347/Skripsi/PSI-FIP/UPI.08.2013
HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA
KORUPSI
(Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi pada Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan
Oleh
Angga Permana Putra
0601981
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA
KORUPSI
(Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung)
Oleh:
Angga Permana Putra
0601981
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Angga Permana Putra 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari
ABSTRAK
Angga Permana Putra (0601981). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan
Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi (Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung). Skripsi Jurusan Psikologi FIP UPI, Bandung (2013)
Setiap individu yang masuk Lapas dan berubah status menjadi napi pasti akan mengalami berbagai permasalahan dan kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, dan gangguan psikologis, tidak terkecuali pada narapidana korupsi. Permasalahan ini akan sulit untuk dapat dihadapi terutama saat mereka berada di dalam Lapas. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, sangat bergantung pada tipe kepribadian, cognitive appraisal dan problem solving appraisal napi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal, dan pengaruh mediasi cognitive appraisal dalam hubungan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasi dengan pendekatan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal (0,082), dan tidak terjadi pengaruh cognitive appraisal sebagai variabel mediasi (1,68) pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa napi dengan tipe kepribadian ektrovert belum tentu menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sama halnya dengan napi tipe kepribadian introvert juga belum tentu menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers. Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan pelatihan-pelatihan, pembinaan atau pemberian jasa konseling bagi napi.
ABSTRACT
Angga Permana Putra (0601981). The Relationship between Personality Type and
Problem Solving Appraisal and Cognitive Appraisal on Corruption Convicts (Correlation Study in Sukamiskin Prison Bandung). Undergraduate Thesis for Department of Psychology FIP UPI, Bandung (2013)
Every individual who entered prison as inmates will definitely experience a variety of problems and loss, such as loss of freedom, loss of control over life, loss of family, loss of goods and services, loss of security, loss of heterosexual relationships, and psychological disorders, no exception to corruption convicts. These problem will be difficult to be solved, especially when they are in prison. To deal with these problems, it depends on the type of personality, cognitive appraisal and problem solving appraisal of prisoners. The purpose of this study is to examine the relationship between personality type and problem solving appraisal, and the influence of cognitive appraisal mediation in that relationship. The method used in this study is the correlation methods with quantitative approaches. The results of this study indicate that there is no significant relationship between personality type and problem solving appraisal (0.082), and there is no influence of cognitive appraisal as mediating variables (1.68) on the corruption convicts of Sukamiskin Prison in Bandung. Based on these results it can be concluded that prisoners with ektrovert personality type are not necessarily consider themselves as effective problem solvers. Similarly, prisoners with introvert personality type are also not necessarily consider themselves as ineffective problem solvers. From the results of this study the prison officials are expected to develop the training, coaching or providing counseling services to prisoners.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR GRAFIK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Metode Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ………. 9
F. Struktur Organisasi Skripsi ... 10
BAB II LANDASAN TEORI A. Tipe Kepribadian ... 11
1. Pengertian Kepribadian ... 11
2. Struktur Kepribadian ……… ... 12
3. Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ………… . 12
a. Neurotisme (N) ………... 13
b. Psikotieme (P) ……… ... 13
c. Introvert-Ekstrovert (I-E) ………. ... 13
dan Introvert ... 16
a. Ekstrovert ……… ... 16
b. Introvert ……… ... 17
B. Cognitive Appraisal ... 18
1. Pengertian Cognitive Appraisal ... 18
2. Proses Cognitive Appraisal ……… ... 18
a. Primary Appraisal ……… ... 19
b. Secondary Appraisal ……… ... 20
c. Reappraisal ………. ... 22
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cognitive Appraisal ... 22
a. Faktor Individual ……… ... 22
b. Faktor Lingkungan ………... 24
C. Problem Solving Appraisal ... 26
1. Pengertian Problem Solving Appraisal ... 27
2. Aspek-aspek Problem Solving Appraisal ……… . 27
a. Problem Solving Confidence ……… ... 27
b. The Approach-avoidance Style ……… 28
c. Personal Control ………. ... 28
3. Effective Problem Solvers dan Ineffective Problem Solvers ... 29
a. Effective Problem Solvers……… . 29
b. Ineffective Problem Solvers ……… ... 29
D. Korupsi ... 30
1. Pengertian Korupsi ... 30
2. Bentuk-bentuk Korupsi ……… ... 31
3. Penyebab Korupsi ... 31
4. Akibat Korupsi ... 33
E. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian ... 33
1. Kerangka Berpikir ... 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 39
B. Desain Penelitian ... 39
C. Metode Penelitian ... 41
D. Definisi Operasional ... 41
E. Instrumen Penelitian ... 42
F. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian ... 48
G. Teknik Pengumpulan Data ... 53
H. Analisis Data ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61
1. Gambaran Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 61
2. Gambaran Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 65
3. Gambaran Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 71
4. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 77
5. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 78
6. Hubungan antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 79
B. Pembahasan ... 84
1. Gambaran Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 84
2. Gambaran Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 88
3. Gambaran Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 91
4. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 93
5. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 97
6. Hubungan antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas di Lapas Sukamiskin Bandung ... 100
7. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi dengan Cognitive Appraisal sebagai Variabel Moderator ... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 107
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 112
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 43
Tabel 3.2 Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 44
Tabel 3.3 Bobot Penilaian Instrumen Cognitive Appraisal ... 45
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Cognitive Appraisal ... 45
Tabel 3.5 Bobot Penilaian Instrumen Problem Solving Appraisal ... 47
Tabel 3.6 Kisi-kisi Instrumen Problem Solving Appraisal ... 47
Tabel 3.7 Hasil Pengembangan Instrumen Tipe Kepribadian …... 50
Tabel 3.8 Hasil Pengembangan Instrumen Cognitive Appraisal ... 50
Tabel 3.9 Hasil Pengembangan Instrumen Problem Solving Appraisal ... 50
Tabel 3.10 Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach ... 51
Tabel 3.11 Nilai Reliabiltas Instrumen Tipe Kepribadian Sebelum dilakukan Seleksi Item ... 51
Tabel 3.12 Nilai Reliabiltas Instrumen Tipe Kepribadian Setelah dilakukan Seleksi Item ... 52
Tabel 3.13 Nilai Reliabiltas Instrumen Cognitive Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item ... 52
Tabel 3.14 Nilai Reliabiltas Instrumen Cognitive Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item ... 52
Tabel 3.15
Tabel 3.16
Tabel 3.17
Tabel 3.18
Tabel 3.19
Tabel 3.20
Nilai Reliabiltas Instrumen Problem Solving Appraisal Sebelum
dilakukan Seleksi Item ...
