• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPLOITASI HUTAN MANGROVE DI INDONESIA: DAMPAK DAN UPAYA UNTUK PEN ANGGUL ANG ANNYA. Pramudji *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSPLOITASI HUTAN MANGROVE DI INDONESIA: DAMPAK DAN UPAYA UNTUK PEN ANGGUL ANG ANNYA. Pramudji *)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXVII, Nomor 3, 2002 : 11 -17 ISSN 0216-1877

EKSPLOITASI HUTAN MANGROVE DI INDONESIA: DAMPAK DAN UPAYA UNTUK PEN ANGGUL ANG ANNYA

Oleh Pramudji *)

ABSTRACT

MANGROVE FOREST EXPLOITATION IN INDONESIA: THE IMPACT AND ITS SOLUTION EFFORT. Indonesia archipelago is composed of some 17,500 islands,

with over 1,93 million km2 land areas, and estimated more than over 81,000 km of coastal line. Mangrove habitats are almost found on coastal areas in Indonesia archipelago from Sumatra Island to West Papua Island, except on the steep and rocky shores. Mangrove forest in 1982 ccvers an area of approximately 4,25 million hectares, and than since 1993 that mangrove forest is estimated about 2,490 million hectares.

Recently, the extent of mangrove forest in Indonesia is decreasing especially due to the conversion of mangrove into human settlement, agriculture and uncon-trolled mangrove exploitation. This situation lead to the depletion of the living organisms, which are live in the area. Large area scale conversion will cut the ecological food chain or reduce the production of ecosystem around mangrove. The essence of proper management of mangrove forest, is optimalization of its use on a sustainable basis and conservation of the resources. To attain this objective, relevant research activities are a prerequisite and conservation effort must be augmented.

PENDAHULUAN

Hutan mangrove tumbuh berbatasan dengan darat pada jangkauan air pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan suatu daerah transisi dan eksistensinya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang ada di darat maupun di laut. Komponen flora hutan mangrove, sebagian besar berupa jenis-jenis pohon yang keanekaragamannya relatif

lebih kecil dan mudah dikenali bila dibandingkan dengan hutan darat. Sedangkan komponen faunanya, sebagian besar adalah kelompok avertebrata dan hidup dalam ekosistem mangrove, namun sebagian kecil dari biota tersebut juga hidup pada ekosistem sekitar perairan mangrove.

Konsentrasi hutan mangrove di Indo-nesia tersebut terdapat pada kawasan estuari pulau-pulau besar, seperti di pantai timur Pulau

(2)

Sumatera, Pulau Kalimantan, beberapa pantai Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa serta sepanjang pantai Pulau Irian Jaya. Faktoryangmengontrol sebaran hutan mangrove adalah tersedianya habitat yang cocok untuk setiap jenis mangrove dan pasang surut. Pasang surut memiliki peranan, baik itu langsung (misalnya gerakan air, tinggi dan frekuensi) maupun peranan tidak lansung (antara lain adalah salinitas, sedimentasi dan erosi) terhadap perkembangan hutan mangrove sendiri maupun perairan disekitamya. Gerakan pasang surut air laut juga mempunyai peranan dalam penyebaran biji, day a tumbuh biji, namun kurang berperan terhadap kehidupan pohon yang sudah dewasa (BUDIMAN & SUHARDJONO1992). Tinggi pasang-surut di kawasan pesisir yang berkaitan dengan topografi lantai hutan man-grove, akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya permintakatan atau zonasi tumbuhan mangrove (MACNAE 1966). Pertumbuhan dan perkembangan setiap jenis mangrove secara konsisten berkaitan erat dengan tipe substrat, elevasi dan keterbukaan lahan, sehingga spesifikasi tempat tumbuhnya berpengaruh dominan terhadap tipe komunitas dan sekutunya (SUKARDJO 1996). Besarnya toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas juga memberikan fenomena adanya pola zonasi atau permintakatan pada hutan mangrove.

