• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung

Pulau bahang kota di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh gas rumah kaca khususnya CO2, lahan terbangun, dan ruang terbuka hijau di wilayah tersebut. Gas

CO2 berpengaruh terhadap absorbsi radiasi gelombang panjang serta peningkatan

suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO2 di

atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO2. Trewartha dan Horn (1995)

juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Faktor lain yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah lahan terbangun. Lahan terbangun berpengaruh pada proses refleksi dan absorbsi radiasi yang juga mengakibatkan peningkatan suhu udara, sedangkan ruang terbuka hijau berperan terhadap penurunan suhu udara melalui proses refleksi radiasi, evapotranspirasi dan fotosintesis.

5.1.1. Sumber Pulau Bahang Kota dari Emisi CO2

Jumlah Penduduk

Penduduk Kabupaten Bandung tahun 2006 berjumlah 2.994.551 orang, tahun 2007 menjadi 3.038.082 orang, dan tahun 2008 semakin meningkat menjadi 3.127.008 orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 1,95 %/tahun. Kepadatan penduduk dari tahun ke tahun juga meningkat. Tercatat pada tahun 2006, kepadatan penduduk sebesar 1.694 orang/km2, meningkat menjadi 1.769 orang/km2 (tahun 2008). Jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk

Tahun Jumlah Penduduk (orang) Kepadatan Penduduk (Org/km2) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2006 2.994.551 1.694 1,45 2007 3.038.082 1.718 1,45 2008 3.127.008 1.769 2,93

(2)

Suhu udara sangat dipengaruhi oleh produksi gas rumah kaca khususnya CO2

yang dikeluarkan oleh penduduk. Environmental Protection Agency (2010), menyatakan bahwa pernapasan manusia mengeluarkan CO2 1 kg/hari atau sama

dengan 0,365 ton/orang/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi jumlah penduduk, maka juga semakin banyak gas CO2 yang dihasilkan dari manusia.

Pertambahan jumlah penduduk sangat potensial meningkatkan emisi CO2 ke atmosfer

sehingga dapat meningkatkan efek negatif terutama dalam hal peningkatan suhu udara pulau bahang kota.

Selain CO2 yang dikeluarkan manusia melalui pernapasan, CO2 juga dikeluarkan

dari pemakaian bahan bakar dari aktivitas rumah tangga seperti yang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung (2009), tercatat mayoritas rumah tangga menggunakan bahan bakar gas yaitu sebesar 85,79 %. Rumah tangga yang menggunakan minyak tanah, kayu bakar dan listrik persentasenya kecil.Berdasarkan data dokumen Kabupaten Bandung dalam Angka tahun 2009, diketahui jumlah rumah tangga adalah sebesar 885.674, maka dapat diperkirakan emisi CO2 dari penduduk kabupaten Bandung dari aktifitas rumah

tangga sebanyak 557.374,73 kg CO2/rumah tangga/tahun. Berdasarkan perhitungan

emisi CO2 dari aktivitas rumah tangga, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi

jumlah penduduk (jumlah rumah tangga) maka akan semakin tinggi juga kebutuhan akan bahan bakar, serta akan menyebabkan emisi CO2 dari aktivitas tersebut semakin

meningkat pula.

Tabel 6 Emisi CO2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan

bakar di Kabupaten Bandung (2009) BBM untuk Memasak Jumlah Rumah Tangga % Emisi CO2 (kg/rumah tangga/tahun) Total Emisi (kg CO2/tahun) Listrik 68 0,01 1.459,56 99.250,08 Gas 713.054 85,79 607,68 433.308,65 Minyak Tanah 23.862 2,87 1.039,98 24.816,00 Kayu Bakar 94.130 11,33 - -

Sumber : Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (2009)

Jumlah Kendaraan

Volume kendaraan bermotor yang beroperasi di Kabupaten Bandung bervariasi tergantung waktu (jam). Jam (waktu) puncak pada pagi hari mulai dari pukul 07.00-08.00, sedangkan waktu puncak pada sore hari terjadi pada pukul 16.00-17.00 dengan

(3)

jumlah kendaraan yang beroperasi sekitar 30.000. Lokasi kepadatan kendaraan bervariasi tergantung jalan yang dilewati. Jalan yang padat kendaraan terjadi pada jalan-jalan utama. Data selengkapnya mengenai volume kendaraan bermotor pada setiap jamnya di ruas-ruas jalan di Kabupaten Bandung tercantum pada Lampiran 7, sedangkan hasil penghitungan kendaraan bermotor secara langsung yang dilakukan pada Bulan November 2009 di Jl. Kopo-Sayati, disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009)

Waktu Kendaraan Roda Dua Kendaraan Roda Empat Truk Bus 06.00-07.00 9.347 1.689 65 14 12.00-13.00 13.678 1.911 172 5 15.00-16.00 2.210 850 272 3

Purnomohadi (1995) menyatakan bahwa kontribusi sektor transportasi terhadap polutan udara adalah sebesar 90 %. Hasil penelitian Soedomo (2001) di Bandung, menunjukkan bahwa sektor transportasi menghasilkan beberapa jenis polutan udara yaitu CO sebesar 97,4 %, NOx 56,3 %, SOx sebesar 12 %, hidrokarbon 78,5 % dan

partikulat sebesar 27,4 %. Jika dibandingkan aktifitas sumber pencemar lainnya, maka transportasi merupakan penyumbang polutan udara tertinggi kecuali untuk senyawa SOx.

Senyawa polutan udara yang mempengaruhi suhu udara secara langsung adalah CO2. Polutan CO2 yang dikeluarkan sektor transportasi dari kendaraan bermotor dapat

diperkirakan dari kebutuhan bahan bakar baik bensin maupun solar per kendaraan. Kendaraan bermotor mengeluarkan CO2 sebesar 2,33 kg dari pemakaian per liter

bahan bakar.

Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung tahun 2009, diketahui bahwa pemakaian premium kendaraan mobil pribadi roda empat rata-rata sebesar 9,9 liter/hari, sedangkan mobil umum 24,74 liter/hari. Kendaraan roda dua rata-rata membutuhkan premium rata-rata 1,85 liter/hari. Pemakaian bahan bakar solar untuk kendaraan pribadi roda empat rata-rata sebesar 11,96 liter/hari, sedangkan kendaraan umum 28,68 liter/hari.

Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat 76.144 kendaraan roda dua dan 22.670 kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 tercatat kendaraan bermotor roda dua sebesar 181.605, sedangkan kendaraan roda dua sebesar 28.411 kendaraan. Laju

(4)

peningkatan kendaraan bermotor roda empat 5,06 %/tahun, sedangkan kendaraan roda dua sebesar 27,7 %. Dari kecenderungan terus meningkatnya kendaraan bermotor terutama kendaraan roda dua, maka dikhawatirkan permintaan bahan bakar fosil bensin akan meningkat tajam. Akibatnya, emisi polutan udara khususnya CO2 akan

terus meningkat sehingga akan meningkatkan efek pulau bahang terutama suhu udara.

Industri

Sektor industri merupakan sektor penting dalam menyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bandung. Industri di Kabupaten bandung terdiri dari industri kain blacu, tenun, sarung, handuk, T-shirt, cotton bud, pakaian jadi, gendongan bayi, benang pintal, benang texture, benang polyster, katun dari serat rayon, kain tenun dari benang filament, aneka macam tas, kain asahi polyester (kain paris, kain gordyn), sol sepatu dalam-luar/sol sepatu, sarung tangan golf, topi, alas kaki (aneka sepatu, sendal) dan aneka barang dari kulit.

Lokasi industri di Kabupaten Bandung tersebar di Kecamatan Cileunyi, Margaasih, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margahayu, Pameungpeuk, Banjaran, Katapang, Baleendah, Majalaya, Solokanjeruk, dan Kecamatan Rancaekek. Pertumbuhan jumlah industri besar maupun sedang di Kabupaten Bandung, sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengalami penurunan. Sejak saat itu jumlah unit industri menurun 3,5 % per tahun.

Berdasarkan data tahun 2009, seluruh industri di Kabupaten Bandung mengkonsumsi bahan bakar total sebanyak 823.841,5 ton. Apabila bahan bakar total yang dikonsumsi sektor industri dikonversi berdasarkan emisi CO2, maka

diperkirakan sektor industri menghasilkan CO2 sebesar 1.919.551 ton/tahun. Emisi

CO2 dari sektor industri dapat meningkatkan suhu udara melalui peningkatan absorbsi

radiasi gelombang panjang oleh CO2. Hal ini akan memperburuk kondisi pulau

bahang kota.

