sempit meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap deposito maupun posisi luar negeri, rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan

84

Sesuaikan dengan Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4) UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

(25)

aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.85

Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pelayanan jasa-jasa perbankan, menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit dinilai akan menurunkan kredit bermasalah (Non Performing Loan) atau kerugian bagi bank itu sendiri baik kerugian dalam kategori besar maupun kecil. Oleh karena itu, dalam memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit bermasalah.

Pemberian kredit dari bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank dalam menyalurkan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit harus sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan kedua belah pihak.86 Hal tersebut menunjukkan, debiktur dan kreditur perlu memperhatikan faktor kemampuan dan kemauan debitur, sehingga tersimpul prinsip kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan dari suatu kredit tersebut.87

Kehati-hatian dalam penilaian terhadap karakter kepribadian/watak dari nasabah harus terlebih dahulu ditinjau dan dilakukan analisis yang mendalam melalui pendekatan mengenal nasabah apakah nasabah tersebut berkepribadian yang baik, jujur, selalu menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mepunyai riwayat hidup yang baik, tidak terlibat tindakan kriminal, sumber pendapatan yang halal, dan

85

Anwar Nasution, Op. cit, hal. 2.

86

Muhammad Djumhana, Op. cit, hal. 299.

87

(26)

lain.88 Namun terkadang ini tidak bisa dijadikan ukuran, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang pada prinsipnya agar bank berhati-hati dalam melayani nasabahnya mencakup kewajiban bank memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan dan pelayanan terhadap nasabah.89

D. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Menetapkan Ketentuan Prinsip Kehati-Hatian

Bank Indonesia sebagai bank sentral pada bagian konsideran huruf d UUBI ditentukan bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan Bank Sentral yang memiliki kedudukan yang independen. Bank Indonesia berwenang mengatur dan mengawasi sistem perbankan nasional untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat.90

Bank Indoensia berfungsi dan menjalankan kewenangan sebagai bank sentral di Indonesia yakni mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas.91 Bank

88

H.A.S. Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 25.

89

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, Op. cit, hal. 57.

90

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Op. cit, hal. 118. Lihat juga: Ismail, Op. cit., hal. 13. Lihat Juga: Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 49.

91

Penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lihat juga: Pasal 4 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

(27)

Indonesia sebagai badan hukum publik selain mempunyai wewenang dalam mengelola kekayaan sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), juga berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.

Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya yang dalam hal ini menetapkan PBI yang menyangkut tentang pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana telah disebutkan di atas. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas namanya sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.92

Kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan PBI yang menyangkut tentang pelaksanaan prinsip kehati-hatian, diberikan sebagai kewenangan pokok mengatur, menjaga, dan mengawasi bank-bank, baik bank pemerintah maupun swasta yang berada di bawah pengawasannya. Peran Bank Indonesia sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Perlunya mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien tersebut, dikarenakan bahwa dalam dunia perbankan merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan

Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disingkat UUBI).

92

http://www.bi.go.id/web/id, Oleh: Admin Blog Resmi Bank Indonesia, diakses tanggal 25 Februari 2011.

(28)

ekonomi di negara Indonesia. Bank Indonesia berperan penting pula dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang mungkin timbul dalam perbankan.93

Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) UUBI, ditentukan bahwa, “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan, “Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia”.

Pengaturan dan pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank agar dikelola dengan baik dan profesional, serta memerhatikan faktor risiko-risiko yang berdampak pada kerugian finansial. Dalam hal mengatur dan melakukan pengawasan terhadap bank-bank, Bank Indonesia berwenang dalam menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang mewajibkan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian.94

Pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal yang paling penting guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan kokoh, hal ini juga dikenal dalam UUPT. Prinsip kehati-hatian ini maksudnya adalah bahwa dalam hal mengelola sistem perbankan, diwajibkan itikad baik dan wajib dapat dipercaya, serta selamanya

93

Ismail, Op. cit, hal. 1.

94

(29)

dapat wajib jujur dalam memikul tanggung jawab atas pelaksanaan pengurusan perseroan (khususnya bank).95

Krisis perbankan pada tahun 1997 di Indonesia, menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam perbankan.96 Dukungan kontrol terhadap aktivitas perbankan oleh Bank Indonesia dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri.97

Dalam penjelasan UUBI disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat. Sehubungan denengan kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan ketentuan prinsip kehati-haitan, ada beberapa pokok-pokok yang perlu ditetapkan dalam PBI antara lain:98

95

Paul L. Davies, Gower’s Principles of Modern Company Law, (London: Sweet Maxweel, 1997), hal. 598. Kewajiban melakukan pengurusan hanya untuk kepentingan perseroan semata (duty to act bona fide in the interest of the company); Kewajiban bertindak untuk dan atas nama perseroan (duty to execise power for proper purposes); Kewajiban bertindak seluas-luasnya (duty to retain discretion); Kewajiban menghindari benturan kepentingan (duty to avoid conflict of interest); Kewajiban melaksanakan fungsi kegiatan manajemen dengan mengambil resiko dan peluang di masa depan (duty of care and duty diligence); Kewajiban menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty); dan Kewajiban loyal terhadap perseroan (loyalty duty).

