• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESPON MASYARAKAT TERHADAP RENCANA KENAIKAN HARGA BBM JENIS PREMIUM (Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor) OLEH CAROLIN SINAGA H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RESPON MASYARAKAT TERHADAP RENCANA KENAIKAN HARGA BBM JENIS PREMIUM (Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor) OLEH CAROLIN SINAGA H"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESPON MASYARAKAT TERHADAP RENCANA

KENAIKAN HARGA BBM JENIS PREMIUM

(Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor)

OLEH

CAROLIN SINAGA H14080027

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

Carolin Sinaga. Analisis Respon Masyarakat terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium ( Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor) (dibimbing oleh M. FIRDAUS).

Sektor transportasi merupakan sektor yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Transportasi dapat menentukan efisiensi mobilitas seseorang. BBM yang merupakan sumber penggerak utama bagi berbagai alat transportasi diberikan subsidi oleh pemerintah, salah satunya adalah BBM jenis premium. Terjadi peningkatan pembiayaan pemerintah dalam menutupi subsidi BBM. Hal ini memengaruhi kebijakan-kebijakan yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mencapai solusi yang baik untuk seluruh masyarakat sebagai pengguna BBM jenis premium maupun pemerintah sebagai penanggung beban subsidi tersebut.

Penelitian ini membahas analisis mengenai respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium (kasus: pengendara mobil pribadi di Bogor). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi logit yang didukung dengan Uji Crosstabs dan penghitungan Willingness to Pay (WTP) masyarakat terhadap satu liter BBM jenis premium.

Uji Crosstabs yang mengaji hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas menghasilkan bahwa variabel-variabel yang memiliki hubungan terhadap respon pengendara mobil pribadi adalah usia, jumlah tanggungan responden dan kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium. Lalu hasil penghitungan willingness to pay pengendara mobil pribadi terhadap satu liter BBM jenis premium adalah sebesar Rp 5.425. Sementara itu, metode regresi logit yang mengaji faktor-faktor pembeda respon pengendara mobil pribadi yang menggunakan model persamaan matematis tertentu menghasilkan bahwa variabel jumlah tanggungan responden, tingkat pendapatan responden, kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium dan tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan berpengaruh nyata terhadap respon pengendara mobil pribadi terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

(3)

ANALISIS RESPON MASYARAKAT TERHADAP RENCANA

KENAIKAN HARGA BBM JENIS PREMIUM

(Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor)

OLEH

CAROLIN SINAGA H14080027

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(4)

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Carolin Sinaga

Nomor Registrasi Pokok : H14080027 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Respon Masyarakat terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium

(Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, M. Firdaus, Ph.D NIP. 19730105 199702 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2012

Carolin Sinaga H14080027

(6)

Penulis bernama Carolin Sinaga, lahir pada tanggal 5 Januari 1990 di Ujung Pandang. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Rasman Sinaga S.E dan Meike Anna Mogot. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, dengan pendidikan penulis diawali di TK Kanisius Semarang lulus tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan di SD Kanisius Semarang hingga tahun 2000 lalu melanjutkan ke SD Mardi Yuana Bogor hingga lulus tahun 2002, SMPN 2 Bogor lulus tahun 2005 dan SMAN 1 Bogor lulus tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten mata kuliah agama Katolik hingga tahun 2012.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulis berharap melalui skripsi ini agar dapat teruraikan suatu analisis respon masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium, khususnya bagi pengendara mobil pribadi di Bogor. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih, terutama kepada Bapak M. Firdaus, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan untuk Bapak Dr. M.P Hutagaol juga Bapak Deniey Adi Purwanto, MSE atas kritikan, saran dan bimbingan untuk perbaikan tulisan ini. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak Rasman Sinaga S.E dan Ibu Meike Anna Mogot, serta pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luar, baik dalam ruang lingkup Institut Pertanian Bogor ataupun dalam skala global.

.

Bogor, Juli 2012

Carolin Sinaga H14080027

(8)

Halaman

DAFTAR ISI………... i

DAFTAR TABEL………... iii

DAFTAR GAMBAR………..………….v DAFTAR LAMPIRAN………..vi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………...1 1.2. Permasalahan...………...6 1.3. Tujuan Penelitian ………...……8 1.4. Manfaat Penelitian………..9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian………...9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1 Teori Kebijakan Publik-Subsidi...10

2.1.1.1 Subsidi dan Elastisitas...11

2.1.2 Pemerintah Sebagai Penyedia Barang Publik...12

2.1.3 Willingness to Pay (Kesediaan Membayar)...15

2.1.4 Regresi Logistik...16

2.1.5 Analisis Crosstabs-Chi Square...16

2.1.6 Metode Regresi Linier Berganda ...17

2.2 Konsep dan Definisi 2.2.1 Kenaikan Harga BBM dan Subsidi BBM...18

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga BBM...19

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu...19

2.4 Kerangka Pemikiran...20

(9)

ii

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian...24

3.2. Sumber dan Jenis Data...24

3.3. Teknik Pengumpulan Data...24

3.4. Metode Analisis 3.4.1 Analisis WTP Pengendara Mobil Pribadi...25

3.4.2 Model Regresi Logistik...26

3.4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...27

3.4.4 Model Regresi Linier Berganda ...29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Responden...31

4.2. WTP terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium...46

4.3. Hasil Uji Regresi Logistik Respon Masyarakat terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium...48

4.4. Rekomendasi Untuk Kebijakan Subsidi BBM Jenis Premium di Indonesia...53

V. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan...55

5.2. Saran...55

DAFTAR PUSTAKA...57

(10)

Nomor Halaman 1. Produksi, Konsumsi dan Impor BBM di Indonesia Tahun

2005-2010 (Ribu Barel)... 2 2. Pengeluaran dan Subsidi Pemerintah di Indonesia Tahun

2005-2011 (Triliun Rupiah)... 3 3. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di

Indonesia Tahun 2008-2010 (Unit)... 4 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan

di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Unit)... 7 5. Jumlah Tanda No. Kendaraan Bermotor yang Dikeluarkan

SAMSAT Polres Kota Bogor Tahun 2004, 2005 dan 2010 (Unit).. 7

6. Konsumsi BBM Jenis Premium di Indonesia Tahun

2005-2010 (Barel/Orang)... 8 7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Respon

Pengendara Mobil Pribadi terhadap Rencana Kenaikan Harga

BBM Jenis Premium di Bogor (2012)... 31

8. Deskripsi Respon Berdasarkan Jenis Kelamin di Bogor (2012)... 32

9. Deskripsi Respon Berdasarkan Usia di Bogor (2012)... 34

10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

di Bogor Tahun (2012)... 35 11. Deskripsi Respon Berdasarkan Jumlah Tanggungan

Responden di Bogor (2012)... 36

12. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Bogor (2012)... 37

13. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendapatan di

Bogor (2012)………... 38 14. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendapatan Anggota

(11)

iv

15. Karakteristik Responden Berdasarkan Kesediaan Membayar

terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium di Bogor (2012)... 40

16. Deskripsi Respon Berdasarkan Kesediaan Membayar di

Bogor (2012)………... 41

17. Deskripsi Respon Berdasarkan Perilaku Menghemat di

Bogor (2012)... 42

18. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Konsumsi BBM Jenis

Premium per Bulan di Bogor (2012)... 44

19. Deskripsi Respon Berdasarkan CC Mobil di Bogor (2012)... 45 20. Willingness to Pay Pengendara Mobil Pribadi terhadap

Satu Liter BBM Jenis Premium di Bogor (2012)... 46 21. Hasil Estimasi Variabel Dependen Kesediaan Membaya... 48 22. Faktor-Faktor Pembeda Respon Pengendara Mobil Pribadi

terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium

(12)

