• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku

Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Konstruksi

di Proyek Pembangunan Ruko Cikarang Central City

Tahun 2014

Olivia Suryani Gurning1, L. Meily Kurniawidjaja2

1. Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

2. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

E-mail: olivia.suryani11@ui.ac.id

Abstrak

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir pengendalian risiko, jika pengendalian secara teknik dan administratif masih menyisakan risiko yang tidak dapat diturunkan. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik untuk melihat faktor risiko yang berhubungan dengan perilaku penggunaan APD. Desain penelitian adalah cross sectional dan besar sampel 120 pekerja konstruksi di proyek pembangunan ruko Cikarang Central City. Pengambilan data primer menggunakan kuesioner, lembar observasi, dan wawancara. Hasil telitian menunjukkan 70,8% pekerja berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD. Hasil analisis menunjukkan empat faktor yang berhubungan signifikan dengan penggunaan APD yaitu pengetahuan APD, ketersediaan APD, pelatihan APD, dan pengawasan APD. Sedangkan yang tidak berhubungan yaitu sikap dan peraturan APD. Disarankan melakukan identifikasi dan penilaian risiko dalam pemilihan APD, analisis kebutuhan pelatihan pekerja, peningkatan sosialisasi peraturan, konsisten menerapkan peraturan dan peningkatan pengawasan.

Analysis Of Factors That Related To Behavior The Use Of Personal Protective Equipment On Construction Worker At Cikarang Central City Construction Project

Abstract

The use of Personal Protective Equipment (PPE) is the final stage of risk control, if control techniques and administrative still leaves the risk that can not be derived. This research is a descriptive analytical study to know the risk factors that related to the use of PPE. Design research is cross sectional and involving 120 construction workers at Cikarang Central City construction project. Retrieval of data primary is using questionnaires, observation sheets, and interviews. The results of this research showed that there were 70,8% not well behave in the use of PPE. The results of this research showed there are four factor that had a significant relation with the use of PPE which are knowledge of PPE, availability of PPE, PPE training, and supervision of PPE. Meanwhile that does not have a relation are attitude and PPE regulation. It is recommended identification and risk assessment in the selection of PPE, requirements analysis employee training, the increase in socialization regulation , consistently applying rules and increased supervision.

Keywords: Personal Protective Equipment, PPE, Construction workers

PENDAHULUAN

Industri bidang konstruksi merupakan salah satu industri yang kegiatan pekerjaannya berisiko tinggi bagi keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam kegiatan konstruksi dibutuhkan berbagai sumber daya antara lain manusia, material/bahan dan peralatan. Interaksi dari

(2)

sumber daya tersebut memiliki kemungkinan untuk menimbulkan potensi bahaya yang menyangkut aspek keselamatan dan kesehatan kerja. Pada tahun 2005 di Amerika, tingkat kematian yang berhubungan dengan pekerjaan konstruksi berkisar 11,1 kematian per 100.000 pekerja. Di Italia dan Spanyol, tingkat kematian akibat kecelakaan kerja di konstruksi tahun 2005 berkisar antara 14 kematian per 100.000 pekerja, sedangkan di Jerman berkisar 6 kematian per 100.000 pekerja (Elcosh, 2014). Berdasarkan hasil temuan Aksorn, T. dan Hadikusumo, B.H.W. (2007) pada 214 pekerja konstruksi di Thailand, mengungkapkan bahwa perilaku berisiko yang paling sering terjadi adalah pekerja yang tidak menggunakan APD sebanyak 140 pekerja. Di Hongkong, kasus PAK pneumoconiois adalah peringkat kedua dengan penyakit terbanyak yaitu silikosis dan asbestosis dimana pasiennya adalah pekerja konstruksi (Labour Department Hongkong, 2004).

