• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIRGANTARA. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Kegiatan Keantariksaan MEDIA ISSN Majalah Ilmiah Populer. Vol. 9 No.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIRGANTARA. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Kegiatan Keantariksaan MEDIA ISSN Majalah Ilmiah Populer. Vol. 9 No."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA

ISSN 1907-6169

Majalah Ilmiah Populer

Vol. 9 No.4 Desember 2014

D

IRGANTAR

A

Pemanfaatan Teknologi Informasi

dalam Kegiatan Keantariksaan

(2)

PEMANFAATAN SCATTERGRAM PADA DATA LANDSAT 8 UNTUK MEMISAHKAN OBYEK LAUT DAN NON LAUT

MENDETEKSI AKTIVITAS MATAHARI DENGAN MENGAMATI EVOLUSI PLAGE DAN SUNSPOT MENGGUNAKAN SOFTWARE KESEHATAN

SINYAL RADAR VERY HIGH FREQUENCY (VHF) LAPAN MUATAN SATELIT METEOROLOGI

INTEROPERABILITAS DALAM IMPLEMENTASI PEMANFAATAN DATA DAN INFORMASI PENGINDERAAN JAUH

CUACA ANTARIKSA EKSTRIM: DAMPAKNYA PADA OPERASIONAL DAN SINYAL SATELIT

KEMUNGKINAN PEMBUATAN BETON DI BULAN (LUNAR CONCRETE) SEBAGAI SUATU KAJIAN

MANAJEMEN PAJAK BUMI BANGUNAN BERBASIS SISTIM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)

PEMANTAUAN BUMI NASIONAL: SISTEM INFORMASI PENDUKUNG MITIGASI KEBENCANAAN, PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN BERBASIS PEMETAAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

UPAYA LAPAN MEMBANGUN KETERBUKAAN INFORMASI

2

6

9

12

16

21

27

32

37

Pedoman Bagi Penulis Media Dirgantara

Media Dirgantara adalah majalah ilmiah populer yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk memasyarakatkan perkembangan iptek dirgantara secara nasional. Sifat populer berarti istilah teknis dijelaskan secara populer dengan bahasa sederhana, tidak menggunakan rumus-rumus dan tidak perlu daftar rujukan, kecuali menyebutkan sumber yang bersifat umum seperti lazimnya koran/ majalah populer. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi tulisan sangat diharapkan. Media Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah berupa hasil penelitian, kajian, pengembangan, pemikiran, ulasan atau berita kedirgantaraan yang belum dipublikasikan atau dikirim ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah dan kejelasan pemaparan. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya.

Naskah dikirimkan dalam format MS.Word ke Sekretariat Redaksi Media Dirgantara, Jl. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta 13220 atau melalui e-mail ke publikasi@lapan.go.id, m.dirgantara@hotmail.com.

HAL

DAFTAR ISI

45

`ˆÌi`Ê܈̅Ê̅iÊ`i“œÊÛiÀȜ˜ÊœvÊ ˜vˆÝÊ*ÀœÊ* Ê `ˆÌœÀÊ /œÊÀi “œÛiÊ̅ˆÃʘœÌˆVi]ÊۈÈÌ\Ê ÜÜÜ°ˆVi˜ˆ°Vœ“É՘œVŽ°…Ì“

(3)

SUSUNAN REDAKSI MEDIA DIRGANTARA, Vol. 9 No. 4 Desember 2014 ISSN 1907-6169 Keputusan Kepala LAPAN Nomor 260 Tahun 2014 Tanggal 8 Agustus 2014, Penanggung Jawab:

Ir. Agus Hidayat, M.Sc. Redaktur: Ir. Jasyanto, MM. Penyunting Penyelia: Ir. Eko Budi Purwanto, MT. Penyunting Pelaksana: Lely Qodrita Avia, S.Si, Samsul Arifin, S.Si, M.Si, Anwar Santoso, M.Si,

Fajar Iman Nugroho, ST, M.TI, Ir. Setiadi, MT. Bustanul Arifin, S.T. Sekretariat Redaksi: Adhi Pratomo, S.Sos, Dra. Sri Rahayu, M.Luthfi. Disain Grafis: Yudho Dewanto, ST.

Alamat Penerbit: BIRO KERJASAMADAN HUBUNGAN MASYARAKAT LAPAN Jl. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun Jakarta Timur13220

Telepon: (021) 4892802 (Hunting) Fax: (021) 47882726 e- mail: publikasi@lapan.go.id, m.dirgantara@hotmail.com

situs:http//www.lapan.go.id http//jurnal.lapan.go.id

Salam Dari Redaksi

Lapan sebagai instansi pemerintah memiliki 3 kedeputian dan 1 sekretariat utama yang mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing. Secara umum tugas fungsi dari beberapa kedeputan di Lapan antara lain : melakukan litbang keantariksaan dan kedirgantaran, memproduksi dan memanfaatkan data, mendistribusikan dan menginformasikan hasil karya, serta memberikan bimbingan kepada masyarakat terkait keantariksaan dan kedirgantaran.

Pada edisi terakhir tahun 2014, Media Dirgantara akan memberikan informasi karya anak bangsa baik yang bersifat aktual, faktual dan sosial dari berbagai kedeputian di Lapan. Kedeputian Penginderaan Jauh menyuguhkan tulisan berupa pengkajian scattergram untuk mengkelaskan obyek penutup lahan, sistem jaringan diseminasi melalui Web dan Sistem informasi Geografis untuk menajemen perpajakan sebagai bentuk pemanfaatan berbasis data penginderaan jauh. Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan menyajikan karya popular berupa status perubahan udara, mendeteksi aktifitas matahari, cuaca ektrim dan dampaknya. Kedeputian Bidang Teknologi Dirgantara menginformasikan karya dan kajiannya berupa muatan satelit meterologi dan pemanfaatan kamera Tetracam pada LSA. Sedangkan Sekretariat utama manyampaikan upaya yang dilakukan untuk keterbukaan informasi.

Demikian sekilas informasi isi dari Media Dirgantara pada edisi bulan Desember 2014. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Redaksi Media Dirgantara

(4)

PEMANFAATAN SCATTERGRAM PADA DATA LANDSAT 8 UNTUK MEMISAHKAN OBYEK LAUT DAN NON LAUT

Johannes Manalu - Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail : jo_manalu@yahoo.com

Pendahuluan

Landsat 8 adalah satelit observasi bumi Amerika yang diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013, merupakan satelit kedelapan dalam program Landsat yang berhasil mencapai orbit. Awalnya disebut Landsat Data Continuity Mission (LDCM), yang merupakan kolaborasi antara NASA dan United States Geological Survey (USGS).

Dengan selesainya misi Landsat 5 pada awal 2013, maka tinggal Landsat 7 sebagai satu-satunya satelit di orbit Program Landsat. Dipastikan Landsat 8 akan melanjutkan akuisisi dan ketersediaan data Landsat dengan memanfaatkan dua sensor yang terdiri dari Operasional Land Imager (OLI) dan Thermal InfraRed Sensor (TIRS). Kedua instrumen ini akan mengumpulkan data citra melalui sembilan kanal gelombang pendek dan dua kanal termal gelombang panjang. Satelit dirancang dan dikembangkan dengan waktu operasional 5, 25 tahun namun memiliki bahan bakar yang cukup untuk beroperasi lebih dari sepuluh tahun.

Sensor OLI Landsat 8 meningkatkan kemampuan sensor Landsat sebelumnya, menggunakan teknologi sensor Advanced

Land Imager yang diterbangkan pada saat eksperimental satelit NASA EO-1. OLI mengumpulkan data dengan sembilan kanal spektral. Dua kanal spektrum baru yaitu kanal pesisir/aerosol biru dan gelombang pendek inframerah kanal cirrus disatukan. Kemajuan ini memungkinkan para ilmuwan untuk mengukur kualitas dan meningkatkan deteksi ketinggian awan tipis.

Sensor OLI Landsat 8

Sensor TIRS Landsat 8

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

2

`ˆÌi`Ê܈̅Ê̅iÊ`i“œÊÛiÀȜ˜ÊœvÊ

˜vˆÝÊ*ÀœÊ* Ê `ˆÌœÀÊ /œÊÀi“œÛiÊ̅ˆÃʘœÌˆVi]ÊۈÈÌ\Ê

(5)

Karakteristik OLI Spectral Bands

Spectral Band Wavelength Resolution Band 1 - Coastal / Aerosol 0.433 - 0.453 µm 30 m

Band 2 - Blue 0.450 - 0.515 µm 30 m

Band 3 - Green 0.525 - 0.600 µm 30 m

Band 4 - Red 0.630 - 0.680 µm 30 m

Band 5 - Near Infrared 0.845 - 0.885 µm 30 m

Band 6 - Short Wavelength Infrared

1.560 - 1.660 µm 30 m

Band 7 - Short Wavelength Infrared

2.100 - 2.300 µm 30 m

Band 8 - Panchromatic 0.500 - 0.680 µm 15 m

Band 9 - Cirrus 1.360 - 1.390 µm 30 m

Karakteristik TIRS Spectral Bands

Spectral Band Wavelength Resolution Band 10 - Long Wavelength Infrared 10.30 - 11.30 µm 100 m

Band 11 - Long Wavelength Infrared 11.50 - 12.50 µm 100 m

TIRS dibangun oleh NASA Goddard Space Flight Center yang memungkinkan untuk perekaman termal dan mendukung aplikasi pengukuran tingkat evapotranspirasi pada pengelolaan air

Pada tulisan ini diuraikan peman-faatan scattergram dari data Landsat 8 level 1 G untuk memisahkan kelas laut dan non laut menggunakan kanal 2 dan kanal 3. Data Landsat 8 level 1 G adalah data yang sudah dikoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematis.

