• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN POLITIK DAN EKONOMI BANGSA INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN. Nina Witasari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KEHIDUPAN POLITIK DAN EKONOMI BANGSA INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN. Nina Witasari"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN POLITIK DAN EKONOMI BANGSA INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Nina Witasari A. Konstituante

Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang – Undang Dasar baru atau Konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950.Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa “Konstituante (lembaga pembuat UUD) bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Konstituante terdiri dari 550 orang sebagai hasil dari pemilu 1955 yang diketuai oleh Mr. Wilopo dari PNI sebagai hasil sidang konstituante pada tanggal 20 November 1956.

Konstituante mulai bersidang pada tanggal 10 Nopember 1956 di Bandung. Sepuluh hari berikutnya yaitu pada tanggal 20 November 1956, terpilih Mr. Wilopo dari PNI sebagai Ketua Konstituante setelah bersaing dengan KH. Mohammad Dahlan. Mr. Wilopo meraih 220 suara, sedangkan KH. Moh. Dahlan 210. Setelah terpilih ketua, selanjutnya di pilih wakil ketua I dan wakil ketua II. Wakil Ketua I jatuh ke tangan Prawoto dari Masyumi, sedangkan Wakil Ketua II dimenangkan oleh Fatturahman dari NU.

Berikutnya Konstituante melaksanakan sidang untuk merumuskan UUD yang baru dalam rangka menggantikan UUDS 1950. Namun sampai tahun 1958 Konstituante belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya perdebatan sengit yang berlarut-larut karena anggota Konstituante lebih mementingkan partainya dibanding kepentingan negara. Dalam kondisi tersebut, muncul pendapat di masyarakat untuk kembali kepada UUD 1945. Pawai, rapat, demonstrasi dan berbagai petisi dilancarkan dimana-mana untuk menuntut agar diberlakukan kembali UUD 1945. Dalam keadaan tersebut Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya

(2)

menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Amanat ini diperdebatkan dan akhirnya diputuskan untuk melakukan pemungutan suara.

Pada tanggal 30 Mei 1959, konstituante melaksanakan pemungutan suara untuk menentukan pemberlakuan kembali UUD 1945. Hasilnya 269 suara menyetujui, dan 199 suara tidak menyetujuinya. Meskipun suara yang menyetujui lebih banyak dari pada yang tidak setuju, tetapi hasil pemungutan suara tersebut masih belum memenuhi kuorum sehingga harus diulang lagi. Pemungutan suara kembali di adakan pada 1 dan 2 Juni 1959. Dari dua kali pemungutan suara, Konstituante kembali gagal mencapai dua pertiga suara yang dibutuhkan. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan untuk reses (istirahat dari kegiatan sidang) yang ternyata

Kegagalan Konstituante dalam menyusun UUD yang baru terjadi karena sering terjadi perpecahan pendapat antara anggota Konstituante. Terlebih, konstituante terpecah ke dalam dua kelompok besar yang saling bertentangan, yaitu kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Kelompok Islam menghendaki dasar Negara Islam. Sedangkan kelompok nasionalis menghendaki dasar Negara Pancasila. Kegagalan konstituante juga terjadi karena pada saat pemungutan suara tidak bisa memenuhi kuorum seperti yang di amanatkan pada pasal 137 UUDS 1950 bahwa untuk mengesahkan suatu keputusan harus mendapat persetujuan 2/3 jumlah anggota. Setelah gagal melakukan pemungutan suara, banyak diantara anggota konstituante menolak untuk menghadiri sidang konstituante, sehingga setelah masa reses berakhir, sidang konstituante tidak kunjung juga dilaksanakan.

Pemilu 1955 ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang diharapkan. Bahkan muncul perpecahan antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah.Beberapa daerah mengumumkan berdirinya gerakan-gerakan bersifat kedaerahan seperti berdirinya Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Benteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri. Daerah – daerah tersebut tidak mengakui pemerintah pusat dan bahkan membentuk pemerintahan sendiri seperti PRRI dan PERMESTA.

Karena adanya perpecahan dan ketidakstabilan politik seperti yang disebutkan diatas, Presiden Soekarno beranggapan bahwa Sistem Demokrasi Liberal tidak cocok

(3)

untuk dilaksanakan di Indonesia, sehingga pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain (1) Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin, (2) Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong” yang menteri-menterinya terdiri atas orang –orang dari empat partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI), (3) Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta atau pun tidak.

Partai – partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpendapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante.

Setelah keluarnya konsepsi presiden tersebut, pergolakan – pergolakan di daerah justru semakin meningkat. Untuk meredakan pergolakan tersebut, pada tanggal 14 September 1957 diadakan Musyawarah Nasional di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56 yang dihadiri oleh tokoh – tokoh dari pusat dan daerah. Musyawarah tersebut membahas beberapa masalah, terutama masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang dan pembagian wilayah RI. Musyawarah Nasional kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada bulan Nopember 1957.