Nomor Halaman

1. Pengaruh Konsumsi Bersubsidi... 11

2. Pengaruh Produksi Bersubsidi... 12

3. Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta... 14

4. Kurva Permintaan Agregat ... 15

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Jenis Kelamin di Bogor (2012)... 32

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Usia (Tahun) di Bogor (2012)... 33

7. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Tingkat Pendidikan di Bogor (2012)... 36

8. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Tingkat Pendapatan (Rupiah) di Bogor (2012)... 38

9. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain (Rupiah) di Bogor (2012)... 39

10. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Perilaku Menghemat Jika Terjadi Kenaikan Harga BBM Jenis Premium di Bogor (2012)... 42

11. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Konsumsi BBM Jenis Premium Per Bulan (Rupiah) di Bogor (2012)………... 44

12. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi CC Mobil di Bogor (2012)... 45

13. Kurva Permintaan Kesediaan Membayar terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium ... 47

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuisioner Penelitian ... 60 2. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Respon Pengendara Mobil Pribadi terhadap Rencana Kenaikan

Harga BBM Jenis Premium dengan Uji Crosstab... 65 3. Hasil Analisis Faktor-Faktor Pembeda Respon

Pengendara Mobil Pribadi terhadap Rencana Kenaikan Harga

BBM Jenis Premium di Bogor (2012)... 71 4. Hasil Estimasi Variabel Dependen Kesediaan

(14)

1

Blueprint BPH Migas 2005-2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, 2005

1.1 Latar Belakang

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia mengandalkan BBM sebagai sumber energi dalam beraktivitas. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh entitas ekonomi tidak lepas dari penggunaan BBM, mulai dari kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga hingga perusahaan yang memproduksi barang dan jasa. Ditinjau dari segi transportasi, keberadaan BBM sangat penting adanya karena kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemudahan dan akses transportasi yang baik. Oleh karena itu, BBM berkaitan erat dengan sistem transportasi sebagai sumber tenaga penggerak.

Sejak tahun 2002, Indonesia telah melakukan impor minyak mentah terkait dengan penurunan produksi minyak dalam negeri. Di samping itu, Indonesia juga menerapkan kebijakan subsidi BBM untuk menekan beban masyarakat akan tingginya harga minyak dunia. Besarnya jumlah pemberian subsidi ini akan mengalami fluktuasi selaras dengan perubahan harga minyak dunia. Secara tentatif dan tertuang dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, Indonesia memberikan subsidi BBM dalam beberapa jenis, yakni subsidi untuk minyak tanah, premium dan solar. Subsidi yang paling besar memakan dana adalah subsidi BBM jenis premium.1

Subsidi BBM jenis premium diberikan pada angkutan pribadi, angkutan umum, angkutan khusus, TNI/Polri. Hingga kini pemerintah masih mempelajari dan mempertimbangkan dampak kebijakan harga BBM terutama terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan di sektor energi masih sangat responsif.

Suparmoko (2002) menjelaskan bahwa rendahnya harga BBM merupakan salah satu sumber defisit APBN yang sangat dominan. Ia mengemukakan bahwa hal ini memaksa pemerintah menaikkan harga BBM dengan rata-rata 30 persen pada tahun 2001. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM sebesar 30 persen, subsidi BBM akan melonjak menjadi Rp 66 triliun pada tahun tersebut. BBM merupakan bahan dasar untuk melakukan kegiatan di segala sektor dan

(15)

2

kehidupan, maka kenaikan harga BBM yang sangat drastis akan menaikkan harga barang dan jasa termasuk harga kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat walaupun pada kenyataannya biaya BBM hanya mencakup sekitar 6 persen dari rata-rata biaya produksi industri pengolahan. Sementara itu bagi rumah tangga, pengeluaran untuk BBM hanya meliputi sekitar 1,07 persen untuk kelompok miskin dan 0,15 persen untuk rumah tangga kelompok tidak miskin, atau total 0,21 persen dari anggaran belanja keluarga. Namun untuk pengeluaran transportasi rata-rata rumah tangga miskin dan tidak miskin mengeluarkan sekitar 2,60 persen dari seluruh anggaran belanja rumah tangga. Oleh karena itu, kelompok rumah tangga miskinlah yang paling terbebani oleh kenaikan harga BBM, karena di samping kebutuhan bahan bakar dan transportasi, kebutuhan-kebutuhan lainnya pasti naik juga harganya, sedangkan penghasilan mereka relatif kecil.

Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor BBM di Indonesia Tahun 2005-2010 (Ribu Barel)

Tahun Produksi BBM Konsumsi BBM Impor BBM Rasio Impor/Produksi (%)

2005 268.529 397.802 164.842 61 2006 257.821 374.691 131.765 51 2007 244.396 383.453 149.479 61 2008 251.531 388.107 153.105 61 2009 246.289 379.142 137.817 56 2010 241.156 388.241 146.997 61 Sumber: BPS (2010), diolah

Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi BBM Indonesia berada di bawah jumlah kebutuhan untuk konsumsi nasional. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor BBM dari luar negeri untuk menutupi defisit kebutuhan nasional tersebut. Produksi BBM dalam negeri menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 Indonesia memproduksi 268.529.000 barel BBM dan menurun hingga 241.156.000 barel BBM pada tahun 2010. Dilihat dari rasio antara jumlah impor BBM dengan produksi nasional, jumlah impor BBM selalu di atas 50 persen. Berarti Indonesia tidak dapat mencukupi setengah dari kebutuhan BBM nasional. Impor BBM yang semakin banyak dengan harga minyak dunia yang berfluktuatif menyebabkan ketidakpastian dalam jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.

(16)

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, eksploitasi sumber energi fosil akan terjadi, terutama eksploitasi minyak. Hal ini merupakan lampu kuning bagi Indonesia yang diprediksi akan menjadi negeri pengimpor minyak secara menyeluruh pada tahun 2030, di mana akan terjadi defisit hingga 650 juta barel (Kementerian Komunikasi dan informasi Republik Indonesia, 2011). Hal ini membuat pemerintah harus lebih menggalakkan program-program penghematan BBM di dalam negeri agar Indonesia tidak semakin terpuruk dalam konsumsi BBM berlebih.

Tabel 2. Pengeluaran dan Subsidi Pemerintah di Indonesia Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah)

Sektor 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Pengeluaran Total 361 440 505 693 629 782 837

Total Subsidi 121 108 150 275 138 201 188

Subsidi Bahan bakar 96 64 84 139 45 89 96

Subsidi Listrik 9 31 33 84 50 55 41 Penanaman Modal 33 55 64 73 76 95 136 Pertahanan 22 24 31 9 13 21 47 Pendidikan 29 45 51 55 85 97 92 Kesehatan 6 12 16 14 16 20 14 Jaminan Sosial 2 2 3 3 3 4 5

Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2012)

Dari data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa subsidi bahan bakar berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama oleh harga minyak dunia. Subsidi paling tinggi terjadi pada tahun 2008, sebesar Rp 139 triliun. Pada tahun 2011 subsidi untuk bahan bakar dalam APBN sebesar Rp 96 triliun. Pada tahun 2012, APBN yang dianggarkan pemerintah untuk membiayai subsidi BBM sebesar Rp 137,4 triliun. Tetapi seiring dengan peningkatan konsumsi BBM di Indonesia, diperkirakan anggaran tersebut akan melonjak hingga Rp 234,2 triliun. Jika subsidi terhadap bahan bakar dapat ditekan maka anggaran pemerintah dapat dialokasikan untuk subsidi di bidang lain seperti pendidikan, pertahanan, kesehatan dan untuk jaminan sosial.

Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia, eksplorasi minyak mentah di Indonesia merupakan kerjasama antara pemerintah dengan kontraktor asing. Jumlah minyak mentah yang merupakan hak pemerintah adalah 80 persen dan 20 persen untuk kontraktor asing. Pemakai terbesar BBM nasional adalah

(17)

4

sektor transportasi. Bagi sektor transportasi sendiri, BBM adalah bahan bakar utama (nyaris 100 persen) yang sulit digantikan dengan bahan bakar lain. Penggunaan BBM yang tidak efisien dapat kita lihat akibatnya pada kemacetan, terutama di kota-kota besar. Mobil-mobil tua dengan mesin yang boros penggunaan BBM kerap ditemukan di jalan raya. Laju pertumbuhan kendaraan yang sangat cepat belum didukung oleh pertambahan infrastrukturnya.

Tabel 3. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Indonesia Tahun 2008-2010 (Unit)

Jenis Kendaraan 2008 2009 2010

Unit % Unit % Unit %

Mobil Penumpang 7.695.500 12,39 8.111.508 12,04 8.828.114 11.45

Bus 2.138.439 3,44 2.238.790 3,32 2.351.297 3.05

Truk 4.569.519 7,36 4.610.400 6,84 4.818.280 6.25

Sepeda Motor 47.683.681 76,80 57.433.132 77,80 61.133.032 79.26

Total 62.087.139 100,00 67.393.139 100,00 77.130.723 100,00

Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011), diolah

Dari data pada Tabel 3, mobil penumpang yang di dalamnya termasuk mobil pribadi dari tiga tahun terakhir menempati posisi kedua yang mendominasi keberadaan kendaraan bermotor di Indonesia. Jumlah kendaraan mobil penumpang selalu memiliki penambahan jumlah dari tahun ke tahun walaupun persentasenya menurun sedikit demi sedikit.

Dari data pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa sepeda motor memiliki persentase terbesar dari jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Dengan mobil penumpang di urutan kedua, diprediksi bahwa pengguna BBM jenis premium mayoritas adalah masyarakat menengah ke atas yang memiliki kendaraan-kendaraan tersebut.

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, sektor transportasi menguras dana yang cukup banyak, yakni Rp 113 triliun rupiah dari anggaran total APBN 2005. Perubahan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat drastis tidak lepas dari akibat kebijakan pemerintah yang tidak memprioritaskan pengembangan angkutan umum massal, padahal kendaraan pribadi yang menyumbang 88 persen dari total populasi kendaraan hanya menyumbang 44 persen pengguna jalan sementara 53 persen sisanya diangkut oleh kendaraan umum yang hanya menyumbang 4,5 persen dari

(18)

populasi kendaraan. Hal ini menunjukkan secara langsung bahwa subsidi BBM justru dinikmati oleh pengendara privat baik mobil maupun motor pribadi dan bukan angkutan umum. Kebijakan subsidi BBM yang diberlakukan oleh pemerintah ini menjadi tidak tepat sasaran.

Berdasarkan kajian Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, ketidaktepatan sasaran dari subsidi BBM dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam pendistribusian, baik BBM bersubsidi maupun BBM tidak bersubsidi. Lemahnya pengawasan ini terjadi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kurang efektifnya komunikasi ini menyebabkan kelangkaan BBM dan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Jika masalah ini terus berlanjut maka masalah-masalah di sektor BBM dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lintas sektoral.

Peranan pemerintah dalam bidang alokasi adalah untuk menjamin tercapainya penggunaan sumber ekonomi yang efisien, yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar bebas. Ekonom membedakan efisiensi menjadi dua, yaitu efisiensi alokasi dan x-efficiency. Efisiensi alokasi adalah alokasi sumber-sumber ekonomi sesuai dengan kendala anggaran konsumen barang dan jasa.

X-efficiency menunjukkan kondisi pada sisi penawaran, yaitu apakah penyediaan

suatu barang dan jasa sudah dilaksanakan dengan biaya minimum. Selain berperan dalam bidang alokasi sumber daya, pemerintah juga berperan dalam distribusi. Pemerintah dapat memengaruhi distribusi pendapatan secara tidak langsung dengan kebijaksanaan pengeluaran pemerintah misalnya dengan subsidi BBM jenis premium (Mangkoesoebroto, 2000).

Besarnya subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah bergantung pada harga minyak dunia yang sering tidak stabil. Semakin tinggi harga minyak dunia maka pemerintah akan menganggarkan dana yang makin banyak untuk dana subsidi. Alternatif untuk menekan pengeluaran pemerintah adalah dengan menaikkan harga BBM, khususnya jenis premium yang merupakan konsumsi energi tertinggi.

Jika pemerintah menaikkan harga dasar BBM jenis premium, hal ini akan berimbas pada konsumen, yakni masyarakat Indonesia. Menurut Walter Nicholson (1995), akan terjadi dua perubahan jika terjadi kenaikan harga BBM

(19)

6

jenis premium. Perubahan pertama terjadi pada efek substitusi, meskipun konsumen mempertahankan tingkat kepuasan yang sama, pola konsumsi akan dialokasikan ulang untuk menyamakan MRS dengan rasio harga yang baru. Pengaruh yang kedua adalah efek pendapatan yang timbul karena perubahan harga pasti mengubah pendapatan “riil” seseorang.

Secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga (pengurangan subsidi) BBM akan berdampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan pengendara mobil. Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana respon pengendara mobil pribadi jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium dan kesediaan membayar mereka terhadap satu liter BBM jenis premium. Penting juga untuk dikemukakan bahwa konsumsi BBM dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan responden, tingkat pendapatan anggota keluarga lainnya, kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium, perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, CC mobil dan tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan.

1.2 Permasalahan

Dapat diprediksi bahwa sektor transportasi akan mendapatkan pengaruh yang nyata jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium. Tetapi, tidak hanya sektor transportasi yang akan berdampak. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dari Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu menyebutkan bahwa ada beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain untuk sektor transportasi, antara lain: usaha perikanan yang terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal dua hektar; usaha mikro; dan berbagai pelayanan umum lainnya. Semua pihak yang berada dalam sektor tersebut akan terkena dampak dari kenaikan harga BBM jenis premium.

Untuk mengendalikan konsumsi BBM, pemerintah memaparkan dan mencanangkan lima program. Program-program tersebut adalah konversi BBM ke bahan bakar gas; melarang kendaraan pelat merah, pertambangan dan perkebunan menggunakan BBM bersubsidi; melarang Perusahaan Listrik Negara

(20)

(PLN) membangun pembangkit listrik berbahan bakar BBM; melakukan penghematan di semua kantor pemerintah dan badan usaha milik negara.

Tabel 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Unit)

Tahun Mobil Penumpang Bus Truk Sepeda Motor Total

2006 466.117 129.547 373.703 1.481.789 2.451.156

2007 495.295 150.242 451.372 1.991.862 3.088.771

2008 507.552 162.705 451.495 2.126.612 3.248.364

2009 526.508 171.000 451.987 2.378.188 3.248.364

2010 548.641 177.578 451.372 2.615.527 3.811.158

Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011)

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari tahun 2006 sampai tahun 2010 jumlah mobil penumpang di Jawa Barat memiliki tren yang selalu meningkat. Peningkatan jumlah mobil penumpang di Jawa Barat berimplikasi kepada peningkatan volume konsumsi BBM jenis premium di Indonesia. Tingginya jumlah kendaraan di Jawa Barat menyebabkan kepadatan jalan yang jika tidak diantisipasi oleh pemerintah dapat mengakibatkan kemacetan dan masalah lainnya di masa yang akan datang.