Pengolahan Data dan Hasilnya

Dengan menggunakan piranti lunak pengolahan citra, data dari Landsat 8 digunakan dan diolah sesuai dengan wilayah yang dianalisis. Dalam analisis ini dibuat garis pantai visual yang nanti dibandingkan dengan garis pisah darat dan laut hasil manual untuk menentukan akurasi hasil analisis scattergram.

Gambar Lokasi Penelitian

Scattergram merupakan teknik menilai kualitas data dan karakteristik sebaran contoh latihan atau contoh kawasan (training area) di dalam suatu citra secara geografis pada sebuah plot X-Y dengan menunjukkan hubungan nilai data antara dua buah band pada suatu citra (ErMapper, 2006).

Faktualita

(6)

Pengaturan Scatergram

Dari scattergram yang dihasilkan dapat dilihat ada dua pengelompokkan data.

Hasil Scattergram.

Hasil uji coba dengan membuat polygon didapat dua kelompok sebagai scattergram yang menunjukkan adanya indikasi kelas kelompok laut dan kelas kelompok non laut. Dengan membuat warna tampilan region di bawah berwarna merah jambu, maka kelas laut akan menjadi warna merah jambu. Selanjutnya dengan membuat warna tampilan region yang di atas berwarna merah, maka kelas non laut akan menjadi berwarna merah.

Pengaturan Scattergram Warna Tampilan Region Merah Jambu

Pengaturan Scattergram Warna Tampilan Region Merah.

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

(7)

Kelas Laut Berwarna Merah Jambu. Kelas Non Laut Berwarna Merah

menunjukkan akurasi mengkelaskan laut dan non laut secara visual cukup baik. Pengkelasan yang didapat adalah pengkelasan awal secara global, namun tidak dapat dihasilkan kelas yang detail.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Kustiyo, M.Si. dan Samsul Arifin, M.Si atas bimbingannya sehingga tulisan dapat terlaksana.

Penutup

Pengkelasan laut dan non laut menggunakan kanal 2 dan kanal 3 dari Landsat 8 dapat dilakukan menggunakan scattergram dari perangkat lunak yang memiliki fasilitas menu scattergram. Dari hasil uji akurasi secara visual dengan membuat overlay digitasi visual garis pantai dengan hasil olahan menunjukkan tidak ada kelas laut yang melewati garis pantai, atau kelas non laut yang melewati garis pantai. Hal ini dapat

(8)

Secara umum, struktur matahari terdiri dari dua bagian yaitu interior dan atmosfer. Interior matahari terdiri dari inti, lapisan radiatif dan lapisan konvektif yang berada di bawah permukaan optis yang tidak dapat diamati secara visual. Sedangkan bagian atmosfer terdiri dari fotosfer, kromosfer, korona dan heliosfer berada di atas permukaan optis yang dapat diamati secara langsung. Matahari berupa gas, tidak ada garis tegas yang memisahkan batas permukaan dan atmosfer. Maka diperlukan acuan permukaan yang bergantung kepada radiasi matahari. Foton menjalar secara random dari inti menuju permukaan. Selama propagasi foton mengala-mi proses serapan dan pancaran. Dengan demikian mean free path foton bertambah dengan cepat secara radial dari inti (karena densitas dan opasitas berkurang). Akhirnya foton mencapai kondisi dimana rata-rata mean free path menjadi sangat besar, sehingga foton akan lepas dari matahari. Titik tersebut dikenal sebagai permukaan matahari, yaitu tebalo ptis ô (ë) = 1. Tinggi permukaan bergantung pada ë atau absorpsi. Acuan permukaan secara visual adalah ô = 1 pada ë=5000 Å. Sedangkan mean free path adalah jarak rata-rata yang ditempuh partikel yang bergerak diantara tumbukan, yang dapat merubah arah, energi, maupun mempengaruhi partikel lain.

Beberapa peristiwa yang dapat diamati menggunakan filter Ca II K [Sumber : Vernazza et al.1981]

MENDETEKSI AKTIVITAS MATAHARI DENGAN MENGAMATI EVOLUSI PLAGE DAN SUNSPOT MENGGUNAKAN SOFTWARE KESEHATAN

Ubaydillah Yus’an dan Evaria Puspitaningrum - Mahasiswa Astronomi ITB e-mail : ubaydillay@xlfutureleaders.net, evaria.pn@gmail.com Judul di atas memang cukup ganjil

dimana aktivitas matahari merupakan obyek penelitian ilmu astronomi yang tentunya sangat berbeda dengan obyek penelitian di bidang kesehatan makhluk hidup. Skala yang digunakan astronomi tentunya juga jauh lebih besar dibandingkan dengan skala mikro yang digunakan dalam ilmu kesehatan. Namun korelasi dalam pengolahan data dapat kita temui dengan menggunakan piranti lunak (software) Image J yang dikembangkan oleh Institut Kesehatan Nasional Amerika. Sebelum membahas software lebih dalam, perlu diketahui apakah aktivitas matahari dan bagaimana kegiatan observatorium Bosscha di Lembang, Bandung mengamatinya.

Matahari merupakan sumber energi terbesar bagi bumi dan aktivitas yang terjadi di matahari akan mempengaruhi aktivitas manusia. Aktivitas matahari dapat diketahui melalui aktivitas magnetik yang terjadi pada siklus rata–rata 11 tahunannya. Aktivitas tersebut ditandai dengan munculnya plage dan sunspot (bintik hitam matahari). Luasan dan jumlah plage maupun sunspot dapat dijadikan sebagai indikator aktivitas Matahari. Plage berasal dari bahasa Perancis yang berarti pantai, karena plage mengelilingi sunspot sebagai pulaunya.

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

6

`ˆÌi`Ê܈̅Ê̅iÊ`i“œÊÛiÀȜ˜ÊœvÊ

˜vˆÝÊ*ÀœÊ* Ê `ˆÌœÀÊ /œÊÀi“œÛiÊ̅ˆÃʘœÌˆVi]ÊۈÈÌ\Ê

(9)

gelap pada deret Balmer yang dibentuk oleh Hidrogen pada panjang gelombang 656,28 newton meter yang muncul ketika hydrogen berpindah dari tingkat energi ke-3 menuju tingkat energi ke 2. Perbedaan dari kedua filter ini pada panjang gelombang dan ketinggian di atas permukaan fotosfer serta temperatur yang dapat teramati. Untuk filter Ca II-K, ketinggian teramati di atas fotosfer pada rentang 500 – 2000 kilo meter dan temperatur teramati di daerah ~12500 Kelvin. Sedangkan filter Há, ketinggian teramati adalah 0 < x <1750 kilo meter di atas fotosfer dan temperatur teramati di daerah ~5125 Kelvin. Pada artikel ini akan dibahas hasil pengamatan bintik matahari dan plage dengan filter Ca II-K dan cara pengolahannya.

Pengolahan data hasil pengamatan bintik Matahari digunakan metode tresholding dengan cara mencari batas dari nilai yang dipilih pada citra kemudian mengubahnya menjadi citra Biner (nilai piksel 1 atau 0). Nilai 1 digunakan untuk obyek pada citra (foreground), sedangkan nilai 0 untuk latar belakang citra (backgroud). Terdapat beberapa metode tresholding, diantaranya adalah metode Otsu (1979, dan metode Huang (1994). Metode Otsu meminimalisir the weighted sum of within-class variances dari piksel obyek dan latar pada citra untuk membuat treshold yang optimal. Metode ini memberikan hasil yang cukup baik jika nilai tiap piksel pada tiap kelas mirip.

Citra yang dihasilkan oleh metoda Otsu: (a) merupakan hasil Thresholding citra,

(b) menggunakan metode Otsu. [Sumber : Jurnal Otsu 1979]

Dari hasil pengamatan bertahun-tahun dari para ilmuwan dan astronom, ditemukan bahwa siklus puncak aktivitas matahari rata–rata muncul setiap 11 tahun. Namun para astronom belum menemukan sebab pasti dari siklus tersebut, mereka hanya menduga bahwa hal tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas magnetik di dalam matahari. Dari hasil pengamatan juga ditemukan bahwa peningkatan aktivitas matahari ditandai dengan meningkatnya jumlah atau luasan dari bintik matahari dan plage. Bintik matahari adalah daerah yang temperaturnya lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitarnya (~ 4000 – 5000 Kelvin), sehingga tampak gelap. Aktivitas magnetik pada bintik matahari sangat kuat dan bipolar. Ukuran bintik matahari antara 1500 – 50000 kilo meter dan memiliki kala hidup dari periode jam sampai bulan. Sedangkan plage adalah daerah yang umumnya muncul di sekitar bintik matahari, aktivitas magnetik pada plage relatif lebih rendah dibandingkan dengan bintik matahari sehingga plage terlihat lebih terang (putih) di citra Matahari.

Pengamatan pada aktivitas matahari bergantung pada filter yang digunakan dan untuk mendekteksi dan mengamati bintik Matahari dan plage digunakan filter Ca II-K atau filter Há. Filter Ca II-K mendeteksi kejadian pada panjang gelombang tertentu yang sama dengan garis penyerapan unsur Kalsium yang terionisasi Sedangkan Há merupakan garis spektrum berwarna merah .

Faktualita

(10)

Citra kanan merupakan hasil Thresholding, dan citra kiri menggunakan metode Huang. [Sumber : Jurnal Huang 1994]

Coupled Device (CCD) adalah sebuah sirkuit terpadu yang terukir pada permukaan silikon, membentuk elemen peka cahaya yang disebut pixel yang digunakan sebagai sensor untuk merekam gambar setara dengan 2,66 arcsec. Sedangkan satu arsec pada Matahari sama dengan berapa kilo meter dapat dihitung dengan membagi radius Matahari dengan semi diameter Matahari pada tanggal pengamatan. Maka, satu piksel pada CCD dapat dihitung dengan mengalikan ukuran satu piksel dalam arcsec pada CCD dengan satu arsec pada Matahari dalam kilo meter.