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir pengendalian risiko, jika pengendalian secara teknik dan administratif masih menyisakan risiko yang tidak dapat diturunkan. Penggunaan APD di tempat kerja mempunyai peranan yang sangat penting, untuk melindungi pekerja dari kecelakaan akibat kerja (KAK) dan penyakit akibat kerja (PAK). Namun, besarnya manfaat dari penggunaan APD pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya, karena ternyata masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya. Banyak faktor yang mempengaruhi pekerja untuk tidak menggunakan APD, yang mana hal tersebut berhubungan dengan perilaku. CCC merupakan proyek konstruksi pembangunan kawasan ruko. Berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan, ditemukan 75% pekerja menggunakan APD dengan tidak lengkap. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menjelaskan faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri sehingga nantinya dapat dilakukan upaya perbaikan perilaku pekerja konstruksi CCC.

TINJAUAN TEORITIS

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2012). Green (1980), mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Dan perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), merupakan faktor yang mendahului terhadap perilaku yang memberikan alasan atau motivasi bagi perilaku, yang

(3)

3   4   2   6  

5  

terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factors), merupakan faktor yang mendahului terhadap perilaku yang memungkinkan motivasi atau aspirasi untuk direalisasikan, yang terwujud dalam keterampilan pribadi, dan sumber daya serta sumber daya masyarakat.

3. Faktor pendorong (reinforcing factors), merupakan faktor berikutnya yang terwujud dalam memberikan reward, insentif atas kontribusi terhadap ketekunan, atau hukuman atas perilaku.

Model Green digambarkan sebagai berikut:

Dalam gambar 1 memfokuskan pada beberapa asumsi tentang hubungan kausal antara faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis pendidikan. Urutan sebab-akibat, seperti yang ditunjukkan oleh angka-angka, biasanya diharapkan (1) motivasi awal untuk bertindak, (2) pengembangan sumber daya untuk mengaktifkan tindakan, (3) reaksi terhadap perilaku dari orang lain, sehingga (4) mendorong dan memperkuat perilaku atau hukuman atas perilaku. Akhirnya, (5) penguat atau hukuman atas perilaku mempengaruhi faktor predisposisi, seperti halnya faktor-faktor pendukung (6).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan pendekatan semi kuantitatif untuk melihat faktor determinan yang berhubungan dengan perilaku penggunaan APD pada

Gambar 1. Faktor Kontribusi Perilaku Kesehatan (Green, 1980)

Faktor Predisposisi

Pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, variable demografik tertentu  

Faktor Pemungkin

Ketersediaan sumber daya, keterjangkauan, prioritas dan komitmen, dan keterampilan   Faktor Penguat Keluarga, teman, petugas, kepala/ketua, pembimbing Perilaku 1  

(4)

pekerja. Metode yang digunakan adalah cross sectional, dimana pengambilan data yang menyangkut variabel dependen yaitu perilaku penggunaan APD dan variabel independen yaitu pengetahuan APD, sikap, ketersediaan, pelatihan APD, peraturan APD, dan pengawasan APD dilakukan dalam waktu bersamaan.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner, lembar observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder didapatkan dari data perusahaan dan studi pustaka. Populasi penelitian pekerja konstruksi di proyek CCC berjumlah 120 orang. Sedangkan besar minimal sampel dengan kekuatan uji 80% menggunakan rumus uji Hipotesis Beda 2 Proporsi adalah 388 orang. Namun karena keterbatasan jumlah populasi pekerja maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian, dan besar kekuatan uji penelitian ini yaitu 34,1%.

Data-data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program Statistical Package for Sosial Science (SPSS) melalui editing, coding, entry,

cleaning serta analisis data dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisis data

penelitian ini adalah univariat dan bivariat.

HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Total

N = 120 % § Umur 18 - 30 82 68.3 31 - 40 30 25 41 - 50 8 6.7 § Pendidikan SMA 68 56.7 SMP 40 10 SD 12 33.3 § Lama Bekerja ≤ 1 Tahun 92 76.7 >1 Tahun 28 23.3

Karakteristik responden merupakan gambaran identitas pekerja yang dijadikan sampel dalam penelitian, meliputi umur, pendidikan, dan lama kerja. Distribusi umur responden paling banyak berkisar antara 18 tahun sampai 26 tahun, yaitu 52 responden (43,3%), pendidikan paling banyak pada jenjang pendidikan SMA, yaitu 80 responden (66,7%), sedangkan lama kerja paling banyak bekerja kurang dari 1 tahun, yaitu 92 responden (76,7%)

