• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

16

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SURAKARTA

A. Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda

Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.1

Politik Etis diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang diterapkan pertama kali di Batavia, seiring berjalannya waktu mulai dilaksanakan di kota-kota lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta. Sama seperti di tempat-tempat lain, politik hutang budi ingin memajukan bangsa Indonesia melalui “edukasi, irigasi, emigrasi” yang lebih menekankan pada bidang edukasi atau pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan ditempuh melalui sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang pada awalnya untuk anak-anak Belanda, kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia.

Pendidikan mulai menunjukkan peran yang semakin aktif dalam menentukan arah perkembangan politik. Sejak dijalankannya politik etis tampak

1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: UGM Press,

(2)

kemajuan yang pesat dibidang pendidikan dalam beberapa dekade dibandingkan dengan yang terjadi selama beberapa abad pengaruh Kolonial sebelumnya. Jumlah sekolah rendah mulai meningkat pesat, sekolah-sekolah berorientasi ke Barat diciptakan baik untuk orang Cina maupun orang Indonesia. Pada periode ini sistem pendidikan mencapai kelengkapan dibandingkan beberapa abad terakhir.2

Pelaksanaan politik etis di Surakarta membawa kemajuan dibidang pendidikan dengan didirikannya beberapa sekolah, meskipun hanya sebagian anak yang merasakan pendidikan. Pada awalnya hanya ada sekolah milik pemerintah Kolonial Belanda yang diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, tapi kemudian mulai muncul sekolah-sekolah milik swasta, dan juga sekolah-sekolah milik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Pendidirian sekolah-sekolah di Surakarta dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a. Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda

Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda diperuntukkan bagi anak-anak Eropa. Sekolah ini memiliki fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan fasilitas sekolah-sekolah untuk pribumi. Sekolah ini juga memiliki mutu pendidikan yang luas serta memberikan mata pelajaran yang lengkap serta memiliki fasilitas yang memadai untuk melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, guru-guru di sekolah ini juga merupakan guru-guru terbaik dari Eropa.

2 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,

(3)

Untuk masuk sekolah ini harus menguasai bahasa Belanda karena merupakan salah satu syarat dan menjadi bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Untuk masuk sekolah ini juga harus membutuhkan biaya yang besar, sehingga hanya golongan kaya saja yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah ini yang mempunyai fasilitas, mata pelajaran, dan guru-guru yang terbaik, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Jumlah sekolah netral berbahasa Belanda jumlahnya hanya sedikit, hanya ada tiga buah, yaitu H.I.S Jogeneschool di Mangkubumen, H.I.S Meisjesschool di Slompretan, dan Schakel-school di Mangkunegaran.3 Namun dengan jumlah sekolah yang hanya berjumlah tiga buah telah mencukupi kebutuhan pendidikan kalangan Eropa. Bahkan presentase pemenuhan kebutuhan sekolah untuk kalangan Eropa atau yang dianggap sejajar lebih besar dibanding dengan murid pribumi yang dapat bersekolah.

b. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie

Sekolah-sekolah missie mengajarkan tentang ajaran-ajaran Katolik. Meskipun memasukkan ajaran-ajaran Katolik dalam kurikulumnya, namun murid-muridnya diberi kebebasan untuk memilih mengikuti atau tidak ajaran agama Katolik, sehingga murid-muridnya tidak harus bergama Katolik.

3 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.

(4)

Ajaran-ajaran para missionaris sampai di Surakarta pada tahun 1921 dan mulai mendirikan sekolah-sekolah Katolik yang semakin berkembang. Hingga tahun 1930 jumlah sekolah yang dikelola Missie berjumlah 17 sekolah, yang meliputi satu sekolah Mulo, satu buah ELS, dua buah HIS, satu buah HIS untuk perempuan, sepuluh buah standartschool, satu buah HCS dan dua buah Meijesvervolkschool. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di daerah Manahan, Banjarsari, Margoyudan, Gajahan dan Pasar Legi.4

c. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending

Zending adalah suatu badan gereja, sehingga sudah jelas bahwa sekolah-sekolah Zending menggunakan kurikulum gereja atau ajaran-ajaran Kristen. Pengurus dari sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending adalah seorang pendeta. Salah satu tujuan pendirian dan pendidikan sekolah ini yaitu untuk menyebarkan injil. Bahasa Belanda menjadi bahasa pokok di sekolah ini, karena bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan menjadi bahsa pengantar dalam pelajaran.