Dengan menggunakan piranti lunak ImageJ, dapat dihitung luas dari bintik Matahari dan plage yang terekam oleh citra karena struktur dari plage dan sunspot pada citra matahari memiliki kemiripan dengan kejadian yang ada pada ilmu kesehatan, seperti sel maupun organisme kecil lain. Selanjutnya pengukuran secara berurutan dalam skala tertentu akan didapatkan evolusi luas dari plage dan sunspot tersebut. Data tersebut dapat di plot dan dikorelasikan dengan data aktivitas matahari. Jika plage dan sunspot berevolusi semakin luas, maka dapat dikatakan bahwa matahari sedang mengalami peningkatan aktivitasnya. Begitu juga sebaliknya.

Teleskop Surya Observatorium Bosscha dengan spesifikasi teleskop Coronado Ca II K (diameter 60 mm/fokus 6.6), Detektor Imaging Source, dan dipasang pada mounting vixen spinx. Sumber: dokumentasi Observatorium Bosscha

Sedangkan metode Huang merupa-kan metode tresholding berbasis fuzzy entropy yang memanfaatkan histogram piksel pada citra, sehingga tidak perlu menangani setiap piksel secara individual. Metode ini membuat fuzziness dengan mengukur jarak antara citra abu-abu dan citra biner. Treshold optimal akan diperoleh dengan meminimalkan nilai indeks fuzziness.

Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dengan menggunakan Teleskop Surya Observatorium Bosscha, seperti ditampilkan pada gambar di atas. Piranti lunak ImageJ sebenarnya ditujukan untuk pengolahan data dalam dunia kedokteran atau biologi, namun dapat dimanfaatkan untuk pengolahan citra Matahari. CitraMatahari diambil menggunakan filter Ca II K skala satu piksel, sehingga harus diubah terlebih dahulu ke skala kilo meter.Untuk itu harus diketahui radius Matahari (696,342 ± 65 kilo meter) dan semi diameter Matahari pada tanggal pengamatan dari The Astronomical Almanac. Selain itu harus diketahui ukuran piksel dari detektor yang digunakan. Pada pengamatan ini digunakan Imaging Source dengan ukuran 4,65 mikron. Teleskop Surya memiliki panjang fokus 360 milimeter, sehingga ukuran satu piksel pada

Charge-Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

(11)

SINYAL RADAR VERY HIGH FREQUENCY (VHF) LAPAN

Peberlin Sitompul - Peneliti Pusat Sains Antariksa

e-mail: peberlin_sitompul@yahoo.com, peberlin@bdg.lapan.go.id Radar adalah suatu alat yang bisa

digunakan untuk mengukur jarak, kecepatan target, bahkan karakter dari target. Prinsip kerja radar adalah: pemancar membangkitkan energi gelombang elektromagnet dan dipancarkan oleh antena. Gelombang yang mengenai target (sasaran) akan dipantulkan ke segala arah. Sebagian gelombang pantul akan tertangkap oleh antena penerima dan dilakukan proses identifikasi. Dengan mengetahui waktu yang diperlukan untuk mencapai benda dan dipantulkan kembali maka bisa dihitung jarak benda pemantul terhadap radar. Ilustrasi pengukuran oleh radar ditampilkan pada gambar berikut.

Sinyal yang diterima kemudian diolah untuk mendapatkan 3 parameter yaitu: Frekuensi dopler ( ), Intensitas daya (P), dan Lebar spektral ( ). Intensitas daya dan lebar spektral berkaitan dengan sifat obyek terhadap gelombang radio. Sedangkan frekuensi spektral berkaitan dengan kecepatan gerak obyek. Jadi ketiga parameter tersebut bisa menunjukkan keadaan obyek.

Terlihat pada diagram blok, radar mesosfir-stratosfir-troposfir (MST) yang terdiri dari pemancar (TX), penerima (RX), pengontrol radar, decode, pemroses sinyal.

Prinsip Pengukuran dan Sinyal Echo Radar

Diagram blok radar secara umum

Faktualita

(12)

Sistem Radar VHF

Dari diagram blok radar VHF terlihat bahwa sinyal pantulan diterima pada sisi antena penerima, RX-Front end, penguat, filter, mixer, kemudian sinyal digeser menjadi in-phase (I) dan quadrature-phase (Q) yang berbeda fase 90 derajat. Dalam hal ini sinyal I dan Q masih dalam bentuk sinyal analog. Supaya sinyal bisa diolah dan disimpan secara digital, maka sinyal harus dicacah. RX-Front end terdiri dari 3 masukan (RF In), masuk ke limiter, Band Pass Filter (BPF), mixer, Quadra-ture Modulation (QM), Low Pass Filter (LPF). Aliran sinyal dari RX-Front End ditunjukkan pada gambar berikut.

Data keluaran radar VHF I dan Q tersimpan dalam bentuk format .txt, dan untuk melihat frekuensi yang terkan-dung dari sinyal yang diterima digunakan tool FFT Matlab dan tool periodogram Matlab. Analisis ini untuk mengetahui apakah sinyal mengandung hamburan atau tidak dan berapa besar daya yang terkandung di masing-masing frekuensi. Sinyal yang akan dianalisis dicacah 1 MHz, dengan menggunakan ADC card adlink PCI 9820.

Gambar dan hasil analisis menunjukkan bahwa spektrum sinyal radar VHF mempunyai frekuensi : (0.25, 0.5, 7.5, 1, 1,25, 1.5, 1.75, 2, 2.25, 2.5 2.75, 3, 3.25, 3.5, 3.75, 4, 4.25, 4.5, 4.75) x 10e5 Hz. Puncak-puncak sinyal ada di 0 Hz (DC), 50 Khz, 250 kHz dan 425 kHz. Dari puncak-puncak sinyal ini, terlihat ada harmonisasi dengan frekuensi 175-200 kHz.

Gambar di kanan menunjukkan kerapatan daya sinyal. Daya derau lingkungan ada di sekitar 110 dB. Besar daya pada puncak-puncak terjadi pada frekuensi 250

Diagram blok radar VHF

Diagram blok penerima radar VHF

(a) (b)

Gambar (a) Contoh data radar VHF, sebelah kiri (I) dan sebelah kanan (Q), (b) Spektrum sinyal radar VHF

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

(13)

kHz dan 425 kHz sebesar -40 dB. Sinyal-sinyal yang diperoleh bukan sinyal yang diinginkan. Perlu dilakukan penyaringan tambahan dan juga perbaikan sistem antena, penguat sinyal untuk menghilangkan sinyal-sinyal yang tidak diinginkan. Dengan menambah filter dengan lebar pita terbatas dan daya pancaran, sehingga pantulan dari atmosfer bisa diperoleh.

Radar VHF

dibangun untuk

pengukuran kecepatan angin di atmosfer dan juga reflektifitas atmosfer. Gambar di atas adalah salah satu contoh hasil pengukuran kecepatan angin vertikal pada ketinggian 1,5 – 16,5 km dengan kecepatan maksimum sekitar 2,9 meter per detik. Tanda negatif menunjukkan arah

Kerapatan daya spektrum sinyal radar VHF

Contoh hasil pengukuran kecepatan angin dan reflektifitas atmosfer

angin ke atas atau ke bawah. Dari hasil ini bisa diketahui kecepatan angin dan arahnya, dan intensitas reflektifitas pada ketinggian tersebut. Untuk ketinggian 1,5 hingga 16 km diketahui bahwa intensitas maksimum sekitar 7,2 desiBell (dB).

Faktualita

(14)

MUATAN SATELIT METEOROLOGI

Widodo Slamet - Peneliti Pusat Teknologi Satelit e-mail: wid_slamet@yahoo.com Menghadapi dan mengetahui kondisi

alam untuk jangka waktu tertentu ke depan, manusia bisa merancang kegiatannya agar sesuai dengan keadaan alam tersebut. Untuk hal ini, manusia perlu perkiraan iklim dan cuaca skala regional atau global. Oleh karena itu diperlukan data-data yang berhubungan dengan iklim atau cuaca, seperti keadaan awan di suatu tempat, temperatur atmosfer, dan sebagainya.

Untuk pengamatan lingkungan bumi dan fenomenanya diperlukan berbagai instrumen canggih. Misalnya instrumen yang bisa mendeteksi pergerakan gelombang laut dan temperatur atmosfer yang berlapis-lapis untuk meramalkan adanya badai. Dalam hal ini komputer dan detektor-detektor canggih dapat membantu dalam pengamatan lingkungan bumi untuk meramalkan iklim dan cuaca lebih akurat. Pada tulisan ini akan dibahas beberapa instrumen penting pendukung utama misi satelit meteorologi atau cuaca.

Radiometer

Radiometer sebagai muatan utama satelit meteorologi atau satelit cuaca adalah alat yang dapat mengukur secara kuantitatif jumlah radiasi elektromagnet pada spektrum panjang gelombang tertentu. Spektrum yang paling banyak digunakan adalah cahaya tampak, termal, dan infra merah.

Radiometer terdiri dari sistem optik, sistem scanning, dan sistem elektronik beserta kalibrasinya. Sistem optik terdiri dari susunan lensa yang berfungsi menangkap radiasi gelombang elektro magnet dan memfokuskannya ke detektor. Sistem scanning adalah sistem mekanik yang membuat instrumen ini berosilasi atau memutar cermin saat melakukan pemindai (scan) pada waktu beroperasi. Swat width merupakan lebar area yang terlihat oleh satelit meteorologi yaitu 1500 km dari sisi ke sisi garis orbit.