Emisi CO2 Total dari Aktivitas Manusia

Jumlah penduduk, jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat terus meningkat di Kabupaten Bandung dengan laju masing-masing sebesar 1,95%, 23%, dan 4,3%. Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sampah. Sampah mengemisikan gas rumah kaca methana yang menyebabkan peningkatan suhu udara. Menurut Suprihatin et al. (2003), produksi

(5)

sampah per orang adalah 0,6 kg/hari atau 214 kg/tahun. Per kg sampah menghasilkan 235 L methana (CH4), sedangkan 0,5 juta ton methana setara dengan 12,8 juta ton

CO2. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.127.008 orang, maka produksi sampah

diperkirakan sebanyak 684.815 ton yang menghasilkan gas rumah kaca setara CO2

sebanyak 1.753.126 ton. Berdasarkan data jumlah kendaraan roda dua dan roda empat, jumlah penduduk, jumlah konsumsi bahan bakar industri dan produksi sampah, diperkirakan emisi CO2 total Kabupaten Bandung sebanyak 4.563.174 ton/tahun.

Berdasarkan hasil analisis potensi emisi gas CO2, maka untuk mengendalikan

pulau bahang kota adalah dengan cara mengendalikan emisi CO2 dari beberapa faktor

yaitu pengendalian jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, konsumsi bahan bakar fosil untuk aktivitas rumah tangga, serta pengendalian produksi sampah dengan minimisasi limbah.

5.1.2. Penutupan Lahan

Pulau bahang kota selain dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 juga dipengaruhi

oleh jenis penutupan lahan. Hasil analisis penutupan lahan dengan menggunakan citra landsat tahun 2003 dan tahun 2008, diketahui bahwa beberapa jenis penutupan lahan mengalami peningkatan diantaranya adalah lahan terbuka (1,4%), dan lahan terbangun (130%). Sedangkan jenis penutupan lahan yang berkurang adalah hutan (49,15%), dan lahan pertanian (3,23%). Peta penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 dan tahun 2008, disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13.

(6)

Gambar 13 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2008.

Jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan luas, yaitu hutan dan lahan pertanian. Luas hutan di Kabupaten Bandung pada tahun 2003 yaitu 59.893,82 ha, sedangkan lahan pertanian seluas 96.841,14 ha. Lima tahun kemudian kedua jenis penutupan lahan ini menurun, luas hutan menjadi 30.454,10 ha, sedangkan lahan pertanian menjadi 93.709,87 ha. Jenis penutupan lahan yang mengalami peningkatan yaitu lahan terbangun dan lahan terbuka. Luas lahan terbangun tahun 2003 yaitu 15.950,97 ha, meningkat menjadi 36.688,95 ha pada tahun 2008. Lahan terbuka meningkat dari 3.552,73 ha pada tahun 2003, menjadi 8.524,09 ha pada tahun 2008. Secara umum di Kabupaten Bandung mengalami penurunan ruang terbuka hijau (hutan, lahan pertanian), sedangkan lahan terbangun cenderung meningkat. Perubahan penutupan wilayah Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan 2008

Jenis Penutupan Lahan 2003 (ha) 2008 (ha)

Hutan 59.893,82 30.454,10

Lahan pertanian 96.841,14 93.709,87

Lahan terbangun 15.950,97 36.688,95

(7)

Setiap jenis penutupan lahan mempunyai nilai albedo yang berbeda. Albedo lahan terbangun sebesar 0,12; albedo tanah terbuka 0,17; albedo hutan 0,15 (Akbari 2008). Nilai albedo masing-masing jenis penutupan lahan menentukan proses absorbsi dan refleksi (pantulan) radiasi. Pada jenis penutupan lahan yang sama misalnya jenis lahan terbangun, maka semakin tinggi nilai albedo, akan semakin tinggi pula radiasi yang direfleksikan ke atmosfer sehingga nilai radiasi neto akan rendah. Radiasi neto yang rendah akan menyebabkan suhu udara juga rendah. Sebaliknya semakin rendah nilai albedo, maka semakin sedikit radiasi yang direfleksikan ke atmosfer, sehingga radiasi neto tinggi. Energi radiasi neto yang tinggi menyebabkan suhu udara menjadi tinggi. Jenis penutupan lahan ruang terbuka hijau berupa lapangan rumput dengan hutan akan memiliki albedo berbeda.

Tinggi rendahnya suhu udara tidak hanya ditentukan oleh nilai albedo, tetapi juga ditentukan oleh neraca energi radiasi neto (Arya 2001). Meskipun albedo tanah terbuka (0,17) lebih besar dibandingkan hutan (0,15), tetapi suhu udara di dalam hutan lebih rendah dibandingkan suhu udara tanah terbuka. Radiasi yang direfleksikan lapangan tanah terbuka lebih besar dan menyebabkan radiasi neto lebih kecil, tetapi karena nilai ΔHS (penggunaan energi untuk fotosintesis) dan HL (energi yang

digunakan untuk evapotranspirasi) lapangan rumput lebih kecil bahkan mungkin 0, maka energi radiasi neto di tanah terbuka banyak digunakan untuk HG (memanaskan

permukaan) dan H (memanaskan udara) sehingga suhu udara di lapangan rumput lebih tinggi dibandingkan hutan. Sebaliknya, energi radiasi neto di hutan lebih banyak digunakan untuk ΔHS dan HL sehingga nilai H (pemanasan udara) lebih kecil. Hal ini

menyebabkan suhu udara di hutan lebih rendah (Arya 2001).

Masing-masing jenis ruang terbuka hijau mempunyai albedo dan neraca radiasi serta neraca energi yang berbeda sehingga akan menghasilkan suhu udara yang berbeda juga. Pada intensitas radiasi surya yang sama, apabila jatuh di area ruang terbuka hijau, maka suhu udaranya akan lebih rendah dibandingkan dengan area dengan penutupan lahan berupa beton dan aspal. Fungsi ruang terbuka hijau dalam menurunkan suhu udara sangat penting. Hal ini didukung oleh penelitian Mather (1974) yang melakukan pengukuran suhu udara di beberapa jenis permukaan. Secara berurutan suhu udara dari yang terendah sampai suhu udara tertinggi adalah sebagai berikut : hamparan pohon oak (27 ºC), lapangan rumput (31 ºC), dan jalan beton tanpa peneduh tumbuhan (35 ºC). Kecenderungan terjadinya penurunan ruang terbuka hijau,

(8)

dan meningkatnya lahan terbangun serta tanah terbuka di Kabupaten Bandung berpotensi meningkatkan suhu udara.

5.1.3. Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian

Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian (Wilayah I, II dan III) selain dipengaruhi oleh CO2 juga ditentukan oleh persentase luas lahan terbangun serta

ruang terbuka hijau di wilayah penelitian tersebut. Luas keseluruhan wilayah perkotaan dalam penelitian adalah 29.321 ha. Terdiri dari Wilayah I seluas 6.570 ha, Wilayah II seluas 13.807 ha dan Wilayah III seluas 8.944 ha.

Luas area dengan suhu ≥ 27 °C di Wilayah I adalah seluas 161,59 ha (2,46 %), sedangkan Wilayah II seluas 130,5 ha (0,95 %) dan Wilayah III seluas 81,5 ha (0,91 %). Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung

Area Luas (ha) Persentase Luas Lahan Terbangun (%) Persentase Luas RTH (%) Luas Area > 27 °C Suhu Tertinggi (°C) Suhu Terendah (°C) Wilayah I 6.570 60 29 161,59 ha (2,46 %) 29 22 Wilayah II 13.807 40 45 130,5 ha (0,95 %) 28 21 Wilayah III 8.944 37 52 81,5 ha (0,91 %) 27 20

Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa meskipun luas Wilayah I lebih kecil tetapi persentase area dengan suhu ≥ 27 °C lebih besar dibandingkan dengan Wilayah II dan III. Hal ini disebabkan di Wilayah I memiliki persentase lahan terbangun paling tinggi sedangkan persentase ruang terbuka hijau rendah sehingga radiasi neto yang sampai di permukaan lebih banyak digunakan untuk memanaskan permukaan tersebut serta udara di sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan suhu udara menjadi tinggi.

Jumlah radiasi yang sama, suhu udara di sekitar lahan terbangun akan lebih tinggi dibandingkan dengan ruang terbuka hijau karena ruang terbuka hijau memanfaatkan energi radiasi neto tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk fotosintesis serta evapotranspirasi. Hal ini sesuai pernyataan Trewartha dan Horn (1995), bahwa kawasan perkotaan umumnya kurang tumbuhan sehingga evapotranpirasi rendah, sehingga sebagian besar energi radiasi yang diterima akan dikonduksikan ke permukaan dan digunakan untuk memanaskan udara.

(9)

Persentase yang tinggi dari tutupan lahan berbahan beton dan aspal di kawasan perkotaan menyebabkan penyerapan energi radiasi sangat efektif karena bahan tersebut merupakan konduktor panas yang baik. Mather (1974), juga menyatakan bahwa permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Oleh karena itu radiasi surya yang jatuh pada suatu permukaan akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda, dan permukaan berupa beton dan aspal menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan permukaan bertumbuhan.