(5)

Frekuensi Distribusi Responden Menurut Faktor Independen dan Dependen

Berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku penggunaan APD 120 pekerja konstruksi CCC, ditemukan bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku yang tidak baik terhadap penggunaan APD, yaitu sebesar 85 pekerja (70,8%), sedangkan responden yang berperilaku baik yaitu sebesar 35 pekerja (29,2%). Dan berdasarkan hasil jawaban kuesioner terhadap 120 pekerja, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2. Frekuensi Distribusi Responden Menurut Faktor Independen Yang Diteliti Pada Pekerja Konstruksi di Proyek CCC

Faktor Risiko Perilaku Total P Value OR (95% CI)

Baik Tidak Baik

N = 35 % N = 85 % N = 120 % Pengetahuan § Tinggi § Rendah 19 16 54,3 45,7 14 71 16,5 83,5 33 87 27,5 72,5 0,000 6,02 (2,50 – 14,48) Sikap § Positif § Negatif 23 12 65,7 34,3 66 19 77,6 22,4 89 31 74,2 25,8 0,25 0.55 (0,23 – 1,31) Ketersediaan APD § Memadai § Kurang memadai 27 8 77,1 22,9 22 63 25,9 74,1 49 71 40,8 59,2 0,000 9.66 (3,82 – 24,40) Pelatihan APD § Memadai § Kurang memadai 24 11 68,6 31,4 28 57 32,9 67,1 52 68 43,3 56,7 0,001 4,44 (1,90 – 10,33) Peraturan APD § Baik § Kurang baik 21 14 60 40 57 28 67,1 32,9 78 42 65 35 0,52 0,73 (0,32 – 1,66) Pengawasan APD § Baik § Kurang baik 26 9 74,3 25,7 18 67 21,2 78,8 44 76 36,7 63,3 0,000 (4,28 – 26,96) 10,75

Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti nilai p ≤ α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan proporsi pengetahuan dengan perilaku penggunaan APD (Ada hubungan yang

signifikan antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan APD).

Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai OR = 6,02 (95% CI : 2,50 – 14,48), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang berpengetahuan rendah berisiko 6 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik (Tabel 2).

(6)

Hubungan Sikap dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,25 yang berarti nilai p > α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

perbedaan proporsi sikap dengan perilaku penggunaan APD terhadap risikonya baik dan kurang baik (Tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku penggunaan

APD).

Besar perbedaan dapat pula dilihat dari nilai OR = 0,55 (95% CI : 0,23 – 1,31), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang sikapnya negatif berisiko 1 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang sikapnya positif. Tetapi nilai tersebut tidak bermakna secara statistik (Tabel 2).

Hubungan Ketersediaan APD dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti nilai p ≤ α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan proporsi ketersediaan APD dengan perilaku penggunaan APD (Ada hubungan

yang signifikan antara ketersediaan APD dengan perilaku penggunaan APD).

Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai OR = 9,66 (95% CI : 3,82 – 24,40), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan ketersediaan APD kurang memadai berisiko 10 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan ketersediaan APD memadai (Tabel 2).

Hubungan Pelatihan APD dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,001 yang berarti nilai p ≤ α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan proporsi pelatihan APD dengan perilaku penggunaan APD (Ada hubungan yang

signifikan antara pelatihan APD dengan perilaku penggunaan APD).

Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai OR = 4,44 (95% CI : 1,90 – 10,33), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan pelatihan APD kurang memadai berisiko 4 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan pelatihan APD memadai (Tabel 2).

Hubungan Peraturan APD dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,52 yang berarti nilai p > α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

(7)

perbedaan proporsi peraturan APD dengan perilaku penggunaan APD (Tidak ada hubungan

yang signifikan antara peraturan APD dengan perilaku penggunaan APD).

Besar perbedaan dapat pula dilihat dari nilai OR = 0,73 (95% CI : 0,32 – 1,66), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan sosialisasi peraturan APD kurang baik berisiko 1 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan sosialisasi peraturan APD baik (Tabel 2).