Nilai Reliabiltas Instrumen Problem Solving Appraisal Setelah
dilakukan Seleksi Item ...
Hasil Uji Normalitas Data ...
Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Problem
Solving Appraisal ...
Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive
Appraisal ...
Hasil Uji Linearitas antara Cognitive Appraisal dengan Problem
Solving Appraisal ... 53
53
54
55
56
Tabel 3.21 Tabel 3.22 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15
Interpretasi Nilai r ...
Kriteria Signifikansi Variabel ...
Hasil Perhitungan Median Variabel Tipe Kepribadian ...
Gambaran Umum Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di
Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Sub Dimensi Tipe Kepribadian pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Hasil Perhitungan Median Variabel Cognitive Appraisal ...
Gambaran Umum Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi
di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Sub Dimensi Cognitive Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Cognitive Appraisal
pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Tipe Kepribadian dan Sub Dimensi Cognitive
Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung ...
Hasil Perhitungan Median Variabel Problem Solving Appraisal ...
Gambaran Umum Problem Solving Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Dimensi Problem Solving Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Problem Solving
Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung ...
Gambaran Tipe Kepribadian dan Dimensi Problem Solving
Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung ...
Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Problem
Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ...
Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive
Tabel 4.16
Tabel 4.17
Tabel 4.18
Tabel 4.19
Appraisal pada Narapidana Korupsi ...
Hasil Uji Korelasi antara Cognitive Appraisal dengan Problem
Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ...
Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Cognitive
Appraisal pada Narapidana Korupsi ...
Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Problem Solving
Appraisal pada Narapidana Korupsi ...
Koefisien Regresi Tipe Kepribadian dan Cognitive Appraisal
terhadap Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi .... 79
80
81
82
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Gambaran Umum Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi
di Lapas Sukamiskin Bandung ... 62
Grafik 4.2 Gambaran Umum Sub Dimensi Tipe Kepribadian pada
Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 65
Grafik 4.3 Gambaran Umum Cognitive Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 66
Grafik 4.4 Gambaran Sub Dimensi Cognitive Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 69
Grafik 4.5 Gambaran Tipe Kepribadian dan Sub Dimensi Cognitive
Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung ... 71
Grafik 4.6
Grafik 4.7
Grafik 4.8
Gambaran Umum Problem Solving Appraisal pada Narapidana
Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Dimensi Problem Solving Appraisal pada
Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...
Gambaran Tipe Kepribadian dan Dimensi Problem Solving
Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung ... 73
75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ………... 37
Gambar 3.1 Desain Penelitian ………. 40
Gambar 3.2 Gambaran Hubungan antara Variabel Independen dan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang ada di Indonesia. Data
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan, sepanjang periode 1 Januari
hingga 31 Juli 2012, penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung telah menetapkan 597 orang sebagai
tersangka dalam kasus korupsi (Fajar Online, 2012). Selain itu, sepanjang tahun
2012, setidaknya ada 34 kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani oleh KPK
(Kompas, 2013). Hal ini membuat keadaan Indonesia dimata dunia menjadi
buruk.
Dalam survey yang dilakukan terhadap 176 negara di dunia, Indonesia
dilaporkan mendapat nilai 32 dari skala 100 dimana angka 100 merupakan negara
yang terbersih dan bebas dari korupsi (Fajar Online, 2012). Tidak hanya di
peringkat international, dalam wilayah Asia Tenggara pun peringkat korupsi
Indonesia dapat dikatakan buruk. Survey yang dilakukan oleh perusahaan
konsultan Political and Economic Risk Concultancy (PERC) dalam rilisnya tahun
2010 menyebutkan Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia
Pasifik (Haluankepri, 2012).
Buruknya peringkat korupsi Indonesia tidak terlepas dari maraknya kasus
korupsi yang belum kunjung tuntas. Deretan kasus seperti kasus BLBI, kasus
Bank Century, kasus suap Hambalang, dan kasus simulator SIM masih
meninggalkan banyak pertanyaan. Banyaknya kasus korupsi yang belum
terselesaikan seakan menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di
Indonesia. Korupsi seakan-akan dianggap sebagai tindakan yang wajar untuk
dilakukan. Segala macam tindakan dilakukan untuk memberantasnya, namun
tetap saja ada oknum yang melakukannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), korupsi berarti
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya
2
Latin corruption yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran).
Korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku yang dilakukan oleh aparat
pemerintah. Menurut Huntington (1968), korupsi adalah perilaku pejabat publik
yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Sedangkan Transparency International (2010) sebagai salah satu organisasi
masyarakat yang memerangi korupsi, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak.
Gibbons dalam Seto (2012) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi
politik: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai
pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang
mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai
berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-barreling atau
menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih
tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang
membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau
sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar
sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan
kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik
lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau
menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.
Penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi bervariasi dan
beranekaragam. Alatas (1975) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab
korupsi, yaitu ketiadaan kepemimpinan yang mempengaruhi tingkah laku
menjinakkan korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, konsumerisme dan
3
yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi,
struktur pemerintahan, dan perubahan radikal/transisi demokrasi.
Jack Bologne (2006) menyebutkan ada empat akar penyebab korupsi yaitu
Greed, Opportunity, Need, dan Exposes. Greed terkait dengan keserakahan yang
dimiliki oleh individu. Individu melakukan korupsi bisa dikarenakan dia tidak
puas dengan apa yang dimilikinya. Opportunity terkait dengan keadaan yang
memberi kesempatan untuk melakukan korupsi misalnya saja sistem pengendalian
yang tidak teratur sehingga bisa timbul penyimpangan atau juga pengawasan yang
tidak ketat. Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup,
selalu sarat dengan kebutuhaan yang tidak cukup, sedangkan exposes terkait
dengan hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi, dimana hukuman tersebut
tidak membuat jera baik pelaku maupun orang lain. Faktor opportunity dan
exposes merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, sedangkan faktor
greed dan need merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Saat ada celah untuk melakukan tindakan korupsi, tidak semua individu
akan melakukannya. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dalam berperilaku. Karakteristik yang menetap ini disebut
dengan kepribadian. Kepribadian yang dimiliki oleh individu akan menentukan
bagaimana ia akan bertindak saat menghadapi suatu situasi tertentu
(wikipedia.org, 2013).
Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia akan dijatuhi hukuman
penjara. Berdasarkan undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi, hukuman yang diterima pelaku korupsi adalah hukuman penjara minimal
4 tahun. Hukuman ini diberikan dengan tujuan agar pelaku jera dan anggota
masyarakat tidak ada yang mengulanginya.
Indonesia sendiri menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal
dengan nama “pemasyarakatan” sehingga istilah penjara telah lama diubah
menjadi Lembaga Pemasyarakatan (wikipedia.org, 2011). Saat ini, tercatat ada
153.224 penghuni Lembaga Permasyarakat di Indonesia yang masih berstatus
4
narapidana korupsi. Di Lapas Sukamiskin Bandung sendiri ada 287 orang yang
tercatat sebagai narapidana korupsi.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab (wikipedia.org, 2011). Individu yang sudah menerima hukuman,
diharapkan mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat. Namun,
perubahan kondisi lingkungan dari bebas menjadi terbatas tetap akan memberikan
dampak bagi individu yang mengalaminya.
Hal ini dikarenakan saat individu masuk ke dalam penjara atau Lapas berarti
dia akan mengalami kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup,
kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan,
kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan
psikologis (Cooke et al., 1990). Harsono (1995) juga menyebutkan bahwa
hukuman penjara memberikan dampak kehilangan identitas diri, kehilangan rasa
aman, kehilangan kebebasan, kehilangan akan komunikasi pribadi, kehilangan
pelayanan, kehilangan kasih sayang dari lawan jenis, kehilangan harga diri,
kehilangan kepercayaan diri, dan kehilangan kreativitas. Selain itu, napi juga akan
menghadapi berbagai masalah yang tidak hanya berasal dari dalam lapas,
misalnya seperti fasilitas yang tidak memadai dan kekerasan, baik oleh napi lain
atau petugas lapas, tapi juga permasalahan di luar lapas, misalnya masalah
keluarga (Cooke et al. 1990). Dampak ini tentu saja akan menimbulkan berbagai
macam reaksi pada diri individu.
Berdasarkan teori individual difference, Armenakis et al. (Madsen, Miller &
John, 2005) menyatakan bahwa setiap individu akan bereaksi secara berbeda
terhadap pesan yang sama dikarenakan adanya perbedaan struktur kognitif dalam
memproses informasi. Pernyataan ini semakin diperkuat oleh Linley & Joseph
(Andanawari, 2013) yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor
individual yang mempengaruhi penyesuaian pada kondisi paska trauma antara
5
Dalam teorinya tentang kepribadian, Eysenck (1998) membagi tipe
kepribadian dalam dua dimensi utama, yaitu ekstrovert dan introvert. Eysenck
(1998) berpendapat bahwa saat dihadapkan pada suatu tekanan atau
rangsangan-rangsangan traumatik, individu yang tergolong ekstrovert cenderung menahan
diri, tidak akan terlalu memikirkan tekanan atau trauma yang dialami. Sebaliknya,
individu yang tergolong introvert tidak terlalu sigap melindungi diri saat
menghadapi tekanan atau trauma, sehingga cenderung menunjukkan respon
berdiam diri, membesarkan persoalan, dan mempelajari detail-detail kejadian
(Eysenck, 1998). Affleck dan Tennen (1996) juga menemukan bahwa individu
yang memperoleh skor tinggi pada tipe kepribadian ekstrovert cenderung
mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi.
Selain itu, dampak tersebut akan membuat pemaknaan yang dimiliki oleh
seorang individu menjadi berubah. Perubahan pemaknaan ini akan membuat
pandangan individu terhadap segala sesuatu hal menjadi berubah, yang akhirnya
pun turut mengubah pola pikirnya dalam menyelesaikan masalah. Meskipun
situasi atau permasalahan yang dihadapi sama, namun pemaknaan atau penilaian
situasi itu akan berbeda pada masing-masing individu. Penilaian ini dilakukan
melalui proses kognitif atau cognitive appraisal.
Cognitive appraisal merupakan pengkategorian peristiwa atau kejadian dari
berbagai segi dengan melihat signifikansinya terhadap kesejahteraan individu.
Melalui proses ini, individu mengevaluasi makna dari suatu situasi yang terjadi
pada dirinya dan mempelajari situasi tersebut terhadap kesejahteraan dirinya
(Lazarus & Folkman, 1984). Berdasarkan cognitive appraisal ini dapat dilihat
bahwa masing-masing individu akan memberikan penilaian dan reaksi yang
berbeda meskipun menghadapi masalah atau situasi psikologis yang sama.
Dzurilla (Heppner & Krauskopf, 1987) berpendapat bahwa permasalahan
harus dipandang dari bagaimana permasalahan tersebut dipersepsikan oleh
individu. Bagi individu, masalah dapat dinilai sebagai ancaman, tantangan, atau
kekalahan yang mungkin akan berkonstribusi bagi perkembangan psikologisnya
(Heppner & Kraukopf, 1987). Perbedaan inilah yang berperan penting dalam
6
meskipun individu dihadapkan pada permasalahan yang sama, dengan perbedaan
tersebut mereka tetap akan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda (Heppner
& Kraukopf, 1987).
Problem solving dinilai tidak akan efektif jika individu tidak melakukan
penilaian terlebih dahulu terhadap permasalahannya. Menurut Butler dan
Meichenbaum (Heppner et al. 2004) dalam penelitian mereka mengenai proses
problem solving, problem solving tidak hanya difokuskan pada proses
pengaplikasian pengetahuan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan,
tapi juga pada variabel yang mempengaruhi bagaimana mereka akan
menyelesaikan permasalahan. Menurut mereka, penilaian individu terhadap
kemampuan mereka dalam problem solving tidak hanya akan mempengaruhi
pelaksaan problem solving itu sendiri (problem solving performance) tetapi juga
berbagai variabel yang mempengaruhi proses problem solving.