Radiasi yang diterima, diuraikan secara optik menjadi berbagai panjang gelombang, dan tiap-tiap panjang gelombang difokuskan ke detektor-detektor yang disusun berjajar dalam array. Sistem elektronik terdiri dari suatu array dari detektor-detektor dan pemroses sinyal yang berbeda-beda sesuai panjang gelombang yang diterimanya. Array

Radiometer moda sounding adalah ra-diometer khusus yang mengukur perubahan temperatur atmosfer pada ketinggian tertentu dan uap air yang dikandungnya. Radiometer akan mengeluarkan gelombang bunyi vertikal ke atmosfer untuk mendeteksi berbagai ra-diasi di berbagai tingkat atmosfer. Rara-diasi yang ditangkap tergantung pada tingkat serapan dan emisi atmosfer, terutama temperatur dan kelembabannya. Selanjutnya fluks radiasi yang diterima oleh sensor radiometer, diproses oleh komputer untuk menghasilkan profil detektor ini terletak pada bidang fokus sistem optik yang akan mengubah radiasi menjadi tegangan listrik. Tegangan listrik diterima oleh unit pemroses sinyal yang kemudian diperkuat (diamplifikasi), difilter dan sebagainya. Hasil pemrosesan ini dikonversi dalam format digital sesuai keinginan yang akan ditransmisikan ke pusat kendali di stasiun bumi. Radiometer juga dilengkapi dengan sistem kalibrasi untuk menjaga keakuratan data, terutama temperatur.

Berdasarkan moda operasinya, ada dua jenis radiometer yaitu radiometer moda imaging dan radiometer moda sounding. Moda imaging bekerja berhubungan dengan gambar (imager) sedangkan moda sounding berhubungan bunyi (sound).

Dengan imager akan terukur temperatur permukaan bumi, permukaan laut, atmosfer, dan awan. Satelit akan melakukan scan terhadap permukaan bumi dan atmosfer, dan mengumpulkan data radiasi. Kumpulan data dapat digunakan untuk pemetaan gambar, seperti ditampilkan pada skematik radiometer moda imaging.

Skematik radiometer satelit meteorologi moda imager

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

12

`ˆÌi`Ê܈̅Ê̅iÊ`i“œÊÛiÀȜ˜ÊœvÊ

˜vˆÝÊ*ÀœÊ* Ê `ˆÌœÀÊ /œÊÀi “œÛiÊ̅ˆÃʘœÌˆVi]ÊۈÈÌ\Ê

(15)

Skematik Radiometer moda sounding

temperatur atmosfir. Gambar di bawah menunjukkan skematik radiometer moda sounding.

Altimeter

Altimeter adalah alat untuk mengukur kedalaman suatu permukaan daratan atau lautan. Sistem kerja altimeter adalah mengukur waktu perjalanan sebuah pulsa dengan lebar pita (bandwidth) yang sangat sempit dengan durasi berorde nanodetik.

Altimeter akan mengirim pulsa secara vertikal ke arah permukaan bumi. Dengan mencatat waktu yang diperlukan pulsa kembali ke satelit, dapat ditentukan jarak antara permukaan bumi dan satelit dengan tingkat kesalahan beberapa centimeter. Dengan akurasi ini, maka altimeter bisa digunakan untuk menghitung kedalaman lautan atau ketinggian daratan, mengukur relief (roughness) daratan, kekuatan arus laut, ketinggian gelombang laut, dan gerakan lain di atas permukaan laut. Ilustrasi sistem kerja altimeter disajikan pada gambar di bawah ini.

Ilustrasi sistem kerja altimeter

(16)

Light Detection and Ranging

(LIDAR)

Prinsip kerja LIDAR sama dengan radar, tetapi menggunakan pulsa sinar laser. LIDAR mengirim berkas cahaya laser melalui atmos-fer, dan partikel yang terkena sinar ini akan menunjukkan gejala hamburan. Sebagian dari hamburan itu akan ditangkap oleh resiver, dan waktu bergerak dari transmisi ke resiver, frekuensi dan amplitudo pulsa diukur oleh resiver LIDAR. Kelebihan sinar laser adalah akurasinya lebih baik dibandingkan gelombang mikro, dapat mendeteksi partikel sangat kecil, dan mendeteksi lapisan sangat tipis. Dengan demikian akan membantu untuk memperkirakan di wilayah mana

akan terbentuk awan. Sistem kerja scatterometer.

Scatterometer

Scatterometer adalah sensor radar yang menggunakan gelombang mikro untuk mengukur efek hamburan (scattering) gelombang elektromagnet dari permukaan bumi. Sensor ini termasuk sensor aktif yang dapat mengemisikan energi gelombang pulsa radar yang mempunyai durasi milidetik, yang akan mendeteksi frekuensi dan intensitas pulsa hamburan. Gelombang laut akan memantulkan gelombang ini dengan energi kuat, sedangkan permukaan laut yang tenang akan memantulkan gelombang ini dengan energi lemah. Dengan instrumen ini satelit dapat memperkirakan arah dan ukuran gelombang laut. Gambar di bawah memperlihatkan sistem kerja scatterometer.

Synthetic Aperture Radar (SAR)

Hampir semua satelit meteorologi membawa muatan SAR yaitu radar tipe khusus yang menggunakan antena kecil namun mempunyai kemampuan seperti antena besar. Prinsip kerja SAR yaitu mengirim pulsa gelombang mikro dan mengukur intensitas, waktu tunda, dan frekuensi pantulan pulsa itu. Intensitas pulsa yang ditangkap kembali tergantung pada sifat hambur permukaan obyek yang disasar oleh pulsa itu, misalnya konstanta dielektiknya, sudut jatuh dan frekuensi pulsa. Informasi mengenai waktu dan frekuensi dapat digunakan untuk menentukan distribusi dan gerak partikel di atmosfer.

LIDAR juga digunakan untuk mengukur jarak antara awan dan lapisan aerosol, mendeteksi debu, sampah antariksa, meteor dan abu gunung berapi di lapisan stratosfer. Dengan prinsip efek Doppler dapat diukur kecepatan putaran angin dan diprediksi intensitas badai yang akan terjadi.

Satelit Meteosat Second Generation (MSG)

Contoh satelit meteorologi adalah Meteosat Second Generation (MSG) atau Meteosat. Diluncurkan tahun 2004 berorbit GEO pada posisi 00, pada ketinggian 36.000

km sebagai pengganti generasi sebelumnya Meteosat Operational Programme (MOP).

Tujuan Misi

1. Penyedia gambar bumi atau bagian bumi menggunakan frekuensi cahaya tampak (visible) dan infra merah dari ketinggian orbit GEO.

2. Menyebarluaskan gambar dan data meteorologi.

3. Mengumpulkan data menggunakan instrumen Data Collection Platforms (DCPs) dan mengirimkannya ke bumi bersama gambar.

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Faktualita

(17)

Pada panjang gelombang cahaya tampak (0,5 – 0,9 mm) satelit menerima pantulan berkas cahaya dari permukaan bumi dan atmosfer. Sinyal keluaran diproses dan menghasilkan gambar dengan tampilan lautan tampak lebih gelap, sedangkan awan tampak putih. Satelit ini dilengkapi dengan instrumen pengukuran kecepatan angin, sehingga dengan mengamati pergerakan awan dapat diprediksi akan turun hujan atau tidak.

Pada panjang gelombang infra merah (antara 10,5 mm dan 12,5 mm) instrumen akan mengukur radiasi dari bumi dan awan yang akan menginformasikan temperatur permukaan bumi. Dari analisa panjang ge-lombang infra merah antara 5,7 mm dan 7,1 mm dapat diperoleh informasi tentang pe-nguapan air dan serapan uap air di atmosfer.

Desain

Satelit Meteosat berbentuk silinder dengan diameter 3,2 m dan tinggi 2,4 m. Stabilisasi satelit ini menggunakan putaran atau spin dengan kecepatan 100 rpm (putaran per menit) berlawanan arah dengan jarum jam. MSG pertama, yang diberi nama Meteosat-8, mulai beroperasi pada 29 Januari 2004. Satelit ini membawa dua muatan yaitu Spinning Enhance Visible and Infrared Imager (SEVIRI) dan Geostationery Earth

Radiation Budget (GERB). Pusat kendali satelit MSG di Damstadt, Jerman Antena despun elektrik yang dipasang pada bagian atas satelit dengan gain tinggi untuk mengirim raw data ke stasiun bumi. Sistem komunikasi menggunakan repeater yang dapat mendistribusikan secara langsung ke pengguna yang tercakup dalam liputan satelit, dan juga dapat memproses data yang dikirim balik dari pusat kendali dengan frekuensi yang berbeda. Gambar di bawah menampilkan satelit Meteosat generasi ke dua, dan ruang kendali di stasiun bumi. Tahun 2010 diluncurkan satelit Meteosat 6, 7 yang mengorbit di atas lautan Hindia, sedangkan Meteosat-8 dan 9 berlokasi di atas Afrika.

Usia teknis Meteosat 10 tahun, kendali attitude sistem spin dan stabilisasi tiga sumbu, dengan propulsi digunakan untuk mengubah konfigurasi.

Satelit Meteosat (MSG) dalam bentuk terbuka (kiri), dan saat berada di orbit (kanan)

Faktualita

(18)

INTEROPERABILITAS DALAM IMPLEMENTASI PEMANFAATAN DATA DAN INFORMASI PENGINDERAAN JAUH

Taufik Hidayat, Samsul Arifin - Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail : lpntaufik@gmail.com

Interoperabilitas adalah suatu ke-mampuan berbagai ragam sistem atau aplikasi untuk bekerja sama, dan dapat berinteraksi dengan aplikasi lainnya yang berbeda untuk memungkinkan terjadinya pertukaran data/ informasi melalui suatu protocol yang disetujui bersama, melalui bermacam-macam jalur komunikasi, yang biasanya menggunakan jalur network Transmission Control Protocol/ Internet Protocol (TCP/IP) dan protocol Hypertext Transfer Protocol (HTTP) dengan memanfaatkan file eXtensible Markup Language (XML).