Hubungan Pengawasan APD dengan Perilaku Penggunaan APD

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti nilai p ≤ α dengan α = 5% (0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan proporsi pengawasan APD dengan perilaku penggunaan APD (Ada hubungan

yang signifikan antara pengawasan APD dengan perilaku penggunaan APD).

Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai OR = 10,75 (95% CI : 4,28 – 26,96), hal ini dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan pengawasan APD kurang baik berisiko 11 kali untuk berperilaku tidak baik dalam menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan pengawasan APD baik (Tabel 2).

PEMBAHASAN

Banyaknya perilaku tidak baik dalam penggunaan APD di proyek CCC tidak sejalan dengan standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.08/Men/VII/2010 dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa “Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko”. Abudayyeh, et al berpendapat bahwa dalam komitmen keselamatan dibutuhkan dukungan manajemen. Manajemen harus memastikan bahwa sumber daya memadai telah dialokasikan untuk kegiatan keselamatan dan melaksanakan pertemuan rutin dan pelatihan di proyek. Selain itu, kerja sama tim dari semua tingkat staf di perusahaan harus terlibat dalam program keselamatan; meningkatkan keselamatan harus dilihat sebagai upaya kolektif yang membutuhkan kerja sama dari semua orang yang terlibat (Abudayyeh, et al, 2006). Rekomendasi utama dalam perbaikan perilaku penggunaan APD adalah komitmen manajemen proyek terhadap setiap program APD.

Dalam pengendalian risiko, manajemen bersama-sama pekerja berkewajiban melakukan upaya pengendalian risiko. Pengendalian yang baik memang memerlukan biaya yang cukup besar, tapi jauh lebih murah daripada kerugian yang ditimbulkan bila terjadi kecelakaan atau penyakit (Kurniawidjaja, 2011). Oleh karena itu, pelaksanaan program APD

(8)

sebagai pengendalian terakhir sangat dibutuhkan komitmen yang besar baik dari manajemen perusahaan dan pekerja.

Pengetahuan APD

Green, et al (1980) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor berpengaruh (predisposing factor) yang mendorong atau menghambat individu untuk berperilaku. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, namun hubungan positif antara kedua variabel ini telah diperlihatkan dalam sejumlah penelitian yang dilakukan sampai saat ini. Berdasarkan studi yang telah dilakukan Haslam, et al (2005) di Inggris, menyatakan bahwa hal yang mendasari pengetahuan keselamatan tidak memadai, disebabkan kurangnya pendidikan dan pelatihan. Pendidikan yang efektif melengkapi individu dengan kemampuan untuk menganalisis situasi dan merespons dengan tepat. Pelatihan memberikan instruksi tentang bagaimana suatu tindakan harus dilakukan. Dan diharapkan kombinasi dari keduanya yaitu pendidikan dan pelatihan.

Hasil telitian yang telah dilakukan pada pekerja konstruksi di proyek CCC menunjukkan bahwa 72,5% responden berpengetahuan rendah. Hal ini diduga berhubungan dengan banyak dari pekerja berpendidikan SMP dan SD yaitu 43,3%, pekerja usia muda 18-30 tahun yaitu 68,3% dan faktor pelatihan APD kurang memadai. Selain itu, hasil telitian di proyek CCC menunjukkan bahwa terdapat 16 responden yang berperilaku baik dalam penggunaan APD, namun berpengetahuan rendah mengenai APD. Hal ini diduga berhubungan dengan faktor peraturan APD yang mendorong pekerja untuk berperilaku baik. Hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa 16 responden tersebut menyatakan sosialisasi peraturan APD di proyek CCC sudah baik. Sebaliknya, terdapat 14 responden yang berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD namun berpengetahuan tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan faktor ketersediaan APD. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut menyatakan ketersediaan APD kurang memadai. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya perbaikan untuk meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai APD antara lain penambahan jadwal pelatihan APD, memasang papan wajib baca mengenai manfaat penggunaan APD, dan memasang gambar mengenai petunjuk cara menggunakan APD dengan benar dan sesuai dengan pekerjaan, di ruang loker APD proyek.