Hutan mangrove merupakan kawasan yang sangat penting bagi masyarakat pesisir yang hidup disekitamya, karena secara lansung mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan, arang maupun sebagai makanan ternak. Secara tidak lansung, hutan mangrove juga bermanfaat bagi kehidupan mereka, karena daerah ini dapat berperan sebagai habitat beberapa jenis ikan, udang dan kepiting yang memiliki nilaiekonomi tinggi. Dari aspek ekologis, hutan mangrove berperan sebagai stabilitas pantai, karena mampu menahan gempuran gelombang dan bahkan

dapat berperan sebagai filter dari pengaruh polusi baik itu dari laut maupun dari daratan. Hutan mangrove juga dikenal sebagai sumber nutrien, tempat bertelur, tepat asuh maupun pembesaran bagi biota akuatik yang hidup disekitarnya.

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka perairan disekitar hutan mangrove dikenal memiliki produktivitas tinggi, hal ini berkaitan dengan serasah mangrove yang diekspor ke perairan sekitarnya baik yang berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan. Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses dekomposisi. Disamping peranannya sebagai pengurai serasah mangrove, mikroorganisme yang di ekspor ke perairan sekitarnya juga akan berperan didalam rantai makanan. MARTOSUBROTO & NAAMIN (1977) menyebutkan bahwa terdapat kaitan positif antara kehadiran hutan mangrove dengan jumlah serta jenis biota akuatik, hal ini telah terungkap dari hasil produksi perikanan udang dengan luasan hutan mangrove.

Interaksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan suatu kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam organisme akuatik, seperti pemijahan dan daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedianya makanan bagi larva ikan dan udang.

EKSPLOITASI HUTAN MANGROVE

Indonesia yang merupakan negara maritim yang memiliki kurang lebih sekitar

(3)

17.500 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km dan luas daratannya diperkirakan sekitar 1,93 juta km2 (SUKARDJO 1996; PARRY 1996). Dari sepanjang wilayah pantai tersebut dapat dijumpai hutan man-grove, tetapi tidak semua kawasan pesisir tersebut ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya ada faktor lingkungan yang mengontrolnya. Hutan mangrove di Indonesia menurut catatan yang diungkapkan oleh DARSIDI (1984), luasnya adalah sekitar 4,25 juta hektar, namun estimasi ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan yang diungkapkan oleh GIESON (1993), yaitu sekitar 2.490.185 hektar. Perbedaan luas areal hutan mangrove ini, kemungkinan disebabkan karena dalamjangka waktu lebih 6 tahun telah terjadi konversi hutan mangrove untuk kegiatan tambak, perkebunan, pertanian, tempat tinggal atau pembangunan lainnya, sehinga luas areal hutan mangrove berkurang drastis. Namun demikian, untuk mengetahui luas areal hutan mangrove di seluruh pesisir Indonesia secara pasti diperlukan citra lansad dan penelitian lapangan yang konsekuensinya memerlukan

anggaran yang cukup besar. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan hutan mangrove.

Pemanfaatan hutan mangrove, baik itu dalam bentuk ekplorasi hasil hutan maupun konversi lahan untuk keperluan usaha pertambakan, pertanian dan perkebunan serta penambangan sebetulnya sudah sejak lama dilakukan dan aktifitas tersebut masih terus berlangsung hingga saat ini (BUDIMAN & KARTAWINATA 1986). Bahkan PRAMUDJI (1997; 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan man-grove untuk kegiatan budidaya tambak, namun kurang memperhitungkan akibat sampingnya. Dampak yang terjadi sebagai akibat dari perilaku manusia yang menebang habis hutan mangrove tersebut diungkapkan oleh SNEDAKER & GETTER (1985) seperti pada Gambar 1.