Berdasarkan hasil analisis spasial distribusi suhu udara di area penelitian, diketahui bahwa suhu udara tertinggi di Wilayah I yaitu 29 °C (di Kecamatan Margahayu), dan terendah 22 °C (Kecamatan Margaasih). Sedangkan suhu udara tertinggi di Wilayah II terukur 28 °C (Kecamatan Baleendah) dan terendah 21 °C (di Kecamatan Soreang). Suhu udara tertinggi di Wilayah III terukur 27 °C (di Kecamatan Rancaekek), dan terendah 20 °C (di Kecamatan Majalaya). Dari ketiga wilayah tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan suhu udara di pusat kota dengan wilayah transisi dengan perdesaan. Perbedaan suhu udara pada masing-masing area penelitian mencapai 7 °C. Lebih tingginya suhu udara di area perkotaan dibandingkan area perdesaan bervegetasi, didukung oleh penelitian Nichol dan Wong (2005) yang melakukan penelitian dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Hasil penelitian Nichol dan Wong (2005), menjelaskan bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C lebih tinggi dibandingkan dengan area bervegetasi.

Selain Nichol dan Wong (2005), penelitian serupa juga dilakukan oleh Chang et al. (2007) yang melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Trewartha dan Horn (1995), bahwa efek pulau bahang yang terjadi di area perkotaan menyebabkan terjadinya perbedaan energi antara perkotaan dengan perdesaan sehingga menyebabkan perbedaan suhu udara dimana suhu udara area perkotaan lebih tinggi dibandingkan area perdesaan.

(10)

5.1.4. Distribusi Suhu Udara

Berdasarkan peta distribusi suhu udara tahun 2008 di wilayah penelitian, diketahui bahwa di area perkotaan dengan persentase luas lahan terbangun tinggi dan persentase luas ruang terbuka hijau rendah, menyebabkan suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan area yang masih banyak tertutup tumbuhan. Wilayah dengan suhu tinggi di area penelitian di Kabupaten Bandung tersebut terdapat di Kecamatan Margahayu, Margaasih, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi, Pameungpeuk dan Majalaya. Sebaliknya, berdasarkan peta distribusi suhu udara juga diketahui bahwa wilayah dengan tumbuhan yang masih rapat dan luas suhu udaranya relatif rendah. Area suhu rendah terdapat di wilayah Kabupaten Bandung bagian selatan yaitu di Kecamatan Ciwidey dan Pasir Jambu. Area suhu rendah juga terdapat di sebagian wilayah Kecamatan Pengalengan, Kertasari, Pacet, Ibun, Cimaung, Banjaran dan Arjasari. Peta distribusi suhu udara disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung.

Selain Mather (1974), penelitian yang mendukung akan pentingnya pengendalian lahan terbangun dan pulau bahang kota, yaitu dilakukan oleh Weng dan Yang (2004). Weng dan Yang (2004) menganalisis dampak dari percepatan pembangunan kota di Guangzhou terhadap perluasan pulau bahang kota. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa efek termal dari pembangunan perkotaan yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1997, menyebabkan luas pulau bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Penelitian tersebut juga menjelaskan

(11)

bahwa tumbuhan mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang dipancarkan ke atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa pohon dapat menurunkan suhu udara 2,1 ºC. Penanaman pohon-pohonan di kiri kanan jalan dapat menurunkan suhu 0,9 ºC.

Berdasarkan penelitian ini serta berdasar pada penelitian Mather (1974) serta Weng dan Yang (2004), maka pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota serta peningkatan suhu udara. Selain itu, untuk mengatasi pulau bahang kota agar dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung, maka perlu dilakukan pembangunan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota di kecamatan-kecamatan dengan suhu udara tinggi agar terjadi penurunan suhu udara sehingga terjadi ameliorasi (perbaikan) kondisi iklim di area tersebut.

5.1.5. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota 5.1.5.1. Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Bandung

Luas total kawasan perkotaan di area penelitian yaitu 29.512 ha. Di kawasan perkotaan ini memiliki ruang terbuka hijau 42%. Hal ini sudah memenuhi syarat minimal ruang terbuka hijau. Distribusi ruang terbuka hijau belum merata di semua kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau di Wilayah I baru mencapai 29 %. Ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung meskipun telah memenuhi syarat perundang-undangan, tetapi karena distribusinya tidak merata dan jenis ruang terbuka hijau berupa pohon (hutan kota) sangat kurang, maka tidak efektif dalam menurunkan efek pulau bahang. Ruang terbuka hijau berupa taman kota dan taman pulau jalan, tidak efektif dalam mengabsorbsi CO2, menurunkan suhu udara, serta tidak efektif dalam

meningkatan kelembaban udara.

Ruang terbuka hijau di wilayah Kabupaten Bandung mempunyai berbagai jenis dan kondisi yang bervariasi. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan kota, persawahan, kebun campur, dan hutan. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan terletak di area yang relatif jauh dari pusat kegiatan (perdagangan, industri dan jasa). Ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 10.

(12)

Tabel 10 Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung

No Lokasi Jenis RTH

Jenis Tumbuhan Diame-ter (cm)

Tinggi (m)

ILD Bentuk

Hutan Kota Kondisi Tumbuhan 1. PT Unilon Hutan Kota Mahoni 26-113 11-15 0,778 Jalur Sehat, 2. Kopo Sayati Hutan Kota Kamboja, palem - 2,5-3 - Jalur

(Jarang) - 3. Kawah Putih Hutan Eucalyptus 11-42 13-18 0,419

Mengelom-pok Sehat 4. Kec. Pasir Jambu Kebun campuran

Sawo walanda, waru, sengon 2-12 4-12 0,076 Mengelom-pok dan tersebar Sehat 5. Perumahan Griya Prima Asri

Hutan Kota Angsana, jambu biji, jambu air, krey payung, karet kerbau, mahkota dewa 7-35 2-8 0,891 Jalur, tersebar Sehat 6. Pemda Bandung (Soreang)

Hutan Kota Bungur, mahoni, angsana, asam kranji, asam kawak, kersen, ketapang, krey payung, palem raja, glodogan tiang, beringin, akasia 10-31 6-17 0,644 Mengelom-pok, tersebar Sehat 7. Depan Hotel Antik (Banjaran)

Sawah Padi, pisang, kelapa - 3-10 0,000 - Sehat

Keterangan : ILD = indeks luas daun

Ruang terbuka hijau berupa hutan kota berbentuk jalur terdapat di kawasan industri dengan jenis tumbuhan mahoni dewasa yang ditanam di jalur kanan kiri jalan. Penggunaan jenis tumbuhan mahoni ditujukan untuk dapat menciptakan kenyamanan (iklim mikro) bagi para pekerja. Hal ini berbeda dengan jenis tumbuhan yang dikembangkan di kompleks pertokoan Kopo Sayati, yang lebih menekankan pada fungsi keindahan yaitu penanaman dengan jenis kamboja dan palem. Di Kopo Sayati, komplek pertokoan sudah padat serta bahu jalan juga digunakan untuk pejalan kaki sehingga tumbuhan sudah tidak ada tempat lagi. Tumbuhan di area ini sangat kurang. Kebun campuran merupakan ruang terbuka hijau yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar rumah, terutama untuk daerah yang agak jauh dari pusat kota. Fungsi tumbuhan yang dikembangkan, selain berperan dalam ameliorasi iklim juga diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi, tanaman yang dikembangkan pada kebun campur biasanya berupa tumbuhan pangan dan buah-buahan.

Ruang terbuka hijau di kompleks perumahan, terutama berupa hutan kota tipe pemukiman yang bertujuan untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Jenis tumbuhan yang dikembangkan mempunyai fungsi kombinasi antara keindahan dan kenyamanan. Untuk lahan publik seperti di Kompleks Kantor Pemda, jenis ruang

(13)

terbuka hijau yang dikembangkan berupa hutan kota yang mempunyai fungsi dalam menciptakan iklim mikro dan juga diharapkan dapat berfungsi sebagai fasilitas sosial untuk rekreasi (outdoor recreation).

Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengembangkan ruang terbuka hijau berupa taman-taman kota. Taman kota ini dapat berupa jalur hijau yang mengikuti jalan, kompleks perkantoran, area pusat kota seperti tercantum pada Tabel 11.