Tabel 5. Jumlah Tanda No. Kendaraan Bermotor yang Dikeluarkan SAMSAT Polres Kota Bogor Tahun 2004, 2005 dan 2010 (Unit)

Tahun Mobil Penumpang Mobil Barang Bus Motor Total

2004 195.657 113.969 188.790 719.276 1.217.692

2005 200.218 123.352 212.500 970.572 1.506.642

2010 12.957 2.283 158 53.113 68.511

Sumber: Kota Bogor dalam Angka (BPS, 2011)

Data pada Tabel 5 menunjukkan data tahun 2004, 2005 dan 2010 mengenaik jumlah tanda nomor kendaraan yang dikeluarkan aparat negara yang berwenang. Volume kendaraan di atas menunjukkan bahwa setiap tahun Polres Kota Bogor mengeluarkan surat kendaraan bermotor yang berarti penambahan jumlah kendaraan bermotor secara agregat di Kota Bogor. Jumlah kendaraan bermotor yang diurus tanda nomor kendaraannya oleh Polres Kota Bogor memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini

(21)

8

dapat terjadi mungkin karena kuantitas dan kualitas jalan yang sudah cukup padat dan tidak memadai jika terjadi penambahan kendaraan yang lebih tinggi.

Tabel 6. Konsumsi BBM Jenis Premium di Indonesia Tahun 2005-2010 (Barel/Orang)

Tahun Jumlah Konsumsi BBM Jenis Premium (Ribu Barel)

Jumlah Penduduk

(Orang)

BBM Jenis Premium per Orang (Barel/Orang) 2005 344.780 227.303.175 1.52 2006 323.526 229.918.547 1.41 2007 333.060 232.461.746 1.43 2008 336.780 234.951.154 1.43 2009 330.721 237.414.495 1.39 2010 341.337 239.870.937 1.42

Sumber: Kementerian ESDM (2011), diolah

Dari data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa masing-masing orang mengkonsumsi lebih dari satu barel BBM jenis premium per tahunnya. Tingginya konsumsi ini mengindikasikan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan produktivitas masyarakat Indonesia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Berapakah nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengendara mobil pribadi terhadap BBM jenis premium per liter?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi respon masyarakat terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menghitung nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengguna mobil pribadi terhadap BBM jenis premium per liter.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi respon masyarakat terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

(22)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi akademisi dan peneliti khususnya di dalam pengembangan Model Regresi Logistik dan Crosstabs dengan SPSS yang terkait dengan respon masyarakat.

2. Bagi pemerintah, agar turut memperhatikan respon masyarakat tentang harga BBM jenis premium dan sebagai bahan pertimbangan kebijakan untuk menentukan harga BBM jenis premium yang sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) Wilayah penelitian dibatasi pada daerah Bogor; (2) Objek penelitian adalah pengendara mobil pribadi yang tinggal di sekitar wilayah penelitian sebagai responden; (3) Responden adalah mereka yang memiliki dan menggunakan mobil pribadi dengan BBM jenis premium sebagai bahan bakarnya.

(23)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Teori Kebijakan Publik-Subsidi

Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumber daya juga terciptanya harga dan kuantitas produksi dalam keseimbangan sehingga intervensi pemerintah tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Perekonomian di negara manapun tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut.

Salah satu cara untuk menanggulangi kegagalan pasar tersebut adalah dengan keberadaan subsidi. Subsidi adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka membantu suatu usaha atau untuk menjaga stabilitas harga bagi kepentingan masyarakat. Menurut Suparmoko (2003), subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk tunai, pinjaman bebas bunga, dan lain-lain) atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa, dan lain-lain). Subsidi diantaranya dapat berupa: subsidi produksi, pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan untuk menekan harga; subsidi pendapatan, diberikan pemerintah melalui transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu. Menurut Kamaludin (2003), meskipun subsidi ini memiliki kebaikan bagi usaha-usaha dan kepentingan masyarakat, tetapi subsidi juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

a. Subsidi dapat mengakibatkan hubungan persaingan yang tidak adil antara berbagai kegiatan usaha, karena pendistribusiannya tidak dapat dilakukan secara adil dan merata.

b. Subsidi dapat menyebabkan pemborosan baik dalam investasi modal maupun fasilitas yang berlebihan.

c. Subsidi dapat menyebabkan ketidakadilan antara pemakai jasa dan pembayar pajak yang tidak langsung merasakan manfaatnya.

(24)

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, pemerintah harus bisa melihat usaha atau kegiatan mana yang pantas untuk mendapatkan subsidi yang lebih besar dan usaha atau kegiatan mana yang harus dikurangi subsidinya. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi nelayan dan masyarakat.

2.1.1.1 Subsidi dan Elastisitas

Subsidi akan menggeser kurva permintaan ke atas untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau kurva penawaran ke bawah untuk produksi bersubsidi (subsidized production) Pengaruh kedua jenis subsidi ini pada kurva permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. P

S

D D’

Sumber: Spencer dan Amos (1993) Q

Gambar 1. Pengaruh Konsumsi Bersubsidi

Pada Gambar 1 konsumsi bersubsidi menggeser kurva permintaan D ke atas menjadi kurva permintaan D’. Di mana semakin banyak barang atau jasa dijual dengan harga subsidi akan semakin banyak jumlah permintaan konsumen terhadap barang atau jasa tersebut. Permintaan akan barang bersubsidi bergeser ke kanan atas karena daya beli masyarakat akan barang tersebut menjadi menguat. Harga barang tersebut menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan harga tanpa disubsidi. Kecenderungan masyarakat untuk membeli barang tersebut juga meningkat karena harganya yang lebih terjangkau dan ketersediaan barang tersebut di masyarakat.

(25)

12 P S S’ D Q

Sumber: Spencer dan Amos (1993)

Gambar 2. Pengaruh Produksi Bersubsidi di mana:

P = harga

Q = permintaan untuk produk tertentu S = kurva penawaran awal

S’ = kurva penawaran akhir D = kurva permintaan awal D’ = kurva permintaan akhir

Pada Gambar 2, produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Di mana semakin banyak barang atau jasa bersubsidi semakin banyak jumlah barang atau jasa tersebut yang ditawarkan.

Jika kedua Gambar tersebut digabung menjadi kurva baru, akan menghasilkan ekuilibrium baru yang lebih besar.

2.1.2 Pemerintah Sebagai Penyedia Barang Publik

Menurut Stiglitz (1999), suatu barang dikategorikan sebagai barang publik jika memenuhi salah satu atau kedua karakteristik sebagai berikut:

a. Non rival consumption, yaitu barang yang dapat dikonsumsi oleh individu tanpa mengurangi kesempatan bagi individu lain untuk mengonsumsinya, atau dapat dikonsumsi secara bersama-sama.

b. Non exclusion, yaitu tidak ada yang dapat menghalangi seseorang untuk mengonsumsi barang tersebut.

Jika kedua karakteristik tersebut ada pada sebuah barang, maka barang tersebut merupakan barang publik murni (pure public goods). Sedangkan barang yang hanya memiliki salah satu karakteristik dari kedua karakteristik tersebut,

(26)

atau properti lain (dapat dikonsumsi bersama atau tidak dapat dikecualikan) pada tingkat tertentu, maka barang tersebut merupakan barang publik tidak murni (impure public goods).

Secara faktual pemerintah menyediakan sarana dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan, karena kedua sektor ini memenuhi kriteria barang swasta yang disediakan secara publik (Stiglitz, 1999). Kekurangan penyediaan saran dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan biasanya dipenuhi oleh pihak swasta. Namun untuk menghindari adanya free rider yang dapat menyebabkan tidak efisiennya penyediaan barang di sektor tersebut, maka penyediaan sarana dan prasarana oleh pihak swasta tidak lagi menganut prinsip barang publik, tetapi menganut prinsip barang swasta.

Penyediaan barang publik dapat dilakukan secara publik maupun oleh pemerintah. Namun penyediaan barang publik yang dilakukan secara pribadi akan menimbulkan free rider, yang dapat menyebabkan penyediaan barang tersebut menjadi tidak efisien. Timbulnya free rider disebabkan karena sifat dari barang publik yang memberikan eksternalitas positif bagi orang lain, namun mereka enggan untuk berpartisipasi dalam penyediaan barang publik tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah dianggap pihak yang paling tepat untuk menyediakan barang publik bagi masyarakat.