Pada awalnya pendirian sekolah ini mendapat larangan dari pemerintah karena adanya pendidikan agama Kristen dan tidak mengijinkan murid non-Kristen untuk ikut serta dalam kegiatan agama. Pada akhirnya sekolah-sekolah yang dikelola Zending diperbolehkan dan mendapatkan subsidi serta kemudahan dari pemerintah Belanda.

(5)

Beberapa sekolah Zending didirikan di Surakarta dan mengalami perkembangan pesat, sekolah-sekolah itu antara lain di daerah Villapark (Banjarsari), Margoyudan, Jebres, Kerten, Sidokare, Gemblegan, Kawatan, Danukusuman, Gilingan dan Manahan.5

d. Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah

Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar dalam pelajaran, yang digunakan adalah bahawa Jawa. Pada umumnya lama pendidikan bagi anak-anak pribumi adalah lima tahun.6 Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah di Surakarta berjumlah 22 buah, yang terdiri dari 13 sekolah Ongko Loro, dua sekolah Meijesschool (sekolah putri) dan tujuh sekolah-sekolah persiapan pendidikan guru bagi sekolah desa (Onderbouw Holland Inlander Kwekschool). Sekolah-sekolah ini terdapat di daerah Laweyan, Pasar Kliwon, Jebres, Serengan, Mangkunegaran dan Colomadu.7

e. Sekolah-sekolah yang dikelola Muhammadiyah

Perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah negeri milik pemerintah kolonial Belanda mengalami kemajuan pesat yang menimbulkan kontra dari beberapa golongan yang tidak puas terhadap sekolah milik pemerintah kolonial Belanda karena

5Ibid.

6 A. Susana Kurniasih, Pengaruh Politik Etis Terhadap Perkembangan

Pendidikan di Surakarta, (Surakarta: Skripsi, 1993), halaman 68.

7 Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.,

(6)

sekolah ini tidak memberikan pendidikan agama. Dengan dilandasi ketidakpuasan terhadap pendidikan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan gerakan “Muhammadiyah” pada tahun 1912 di Yogyakarta. Gerakan ini antara mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan agama.8 Tujuan pendirian sekolah ini adalah mengajarkan nilai-nilai agama dan berusaha menghambat intelektual yang bersifat materialistis dengan egois yang dinilai dihasilkan oleh pendidikan Barat.9

Sekolah-sekolah Muhammadiyah pada awalnya hanya ada di Yogyakarta saja namun kemudian meluas hingga ke tempat-tempat lain. Di Surakarta ada sepuluh buah sekolah Muhammadiyah yang sebagian besar terdiri dari standartschool. Sekolah-sekolah Muhammadiyah ini terdepat di daerah Mangkunegaran, Kleco, Notokusuman, Kampung Sewu, Kauman, Serengan dan Pasar Legi. 10

f. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo

Pada bidang pendidikan, Budi Utomo lebih mementingkan pendidikan tingkat tinggi bagi kaum priyayi, sedangkang untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah untuk kaum pribumi kurang

8 M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh Dengan Latar Belakang

Kebudyaan, (Jakarta: Mutiara, 1981), halaman 82.

9 Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo

1908-1918, (Jakarta: Pusat Grafitti Press, 1989), halaman 123

10Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.,

(7)

begitu diperhatikan. Cabang Budi Utomo didirikan kira-kira akhir tahun 1908 yang anggotanya terdiri dari kalangan priyayi.11

Sekolah-sekolah Budi Utomo juga memiliki kurikulum bahasa Belanda agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial Belanda. Sekolah ini mendapatkan subsidi dari pemerintah yang kebanyakan siswa yang bersekolah berasal dari kalangan anak-anak pegawai rendahan yang masih berstatus priyayi. Sekolah-sekolah Budi Utomo di Surakarta ada empat yang merupakan sekolah standartschool yang ada di daerah Lemboengwetan, Colomadu, Timuran dan Tegalgondo.12

g. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan

Perkembangan pendidikan di Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran tidak terlepas dari pembaharuan diberbagai bidang yang terjadi pada abad awal ke-20. Semua kerajaan Vorstenlanden memerlukan pembaharuan dibidang pendidikan, angkutan umum, komunikasi dan administrasi, karena dianggap tertinggal dibandingkan daerah-daerah yang diperintah langsung oleh pemerintah Belanda. Dalam bidang pendidikan pemerintah memberikan wewenang bagi pihak kerajan Kasunanan dan Mangkunegaran untuk mengelola sendiri sekolah