Dalam perkembangannya, sistem-sistem informasi yang bersifat sektoral pada akhirnya akan membuat “pulau-pulau data/ informasi”. Pengguna potensial “pulau-pulau

data/informasi” tersebut adalah lembaga/ instansi yang tidak mampu memperoleh data mereka sendiri, atau data dari luar yurisdiksinya. Oleh karena itu otomatisasi pekerjaan melalui komputerisasi perlu dilakukan untuk menyediakan akses data/ informasi yang tersimpan di tempat lain, yang ditujukan untuk pengguna potensial tersebut. Persoalan mulai muncul saat ada kebutuhan data atau informasi yang bersifat lintas sektoral. Kebutuhan data seperti ini tidak bisa dipenuhi oleh satu sumber informasi saja, sehingga diperlukan komposisi dari dua atau lebih sumber data. Dalam kenyataannya, permintaan terhadap data komposit semakin hari semakin tinggi, karena banyak urusan

Kebutuhan data multisektoral untuk penanganan bencana dengan memanfaatkan data dan informasi penginderaan jauh.

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

Aktualita

16

`ˆÌi`Ê܈̅Ê̅iÊ`i“œÊÛiÀȜ˜ÊœvÊ

˜vˆÝÊ*ÀœÊ* Ê `ˆÌœÀÊ /œÊÀi “œÛiÊ̅ˆÃʘœÌˆVi]ÊۈÈÌ\Ê

(19)

lembaga terkait. Contoh kebutuhan informasi untuk penanganan bencana dengan memanfaatkan data dan informasi penginderaan jauh, seperti ditampilkan pada gambar di bawah ini. Terdapat beberapa sistem informasi yang semuanya digunakan sebagai sumber data bagi sebuah aplikasi lain yang berfungsi mengkompilasi laporan tentang korban dan kerusakan akibat bencana.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sistem informasi yang digunakan di kementerian/lembaga dibangun menggunakan komponen-komponen yang berbeda. Heterogenitas ini terjadi pada perangkat keras, sistem operasi, program aplikasi, maupun sistem basis data yang digunakan. Muncullah isu interoperabilitas: “bagaimana sistem-sistem yang berbeda tersebut dapat saling berkomunikasi dan bertukar data dengan baik, bagaimana sistem penyusun aplikasi dapat menggunakan data yang dikelola oleh sistem aplikasi informasi lain”.

Format dan Mekanisme Pertukaran Data

Menurut Lukito Edi Nugroho dosen Magister Teknologi Informasi Fakultas Teknik UGM “dalam pertukaran data antar aplikasi komputer yang berbeda, masalah utamanya terletak pada format data”. Perbedaan format data menyebabkan data dari satu aplikasi tidak bisa begitu saja dikirimkan ke aplikasi lain, dan digunakan oleh aplikasi lainnya. Untuk itu diperlukan sebuah format “netral” yang tidak memihak ke salah satu aplikasi dan disepakati oleh kedua pihak. Format netral ini kemudian digunakan sebagai format “antara” dalam pengiriman data seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Penggunaan format netral juga meningkatkan ekstensibilitas; aplikasi yang lain dapat pula memanfaatkannya, tanpa harus mengetahui format aslinya.

Penggunaan format netral untuk meningkatkan ekstensibilitas

bersifat multisektoral. Contohnya, penanganan pasca-bencana, penanganan wabah penyakit, penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan pengembangan industri kecil.

Interoperabilitas Pertukaran Data dan Informasi

Pemenuhan kebutuhan data dan informasi multisektor perlu ditangani secara komprehensif. Persoalannya tidak sekedar mencari solusi-solusi teknis melalui penerapan Teknologi Informasi (TI) semata, tetapi harus ada dukungan protokol dan kebijakan dari pihak otoritas. Faktor protokol dan kebijakan menjadi penting karena sumber-sumber data dan informasi berada di otoritas yang berbeda, dan penyusunan informasi lintas sektor melibatkan pertukaran data/informasi di antara instansi-instansi tersebut. Pengaturan pada tataran kebijakan ini diperlukan untuk menjamin lancarnya proses pertukaran data antar instansi. Tujuan mekanisme pertukaran data adalah mencapai tingkat interoperabilitas yang tinggi sehingga transfer data dari suatu sumber ke tujuan dapat dilakukan tanpa memperdulikan ragam perbedaan platform, pada perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan.

Pengolahan data sangat tergantung pada kemampuan komputer, jaringan komputer, basis data, dan perangkat lunak aplikasi yang digunakan. Dalam berbagai kasus, pengolahan data tidak lagi dipandang sebagai komputasi yang dilakukan pada satu komputer saja, tetapi melibatkan juga komunikasi data antar komputer. Komunikasi data diperlukan dalam konteks untuk menyusun informasi yang bersifat lintas sektoral. Kebutuhan ini muncul untuk pengambilan keputusan strategis yang melibatkan beberapa kementrian atau

Aktualita

(20)

Perkembangan terkini, format netral untuk pertukaran data banyak dijalankan oleh eXtensible Markup Language (XML). XML adalah sebuah format dokumen yang mampu menjelaskan struktur dan semantik (makna kata ) dari data yang dikandung oleh dokumen tersebut. Format XML lebih fokus pada substansi data, sehingga lebih cocok digunakan sebagai media pertukaran data, data yang ditransfer tidak “hilang”. Sedangkan format HTML lebih berorientasi pada tampilan.

Dengan karakteristik tersebut, XML telah menjadi standar de facto bagi pertukaran data antar aplikasi komputer. Spesifikasi formatnya telah distandarkan menjadi referensi bagi tiap aplikasi komputer yang memerlukannya.

Masalah lain dalam pertukaran data antar aplikasi komputer adalah mekanisme pertukarannya. Umumnya aplikasi-aplikasi yang berkomunikasi saling bebas (independent) karena dibuat oleh pengembang yang berbeda. Padahal untuk bisa berkomunikasi, sebuah aplikasi harus tahu cara menghubungi dan struktur datanya. Ini berarti memberitahu detil internal dari aplikasi tersebut, salah satunya adalah menggunakan Service-Oriented Architecture (SOA).

Skema Konsep Layanan

SOA adalah sebuah skema komunikasi antar aplikasi, dilakukan dimana masing-masing pihak tidak perlu punya ketergantungan satu sama lain (loosely coupled). Dalam SOA, komunikasi didasarkan pada menyediakan layanan dan aplikasi lain bisa meminta layanan tersebut. Permintaan terhadap layanan dilakukan dengan cara memanggil sebuah fungsi yang merepresentasikan (mewakili) layanan tersebut. Bila sebuah fungsi dipanggil, maka aplikasi penyedia layanan wajib memberikan layanan ke aplikasi pemanggil.

net, cukup sintaks fungsinya saja yang perlu diketahui. SOA bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Server tidak perlu menunjukkan detil-detil data yang mungkin bersifat sensitif atau rahasia, sementara sebuah client tetap bisa meminta data yang diinginkannya kepada server. Hubungan sistem komunikasi ditampilkan pada gambar di bawah ini.prinsip client-server. Ada aplikasi yang konsep layanan (service) menggunakan SOA diimplemen-tasikan dengan teknologi berbasis web service, yang menyediakan abstraksi seragam bagi aplikasi-aplikasi client-server. Pada dasarnya aplikasi server dan client dapat dikembangkan dengan berbagai perangkat keras, sistem operasi, bahasa pemrograman, dan sistem basis data. Kemudian aplikasi ini dikemas sehingga bisa diakses dengan menggunakan protokol dan format standar web (http dan XML). Web sendiri sudah dikembangkan sebagai sebuah platform standar, maka web service menjadi sebuah pilihan yang menjanjikan.

Penggunaan teknologi web service, maka dimungkinkan komunikasi antara dua aplikasi yang berbeda. Independensi dan otonomi inilah yang menjadi syarat penting dalam pertukaran data dan informasi antar instansi. Teknologi web service dengan XML sebagai format standar pertukaran data, memungkinkan hal itu dilakukan dengan mudah.

Implementasi Interoperabilitas dalam Pemanfaatan Data dan Informasi

Konsep Interoperabiltas sudah digunakan oleh Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) dalam membangun sistem pusat Pemantauan Bumi Nasional sejak tahun 2012 dan sampai sekarang masih dalam pengembangan dan diharapkan tahun 2015 sudah dapat beroperasi maksimal. Implementasi interoperabilitas dalam pemanfaatan data dan informasi disajikan pada gambar dibawah ini.

Mekanisme SOA yang bersifat loosey-coopled (Client-Server)

Terdapat antar muka (interface) yang secara tegas memisah kan bagian yang bersifat publik (boleh diketahui oleh aplikasi lain), dan bagian yang bersifat privat (aplikasi lain tidak boleh tahu). Dengan adanya antar muka ini, aplikasi client tidak perlu tahu tentang detil-detil

inter-Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

18

(21)

Sistem Pemantauan Bumi Nasional yang dibangun Pusfatja menggunakan teknologi web services untuk mendukung interoperabilitas mesin ke mesin melalui jaringan. web services memiliki antarmuka dalam format Web Service Description Language (WSDL) yaitu sebuah XML-based language untuk mendeskripsikan XML. WSDL memfasilitasi komunikasi antar aplikasi dan mendeskripsikan apa yang akan dilakukan oleh web service.