Melihat kondisi politik yang tidak stabil, dengan banyaknya pergolakan diberbagai daerah, maka pada tanggal 14 Maret 1957, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 40 Tahun 1957 dengan menimbang “bahwa berhubungan dengan keadaan dan ketertiban umum diseluruh wilayah negara Republik Indonesia pada waktu sekarang ini, maka perlu adanya keadaan darurat perang dalam seluruh wilayah tersebut”. Keputusan ini juga menyatakan bahwa seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairan, dalam keadaan perang.

Kemudian Surat Keputusan ini diperkuat dengan dikeluarkannya kembali Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 225 Tahun 1957 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Desember 1957. Keputusan ini kemudian di undangkan pada tanggal 27 Desember 1957 dengan terbitnya Undang – Undang Republik Indonesia No. 79 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah

(4)

Dilakukan Dengan Keputusan Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957.

Selanjutnya dengan gagalnya konstituante merumuskan UUD yang baru dan juga tidak berhasil pada saat melakukan pemungutan suara untuk memberlakukan kembali UUD 1945, dan reses sejak 3 Juni 1959, pemerintah menganggap negara semakin dalam keadaan berbahaya. Untuk menanggulangi hal – hal yang dapat membahayakan negara, Letjen AH.Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik dengan megeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No.Prt/Peperpu/045/1959 tanggal 23 Juli 1959, disementara daerah No. Prt/Peperpu/040/1959 tanggal 3 Juli 1959. Peraturan ini pada tahun 1960 diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Republik Indonesia Nomor 60. Isi dari peraturan tersebut pada intinya adalah melarang semua kegiatan politik yaitu setiap perbuatan yang aktif dalam bentuk nyata secara lahir yang dilakukan baik didepan umum maupun secara tertutup, baik oleh perorangan, maupun secara kerja sama dari sejumlah orang yang mempunyai persamaan faham, azas tujuan politik atau azas tujuan kepentingan golongan yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi haluan negara.

B. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit/dekret berasal dari bahasa latin decernere yang berarti mengakhiri, memutuskan atau menentukan. Dekrit adalah perintah yang dikeluarkan oleh kepala negara maupun pemerintahan dan memiliki kekuatan hukum. Dekrit biasanya dikeluarkan dalam keadaan darurat tanpa status hukum yang pasti. Tujuan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah Negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Dengan melihat berbagai kondisi yang terjadi selama masa demokrasi Liberal, pemilu yang tidak bisa menciptakan stabilitas politik, gejolak di berbagai daerah, diperparah dengan kekagagalan Konstituante dalam merumuskan UUD yang baru, maka presiden menganggap Indonesia dalam keadaan bahaya sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 ia mengeluarkan dekrit.

Inti dari dekrit presiden 5 Juli 1959 tersebut antara lain Menetapkan pembubaran Konstituante; hal ini terjadi karena konstituante dianggap gagal dalam

(5)

merumuskan UUD yang baru dan setelah pemungutan suara tanggal 2 Juni 19659, konstituante tidak lagi bersidang atau membubarkan diri, Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakuknya UUDS 1950. Hal ini sejalan dengan cita – cita awal berdirinya Negara Indonesia yang tercantum dalam Piagam Jakarta, Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Gambar 1 Pembacaan Dekrit 5 Juli 1959 oleh Soekarno

Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka pada hari Minggu 5 Juli 1959 pukul 17.00 waktu Jawa. Dekrit presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari masyarakat. Kepala Staf Angkatan Darat memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPr dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja dengan berpedoman kepada UUD 1945.

C. Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin adalah sebuah system demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin muncul seiring keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1959. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi akhir dari Demokrasi Liberal dan awal bagi Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Dalam hal

(6)

ini, Demokrasi Terpimpin diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan yang ada pada masa Demokrasi Liberal.

Konsepsi Demokrasi Terpimpin dalam pandangan Soekarno bercirikan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan. Meskipun berbeda dengan demokrasi perwakilan, namun demokrasi terpimpin bukan bentuk ketidaktaktoran atau sentralisme. Kepemimpinan akan didasarkan pada musyawarah, demokrasi terpimpin merupakan cara bukan tujuan, dan demokrasi terpimpin dimaksudkan sebagai demokrasi gotong-royong (Poesponegoro,2010).

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), politik luar negeri Indonesia lebih banyak mengarah kepada politik konfrontasi. Politik konfrontasi ditujukan kepada negara – negara kapitalis, yaitu Amerika Serikat dan Eropa Barat. Politik ini kemudian dianggap bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif.