11 Larson, George D, Masa Menjelang Revolusi ‒ Keraton dan Kehidupan

Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), halaman 85

12Opgave van Openbare Onderwijsinrichtingen in hot gewest Soerakarta.,

(8)

yang akan mereka dirikan. Pendirian sekolah-sekolah ini berfungsi untuk melakukan perubahan dan untuk mencetak tenaga-tenaga terampil di daerah kekuasaan mereka.

1. Kasunanan

Perkembangan pendidikan di Kasunanan tidak terlepas dari seorang tokoh, yaitu Paku Buwono X. sejak Paku Buwono X memegang kekuasaan di Kasunanan, pendidikan mulai mendapat perhatian besar. Perhatian Paku Buwono X dalam dunia pendidikan diwujudkan dengan mendirikan sekolah HIS Kasatriyan pada tanggal 1 November 1910, kemudian disusul dengan pendirian Frobelschool Pamardi Siwi pada tanggal 26 Agustus 1926, dan terakhir adah pendirian HIS Parmadi Putri pada tanggal 1 Juli 1927. Sekolah-sekolah ini bertujuan untuk menyediakan tempat pendidikan bagi putera-puteri keraton, sehingga memudahkan pengamanan dan pengawasannya. Tujuan lainnya yaitu untuk memberikan pendidikan bagi para sentono serta abdi dalem kerajaan dan masyarakat sekitarnya.

HIS Kasatriyan membatasi dalam hal penerimaan murid, dalam hal ini tidak hanya faktor keuangan yang menjadi pertimbangan, tetapi juga faktor keturunan. Siswa yang diterima di sekolah ini minimal harus seorang Raden, hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan keluarga. Kurikulum untuk HIS Kasatriyan dan HIS

(9)

Pamardi Putri disesuaikan dengan kurikulum HIS Gabernemen. Guru-guru di sekolah ini terdiri dari Guru-guru berkebangsaan Eropa dan beberapa guru pribumi yang memiliki ijazah diploma guru. Jabatan pimpinan sekolah sampai tahun 1933 dipegang oleh orang Belanda, setelah itu jabatan pimpinan sekolah dipegang oleh orang pribumi.

Selain mendirikan sekolah model Barat, Kasunanan juga mendirikan jenis pendidikan formal lainnya yaitu Sekolah Desa (Volkschool) yang diperuntukkan bagi masyarakat kebanyakan. Lama pendidikan sekolah ini tiga tahun, mata pelajaran yang diajarkan seperti membaca, menulis, berhitung, dan menggambar. Basa yang digunakan dalam pengajaran adalah bahasa Jawa. Sekolah desa ini tergolong sekolah yang sederhana karena hanya mengajarkan mata pelajaran dasar.

Selain sekolah desa, Kasunanan juga mendirikan sekolah yang berdasarkan ajaran agama Islam yang bernama Mambaul Ulum (MU) yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1905. Tujuan dari sekolah ini antara lain membentuk kader-kader ulama dan untuk mendidik calon pejabat keagamaan yang ahli dan cakap dalam menjalankan tugasnya. Selain memberikan pelajaran dibidang keagamaan juga megajarkan berhitung, menggambar, menulis, berbahasa Jawa, bahasa Melayu dan Arab, serta pengetahuan lainnya. Pendidikan di Mabaul Ulum ditempuh dalam waktu 11 tahun yang terbagi menjadi tiga jenjang pendidikan.