Berdasarkan gagasan Butler dan Meichenbaum tersebut, Heppner et al.
(1987) mengembangkan konsep problem solving appraisal. Problem solving
appraisal didefinisikan sebagai proses seseorang dalam merespon masalah
hidupnya, khususnya bagaimana mereka menilai kemampuan pemecahan masalah
dan apakah mereka cenderung menyelesaikannya atau menghindari permasalahan.
(Lee & Heppner, 2002).
Individu yang menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan
mampu untuk beradaptasi dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan
seperti apapun, mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk
mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan
tujuan-tujuan hidupnya Sebaliknya, individu yang menilai dirinya sebagai
ineffective problem solvers akan membawanya pada ketidakmampuan untuk
menyesuaikan diri (Heppner, Witty, dan Dixon, 2004).
Mengacu pada hal tersebut, dalam konteks kehidupan Lapas diperkirakan
napi dengan tipe kepribadian ekstrovert dan menilai dirinya sebagai effective
problem solvers akan mampu untuk hidup di lapas dengan baik dan mampu untuk
7
napi dengan tipe kepribadian introvert dan menilai dirinya sebagai ineffective
problem solvers akan kesulitan dalam menjalani kehidupan di Lapas.
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung”, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving
appraisal pada napi sebagai bentuk upaya napi dalam menghadapi berbagai
permasalahan, perubahan dan situasi-situasi baru di dalam Lapas. Selain itu,
disertakan juga cognitive appraisal sebagai variabel mediator untuk membantu
menjelaskan hubungan di antara kedua variabel tersebut.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Individu yang masuk Lapas pasti akan mengalami berbagai permasalahan
dan kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan keluarga, dan gangguan
psikologis. Permasalahan ini terjadi pada semua napi, tidak terkecuali pada
narapidana korupsi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, masing-masing
indvidu memiliki caranya sendiri. Hal ini tergantung pada tipe kepribadian,
cognitive appraisal, dan problem solving appraisal napi. Napi dengan
kecenderungan tipe kepribadian eksrovert cenderung memiliki cognitive appraisal
yang tinggi dan menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sebaliknya napi
dengan kecenderungan tipe kepribadian introvert cenderung memiliki cognitive
appraisal yang rendah dan menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini secara umum adalah untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan
antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana
korupsi. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas
8
2. Bagaimana gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas
Sukamiskin Bandung?
3. Bagaimana gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di
Lapas Sukamiskin Bandung?
4. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving
appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?
5. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan cognitive
appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?
6. Apakah terdapat hubungan antara cognitive appraisal dengan problem
solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?
7. Apakah terdapat pengaruh mediasi dari cognitive appraisal terhadap
hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan data empiris
mengenai:
1. Memperoleh gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas
Sukamiskin Bandung.
2. Memperoleh gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas
Sukamiskin Bandung.
3. Memperoleh gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di
Lapas Sukamiskin Bandung.
4. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan
problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin
Bandung.
5. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan
9
6. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara cognitive appraisal
dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas
Sukamiskin Bandung.
7. Memperoleh gambaran mengenai pengaruh mediasi cognitive appraisal
terhadap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving
appraisal.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi
atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis
yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008). Sedangkan desain penelitian yang
digunakan adalah desain korelasional. Dalam penelitian ini, desain korelasional
digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu variabel
tipe kepribadian dengan problem solving appraisal dimana cognitive appraisal
berperan sebagai variabel mediator. Instrumen penelitian yang digunakan antara
lain; Eysenck Personality Inventory (EPI), Skala Cognitive Appraisal, dan The
Problem Solving Inventory (PSI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
penggunaan kuesioner. Setelah data diperoleh, data kemudian diolah dengan
menggunakan uji korelasi product moment dan uji deteksi pengaruh mediasi.
E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau
kegunaan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dari sisi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu psikologi dan
memperkaya pengetahuan mengenai psikologi, terutama psikologi
10
b. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan untuk
mengembangkan teori tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan
problem solving appraisal terutama dalam konteks kehidupan di
penjara atau Lapas di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pihak Lapas
Melalui penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan
pelatihan-pelatihan atau pemberian jasa konseling bagi napi. Pelatihan
dan konseling ini diharapkan dapat mencegah berkembangnya berbagai
gangguan psikologis yang tidak diharapkan. Selain itu juga sebagai
sarana peningkatan moral napi agar tindak pidana korupsi tidak terulang
lagi di kemudian hari.
b. Masyarakat Umum
Sebagai media informasi mengenai kepribadian pelaku korupsi dan
bagaimana cara pandang mereka dalam menyelesaikan masalah selama
menjalani masa tahanan.
F. Struktur Organisasi Skripsi
Rincian mengenai urutan penulisan dalam skripsi ini dapat dijabarkan
sebagai berikut:
BAB I : Mencakup latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian
dan struktur organisasi skripsi.
BAB II : Mencakup teori-teori, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
BAB III : Mencakup lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode
penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses
pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis
data.
BAB IV : Mencakup hasil penelitian, pemaparan data dan pembahasan data.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lapas Sukamiskin yang berlokasi di jalan A.H
Nasution No. 114 Bandung. Sejak 2012, Lapas Sukamiskin telah ditetapkan
sebagai lapas khusus tindak pidana korupsi (tipikor). Hingga Juni 2013 kemarin,
Lapas Sukamiskin Bandung telah menampung 287 narapidana korupsi. Mereka
berasal dari berbagai daerah, mulai dari DKI Jakarta, Jatim, Jateng, Banten dan
Sulawesi Utara.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008).
Populasi penelitian ini adalah narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.
Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiyono, 2008). Artinya, sampel merupakan bagian dari populasi
yang dijadikan sebagai sumber data yang benar-benar mewakili keseluruhan
populasi. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Purpossive sampling adalah teknik pengambilan sumber data dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Pertimbangannya adalah individu yang
dipilih sebagai sampel merupakan narapidana dengan masa tahanan lebih dari dua
tahun.
B. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel utama, yaitu tipe kepribadian
variabel independen dan problem solving appraisal sebagai variabel dependen.
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau
40
(Sugiyono, 2008). Sedangkan variabel dependen atau variabel terikat adalah
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2008).
Selain itu terdapat satu variabel mediator, yakni cognitive appraisal.
Variabel moderator adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat atau
memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
(Sugiyono, 2008). Di antara ketiga variabel ini akan dicari hubungannya
masing-masing, dan variabel moderator akan diuji sejauh mana variabel tersebut
mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
(lihat gambar 3.1).
Analisa data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah
statistik korelasional product moment dan uji coba model mediasi dengan metode
causal steps didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui kuesioner
pengukuran tipe kepribadian, cognitive appraisal dan problem solving appraisal.
Gambar 3.1. Desain Penelitian
Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi Lapas Sukamiskin Bandung
Tipe Kepribadian
(Variabel Independen)
Problem Solving Appraisal (Variabel Dependen)
Cognitive Appraisal
41
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan
(Sugiyono, 2008).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.
Metode korelasional digunakan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi
pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu faktor atau lebih
faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2004). Dalam
penelitian ini, metode korelasional digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal.
D. Definisi Operasional
1. Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbedaan
respon-respon dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan napi dalam
menghadapi trauma atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama di
lapas. Tipe kepribadian ini akan diambil dengan menggunakan instrumen tipe
kepribadian oleh Andanawari (2013) yang di adaptasi dari Eysenck Personality
Inventory (EPI).
2. Cognitive Appraisal
Cognitive appraisal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian
yang dilakukan napi terhadap lingkungan lapas. Pengumpulan data akan
dilakukan dengan menggunakan kuesioner cognitive appraisal berdasarkan teori
Lazarus, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Primary appraisal
adalah penilaian napi terhadap situasi yang dihadapinya selama di lapas.
Secondary appraisal adalah penilaian napi terhadap kemampuannya dalam
42
akan digambarkan melalui instrumen cognitive appraisal yang didasarkan pada
teori cognitive appraisal oleh Lazarus & Folkman (1984).
3. Problem Solving Appraisal
Problem solving appraisal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
penilaian napi terhadap kepercayaan dirinya dalam menghadapi dan
menyelesaikan permasalahan di lapas. Serta kecenderungan untuk menghindari
atau menyelesaikan masalah, dan kemampuan mengontrol diri dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah di lapas. Hal ini akan digambarkan melalui instrumen
problem solving appraisal oleh Septiani (2013) yang diadaptasi dari The Problem
Solving Inventory (PSI).
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa angket atau kuesioner
dengan menggunakan skala psikologis. Instrumen yang digunakan terdiri dari
instrumen yang mengungkap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem
solving appraisal pada narapidana korupsi, dan instrumen cognitive appraisal
sebagai mediasi.
1. Instrumen Tipe Kepribadian
Alat ukur tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi
dari instrumen tipe kepribadian oleh Andanawari (2013), yang berdasarkan pada
Eysenck Personality Inventory (EPI). Eysenck (1963) mengembangkan sebuah
inventori untuk menentukan kecenderungan tipe kepribadian
extraversion-introversion dan neuroticism-non neuroticism. EPI terdiri dari 70 item yang
terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 28 item mengukur neuroticism-stabilitas
emosi, 31 item mengukur ekstrovert-introvert, dan 11 item sebagai lie scale.
Dalam penelitian ini, item EPI yang digunakan difokuskan pada dimensi
43
Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Eysenck Personality Inventory (EPI)
Dimensi Sub Dimensi Indikator No Item
Pertanyaan
Jumlah Item
Ekstrovert-Introvert
Activity - Aktivitas fisik - Kecepatan dalam
bergerak
1, 6, 16, 19, 20, 21, 23
7
Sociability - Kesukaan dalam mencari teman dan bertemu dengan banyak orang
2, 10, 17, 24 4
Risk Taking - Keberanian mengambil resiko
3, 18, 25 3
Impulsiveness - Kecenderungan bertindak secara mendadak - Kurang
menggunakan pertimbangan
4, 8, 9, 11, 12, 14, 22
7
Expressiveness - Pernyataan perasaan - Kemauan
memperlihatkan emosi secara terbuka
5, 27 2
Reflectiveness - Kedalaman berpikir
13, 15, 26, 28 4
Responsibility - Rasa tanggung jawab terhadap tugasnya
7, 29 2
Jumlah Total Item 29
Peneliti membagikan kuesioner kepada subjek yang memenuhi kriteria yang
telah ditentukan sebelumnya. Kemudian subjek menjawab pertanyaan-pertanyaan
44
a. ae untuk pertanyaan affiliative extraversion
b. ne untuk pertanyaan non affiliative extraversion
Tabel 3.2. Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI)
Poin Ya Tidak
ae 1 0
ne 0 1
Pengolahan data dilakukan dengan memperhatikan patokan-patokan yang
telah ditentukan sebelumnya, yaitu; untuk pertanyaan ektrovert-introvert, subjek
dikatakan memiliki kecenderungan ekstrovert apabila nilai yang dicapai lebih dari
median. Sebaliknya, subjek dikatakan memiliki kecenderungan introvert apabila
nilai yang dicapai kurang, dan sama dengan nilai median.
2. Instrumen Cognitive Appraisal
Instrumen cognitive appraisal yang digunakan berdasarkan teori cognitive
appraisal oleh Lazarus & Folkman (1984), yang terdiri dari primary appraisal
dan secondary appraisal. Kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan
konteks dan permasalahan yang akan diteliti, dan untuk penelitian ini teori yang
dipakai hanya primary appraisal.
Primary appraisal melibatkan tiga aspek, yaitu; irrelevant, benign-positive,
dan stressful (harm/loss, treat, challenge). Penilaian yang irrelevant adalah
penilaian napi terhadap pengalaman atau keadaan di lapas yang tidak membawa
implikasi terhadap kehidupan napi. Benign-positive akan ditafsirkan pada
penilaian napi terhadap pengalaman atau keadaan di lapas sebagai sesuatu yang
positif yang dapat mendukung kehidupan napi. Sedangkan stressful merupakan
penilaian napi terhadap suatu tekanan yang membuat napi merasa tertekan dan
tidak nyaman terhadap kehidupan di lapas, sehingga memunculkan perilaku stres.