Sikap APD

Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa sikap tidak sama dengan perilaku. Meskipun demikian perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Suatu kecenderungan untuk

(9)

berespon adalah bila seseorang yang mempunyai sikap, pada umumnya mengetahui perilaku apa yang akan dilakukannya bila bertemu dengan objeknya. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya suatu tindakan, misalnya adanya fasilitas.

Hasil telitian yang telah dilakukan pada pekerja konstruksi di proyek CCC menunjukkan bahwa 25,8 % responden bersikap negatif. Diantaranya terdapat responden yang bersikap negatif dan beperilaku tidak baik, yaitu 19 responden. Hal ini diduga berhubungan dengan pengetahuan dan pelatihan APD. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut berpengetahuan rendah dan menyatakan pelatihan APD kurang memadai, sehingga pekerja kurang termovitasi untuk berperilaku baik dalam penggunaan APD.

Selain itu, hasil telitian di proyek CCC menunjukkan bahwa terdapat 12 responden bersikap negatif dan berperilaku baik. Hal ini diduga berhubungan dengan peraturan dan pengawasan APD. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut menyatakan sosialisasi peraturan APD dan pengawasan APD sudah baik. Sebaliknya, terdapat 66 responden yang berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD namun sebenarnya memiliki sikap yang baik terhadap penggunaan APD. Hal ini diduga berhubungan dengan faktor ketersediaan APD di proyek CCC yang kurang memadai.

Walaupun sikap tidak berhubungan dengan perilaku penggunaan APD, seyogianya perusahaan perlu mempertahankan dengan cara dimonitoring dan memberikan perbaikan segera untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi pekerja terhadap manfaat penggunaan APD. Pemberian pelatihan APD yang tepat dan memadai diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan motivasi pekerja untuk bersikap positif selalu menggunakan APD.

Ketersediaan APD

Menurut OSHA (2003), untuk menjamin perlindungan bagi karyawan di tempat kerja, pengusaha bertanggung jawab untuk menyediakan APD yang sesuai bagi karyawan. Berdasarkan studi yang dilakukan Cheng, et al (2010) pada 800 kasus kecelakaan kerja konstruksi di Taiwan, menyatakan bahwa 47% dari kecelakaan kerja disebabkan perusahaan tidak memberikan APD yang cukup untuk pekerja.

Hasil telitian yang telah dilakukan di proyek CCC menunjukkan bahwa pekerja yang menyatakan ketersediaan APD kurang memadai 59, 2% responden. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, bahwa perencanaan pemilihan dan penyediaan APD di proyek CCC masih kurang baik. Selain itu, hasil telitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 8 responden

(10)

menyatakan ketersediaan APD kurang memadai dan berperilaku baik. Hal ini diduga responden tersebut melihat keadaan di lapangan bahwa masih terdapat rekan kerjanya yang tidak mendapatkan APD. Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan petugas SHE

Officer menyatakan ketersediaan APD sudah memadai sedangkan berdasarkan hasil observasi

di lapangan, ketersediaan APD di proyek CCC masih kurang memadai.

Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan identifikasi dan risk assessment dalam perencanaan penyediaan APD untuk memilih APD yang diperlukan dan sesuai potensi bahaya dari masing-masing pekerjaan. Pengendalian teknik dan administratif harus diutamakan, bila risiko tersisa masih tinggi maka dianjurkan untuk menyediakan APD. Selain itu, jenis dan kecukupan APD juga harus jelas. Jika memungkinkan penggunaan safety belt diganti dengan

body harness.

Pelatihan APD

Berdasarkan studi yang dilakukan Cheng, et al (2010), pada 800 kasus kecelakaan kerja konstruksi di Taiwan, bahwa 53% kasus kecelakaan ditemukan pekerja menggunakan APD dengan tidak benar, hal ini disebabkan kurangnya pelatihan. Oswald, et al (2013) menyatakan bahwa pelatihan, pengalaman, persepsi risiko, budaya keselamatan, dan manajemen merupakan faktor yang paling mungkin mempengaruhi respon perilaku individu.