Manusia akan berupaya untuk memenuhi tingkat tertinggi dari utilitasnya, sehingga akan memilih barang publik atau barang swasta berdasarkan marginal

rate of substitution (MRS) yang merupakan slope dari kurva indiferennya. Namun

setiap individu memiliki keterbatasan anggaran, yang besarnya adalah: Y= C + PG

Di mana T adalah pendapatan, C adalah konsumsi barang swasta dan P adalah harga yang harus dibayarkan untuk mengonsumsi setiap unit barang publik. G adalah jumlah barang publik yang disediakan.

(27)

14

Sumber: Stiglitz (1999)

Gambar 3. Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta Gambar 3 adalah ilustrasi kurva indiferen barang publik dan barang swasta. Secara grafis, utilitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap individu adalah di titik E pada gambar yang atas, yaitu titik perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran. Tetapi ketika harga (P) turun, sementara batas anggaran tetap, makajumlah barang publik (G) yang diminta bertambah, sehingga perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran di titik E’. Kurva ini juga menunjukkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk membelanjakan pendapatannya untuk membeli barang publik maupun barang swasta.

(28)

Secara makro, kita dapat melihat kurva permintaan agregat sebagai berikut:

Sumber: Mankiw (2007)

Gambar 4. Kurva Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat dapat naik atau turun mengikuti fakta di lapangan. Permintaan agregat dapat naik (kurva AD bergeser ke kanan) antara lain jika terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan gaji pegawai negeri, turunnya pajak perseorangan, panen raya, dan lain-lain.

2.1.3 Willingness to Pay (Kesediaan Membayar)

Menurut Smith dan Nagle (2002), Willingness to Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis willingness to pay didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan dan kebutuhan mereka terhadap BBM jenis premium. Permasalahan-permasalahan transportasi yang terjadi sering berhubungan dengan tingkat willingness to pay, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Dardela, 2009):

a. Produk yang ditawarkan oleh operator jasa pelayanan transportasi b. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan

c. Utilitas pengguna terhadapa produk tersebut d. Selera pengguna

WTPi dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Pada tahap ini, biasanya diabaikan penawaran sanggahan atau respon dari responden yang tidak dapat menentukan jumlah yang

(29)

16

ingin mereka bayarkan karena mereka tidak ingin mengikuti program pemerintah untuk membenahi masalah kemacetan (Nursusandhari dalam Agustya, 2011). 2.1.4 Regresi Logistik

Regresi Logistik atau yang lebih dikenal dengan metode logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah-peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Secara umum, apabila peubah respon dalam analisis regresi adalah peubah kategorik, maka analisis regresi yang dapat digunakan antara lain analisis regresi logistik. Analisis regresi logistik dapat dibagi menjadi regresi logistik biner, regresi logistik nominal dan regresi logistik ordinal.

Secara umum, analisis regresi logistik menggunakan peubah penjelasnya, yang dapat berupa peubah kategorik ataupun peubah numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Dalam analisis regresi logistik, pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke logit. Formulasi transformasi logit tersebut adalah:

Logit(pi) = logϱ �1−𝑃𝑖𝑃𝑖 �...(2.1) Pi adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk orang ke-i dan logϱ adalah logaritma dengan basis bilangan 𝜚. Kategori sukses secara umum menjadi perhatian dalam penelitian.

Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odd ratio. Nilai odd ratio yang didapat dapat mengindikasikan seberapa lebih mungkin (dalam kaitannya dengan odd ratio) munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya.

2.1.5 Analisis Crosstabs – Chi Square

Menurut Trihendradi (2009), analisis crosstabs merupakan analisis dasar untuk hubungan antar variabel kategori (nominal-ordinal). Penambahan variabel kontrol untuk mempertajam analisis sangat mungkin terjadi. Crosstabs data digunakan untuk mengetahui hubungan atau distribusi respons antara variabel data dalam bentuk baris dan kolom. Sedangkan analisis crosstabs – chi square adalah suatu analisis hubungan antar variabel data nominal (Yamin, 2009).

(30)

2.1.6 Metode Regresi Linier Berganda

Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas. Menurut Gujarati (2006), dalam analisis regresi diketahui dua bentuk model yaitu model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Pada model persamaan tunggal ada satu variabel tak bebas (Y) yang diterangkan oleh satu atau beberapa variabel X. Sementara dalam persamaan simultan, suatu variabel Y tidak hanya ditentukan oleh variabel X tetapi beberapa variabel X juga ditentukan oleh variabel Y atau ada dua variabel Y1 dan Y2 yang dipengaruhi secara bersama-sama oleh suatu variabel x. Adapun penelitian ini menggunakan analisis regresi dengan model persamaan tunggal yaitu analisis regresi linier berganda.

Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering

digunakan karena kemudahannya dalam mengolah data. Gujarati (1993) menyebutkan bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model ini, antara lain:

a. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS memiliki varians minimum.

b. Varians tiap unsur disturbance e1 tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang sama dengan σ2

yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians yang sama.

c. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau seperti dalam data cross sectional.

d. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari angka-angka yang tetap dan e1 didistribusikan secara normal.

(31)

18

2.2 Konsep dan Definisi

2.2.1 Kenaikan Harga BBM dan Subsidi BBM

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, pengolahan dan penyalurannya dikuasai oleh negara. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

BBM adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, yang berasal dari endapan sisa-sisa jasad hidup yang halus dan mengandung minyak. BBM merupakan energi sekunder yang dihasilkan dari proses transformasi minyak bumi. Menurut pasal 3 Undang-Undang No.4 tahun 1960, bahan galian minyak dan gas bumi adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, sementara usaha pertambangan dilaksanakan oleh perusahaan negara. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengolahan minyak mentah dan BBM dikuasai sepenuhnya oleh negara yang penguasaannya diwakili oleh pemerintah. Menurut Undang- Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dinyatakan bahwa migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan pemerintah yang ditetapkan sebagai pemegang kuasa pertambangan.

Menurut naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, subsidi BBM adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada PT. Pertamina (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi di mana pendapatan yang diperoleh PT. Pertamina dari kewajiban untuk menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan BBM tersebut.

Subsidi BBM merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk meringankan beban konsumen, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Tujuan pemberian subsidi BBM untuk membantu masyarakat menengah ke bawah ternyata kurang tepat sasaran. Pada kenyataannya penikmat terbesar subsidi BBM yang diberikan pemerintah adalah kelompok orang mampu karena pemberian subsidi BBM tidak membeda-bedakan golongan masyarakat. Alasan keadilan terhadap masyarakat miskin dan defisit anggaran membuat pemerintah mulai mengurangi anggaran untuk subsidi BBM dan mengalokasikannya untuk

(32)

subsidi bidang lain (bantuan langsung tunai, beras miskin, kartu sehat, beasiswa, dan lain-lain).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Premium

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 telah diatur bahwa harga ekonomis BBM didasarkan pada Mean of Platts Singapore (MOPS) atau harga rata-rata yang digunakan oleh negara Singapura. Selain itu, ada penambahan biaya distribusi dan margin yang akan diterima PT. Pertamina, yang disebut dengan faktor alpha. Selain kedua faktor tersebut, dalam perhitungan BBM ditambahkan pula pajak.

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Subsidi BBM merupakan salah satu yang menarik perhatian masyarakat luas karena berhubungan dengan pengeluaran riil mereka. Subari pada tahun 2008 menganalisis tentang dampak kebijakan penurunan subsidi BBM terhadap indikator makroekonomi. Penelitian ini difokuskan pada indikator-indikator makroekonomi seperti inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah dan neraca pembayaran. Hasilnya, jika pemerintah menurunkan jumlah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM akan berdampak pada terjadinya inflasi (namum tidak terlalu signifikan), terjadinya penurunan pertumbuhan nasional, terjadinya peningkatan pengangguran, menurunnya nilai tukar rupiah relatif terhadap mata uang asing dan terjadinya defisit neraca pembayaran.