Kebijakan – kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin selain bertentangan dengan politik bebas aktif, juga dianggap menguntungkan PKI. Kebijakan yang dianggap menyimpang dari politik bebas aktif antara lain adanya pandangan tentang kekuatan yang saling berlawanan yaitu Oldefo dan Nefo, yang dalam hal ini memposisikan Indonesia masuk kedalam kelompok Nefo. Selain itu Indonesia juga menggunakan politik mercusuar dan membentuk poros Jakarta – Peking.

Dari ciri-ciri tersebut dengan sendirinya sistem Demokrasi Terpimpin akan mengarah pada perombakan politik partai dan menghapus sistem multipartai, serta menyediakan tempat untuk perwakilan golongan fungsional. Dapat diduga bahwa dengan sistem seperti ini kedudukan Soekarno sebagai Presiden jauh lebih kuat dari sistim parlementer sebelumnya, karena kekuasaan eksekutif dan legislatif dipusatkan di tangan Presiden. Untuk meyakinkan agar sistem demokrasi Terpimpin bisa diterima, Soekarno selalu mengatakan bahwa sistem demokrasi parlementer yang berlaku saat itu menjadi penyebab utama kerawanan politik. Pandangan Soekarno ini tentunya tidak diterima sepenuhnya, semua partai politik yang membela sistem partai sebagai asas demokrasi menolaknya. Orang-orang dalampartai menegaskan bahwa setiap perubahan dalam sistem partai harus dilakukan melalui Parlemen.

Dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dengan berdasarkan UUD 1945, situasi politik Indonesia diwarnai oleh kepentingan politik antara Soekano, TNI-AD,

(7)

dan PKI, yang berbuah pada ketegangan politik dan bermuara pada konflik. Konflik kepentingan terjadi antara Soekarno dengan TNI-AD, dan TNI-AD dengan PKI. Meskipun Soekarno dan TNI-AD sejalan dalam upaya-upaya mencapai tujuan nasional seperti diperlihatkan dalam kesepakatannya untuk kembali ke UUD 1945 dan mengubur partai-partai politik. Namun dalam pelaksanaannya sering berbeda.

Nasution dan militer mendukung sebagian besar gagasan-gagasan nasionalistis dan anti-Barat Soekarno. Akan tetapi, menolak usaha Soekarno menarik Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih erat ke dalam konstelasi kekuasaan (Sundhaussen, 2001). Soekarno semakin khawatir akan pertumbuhan kekuatan militer, khususnya kekuatan Nasution. Oleh karenanya, Soekarno berusaha mengurangi ketergantungannya dengan militer. Berbagai dukungan Soekarno terhadap PKI dalam pusaran kekuasaan menyebabkan terdesaknya posisi TNI-AD, sehingga kedekatan PKI dengan Soekarno dalam pandangan TNI-AD cukup meresahkan, karena akan memperkuat pengaruh PKI. Dari sinilah awal mula ketegangan TNI-AD dan PKI yang membuahkan konflik di antara keduanya.

dengan militer. Berbagai dukungan Soekarno terhadap PKI dalam pusaran kekuasaan menyebabkan terdesaknya posisi TNI-AD, sehingga kedekatan PKI dengan Soekarno dalam pandangan TNI-AD cukup meresahkan, karena akan memperkuat pengaruh PKI. Dari sinilah awal mula ketegangan TNI-AD dan PKI yang membuahkan konflik di antara keduanya.

D. Pembebasan Irian Barat

Pada Tanggal 4 Desember 1950 diadakan konferensi Uni Indonesia Belanda. Dalam konferensi itu Indonesia mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat secara de jure. Namun ditolak oleh Belanda. Lalu pada pada bulan Desember 1951 diadakan perundingan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini membahas pembatalan uni dan masuknya Irian Barat ke wilayah NKRI, namun gagal. Bulan September 1952, Indonesia mengirim nota politik tentang perundingan Indonesia Belanda mengenai Irian Barat, namun kembali gagal.

Perjuangan Diplomasi Tingkat Internasional yang dilakukan antara dua negara menemukan jalan buntu, maka perjuangan berlanjut pada tataran Internasional. Dimulai dari Konferensi Colombo bulan April 1954, Indonesia memajukan masalah

(8)

Irian Barat. Indonesia berhasil mendapat dukungan. Perjalanan berlanjut pada tahun 1954 Indonesia mengajukan masalah Irian Barat dalam sidang PBB. Namun mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan yang kuat. Angin segar di dapatkan dalam KAA tahun 1955 Indonesia mendapat dukungan dalam masalah Irian Barat. Hingga tahun 1956, perundingan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat mengalami kegagalan. Karena terus mengalami kegagalan dan tidak ada itikad baik dari Belanda untuk menyelesaikannya, maka pemerintah Indonesia mengambil jalan konfrontasi.