Tabel 11 Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung

No. Kecamatan Kelurahan/Desa Lokasi Luas (m2) 1. Soreang Desa Soreang Green Strip Soreang 6.056,00

Desa Pamekaran

Taman Kota Komplek

Pemda 5.000,00

Desa Pamekaran

Taman Alun - alun

Soreang 5.625,00 2 Ciwidey Ds. Ciwidey Taman Kota Ciwidey 11.136,00 3 Katapang Ds. Cingcin

Taman Segitiga Warung

lobak II 349,00 4 Cangkuang Ds. Ciluncat

Taman Segitiga Warung

lobak I 132,00 5 Baleendah Kel. Baleendah

Taman Kota Baleendah 4.602,00 Taman Tugu Juang

Baleendah 312,00 Green Strip Baleendah 600,00 6 Banjaran Desa Banjaran

Taman Alun - Alun

Banjaran 5.000,00

TOTAL 38.812,00

5.1.5.2. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Perbaikan Iklim Mikro

Iklim Mikro Berbagai Jenis Ruang Terbuka Hijau

Peran ruang terbuka hijau dalam menurunkan suhu udara dapat diketahui dengan membandingkan suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan sehingga dapat diketahui perbedaan suhu udara di area bervegetasi dengan area yang didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, diketahui bahwa suhu udara tertinggi terdapat di Jalan Raya Sayati yaitu sebesar 30,6 °C. Jalan Raya Kopo-Sayati didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara berikutnya yaitu di area pertokoan (29,5 °C), selanjutnya area industri (29,2 °C), permukiman (28,2 °C), sawah (27,7 °C), kebun campur (26,8 °C), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung (23,3 °C), dan suhu udara terendah terukur di area hutan (19,1 °C). Berdasarkan hasil pengukuran suhu udara ini terlihat bahwa ruang terbuka hijau sangat berperan dalam menurunkan suhu udara karena tajuk tumbuhan pada ruang terbuka hijau berperan mengintersepsi radiasi surya sehingga radiasi yang sampai permukaan menurun.

(14)

Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurun (Trewartha & Horn 1980).

Gambar 15 Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten Bandung.

Peran ruang terbuka hijau dalam mengameliorasi (memperbaiki) iklim, selain melalui penurunan suhu udara, juga perannya dalam meningkatkan kelembaban udara. Berdasarkan pengukuran kelembaban udara secara serentak di beberapa jenis penutupan lahan, diketahui bahwa kelembaban udara dari yang terendah sampai yang tertinggi secara berurutan adalah sebagai berikut : yaitu di sawah (50%), jalan raya Kopo-Sayati (62%), pertokoan (64%), industri (64%), permukiman (68%), kebun campur (70%), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung (82%), dan tertinggi di hutan Ciwidey (89%). Hasil pengukuran kelembaban udara disajikan pada Gambar 16.

Tumbuhan dapat mengurangi radiasi yang lolos sampai permukaan tanah melalui intersepsi radiasi oleh tajuk. Selain itu tumbuhan juga mempunyai nilai albedo antara 0,15 – 0,18 sehingga radiasi surya yang datang akan mengalami refleksi (pemantulan) sebesar 15–18%. Pemanasan udara dipengaruhi oleh pemanfaatan radiasi neto. Radiasi neto pada area tertutup vegetasi akan banyak digunakan untuk penguapan tanah (evaporasi) maupun penguapan tumbuhan (transpirasi), serta fotosintesis sehingga energi yang digunakan untuk memanaskan udara rendah. Kondisi ini mengakibatkan suhu udara di area bervegetasi lebih rendah dibandingkan area dengan jenis penutupan lahan lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian Blennow (1998) yang menyatakan bahwa area berhutan dengan kerapatan tinggi, suhu udaranya lebih rendah dibandingkan area tanpa tumbuhan dengan perbedaan suhu udara mencapai 10 ºC.

15 20 25 30

Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman

Suhu Rata-Rata (°C) Lokasi Suhu Udara Rata-Rata (ºC)

(15)

40 50 60 70 80 90 100

Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman

Kelembaban Rata-Rata

(%)

Lokasi

Gambar 16 Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan.

Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa suhu udara rata-rata di berbagai jenis penutupan lahan berturut-turut dari jenis lahan terbangun, tanah gundul (tanah terbuka), pertanian hortikultura dan hutan adalah 27,07 °C; 26,06 °C; 25,52 °C; dan 23,82 °C. Dari berbagai jenis penutupan lahan, hutan mempunyai peran yang signifikan dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya, dari hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyatakan bahwa lahan terbangun menciptakan suhu udara yang tinggi.

Berdasarkan analisis kondisi ruang terbuka hijau serta perannya dalam meningkatkan kualitas lingkungan khususnya iklim mikro (suhu dan kelembaban udara), maka penanganan efek pulau bahang akan lebih efisien dan efektif dengan cara melakukan pembangunan hutan kota terutama di area-area dengan konsentrasi CO2 serta suhu udara tinggi. Adapun bentuk dan struktur hutan kota dapat disesuaikan

dengan kondisi lahan yang ada. Lahan sempit di kiri kanan jalan dapat dibangun hutan kota berbentuk jalur, sedangkan area dengan lahan yang kurang luas tetapi banyak tersebar di beberapa tempat, dapat dibangun hutan kota berbentuk menyebar dengan strata dua maupun strata banyak. Apabila lahan yang tersedia luas, maka dapat dibangun hutan kota dengan bentuk mengelompok dan berstrata banyak.

Rekittke (2009) menyatakan bahwa tumbuhan berupa pohon lebih efektif dalam menangani permasalahan urban heat island di perkotaan, oleh karena itu menyarankan pembangunan perkotaan berbasis kota hijau dapat diarahkan menjadi kota hutan (urban jungle) khususnya untuk kota-kota yang berbatasan dengan kawasan

Kelembaban Udara Rata-Rata (%) Kelembaban Udara Rata-Rata (%)

(16)

konservasi. Rekittke (2009) juga mempunyai pemikiran kota kebun (garden city) menuju kota di dalam kebun (city in the garden) dimana tumbuhan berupa pohon menyebar di area perkotaan dan di sekeliling perkotaan agar iklim mikro perkotaan lebih baik.

Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon-pohonan lebih efektif mengatasi efek pulau bahang dan dapat menurunkan suhu udara serta meningkatkan kelembaban udara. Meskipun persentase ruang terbuka hijau di perkotaan sudah cukup tinggi, tetapi apabila terdiri dari lapangan rumput, semak dan kebun, taman kota, taman pulau jalan, tidak akan efektif dalam menangani pulau bahang kota, dan tidak efektif dalam menurunkan suhu udara.

Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis iklim mikro di beberapa jenis penutupan lahan serta di beberapa bentuk dan strata hutan kota, serta didukung oleh penelitian Weng dan Yang (2004), Rekittke (2009) serta Blennow (1998), dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon-pohonan lebih efektif dalam menangani efek pulau bahang dan dapat memperbaiki kondisi iklim mikro.

Iklim Mikro pada Beberapa Bentuk dan Struktur Hutan Kota

Iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara) juga diukur pada beberapa bentuk dan struktur hutan kota. Hasil pengukuran iklim mikro disajikan pada Tabel 12. Suhu udara di dalam hutan kota pada hutan kota berbentuk jalur, menyebar maupun bergerombol, terukur lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di luar hutan kota. Sedangkan kelembaban udara di dalam hutan kota pada hutan kota berbentuk jalur, menyebar maupun bergerombol, terukur lebih tinggi dibandingkan dengan di luar hutan kota. Hal ini menunjukkan bahwa hutan kota mempunyai fungsi memperbaiki kondisi iklim mikro khususnya dalam penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara.

Tabel 12 Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan kota

Struktur Hutan Kota

Suhu Udara (°C) Kelembaban Udara (%) Di Dalam Di Luar Di Dalam Di Luar Bentuk Hutan Kota :

Jalur 29,9 30,1 65 64

Menyebar 24,3 24.9 80 79

Bergerombol 23,6 24,3 82 80

Struktur Hutan Kota :

Strata Dua 28,2 29,2 68 67

(17)

Suhu udara terendah dari ketiga bentuk hutan kota, adalah yang terukur di hutan kota berbentuk bergerombol, disusul bentuk menyebar, dan suhu udara tertinggi terdapat di hutan kota berbentuk jalur. Hal ini sesuai dengan penelitian Irwan (2005) yang menunjukkan bahwa hutan kota bergerombol menciptakan suhu udara yang lebih rendah dibandingkan bentuk jalur dan menyebar. Berbeda dengan suhu udara, kelembaban udara terendah terukur pada hutan kota berbentuk jalur, disusul hutan kota berbentuk menyebar dan kelembaban udara tertinggi terukur pada hutan kota berbentuk bergerombol. Suhu udara hutan kota berstrata banyak lebih rendah dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua. Sebaliknya, kelembaban udara di hutan kota berstrata banyak lebih tinggi dibandingkan hutan kota berstrata dua.