96

Mulhadi, Op. cit, hal. 2-3.

97

Heru Supraptomo, Op. cit, hal. 63.

98

Bandingkan dengan penejelasan Pasal 25 ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2

(30)

1. Perizinan Bank;

2. Kelembagaan Bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan; 3. Kegiatan usaha Bank pada umumnya;

4. Kegiatan usaha Bank berdasarkan Prinsip Syariah; 5. Merger, konsolidasi, dan akuisisi Bank;

6. Sistem informasi antarbank; 7. Tata cara pengawasan Bank;

8. Sistem pelaporan Bank kepada Bank Indonesia; 9. Penyehatan perbankan;

10. Pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum Bank; dan 11. Lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.

Berbagai Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur tentang prinsip kehati-hatian yang sudah ditetapkan dalam PBI diantaranya adalah PBI No.11/ 26 /PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured

Product Bagi Bank Umum, PBI No.13/ 25 /PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian

Bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, PBI No.5/10 /PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal, PBI No.12/ 9 /PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum. PBI No.2/16/PBI/2000 tentang Perubahan SK Direksi BI Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (UUBI).

(31)

31/177/KEP/DIR/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit, PBI No.3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum, PBI No.7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Asset Bagi Bank Umum.

Bahkan Bank Indonesia juga mengeluarkan PBI tentang program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) melalui PBI No.11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Mencegah Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum dan PBI Nomor: 12/ 20 /PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Dalam kedua PBI ini, kehati-hatian dilakukan melalui pendekatan Customers

Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence (EDD) misalnya ditegaskan

dalam Pasal 8 PBI No.11/28/PBI/2009, dalam menerapkan program APU dan PPT, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis paling sedikitnya mencakup: permintaan informasi dan dokumen; Beneficial Owner; verifikasi dokumen; CDD yang lebih sederhana; penutupan hubungan dan penolakan transaksi; ketentuan mengenai area berisiko tinggi; pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; pengkinian dan pemantauan; Cross Border Correspondent Banking; transfer dana; dan penatausahaan dokumen. Hal ini diterapkan agar dapat mencegah risiko dari pemanfaatan bank

(32)

untuk melakukan pencucian uang dan pendanaan terorisme khususnya untuk Bank Umum.99

Kebijakan kehati-hatian oleh Bank Indonesia juga ditetapkannya PBI bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam mencegah pendanaan terorisme melalui PBI Nomor: 12/ 20 /PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Prinsip kehati-hatian dalam PBI ini lebih dikenal dengan istilah Customers Due Diligence (CDD) beupa kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Melalui Pasal 8 PBI Nomor: 12/ 20 /PBI/2010 ini juga ditegaskan bahwa dalam menerapkan program APU dan PPT, bank khususnya BPR dan BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis agar dapat mencegah risiko dari pemanfaatan bank untuk melakukan pencucian uang dan pendanaan terorisme.100

Pengaturan menyangkut prinsip kehati-hatian juga terdapat dalam berbagai Surat Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia, seperti: SK BI 30/11/KEP/DIR/1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, SK BI

99

Pasal 1 angka 7 dan angka 8, Pasal 8 PBI No.11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Mencegah Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum. Customer Due Dilligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah. Enhanced Due Dilligence (EDD) adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat berhubungan dengan Nasabah yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

100

Pasal 1 angka 15, Pasal 8 PBI Nomor: 12/ 20 /PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

(33)

30/12/KEP/DIR/1997, tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, SK BI 30/46/KEP/DIR/1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit Oleh Bank Umum Untuk Pembiayaan Pengadaan Dan Atau Pengolahan Tanah, SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SK BI 31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum, SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum, SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

Ketentuan-ketentuan perbankan melalui penetapan PBI dan ketentuan lainnya memuat prinsip kehati-hatian dengan tujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Tujuannya mewujudkan sisten perbankan yang sehat, maka peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan oleh BI harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Pengusaha Mikro/Jasa Layanan, dan untuk Kelompok Calon Wirausaha Baru maka metode pelaksanaan kegiatan terkait dengan tahapan atau langkah –langkah dalam

Dari pernyataan Syafi’i Ma’arief di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan oleh pendidik baik orang tua, guru dan

IPK Materi Indikator Soal Level kogniti f Bentuk Soal No Soal Menentukan dan menganalisi s ukuran pemusatan dan penyebaran data yang disajikan dalam bentuk tabel

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan Pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Aktivitas fisik yang biasa dilakukan oleh remaja obesitas di SMAN 1

Perbanyakan benih tanaman buah merah disarankan menggunakan bahan setek yang berasal dari tunas atau anakan, dengan media tanah : pupuk organik (2:1) atau tanah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh integritas perilaku pemimpin dan kepemimpinan transformasional terhadap komitmen afektif karyawan. Teknik pengambilan data

Sedangkan metode dakwah kiai dalam membendung radikalisme di Desa Kandang Semangkon Paciran Lamongan antara lain: metode dakwah bil hal dengan akulturasi budaya melalui

Regulator ini menghasilkan tegangan output stabil 5 volt dengan syarat tegangan input yang diberikan minimal 7-8 volt (lebih besar dar tegangan output) sedangkan