Gambar 2 Soekarno di KAA 1955

Kegagalan perundingan penyelesaian Irian Barat di forum PBB serta sikap pemerintah yang di nilai lunak terhadap Belanda menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Sampai tahun 1957 pemerintah Indonesia telah mengupayakan penyelesaian sengketa Irian Barat secara damai, baik melalui perundingan bilateral, muapun forum internasional lainnya. Kegagalan ini mendorong perubahan politik luar negeri Indonesia dari defensif ke ofensif.

Sejak tahun 1957 Indonesia melancarkan aksi konfrontasi dalam upaya pembebasan Irian Barat. Jalan konfrontasi yang pertama ditempuh adalah konfrontasi bidang ekonomi. Bentuk konfrontasi ekonomi dilakukan dengan tindakan-tindakan berikut ini: Nasionalisasi de javasche Bank menjadi Bank Indonesia tahun 1951, pemerintah Indonesia melarang maskapai penerbangan Belanda (KLM) melakukan penerbangan dan pendaratan di wilayah Indonesia, pemerintah Indonesia melarang

(9)

beredarnya terbitan berbahasa Belanda, Pemogokan buruh secara total pada perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia yang memuncak pada tanggal 2 Desember 1957. Semua perwakilan konsuler Belanda di Indonesia dihentikan mulai 5 Desember 1957. Pada saat itu juga dilakukan aksi pengambilalihan atau nasionalisasi secara sepihak terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Netherlandsche Handel Maatscappij (NHM) menjadi Bank Dagang Negara, Bank Escompto, dan percetakan de Unie.

Tindakan Indonesia yang mengambil alih seluruh modal dan perusahaan Belanda menimbulkan kemarahan Belanda, bahkan negara-negara Barat sangat terkejut atas tindakan Indonesia tersebut. Akibatnya hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang, bahkan PBB tidak lagi mencantumkan masalah Irian Barat dalam agenda sidangnya sejak tahun 1958.

Di samping melalui konfrontasi ekonomi, pemerintah RI juga melakukan konfrontasi politik. Pada tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB yang dikukuhkan dalam UU No 13 tahun 1956. Kemudian untuk mengesahkan kekuasaannya atas Irian Barat, maka pada tanggal 17 Agustus 1956 pemerintah Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu kotanya Soa Siu. Wilayahnya meliputi wilayah yang diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile. Gubernurnya yang pertama adalah Zainal Abidin Syah. Selanjutnya dibentuk Partai Persatuan Cenderawasih dengan tujuan untuk dapat segera menggabungkan wilayah Irian Barat ke dalam RI. Pada tanggal 4 Januari 1958 pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Tujuannya untuk mengerahkan massa dalam upaya pembebasan Irian Barat. Ketegangan Indonesia-Belanda makin memuncak ketika Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.

Pembangunan militer dilakukan sejak 1958 melalui berbagai kontrak pembelian perlengkapan militer terhadap. Pembelian kapal dan pesat perang dilakukan dengan Polandia, Cekoslavia, dan Yugoslavia. Tahun 1959 hal yang sama juga dilakukan dengan membeli peralatan perang dari Amerika Serikat dan negara Eropa Barat. Akbat pemberontakan PRRI/Permesta pengiriman ini kemudian ditangguhkan. Hal ini membuat Indonesia mencari peralatan militer kenegara Blok Timur.

(10)

Untuk meningkatkan perjuangan, Dewan Pertahanan Nasional merumuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang dibacakan Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Sebagai tindak lanjut dari Trikora, pemerintah mengambil langkah-langkah berikut.

a. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial. b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.

c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air Bangsa.

Isi Trikora ini kemudian ditindak lanjuti dengan melakukan rapat ada 31 Desember 1961 Depertan dan Koti yang menghasilkan: Pembentukan Provinsi Irian Barat gaya baru dengan ibukota Kota Baru dan Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 13 Januari 1962.

Sebagai Panglima Komando Mandala ditunjuk Mayjen Soeharto. Markasnya berada di Makasar. Berikut ini tugas Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer. Menciptakan daerah bebas secara defacto atau mendudukkan unsur kekuasaan RI di Irian Barat. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka Panglima Mandala menyusun strategi Panglima Mandala.

Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi peristiwa Laut Aru. Ada tiga yang melakukan patroli laut yaitu MTB yaitu MTB RI Macan Tutul, MTB RI Harimau, dan MTB Macan Kumbang diserang oleh Belanda dari laut dan udara. Ketika itu ketiga kapal sedang mengadakan patroli di Laut Aru. Komodor Yos Sudarso segera mengambil alih komando MTB Macan Tutul dan memerintahkan kedua MTB lainnya mundur untuk menyelamatkan diri. Dalam pertempuran tersebut, akhirnya MTB Macan Tutul bersama Kapten Wiratno dan Komodor Yos Sudarso terbakar dan tenggelam (Moedjianto, 2009). Dalam rangka konfrontasi, pemerintah mengadakan operasi militer. Operasi militer yang dilaksanakan antara lain Operasi Serigala (di Sorong dan Teminabuan), Operasi Naga (di Merauke), Operasi Banteng Ketaton (di Fak-Fak dan Kaimana), dan Operasi Jaya Wijaya. Operasi yang terakhir dilaksanakan adalah Operasi Wisnumurti. Operasi ini dilaksanakan saat penyerahan Irian Barat

(11)

kepada RI tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal yang sama Komando Mandala juga secara resmi dibubarkan.

Konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat mendapat perhatian dunia. Badan PBB pun mulai menunjukkan perhatiannya dengan mengutus Ellsworth Bunker (seorang diplomat Amerika Serikat) untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan rencana penyelesaian Irian Barat yang terkenal dengan nama Rencana Bunker (Bunker’s Plan) (Sundhaussen, 2001).

Gambar 3. Komodor Yos Sudarso

Gambar 4. MTB Harimau

Gambar 5. MTB Macan Tutul

Pemerintah RI menyetujui usul tersebut, namun Belanda menolaknya. Amerika Serikat yang semula mendukung posisi Belanda, berbalik menekan Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962, Belanda bersedia berunding dengan Indonesia. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan yang diberi nama Perjanjian New York. Berikut ini isi Perjanjian New York.

a. Penghentian permusuhan.

b. Setelah persetujuan disahkan, paling lambat 1 Oktober 1962 UNTEA menerima Irian Barat dari Belanda. Sejak saat itu, bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB.

c. Pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah UNTEA. d. Angkatan Perang Belanda dan pegawai sipilnya berangsur-angsur dipulangkan

(12)

e. Bendera Indonesia mulai berkibar 31 Desember 1962 di samping bendera PBB. f. Pemerintah RI menerima pemerintahan di Irian Barat pada tanggal 1 Mei 1963. g. Pada tahun 1969 diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Sebagai tindak lanjut dari Persetujuan New York, Sekjen PBB menunjuk Rolsz Bennet dari Guatemala sebagai Gubernur UNTEA merangkap wakil Sekjen PBB di Irian Barat. Berdasar Persetujuan New York tahun 1962, di Irian Barat diselenggarakan “act of free choice” atau Penentuan Pendapat Rakyat (pepera). Dewan Musyawarah Pepera dengan suara bulat memutuskan bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia.

E. Konfrontasi Indonesia Malaysia

Pada periode terpimpin dimana Soekarno yang menjadi presidennya, Indonesia banyak mengalami pasang surut politik dalam dan luar negrinya. Presiden Soekarno pada saat itu merupakan salah satu orang yang menentang keras Imperialisme barat yang salah satu bentuknya adalah pada era konfrontasi, yaitu ketika Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia. Soekarno menganggap bahwa Malaysia merupakan boneka Neokolim (neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme). Anggapan seperti ini dapat didasari bahwa malaysia pada saat itu masih merupakan negara jajahan Inggris, sehingga tampak dengan jelas bahwa Malaysia merupakan ”Antek Kolonialisme”.

Politik konfrontasi pada dasarnya mencerminkan suatu kurun waktu ketika Indonesia, yang baru saja membebaskan diri dari sisa-sisa kolonialisme Belanda di Irian Barat yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Irian Jaya, karena merasa sedang dikepung oleh kekuatan neokolonialisme melalui pembentukan Federasi Malaysia yang akan membahayakan stanbilitas dan keamanan Indonesia (Bandoro, 1994)

Di dalam pembentukan Federasi Malaysia ini mencerminkan suatu alat imperialisme berat terutama Inggris dan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan keberadaanya dan pengaruhnya di Asia Tenggara selain itu pembentukan Malaysia juga dapat dilihat sebagai peningkatan dan munculnya Cina kedua yang akan

(13)

mendominasi politik dan ekonomi Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia sendiri (Bandoro, 1994).

Kekhawatiran Soekarno mengenai Imperialisme dan Kolonialisme barat yang diterapkan dengan adanya faktor Malaysia yang sebagai anteknya dan terutama sebagai basis militer asing adalah, bagaimana suatu bangsa dapat hidup berdampingan secara damai apabila jika basis-basis militer dan benteng-benteng ekonomi yang mengelilinginya di pergunakan untuk menggulingkan atau untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan dalam negeri dan bangsa itu ? Bagaimana suatu bangsa dapat hidup berdampingan secara damai dengan kekuasaan dari luar yang menguasai politiknya ? Dan bagaimana juga apabila suatu bangsa dapat bertahan untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara yang menghalanginya untuk mewujudkan tata sosial dan tata ekonomi yang sesuai dengan kepribadian nasionalnya ?