Kaitan antara Indeks Luas Daun dengan Suhu Udara

Tingkat kerindangan tumbuhan ditunjukkan dengan nilai Indeks Luas Daun (ILD). Kerindangan tumbuhan sangat menentukan suhu udara di sekitarnya. Semakin rindang, maka semakin banyak radiasi yang diintersepsi sehingga radiasi yang sampai permukaan tanah semakin rendah. Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan tanah, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurunn sehingga suhu udara di sekitar pohon menjadi rendah. Beberapa contoh hasil pemotretan ILD dengan menggunakan alat hemivericleview disajikan pada Gambar 17, 18 dan Gambar 19. Indeks luas daun 0,076; 0,419; 0,644; 0,778 dan 0,891 menghasilkan kondisi iklim mikro khususnya suhu udara berturut-turut 29,9 ºC; 28,2 ºC; 24,3 ºC; 23,6 ºC; dan 23,6 ºC. Semakin rapat dan rindang, menyebabkan semakin rendah suhu udara di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hardin dan Jensen (2007) mengenai kaitan antara ILD dengan suhu permukaan perkotaan. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa suhu udara di area tanpa tumbuhan (ILD mendekati 0) adalah 39,2 ºC. Sedangkan pada ILD lebih besar yaitu 0,45; suhu udara menurun menjadi 32,1 ºC. Hardin dan Jensen (2007) menyimpulkan bahwa peningkatan ILD akan meningkatkan intersepsi radiasi, pertukaran CO2 dan

menurunkan suhu udara. Oleh karena itu pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau khususnya hutan kota dengan kerindangan tinggi (ILD tinggi) agar efektif dalam menurunkan suhu udara.

(18)

(a) Hutan Kawah Putih Ciwidey (b) Hutan kota di area industri

Gambar 17 Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda Kabupaten Bandung.

(a) Kebun campur (b) Hutan kota di permukiman

Gambar 18 Kerindangan tajuk tumbuhan kebun campur dan hutan kota permukiman.

(a) Hutan Kota Pemda (b) Hutan Kota Pemda

(19)

Peran Hutan Kota dalam Perbaikan Iklim

Luas hutan kota di Kabupaten Bandung belum memenuhi peraturan perundangan khususnya Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang mengharuskan luas hutan kota di wilayah perkotaan sekurang-kurangnya 10% dari luas kota. Luas hutan kota di Kabupaten Bandung yaitu seluas 17.000 ha (9 %). Selain belum memenuhi persyaratan minimal, distribusi hutan kota di Kabupaten Bandung juga belum merata. Luas dan persentase hutan kota di Wilayah I yaitu 297 ha (4,5%), Wilayah II seluas 1202 ha (8,7%), dan Wilayah III belum mempunyai hutan kota. Pemerintah daerah masih lebih fokus pada pembangunan taman kota. Bahkan sejak tahun 2007 taman kotapun belum mengalami penambahan. Taman kota di Kabupaten Bandung saat ini terdapat di Kecamatan Soreang, Ciwidey, Katapang, Cangkuang, Baleendah, dan Banjaran. Total luas taman kota adalah 38.812 m2.

Penanganan efek pulau bahang akan lebih efektif apabila dilakukan dengan pembangunan hutan kota meskipun perlu juga dilakukan pembangunan taman-taman kota agar nilai estetika kota meningkat. Hutan kota sebaiknya dibangun terutama di area perkotaan dengan emisi CO2 tinggi dan suhu udara tinggi. Menurut Bernatzky

(1978), satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan melepaskan 600 O2

dalam waktu 2 jam. Penelitian Weng dan Yang (2004), lebih spesifik membandingkan peran taman kota dan hutan kota dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa pembangunan taman-taman kota kurang efektif dalam menangani efek buruk termal dari pembangunan perkotaan dibandingkan dengan hutan kota.

Pemilihan Jenis Tumbuhan

Pemilihan jenis tumbuhan khususnya untuk pembangunan hutan kota harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada yaitu kondisi tanah dan iklim Kabupaten Bandung. Selain itu, pemilihan jenis juga harus mempertimbangkan tujuan pembangunan hutan kota. Agar CO2 ambien dapat diabsorbsi oleh tumbuhan, maka

perlu dilakukan pemilihan jenis tumbuhan dengan daya rosot gas CO2 tinggi. Daya

rosot CO2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bandung

(20)

Selain daya rosot CO2, yang harus menjadi pertimbangan apabila akan

membangun hutan kota berbentuk jalur di kanan kiri jalan raya, maka harus dipilih jenis tumbuhan yang perakarannya tidak merusak aspal jalan, cabang dan dahannya kuat, dan bukan jenis tumbuhan yang menggugurkan daun pada musim kemarau.

Jenis tumbuhan hutan kota untuk jalan tol, dapat dipilih jenis-jenis tumbuhan yang tahan terhadap polutan CO, NOx, partikulat, Pb, dan SOx. Hutan kota di jalan tol

selain berfungsi untuk mengabsorbsi polutan udara, juga merupakan peredam kebisingan dan untuk menambah keindahan. Agar hutan kota dapat meredam kebisingan, maka penataan tumbuhan sebaiknya berstrata banyak dari strata paling bawah berupa rumput, kemudian tumbuhan semak (dapat berupa bunga-bungaan), dan pohon.

Pemilihan jenis hutan kota berbentuk menyebar dan mengelompok lebih fleksibel. Pemilihan jenis tumbuhan, selain berdasarkan kondisi tanah dan iklim juga sebaiknya merupakan jenis lokal yang sudah mulai langka. Thomashik (2011) menyatakan bahwa pembangunan berbasis green growth, harus mempertimbangkan konservasi kenakekaragaman hayati serta jasa lingkungan. Hutan kota yang dibangun dengan jenis tumbuhan lokal yang sudah mulai langka, dapat meningkatkan jasa lingkungan sekaligus dapat mengkonservasi tumbuhan langka.

Elander et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu komponen dari green policy adalah konservasi keanekaragaman hayati. Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan keanekaragaman hayati terutama keanekearagaman hayati yang terancam punah. Pemilihan jenis dalam pengembangan ruang terbuka hijau termasuk hutan kota selain berdasar pada kondisi lingkungan (tanah dan iklim), juga harus mempertimbangkan jenis lokal terutama jenis lokal yang sudah langka.

Penentuan Lokasi Ruang Hutan Kota

Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota (ruang terbuka hijau) berfungsi untuk mengurangi polusi udara, mengurangi polusi suara, meningkatkan kualitas udara, menurunkan suhu udara, estetika, mengontrol silau dan refleksi radiasi, sebagai tempat rekreasi, untuk relaksasi dan peningkatan kesehatan, sebagai habitat satwa, mengurangi konsumsi energi (listrik), dan meningkatkan nilai properti.

(21)

Fungsi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota akan efektif apabila pembangunan hutan kota tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Agar absorbsi polutan udara khususnya CO2 maksimal maka sebaiknya dibangun di

hadap angin, dan terletak diantara sumber emisi polutan dengan permukiman agar aliran udara yang membawa CO2 tertahan oleh hutan kota yang berfungsi sebagai

windbreak sehingga setelah melalui area hutan kota, kecepatan angin dan konsentrasi CO2 sudah menurun. Windbreak hutan kota ini sangat bermanfaat untuk melindungi

penduduk yang tinggal di area permukiman dari pencemar udara yang dapat mengganggu kesehatan.

Hasil analisis data kecepatan angin dari tahun 1999 sampai dengan 2008, dapat digambarkan dengan windrose (mawar angin) yang disajikan pada Gambar 20.

Berdasarkan hasil analisis kecepatan dan arah angin dalam bentuk windrose tersebut, dapat disimpulkan bahwa arah angin di Kabupaten Bandung lebih banyak berasal dari arah barat 43,8%, kemudian dari arah timur 34,5%. Angin yang berasal dari timur laut hanya 8,4%, itupun dengan kecepatan rendah (maksimum 5,0 km/jam). Sedangkan angin yang berasal dari barat laut hanya 2,4%, juga dengan kecepatan rendah (maksimum 5,0 km/jam).

Agar manfaat hutan kota dapat maksimal maka sebaiknya hutan kota yang berfungsi sebagai windbreak sebaiknya dibangun dengan desain sebagai berikut :

NE NW W E SW WW SE EE S Keterangan : : 0 – 2,5 km/jam : > 2,5 – 5 km/jam : > 5 km/jam

Gambar 20 Windrose Kabupaten Bandung. N

(22)

1) Hutan kota dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di sebelah timur dan barat sumber polutan.

2) Hutan kota dibangun melintang dari barat ke timur dengan letak di sebelah selatan sumber polutan.

Berdasarkan kondisi aliran udara di Kabupaten Bandung, dari kedua desain tersebut, maka desain 1 harus lebih menjadi prioritas karena angin dominan di Kabupaten Bandung berasal dari arah barat dan timur. Desain 1 maupun desain 2 sebaiknya dibangun di Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Cileunyi, Rancaekek, Bojongsoang, Baleendah, Katapang, Banjaran, dan Majalaya.