(4)

Kegiatan penambangan mineral yang telah dilakukan, baik itu yang dibangun di daerah hutan mangrove maupun didaerah sekitarnya adalah merupakan contoh salah satu pemanfaatan lahan mangrove. Pemanfaatan lahan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan dan akan menimbulkan berbagai efek yang merusak ekosistem mangrove dan ekosistem perairan sekitarnya. Efek yang pal-ing menyolok adalah pengendapan bahan-bahan atau material yang mengandung logam berat dan terbawa arus air sungai ke areal hutan mangrove. Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove, karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Kondisi tersebut misalnya terlihat di Muara Sungai Batanghari (Jambi), di Muara Sungai Citandui (Segara Anakan, Cilacap) dan daerah Portside,Timika (Irian Jaya). Aktivitas penambangan sering pula dikaitkan dengan pengilangan minyak hasil galian yang pada proses tersebut akan terjadi penahapan, misalnya adalah pelumatan, pencucian, pemisahan kimiawi dan penapisan. Limbah dari proses ini biasanya langsung dibuang ke daerah pantai yang kemudian tersebar ke areal hutan mangrove dan sekitarnya, kemudian mengendap. Hal yang sama juga terjadi pada proses pengeboran minyak di daerah hutan mangrove, seperti di daerah Muara Mahakam, Kalimantan Timur, Muara Sungai dan Batanghari Jambi.

DAMPAK EKSPLOUASI HUTAN MANGROVE

Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove ini umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumberdaya tersebut. Kerusakan hutan man-grove di beberapa wilayah pesisir pantai Indo-nesia sudah cukup serius, misalnya pantai

Teluk Naga (Tangerang), pesisir Teluk Jakarta, pantai utara Pulau Jawa (PANTURA), daerah pesisir Kabupaten Penajam Kalimantan Timur, beberapa pesisir Sulawesi Selatan, pesisir Passo (Teluk Ambon), pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), pantai barat Pulau Lombok, pesisir Lampung, daerah Riau dan daerah Aceh.

Permasalahan ekologis yang muncul dari pemanfaatan areal hutan mangrove yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain adalah terjadinya perubahan ekosistem, pencemaran serta hilangnya biota laut di kawasan perairan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove mempunyai peranan sebagai filter terhadap bahan-bahan polutan yang berupa limbah rumah tangga, limbah industri maupun tumpahan minyak.

Terkait dengan uraian sebelumnya, sudah banyak diungkapkan bahwa hutan man-grove memiliki peranan terhadap ekosistem perairan disekitar hutan mangrove, karena man-grove merupakan penghasil bahan organik yang diperlukan oleh berbagai larva ikan, kepiting, udang dan berbagai biota laut lainnya. Dari hasil penelitian yang diungkapkan oleh MARTOSUBROTO & NAAMIN (1977) terlihat bahwa konversi hutan mangrove dalam skala besar akan menimbulkan masalah, yaitu menyebabkan menurunnya produksi udang. Permasalahan ini muncul karena konversi hutan mangrove menjadi tambak udang akan merusak sumberdaya tersebut, dan pada akhirnya akan terjadi pemutusan rangkaian proses ekologis maupun biologis yang akan menyebabkan menurunnya produktivitas perairan.

Dengan demikian, konversi areal hutan mangrove merupakan penyebab utama terhadap rusak dan berkurangnya areal hutan mangrove. PARRY (1996) menyebutkan bahwa konversi hutan mangrove di Indonesia untuk tambak pada tahun 1977 adalah sekitar 175.606 ha, kemudian sampai dengan tahun 1993 diperkirakan meningkat menjadi 268.743 ha, atau meningkat sebesar 47%. Meningkatnya

(5)

pemanfaatan lahan mangrove ini, karena dipacu tingginya harga udang dipasaran internasional. Dengan meningkatnya penyakit udang tambak, sebagian besar lahan tambak terbengkelai dan ditinggal oleh petani, sehingga dampaknya adalah rusaknya ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya. Disamping itu, pembukaan areal hutan mangrove ternyata dapat menimbulkan masalah kesehatan, hal ini telah dibuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat ditebangnya hutan mangrove, bahkan akan menimbulkan kerawanan terhadap wabah malaria.