Dan kekhawatiran-khawatiran Soekarno itu pun terbukti, jika dilihat sekarang bagaimana basis militer asing tersebut dipergunakan pada negara-negara yang baru berkembang. Negara-negara tersebut dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan tata urusan imperialisme dan dipergunakan sebagai alat utama dari kepentingan-kepentingan tata urusan imperialisme dan dipergunakan sebagai alat utama dari kepentingan-kepentingan imperialisme di negara-negara yang baru berkembang.

Pada kenyataan-kenyataannya bahwa Malaysia merupakan suatu negara ciptaan neokolonialisme (D.Legge, 2001), membuat Soekarno mengeluarkan pernyataan pada pidato kenegaraan di istana negara pada tanggal 11 Juli 1963 yaitu, ”genyang Malaysia” menurutnya saat itu, Malaysialah yang mengadakan konfrontasi kepada Indonesia karena pembentukan Malaysia merupakan konfrontasi terhadap revolusi Indonesia.

Salah satu masalah yang sangat mendasari adanya konfrontasi ini adalah perseteruan mengenai nasib penduduk wilayah-wilayah Kalimantan tentang kesediaan mereka untuk masuk dalam Malaysia.

Sebetulnya dari pihak Malaysia dan Indonesia sendiri sudah mengupayakan untuk merendam ketegangan antar keduanya, kedua negara ini sempat melakukan kegiatan diplomasi melalui perundingan pada tanggal 7 Juni 1963 Soekarno mengadakan pertemuan dengan Teuku Abdul Rahman yang pada waktu itu selaku

(14)

perdana menteri Malaysia, untuk membahas mengenai Kalimantan , dan usaha itu berlanjut dengan adanya campur tangan dari Presiden Macapagal (Presiden Filipina) didasari oleh pergaulan hidup yang bersajarah dan warian bersama rumpun melayu, yang telah mendapatkan persetujuan dari Indonesia dan Malaysia untuk melaksanakan suatu konfederasi tetap yang akan memungkinkan ketiga negara tersebut menyelesaikan kepentingan antara ketiganya dalam bentuk pertemuan rutin (D.Legge, 2001).

Rencana tersebut dinamakan ”Malphilindo” yang menghasilkan persetujuan ”Manila”. Isi pokok dari perjanjian tersebut adalah, sebelum Malaysia berdiri dilakukan usaha untuk mengetahui kesediaan penduduk-penduduk di wilayah-wilayah Kalimantan apakah mereka ingin menjadi anggota federasi di Malaysia. Tetapi usaha tersebut gagal , hingga pada akhirnya U Thant selaku wakil sekjen PBB pada saat itu turun tangan untuk membantu mengatasi masalah tersebut. U thant mengirimkan wakilnya untuk mengadakan peninjauan terhadap pendapat para penduduk Kalimantan.

Tetapi sekali lagi terjadi perseteruan di antara Indonesia dan Malaysia, dikarenakan munculnya dua masalah baru yang mengakibatkan perseteruan antar kedua negara tersebut tidak dapat diatasi lagi, dan kedua masalah itu adalah :

a. Persoalan pengiriman peninjauan-peninjauan yang hadir selama penelitian PBB. Yang dimana Soekarno menginginkan pengiriman 10 duta, akan tetapi Inggris hanya mendapatkan 4 visa bagi para duta. Hal ini dianggap Soekarno sebagai tindakan untuk mencegah penelitian yang jujur berdasarkan persetujuan. b. penentuan tanggal berdirinya Malaysia. Tengku Abdul Rahman pada tanggal 29

Agustus telah mngumumkan bahwa pada tanggal resmi berdirinya Malaysia adalah 16 September 1963,yang berarti sebelum misi PBB selesai dengan pekerjaannya. Disini soekarno menganggap bahwa keputusan Tengku merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Manila dan tindakan tersebut menunjukkan ketetapan hatinya untuk meneruskan pembentukan federasi Malaysia tanpa harus menunggu keputusan dari U Thant .

Keadaan ini tersebut makin diperburuk dengan keadaan internal Indonesia, dimana terjadi demo besar-besaran menentang pembentukan dalam Federasi Malaysia yang dimana akhirnya memicu terjadinya kerusuhan yang merusak segala sesuatu yang

(15)

semuanya berhubungan dengan kedutaan Inggris, dan disertai dengan penyitaan aset-aset Inggris di Indonesia oleh Soekarno. Setelah kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa itu terjadi, konfrontasi menjadi politik Indonesia yang tetap, dan juga disertai pernyataan-pernyataan ”Ganyang Malaysia” yang terus berkumandang.

Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pimpinan Soekarno pada saat itu adalah bahwa didalam pemebangunan di Indonesia diperlukan suatu pinjaman uang dari luar negeri, yang dimana pada saat itu Amerika dan sekutunya melalui world Bank dan IMF juga menwarkan bantuan, akan tetapi bantuan tersebut sifatnya sangat memberatkan, merugikan dan mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah Indonesia . Hingga pada akhirnya Soekarno Menjadi geram dan mengeluarkan pernyataan kepada Amerika Serikat dan sekutunya yaitu ”Go To Hell With Your Aid”. Ucapan tersebut mempengaruhi negara tetangga Indonesia yaitu malaysia pada saat itu, seperti yang sudah di jelaskan di atas merupakan negara jajahan Inggris sehingga dapat memperburuk hubungan antara kedua belah pihak.

Kebutuhan pembangunan yang sangat mendesak hingga pada akhirnya Soekarno membuat kebijakan baru yang sifat pinjamannya lunak dan tidak mempengaruhi kebijakan dan kedaulatan negara Indonesia, maka Indonesia membentuk kerja sama dengan negara lain yang sudah memenuhi kebijakan yang telah di buat oleh Soekarno seperti dalam masalah militer dengan Rusia, masalah industri dan pertanian dengan cina, dan beberapa masalah-masalah pembangunan lainnya dengan negara-negara Non-Blok lainnya di Asia, hingga terciptalah poros Jakarta-Phnom Penh-Pyong Yang-Beijing. Dengan terciptanya poros tersebut makin membuat panas konfrontasi di Malaysia, karena dengan terciptanya poros tersebut maka Indonesia telah memboikot negara barat, maka dari itu Malaysia sebagai antek dari Imperialisme barat merasa tersinggung dengan adanya poros tersebut. Kerena poros tersebut menyebabkan kerugian bagi Malaysia.

Pada tanggal 7 Januari 1965 sebagai reaksi dari masuknya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB tidak tetap, Soekarno menyatakan keputusannya untuk keluar dari PBB, seperti yang beliau utarakan pada pidatonya di Rapat Umum Anti Pangkalan Militer Asing bertempat di gelora Bung Karno pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB tersebut menurut penulis bahwa dengan kedudukan Malaysia dalam DK PBB berarti semakin mempermudah Inggris, terutama

(16)

Amerika Serikat dengan menggunakan Malaysia sebagai anteknya untuk menyebarluaskan politik Neokolimnya, dan untuk mengantisipasi hal tersebut oleh karena itu maka Soekarno menyatakan keluarganya Indonesia dari keanggotaan PBB.

Dengan keluarganya Indonesia dari keanggotaan PBB berarti lepas sudah campur tangan PBB dan ”special agentnya” seperti UNESCO, FAO, UNICEF, dll. Kembali lagi pada pernyataan Soekarno yaitu ”Go To Hell With Your Aid” yang berarti Indonesia harus berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan dari siapa pun juga. Dan pertanyaannya adalah ”Apakah Indonesia Mampu?” ya! Jawab Soekarno karena selama ini Indonesia telah berusaha sendiri untuk memajukan bangsanya tanpa harus ada bantuan dari PBB dan agen-agennya. Menurut Soekarno agen-agen PBB tersebut hanya menumpang nama saja dalam keberhasilan Indonesia, karena Indonesia dalam membangun negaranya menggunakan usahanya sendiri.

Dan sebagi lanjutannya terhadap Konfrontasi Malaysiatersebut Soekarno menyatakan bahwa”Malaysia Do Not Exist Legally For Us”. Yang artinya adalah Malaysia menurut hukumIndonesia tidak ada, karena Malaysia adalah alat dari Imperialisme, dan Indonesia menentang Imperialisme yang dilakukan Negara Barat.

F. Rangkuman

Setelah saudara mempelajari dan membaca modul di atas dapat disarikan materi sebagai berikut :

1. Konstituante adalah lembaga khusus yang diberikan tugas untuk menyusun hukum tertulis atau Undang –undang dasar pengganti UUD 1945. Namun demikian dalam proses penyusunan Undang – undang dasar tersebut terjadi perdebatan yang tidak pernah ada titik temu. Perdebatan yang terjadi di dalam sidang konstituante menyangkut ideologi dimana partai Islam menginginkan agar dalam pembukaan UUD isi pancasila dikembalikan sesuai dengan piagam Jakarta. Sementara partai nasionalis dan partai sosialis tetap menghendaki Pancasila sebagaiman dalam pembukaan UUD 1945. Kedua kubu ini tidak bisa mengambil keptusan bahkan dalam sidang konstituante yang hadir tidak memnuhi quorum, padahal batas wakt yang diberikan konstituante sudah habis. Dengan mendasar pada kinerja Konstituante yang tidak bisa mengambil keputusan maka Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden.