Pada tahun 1998, terjadi guncangan ekonomi politik di dalam negeri. Hal ini memengaruhi kebijakan pemerintah pada tahun 2000 untuk mengurangi jumlah subsidi BBM. Nikensari dan Trianoso pada tahun 2003 menganalisis dampak penurunan subsidi BBM terhadap perekonomian Indonesia dengan model analisa komputasi keseimbangan umum. Data yang digunakan adalah data yang dibangun pada tahun 2000 dengan menggunakan tahun dasar data tahun 1998. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah menyebabkan harga beberapa komoditas meningkat. Tetapi untuk jangka pendek, kenaikan harga BBM masih berdampak positif pada variabel PDB dan variabel ekonomi lainnya, sedangkan untuk jangka panjang apabila kondisi perekonomian

(33)

20

tidak lebih baik dari kondisi perekonomian pada tahun 1998, maka akan menyebabkan penurunan persentase PDB dan variabel ekonomi lainnya.

Subsidi non-BBM memiliki peran yang penting juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Patriadi dan Handoko pada tahun 2005 melakukan analisis evaluasi kebijakan subsidi non BBM (subsidi pupuk, beras, suku bunga, kredit, obligasi publik, raskin). Analisis ini menggunakan penghitungan beban fiskal subsidi non-BBM terhadap APBN dan membandingkannya selama beberapa tahun dengan anggaran yang berbeda di Indonesia. Mereka menemukan bahwa beban subsidi non-BBM terhadap APBN ternyata relatif lebih ringan daripada beban subsidi BBM. Meskipun subsidi BBM memiliki porsi yang besar dalam APBN, subsidi non-BBM perlu dipertahankan untuk membantu masyarakat yang memiliki daya beli rendah.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki kebijakan subsidi BBM yang responsif dengan tingkat konsumsi BBM. Granado, Coady dan Gillingham (2010) menganalisis ketidakseimbangan manfaat dari subsidi BBM terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian mereka memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mereka observasi. Mereka menganalisis dampak langsungnya berdasarkan data pengeluaran BBM untuk memasak, listrik dan transportasi. Hasilnya, peningkatan harga BBM pada tahun 2003 hingga tahun 2008 memiliki dampak yang signifikan pada tingkat kesejahteraan rumah tangga. Beberapa negara dengan kebijakan harga jual BBM yang cukup tinggi mencerminkan tingkat pendapatan negara tersebut yang cukup tinggi juga. Hal ini membuat subsidi BBM menjadi salah satu instrumen kebijakan yang sangat penting dalam melindungi rumah tangga miskin dalam menghadapi tingginya harga minyak dunia. Transparansi dalam memberikan informasi tentang subsidi BBM kepada publik dapat mendukung reformasi dalam subsidi BBM.

2.4 Kerangka Pemikiran

Transportasi merupakan faktor yang penting dalam memengaruhi tingkat produktivitas seseorang. Transportasi berperan penting dalam pencapaian efisiensi seseorang dalam mobilitasnya. Mobilitas seseorang yang didorong untuk semakin

(34)

efisien menyebabkan masyarakat cenderung untuk menggunakan kendaraan mobil pribadi (pada kondisi tertentu). Maraknya kendaraan pribadi dewasa ini menyebabkan melonjaknya penggunaan BBM terutama jenis premium. Keterbatasan produksi minyak dalam negeri dari tahun ke tahun menyebabkan pemerintah melakukan impor minyak mentah dan memberikan subsidi terhadap harga jual BBM jenis premium yang disesuaikan dengan harga dunia dan kemampuan masyarakat dalam negeri.

Dengan pembengkakan dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana untuk menaikkan harga jual BBM jenis premium untuk masyarakat dan mengurangi jumlah subsidi. Subsidi diproyeksikan untuk dialihkan kepada subsidi lainnya, seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, dll.

Pertimbangan-pertimbangan yang sedang dipikirkan oleh pemerintah untuk menaikkan harga jual BBM jenis premium menjadi polemik bagi masyarakat karena akan mempengaruhi pengeluaran riil total. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon masyarakat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium terutama bagi pengendara mobil pribadi.

(35)

22

Subsidi BBM jenis premium merupakan cara pemerintah untuk membantu masyarakat agar dapat mengakses ketersediaan BBM jenis premium dengan lebih mudah. Tingginya harga minyak dunia dewasa ini dan tingkat konsumsi masyarakat akan BBM jenis premium yang juga meningkat menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah secara agregat. Karena pemerintah mulai merasa terbebani dengan subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana untuk meningkatkan harga jual BBM jenis premium di masyarakat. Penelitian ini menganalisis bagaimana respon masyarakat, terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi respon asyarakat tersebut. Pada akhirnya, akan diketahui berapa kesediaan membayar masyarakat terhadap satu liter BBM jenis premium. Subsidi BBM Tingginya Harga Minyak Dunia Pengeluaran Pemerintah Tingginya Konsumsi BBM Kebijakan Kenaikan Harga BBM

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respon

Setuju Respon Tidak Setuju

WTP

(36)

2.5 Hipotesis Penelitian

a. Jenis kelamin tidak memengaruhi respon masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

b. Usia seseorang memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

c. Jumlah tanggungan responden berpengaruh negatif terhadap rencana respon masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

d. Tingkat pendidikan memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium

e. Tingkat pendapatan responden memengaruhi respon masyarakat rencana terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

f. Tingkat pendapatan anggota keluarga lain memengaruhi respon masyarakat rencana terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

g. Kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga satu liter BBM jenis premium.

h. Perilaku menghemat memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

i. Tingkat konsumsi BBM jenis premium memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

j. CC mobil memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

(37)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang berjudul Analisis Respon Masyarakat terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di Bogor) ini dilakukan selama bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Dalam jangka waktu tersebut dilakukan pengambilan informasi dan data dari pengguna mobil pribadi yang mengonsumsi BBM jenis premium. Lokasi yang menjadi tempat pengambilan data tersebut adalah di beberapa tempat aksidental di Bogor.

3.2 Sumber dan Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan menggunakan kuisioner terhadap minimal 60 responden yang ada. Sementara data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga dari Badan Pusat Statistik.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket (kuisioner). Menurut Soeratno (1995), angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan untuk diisi oleh responden. Tujuan penggunaan angket adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan penelitian juga untuk memperoleh kesahihan yang cukup tinggi. Pertanyaan dalam angket ini mencakup tentang fakta (data diri responden), sikap dan pendapat, informasi (sejauh mana responden mengethaui sesuatu), dan respon diri (penilaian responden atas perilakunya sendiri).

Pemilihan responden dalam penelitian ini adalah dengan memakai metode

non-probability sampling. Non-probability sampling merupakan teknik penarikan

sampel yang memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel. Metode yang dipilih adalah

accidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, pada

(38)

3.4 Metode Analisis

3.4.1 Analisis Nilai WTP Pengendara Mobil Pribadi terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium

Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP ini meliputi (Hanley dan Spash, 1993):

1. Membangun Pasar Hipotesis

Pasa hipotetis dibentuk atas dasar tingginya pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai subsidi BBM jenis premium. Dengan harga jual BBM jenis premium yang relatif rendah, terjadi peningkatan konsumsi BBM jenis premium dan masalah-masalah baru muncul sebagai akibatnya, seperti kemacetan, polusi udara yang makin tinggi, dll. Selanjutnya pasar hipotetis dibentuk dalam skenario sebagai berikut:

“Jika pemerintah Indonesia memberlakukan harga jual baru terhadap satu liter BBM jenis premium untuk menekan pengeluaran pemerintah dan untuk meningkatkan efektivitas mobilitas dengan mengurangi frekuensi penggunaan mobil pribadi dan meningkatkan frekuensi penggunaan kendaraan umum massal.”