SOLUSI PEN ANG AN AN

Terkait dengan eksploitasi sumberdaya hutan mangrove yang akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat, bahkan sudah mendekati membahayakan bagi kelestarian lingkungan disekitarnya, maka perlu berbagai upaya yang serius untuk menyelamatkan sumberdaya tersebut. Kondisi hutan mangrove yang terjadi tersebut antara lain disebabkan karena ada anggapan masyarakat bahwa sumberdaya yang ada di kawasan pesisir adalah "milik bersama". Oleh karena itu, setiap orang berfikiran berhak untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir tersebut tanpa ada yang dapat melarangnya, dan hal ini diperparah dengan adanya euforia reformasi dan kondisi negara Indonesia yang belum pulih dari krisis moneter.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka salah satu upaya solusi untuk pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di Indonesia adalah disarankan dengan menggunakan cara Pendekatan Berbasis Masyarakat (PBM) atau dikenal dengan istilah Comunity Based Management (CBM). Disebutkan oleh BENGEN (2002) bahwa masyarakat lokal biasanya memiliki adat yang umumnya bercampur dan membaur dengan kepercayaan atau keagamaan. Adanya fenomena tersebut yang kemudian diramu

dengan pendekatan yang mampu memberikan perubahan antar generasi, maka akan dihasilkan suatu Comminity Based Management yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selanjutnya disebutkan bahwa bagaimanapun bentuk suatu model pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat yang diterapkan di suatu daerah, pasti akan mempunyai kelebihan (nilai positip) dan kelemahan (nilai negatip). Dibawah ini disajikan beberapa nilai positip atau kelebihan dari pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada masyarakat (CBM), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Cara pengeloaan berbasis masyarakat ini dapat mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir;

2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik;

3. Dapat memberikan dan meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada;

4. Dapat meningkatkan efisiensi secara ekonomis dan ekologis;

5. Responsif dan adaptif terhadap berbagai macam kondisi sosial dan lingkungan lokal; 6. Masyarakat lokal termotifasi untuk

mengelola sumberdaya lama secara berkelanjutan.

Sedangkan beberapa kelemahan dari pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Hanya dapat dilakukan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang relatif kecil;

2. Pada umumnya masyarakat memiliki keterbatasan baik itu tingkat pendidikan maupun kesadaran akan pentingnya lingkungan;

3. Biasanya terjadi ketimpangan dalam penerapannya, karena tidak adanya dukungan pemerintah;

(6)

4. Cara ini akan efektif apabila digunakan pada kawasan pesisir dengan batas geografis yang jelas atau terbatas;

5. Cara pengelolaan ini juga sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, atau peledakan permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan.

NARAYAN (dalam BENGEN 2002), memberikan beberapa gambaran karakteristik atau kriteria dari suatu kelompok yang melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dan dianggap berhasil dilakukan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Apabila manfaat yang dirasakan oleh

masyarakat adalah lebih besar dari harga yang harus dibayar. Jika tidak ada manfaat, maka masyarakat cenderung kurang intensif berpartispasi, atau bahkan menghidari kegiatan tersebut;

2. Apabila memang dapat dirasakan masyarakat menjadi suatu kebutuhan bersama. Jika hal ini tidak terwujud, maka masyarakat tidak berminat untuk ikut dalam program yang dicanangkan;

3. Apabila kelompok berbasis masyarakat mempunyai kapasitas, kepemimpinan, pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola tugasnya;

4. Apabila kelompok berbasis masyarakat dapat melekat pada organesasi sosial atau pembauran yang sudah ada, sehingga penolakan terhadap yang baru dapat diperkecil;

5. Peraturan dan tatacara dimiliki oleh kelompok yang berbasis masyarakat. Jika anggota kelompok tidak tahu, atau tidak mau mematuhi peraturan dan tatacara, hal ini memperlihatkan rapuhnya kelompok.

Disamping hal tersebut di atas, faktor perilaku manusia juga berkaitan erat khaitannya dengan pola pengelolaan dan bahkan merupakan titik sentral dalam pembangunan berbasis masyarakat. Hal ini karena melalui

perilaku, maka manusia akan berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya, karena perilaku tersebut pengaruhnya sangat besar terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam

DAFTAR PUSTAKA

BENGEN, D.G. 2002. Pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Man-agement) dalam kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan pesisir dan laut. Makalah disampaikan dalam Workshop of South China Sea Project (UNEP) pada tanggal 31 Agustus 2002, di Bogor. BUDIMAN, A. danK. KARTAWINATA 1986.