(10)

2. Mangkunegaran

Sama halnya dengan di Keraton Kasunanan, Mangkunegran juga mendirikan beberapa sekolah yaitu sekolah Siswo yang didirikan oleh Mangkunegaran pada tahun 1912, kemudian pada tahun 1914 berganti nama menjadi HIS Mangkunegaran School, sekolah Siswo Rini yang didirikan pada tanggal 18 September 1912 yang bertempat di halaman istana Mangkunegaran dan khusus untuk gadis-gadis dengan lama pendidikan tujuh tahun, sekolah Van Deventer yang didirikan pada tanggal 21 Januari 1927 adalah sekolah untuk putri, sekolah ini tidak berbeda jauh dengan sekolah Siswo Rini, dan sekolah terakhir yang didirikan oleh Mangkunegara yaitu sekolah desa yang didirikan pada tahun 1918 yang dibiayai oleh Mangkunegaran.

Sekolah-sekolah Mangkunegaran lebih maju dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan sekolah-sekolah Keraton Kasunanan. Berbeda dengan sekolah Keraton Kasunanan yang membatasi muridnya dari kalangan priyayi dan dibatasi jumlahnya, sedangkan sekolah Mangkunegaran tidak membatasi penerimaan muridnya dari kalangan orang-orang kaya, tetapi lebih terbuka untuk masyarakat luas. Dalam perkembangannya Sekolah-sekolah milik Mangkunegaran mengalami kemajuan yang pesat dibandingkan sekolah-sekolah milik Keraton Kasunanan.

(11)

Keberadaan sekolah-sekolah yang ada di Surakarta banyak memiliki kesamaan baik dalam mata pelajaran, kurikulum yang semuanya mengadopsi sistem Barat, kecuali Muhammadiyah dan Mabaul Umul yang berdasarkan ajaran agama Islam. Tujuan dari pendidikan juga sama yaitu untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil dan untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan maupun jabatan-jabatan dalam pemerintah daerah dalam keraton.

B. Pendidikan di Surakarta pada Masa Jepang

Pada masa penjajahan Jepang memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pendidikan bila dibandingkan pada masa-masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda. Sistem pendidikan pada zaman pendudukan Jepang banyak mengalami perubahan karena sistem menurut bangsa maupun menurut status sosialnya dihapuskan. Hal itu mengakibatkan adanya integritas terhadap macam-macam sekolah sejenis. Istilah-istilah Indonesia yang dulunya dihapuskan pada masa Hindia Belanda kini mulai digunakan kembali di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

1. Sekolah-sekolah pada masa Jepang

Pada masa pemerintahan Jepang ada sekolah dasar yang dibuka untuk umum dan semua golongan dan hanya ada satu macam yang disebut dengan Sekolah Rakyat. Lamanya pendidikan di Sekolah Rakyat ini selama 6 tahun. Sekolah Rakyat terdapat disemua desa dan kota diseluruh Surakarta atau ditempat-tempat yang dulunya terdapat sekolah desa, sekolah satu, sekolah dua, HIS atau ELS.

(12)

Pemerintah militer Jepang memberlakukan adanya penggabungan berbagai jenis sekolah yang terdiri dari ELS, HCS, HIS, serta Schakelschool menjadi menjadi satu macam dengan nama Sekolah Rakyat tersebut yang berdampak luas terhadap pendidikan di Surakarta. Hal tersebut memaksa lembaga pendidikan Neutraalschool Vereeniging yang sebelumnya menyelenggarakan tiga jenis sekolah yaitu HIS, Schakelschool, dan MULO melaksanakan peraturan tersebut dengan menggabungkan Neutraal HIS dan Neutraal Schakelschool menjadi satu macam sekolah dasar dengan nama Sekolah Neutraal.13

Sekolah-sekolah swasta yang berada di Surakarta tetap berjalan, baik itu yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, lembaga Neutraal, agama Kristen, Taman Siswa, maupun Kanisius. Sekolah partikelir sebenarnya diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa yang bergerak aktif melaksanakan tugas pendidikan secara berjenjang mulai dari TK, SD, SMP, dan STM, namun tetap menyelenggarakan sekolah rakyat saja. Biaya sekolah berwujud uang Jepang tetapi untuk Indonesia yang berbentuk kertas dan bertuliskan bahasa Belanda. Uang ini digunakan saat awal Jepang menguasai Surakarta. Pemerintah membebaskan para siswa untuk tidak berseragam meskipun pendidikan diberbagai Sekolah harus membayar.