Sistem Pemantauan Bumi Nasional menarik data penginderaan jauh (Landsat-8, SPOT-5, NOAA, Terra, Aqua dan MTSAT) dari Pustekdata dengan mengguna-kan konsep interoperabilitas. Data yang telah diolah oleh sistem pemantauan bumi nasional menjadi informasi, kemudian didiseminasi melalui web services ke lembaga/kemen-terian yang membutuhkan informasi tersebut. Hingga saat ini, ada dua belas informasi

Implementasi Interoperabilitas dalam Pemanfaatan Data dan Informasi untuk Pemantauan Bumi Nasional

pemantauan bumi yang sudah beroperasi yaitu:

1. Perubahan lahan hutan non-hutan dari tahun 2000 hingga 2012,

2. Fase pertumbuhan padi di lahan sawah, 3. Sumberdaya air danau,

4. Zona potensi penangkapan ikan, 5. Mangrove,

6. Terumbu karang, 7. Potensi banjir harian,

8. Sistem peringkat bahaya kebakaran, 9. Titik api dan kebakaran lahan/hutan, 10. Tingkat kekeringan lahan,

11. Respon bencana, dan 12. Gunung api.

Salah satu contoh informasi yang sudah dapat ditampilkan adalah informasi perubahan lahan hutan non hutan, seperti gambar di bawah ini.

19

(22)

produksi informasi ke dalam suatu sistem, (2) memberikan jaminan adanya interoperabilitas dan kemudahan akses informasi tersebut, (3) meningkatkan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan dan mitigasi bencana. Pada akhirnya kesemua ini adalah dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan.

Persoalan interoperabilitas pada pertukaran data dan informasi bukanlah masalah teknis semata, namun perbedaan antar aplikasi yang saling berkomunikasi merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini memungkinkan dibangunnya interoperabilitas dengan perbedaan aplikasi. Jadi solusinya adalah perlunya “pemaksaan” pada ranah kebijakan. Hal ini diperlukan untuk menyeragamkan format dan mekanisme pertukaran data dan informasi antar instansi. Isu-isu terkait keamanan dan integritas data, pembagian kewenangan dan masalah legal harus diatur, untuk menjamin pertukaran data dan informasi dapat dicapai. Dengan demikian pertukaran data dan informasi antar instasi dapat berjalan dengan baik, efisien, dan menghemat anggaran.

Pada gambar di atas, sebelah sisi kiri akan terlihat legenda yang memberikan informasi tutupan hutan yang meliputi hutan (hijau) dan non hutan (coklat) dan informasi perubahan hutan yang merupakan penyusutan hutan dan penambahan hutan yang warnanya dibedakan sesuai dengan tahun dimana informasi tersebut dibuat. Sedangkan pada sisi kanan menunjukan gambar (image) tutupan hutan dan perubahannya. Tampilan gambar dinamis artinya bahwa gambar dapat diperbesar dan diperkecil sesuai dengan keperluan (dengan menu ). Pengguna juga dapat mencetak gambar (menu ) dan mengunduh gambar (menu ). Data masu-kan untuk Sistem Pemantauan Bumi Nasional adalah data spasial, yaitu data memuat lokasi geografis objek dalam peta menggunakan sistem koordinat yang disajikan dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data spasial direpresentasikan dalam dua model yaitu model data vektor dengan format shapefile dan model data raster dengan format Tiff, GIF.

Pufatja yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan penelitian dan pengembangan pemanfaatan penginderaan jauh, mencanangkan pengembangan Sistem Pemantauan Bumi Nasional dengan tujuan: (1) mengintegrasikan semua hasil litbang dan

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

20

(23)

CUACA ANTARIKSA EKSTRIM: DAMPAKNYA PADA OPERASIONAL DAN SINYAL SATELIT

Anwar Santoso - Peneliti Pusat Sains Antariksa e-mail : anwar.santoso@lapan.go.id Cuaca antariksa adalah istilah yang

menggambarkan kondisi di Matahari, angin surya, magnetosfer, ionosfer, dan termosfer, yang dapat mempengaruhi kinerja dan kehandalan dari berbagai sistem peralatan berteknologi tinggi landas bumi dan landas antariksa serta juga dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia. Banyaknya sistem peralatan berteknologi tinggi yang dipengaruhi oleh cuaca antariksa diilustrasikan pada gambar di bawah ini.

menghasilkan gangguan yang dinamakan badai geomagnet (geomagnetic storm). Jumlah partikel-partikel angin surya akan semakin dalam masuk ke magnetosfer bumi ketika pada saat tumbukan, medan magnet antar planetnya sedang mengarah ke selatan (southward interplanetary magnetic field; IMF Bz). Hal ini dikarenakan interaksi antara IMF Bz (mengarah ke selatan) dan garis gaya medan geomagnet (mengarah ke utara) di sisi siang bumi menyebabkan daerah ini mudah ditembus oleh partikel-partkel angin surya. Peristiwa interaksi ini dinamakan rekoneksi. Perlu diketahui bahwa lingkungan magnetosfer, satelit, atmosfer dan ionosfer, semuanya akan bereaksi terhadap peningkatan aktivitas matahari. Namun demikian, masing-masing lingkungan tersebut bereaksi berbeda tergantung pada medan magnet dan energi partikel dari matahari. Ragam potensi reaksi lingkungan bumi terhadap aktivitas matahari ditampilkan pada berikut ini.

Ilustrasi contoh dampak cuaca antariksa pada sistem peralatan berteknologi tinggi landas bumi dan landas antariksa dicuplik dari Lanzerotti et al, 2001.

Seperti halnya cuaca terestrial (iklim, hujan, angin), cuaca antariksa juga mempunyai periode yaitu harian (diurnal variation) dan 11 tahun-an (siklus matahari). Matahari merupakan penggerak utama cuaca antariksa dalam sistem kopling Matahari-Bumi. Fenomena di matahari yang berperan dalam dinamika cuaca antariksa adalah lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection; CME), lidah matahari (flare) dan lubang hitam (coronal holes; CH). CME terbentuk ketika aliran cepat plasma dibagian dalam matahari menyalip angin matahari dan mengkompres aliran lambat.

Ketika terjadi CME, partikel berenergi dan awan medan magnet terlontar ke segala arah kemudian terbawa serta oleh angin surya (solar wind). Saat bertumbukan dengan bagian luar magnetosfer bumi, maka memungkinkan partikel-partikel angin surya masuk ke dalam magnetosfer bumi

Gambar diatas menununjukkan bahwa cuaca antariksa dapat berdampak pada : (1) Sistem Komunikasi radio HF, (2) Transportasi udara dan penumpang, (3) Penentuan posisi (positioning), navigasi dan pewaktuan (timing) GNSS serta GPS, (4) Operasi satelit, (5) Arus induksi geomagnet, (6) Radiasi pengion pada Avionik dan sistem landas buminya. Dalam artikel ini hanya akan dibahas dampak cuaca antariksa ekstrim pada operasional dan propagasi persinyalan satelit.

Aktualita

(24)

1. Dampak Cuaca Antariksa Pada Operasional Satelit

CME dan flare mengirim angin surya berkecepatan tinggi, membawa partikel bermuatan dan medan magnet yang kuat pada kecepatan hingga 3000 kilometer per detik (km/det) menuju ke magnetosfer bumi, ionosfer, dan termosfer. Angin surya mengalir melalui tata surya dan berinteraksi dengan planet dan medan magnetnya. Sinar-X dari flare matahari dapat mencapai permukaan bumi kurang lebih delapan menit (pada kecepatan cahaya). Sedangkan partikel-partikelnya dapat mencapai permukaan bumi satu hingga tiga hari berikutnya. Partikel berenergi tinggi, mempunyai energi berkisar dari puluhan hingga ratusan Mega elektron Volt (MeV) dan dapat tersimpan dalam permukaan dan bagian elektronika dari satelit. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab paling umum dari anomali satelit.

Terdapat 2 tipe anomali pada satelit yaitu surface charging dan internal charging.

Surface charging disebabkan oleh elektron berenergi rendah (<100keV) yang berinteraksi dengan bagian permukaan bahan satelit. Dalam kondisi tertentu, perbedaan potensial beberapa kilovolt dapat timbul diantara berbagai jenis permukaan bahan yang berbeda, yang mengarah pada pengisian listrik secara elektrostatis (electrostatic discharge). Surface charging pertama kali ditemukan tahun 1970-an dan 80-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini surface charging terjadi dalam bentuk baru dan menyebabkan gangguan kelistrikan di array sel surya satelit. Surface charging naik dan turun (berfluktuasi) dalam rentang waktu yang cukup singkat (orde menitan).

Sementara Internal charging disebabkan oleh elektron berenergi tinggi (> 100 keV) yang menembus ke dalam peralatan satelit. Partikel elektron tersimpan dalam bahan isolasi (terutama plastik) dan logam yang ungrounded. Fenomena ini pertama kali terungkap di tahun 1980-an dan masih merupakan masalah sampai hari ini. Electrostatic discharges cenderung terjadi pada komponen yang sensitif dan rentan. Internal charging membutuhkan waktu satu sampai beberapa hari fluks berenergi tinggi secara terus-menerus untuk membangun cukup muatan sampai menjadi sebuah ancaman serius. Namun, pada saat badai geomagnet maka internal charging akan lebih sering terjadi dan lebih intens.

Disamping itu, elektron juga dapat menyebabkan dosis pengion yang merusak perangkat mikroelektronik satelit melalui pertumbuhan muatan yang terperangkap di dalam lapisan isolasi (biasanya silika). Dosis pengion juga menimbulkan konsumsi daya peralatan bertambah, ketahanan terhadap noise berkurang dan ambang kritis bisa berubah. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan kerusakan total semua peralatan. Pada saat Solar Energetic Particles (SEP), konsentrasi proton berenergi dan elektron akan meningkat.