Hasil telitian yang telah dilakukan pada pekerja konstruksi di proyek CCC menunjukkan bahwa responden yang menyatakan pelatihan APD kurang memadai 56,7% responden. Hal ini diduga berhubungan dengan pelatihan APD tidak diwajibkan untuk seluruh pekerja. Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan petugas SHEO Officer dan

Safety Supervisor bahwa seluruh pekerja tidak diwajibkan mengikuti pelatihan, cukup

perwakilan beberapa orang dari setiap mandor. Selain itu, hasil telitian di proyek CCC menunjukkan bahwa terdapat 11 responden menyatakan pelatihan APD kurang memadai dan berperilaku baik. Hal ini diduga berhubungan dengan peraturan APD dan sikap. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut menyatakan peraturan APD baik, dan bersikap positif.

Sebaliknya, terdapat 28 responden berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD namun menyatakan pelatihan APD sudah memadai. Hal ini diduga bahwa responden tersebut kurang termotivasi setelah mengikuti pelatihan. Pekerja konstruksi merupakan pekerja musiman, dimana pekerjaan tersebut bersifat sementara dan hanya dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu saja. Diduga banyak diantara mereka juga mempunyai

(11)

pekerjaan lain sebagai petani atau nelayan di kampung halamannya. Sehingga para pekerja tidak fokus mengikuti pelatihan karena beban kerja yang berat.

Oleh karena itu, perusahaan perlu memberikan pelatihan APD yang memadai bagi seluruh pekerja dan melakukan need analysis agar pelatihan yang diberikan spesifik dan sesuai dengan pekerjaan. Program pelatihan APD harus diwajibkan diikuti oleh seluruh pekerja. Terhadap pekerja yang kurang termotivasi mengikuti pelatihan, manajemen diharapkan lebih aktif untuk melakukan pendekatan personal.

Peraturan APD

Salah satu cara mencegah kecelakaan kerja adalah dengan peraturan yaitu ketentuan yang harus dipatuhi mengenai kondisi kerja pada umumnya seperti pemeliharaan, pengawasan, pengoperasian peralatan, dan pertolongan pertama (ILO, 1989). Menurut Faroouqi, et al (2009), mendisiplinkan pekerja adalah sulit tetapi membutuhkan waktu. Pekerja harus diberi kesadaran bahwa keselamatan adalah bagian dari prosedur dan ketidakpatuhan tidak dapat ditoleransi karena untuk mencegah cedera atau kematian. Mengingatkan pekerja bahwa keselamatan mereka merupakan perhatian utama bagi perusahaan adalah sangat penting untuk meningkatkan komitmen terhadap prosedur keselamatan.

Hasil telitian yang telah dilakukan di proyek CCC menunjukkan bahwa responden yang menyatakan sosialisasi peraturan APD kurang baik 35% responden. Hal ini diduga berhubungan dengan sosialisasi sangsi peraturan APD kurang baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan SHE Officer dan Safety Supervisor proyek CCC, bahwa sangsi jika pekerja tidak menggunakan APD adalah diberhentikan sementara dari pekerjaannya sampai mendapatkan APD. Namun sosialisasi mengenai sangsi tidak didukung pada pemasangan papan wajib baca atau spanduk. Selain itu, hasil telitian di proyek CCC menunjukkan bahwa terdapat 14 responden menyatakan peraturan APD kurang baik dan berperilaku baik. Hal ini diduga berhubungan dengan pengetahuan APD, dimana berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut berpengetahuan tinggi. Sebaliknya, terdapat 57 responden yang berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD namun menyatakan sosialisasi peraturan APD sudah baik. Hal ini diduga berhubungan dengan pengawasan APD dan ketersediaan APD. Dimana berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut menyatakan pengawasan APD kurang baik, dan ketersediaan APD kurang memadai.

Walaupun peraturan APD tidak berhubungan dengan perilaku penggunaan APD, seyogianya perusahaan perlu meningkatkan sosialisasi peraturan APD antara lain penambahan

(12)

informasi mengenai sangsi tegas jika pekerja tidak menggunakan APD pada papan wajib baca atau spanduk. Selain itu, perusahaan harus konsisten dalam melaksanakan peraturan dan menerapkan sangsi yang berlaku.