Sekolah Rakyat mulai memperkenalkan huruf Jepang sejak siswa duduk di kelas empat, yaitu katakana (tingkat terendah), hiragana, dan

(13)

kanji. Sekolah dimulai pukul 08.00 sampai pukul 12.30, dan buku-buku yang digunakan adalah buku-buku belanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh guru maupun pemerintah. Pelaksanaan libur sekolah hanya saat libur agama dan libur kwartal (penerimaan rapor yang berlangsung 3 bulan sekali).14

Kelanjutan dari Sekolah Rakyat adalah sekolah menengah pertama yang lama pendidikannya 3 tahun. Baru pada bulan September 1942, setelah beristirahat 5 bulan, sekolah-sekolah menengah diperbolehkan buka kembali setelah diadakan persiapan-persiapan sebelumnya. Sekolah MULO yang seharusny diubah menjadi sekolah lanjutan pertama (SMP) pada awalnya ditiadakan. Hal ini dikarenkan adanya peraturan dari Pemerintah Jepang untuk membatasi terhadap perkembangan sekolah lanjutan dengan maksud untuk menekan biaya pengeluaran. Peraturan tersebut digunakan untuk mengalihkan biaya pendidikan untuk biaya lain yang berhubungan dengan perang. Pemerintah Jepang akan mendirikan sekolah lanjutan jika itu diperlukan, pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah setempat atau pihak-pihak swasta yang dipercaya oleh Pemerintah Jepang, seperti halnya Jawa Hokokai yaitu organisasi yang turut membantu Pemerintah Militer Jepang dalam usahanya memenangkan Perang Asia Timur.15

14 Sasongko Muliyo, Pendidikan Indonesia Pada Masa Pendudukan

Jepang, (Surakarta: Skripsi, 2005), halaman 82.

15 Marwati Djoened Poesponagoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

(14)

Sekolah lanjutan umum tingkat atas dibuka dengan nama sekolah menengah tinggi. Pada awalnya hanya ada 4 buah sekolah yang ada di Indonesia, yaitu di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Kemudia pada tahun 1943 dibuka 2 buah sekolah menengah tinggi, yaitu di Bandung dan satu lagi di Surakarta yang bertempat di Manahan.16

2. Pelaksanaan Pendidikan pada masa Jepang

Pelaksanaan Pendidikan pada masa pendudukan Jepang di Surakarta menunjukkan keadaan yang buruk dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, hal itu terlihat dari semakin berkurangnya jumlah sekolah yang ada dan semakin berkurangnya anak-anak yang putus sekolah. Hal itu disebabkan oleh kegiatan pendidikan pada masa itu tidak dikelola oleh badan khusus yang bergerak dalam bidan pendidikan dan pengajaran, tetapi dijadikan satu dengan badan urusan pemerintahan sehingga dalam pelaksanaannya sering mengalami kekacauan.

Setelah tentara Jepang berkuasa, tidak ada satupun sekolah yang diperbolehkan untuk buka kembali. Hal itu disebabkan belum adanya persiapan-persiapan ke arah itu, serta masih banyak kesulitan-kesulitan yang harus diatasi terlebih dahulu, seperti kesulitan mengenai guru, karena Pemerintah Belanda belum mempersiapkan guru-guru Indonesia untuk sekolah-sekolah menengah, apalagi menengah atas, hanya ada beberapa guru yang mempunyai wewenang untuk mengajar sekolah lanjutan. Semua

16 Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta:

(15)

buku pelajaran yang ditulis dalam bahasa Belanda tidak boleh dipakai oleh pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang mendorong bangsa Indonesia agar mempelajari bahasa Jepang yang masih sangat asing di Indonesia, karena sebelumnya tidak ada satupun sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Jepang. Untuk tujuan itulah pemerintah Jepang membuka sekolah-sekolah khusus untuk memperikan pelajaran bahasa Jepang secara cepat, sekolah-sekolah itu disebut Nippongo Gakko. Sekolah ini tidak hanya memberikan pelajaran bahasa Jepang saja, tetapi juga diberikan pelatihan-pelatihan kemiliteran Jepang.