Instrumen cognitive appraisal terdiri dari 26 item, yang mengukur dimensi
primary appraisal. Instrumen menggunakan skala Likert, yang merupakan metode
45
kelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2008). Pada kuesioner
terdapat lima pilihan dalam menjawab setiap pernyataan. Subjek diminta untuk
memilih salah satu dari lima alternatif pilihan yang tersedia, yaitu Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
[image:32.595.90.536.233.742.2]Pilihan dari setiap pernyataan memiliki nilai sebagai berikut:
Tabel 3.3. Bobot Penilaian Instrumen Cognitive Appraisal
Alternatif Pilihan Item
Favorabel Unfavorabel
Sangat Setuju (SS) 5 1
Setuju (S) 4 2
Ragu-ragu (R) 3 3
Tidak Setuju (TS) 2 4
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5
Intrumen berupa kuesioner dengan rating scale. Kuesioner rating scale
yaitu sebuah pernyataan tertulis yang diikuti oleh kolom-kolom yang
menunjukkan tingkatan-tingkatan (misalnya: mulai dari sangat setuju sampai ke
sangat tidak setuju) untuk memperoleh informasi dari responden (Arikunto,
2006). Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi cognitive
appraisal napi dalam menghadapi kehidupan di Lapas. Sebaliknya napi dengan
skor yang rendah, menunjukkan cognitive appraisal yang rendah.
Tabel 3.4. Kisi-kisi Instrumen Cognitive Appraisal
Dimensi Sub
Dimensi Indikator
Item Jumlah
Item Fav Unfav
Primary Appraisal
Irrelevant Napi merasa pengalaman atau keadaannya di lapas sebagai sesuatu yang tidak membawa implikasi terhadap kehidupannya.
1, 7, 12, 18, 25, 29
- 6
Benign-positive
Napi menafsirkan pengalaman atau
2, 8, 13, 19, 30
46
keadaannya di lapas sebagai sesuatu yang positif yang dapat mendukung kehidupan napi.
Stressful Harm/loss Napi menganggap keberadaannya di lapas sebagai sesuatu yang dapat merusak
kehidupannya, dan dapat membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga atau dicintai.
- 3, 9, 14,
20, 26, 27 6
Threat Napi menganggap keadaan di lapas sebagai sesuatu yang dapat mengancam dirinya.
- 4, 10, 15,
21, 22
5
Challenge Napi menganggap pengalaman atau keadaan di lapas sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi.
5, 16, 23, 28
4
Jumlah Total Item 26
Keterangan:
Fav = Favorabel
Unfav = Unfavorabel
3. Instrumen Problem Solving Appraisal
Instrumen yang digunakan untuk mengukur problem solving appraisal
diadaptasi dari instrumen problem solving appraisal oleh Septiani (2013), yang
berdasarkan pada The Problem Solving Inventory (PSI). Heppner (1982)
mengembangkan PSI untuk mengukur kesadaran individu pada kemampuan
47
skala likert dengan sistem penyekoran dari 1 (sangat setuju) sampai dengan 5
(sangat tidak setuju). Item-item yang digunakan terdiri dari pernyataan-pernyataan
[image:34.595.93.533.196.751.2]yang bersifat positif dan negatif atau favorable dan unfavorable.
Tabel 3.5. Bobot Penilaian Instrumen Problem Solving Appraisal
Alternatif Pilihan Item
Favorabel Unfavorabel
Sangat Setuju (SS) 5 1
Setuju (S) 4 2
Ragu-ragu (R) 3 3
Tidak Setuju (TS) 2 4
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5
Instrumen The Problem Solving Inventory (PSI) terdiri dari 33 item, yaitu
11 item untuk mengukur problem solving confidence, 16 item untuk mengukur the
approach-avoidance style, dan 6 item untuk mengukur personal control.
Tingginya nilai PSI diartikan bahwa individu tidak yakin bahwa dirinya dapat
memecahkan permasalahan secara efektif (ineffective problem solvers) (Heppner
& Petersen, 1982).
Tabel 3.6. Kisi-kisi Instrumen Problem Solving Appraisal
No. Dimensi Indikator
Item Jumlah
Item Favorabel Unfavorabel
1. Problem solving cofidence
Napi percaya terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya di Lapas
5, 6, 10, 12, 19, 20, 23, 24, 27, 28, 33
- 11
2. The Approach-avoidance style
Napi cenderung memilih menyelesaikan masalah atau menghindari masalah saat menghadapi
permasalahan di Lapas
2, 7, 13, 15, 16, 17, 18, 22, 29, 31
1, 4, 14, 21, 26, 30
48
3. Personal control Napi percaya bahwa ia dapat mengendalikan emosi dan perilakunya saat mencoba untuk menyelesaikan
permasalahan di Lapas
3, 8, 9, 11, 25, 32
6
Jumlah Total Item 33
F. Proses Pengembangan Instrumen
Pengembangan instrumen penelitian dilakukan dengan uji coba untuk
mengukur sejauh mana instrumen penelitian dapat mengungkap dengan tepat
variabel yang akan diukur. Uji coba instrumen dalam penelitian ini bersifat uji
coba terpakai, yang berarti bahwa pengambilan data hanya dilakukan satu kali.
Data yang terkumpul akan diolah untuk dilakukan uji validitas dan reliabilitas,
yang kemudian diolah lagi dengan menghilangkan item-item yang tidak valid
ataupun reliabel.
1. Uji Validitas
a. Validitas isi
Untuk uji validitas, peneliti menggunakan pengujian validitas isi (content
validity). Validitas isi menggambarkan sejauhmana item-item alat ukur
mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang
hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana item-item tersebut
mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar,
2010).