Pengawasan APD

Berdasarkan studi yang telah dilakukan Haslam, et al (2005) pada 100 kasus kecelakaan konstruksi di Inggris, menunjukkan bahwa pengawas konstruksi sangat terbatas untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pengawasan keselamatan. Sejalan dengan studi tersebut, Seokho, et al (2013) berpendapat kurangnya pengawasan atau perilaku tidak menggunakan APD dapat menimbulkan risiko yang lebih tinggi terkena alat bergerak atau benda jatuh dari sekitarnya.

Hasil telitian yang dilakukan di proyek CCC menunjukkan bahwa responden yang menyatakan pengawasan APD kurang baik 63,3% responden. Hal ini diduga berhubungan dengan kurangnya petugas pengawas di proyek CCC. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hanya terdapat 2 orang petugas safety di proyek CCC yaitu seorang SHE Officer dan seorang Safety Supervisor yang melakukan pengawasan rutin pengunaan APD pekerja. Selain itu, hasil telitian di proyek CCC menunjukkan bahwa terdapat 9 responden menyatakan pengawasan APD kurang baik dan berperilaku baik. Hal ini diduga berhubungan dengan faktor pengetahuan dan sikap. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa responden tersebut berpengetahuan tinggi dan bersikap positif. Sebaliknya, terdapat 18 responden berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD namun menyatakan pengawasan APD baik. Hal ini diduga berhubungan juga dengan faktor pengetahuan APD dan sikap. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa respoden tersebut bersikap negatif dan berpengetahuan rendah.

Oleh karena itu, perusahaan perlu meningkatkan pengawasan penggunaan APD dengan cara menghimbau setiap pegawai kantor di proyek CCC untuk wajib menegur dan turut memberikan sangsi yang berlaku jika menemukan pekerja tidak menggunakan APD saat bekerja. Selain itu dengan memberikan teman pendamping bagi setiap pekerja baru untuk mengingatkan mereka menggunakan APD saat bekerja.

(13)

SIMPULAN

Berdasarkan telitian yang telah dilakukan pada pekerja konstruksi di proyek CCC, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pekerja berperilaku tidak baik dalam penggunaan APD di proyek pembangunan ruko Cikarang Central City terdapat 70,8% pekerja

2. Responden berpengetahuan rendah 72,5% pekerja, bersikap negatif 25,8% pekerja, ketersediaan APD kurang memadai 59,2% pekerja, pelatihan APD kurang memadai 56,7% pekerja, peraturan APD kurang baik 35% pekerja, dan pengawasan APD kurang baik 63,3% pekerja.

3. Hasil analisis menunjukkan empat faktor yang berhubungan signifikan dengan penggunaan APD yaitu pengetahuan APD, ketersediaan APD, pelatihan APD, dan pengawasan APD. Sedangkan yang tidak berhubungan yaitu sikap dan peraturan APD.

SARAN

Saran yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi atau meminimalisasi perilaku tidak baik dalam penggunaan APD pada pekerja konstruksi di proyek CCC yaitu meningkatkan komitmen manajemen terhadap program APD, antara lain:

1. Meningkatkan pengetahuan pekerja antara lain pemasangan papan wajib baca yang memuat informasi mengenai bahaya dan risiko di tempat kerja serta manfaat besar dari penggunaan APD saat bekerja, dan pemasangan gambar petunjuk mengenai cara menggunakan APD yang baik dan benar.

2. Mempertahankan dan meningkatkan sikap positif pekerja dengan tetap dimonitoring dan memberikan perbaikan segera.

3. Melakukan identifikasi dan risk assessment dalam pemilihan APD yang diperlukan dan sesuai dengan potensi bahaya dari masing-masing pekerjaan.

4. Melakukan need analysis dalam perencanaan pelaksanaan pelatihan APD. Dan mewajibkan seluruh pekerja untuk mengikuti pelatihan APD.

5. Meningkatkan sosialisasi peraturan APD antara lain pemasangan papan wajib baca atau spanduk mengenai sangsi tegas jika tidak menggunakan APD. Dan perusahaan diharapkan konsisten dalam melaksanakan peraturan dan menerapkan sangsi yang berlaku.