5.2. Model Kota Hijau

Purnomo (2005) menyatakan bahwa untuk mempermudah pengorganisasian model, maka model dibagi menjadi beberapa sub model. Berdasarkan pengoganisasian model, model kota hijau di Kabupaten Bandung dibagi menjadi tiga sub model yaitu sub model sumber pencemar CO2, sub model suhu udara dan sub

model penutupan lahan. Model terdiri dari variabel jumlah kendaraan yang dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Selain itu juga terdiri dari variabel jumlah unit industri, variabel jumlah penduduk dan variabel luas penutupan lahan. Luas penutupan lahan terdiri dari ruang terbuka hijau, lahan terbangun dan lahan terbuka.

5.2.1. Pengorganisasian Model

5.2.1.1. Sub Model Sumber Pencemar CO2

Variabel sub model sumber pencemar CO2 terdiri dari variabel sumber emisi

CO2 dari kendaraan bermotor, industri dan penduduk. Sub model sumber pencemar

CO2 disajikan pada Gambar 21.

Emisi CO2 dari Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2008 (sebagai stok awal) berjumlah 3.127.008 orang dengan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 1,95 %. Berdasarkan Environmental Protection Agency (2010), dinyatakan bahwa pernapasan manusia mengeluarkan CO2 1 kg/hari atau sama dengan 0,365 ton/ orang/

(23)

3.174.869 orang, maka CO2 yang dikeluarkan penduduk Kabupaten Bandung dari

pernapasan kira-kira sebanyak 1.158.827 ton/orang/tahun.

Bahan bakar fosil yang dikonsumsi penduduk, selain untuk bahan bakar kendaraan bermotor, adalah bahan bakar untuk memasak dan kebutuhan lain. Penduduk memerlukan bahan bakar gas, listrik dan minyak tanah. Berdasarkan laporan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung (2009) dinyatakan bahwa emisi CO2 dari konsumsi listrik oleh penduduk rata-rata sebesar

1.459,56 kg/rumah tangga/tahun. Total jumlah rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Bandung adalah 885.674 rumah tangga, sehingga emisi dari konsumsi listrik diperkirakan sebesar 1.292.694.343 kg/rumah tangga/tahun atau 1.292.694 ton/tahun. Emisi CO2 dari konsumsi bahan bakar gas adalah 607,68 kg/rumah tangga/tahun, sehingga total sebesar 538.206.376,3 kg/tahun atau sama dengan 538.206 ton/tahun. Emisi CO2 dari konsumsi minyak tanah adalah sebesar 1.039,98

kg/rumah tangga/tahun, sehingga total adalah sebesar 921.083.246,5 kg/tahun atau 921.083 ton/tahun.

Karbondioksida juga dihasilkan dari sampah. Dalam proses pembusukan dan penguraian sampah, dihasilkan gas methane (CH4). Berdasarkan penelitian dari

Suprihatin (2006) menyatakan bahwa 5 juta ton sampah sama dengan 25 m3, dan menghasilkan 0,5 juta ton methana yang setara dengan12,8 juta ton CO2 dalam memanaskanudara. Rata-rata sampah yang dihasilkan adalah 0,5 kg/orang/hari. Apabila jumlah penduduk Kabupaten Bandung tahun 2008 sebesar 3.127.008 orang, maka diperkirakan CO2 yang dihasilkan dari sampah adalah 1.460.938 ton/tahun.

Sumber CO2 dari Emisi Kendaraan Bermotor

Jumlah kendaraan bermotor roda empat pada tahun 2008 di kabupaten Bandung adalah 28.411 kendaraan, sedangkan roda dua sebesar 181.605 kendaraan. Karbondioksida yang diemisikan oleh kendaraan bermotor roda dua rata-rata sebesar 0,35 ton/kendaraan/tahun, sedangkan emisi yang dihasilkan oleh kendaraan roda emat adalah sebesar 1,21 ton/kendaraan/tahun. Maka ada tahun 2008 diperkirakan CO2

yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat adalah sebesar 97.939 ton/tahun.

(24)

Sumber CO2 dari Industri

Industri di Kabupaten Bandung khususnya industri besar, dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan. Tercatat ada tahun 1998 terdapat industri besar sebanyak 331 dan pada tahun 2006 menurun menjadi 315. Berdasarkan data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup kabupaten Bandung tahun 2009, konsumsi total bahan bakar oleh industri adalah sebesar 823.841,5 ton. Per liter bahan bakar menghasilkan CO2 setara 2,33 kg, sehingga total CO2 yang dihasilkan diperkirakan

1.919.551 ton.

Gambar 21 Sub model sumber pencemar CO2.

5.2.1.2. Sub Model Suhu Udara

Suhu udara yang terukur di atmosfer adalah resultan dari keseimbangan energi radiasi surya yang berkaitan dengan albedo dan peran gas rumah kaca khususnya CO2

yang ada di atmosfer (udara). Masing-masing jenis penutupan lahan mempunyai nilai albedo tersendiri. Tanah terbuka mempunyai albedo sebesar 0,17, sedangkan lahan terbangun mempunyai albedo 0,12 dan ruang terbuka hijau 0,15. Tingginya nilai albedo, menjelaskan bahwa radiasi yang dipantulkan juga besar. Pemanasan udara lebih dipengaruhi oleh jumlah radiasi yang diabsorbsi. Semakin tinggi nilai albedo maka jumlah radiasi yang dipantulkan juga semakin tinggi sedangkan jumlah radiasi yang diserap semakin kecil.

Jumlah Penduduk

Tambah Kendaraan 2

Laju pertumbuhan penduduk

Kendaraan 4

Bertambah roda 4

CO2 krn kendaraan roda 4

CO2 Industri Sdg & Besar

Total CO2 penduduk Bahan Bakar Industri Sdg & Besar

C02 krn kendaraan roda 2

CO2 Laju tumbuh kendaraan roda 4

Kons BBG Industri Sdg & Besar

UP Bertambah roda 2

Total CO2 Kendaraan

Laju peningkatan industri Sdg & Besar Laju tumbuh kendaraan roda 2

Penurunan Peningkatan

down

Total CO2 Industri Sdg & Besar

Kons Bhn Listrik Pernapasan Jmh KK Kons Miny ak tanah Produksi sampah Sampah Laju penurunan

(25)

Meskipun nilai albedo tanah terbuka lebih tinggi dibandingkan ruang terbuka hijau, tetapi radiasi yang diserap lahan terbuka dipergunakan untuk pemanasan permukaan dan udara di atasnya. Maka udara di atas lahan terbuka suhunya tinggi. Tetapi meskipun ruang terbuka hijau albedonya lebih rendah dibandingkan tanah terbuka yang berarti radiasi yang diserap lebih tinggi, tetapi karena radiasi yang diserap tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk evapotranspirasi, maka sisa energi radiasi untuk pemanasan udara tinggal sedikit sehingga suhu udara di sekitar ruang terbuka hijau suhunya lebih rendah.

Albedo lahan terbangun memiliki nilai paling rendah (0,12), artinya jumlah radiasi yang dipantulkan lebih kecil, sedangkan jumlah radiasi yang diserap lebih besar. Energi radiasi yang besar ini digunakan hanya untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya sehingga suhu udara yang terukur akan tinggi. Oleh karena itu semakin luas lahan terbangun, maka suhu udara semakin meningkat, dan semakin luas ruang terbuka hijau, maka suhu udara semakin menurun.

Gambar 22 Sub model suhu udara.

5.2.1.3. Sub Model Penutupan Lahan

Kondisi lingkungan khususnya suhu udara di Kabupaten Bandung sangat dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahan. Lahan terbangun sangat berperan dalam pemanasan permukaan dan peningkatan suhu udara sedangkan ruang terbuka hijau berperan dalam penurunan suhu udara.

Berdasarkan data tahun 2008, luas lahan terbuka di Kabupaten Bandung adalah sebesar 10.012 ha, sedangkan lahan terbangun 27.281 ha dan ruang terbuka hijau sebesar 139.009 ha. Semakin meningkatnya lahan terbangun dan lahan terbuka

Suhu Incrase Table 1 Graph 1 Albedo RTH Albedo Lhn terbangun

Albedo Tanah Terbuka

Table 2

Albedo TB Awal Albedo riil TB Suhu udara

Albedo LTB Awal

Albedo riil LTB Albedo RTH Awal Albedo riil RTH Persen Albedo TB

Persen Albedo RTH Persen Albedo LTB

(26)

menyebabkan penurunan luas ruang terbuka hijau. Sub model penutupan lahan disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Sub model penutupan lahan.