Kejadian ini akan menambah jumlah dosis pengion yang akan menyebabkan dua efek yaitu:

1. Displacement damaged, mengganggu struktur bahan kristal yang digunakan dalam perangkat mikroelektronik satelit. Cacat ini mengurangi kinerja transistor utama perangkat optoelektronik seperti pada OPTO-couplers yang menyebabkan rasio transfer arus berkurang. Sedangkan pada sel surya akan menyebabkan efisiensinya terdegradasi.

2. Single Event Effect (SEE), timbul dari deposisi muatan partikel tunggal di daerah sensitif mikroelektronik satelit. Deposisi terjadi melalui ionisasi langsung (dominan untuk ion berat) dan interaksi-interaksi nuklir (dominan untuk proton dan neutron). Efek yang ditimbulkannya berkisar dari kerusakan lunak (dapat diperbaiki) dan kerusakan berat (permanen) yang dapat mencakup kebakaran perangkat, seperti terbakarnya semikonduktor oksida logam. Semakin kecil ukuran fitur peralatan dari puluhan hingga nanometer dan semakin rendahnya muatan kritis (hingga nilai femto Coulombs) maka kondisi ini akan menjadi masalah serius yang menyebabkan sejumlah sistem peralatan satelit rusak. Sejumlah kerusakan yang telah terjadi pada sistem peralatan satelit ketika cuaca antariksa berlangsung dari tahun 1985-2012 (27 tahun) dapat dilihat pada Tabel berikut.

Sebenarnya pada satelit terdapat sistem untuk dapat melindungi dirinya terhadap pengaruh cuaca antariksa dalam beberapa cara. Namun, dalam kondisi cuaca antariksa tertentu sistem ini tidak mampu lagi bekerja. Dalam sistem perlindungan diri satelit, perisai fisik adalah hal terpenting sebagai pelindung komponen di bagian dalam satelit.

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

22

(25)

Tabel. Daftar satelit yang losses dan outage akibat cuaca antariksa tahun 1985-2012 dicuplik dari

Channon, 2013.

cuaca antariksa pada peralatan satelit, campur tangan operator juga sangat dibutuhkan untuk pengendalian dan pemulihan sistem elektronik satelit ketika terjadi cuaca antariksa. Dalam kasus serius pun satelit masih dapat masuk ke posisi yang aman (misalnya saat sun pointing) sampai operator melakukan tindakan pemulihan. Dari uraian di atas, yang terpenting adalah mengamati dan memahami karakteristik dari sumber pemicunya, yaitu cuaca antariksa.

Seperti diketahui bahwa semua bahan sirkuit dalam komponen-komponen mikroelektronik satelit dirancang dari komponen-komponen pilihan dan teruji dengan memperhitungkan beberapa tingkat degradasi dan kejadian yang tidak diinginkan. Keragaman teknologi dikembangkan dengan maksud untuk meminimalkan dan bahkan menghindari dampak buruk cuaca antariksa ekstrim. Selain penggunaan bahan berkualitas tinggi, sebagai tindakan mitigasi terhadap dampak buruk

23

(26)

dan lintang tinggi. Selama cuaca antariksa eks trim, ada kemungkinan bahwa sintilasi ionosfer akan diamati di seluruh lintang. Amplitudo sintilasi yang menyebabkan perubahan cepat dalam carrier-to-noise ratio sinyal dapat me-nyebabkan hilangnya pembawa sinyal terlacak di semua penerima.

Sintilasi fase yang cukup mengganggu pembawa fase menyebabkan lingkar pelaca-kan (loop) penerima fase kehilangan kontak dan menimbulkan hilangnya penerimaan pesan terkait data penting navigasi dan data penting tentang satelit. Loss of phase lock (LPL) pada penerima digunakan dalam aplikasi berintegri-tas tinggi, misalnya dalam penerbangan, LPL sangat penting karena penerimanya memer-lukan pembaca pesan data satelit secara teratur. Untuk mengatasi ini, maka pada Sate-llite Base Augmentation system (SBAS), seperti satelit WAAS dan EGNOS, mengope-rasikan sebuah sistem simbol pesan dengan kecepatan 500 simbul/detik, bersama-sama dengan encoder dan repeater pesan. Banyak-nya aplikasi industri yang menggunakan pewaktuan dengan akurasi tinggi, stabil dan terpercaya dalam operasinya membutuhkan sinkronisasi waktu untuk skala global (Universal Time, UT). Untuk itu, sinkronisasi waktu dibuat lebih mudah dengan sistem GPS. Beberapa aplikasi industri yang memerlukan sinkronisasi waktu skala global diantaranya adalah:

· Lalulintas jaringan telekomunikasi tuhkan pewaktuan akurat untuk menjamin kesinambungan lalulintas komunikasi, · Komunikasi data mobile generasi tang membutuhkan jatah slot waktu yang akurat merujuk ke standar waktu/fase dari International Telecommunication Union (ITU),

· Pembangkit listrik dan distribusinya butuhkan akurasi waktu dan fase,

· Layanan waktu (server clocks) kan kesamaan waktu harian secara global, untuk mendukung sistem pembayaran dan perdagangan di dunia.

Artikel ini menjelaskan dampak cuaca antariksa pada operasional dan propagasi per-sinyalan satelit. Dampak yang telah dialami oleh beberapa setelit tersebut berpotensi juga menimpa satelit yang dimiliki oleh negara Indonesia. Apabila hal ini terjadi maka dam-pak buruknya adalah mengalami kerugian waktu dan finansial yang besar. Untuk memini-malkan dampak buruknya maka memahami karakter dan potensi negatif cuaca antariksa yang akan ditimbulkannya menjadi modal

2. Dampak Cuaca Antariksa Pada Sistem Navigasi, Penentuan Posisi dan Pewaktuan GNSS serta GPS

Transmisi dari Global Navigation Satellite Systems (GNSS), termasuk Global Positioning System (GPS), GLONASS dan Galileo, memberikan posisi, sinkronisasi waktu dan layanan navigasi. Navigasi kapal dan pesawat, pelacakan dan pengiriman produk serta layanan darurat kilat semua sangat tergantung pada jasa navigasi dan posisi GNSS. GNSS juga menyediakan layanan waktu sangat akurat (dengan error puluhan nanodetik). Beberapa jasa telekomunikasi menggunakan sinyal waktu dari satelit GPS untuk menyinkronkan jaringan ke fasilitas aliran data. Demikian pula industri jasa keuangan menggunakan GNSS keperluan transaksi cepat dalam era perdagangan berkecepatan tinggi saat ini.

Bersamaan dengan tanda optik flare surya, semburan radio matahari (Solar Radio Burts) yang berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa puluh menit, terdeteksi pada frekuensi kerja GNSS. Selama periode sangat aktif matahari, beberapa solar radio burts dapat terjadi dan dapat menyebabkan kehilangan kontak (loss of lock) pada penerima GNSS yang terletak di belahan bumi yang tersinari Matahari. Hal ini dikarenakan terganggunya sinyal GNSS akibat adanya gangguan pada lapisan ionosfer. Efek solar radio burts pada GNSS pertama kali teramati pada tanggal 5 Desember 2006, saat aktivitas matahari minimum. Solar radio burts ini terukur sebesar 1 juta unit fluks matahari (1 unit fluks matahari setara dengan 10-22Wm-2Hz 1). Pada

saat itu, terdapat sejumlah energi yang cukup untuk mengganggu operasi receiver GPS selama 10 sampai 20 menit. Bahkan data posisi dari beberapa receiver jaringan layanan GNNS internasional mengalami degradasi (semi-codeless) sehingga banyak kode/ informasi yang hilang.

Partikel-partikel plasma yang berasosiasi dengan CME tiba satu sampai dua hari ke bumi. Pertikel-partikel ini menyebabkan gangguan tidak langsung pada kerapatan elektron ionosfer seperti Sudden Ionospheric Disturbance (SID) di lapisan D ionosfer dan plasma bubble di ionosfer. Struktur skala kecil gangguan ionosfer (kurang dari 1 km) juga dihasilkan dan ini menyebabkan sintilasi (yaitu perubahan yang cepat dalam amplitudo dan fase) dari sinyal. Sintilasi biasanya teramati di khatulistiwa

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

24

(27)

Skema kerja sistem GPS dan GNSS dalam penentuan posisi

[sumber http://www.gpsworld.com/wp-content/uploads/2012/03/Fig4.jpg ]

Ilustrasi gangguan propagasi sinyal pada saat sintilasi [http://www.gpsworld.com/wp-content/uploads/2012/03/Fig4.jpg]

penting. Melalui pemantauan, litbang dan layanan informasi cuaca antariksa maka Pusat Sains Antariksa, Lapan mengemban tugas tersebut kepada masyarakat dan instansi terkait. Salah satunya adalah kerjasama litbang dengan Pusat Teknologi Satelit, Lapan yang mulai dirintis tahun 2013 melalui litbang muatan ilmiah satelit Lapan A3 dalam program pengembangan satelit Lapan.

Pemantauan cuaca antariksa sudah dilakukan oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN sejak tahun 2009. Pemantauan dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi untuk menghasilkan informasi tentang cuaca antariksa. Untuk mendukung kegiatan ini maka pada tanggal 27 Januari 2014 diluncurkanlah Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca Antariksa disingkat SPICA.

(28)

Program Pengembangan satelit Lapan dicuplik dari Lapan Satellite Development Program, Pusat Teknologi Satelit (Pusteksat)-Lapan

karakteristik dan potensi negatif cuaca antariksa yang selanjutnya dapat mempersiapkan diri untuk melaksanakan mitigasinya. Dari semua uraian di atas, yang terpenting adalah mengamati dan memahami karakteristik dari sumber pemicunya, yaitu cuaca antariksa.