6. Meningkatkan pengawasan APD dengan cara melibatkan setiap pegawai PT. Pembangunan Perumahan di proyek Cikarang Central City dan memberikan teman pendamping bagi setiap pekerja baru.

(14)

KEPUSTAKAAN

Abudayyeh, O., et al. (2006). An Investigation Of Management’s Commitment to

Construction Safety. International Journal of Project Management, 24(2), pp.167-174.

Aksorn, T., & Hadikusumo, B.H.W. (2007). The Unsafe Acts and the Decision to Err Factors

of Thai Construction Workers. Journal of Construction in Developing Countries, Vol.

12, No. 1.

Cheng, C. W., et al. (2010). Characteristic analysis of occupational accidents at small

construction enterprises. Safety Science, 48, 698-707

Electronic Library of Construction Occupational Safety and Health. (2014). The Construction

Chart Book 4th Edition: Section 31: Construction Death and Injury Rates in Selected

Industrial Countries. U.S.A : Available from

http://elcosh.org/document/1059/262/d000038/sect31.html

Farooqui, R.U., et al. (2009). Addressing the Issue of Compliance with Personal Protective

Equipment on Construction Worksites: A Workers’ Perspective. South Florida: Florida

International University

Green,L zw., et al (1980). Health Education Planning A Diagnostic Approach. America: Mayfield Publisng Company.

Haslam, R. A., et al. (2005). Contributing factors in construction accidents. Applied

Ergonomics, 36, 401-415

International Labour Organization. (1989). Pencegahan Kecelakaan: Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Kurniawidjaja, L. M. (2011). Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja [Cetakan Kedua Edisi Pertama]. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Labour Department Hongkong. (2007). Safety environment. Available from: http://www.labour.gov.hk

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Occupational Safety and Health Administration. (2003). Personal Protective Equipment. U.S

Department of Labor: OSHA

Oswald, D., Sherratt, F., and Smith, S. (2013). Exploring Factors Affecting Unsafe

Behaviours In Construction. U.K : Association of Researchers in Construction

Management, 335-344

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri

Seokho, Sangwon, and Kim, D.Y. (2013). The Relationship between Unsafe Working

Conditions and Workers’ Behavior and Their Impacts on Injury Severity in the U.S. Construction Industry. Journal of Construction Engineering and Management, 139 (7),

pp. 826-838. Australia: Queensland University of Technology

Gambar

Gambar 1. Faktor Kontribusi Perilaku Kesehatan   (Green, 1980)
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Tabel 2. Frekuensi Distribusi Responden Menurut Faktor Independen Yang Diteliti  Pada Pekerja Konstruksi di Proyek CCC

Referensi

Dokumen terkait

Untuk ukuran bank besar dapat mengambil posisi yang lebih agresif terhadap kegiatan diversifikasi pendapatan dari bank yang berukuran lebih kecil, karena kegiatan fee based

Pujaningrum, Intan (2012) Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Penerimaan Auditor Atas Penyimpangan Perilaku Dalam Audit (Studi Empiris pada Kantor Akuntan

Aplikasi multimedia ini dibuat untuk menyampaikan informasi yang ada pada SMA Negeri 1 Ngluwar Magelang sebagai sarana informasi seperti Sejarah, Visi & Misi, Tujuan,

Merupakan halaman yang digunakan pengguna untuk melakukan konsultasi diagnosa penyakit kulit pada kucing. Halaman ini menampilkan pertanyaan-pertanyaan mengenai

kajian yang disertai penganalisaan secara kritis pada sanad dan matan sehingga dapat dipertanggungjawabkan keaslian atau kesahihan hadis sebagai salah satu

Dengan persamaan (4), nilai porositas yang mendekati 0,41 adalah nilai porositas dari sintesis proses mineralisasi dengan temperatur pemanasan 500 o C selama 6 jam

Sulistyorini T (2017), penelitian dengan judul “Pengaruh Kombinasi Pijat Refleksi Kaki dan Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Perifer dilihat dari

Di dalam proses kampanye mereka diharuskan untuk menggunakan strategi yang tepat, memaksimalkan sumber daya politik yang ada, dan menyiasati menguatnya praktik patronase