5.2.1.4. Gabungan Sub Model Kota Hijau

Model utuh kota hijau terdiri dari gabungan sub model. Kondisi riil lingkungan Kabupaten Bandung khususnya suhu udara digambarkan pada model sistem dinamik yang terdiri dari beberapa variabel. Dengan menggabungkan semua variabel, menentukan konstanta yang mempengaruhi nilai dari masing-masing variabel, maka didapat model lengkap yang menggambarkan dinamika sistem yang ada di Kabupaten Bandung. Model kota hijau Kabupaten Bandung, disajikan pada Gambar 24.

Laju pertambahan lhn terbangun

in

Penghijauan

RTH Absolut

Luas Total Wilay ah

Luas Lhn Terbangun Absolut RTH Tanah Terbuka Lahan Terbangun out berkurang

(27)
(28)

5.2.2. Sensitivitas Model dan Evaluasi Model

Analisis sensitivitas dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana model dapat digunakan apabila ada perubahan pada asumsi. Berdasarkan analisis sensitivitas dapat diketahui sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah apabila variabel model diubah.

Analisis sensitivitas dengan merubah laju peningkatan jumlah kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, jumlah industri, jumlah penduduk, luas lahan terbangun, dan luas ruang terbuka hijau; mengakibatkan perubahan suhu udara. Hasil uji sensitivitas terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sensitif (Muhammadi et al. 2001)

Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model. Hasil simulasi model dinamik menunjukkan bahwa peningkatan CO2, dan lahan terbangun, serta

penurunan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara. Dengan kondisi sistem tahun 2008, prakiraan suhu udara model adalah sebesar 24,1 °C, dan suhu udara riil sebesar 24,2 °C. Hal ini memperlihatkan kemiripan perilaku dengan struktur model agregatnya sehingga model dapat dikatakan baik.

5.2.3. Model Baseline Wilayah Kabupaten Bandung

Kondisi riil saat ini di Kabupaten Bandung dengan masing-masing nilai variabel model sistem dinamik dalam kondisi seperti sekarang apa adanya tanpa ada pengelolaan, maka diperkirakan ruang terbuka hijau akan terus menurun. Tahun 2044 ruang terbuka hijau yang tersisa hanya pada kawasan konservasi dengan luas 52.715 ha. Sebaliknya lahan terbangun terus bertambah, maksimal tahun 2044. Emisi gas CO2 dari berbagai aktivitas manusia akan terus naik dan menyebabkan naiknya suhu

udara. Apabila semua variabel-variabel ini tidak dikendalikan dengan baik, maka diperkirakan suhu udara di Kabupaten Bandung tahun 2040 ≥ 30 °C. Grafik model baseline wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan disajikan pada Gambar 25.

(29)

Gambar 25 Model baseline wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan.

5.2.4. Skenario Model Wilayah Kabupaten Bandung 5.2.4.1. Skenario Hijau

Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, yaitu dengan mengantisipasi adanya pemanasan udara di perkotaan yang dikenal dengan pulau bahang kota. Beberapa variabel yang harus ditangani adalah laju pertumbuhan penduduk, laju peningkatan jumlah industri, laju peningkatan lahan terbangun, laju pertambahan kendaraan bermotor serta penambahan luas ruang terbuka hijau.

Pemanasan udara di perkotaan dapat diatasi dengan menggunakan skenario hijau dengan cara menurunkan beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi pulau bahang kota, diantaranya dengan menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 0,0195 menjadi 0,01; laju peningkatan lahan terbangun diturunkan dari 0,07 menjadi 0,04; laju peningkatan kendaraan bermotor roda empat diturunkan dari 0,043 menjadi 0,02; dan kendaraan roda dua diturunkan dari 0,23 menjadi 0,1. Selain itu juga agar dapat meningkatkan penyerapan CO2 dan agar kondisi iklim perkotaan lebih nyaman, maka

perlu dilakukan penghijauan 100 ha per tahun.

Kota hijau Kabupaten Bandung diwujudkan tidak hanya dengan mengatur faktor-faktor lingkungan, tetapi juga mengusahakan perbaikan kesejahteraan masyarakat dengan cara menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap meningkat. Oleh karena itu dalam skenario hijau dilakukan pencegahan penurunan jumlah industri yang saat ini terjadi di Kabupaten Bandung. Laju penurunan jumlah industri yang semula -3,5% diusahakan menjadi 0.

10:03 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 0 1e+009. 2e+009. 25000 75000 125000 50000 95000 140000 20 30 40

1: CO2 2: Lhn terbangun absolut 3: RTH Absolut 4: Suhu udara

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. CO2 (ton) 2. Lahan Terbangun (ha) 3. Ruang Terbuka Hijau (ha) 4. Suhu Udara (ºC)

(30)

Skenario hijau yang dirancang berdasarkan model ini diprakirakan dapat menciptakan kondisi suhu udara < 30 °C di Kabupaten Bandung pada tahun 2046, tahun 2047 baru terjadi suhu udara ≥ 30 °C. Grafik prakiraan suhu udara di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan berdasarkan skenario hijau, disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26 Hasil simulasi model skenario hijau di wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan.

5.2.4.2. Skenario Moderat

Alternatif kebijakan yang agak longgar untuk mengantisipasi tingginya suhu udara akibat terjadinya pulau bahang kota yaitu kebijakan dengan menggunakan skenario moderat. Pilihan skenario ini dilakukan dengan cara menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 0,0195 menjadi 0,015, laju peningkatan industri dari -3,5% menjadi 0; peningkatan lahan terbangun diupayakan turun dari 0.07 menjadi 0,05; laju peningkatan kendaraan roda empat diturunkan dari 0,043 menjadi 0,03. Laju peningkatan kendaraan roda dua diturunkan dari 0,23 menjadi 0,15; serta melakukan penghijauan 50 ha per tahun. Hasil prakiraan dari skenario ini dapat dilihat pada Gambar 27, yang menjelaskan bahwa kondisi suhu udara ≥ 30 °C baru terjadi pada tahun 2046. 7:25 PM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 100000000 200000000 25000 75000 125000 50000 95000 140000

1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC)2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

(31)

Gambar 27 Hasil simulasi model skenario moderat di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan.

5.2.4.3. Skenario Pesimis

Skenario pesimis merupakan skenario pilihan kebijakan yang tidak banyak melakukan pengelolaan lingkungan bahkan beberapa variabel penyebab meningkatnya suhu udara dan ketidaknyamanan terus meningkat. Laju peningkatan luas lahan terbangun dari 0,07 meningkat menjadi 0,1; serta laju peningkatan jumlah penduduk dari 0,0195 menjadi 0,04; Laju peningkatan jumlah industri dari -0,035 menjadi 0,01; laju peningkatan kendaraan roda empat meningkat dari 0,043 menjadi 0,07 dan laju peningkatan kendaraan roda dua dari 0,23 menjadi 0,4. Dari hasil skenario ini diprediksi suhu udara ≥ 30 ºC akan terjadi pada tahun 2032. Skenario pesimis menghasilkan suhu udara ≥ 30 ºC terjadi lebih cepat dibandingkan skenario hijau dan moderat. Grafik hasil simulasi model skenario pesimis disajikan pada Gambar 28.

Gambar 28 Hasil simulasi model skenario pesimis di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan. 7:17 PM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 100000000 200000000 25000 75000 125000 55000 100000 145000

1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 7:30 PM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 3.5e+011 7e+011. 25000 75000 125000 50000 95000 140000

1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

Tahun Tahun

(32)

5.2.5. Model di Wilayah Penelitian 5.2.5.1. Model Wilayah I

a. Model BaselineWilayah I

Wilayah I terdiri dari Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang dan Kecamatan Cileunyi. Wilayah I memiliki luas total 6.704,302 ha dengan luas ruang terbuka hijau sebesar 1.951 ha (29 %) dan luas lahan terbangun 3.999 ha (60 %). Dibandingkan dengan Wilayah II dan III, tutupan lahan di Wilayah I didominasi oleh lahan terbangun. Jumlah penduduk di Wilayah I (539.397 orang) juga lebih tinggi dibandingkan dengan Wilayah II (424.523 orang) dan III (507.209 orang).

Peningkatan lahan terbangun, jika tidak dikendalikan akan menyebabkan ruang terbuka hijau pada tahun 2018 tinggal tersisa 290 ha, karena sudah berganti menjadi lahan terbangun. Selain ditentukan oleh jenis penutupan lahan, suhu udara dipengaruhi oleh gas CO2. Akibat terus meningkatnya jumlah penduduk dan

kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, diprediksi jumlah CO2 terus

meningkat. Kondisi lahan terbangun dan jumlah CO2 yang terus meningkat

menyebabkan suhu udara terus mengalami kenaikan sehingga lingkungan menjadi tidak nyaman. Berdasarkan model ini dapat diprediksi bahwa suhu udara ≥ 30 ºC di Wilayah I terjadi pada tahun 2047.