Ruang Pemantauan Cuaca Antariksa dicuplik dari Buletin Cuaca Antariksa 2014 (C. Y. Yatini)

Selain melalui SPICA, informasi mengenai cuaca antariksa juga disampaikan melalui website Lapan Bandung, dan publikasi-publikasi seperti dalam Buletin Cuaca Antariksa, informasi mingguan cuaca antariksa, serta publikasi ilmiah lainnya. Harapannya agar masyarakat dan instansi terkait mendapatkan pemahaman akan

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

26

(29)

KEMUNGKINAN PEMBUATAN BETON DI BULAN (LUNAR CONCRETE) SEBAGAI SUATU KAJIAN

Setiadi - Peneliti Pusat Teknologi Roket

e-mail: seti1159@gmail.com

beton di bulan (lunar concrete). Umumnya beton dibedakan berdasarkan mutu dari pembuatannya di mana perbedaan mutu tersebut biasanya ditunjukkan oleh perbedaan pada kuat tekannya. Lapan sebagai salah satu lembaga penelitian juga memanfaatkan konstruksi beton untuk membangun fasilitas penelitiannya, misalnya konstruksi bangunan block house untuk uji statik roket dan konstruksi bangunan beton untuk proses pengisian propelan ke dalam tabung motor roket.

Sejarah Beton

Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik seperti abu pozzolan sebagai pembentuknya telah dimulai sejak zaman Yunani dan Romawi bahkan mungkin sebelumnya. Dengan campuran kapur, pozzolan, dan batu apung, bangsa Romawi banyak membangun infrastruktur seperti akuaduk, bangunan, drainase dan lain-lain. Di Indonesia penggunaan yang serupa bisa dilihat pada beberapa bangunan kuno yang tersisa, seperti benteng Indrapatra di Aceh yang

di-Bangunan beton untuk tempat uji statik motor roket (dok. bidang struktur 2011)

Bangunan beton untuk proses pengisian propelan ke motor roket (dok. bidang propelan 2011)

Beton, salah satu bahan bangunan konstruksi yang sangat banyak pemakaiannya di seluruh dunia selain dari baja dan kayu dikarenakan mudah untuk memperoleh bahan penyusunnya serta kesederhanaan dalam pembuatan strukturnya. Beton, pada dasarnya adalah campuran antara semen, air, pasir dan batu pecah serta bahan tambahan (pozzolana, fly ash dan silica fume) yang mengeras menyerupai batu. Anggapan umum yang bilang bahwa beton akan mengering setelah pencampuran, pengadukan dan penuangan merupakan suatu anggapan yang kurang tepat, karena sesungguhnya beton tidak menjadi padat karena air menguap, tetapi dalam hal ini semen berhidrasi, kemudian mengikat/ mengelem komponen lainnya secara bersama, dan akhirnya membentuk material seperti batu. Dewasa ini, beton digunakan di hampir semua tempat, yaitu di atas permukaan tanah pembuatan gedung tinggi dan jembatan layang, di bawah permukaan tanah: pondasi dan terowongan, dan di dasar laut: pipa minyak dan anjungan lepas pantai, bahkan beberapa tahun belakangan ini sedang dikaji pembuatan

Aktualita

(30)

serangan korosi dan biaya pemeliharaan yang murah.

Sementara itu kekurangannya adalah jika sesuatu bentuk yang telah dibuat dengan memakai beton, maka bentuk tersebut sulit diubah menjadi bentuk lain tanpa kerusakan. Selain itu jika ingin dilakukan penghancuran maka akan mahal, karena tidak dapat dipakai lagi, hal inilah yang membuat beton berbeda dengan struktur baja yang tetap bernilai karena masih dapat dimanfaatkan. Selain itu beton mempunyai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatannya dan juga mempunyai daya pantul suara yang besar. Bisa dikatakan secara umum beton memiliki kuat tekan yang tinggi namun lemah dalam hal kuat tariknya, jadi jika tidak diberi penguatan dengan besi yang cukup maka struktur beton akan mudah gagal. Menurut perkiraan kasar, nilai kuat tarik sebuah struktur beton sekitar 10 persen dari kuat tekannya, sehingga penguatan sangat diperlukan dalam struktur beton. Cara penguatan yang umum adalah dengan menggunakan tulangan baja, yang jika dipadukan sering disebut dengan beton bertulang. Kekurangan lain dari struktur ini adalah diperlukan adanya cetakan sebagai alat pembentuk, sehingga setelah dicampur beton akan segera mengeras. Beton yang sudah mengeras sebelum pengecoran, tidak dapat didaur ulang.

Lunarcrete atau mooncrete

Pembuatan beton dengan bahan dasar yang berasal dari butiran ataupun batuan dari bulan disebut lunarcrete atau moon-crete. Bahan dasar untuk lunarcrete akan sama seperti untuk beton di bumi yang terdiri dari: agregat halus dan agregat kasar, air, dan semen. Dalam kasus lunarcrete, agregat akan digantikan oleh tanah di permukaan bulan yang disebut regolith lunar. Semen tersebut akan diproduksi dengan memanfaatkan batuan bulan yang memiliki kandungan kalsium tinggi. Sementara air akan dipasok dari luar bulan, atau dengan menggabungkan oksigen dengan hidrogen yang dihasilkan dari tanah bulan. Pada tahun 1986, 40 gram sampel regolith lunar yang didapat dari Apollo 16 di-pergunakan untuk menghasilkan lunarcrete. Beton lunarcrete ini dicuring dengan menggunakan uap pada campuran agregat dan semen kering. Hal ini menghasilkan suatu lunarcrete yang mampu menahan tegangan tekan 75 Mpa (Megapascal), dan hanya kehilangan 20 persen dari kekuatan awalnya setelah paparan berulang untuk vakum (1 Mpa = 10,2 kg/cm2).

bangun pada abad ke-7 oleh kerajaan Lamuri di mana bahan bangunannya berupa kapur, tanah liat, dan batu gunung. Meskipun begitu, orang Mesir sebelumnya telah menemukan bahwa pemakaian aditif debu vulkanik mampu meningkatkan kekuatan tekanan beton.

Tahun 1801 F.Coignet menerbitkan tulisan mengenai prinsip-prinsip konstruksi dengan meninjau kelemahan bahan beton terhadap tariknya. Duapuluh tahun sesudahnya, tepatnya tahun 1824, J. Aspdin menemukan dan mengembangkan semen portland (portland cement), dengan melakukan pembakaran bersama campuran kapur dan tanah liat hingga karbon dioksida terangkat, semen Aspdin merupakan suatu kesuksesan, dan penemuan tersebut merupakan hal penting dalam sejarah beton. Selanjutnya tahun 1850 J.L. Lambot untuk pertama kalinya membuat kapal kecil dari bahan semen untuk dipamerkan dalam sebuah Expo tahun 1855 di Paris. Kemudian J. Moiner, seorang ahli taman dari Perancis, mematenkan rangka metal sebagai tulangan beton untuk mengatasi tariknya di mana hal tersebut akhirnya diaplikasikan untuk tempat tanamannya. Pada tahun 1886, Koenen menerbitkan tulisan mengenai teori dan perancangan struktur beton, dan C.A.P Turner mengembangkan pelat slab tanpa balok tahun 1906. Dari kronologis di atas, abad 19 merupakan awal era beton bertulang.

Sejarah analisis dasar perhitungan beton di Indonesia, diatur dalam Peraturan Beton Indonesia 1955 dan Peraturan Beton Indonesia 1971 (PBI 1955 dan PBI 1971), yang lebih terkenal dengan sebutan perhitungan lentur cara – n. Selanjutnya tahun 1991diperbaharui dengan Standard Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk bangunan gedung yang disebut SK SNI 1991 (T-15-1991-03), dengan maksud sebagai acuan bagi para perencana dan pelaksana dalam melakukan pekerjaan struktur beton.

Kelebihan dan Kekurangan Beton

Beton secara umum jika dalam keadaan mengeras akan sangat keras bagaikan batu dengan kekuatan tinggi, tetapi jika dalam keadaan segar beton seperti bubur, sehingga mudah dibentuk sesuai keinginan. Dengan kata lain salah satu kelebihan beton adalah dapat mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan konstruksi. Selain itu beton juga memiliki kekuatan yang tinggi, tahan terhadap temperatur yang tinggi, tahan terhadap

Media Dirgantara, Vol. 9 No. 4 Desember 2014

28

Gambar

Gambar Lokasi Penelitian
Diagram blok radar secara umum
Gambar  dan  hasil analisis menunjukkan bahwa spektrum  sinyal  radar  VHF mempunyai frekuensi : (0.25, 0.5, 7.5, 1, 1,25, 1.5, 1.75, 2, 2.25, 2.5 2.75, 3, 3.25, 3.5, 3.75,  4,  4.25,  4.5,  4.75)  x 10e5  Hz
Gambar  di  atas  adalah salah  satu  contoh  hasil pengukuran  kecepatan angin  vertikal  pada ketinggian 1,5 – 16,5 km dengan  kecepatan maksimum  sekitar  2,9 meter  per  detik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keabsahan Data siswa kelas V SD Negeri Soneyan 03 mengenai motivasi belajar sangat rendah dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan triangulasi sumber dari peneliti yaitu

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

Menurut Ibu Dini Endiyani bahwa Corporate Secretary mendukung penuh apa yang menjadi program dari manajemen, pembangunan New Priok Port sebagai program

Berdasarkan hasil penelitian tergambarkan bahwa masayarakat desa terapung sangat berragam dalam upaya peningkatan imunitas tubuh, hal ini sesuai dengan pemahaman dan

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Perkotaan dan Perdesaan GERBANG- KERTASUSILA Plus tiap Kabupaten/Kota tahun

Kata band pada marching band ini juga memiliki makna sebagai bentuk gabungan alat musik yang berfungsi sebagai melodi dalam suatu lagu yang terdiri dari alat musik tiup, alat

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara

Dalam rangka pencapaian prestasi belajar siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Jepang khususnya dalam pemahaman siswa terhadap pembentukan dan