Uji validitas isi diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan
analisis rasional atau dengan expert atau professional judgement. Dalam hal
ini peneliti meminta bantuan kepada dua orang ahli di Jurusan Psikologi yaitu
Drs. MIF Baihaqi, M.Si. dan Dr. Tina Hayati Dahlan, S.Psi., M.Pd. untuk
melakukan penilaian terhadap instrumen cognitive appraisal. Setelah
dianalisis terdapat beberapa perbaikan pada beberapa item, dan penambahan
jumlah item. Instrumen yang awalnya berjumlah 27 diperbaiki dan
49
pengolahan data, dimensi secondary appraisal akhirnya dihapus sehingga
tersisa 26 item. Untuk dua instrumen lainnya, yaitu tipe kepribadian dan
problem solving appraisal, peneliti menggunakan instrumen yang sudah ada.
b. Analisis Item
Analisis item merupakan prosedur untuk meningkatkan validitas dan
reabilitas suatu alat tes dengan cara memilih item-item yang sesuai dengan
tujuan alat tes (Crocker dan Agina dalam Septiani, 2013). Analisis item
didasarkan dari data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap
parameter-parameter item seperti indeks kesukaran item, indeks diskriminasi
item, analisis reabilitas dan validitas alat ukur tersebut (Azwar, 2010).
Setelah melakukan mengambilan data, peneliti melakukan pemilihan
item melalui pengujian daya diskriminasi item yang akan menghendaki
dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan
distribusi skor skala itu sendiri yang akan menghasilkan corrected item-total
correlation atau daya beda item (Azwar, 2010: 59). Suatu item dikatakan
layak jika memiliki koefisien korelasi r ≥ 0,30 tetapi jika jumlah item yang
lolos masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka koefisien korelasi
dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,20 (Azwar, 2010).
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian,
terdapat beberapa item yang tidak layak untuk digunakan. Item-item tersebut
kemudian tidak akan disertakan dalam proses pengolahan data. Hasil
50
Tabel 3.7. Hasil Pengembangan Instrumen Tipe Kepribadian
Dimensi Sub Dimensi No Item yang Layak
No Item yang Tidak layak Ekstrovert dan
Introvert
Activity 1, 6, 16, 19, 21 20, 23
Sociability 2, 10 17, 24
Risk Taking 3, 18, 25 -
Impulsiveness 4, 8, 9, 14, 22 11, 12
Expressiveness 27 5
Reflectiveness 26, 28 13, 15
Responsibility 7, 29 -
[image:37.595.57.566.130.643.2]Total 20 9
Tabel 3.8. Hasil Pengembangan Instrumen Cognitive Appraisal
Dimensi Sub Dimensi No Item yang
Layak
No Item yang Tidak layak
Primary Appraisal Irrelevant 1, 7, 18, 25, 29 12
Benign-positive 2, 13 8, 19, 30
Stressful Harm/loss 3, 9, 14, 20, 26, 27 -
Threat 4, 15, 21, 22 10
Challenge 16, 28 5, 23
Total 19 7
Tabel 3.9. Hasil Pengembangan Instrumen Problem Solving Appraisal
Dimensi No Item yang
Layak
No Item yang Tidak layak Problem Solving Confidence 5, 6, 10, 12, 19, 20,
23, 24, 27, 28, 33
-
The Approach-avoidance Style 1, 2, 4, 7, 13, 14, 15, 16, 18, 21, 22, 30,
31
17, 26, 29
Personal Control 3, 8, 32 9, 11, 25
Total 27 6
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur yang
mengandung makna kecermatan pengukuran sehingga reliabilitas dapat diartikan
51
menunjukkan sejauhmana konsistensi hasil pengukuran apabila pengukuran
dilakukan ulang pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2009). Instrumen yang
reliabel cenderung menghasilkan data yang sama dalam waktu yang berbeda.
Pengukuran reliabilitas dihitung dengan koefisien alpha cronbach. Aiken
(2002) mengatakan bahwa koefisien alpha cronbach sebesar 0,6 sampai 0,8
dikatakan cukup pada sebuah alat untuk menentukan perbedaan antar kelompok,
selama alat itu tidak dipergunakan untuk membandingkan tiap individu dengan
individu lainnya. Pembagian koefisien alpha cronbach pun dapat dibedakan
[image:38.595.117.511.198.671.2]sebagai berikut (Guilford dalam Sugiyono, 2010).
Tabel 3.10. Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach
Kriteria Koefisien
Sangat Reliabel >0,900
Reliabel 0,700-0,900
Cukup Reliabel 0,400-0,700
Kurang Reliabel 0,200-0,400
Tidak Reliabel <0,200
Dengan mengacu pada kategorisasi koefisien reliabilitas alpha cronbach di
atas, diperoleh kesimpulan bahwa ketiga instrumen yang diuji cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Adapun hasil pengujian
reliabilitas ketiga instrumen penelitian ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 3.11. Nilai Reliabilitas Instrumen Tipe Kepribadian Sebelum dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
52
Tabel 3.12. Nilai Reliabilitas Instrumen Tipe Kepribadian Setelah dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.778 20
Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen tipe kepribadian sebelum
dilakukan seleksi item bernilai 0,696. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tipe
kepribadian cukup reliabel. Setelah dilakukan seleksi item, instrumen tipe
kepribadian mengalami peningkatan nilai alpha cronbach menjadi 0,787 dan
[image:39.595.121.511.233.614.2]reliabilitasnya menjadi reliabel.
Tabel 3.13. Nilai Reliabilitas Instrumen Cognitive Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.772 26
Tabel 3.14. Nilai Reliabilitas Instrumen Cognitive Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.803 19
Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen cognitive appraisal
sebelum dilakukan seleksi item bernilai 0,772, dan setelah seleksi item bernilai
0,803. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen cognitive appraisal reliabel dan
53
Tabel 3.15. Nilai Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
[image:40.595.112.510.237.596.2].783 33
Tabel 3.16. Nilai Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.869 27
Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen problem solving appraisal
sebelum dilakukan seleksi item bernilai 0,783, dan setelah seleksi item bernilai
0,869. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen cognitive appraisal reliabel dan
mengalami peningkatan nilai alpha cronbach setelah dilakukan seleksi item.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawab (Sugiyono, 2008). Pertimbangan penggunaan kuesioner sebagai
teknik pengumpulan data adalah banyaknya jumlah subjek penelitian, sehingga
digunakan kuesioner agar pengumpulan data lebih efektif dan efisien.
H. Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan
hasil uji asumsi. Jika hasil asumsi menunjukkan bahwa data berdistribusi normal
dan linear, maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik
54
normal atau linear maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik
nonparametrik.
1. Uji Asumsi
a. Uji normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS
version 20.0 for Windows dengan metode uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai probabilitasnya >
0,05. Sedangkan data berdistribusi tidak normal apabila nilai probabilitasnya ≤
[image:41.595.109.518.195.651.2]0,05 (Sugiyono, 2008). Hasil perhitungan uji normalitas dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.17. Hasil Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Tipe Kepribadian
Cognitive Appraisal
Problem Solving Appraisal
N 43 43 43
Normal Parametersa,b Mean 8.2326 68.5116 104.2558
Std. Deviation 3.77231 9.31556 8.95516
Most Extreme Differences
Absolute .163 .104 .175
Positive .163 .069 .175
Negative -.108 -.104 -.149
Kolmogorov-Smirnov Z 1.069 .680 1.149
Asymp. Sig. (2-tailed) .204 .745 .143
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.
2-tailed) dari variabel Tipe Kepribadian, Cognitive Appraisal, dan Problem
Solving Appraisal masing-masing sebesar 0,204, 0,745 dan 0,143. Ketiganya
lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data dari ketiga variabel
55
b. Uji linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk melihat hubungan secara linear antara
variabel tipe kepribadian dengan problem solving appraisal, tipe kepribadian
dengan cognitive appraisal, dan cognitive appraisal dengan problem solving
appraisal.
Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada satu
variabel akan cenderung diikuti oleh perubahan variabel lainnya dengan
membentuk garis linear. Suatu hubungan dapat dikatakan linear apabila adanya
kesamaan variabel, baik penurunan maupun kenaikan yang terjadi pada kedua
variabel tersebut.
Uji linearitas pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS version
20.0 for Windows. Sepasang data dapat dikatakan memiliki hubungan yang
linear apabila memiliki nilai Sig. Linearity < 0,05. Hasil perhitungan uji
[image:42.595.117.512.216.616.2]linearitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.18. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal
ANOVAa
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1
Regression 22.686 1 22.686 .278 .601b
Residual 3345.500 41 81.598
Total 3368.186 42
a. Dependent Variable: Problem Solving Appraisal b. Predictors: (Constant), Tipe Kepribadian
Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,601 >
0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian
56
Tabel 3.19. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 276.998 1 276.998 3.372 .074b
Residual 3367.747 41 82.140
Total 3644.744 42
a. Dependent Variable: Cognitive Appraisal b. Predictors: (Constant), Tipe Kepribadian
Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,074 >
0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian
dengan cognitive appraisal tidak linear.
Tabel 3.20. Hasil Uji Linearitas antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 1027.689 1 1027.689 18.003 .000b
Residual 2340.497 41 57.085
Total 3368.186 42
a. Dependent Variable: Problem Solving Appraisal b. Predictors: (Constant), Cognitive Appraisal
Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,000 <
0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara cognitive appraisal
dengan problem solving appraisal linear.
2. Uji Korelasi
Uji korelasi merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji ada
atau tidaknya hubungan serta arah hubungan dari dua variabel atau lebih. Dalam
penelitian ini dilakukan uji korelasi untuk melihat apakah terdapat hubungan
antara variabel tipe kepribadian (independen), cognitive appraisal (mediator), dan
57
linear digunakan uji korelasi product moment Pearson sedangkan untuk data yang
tidak berdistribusi normal dan linear maka digunakan uji korelasi rank spearman.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan linearitas, data menunjukkan distribusi
yang normal dan linear sehingga uji korelasi menggunakan uji korelasi product
moment Pearson. Uji korelasi akan dilakukan dengan menggunakan bantuan
SPSS version 20.0 for Window. Setelah nilai koefisien korelasi didapatkan, maka
untuk menginterpretasikan koefisien korelasi tersebut digunakan pedoman sebagai
[image:44.595.111.513.172.698.2]berikut (Arikunto, 2010).
Tabel 3.21. Interpretasi Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,000 – 0,199 Sangat rendah
0,200 – 0,399 Rendah
0,400 – 0,599 Sedang
0,600 – 0,799 Kuat
0,800 – 1,000 Sangat kuat
3. Uji Signifikansi
Uji signifikansi dilakukan untuk menguji apakah hubungan yang ditemukan
berlaku untuk seluruh populasi atau tidak (Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini uji
signifikansi dilakukan dengan cara mengkonsultasikan angka Sig. dengan tingkat
kesalahan α = 0,05. Apabila nilai Sig. hubungan kedua variabel tersebut < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan.
Tabel 3.22. Kriteria Signifikansi Variabel
Kriteria
58
4. Uji Deteksi Pengaruh Mediasi
Suatu variabel dapat disebut sebagai variabel mediator apabila variabel
tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan prosedur causal steps yang
dikembangkan oleh Baron & Kenny (1986; dalam Andanawari, 2013). Dalam
pengujian causal steps, peneliti harus mengestimasi tiga persamaan regresi
sebagai berikut.
a. Persamaan regresi sederhana variabel mediator (M) pada variabel
independen (X).
b. Persamaan regresi sederhana variabel dependen (Y) pada variabel
independen (X).
c. Persamaan regresi berganda variabel dependen (Y) pada kedua variabel
independen (X) dan variabel mediator (M).
Berdasarkan hasil estimasi ketiga model regresi tersebut, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi agar tercapainya mediasi. Pertama, variabel
independen harus signifikansi mempengaruhi variabel mediator. Kedua, variabel
independen harus signifikan mempengaruhi variabel dependen. Ketiga, variabel
mediator harus signifikan mempengaruhi variabel dependen. Mediasi terjadi jika
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen lebih rendah pada
persamaan ketiga dibandingkan pada persamaan kedua (Baron & Kenny, 1986;
dalam Andanawari, 2013).
Pengujian hipotesis mediasi dapat dilakukan dengan prosedur Uji Sobel
(Sobel Test) yang dikembangkan oleh Sobel (Andanawari, 2013). Uji