Setelah Jepang menguasai Surakarta, sekolah-sekolah yang ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda harus ditutup, dan kemudian tanggal 29 April 1944 sekolah-sekolah di Surkarta dibuka kembali untuk melaksanakan kegiatan pendidikan. Hal ini didasari atas undang-undang No. 12 tentang pembukaan sekolah yang berbunyi sebagai berikut:

1. Segala sekolah rendah kepunyaan pemerintah dan kepunyaan partikelir yang memakai bahasa Melayu, Djawa, Sunda, dan Madura akan dibuka kembali pada tanggal 29 April 1942. Akan tetapi sekolah-sekolah pemerintah harus terlebih dahulu memberitahukan tentang pembukaannya kepada pembesar di tempat sekolah-sekolah itu, sedangkan sekolah-sekolah partikelir mendapatkan izin buat pembukaannya.

(16)

2. Segala sekolahan lain-lainnya, baik yang sudah dibuka maupun yang sedang dibuka harus ditutup dengan lekas. Untuk membuka sekolahan-sekoahan yang tersebut belakangan ini, haruslah menunggu perintah.

Sekolah-sekolah rendah yang dimaksud pada undang-undang diatas, yaitu: sekolah desa (volksschool), sekolah sambungan (vervolgschool), sekolah kelas dua (volledlge tweede klasse school), dan meisjes vervolgschool.

Pembukaan kembali sekolah-sekolah bekas yang diasuh oleh Pemerintah Hindia Belanda juaga diizinkan kembali sekolah-sekolah swasta, misalnya Sekolah Agama Islam, Sekolah Taman Siswa, Sekolah Muhammadiyah, Sekolah Agama Kristen, Sekolah Neutraal, dan lain-lain. Sekolah-sekolah yang dulunya diasuh oleh missie ataupun zending dibuka kembali dengan catatan, bahwa sekolah-sekolah itu langsung diselenggarakan oleh Pemerintah Jepang seperti halnya sekolah-sekolah negeri. Pemerinth Jepang juga memberikan kesempatan kepada perkumpulan-perkumpulan untuk membuka sekolah swasta baru bagi kaum minoritas, misalnya kepada perkumpulan Chung Hua Chiao Thung diizinkan membuka sekolah bagi penampungan anak-anak keturunan Tionghoa.

Sistem pendidikan di zaman pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dan mirip dengan sistem pendidikan setelah kemerdekaan.

(17)

Hal-hal yang membedakannya hanya pada nama sekolah, sedangkan jenis sekolah kejuruan, apalagi perguruan tinggi sangat terbatas. Agar terdapat keseragaman dalam pengertian dan maksud-maksud pemerintah Jepang, guru-guru diadakan latihan-latihan di Jakarta. Setiap Kabupaten atau daerah mengirimkan beberapa guru untuk dilatih. Pada bulan Juni 1942 dilakukan pelatihan yang pertama. Mata pelajaran yang diberikan kepada mereka antara lain, yaitu: indoktrinasi mental ideologi mengenai Hakko I Chiu dalam rangka kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, bahasa dan adat istiadat Jepang, nyanyian dan lagu-lagu Jepang, olahraga, pendidikan tentang dasar-dasar pertahanan dan ilmu bumi yang ditinjau dari segi geopolitis. Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka dikembalikan ke daerah masing-masing kemudian melatih guru-guru lainnya mengenai hal-hal yang mereka peroleh di Jakarta.17

C. Pendidikan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia

Segera setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan nasional. Dicanangkanlah bahwa dalam 10 tahun ke depan pada waktu itu seluruh anak Indonesia harus bisa menikmati sekolah. Oleh karena itu dilakukan berbagai pembenahan seperti penambahan jumlah pengajar, pembangunan gedung sekolah, dan sebagainya. Pemerintah juga membagi tingkatan pendidikan seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di

(18)

sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah air.

Masa awal kemerdekaan berkisar pada tahun 1945 – 1965. Tahun 1945 adalah puncak pergerakan revolusi kemerdekaan Indonesia, yang telah mengantarkan Indonesia untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, berdaulat, adil, dan makmur. Tujuan pemerintahan negara Indonesia tertulis dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan pemerintahan negara Indonesia tersurat dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan rumusan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, para pendiri negara menyadari pendidikan bagi kehidupan suatu bangsa mempunyai peranan yang penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa.

Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres

(19)

pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “pangreh praja”. Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

(20)

Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan barbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Pada zaman penjajahan, kesempatan memperolah pendidikan bagi anak-anak Indonesia sanagat terbatas. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang sempat menikati sekolah, sehingga sisanya lebih dari 90% penduduk Indonesia masih buta huruf. Keadaan seperti sudah tentu menjadi beban yang berat sekali bagi pemerintah untuk segara dapat mengatasinya. Sementara itu anatara tahun 1945-1950 telah beberapa kali terjadi pergantian menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yaitu:

1. Ki Hajar Dewantoro: 19 Agustus 1945 - 14 Nopember 1945 2. Mr. Dr. TGSG. Mulia: 14 Nopember 1945 - 12 Maret 1946 3. Moh. Syafe’i: 12 Maret 1946 - 2 Okober 1946

4. Mr. Suwandi: 2 Oktober 1946 – 27 Jubi 1947

5. Mr. Ali Sastroamidjojo: 3 Juli 1947 - 4 agustus 1949 6. S. Mangunsakoro: 4 Agustus 1949 - 6 Sepetember 1950

Dengan singkatnya para menteri tersebut bertugas maka usaha-usaha untuk mengadakan perubahan atau perbaikan tidaklah dapat dirasakan tetapi bebarapa usahanya yang diketuai adalah pembukaaan Sekolah Guru A, Sekolah Guru B, dan Sekolah Guru C yang masing-masing lama pendidikannya 6 tahun, 4 tahun dan 2 tahun sejak tamat sekolah rendah.

Menteri Suwandi dengan keputusan No. 104/Bhg-0/1946 tanggal 1 Maret 1946 telah membentuk suatu panitia penyelidik pengajaran yang dipimpin oleh Ki

(21)

Hadjar Dewantara dan sekretarisnya Soegarda Purbakawatja yang bermaksud untuk mengatur-mengatur sekolah. Panitia ini selanjutnya menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang akhirnya telah menghasilkan pengaturan pendidikan dan pengajaran mulai dari pendidikan untuk anak desa sampai kota dan pendidikan umum kejuruan. Tugas yang diembankan kepada panitia ini adalah :

1. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah

2. Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat.

3. Menyiapkan rencana-renacana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah

Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain tujuan pendidikan pada masa itu penekanannya pada penanaman semanagat patriotisme. Penanaman semangat patriotisme sebagai tujuan pendidikan memang sesuai dengan situasi pada waktu itu. Negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih berusaha untuk menjajah kembali negara Indonesia. Maka dengan semangat itu, kemerdekaan dapat di pertahankan dan diisi.18

18 Somarsono Moestoko, Sejarah Pendidikan dari jaman ke jaman,

Referensi

Dokumen terkait

Bersamaan dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Kolonial muncullah sekolah-sekolah swasta terutama yang didirikan oleh kaum Zending Kristen di Tanah

Wilayah-wilayah yang semula merupakan wilayah Mangkunegaran dan Kasunanan, termasuk Kabupaten Klaten, Boyolali, Wonogiri dan Karanganyar, kemudian menjadi wilayah

Pada tahun 1964, merupakan sebuah babakan baru bagi perkembangan pendidikan di Talun Kenas, pada tahun ini didirikan sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) milik Veteran yang

Objek studi kasus ini adalah Rumah Ketib Anom Kauman di Surakarta yang merupakan bangunan rumah tinggal gaduhan dari keraton Kasunanan yang di bangun sekitar tahun 1800-1999

Dalam melakukan petungan tahun Jawa untuk menentukan upacara tradisi di Keraton Kasunanan, abdi dalem Harya Leka menggunakan penerapan ilmu Sultan Agung yang dilandasi

Disertasi yang berjudul: “IDEOLOGI TARI BEDHAYA KERATON KASUNANAN SURAKARTA DAN TARI BEDHAYAN DI SURAKARTA TAHUN 1990-2019” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan

Sama halnya dengan karya misi yang didirikan oleh Henricus, Pastor Hoongeboom juga mendirikan sekolah baru yaitu Sekolah Hindia- Tionghoa bernama Ta Tung yang mulai dirintis

Adler mengundurkan diri sebagai Presiden Masyarakat Psikoanalitik Wina pada 1911 dan mendirikan Masyarakat Psikologi Individual pada tahun 1912.Di kemudian hari, beberapa psikoanalis