Pertanyaan yang menyangkut skenario adalah:

“ Setujukah bapak/ibu/saudara/saudari dengan kebijakan rencana kenaikan harga BBM jenis premium? Berapa besarnya biaya yang mampu bapak/ibu/saudara/saudari untuk satu liter BBM jenis premium?

2. WTPi dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar adalah berada di antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Perhitungan dari dugaan nilai WTP pengendara mobil pribadi ditentukan dengan rumus:

WTP = ∑𝑖=0𝑛 Wi, Pfi ... (3.1)

Di mana:

WTP = dugaan WTP (Rp)

(39)

26

Pfi = frekuensi relatif kelas ke-i

n = jumlah kelas i = sampel (1,2,3,...,n) 3.4.2 Model Regresi Logistik

Metode analisis data yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi individu adalah logistic regression model. Regresi logistik merupakan analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon (Firdaus, 2008). Model regresi logistik ini dianggap sebagai alat yang tepat untuk menganalisis data dalam penelitian ini karena variabel dependen dalam penelitian ini yaitu respon terhadap kenaikan harga BBM jenis premium yang bersifat dikotomi. Model regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik dengan dua pilihan (binnary logistic regression) yaitu regresi logistik dengan dua kategori atau binomial pada variabel dependennya “1” jika setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis premium, “0” jika tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis premium

Kelebihan model regresi logistik adalah lebih fleksibel dibanding teknik lainnya, antara lain (Ghozali, 2006):

a. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang digunakan dalam model. Artinya variabel penjelas tidak harus memiliki distribusi normal linier maupun memiliki varian yang sama setiap grup. b. Variabel bebas dalam regresi logistik bisa merupakan campuran dari

variabel kontinyu, diskrit dan dikotomis.

Regresi logistik digunakan apabila distribusi respon atas variabel terikat diharapkan non linier dengan satu atau lebih variabel bebas.

3.4.2.1 Spesifikasi Model Logit untuk Respon terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium

Perumusan model secara lengkap dapat dinotasikan dalam persamaan matematis sebagai berikut:

(40)

= Y = β0 + β1JK+ β2U + β3JT + β4P + β5I + β6IL + β7W+ β8H+ β9KP+ β10CC+µi...(3.2)

di mana:

Y = respon terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium JK = jenis kelamin

U = usia (tahun)

JT = jumlah tanggungan responden (orang) P = tingkat pendidikan

I = tingkat pendapatan responden (juta rupiah)

IL = tingkat pendapatan anggota keluarga lain (juta rupiah)

W = kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium (rupiah) H = perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium KP = konsumsi BBM jenis premium per bulan ( ratus ribu rupiah)

CC = CC mobil β = parameter µ = error terms

3.4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Penelitian

Variabel tak bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium (PP), sementara variabel bebas yang digunakan adalah jenis kelamin (JK), usia (U), tingkat pendidikan (P), jumlah tanggungan responden(JT), tingkat pendapatan responden (I), tingkat pendapatan anggota keluarga lain (IL), kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium (W), perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium (H), tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan (KP), CC mobil (CC). Variabel-variabel ini didapat dari hasil data primer dengan menggunakan kuisioner. Berikut adalah definisi operasional pada penelitian ini:

a. Respon terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (Y) Variabel ini adalah respon yang dipilih oleh responden tentang kenaikan harga BBM jenis premium. Pengukuran variabel ini menggunakan ukuran nominal, di mana:

(41)

28

• 1 = jika responden setuju terhadap kenaikan BBM jenis premium • 0 = jika responden tidak setuju terhadap kenaikan BBM jenis

premium b. Jenis Kelamin (JK)

Variabel ini mencerminkan jenis kelamin responden. Variabel ini terdiri dari dua kategori, yaitu jenis kelamin pria dan jenis kelamin perempuan. Pengukuran variabel ini menggunakan ukuran nomial, di mana:

• 1 = pria • 0 = wanita c. Usia (U)

Variabel ini adalah variabel yang mencerminkan usia responden. Variabel ini berupa data metrik dan diukur dengan ukuran rasio dengan satuan tahun.

d. Jumlah Tanggungan Responden (JT)

Variabel ini mencerminkan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh responden. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan satuan orang.

e. Tingkat Pendidikan (P)

Variabel ini merepresentasikan latar belakang pendidikan responden. Variabel ini berupa variabel politom yang terdiri dari empat kategori. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran ordinal, di mana:

• 1 = Sekolah Dasar (SD)

• 2 = Sekolah Menengah Pertama (SMP) • 3 = Sekolah Menengah Atas (SMA)

• 4 = Perguruan Tinggi (Diploma, S1, S2, S3) f. Tingkat Pendapatan Responden (I)

Variabel ini mencerminkan pendapatan yang diterima responden. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan satuan juta rupiah. g. Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain (IL)

Variabel ini mencerminkan pendapatan yang diterima oleh anggota keluarga lain dari masing-masing responden. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan satuan juta rupiah.

(42)

h. Kesediaan Membayar terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium (W)

Kesediaan Membayar (WTP) yang diberikan oleh responden menggunakan ukuran rasio dengan satuan rupiah.

i. Perilaku Menghemat Jika Terjadi Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (H)

Variabel ini merupakan pilihan yang diberikan kepada konsumen apabila terjadi kenaikan harga BBM jenis premium. Variabel ini menggunakan ukuran ordinal di mana:

• 1 = menghemat konsumsi BBM jenis premium jika terjadi kenaikan harga

• 0 = tidak menghemat konsumsi BBM jenis premium jika terjadi kenaikan harga

j. Tingkat Konsumsi BBM Jenis Premium per Bulan (KP)

Variabel ini mencerminkan jumlah premium yang dikonsumsi oleh responden tiap bulan. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan satuan ribu rupiah.

k. CC Mobil (CC)

Variabel ini merupakan CC mobil yang dimiliki oleh responden dan menggunakan ukuran nominal.

3.4.4 Model Analisis Regresi Linier Berganda

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan membayar pengendara mobil pribadi terhadap satu liter BBM jenis premium adalah jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan responden, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan responden, tingkat pendapatan anggota keluarga lain, perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan dan CC mobil. Berikut model persamaannya:

Y = β0 + β1JK+ β2U + β3JT + β4P + β5I + β6IL + β7H+ β8KP+ β9CC+µi...(3.3)

di mana:

Y = kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium JK = jenis kelamin

(43)

30

U = usia (tahun)

JT = jumlah tanggungan responden (orang) P = tingkat pendidikan

I = tingkat pendapatan responden (juta rupiah)

IL = tingkat pendapatan anggota keluarga lain (juta rupiah)

H = perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium KP = konsumsi BBM jenis premium per bulan ( ratus ribu rupiah)

CC = CC mobil β = parameter µ = error terms

(44)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Responden

Lokasi penelitian dilakukan di sekitar Bogor, bagi pemilik dan pengendara mobil pribadi. Lokasi yang aksidental berada di sekitar kampus IPB, Indraprasta (perumahan di Bogor Utara) dan di pusat perbelanjaan (Botani Square) yang berada di Jalan Pajajaran. Karakteristik umum responden ini berdasarkan mobil pribadi yang dimiliki sejak tahun 2000 ke atas. Selain itu, responden dinilai dari berbagai variabel, antara lain: jenis kelamin (JK), usia (U), jumlah tanggungan responden (JT), tingkat pendidikan (P), tingkat pendapatan responden (I), tingkat pendapatan anggota keluarga lain (IL), kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium (W), perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium (H), tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan (KP) dan CC mobil (CC). Faktor-faktor yang berhubungan dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Respon Pengendara Mobil Pribadi terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis

Premium di Bogor (2012) Fakt or Signifi kan Df Chi Square Hitung Chi Square Tabel Korelasi Rank Spearman Keterangan JK 0,233 1 1,425 3,841 -0,154 Tidak berhubungan nyata U 0,041 26 39,777 38,885 -0,382 Berhubungan nyata JT 0,000 6 33,975 12,592 -0,434 Berhubungan nyata P 0,991 2 0,018 5,991 0,000 Tidak berhubungan nyata I 0,050 25 37,634 37,652 0,099 Tidak berhubungan nyata IL 0,054 18 28,536 28,869 0,162 Tidak berhubungan nyata W 0,009 3 11,662 7,815 0,410 Berhubungan nyata H 0,391 2 1,880 5,991 0,048 Tidak berhubungan nyata KP 0,198 21 26,218 32,671 0,250 Tidak berhubungan nyata CC 0,857 8 3,999 15,507 0,031 Tidak berhubungan nyata

(45)

32

4.1.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor pembeda dasar dari responden yang ditemui. Dari 60 responden yang ditemui, terdapat perbedaan rasio jenis kelamin yang telah diolah dalam Gambar 5

Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Jenis Kelamin di Bogor (2012)

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa rasio pria lebih besar dibandingkan dengan rasio wanita. 65 persen responden berjenis kelamin pria dan sisanya sebesar 35 persen berjenis kelamin wanita. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pria cenderung memiliki dan mengendarai mobil pribadi daripada wanita.

Tabel 8. Deskripsi Respon Berdasarkan Jenis Kelamin di Bogor (2012)

Jenis Kelamin

Respon (Jumlah)

Rasio Setuju/Tidak Setuju

Setuju Tidak Setuju

Pria 16 23 0,69

Wanita 12 9 1,33

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa ada variasi respon antara pria dan wanita. Rasio respon wanita untuk setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium adalah dua kali lebih besar dibandingkan rasio respon pria untuk setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. Sebanyak 14 pria setuju jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, sementara 25 pria lainnya tidak setuju. Lalu, sebanyak 11 wanita setuju jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, sementara 10 wanita lainnya tidak setuju.

Pengujian dua variabel dilakukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh atau terdapat hubungan nyata antara faktor pribadi dengan respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium (Tabel 7).

35%

65%

W P

(46)

Hubungan antara jenis kelamin dengan respon yang diperoleh dari Chi

Square Test menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara jenis kelamin

dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Asymp. Sig (2-sided) Pearson Chi

Square adalah 0,233 yang nilainya lebih besar daripada alpha (α=0,05) dan nilai Chi Squarehitung sebesar 1,425 (df=1) atau lebih kecil dari Chi-Squaretabel sebesar 3,841. Nilai tersebut menyatakan bahwa keputusan pengujian variabel tersebut adalah jenis kelamin tidak berhubungan terhadap respon pengendara mobil pribadi pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dengan kata lain jenis kelamin seseorang tidak memiliki hubungan nyata terhadap respon, hal ini mungkin terjadi karena pengendara mobil pribadi dengan jenis kelamin apapun tetap peduli dengan rencana kenaikan harga BBM jenis premium dan respon mereka tidak dibatasi oleh jenis kelamin.

4.1.2 Usia

Tingkat umur responden cukup bervariasi, mulai dari 20 tahun ke bawah sampai dengan di atas 50 tahun. Distribusi tingkat umur responden tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Usia (Tahun) di Bogor (2012)

Dari Gambar 6 terlihat bahwa responden terbanyak berada pada rentang umur 21-30 tahun yaitu sejumlah 21 orang atau 35 persen dari keseluruhan responden, dan pada rentang umur 41-50 tahun sebanyak 20 orang atau 33 persen dari keseluruhan responden. Responden yang berada pada rentang umur 31-40 tahun berjumlah sembilan orang dengan persentasi 15 persen dari keseluruhan responden, responden yang berusia lebih dari 50 tahun juga memiliki persentasi

2% 35% 15% 33% 15% ≤20 21-30 31-40 41-50 >50

(47)

34

sebesar 15 persen atau sembilan orang. Responden yang berusia kurang dari 20 tahun yaitu satu orang atau dua persen dari keseluruhan responden. Kesimpulan dari data di atas adalah pengendara mobil pribadi pada usia dewasa (di atas 20 tahun) hingga usia 50 tahun merupakan mayoritas pemilik dan pengguna mobil pribadi.

Tabel 9. Deskripsi Respon Berdasarkan Usia di Bogor (2012)

Usia Respon (Jumlah) Rasio Setuju/Tidak Setuju

Setuju Tidak Setuju

≤ 20 1 0 -

21-30 15 6 2,50

31-40 2 7 0,29

41-50 8 12 0,67

>50 2 7 0,29

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa responden pada rentang usia antara 20 tahun hingga 30 tahun memiliki nilai rasio (setuju/tidak setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium) yang paling besar. Pada rentang usia 31-40 tahun nilai rasionya paling kecil, berarti pada rentang usia ini responden paling tidak setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan alat analisis Chi Square

Test pada Tabel 7, terlihat bahwa ada hubungan yang signifikan antara respon

pengendara mobil pribadi dengan usia mereka. Chi Square Test yang dilakukan menghasilkan nilai signifikan 0,041 lebih kecil dari alpha (α=0,05) dan nilai Chi

Squarehitung sebesar 39,777 (df=26) lebih besar dari nilai Chi Squaretabel sebesar 38,885. Nilai korelasi Rank Spearman yang diperoleh adalah -0,382 yang lebih besar daripada alpha (α=0,05). Artinya, variabel usia memiliki hubungan dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium, tetapi tidak ada pengaruh di antara keduanya.

4.1.3 Jumlah Tanggungan Responden

Jumlah tanggungan responden merupakan jumlah anak yang dimiliki oleh responden.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa sebesar 30 persen dari total responden tidak memiliki anak atau sebanyak 18 responden dari total 60 responden. Responden lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut: responden yang memiliki

Gambar

Tabel 2.  Pengeluaran dan Subsidi Pemerintah di Indonesia Tahun  2005-2011     (Triliun Rupiah)
Tabel 3.  Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di  Indonesia Tahun 2008-2010 (Unit)
Tabel 4.  Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Jawa  Barat Tahun 2006-2010 (Unit)
Tabel 6.  Konsumsi BBM Jenis Premium di Indonesia Tahun 2005-2010  (Barel/Orang)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan tidak terdapat pengaruh pada variabel independensi dewan komisaris, rata-rata lama jabatan dewan komisaris pada pengalaman dewan komisaris, role duality, ukuran

Berdasarkan data sejak tahun 2007, penggunaan teknologi DSL untuk layanan komunikasi data pelanggan perusahaan berjalan dengan baik, permintaan pasang baru dapat

Faktor-faktor yang memengaruhi respon pemilik jasa sewa angkutan barang setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM adalah pendidikan, frekuensi sewa per

Saat ini Program Studi Kedokteran Gigi belum mempunyai peraturan tentang keanggotaan tim penguji dalam ujian akhir studi, yang terkait dengan program pendidikan magister

Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai lesi pra keganasan dan keganasan di rongga mulut, meliputi etiologi, patogenesis, gambaran klinis dan penatalaksanaannya

i) Adventure Game, Game ini adalah game petualangan yang mengutamakan masalah eksplorasi dan pemecahan teka-teki. Namun terkadang meliputi masalah konseptual,

Kamus Kimia merupakan aplikasi mobile yang berisi kumpulan istilah Kimia yang dilengkapi dengan penjelasannya.. Aplikasi ini diharapkan dapat membantu pelajar/kimiawan untuk