Gambar 29 Hasil simulasi model baseline Wilayah I lima puluh tahun ke depan. 7:21 PM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 1e+009. 2e+009. 25000 75000 125000 50000 95000 140000

1: Suhu udara 2: CO2 3: Lhn terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

(33)

b. Skenario Hijau Wilayah I

Seperti halnya skenario model umum Kabupaten Bandung, skenario hijau untuk Wilayah I dilakukan dengan cara menurunkan laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, jumlah penduduk, serta laju peningkatan luas lahan terbangun. Penurunan dan kenaikan masing-masing variabel sama dengan skenario model umum Kabupaten Bandung, perbedaan hanya pada penghijauan yaitu 50 ha per tahun. Berdasarkan skenario hijau, diprediksi Wilayah I mengalami suhu udara ≥ 30 ºC pada tahun 2054. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2

dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 30.

Gambar 30 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I lima puluh tahun ke depan.

c. Skenario Moderat Wilayah I

Semua variabel pada skenario moderat, sama dengan variabel pada skenario moderat model umum, yang berbeda adalah nilai stok serta variabel laju penghijauan yaitu 25 ha per tahun. Berdasarkan skenario moderat diprediksi sampai tahun 2049 kondisi perkotaan pada Wilayah I masih < 30 ºC. Baru pada tahun 2050 suhu udara ≥ 30 ºC. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan

perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 31.

10:32 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 24 28 32 0 15000000 30000000 3500 5000 6500 0 1000 2000

1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

(34)

Gambar 31 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I lima puluh tahun ke depan.

d. Skenario Pesimis Wilayah I

Skenario pesimis untuk Wilayah I dilakukan dengan cara membiarkan terus naiknya laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat dari 0,043 menjadi 0,05 serta naiknya laju peningkatan jumlah kendaraan roda dua dari 0,23 menjadi 0,3. Laju peningkatan jumlah unit industri dibiarkan naik sebesar 0,02, juga laju peningkatan jumlah penduduk tidak ditahan dan dibiarkan terus naik dari 0,0195 menjadi 0,04. Begitu pula laju peningkatan luas lahan terbangun dibiarkan naik dari 0,07 menjadi 0,15. Usaha untuk merehabilitasi lingkungan dengan penghijauan juga tidak dilakukan. Dari hasil skenario pesimis ini diprediksi suhu udara di Wilayah I ≥ 30 ºC terjadi pada tahun 2037. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2

dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 32.

Gambar 32 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I lima puluh tahun

ke depan. 10:37 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 24 29 34 0 25000000 50000000 3500 5000 6500 0 1000 2000

1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 9:27 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 1e+011. 2e+011. 3500 5000 6500 0 1000 2000

1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

Tahun

(35)

5.2.5.2. Model Wilayah II a. Model Baseline Wilayah II

Wilayah II meskipun memiliki luas wilayah yang lebih besar (14.080 ha) dibandingkan dengan Wilayah I tetapi memiliki jumlah penduduk yang lebih sedkit yaitu 424.523 orang. Jumlah kendaraan roda empat juga lebih sedikit yaitu 6.946 kendaraan. Tetapi jumlah kendaraan roda dua di Wilayah II lebih besar yaitu 60.879 kendaraan. Luas lahan terbangun di wilayah ini lebih besar dibandingkan dengan Wilayah I yaitu sebesar 5.641 ha, tetapi persentasenya lebih rendah yaitu hanya 40 % (lahan terbangun Wilayah I sebesar 60 %). Ruang terbuka hijau di Wilayah II masih luas yaitu sebesar 6.390 ha (45 %). Berdasarkan analisis dari model baseline di Wilayah II, suhu udara ≥ 30 ºC terjadi pada tahun 2047. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada

Gambar 33.

Gambar 33 Hasil simulasi model baseline Wilayah II lima puluh tahun ke depan.

b. Skenario Hijau Wilayah II

Penurunan serta pengurangan, dan juga laju penghijauan skenario hijau di Wilayah II sama dengan skenario hijau di Wilayah I. Hanya berbeda pada nilai stok awal sesuai kondisi Wilayah II. Wilayah II memiliki wilayah paling luas (14.080 ha), jumlah industri sedang dan besar paling sedikit (25 industri) dan juga memiliki ruang terbuka hijau paling luas (6390 ha). Model skenario hijau yang diterapkan pada Wilayah II menciptakan kondisi lingkungan yang paling baik. Diprakirakan suhu udara ≥ 30 °C baru akan terjadi setelah tahun 2058. Kondisi suhu udara, ruang terbuka

10:42 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 300000000 600000000 5500 9500 13500 1000 4000 7000

1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

(36)

hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada

Gambar 34.

Gambar 34 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II lima puluh tahun ke depan.

c. Skenario Moderat Wilayah II

Penurunan serta pengurangan, dan juga laju penghijauan skenario moderat di Wilayah II sama dengan skenario moderat di Wilayah I. Hanya berbeda pada nilai stok awal sesuai kondisi Wilayah II. Berdasarkan skenario moderat, suhu udara di Wilayah II ≥ 30 ºC diprakirakan baru akan terjadi pada tahun 2057. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun

disajikan pada Gambar 35.

Gambar 35 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II lima puluh tahun ke depan. 10:52 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 24 27 29 0 15000000 30000000 5500 9500 13500 1000 4000 7000

1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 10:58 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 24 28 31 0 25000000 50000000 5500 9500 13500 1000 4000 7000

1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

1. CO2 (ton) 2. Lahan Terbangun (ha) 3. Ruang Terbuka Hijau (ha) 4. Suhu Udara (ºC) 1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

Tahun

(37)

d. Skenario Pesimis Wilayah II

Skenario pesimis untuk Wilayah II dilakukan dengan cara membiarkan tanpa pengelolaan sehingga terjadi kenaikan laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat laju peningkatan kendaraan roda dua, laju peningkatan jumlah unit industri, laju peningkatan jumlah penduduk, begitu pula laju peningkatan luas lahan terbangun . Sebaliknya, pada skenario pesimis tidak dilakukan penghijauan. Semua nilai variabel sama dengan skenario pesimis pada Wilayah I, yang berbeda hanya pada stok awal. Berdasarkan hasil skenario pesimis ini diprakirakan suhu udara ≥ 30 ºC terjadi pada tahun 2037. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan

perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II lima puluh tahun ke depan.

5.2.5.3. Model Wilayah III a. Model Baseline Wilayah III

Wilayah III memiliki luas 9.135 ha. Jumlah penduduk di wilayah ini yaitu 507.209 orang. Jumlah kendaraan baik roda empat maupun roda dua di Wilayah III lebih sedikit dibandingkan dengan Wilayah I dan II yaitu 3.873 kendaraan roda empat dan 28.816 kendaraan roda dua. Persentase lahan terbangun di wilayah ini paling kecil yaitu hanya 37% (3.399 ha), sedangkan persentase ruang terbuka hijaunya paling besar yaitu sebesar 52% (4.747 ha).

11:03 AM Sun, Nov 20, 2011 Page 1 2008 2018 2028 2038 2048 2058 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 20 30 40 0 1.5e+011 3e+011. 5500 9500 13500 1000 4000 7000

1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut

1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)

Gambar

Tabel 6  Emisi CO 2  yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan  bakar di Kabupaten Bandung (2009)
Tabel 7  Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009)
Gambar 12  Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003.
Gambar 13  Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2008.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan budidaya dibagi menjadi 10 areal yaitu: perkebunan, kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, perikanan, lahan basah, lahan kering, peternakan,

(Persentase Change from Base Value Terhadap Mean Payback Period) Berdasarkan pada gambar diatas persentase perubahan variabel ketidakpastian dari nilai dasar (base value)

Menurut Sarlito bahwa faktor penyebabkan keluarga akan tetap harmonis adalah yang pertama karena rendahnya frekuensi pertengkaran dan percekcokan di rumah,

Sedangkan laju pertumbuhan penduduk, luas perubahan mangrove, luas perubahan TPLK menjadi lahan terbangun, alokasi ruang untuk TPLK, jarak terhadap jalan tol dan

Kawasan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan (RTHP) ditentukan seluas 30 % (tiga puluh perseratus) dari luas kawasan meliputi 20% (dua puluh perseratus) RTHP publik dan

Pada Penelitian ini dilakukan beberapa titik lokasi pengambilan sampel eksisting jenis Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Yogyakarta, diantaranya taman RW,sarana olahraga,

Berbeda dengan proses penetapan batas daerah pada pembentukan DOB dengan persyaratan PP No.129 tahun 2000, proses penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB dengan

Dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan kawasan ruang terbuka hijau perkotaan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan yang terdiri