(17)

2. Pada tanggal 5 juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya antara lain (a) Pembubaran Konstituante; (b) memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakuknya UUDS 1950 (c) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

3. Sesuai dengan perjanjian KMB, setahun setelah perjanjian belanda harus mengembalikan Irian Barat ke Indonesia. Namun demikian sampai pada batas waktu yang ditentukan Belanda masih tetap mempertahankan Irian barat. untuk mengembalikan Irian barat terpaksa Indonesia harus membebaskan irian barat dengan melakukan perrlawanan fisik. Dengan dikeluarkannya kebijakan TRIKORA yang isinya (a) Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial, (b) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia., (c) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan Irian barat selanjutnya dilakukan dengan jalur diplomasi yang melibatkan beberapa negara dan menghasilkan kesepakatan yang diberi nama Perjanjian New York. Berikut ini isi Perjanjian New York. (a) Penghentian permusuhan. (b) Setelah persetujuan disahkan, paling lambat 1 Oktober 1962 UNTEA menerima Irian Barat dari Belanda. Sejak saat itu, bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB. (c) Pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah UNTEA. (d) Angkatan Perang Belanda dan pegawai sipilnya berangsur-angsur dipulangkan dan harus selesai paling lambat 11 Mei 1963. (e) Bendera Indonesia mulai berkibar 31 Desember 1962 di samping bendera PBB. (f) Pemerintah RI menerima pemerintahan di Irian Barat pada tanggal 1 Mei 1963.

4. Pada tanggal 7 Januari 1965 sebagai reaksi dari masuknya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB tidak tetap, Soekarno menyatakan keputusannya untuk keluar dari PBB, seperti yang beliau utarakan pada pidatonya di Rapat Umum Anti Pangkalan Militer Asing bertempat di gelora Bung Karno pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB tersebut menurut penulis bahwa dengan kedudukan Malaysia dalam DK PBB berarti semakin mempermudah Inggris, terutama Amerika Serikat dengan menggunakan Malaysia sebagai anteknya untuk menyebarluaskan politik Neokolimnya, dan untuk

(18)

mengantisipasi hal tersebut oleh karena itu maka Soekarno menyatakan keluarganya Indonesia dari keanggotaan PBB.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Moedjianto. 1984. Indonesia Abad ke-20 Jilid 2: Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Jakarta: Kanisius.

N.N. 1989. Perjalanan Bangsa dari Proklamasi sampai Orde Baru: Himpunan Dokumen Historis. Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama.

Roeslan, Abdoelghani. 1964. Dari Sabang Sampai Marauke: Satu nusa, Satu Bangsa. Jakarta : Departemen Penerangan RI

Sutjibto, 1964. Irian Barat Mengenal Indonesia Eds X. Jakarta: Projek Penerbitan Sekretariat Koordinator Urusan Irian Barat

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.2000. Sejarah TNI JILID III (1960-1965). Jakarta : Pusat Sejarah dan tradisi TNI

Poesponegoro, M. D. (2010). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional

Indonesia VI, Jakarta : Balai Pustaka.

Reindhart, J. M. (1989). Foreign Policy and national Integration: The Case . Yale university Southeast asia.

Sundhaussen, U. (2001). Bung Karno dan Militer, dalam Dialog Dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas.

Taufik Abdullah, A. L. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van hoeve.

Gambar

Gambar 1 Pembacaan Dekrit 5 Juli 1959 oleh Soekarno
Gambar 2 Soekarno di KAA 1955
Gambar 3. Komodor Yos Sudarso

Referensi

Dokumen terkait

kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam

Kegiatan menulis merupakan aktivitas motorik halus dalam buku (Rahyubi, 2012, hlm.. Didefinisikan sebagai keterampilan yang memerlukan kemampuan untuk mengoordinasikan

There are three peculiarities in moral development during adolescence, namely: (a) Adolescence have realized that the right or wrong is on the judgment of justice or wisdom, not on

Proses delimitasi batas maritime juga dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di wilayah perairan tersebut, misalnya di Selat Singapura, dimana terjadi dispute kedaulatan

Grafik-grafik distribusi tegangan hoop pada pipa utama dan pipa cabang yang diperoleh pada orientasi β = 0 o disajikan pada gambar 3 dan 4 untuk rasio diameter pipa

Hasil dari perhitungan menggunakan kalkulator PCE dapat dilihat pada tabel III, yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki pola hidup tidak sehat juga memiliki

ITS bisa berperan untuk mengatasi hal tersebut dengan melakukan pelatihan ketrampilan khusus kepada masyarakat di sekitar ITS terutama untuk keluarga pra-sejahtera,

Adapun bentuk wujud kebijakan publik lain yang dapat diambil pemerintah yakni dengan sistem perpajakan yang juga berorientasi kepada potensi dalam hal ini potensi zakat yang