Pattern of setlement and uses in man-grove with special reference to Indone-sia. Workshop in humana induced stresses on mangrove ecosystem. UNESCO-UNDP: 23-36.

BUDIMAN, A. dan S. PRAWIROATMODJO 1992. Penelitian hutan mangrove di In-donesia: Pendayagunaan dan konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Semarang, 24-28 November 1992.

DARSIDI, A. 1987. Perkembanganpemanfaatan hutan mangrove di Indonesia. Proseding Seminar III Eko sis tern Man-grove MAB-LIPI: 27-37.

GIESEN,W. 1993. Indonesian mangroves: An update on remaining area and main man-agement issues. Presented at Interna-tional Seminar on Coastal zone Man-agement of Small Island Ecosystem. Ambon, 7-10 April 1993.

MACNAE, W. 1966. Mangroves in Eastern and Southern Australia. Aust. J. Bot. 14:67-107.

(7)

MARTOSUBROTO, P. dan N. NAAMIN1977. Relationship between tidal forest (man-grove) and comercial shrimp production in Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18: 81-86.

PARRY, D.E. 1996. National strategy for man-grove project management in Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di In-donesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Reabilitasi Lahan. Jakarta, Juni 1996. PRAMUDJI, 1997. Mangrove forest in Maluku

Province Eastern part of Indonesia and effort to conserve the area. Paper pre-sented on the SIMCOAST Managed Ecosystem Workshop in the Philip-pines. Phillipinnes, August 1997. PRAMUDJI, 1999. Hutan mangrove di wilayah

Propinsi Maluku dan upaya pelestariannya. Proseding Seminar Tentang Oseanologi dan Lingkungan Laut, Dalam Rangka Penghargaan Kepada Prof. Dr. Aprilani Sugiarto. 165-172

RAHMAN, A. K. dan Y. SUDARTO1991. Nipah sumber pemanis baru. Percetakan Kanisius Yogyakarta: 44 hal.

SNEDAKER, S.C. and C. D. GETTER 1985. Coasts: Coastal Resources Manage-ment Guidelines. Research Planning In-stitute, Inc. 925 Gervais Street, Columbia, SC, USA 29201. 205 pp.

SUKARDJO,S. 1996. Gambaranumumekologi mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangove di Indonesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta 26-27 Juni 1996.

SUMATRA. 1980. Insecticide residue moni-toring in Sediments, water fishes and mangrove at the Cimanuk Delta. Paper for LI PI-UN. University Seminar on coastal resources of Cimanuk Delta, West Java. Jakarta, August 1980: 20 pp.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian terlihat bahwa sistem olah tanah dan aplikasi herbisida tidak berpengaruh terhadap kandungan K-dd tanah pada 5 BST dan 10 BST pada lahan penelitian

1. Kedua orangtua saya Bapak H. Mukhlis dan umi munawwaroh serta adek saya alaika nasrulla, serta seluruh keluarga besarku yang menjadi pembimbing dan pendidik hidup

Alat yang digunakan adalah oven untuk mengoven daun kersen, seperangkat alat analisis proksimat, plastik untuk alas menjemur daun kersen, loyang kecil untuk tempat

Hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh nyata dan positif persepsi, dan kesadaran kesehatan terhadap keinginan membeli produk pangan organik pada umumnya, disamping

Kripik Kulit Singkong dengan aneka rasa yang kaya akan insoluble fiber (serat yang tidak larut dalam air) yang bermanfaat untuk memperlancar proses buang air

IX/2011 TENTANG PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA PERSPEKTIF TEORI HUKUM MURNI

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap

Faktor lain yang mempengaruhi kemandirian adalah jenis kelamin, hal ini sesuai dengan data umum, lebih dominan adalah perempuan maka dapat dikatakan bahwa lansia